Anda di halaman 1dari 26

SERIAL KASUS REKONSTRUKSI FISTULA DUKTUS TIROGLOSUS

FERA KAMILA KAMAL


PPDS ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNSYIAH RSUDZA BANDA ACEH

Abstrak

Pembedahan kista duktus tiroglosus (fistula tiroglosus) memiliki tingkat


keberhasilan yang rendah dan masih dijumpai angka kekambuhan hingga 50%.
Teknik operasi yang paling baik adalah teknik Sistrunk yang bertujuan untuk
memperkecil angka kekambuhan hingga 5 %. Laporan kasus ini dibuat dengan
membandingkan dua kasus dengan tujuan untuk mengevaluasi dan mendiskusikan
hasil operasi pertama dan ulangan dari fistula tiroglosus untuk mencapai
keberhasilan dalam pengelolaan fistula tiroglosus. Dilaporkan dua kasus fistula
tiroglosus pada perempuan usia 19 dan 22 tahun. Pasien pertama belum pernah
menjalani operasi, pasien kedua riwayat operasi tiga kali pada tahun 2006, 2011,
2014. Dilakukan operasi rekonstruksi fistula tiroglosus dengan metode reseksi
pada kedua pasien. Setelah operasi kedua pasien sembuh dengan baik, fistula
dapat diatasi dan diharapkan tidak terjadi kekambuhan kembali.

Kata kunci : Fistula tiroglosus, kista duktus tiroglosus, teknik Sistrunk

Abstract

Surgery of the thyroid cyst of tiroglossus (fistula tiroglossus) has a low success
rate and recurrence rates of up to 50% are still present. The best surgical
technique is the Sistrunk technique which aims to minimize the recurrence rate by
3-5%. This case report was prepared by comparing two cases with a view to
evaluating and discussing the results to achieve success in the management of
thyroglococcal fistulas. Two cases of thyroglosus fistula were reported in women
aged 19 and 22 years. The first patient had never undergone surgery, the patient
had a history of surgery three times in 2006, 2011, 2014.A reconstruction of the
thyroid fistula was performed by the resection method in both patients. After the
operation is evaluated both patients recover well, the surgical wound is good, the
fistulas can be overcome and no recurrence is expected.
Keywords: Thyroglossal fistula, thyroglossal duct cyst, Sistrunk Procedure

1
PENDAHULUAN

Kista duktus tiroglosus adalah salah satu massa kongenital tersering yang
ditemukan pada garis tengah leher. Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang
ada di leher. Kista ini terbentuk akibat kegagalan involusi dari duktus tiroglosus.1
Pada proses perkembangannya, kelenjar tiroid turun ke tempatnya yang
seharusnya melalui suatu duktus bernama tiroglosus. Normalnya, duktus ini akan
berinvolusi.2 Patensi dari duktus ini menimbulkan potensi besar terbentuknya
kista duktus tiroglosus. Munculnya kista di leher pada penyakit ini baru terbentuk
bertahun-tahun setelahnya. Biasanya kemunculannya diasosiasikan dengan infeksi
saluran pernapasan atas.3 Massa yang muncul dapat berlokasi mulai dari batas
bawah tulang hyoid sampai setinggi tiroid. Kista yang muncul biasanya tidak
menimbulkan gejala apapun selain pembesarannya namun pada beberapa kasus
dapat menimbulkan gangguan tiroid. Kista ini juga dapat terinfeksi dan
menimbulkan abses dan reaksi radang. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus
bervariasi, dari drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi, injeksi
dengan bahan sklerotik, dan teknik Sistrunk yang diperkenalkan oleh Walter Elis
Sistrunk pada tahun1920 yang bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan
hingga 5 %, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya, bagian tengah
korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen saekum serta
mengangkat otot lidah di sekitarnya kurang lebih 1 cm.4 Komplikasi setelah
operasi termasuk infeksi, hematoma, dan fistula. Tingkat kekambuhan terkait
dengan eksisi sederhana kista tiroglosus adalah sekitar 50%.5

PEMBAHASAN

Definisi

Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus
yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum
sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea. Kista ini merupakan 70%
dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini biasanya terletak di garis median
leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar
tiroid. Kista duktus atau sinus ini bisa menjadi terinfeksi. Bila terinfeksi mungkin

2
menghasilkan pembentukan pus, abses dan ruptur, menyebabkan sinus atau fistula
persisten.6

Embriologi dan Patogenesis

Kelenjar tiroid tumbuh dari invaginasi dasar faring yang terjadi pada minggu ke
empat kehamilan. Primordial kelenjar tiroid bermigrasi ke arah kaudal dan
bergabung dengan sebagian dari kantong faring keempat. Invaginasi ini berjalan
turun dari dasar lidah ke daerah leher sampai akhirnya mencapai letak
anatomisnya. Sebagian jaringan tiroid ini kadang tertinggal di sepanjang lintas
tersebut sehingga membentuk duktus tiroglosus yang berawal dari foramen sekum
di basis lidah.6 Pada proses perkembangannya, kelenjar tiroid turun ke tempatnya
yang seharusnya melalui suatu duktus bernama tiroglosus. Normalnya, duktus ini
akan berinvolusi mengalami atrofi dan menghilang dalam 10 minggu.2,3 Patensi
dari duktus ini menimbulkan potensi besar terbentuknya sinus, fistula atau kista
duktus tiroglosus. Jaringan tiroid ektopik dapat tumbuh di mana saja sepanjang
perjalanan ke bawah kelenjar tiroid, mulai dari foramen sekum sampai tempatnya
menetap di daerah leher. Saluran tiroglosus persisten terletak di sepanjang
pangkal lidah dari foramen saekum melewati inferior, anterior, dan terkadang
melalui korpus hyoid, dan sering memiliki divertikulum yang melewati dari
bawah dan belakang hyoid, sebelum berjalan di depan kista duktus tiroglosus atau
kelenjar tiroid.8 Infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus,
sehingga mengalami degenerasi kistik. Sumbatan duktus tiroglosus akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista. Teori
lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar
limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut
meradang, sehingga terbentuklah kista.9

Gambar 1.Embriologi6 Gambar 2.Jalur duktus toriglosus7

3
Klasifikasi

Kista duktus tiroglosus dibagi dalam enam klasifikasi berdasarkan di mana lokasi
kistanya tumbuh, yaitu: (1) Kista Lingual (2) Kista Suprahyoid (3)Kista Tirohyoid
(4) Kista Suprasternal (5) Kista Mediastinal ( Jarang ). Kista duktus tiroglosus
dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher bahkan sampai ke mediastinal
meskipun kasusnya jarang.10

Gambar 3.Jalur duktus toriglosus7 Gambar 4.Distribusi duktus tiroglosus7

Gejala Klinis dan Diagnosis

Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di
atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa
tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas
tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya
dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah. Diameter kista berkisar antara
2-4 cm, kadang lebih besar. Duktus yang paten ini bisa menetap selama beberapa
tahun atau lebih sehingga terjadi sesuatu stimulus yang bisa mengakibatan
pembesaran kista. Tanda patognomonis kista duktus tiroglosus adalah massa yang
ikut bergerak keatas saat menelan dan saat lidah diprotrusikan. Kista duktus atau
sinus ini bisa mengakibatan penghasilan sekresi oral yang berlebihan dimana
kondisi ini bisa menyebabkan kista menjadi terinfeksi. Bila terinfeksi, benjolan
akan terasa nyeri dan menjadi lebih besar, dapat menghasilkan pembentukan
abses dan ruptur, menyebabkan sinus atau fistula persisten.11 Diagnosis biasanya
dapat dibuat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik leher secara menyeluruh.
Fistulogram dapat dilakukan sebagai penunjang untuk menunjukkan jalan

4
saluran.10Diagnosis kista duktus tiroglosus dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Rentang waktu yang lama dan
perlahan membesar menunjukkan bahwa massa bersifat jinak, sedangkan massa
kistik seringkali merupakan lesi kongenital.7 Pemeriksaan penunjang dapat secara
langsung (FNAB) maupun tidak langsung (USG, CT scan).7 Pada kepustakaan
pemeriksaan fungsi tiroid masih merupakan kontroversi, namun USG merupakan
cara terbaik untuk melihat kodisi tiroid.8,9

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus ( fistula tiroglosus ) bervariasi dan banyak


macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana,
reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka
kekambuhan dilaporkan antara 50%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan
mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus-duktusnya; dengan cara ini
angka kekambuhan menjadi 20%. Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru
berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang
menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang
lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi
5%.11

Cara Sistrunk:

1. Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi


terlentang,kepala dan leher hiperekstensi.
2. Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang
empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan berbentuk elips megelilingi
lubang fistula.
3. Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih
dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan memanjang di garis media.
Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya.
4. Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus
hioid dipotong satu sentimeter.
5. Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum.
Duktus beserta otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen

5
sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan
kulit ditutup kembali.

Komplikasi

Komplikasi sebelum operasi ialah inflamasi yang sering terjadi akibat infeksi kista
duktus tiroglosus hingga terbentuk fistula. Apabila terjadi infeksi, kista menjadi
semakin besar dan dapat terjadi ruptur secara spontan yang seterusnya
mengakibatan formasi traktus sinus sekunder dan fistula yang bisa memburukkan
prognosis dan hasil operasi. Komplikasi setelah operasi termasuk infeksi,
hematoma, dan kekambuhan kembali12

Prognosis

Tingkat kekambuhan terkait dengan insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi
sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik dilaporkan antara 50%.
Schlange (1893) melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista
beserta duktus-duktusnya, dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.
Prosedur
Sistrunk (1920) dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 5%.11 Tingkat
kekambuhan dapat meningkat dengan riwayat infeksi berulang.13

6
LAPORAN KASUS I
1.1 Identitas Pasien
Nama : YA
Umur : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Meulaboh
No. CM : 1-15-85-98
Tanggal masuk : 28-02-2018
Pekerjaan : Mahasiswi
Suku : Aceh
Agama : Islam

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Keluar cairan dari lubang di leher depan.

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan keluar cairan


dari leher depan sejak enam bulan sebelum masuk rumah sakit, memberat
dalam satu bulan, cairan keluar hilang timbul dengan frekuensi dua hingga
tiga kali seminggu. Cairan keluar dari tempat bekas operasi tiga tahun
yang lalu, cairan kental, bening dan tidak berbau. Daerah bekas operasi
tersebut ikut bergerak pada saat pasien menelan dan saat lidah
diprotrusikan.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien telah tiga kali menjalani operasi
dengan keluhan yang sama, yaitu :
1. Tahun 2006 ( usia 11 tahun ). Keluhan awal pasien muncul benjolan di
leher depan awalnya kurang lebih sebesar kacang hijau lama kelamaan
semakin membesar kira-kira sebesar telur puyuh, menurut pengakuan
pasien saat itu benjolan seperti berisi cairan, tidak terasa nyeri, tidak
ada keluhan gangguan menelan atau suara serak. Kemudian dilakukan
operasi dan 2 hari setelah operasi benjolan muncul kembali awalnya
kecil lama kelamaan membesar.

7
2. Tahun 2011 ( usia 16 tahun ). Benjolan yang sudah membesar sebesar
kacang tanah kembali dilakukan operasi, 4 hari setelah operasi
benjolan muncul kembali awalnya kecil lama kelamaan membesar.
3. Tahun 2014 ( usia 19 tahun ). Dilakukan operasi kembali, benjolan
tidak muncul lagi dan pasien dinyatakan sembuh.
4. Tahun 2017 ( Usia 22 tahun ). Keluar cairan dari bekas operasi. Cairan
bening, kental dan tidak berbau. Cairan keluar selama enam bulan
semakin lama semakin sering dan pasien diputuskan untuk dilakukan
operasi kembali.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien menderita sakit


sama
Riwayat pemakaian obat : Obat tablet yang tidak diketahui namanya

1.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/ menit
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 36,7˚C
Status General
Kulit
Warna : Putih
Turgor : Kembali cepat
Ikterik : (-)
Pucat : (-)
Kepala
Rambut : Hitam
Mata :Pupil isokor 3mm/3mm , reflek cahaya langsung (+/+),
reflek cahaya tidak langsung (+/+), hematom (-/-),
konjungtiva tarsal pucat (-/-).

8
3.3.3 Status lokalis
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Deformitas Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada


Hidung luar
Radang Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Cavum nasi Mukosa Merah muda Merah muda

Sekret Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Konka inferior Eutrofi Eutrofi

Konka media Eutrofi Eutrofi

Septum nasi Deviasi tidak ada

Pasase udara Baik Baik

Orofaring Tonsil Mukosa Merah muda Merah muda

Ukuran T1 T1

Kripta Tidak ada Tidak ada


melebar

Faring Mukosa Merah muda

Granul Tidak ada

Post Nasal Tidak a


Drip

Arkus faring Simetris

9
Gigi geligi Tidak dijumpai gigi molar atas yang busuk

Auris Meatus Akustikus Ext Tenang Tenang

Membran timpani Utuh Utuh

Colli Inspeksi Simetris

Terdapat fistula regio anterosuperior

Deviasi trakea ( - )

Palpasi Pembesaran KGB (-/-)

Keluar cairan bening, kental dari fistula

Gambar 5 Fistula regio anterosuperior colli Gambar 6 Fistula regio anterosuperior colli

Thorax

Inspeksi :Simetris, retraksi (-), bentuk dada normal, pernafasan


thorakoabdominal
Paru – Paru

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri

Auskultasi : Vesikular(+/+), ronki(-/-), wheezing(-/-)

Jantung

10
Inspeksi : Denyut jantung tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas – batas jantung
Atas : ICS III line midclavicula
Kiri : ICS Vlinea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV Linea parasternalis dekstra
Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-).

Abdomen

Inspeksi : jejas (-), pulsasi epigastrium (-), eversi umbilikalis (-),

sikatrik(-), strialba (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal, suara abnormal (-)

Palpasi : Soepel, hepar, lien, renal tidak teraba. Undulasi (-)

Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen

Ekstremitas :
Pucat : tidak dijumpai
Edema : Tidak dijumpai

1.4 Pemeriksaan penunjang


Laboratorium ( 28-0-2017 )

Hb : 12,4 gr/dl 12,0-15,0

Ht : 38% 37-47

Eritrosit : 4,2 x 106/mm³ 4,2-5,4

Trombosit : 296 x 10³/mm³ 150-450

MCV : 91 fl 80-100

MCH : 30 pg 27-31

MCHC : 33 % 32-36

RDW :12,8 % 11,5-14,5

11
MPV : 9 fl 7,2-11,1

PDW : 9,1 fl 5-12

LED : 18 mm/jam <20

Eo/Ba/NB/NS/Lim/Mo : 1/0/0/56/37/6 % 0-6/0-2/2-6/50-70/20-40/2-8

PT/APTT : 9,6/ 35 9,3-12,4/29-40

SGOT/SGPT : 18/13 U/L <31/<34


GDS : 100 mg/dl <200

Ur/Cr : 18/0,62 mg/dl 13-43/0,51-0,95

Na/K/Cl : 138/3,9/113 mmol/L 132-146/3,7-5,4/98-106

Foto Soft tisuue colli AP/Lat (19-01-2018)

Gambar 7. Foto Soft tissue Colli Ap/Lateral

Kesan:
Foto soft tissue colli tidak tampak kelainan.

1.5 Diagnosis

Fistula duktus tiroglosus residif

1.6 Penatalaksanaan

Rekonstruksi fistula duktus tiroglosus residif

12
Laporan Operasi :

1. Pasien dalam posisi supine dalam general anestesi


2. Dilakukan asepsis antisepsis area operasi
3. Dipasang doek steril di sekitar area operasi
4. Dilakukan penandaan area operasi berbentuk elips mengelilingi fistula
kurang lebih 0,5cm.
5. Dilakukan insisi elips sesuai daerah yang ditandai sambil merawat
perdarahan
6. Jaringan sisi kiri dan kanan dilepaskan hingga tersisa bagian fistula yang
akan ditelusuri
7. Dilakukan identifikasi fistula dengan memasukkan abbocath menyusuri
fistula
8. Diukur kedalaman fistula kurang lebih 2cm ke superoinferior
9. Jaringan disekitar fistula dibebaskan dengan menggunakan klem
10. Dilakuka tegel jaringan ke kulit bagian superior
11. Susuri hingga ke superior ke arah os hyoid
12. Susuri juga ke dalam sampai dijumpai m.tirohyoid dilewati oleh fistula,
dilakukan insisi musculus tirohyoid sambil menelusuri ujung dari fistula
13. Susuri ujung dari fistula menempel ke os hyoid
14. Dilakukan pemotongan fistula sepanjang alur yang telah disusuri
15. Dilakukan pencucian dengan Nacl 0,9%
16. Dilakukan penjahitan lapis demi lapis
17. Operasi selesai.

Gambar 8 Spesimen post operasi

Spesimen yang telah diangkat diinspeksi didapatkan duktus tiroglosus dengan


ukuran panjang kurang lebih 2cm

13
2. Instruksi post operasi
Awasi tanda-tanda vital dan perdarahan
IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i

Inj.ceftriaxone 1gr/12 jam/IV, skin test

Inj.Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam/IV

Inj.Asam traneksamat 500mg/8 jam/IV

Follow Up pasien di ruangan setelah operasi

Hari I setelah operasi (Tangga 02 Maret 2018)

S/ Nyeri minimal pada tempat operasi

O/ vs /Kes : CM

TD : 125/80 mmHg

N : 74x/i

RR : 21x/i

A/ Post Operasi rekonstruksi fistula duktus tiroglosus residif

Th/ IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i

Inj.ceftriaxone 1gr/12 jam/IV

Inj.Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam/IV

Inj.Asam traneksamat 500mg/8 jam/IV

P/ Pasien diperbolehkan pulang, kontrol ke poli THT-KL untuk buka verban dan
evaluasi hasil operasi. Terapi pulang :

Cefixime 2x100mg

Asam mefenamat 3x500mg

POD IIITanggal 04 Maret 2018

Pasien kontrol ke poli THT-KL

14
S/ Tidak ada keluhan

O/ vs /Kes : CM

TD : 120/80 mmHg

N : 80x/i

RR : 20x/i

A/ Post Operasi rekonstruksi fistula duktus tiroglosus residif

Luka operasi baik, bersih, tidak ada cairan yang keluar dari tempat operasi.

Th/Cefixime 2x100mg

Asam mefenamat 3x500mg

POD VIII Tanggal 09 Maret 2018

Pasien kontrol ke poli THT-KL

S/ Tidak ada keluhan

O/ vs /Kes : CM

TD : 120/80 mmHg

N : 80x/i

RR : 20x/i

A/ Post Operasi rekonstruksi fistula duktus tiroglosus residif.

Luka operasi baik, bersih, tidak ada cairan yang keluar dari tempat operasi.

15
LAPORAN KASUS II
2.1 Identitas Pasien
Nama : RW
Umur :19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sigli
No. CM : 1-16-18-81
Tanggal masuk : 07-3-2018
Pekerjaan : Mahasiswi
Suku : Aceh
Agama : Islam

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Keluar cairan dari lubang di leher depan

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan keluar cairan


dari leher depan sejak kurang lebih sebulan sebelum masuk rumah sakit.
Cairan yang keluar awalnya berwarna bening dan kental lama kelamaan
menjadi nanah. Terasa nyeri di sekitar lubang tersebut. Daerah bekas
operasi tersebut ikut bergerak pada saat pasien menelan dan saat lidah
diprotrusikan.
Riwayat Penyakit Dahulu : 10 Tahun yang lalu awalnya di leher depan
muncul benjolan berukuran kurang lebih sebesar kacang tanah. Benjolan
mudah digerakkan dan tidak nyeri. Setelah kurang lebih satu bulan
benjolan tersebut pecah dan menghasilkan lubang yang terus menetap
hingga saat ini. Selama 10 tahun dari lubang tersebut tidak pernah
mengeluarkan cairan. Cairan baru keluar sejak sebulan terakhir.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien menderita sakit
sama
Riwayat pemakaian obat : Disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital

16
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 92x/ menit
Pernapasan : 22x/ menit
Suhu : 36,8˚C
Status General
Kulit
Warna : Putih
Turgor : Kembali cepat
Ikterik : (-)
Pucat : (-)
Kepala
Rambut : Hitam
Mata :Pupil isokor 3mm/3mm , reflek cahaya langsung (+/+),
reflek cahaya tidak langsung (+/+), hematom (-/-),
konjungtiva tarsal pucat (-/-).
3.3.3 Status lokalis
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Deformitas Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada


Hidung luar
Radang Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Cavum nasi Mukosa Merah muda Merah muda

Sekret Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Konka inferior Eutrofi Eutrofi

Konka media Eutrofi Eutrofi

17
Septum nasi Deviasi tidak ada

Pasase udara Baik Baik

Orofaring Tonsil Mukosa Merah muda Merah muda

Ukuran T1 T1

Kripta Tidak ada Tidak ada


melebar

Faring Mukosa Merah muda

Granul Tidak ada

Post Nasal Tidak a


Drip

Arkus faring Simetris

Gigi geligi Tidak dijumpai gigi molar atas yang busuk

Auris Meatus Akustikus Ext Tenang Tenang

Membran timpani Utuh Utuh

Colli Inspeksi Simetris

Terdapat fistula di regio anterior

Deviasi trakea ( - )

Palpasi Pembesaran KGB (-/-)

Keluar nanah dari fistula di regio anterior leher.

18
Gambar 9 Fistula colli anterior Gambar 10 Fistula colli anterior

Thorax

Inspeksi :Simetris, retraksi (-), bentuk dada normal, pernafasan


thorakoabdominal
Paru – Paru

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri

Auskultasi : Vesikular(+/+), ronki(-/-), wheezing(-/-)

Jantung

Inspeksi : Denyut jantung tidak terlihat


Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas – batas jantung
Atas : ICS III line midclavicula
Kiri : ICS Vlinea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV Linea parasternalis dekstra
Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-).

Abdomen

Inspeksi : jejas (-), pulsasi epigastrium (-), eversi umbilikalis (-),

sikatrik(-), strialba (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal, suara abnormal (-)

Palpasi : Soepel, hepar, lien, renal tidak teraba. Undulasi (-)

Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen

19
Ekstremitas :
Pucat : tidak dijumpai
Edema : Tidak dijumpai

2.4 Pemeriksaan penunjang


Laboratorium ( 14-02-2018 )

Hb : 14,3 gr/dl 12,0-15,0

Ht : 37% 37-47

Eritrosit : 4,1 x 106/mm³ 4,2-5,4

Trombosit : 289 x 10³/mm³ 150-450

MCV : 81 fl 80-100

MCH : 30 pg 27-31

MCHC : 33 % 32-36

RDW :12,8 % 11,5-14,5

MPV : 9 fl 7,2-11,1

PDW : 9,1 fl 5-12

Eo/Ba/NB/NS/Lim/Mo : 1/0/0/56/37/6 % 0-6/0-2/2-6/50-70/20-40/2-8

BT/CT : 2’/ 7’ 5-15


GDS : 100 mg/dl <200

Ur/Cr : 17/0,72 mg/dl 13-43/0,51-0,95

Na/K/Cl : 138/3,9/113 mmol/L 132-146/3,7-5,4/98-106

Foto Thorax(14-02-2018) Foto Soft tissue Colli Ap/Lat (14-02-2018)

Gambar 11 Foto thorax Gambar 12 Foto soft tissue leher

20
Kesan: Cor dan pulmo tidak tampak kelainan. Kesan : soft tissue colliTidak tampak
kelainan

1.5 Diagnosis

Fistula duktus tiroglosus

1.6 Penatalaksanaan

Rekonstruksi fistula duktus tiroglosus

Laporan Operasi :

1. Pasien dalam posisi supine dalam general anestesi


2. Dilakukan asepsis antisepsis area operasi
3. Dipasang doek steril di sekitar area operasi
4. Dilakukan penandaan area operasi berbentuk elips mengelilingi fistula
kurang lebih 0,5cm.
5. Dilakukan insisi elips sesuai daerah yang ditandai sambil merawat
perdarahan
6. Bagian kulit kiri dan kanan dilepaskan hingga tersisa bagian fistula yang
akan ditelusuri
7. Dilakukan identifikasi fistula dengan memasukkan abbocath menyusuri
fistula
8. Diukur kedalaman fistula kurang lebih 2cm ke superinferior
9. Jaringan di sekitar fistula dibebaskan dengan menggunakan klem
10. Susuri ujung dari fistula menempel ke os hyoid
11. Dilakukan pemotongan fistula sepanjang alur yang telah disusuri
12. Dilakukan pencucian dengan Nacl 0,9%
13. Dilakukan penjahitan lapis demi lapis
14. Operasi selesai.

Gambar 13. Spesimen operasi

21
Spesimen yang telah diangkat diinspeksi didapatkan duktus tiroglosus dengan
panjang kurang lebih 2cm.

Instruksi post operasi

Awasi tanda-tanda vital dan perdarahan


IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i

Inj.ceftriaxone 1gr/12 jam/IV, skin test

Inj.Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam/IV

Inj.Asam traneksamat 500mg/8 jam/IV

Follow Up pasien di ruangan setelah operasi

Hari pertama setelah operasi (Tanggal 9 Maret 2018)

S/ Nyeri minimal pada tempat operasi

O/ vs /Kes : CM

TD : 120/80 mmHg

N : 73x/i

RR : 20x/i

A/ Post Operasi fistulektomi duktus tiroglosus

Th/ IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i

Inj.ceftriaxone 1gr/12 jam/IV

Inj.Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam/IV

Inj.Asam traneksamat 500mg/8 jam/IV

P/ Pasien diperbolehkan pulang, kontrol ke poli THT-KL untuk buka verban dan
evaluasi hasil operasi. Terapi pulang :

Cefixime 2x100mg

Asam mefenamat 3x500mg

22
DISKUSI KASUS

Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus
yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum
sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea. Kista ini merupakan 70%
dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini biasanya terletak di garis median
leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar
tiroid. Kista duktus atau sinus ini bisa menjadi terinfeksi. Bila terinfeksi mungkin
menghasilkan pembentukan pus, abses dan ruptur, menyebabkan sinus atau fistula
persisten.6

Pada kedua pasien ini didapatkan fistula berada tepat di garis tengah leher yang
merupakan alur penurunan kelenjar tiroid yaitu duktus tiroglosus yang
membentang dimulai dari foramen saekum hingga ke kelenjar tiroid bagian
superior di depan trakea. Pada kedua pasien sama-sama didapatkan awalnya
muncul benjolan menyerupai kista di tempat terjadi fistula. Pada pasien pertama
benjolan berulang kali muncul meski sudah dilakukan berulang kali operasi,
hingga akhirnya terbentuk fistula. Sedangkan pada pasien kedua benjolan muncul
sekali lalu pecah menjadi fistula. Kedua pasien mengeluh dari fistula mengelurkan
cairan, pada pasien pertama cairan yang keluar bening dan kental, pasien kedua
keluar cairan berupa nanah dan terasa nyeri di daerah fistula.

Kista duktus tiroglosus dibagi dalam enam klasifikasi berdasarkan di mana lokasi
kistanya tumbuh, yaitu: (1) Kista Lingual (2) Kista Suprahyoid (3)Kista Tirohyoid
(4) Kista Suprasternal (5) Kista Mediastinal( Jarang ). Kista duktus tiroglosus
dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher bahkan sampai ke mediastinal
meskipun kasusnya jarang.10

Letak fistula pada kedua pasien diantara os hioid dan tiroid, maka keduanya
masuk ke dalam klasifikasi fistula duktus tiroglosus tirohioid. Pada pasien
pertama letaknya lebih superior dibandingkan pada pasien kedua yang letaknya
lebih inferior di depan kartilago tiroid.

Duktus yang paten ini bisa menetap selama beberapa tahun atau lebih sehingga
terjadi sesuatu stimulus yang bisa mengakibatan pembesaran kista. Tanda

23
patognomonis kista duktus tiroglosus adalah massa yang ikut bergerak keatas saat
menelan dan saat lidah diprotrusikan. Kista duktus atau sinus ini bisa
mengakibatan penghasilan sekresi oral yang berlebihan dimana kondisi ini bisa
menyebabkan kista menjadi terinfeksi. Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri
dan menjadi lebih besar, dapat menghasilkan pembentukan abses dan ruptur,
menyebabkan sinus atau fistula persisten.11 Fistulogram dapat dilakukan sebagai
penunjang untuk menunjukkan jalan saluran.10

Pada kedua pasien ini terdapat duktus yang menetap, yang lama kelamaan
menjadi fistula diduga karena proses inflamasi lama di daerah duktus. Pasien
pertama duktus tetap menetap bahkan setelah dilakukan operasi berulang kali.
Begitu juga dengan pasien kedua duktus menetap lama hingga lama kelamaan
menjadi fistula. Pada kedua pasien dijumpai fistula ikut bergerak ke atas pada saat
pasien menelan dan dan saat lidah diprotrusikan. Pada kedua pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan fistulogram yang bermanfaat untuk melihat alur jalannya
fistula.

Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus ( fistula tiroglosus ) bervariasi dan banyak


macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana,
reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka
kekambuhan dilaporkan 50%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan
mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus-duktusnya; dengan cara ini
angka kekambuhan menjadi 20%. Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru
berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang
menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang
lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi
5%.11

Pada kedua pasien ini dilakukan tindakan reseksi sederhana dengan menyusuri
alur fistula dan melakukan pengangkatan fistula tanpa mengambil korpus hyoid
dan otot lidah sekitarnya. Pada pasien pertama operasi menjadi lebih sulit dan
lebih dalam karena ini adalah operasi yang keempat kalinya. Saat identifikasi
terlihat alur fistula sudah lebih ke inferior sehingga perlu dilakukan pemotongan
strap muscle. Berbeda pada pasien kedua letak fistula lebih superfisial sehingga

24
memudahkan pada saat dilakukan tindakan. Menurut literatur, angka kekambuhan
dengan cara tersebut dilaporkan kurang lebih 50%. Penatalaksanaan yang paling
baik dari fistula duktus tiroglosus ini adalah dengan Teknik Sistrunk yaitu
pengangkatan kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan
kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm
diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 5%. Meskipun
demikian diharapkan pada kedua pasien ini tidak terjadi kekambuhan kembali.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan dua kasus fistula duktus tiroglosus pada perempuan usia 22 dan
19 tahun berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kedua pasien ini
didapatkan fistula berada tepat di garis tengah leher yang merupakan alur
penurunan kelenjar tiroid yaitu duktus tiroglosus yang membentang dimulai dari
foramen saekum hingga ke kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea. Pada
kedua pasien didapatkan awalnya muncul benjolan menyerupai kista di tempat
terjadi fistula. Pada pasien pertama benjolan berulang kali muncul meski sudah
dilakukan berulang kali operasi, hingga akhirnya terbentuk fistula. Sedangkan
pada pasien kedua benjolan muncul sekali lalu pecah menjadi fistula. Kedua
pasien mengeluh dari fistula mengelurkan cairan. Letak fistula pada kedua pasien
diantara os hioid dan tiroid, maka keduanya masuk ke dalam klasifikasi fistula
duktus tiroglosus tirohyoid. Pada kedua pasien fistula ikut bergerak ke atas pada
saat pasien menelan dan dan saat lidah diprotrusikan. Pada kedua pasien ini
dilakukan tindakan reseksi sederhana dengan menyusuri alur fistula. Pada pasien
pertama operasi menjadi lebih sulit dan lebih dalam karena ini adalah operasi
yang keempat kalinya. Berbeda pada pasien kedua letak fistula lebih superfisial
sehingga memudahkan pada saat dilakukan tindakan. Menurut literatur, angka
kekambuhan dengan cara tersebut dilaporkan kurang lebih 50%. Penatalaksanaan
yang paling baik dari fistula duktus tiroglosus ini adalah dengan Teknik Sistrunk
yaitu pengangkatan kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang
menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang
lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 5%.
Meskipun demikian diharapkan pada kedua pasien ini tidak terjadi kekambuhan
kembali.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. AL-Zamil,WA, Management of Thyroglossal Fistula and Recurrent


Thyroglossal Duct Remnants: A New Concept for Surgical
Approach,www.medicaljournalofcairouniversity.net, Cairo Univ, Vol. 84, No.
1, 2016: 1053-1061
2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
13. Jilid 1. Alih Bahasa: Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta: Bina Rupa
Aksara, 2006; 295-6, 381-2.
3. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6,
Alih Bahasa: Wijaya C. Jakarta : EGC, 2008; 415-21.
4. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head and
Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR. Philadelphia : 2005; 1362-69.
5. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A
Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore: 2006; 183.
6. Sjamsuhidrajat R, Jong WD, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta 2004 : 523-528.
7. Mondin V, Ferlito A, Muzzi E, Silver CE, Fagan JJ, Devaney KO, Rinaldo A.
Thyroglossal duct cyst:Personal experience, literature review. (2008) 11 –25
8. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2nd ed. Vol. II.
Philadelphia: Lea & Febiger, 2005; 88.
9. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam: Scott-Brown&#8217;s
Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth – Heinemann, 1997; 5/16/1-4.
10. Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam: Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al.
Philadelphia: JB Lippincott Co, 19; 755.
11. Cohen IJ ed. Massa jinak leher. Dalam: Adam LG, Boies RL, Highler AP
Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta EGC, 1997: 415-428.
12. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae. Dalam:
Scott-Brown&#8217;s Otolaryngology. 6th ed. Oxford: Butterworth –
Heinemann, 1997; 6/30/8-12.
13. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct
Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6

26

Anda mungkin juga menyukai