Anda di halaman 1dari 4

Selain menyebabkan efek lokal di tempat kontak, suatu toksikan akan menyebabkan

kerusakan bila ia diserap oleh organisme itu. Sifat dan hebatnya efek zat kimia terhadap
organisme tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Kadar ini tidak hanya tergantung pada
dosis yang diberikan tetapi juga pada beberapa faktor lain misalnya derajat absorpsi,
distribusi, pengikatan, dan ekskresi. Agar dapat diserap, didistribusi, dan akhirnya
dikeluarkan, suatu toksikan harus melewati sejumlah membran sel. Suatu membran sel
biasanya terdiri atas lapisan biomolekuler yang dibentuk oleh molekul lipid dengan molekul
protein yang tersebar di seluruh membran.

Suatu toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme, yaitu difusi pasif lewat
membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transpor dengan perantaraan carrier, dan
pencaplokan (pinositosis). Pada mekanisme terakhir ini sel berperan aktif dalam transfer
toksikan lewat membrannya.

a. Difusi pasif
Sebagian besar toksikan melewati membran sel secara difusi pasif sederhana. Laju difusi
berhubungan langsung dengan perbedaan kadar yang dibatasi oleh membran itu, dan daya
larutnya dalam lipid. Banyak toksikan bersifat mampu mengion. Bentuk ion sering tidak
dapat menembus membran sel karena daya larut lipidnya yang rendah. Sebaliknya bentuk
non-ion cukup larut dalam lipid sehingga dapat menembus membran dengan laju penetrasi
yang bergantung pada daya larut lipidnya. Tingkat ionisasi asam dan basa organik lemah
bergantung pada pH medium. Jadi untuk asam organik lemah, difusi akan mudah bila
lingkungan bersifat asam karena zat ini terutama berada dalam bentuk ion-ion (asam
benzoat); untuk basa organik lemah, difusi mudah terjadi dalam lingkungan lingkungan basa
(anilin).

b. Filtrasi
Membran kapiler dan glomeruli mempunyai pori-pori yang relatif besar. Hal ini
memungkinkan lewatnya molekul-molekul yang lebih besar pula (albumin, BM=60.000).
Aliran air lewat pori-pori ini terjadi karena tekanan hidrostatik dan/atau osmotik dan dapat
bertindak sebagai pembawa toksikan. Namun pada kebanyakan sel, pori-pori umumnya
relatif kecil (4 nm) dan hanya memungkinkan lewatnya zat kimia yang BM-nya kurang dari
100-200. Oleh karena itu, zat-zat kimia yang molekulnya lebih besar dapat keluar masuk
kapiler itu sehingga dapat tercapai keseimbangan antara konsentrasinya dalam plasma dan
dalam cairan ekstrasel; tetapi keseimbangan ini tidak dapat dicapai melalui filtrasi antara
cairan ekstrasel dan intrasel.

c. Transpor dengan Perantaraan Carrier


Proses ini melibatkan pembentukan kompleks zat kimia dan carrier makromolekuler di satu
sisi membran. Kompleks ini lalu berdifusi ke sisi lain, tempat zat kimia itu dilepaskan.
Sesudah itu carrier kembali ke permukaan semula untuk mengulangi proses transpor.
Kapasitas carrier ini terbatas. Bila kapasitas ini telah terpakai habis, laju transpor tidak lagi
bergantung pada kadar zat kimia, dan dimulailah kinetik zero-order. Struktur, konformasi,
ukuran, dan muatan molekul penting dalam menentukan afinitas suatu zat kimia terhadap
situs carrier, inhibisi kompetitif dapat terjadi diantara zat-zat kimia yang cirinya serupa.
Transpor aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul melewati membran melawan
perbedaan kadar, atau kalau molekul itu suatu ion, melawan perbedaan muatan. Transpor
ini membutuhkan energi metabolisme dan dapat dihambat oleh racun yang mengganggu
metabolisme sel.

d. Pencaplokan oleh sel


Partikel-partikel dapat ditelan oleh sel. Bila partikel itu benda padat, prosesnya disebut
fagositosis, dan bila cairan, disebut pinositosis. Sistem transpor khusus semacam ini penting
untuk menghilangkan partikel dari alveoli dan menghilangkan racun tertentu dari darah oleh
sistem retikuloendotelial.

ABSORPSI TOKSIKAN
Absorpsi dapat terjadi lewat saluran cerna, paru-paru, kulit dan beberapa jalur lain. Jalur
utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Namun dalam
penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus seperti injeksi intraperitoneal,
intramuskuler dan subkutan.

a. Saluran Cerna
Banyak toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau secara
sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik atau amat merangsang
mukosa, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau mereka
diserap. Absorpsi dapat terjadi di seluruh saluran cerna. Namun pada umumnya, mulut dan
rektum tidak begitu penting bagi absorpsi zat-zat kimia dari lingkungan.
Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam-asam lemah
yang akan berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan mudah berdifusi. Sebaliknya,
basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah lambung yang bersifat asam dan
karenanya tidak mudah diserap. Perbedaan dalam absorpsi ini diperbesar lagi oleh adanya
plasma yang beredar. Asam-asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion yang
terlarut dalam plasma dan diangkut, sementara basa lemah akan berada dalam bentuk ion-
ion dan dapat berdifusi kembali ke lambung.
Di dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion dan karenanya tidak
mudah diserap. Namun sesampai di darah, mereka mengion sehingga tidak mudah berdifusi
kembali. Sebaliknya, basa lemah terutama akan berada dalam bentuk non-ion sehingga
mudah diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi dengan lebih lamanya waktu kontak dan
luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.

b. Saluran Napas
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru. Hal ini terutama
berlaku untuk gas, misalnya CO, NO dan SO2; hal ini juga berlaku untuk uap cairan misalnya
benzen dan CCl4. Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli,
cepatnya aliran darah dan dekatnya darah dengan udara alveoli.
Laju absoprsi bergantung pada daya larut gas dalam darah; semakin mudah larut, semakin
cepat absorpsi. Namun keseimbangan antara udara dan darah ini lebih lambat tercapai untuk
zat kimia yang mudah larut, misalnya etilen. Hal ini terjadi karena suatu zat kimia yang lebih
mudah larut akan lebih mudah larut dalam darah. Karena udara alveolar hanya dapat
membawa zat kimia dalam jumlah terbatas, maka diperlukan lebih banyak pernapasan dan
waktu lebih lama untuk mencapai keseimbangan. Bahkan diperlukan waktu lebih lama lagi
kalau zat kimia itu juga diendapkan dalam jaringan lemak.
Disamping gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara dapat juga diserap. Pada
umumnya, partikel besar (> 10 mm) tidak memasuki saluran napas; kalaupun masuk, mereka
diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis. Partikel
yang sangat kecil (< 0,01 mm) lebih mungkin terbuang ketika kita menghembuskan napas.
Partikel berukuran 0,01-10 mm diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel
yang lebih besar mungkin diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau
lewat epitel saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir. Partikel-partikel yang lebih
kecil diendapkan dalam trakea, bronki, dan bronkioli, lalu ditangkap oleh silia di mukosa
atau ditelan oleh fagosit. Partikel-partikel yang dilempar ke atas oleh silia akan dibatukkan
atau ditelan. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik.
Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfe. Partikel-partikel yang dapat larut
mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.
Secara kasar dapat dikatakan bahwa 25 % partikel yang terhirup akan dikeluarkan bersama
udara napas, 50 % diendapkan dalam saluran napas bagian atas, dan 25 % diendapkan dalam
saluran napas bagian bawah.

c. Kulit
Pada umumnya kulit relatif impermeabel, dan karenanya merupakan sawar (barrier) yang
baik untuk memisahkan organisme dari lingkungannya. Namun beberapa zat kimia dapat
diserap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak sehingga menimbulkan efek sistemik.
Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat atau sel
kelenjar sebasea. Tetapi penyerapan lewat jalur ini kecil sekali sebab struktur ini hanya
merupakan bagian kecil dari permukaan kulit. Maka absorpsi zat kimia di kulit sebagian besar
adalah menembus lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis.
Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat epidermis yang merupakan
sawar terpenting, terutama stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas beberapa lapis sel
mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang resisten secara kimia.
Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat berdifusi lewat permukaan luar filamen protein
stratum korneum yang terhidrasi; zat-zat non-polar melarut dan berdifusi lewat matriks lipid
di antara filamen protein. Stratum korneum manusia berbeda struktur dan sifat kimianya dari
satu bagian tubuh ke bagian lainnya, hal ini tercermin dari perbedaan permeabilitasnya
terhadap zat-zat kimia.
Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat dermis yang mengandung medium
difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu, sebagai sawar, dermis jauh kurang
efektif dibandingkan stratum korneum. Akibatnya, abrasi atau hilangnya stratum korneum
menyebabkan sangat meningkatnya absorpsi perkutan. Zat-zat asam, basa, dan gas mustard
juga akan menambah aborpsi dengan merusak sawar ini. Beberapa pelarut terutama dimetil
sulfoksid, juga meningkatkan permeabilitas kulit.

REFERENSI
1. Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia

2. E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan
oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

3. Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

4. J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

5. H. J. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

6. J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai