Anda di halaman 1dari 25

1

Disposisi dan Biotransformasi Toksikan

Pengampu:
Dr.rer.nat. Mo Awwanah, S.Si, M.Sc
Kolonel Ckm. Nurhadiyanta, S.Si, M.Si

Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pertahanan Republik Indonesia
Toksisitas Zat Beracun (Toksikan)
2
Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek yang berlawanan
(merugikan). Dikenal juga dengan istilah xenobiotik (xeno = asing, benda asing).

Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba.

Toksisitas merupakan efek racun dari suatu zat yang bergantung pada dosis dan lokasi aksi dari zat
tersebut.

Beberapa faktor utama yang menentukan toksisitas zat beracun:


➢ Konsentrasi dan durasi keberadaan zat beracun di tempat masuk
➢ Jumlah dan kecepatan yang dapat diabsorpsi
➢ Distribusi dan konsentrasi pada organ target (neurotoksin, kardiotoksin, nefrotoksin, hepatotoksin)
➢ Efisiensi biotransformasi atau metabolisme yang mempengaruhi sifat dari hasil metabolismenya
➢ Kemampuan toksikan untuk menembus membran sel dan berinteraksi dengan komponen sel
➢ Jumlah dan durasi toksikan tersimpan di dalam tubuh
➢ Kecepatan dan tempat ekskresi.
Disposisi Toksikan
3
Disposisi menggambarkan proses toksikokinetik (penyampaian senyawa ke tempat kerjanya)
dari toksikan di dalam tubuh, termasuk bagaimana aktivitas di dalam tubuh berpengaruh
terhadap kinetika zat toksik. Atau dapat merujuk pada berbagai proses yang terjadi setelah
pemberian, atau pemaparan senyawa tertentu.

Fase kerja toksikan:


Tersedia
untuk Tersedia
Dosis penyerapan untuk aksi Efek toksik

Fase Eksposisi Fase Toksikokinetik Fase Toksodinamik


Paparan toksikan ADME: • Interaksi dengan reseptor
• Absorpsi/ penyerapan • Perubahan seluler
• Distribusi/ penyaluran
• Metabolism/ biotransformasi
• Ekskresi/ eliminasi

Renwick, 2006; Flanagan, 2007


Fase Kerja Toksikan
4
Fase kerja toksikan sama dengan fase kerja agen farmaseutika, dengan dosis dan efek yang
berbeda.

Wirasuta, 2006
Pengaruh Disposisi terhadap Toksisitas Zat Beracun
5
➢ Absorpsi atau tingkat penyerapan
Jika penyerapan rendah, maka konsentrasi zat beracun kemungkinan tidak cukup
untuk menimbulkan efek keracunan di lokasi aksi.
➢ Distribusi atau penyaluran
Proses distribusi juga mempengaruhi tingkat toksisitas, terutama jika zat racun
terdistribusi ke jaringan selain yang menjadi target sehingga konsentrasi zat
beracun di lokasi target menjadi lebih rendah dan tidak cukup untuk menimbulkan
efek keracunan.
➢ Biotransformasi atau metabolisme
Biotransformasi juga dapat menyebabkan perubahan zat beracun menjadi
metabolit yang kurang beracun atau bahkan memiliki efek racun yang lebih tinggi.
➢ Ekskresi atau eliminasi
Lebih cepat zat kimia dieliminasi dari tubuh, maka akan semakin rendah
konsentrasinya di dalam tubuh sehingga efek racun di jaringan target menjadi lebih
rendah pula.
Rute Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi Toksikan
Jalur masuk (absorpsi)
6

Penyebaran (distribusi)

Jalur ke luar (ekskresi)


Absorpsi Toksikan
7
Absorpsi merupakan proses masuknya toksikan dari lokasi paparan/ kontak ke dalam sirkulasi
sistemik tubuh.

Toksikan dapat masuk melalui beberapa jalur, di antaranya:


1. Saluran pencernaan (oral). Penyerapan terjadi melalui mukosa saluran pencernaan
(terutama di usus halus)
2. Saluran pernafasan (inhalasi), untuk toksikan yang berupa gas atau bersifat aerosol.
Penyerapan terjadi di paru-paru.
3. Kulit (diserap atau disuntikkan). Penyerapan terjadi di mukosa kulit (jika disuntikkan/
disengat/ digigit maka langsung masuk ke sirkulasi sistemik tubuh).

Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan kecepatan absorpsi:


• Rute masuk atau jalur paparan (luas permukaan kontak)
• Konsentrasi dan durasi kontak di lokasi absorpsi
• Sifat kimia dan fisika toksikan (bentuk, kelarutan, kemampuan berdifusi melalui membran
sel, dll)
Absorpsi Toksikan
8
Pada saat absorpsi, toksikan akan menembus membran sel untuk masuk ke
sistem sirkulasi (darah dan limfa).

Penetrasi toksikan melalui membran dapat berlangsung melalui:


• Difusi
• Filtrasi melalui pori-pori
• Pinositosis/ fagositosis (pencaplokan oleh sel)

Untuk bisa diserap, toksikan harus berada dalam fase terlarut atau terdispresi
secara molekuler (menjadi molekul kecil penyusunnya).

Fase absorpsi seringkali berhubungan langsung dengan fase eksposisi, di mana


terjadi paparan/ kontak antara toksikan dengan organisme. Sehingga fase
eksposisi juga memiliki jalur yang sama (oral, inhalasi dan melalui kulit).
Fase Eksposisi dan Absorpsi Toksikan melalui Kulit
9
Absorpsi toksikan melalui kulit dapat terjadi melalui penyerapan langsung maupun
injeksi.

Paparan kulit terhadap toksikan sering


mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun
tidak jarang toksikan dapat juga terabsorpsi
langsung dari permukaan kulit menuju sistem
sistemik.

Bahan beracun yang masuk melalui kulit:


kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal,
cemaran lingkungan, atau cemaran industri di
tempat kerja.
Fase Eksposisi dan Absorpsi Toksikan melalui Saluran Pernafasan
10
Untuk toksikan yang terdapat di udara dalam bentuk gas, uap, butiran cair, dan partikel
padat dengan ukuran yang berbeda-beda.

Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus, serta paru-paru, yang
terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan alveoli.
Trakea dan bronkus/ bronkiolus dibatasi oleh sel epitel bersilia dan
dilapisi oleh lapisan lender tipis. Pada saluran ini terjadi penyerapan
butiran cairan dan partikel padat yang kecil juga melalui difusi dan
fagositosis. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke
dalam sistem limfatik.

Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik.


Partikel-partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke
dalam darah.

Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi toksikan yang


berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen,
belerang dioksida atau uap cairan, seperti bensen.
Fase Eksposisi dan Absorpsi Toksikan melalui Saluran Pencernaan
11
Pada umumnya xenobiotik melintasi membran saluran pencernaan menuju saluran sistemik
dengan difusi pasif, namun dapat juga difasilitasi oleh protein carrier, atau melalui pinositosis.

Penyerapan utama terjadi di usus halus.


Distribusi Toksikan
12
Distribusi merupakan proses berpindahnya toksikan dari sirkulasi sistemik ke bagian
lain dalam tubuh, sehingga memungkinkan zat beracun mencapai sel/ jaringan
target (reseptor/ tempat aksi).

Distribusi terjadi melalui sistem sirkulasi:


• Darah
• Limfa

Proses distribusi dibagi menjadi:


1. Konveksi (transport toksikan bersama aliran darah atau limfa)
2. Difusi (dari pembuluh darah ke jaringan target). Difusi pasif, difulis terfasilitasi
(melalui sistem transport tertentu,”carrier”, melalui pinositosis/ fagositosis) atau
melalui pori-pori.
Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Toksikan
13
❑ Faktor biologis seperti laju aliran darah dari organ dan jaringan, sifat membran
biologis dan perbedaan pH antara plasma dan jaringan.

Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-paru, jantung, lambung dan usus
adalah organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik sehingga
toksikan akan dapat terdistribusi secara lebih homogen di organ-organ tersebut.

❑ Sifat molekul toksikan, meliputi ukuran molekul, ikatan antara protein plasma
dan protein jaringan, kelarutan dan sifat kimia.

Senyawa yang larut lemak akan lebih mudah terdistribusi ke seluruh jaringan
tubuh, sehingga pada umumnya senyawa lipofil akan mempunyai volume
distribusi yang jauh lebih besar daripada senyawa yang hidrofil. Misalnya Tetra-
hidro-canabinol (THC) (zat halusinogen dari tanaman ganja) adalah sangat larut
lemak.
Eliminasi/ Ekskresi: Pengeluaran Toksikan dari Sirkulasi Sistemik
14
Ekskresi/ eliminasi merupakan proses pengeluaran zat beracun dari tubuh (atau dari sirkulasi sistemik),
setelah mengalami metabolisme terlebih dahulu.

Pengeluaran toksikan dari sirkulasi sistemik dilakukan melalui:


- Biotransformasi
- Ekskresi
- Penyimpanan (storage)

Organ yang berperan dalam proses eliminasi toksikan ini di antaranya:


- Ginjal (untuk filtrasi, sekresi aktif dan reabsorpsi), bentuk ekskresi berupa urin.
- Hati (dan empedu), organ yang paling aktif dalam biotransformasi toksikan.
Ekskresi empedu atau ekskresi fekal adalah proses yang dimulai di hati dan melewati usus sampai
produk akhirnya diekskresikan bersama dengan feses atau tinja.
- Paru-paru, misalnya untuk gas seperti CO dan zat-zat volatile.
- Rute lain: saluran pencernaan (feces), air susu, keringat dan air liur.

Biotransformasi merupakan prasarat untuk ekskresi melalui ginjal, karena banyak racun yang larut lemak
sehingga perlu diubah menjadi bentuk yang larut dalam air agar dapat dibuang melalui ginjal.
Penimbunan Toksikan (storage)
15
Umumnya konsentrasi xenobiotik di tempat organ sasaran merupakan fungsi kadar xenobiotik
di dalam darah (plasma). Namun, sering dijumpai kadar xenobiotik di organ sasaran tidak
selalu sama dengan kadarnya dalam darah karena adanya penimbunan di dalam organ
atau jaringan.

Penetapan konsentrasi xenobiotik di darah umumnya lebih mudah diukur dibandingkan di


jaringan, terutama pada jangka waktu tertentu, oleh sebab itu konsentrasi di darah ”plasma”
yang sering digunakan dalam penelitian toksokinetik.

Penyimpanan toksikan:
➢ Penyimpanan di jaringan lemak untuk senyawa yang larut dalam lemak
➢ Hati dan ginjal memiliki kapasitas lebih tinggi untuk mengikat zat-zat kimia, antara lain
karena adanya protein khusus metalotiotenin. Protein ini mengikat logam-logam seperti
cadmium dan timbal, sehingga kadarnya akan tinggi pada organ hati dan ginjal.
➢ Tulang merupakan tempat timbunan utama untuk fluorida, timbal dan stronsium.
Zat-zat yang ditimbun ini akan dilepaskan lewat pertukaran ion dan dengan pelarutan
kristal tulang lewat aktivitas osteoklastik.
Biotransformasi Toksikan
16
Biotransformasi merupakan perubahan toksikan yang dikatalisis oleh enzim, sehingga
menghasilkan zat yang secara kimia berbeda dengan zat asalnya. Hal ini juga akan
mempengaruhi toksisitasnya.

Tujuan:
untuk mengubah toksikan menjadi lebih polar sehingga eliminasi bisa lebih cepat.

Biotransformasi terjadi dalam 2 tahap:


1. Reaksi fase I: oksidasi, reduksi, hidrolisis.
2. Reaksi fase II: konjugasi.

Dancygier, 2010
Biotransformasi: Reaksi Fase I
17
Reaksi-reaksi pada fase I biasanya mengubah molekul toksikan menjadi
metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau memfungsikan suatu
kelompok fungsional (-OH, -NH2, -SH, -COOH).

Melibatkan reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.


Kalau metabolit fase I cukup terpolarkan,
maka metabolit tersebut kemungkinan akan
mudah diekskresi.

Namun, banyak produk reaksi fase I tidak


segera dieliminasi dan mengalami reaksi
berikutnya (reaksi fase II) dengan suatu
substrat endogen melalui konjugasi.

Enzim yang terlibat dalam reaksi fase I


mayoritas terdapat di RE halus.
Biotransformasi: Reaksi Fase I
18

(Sitokrom P-450/ CYP-450)

Fase I

Fase II

Beiras, 2018 Transfromasi senyawa Benzena


Biotransformasi: Reaksi Fase II
19
Reaksi fase II merupakan tahap lanjutan dari reaksi fase I, melalui konjugasi
gugus polar hasil metabolit fase I dengan substrat endogen seperti: asam
glukuronida, asam sulfat, asam asetat, asam amino, oligopeptida dan ikatan
dengan turunan asam merkapturat dan metilasi.

Hasil reaksi konjugasi bersifat sangat polar, sehingga


sangat cepat tereksresi melalui ginjal bersama urin dan
atau melalui empedu menuju saluran cerna.

Enzim yang terlibat dalam reaksi fase II mayoritas


terdapat di sitosol.

Pada umumnya melalui reaksi fase II, xenobitika atau


metabolit fase I mengalami deaktivasi. Namun
belakangan ini telah dilaporkan beberapa metabolit
fase II justru mengalami aktivasi, seperti morfin-6-
glukuronida mempunyai aktivitas antianalgesik yang
lebih poten dari pada morfin.
Biotransformasi: Reaksi Fase II
20

• Glukuronidasi
Glukuronidasi adalah jenis konjugasi yang paling umum dan penting. Glukuronidasi dari
gugus alkohol atau fenol adalah reaksi konjugasi yang paling sering pada reaksi fase II, di
samping itu juga asam-asam karboksilat, senyawa sulfidril dan senyawa amin. Enzim yang
terlibat glucoronosyl transferase.

• Konjugasi Sulfat
Reaksi ini dikatalisis oleh sulfotranferase, yang diketemukan dalam fraksi sitosolik
jaringan hati, ginjal dan usus. Koenzimnya adalah PAPS (3’- fosfoadenosin-5’-fosfosulfat).
Konjugasi ini dilakukan dengan gugus fungsional: fenol, alkohol alifatik dan amin aromatik.

• Konjugasi dengan Asam amino (glisin)


Konjugasi ini dikatalisis oleh konjugat asam amino dan koenzim-A.
Asam karboksilat, asam arilasetat dan asam akrilat yang mengalami substitusi aril dapat
membentuk konjugat dengan asam amino, terutama glisin.
Biotransformasi: Reaksi Fase II
21

• Ikatan dengan turunan asam merkaptofurat (konjugasi glutation)


Reaksi konjugasi ini berlangsung dalam beberapa tingkat, sebagian berlangsung
secara spontan yang juga dikatalisis oleh glutation-S-transferase.

• Asetilasi
Xenobiotika yang memiliki gugus amin aromatik, yang tidak dapat dimetabolisme secara
oksidatif, biasanya akan diasetilisasi dengan bantuan enzim N-asetil transferase dan asetil
koenzim A.
Asetilasi merupakan fransfer gugus asetil ke amin aromatik primer, hidrazin, hidrazid,
sulfoamid dan gugus amin alifatik primer tertentu.

• Metilasi
Reaksi ini dikatalisis oleh metiltransferase dengan koenzim SAM (S-adenosin metionin).
Contoh N-metilasi (noradrenalin, nicotinamid, metadon).
Reaksi metilasi toksikan cukup jarang, yang paling sering terjadi adalah glukuronidasi.
Biotransformasi: Reaksi Fase II
22
Contoh Biotransformasi
Toluena
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biotransformasi Toksikan
❖ Genetik 23
Variabilitas genetik berperan penting pada reaksi metabolisme karena mempengaruhi
pembentukan enzim-enzim yang diperlukan dalam proses biotransformasi suatu zat.

❖ Induksi Enzim
Banyak toksikan yang dapat meningkatkan sintesa sistem enzim metabolisme (induksi),
induksi sistem enzim tertentu dapat meningkatkan laju biotransformasi senyawa tertentu.
Contoh zat yang bersifat induksi enzim adalah fenobarbital, yang dapat meningkatkan
jumlah CYP450 dan NADPH-sitokrom reduktase.

❖ Inhibisi Enzim
Penghambantan sistem enzim biotransformasi akan mengakibatkan perpanjangan efek
farmakologi dan meningkatnya efek toksik.

❖ Penyakit hati, penyakit hepatitis akut atau kronis, sirosis hati dan nekrosis hati secara
signifikan dapat menurunkan laju metabolisme toksikan.
❖ Umur
Enzim-enzim tertentu seperti CYP-450, glukoronil-trensferase dan acetil-transferase, belum
berkembang sempurna pada bayi dan baru berkembang pada tahun ke-5.
Daftar Pustaka
24
Beiras, R. 2018. Biotransformation. Marine Pollution: 205-214. DOI: 10.1016/B978-0-12-813736-9.00012-X.

Budiawan. 2008. Peran toksikologi forensik dalam mengungkap kasus keracunan dan pencemaran
lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1):35-39.

Dancygier, H. 2010. Hepatic Biotransformation. Clinical Hepatology: 127-130. DOI: 10.1007/978-3-540-


93842-2_8.

Rahayu, M. dan Solihat, MF. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Sumber lain.
25

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai