Anda di halaman 1dari 4

Apakah umat Katolik yang berdoa di depan

patung menyembah berhala?


Walaupun adakalanya umat Katolik berdoa di depan patung, umat Katolik tidak menyembah berhala. Jika
umat Katolik menunjukkan sikap hormat di depan patung Tuhan Yesus, Bunda Maria ataupun para orang
kudus lainnya, itu adalah karena umat Katolik menghormati pribadi yang digambarkan oleh patung
tersebut. Penghormatan ini disebut dulia relatif, seperti yang sudah pernah diuraikan di link
ini: http://katolisitas.org/6656/apa-itu-devosi-kepada-bunda-maria Contoh penghormatan ‘Dulia relatif‘
yaitu pada saat Musa diperintahkan oleh Tuhan untuk membuat patung ular dari tembaga yang dipasang
di sebuah tiang, agar barang siapa yang memandang patung itu akan tetap hidup walaupun telah dipagut
ular (Bil 21:8-9). Ular tembaga yang ditinggikan di tiang ini menjadi gambaran akan Yesus Kristus yang
juga akan ditinggikan di kayu salib (lihat Yoh 3:14). Tentu saat itu, orang Israel tidak menyembah
berhala, sebab Allah-lah yang menyuruh mereka menghormati dengan ‘memandang ke atas’ ular tembaga
yang dibuat oleh Musa itu. Penghormatan dulia- relatif lainnya yang dicatat dalam Kitab Suci, adalah
ketika Tuhan menyuruh Musa untuk membuat tabut perjanjian, dengan membuat patung malaikat (kerub)
untuk diletakkan di atas tutupnya (lih. Kel 37). Di dalam tabut diletakkan roti manna (Kel 25:30), tongkat
Harun (Bil 17:10) dan kedua loh batu sepuluh perintah Allah (Kel 25:16). Tabut perjanjian ini kemudian
menyertai bangsa Israel sampai ke tanah terjanji yang dipimpin oleh nabi Yosua. Kitab Yosua mencatat
bahwa Yosua bersama- sama para tua- tua sujud ke tanah menghormati tabut Tuhan: “Yosuapun
mengoyakkan jubahnya dan sujudlah ia dengan mukanya sampai ke tanah di depan tabut TUHAN hingga
petang, bersama dengan para tua-tua orang Israel….” (Yos 7:6). Tentu tabut itu bukan Tuhan, dan tentu
yang dihormati bukan apa yang nampak, yaitu kotak dengan patung malaikat (kerub) di atasnya, tetapi
adalah Allah yang dilambangkan-Nya. Yosua dan para tua- tua Yahudi pada saat itu tidak menyembah
berhala, Allah tidak menghukum mereka karena sujud di depan tabut itu. Sebaliknya Allah menerima
ungkapan tobat mereka, dan menyatakan kehendak-Nya atas apa yang harus mereka perbuat terhadap
Tuhan, yang melanggar perintah-Nya. Demikian pula, pada saat Raja Salomo memimpin pentahbisan bait
suci, dan ia berlutut di hadapan mezbah yang terletak di depan ruang mahakudus (lih. 1 Raj 8:54). Dengan
berlutut, Raja Salomo tidak sedang menyembah mezbah, maupun tabut perjanjian yang diletakkan di
ruang mahakudus itu, tetapi ia menyembah Allah yang digambarkan oleh benda-benda itu. Allah tidak
menghukum Raja Salomo karena telah berlutut di hadapan mezbah itu, malah sebaliknya, Allah
menerima penghormatan Raja Salomo, dan berkenan menguduskan bait Allah yang telah didirikan oleh
Raja Salomo, dan membuat nama-Nya, mata-Nya dan hati-Nya tinggal selamanya di situ (lih. 1 Raj 9: 3).
Jadi, larangan pembuatan patung dalam Perjanjian Lama (lih. Kel 20:4) berada dalam kesatuan dengan
ayat sebelumnya (ayat 3) dan sesudahnya (ayat 5), yaitu bahwa Allah melarang umat-Nya membuat
patung yang menyerupai apapun untuk disembah sebagai allah lain di hadapan-Nya. Namun jika patung
itu sendiri tidak disembah sebagai allah lain, gambaran yang menyerupai sesuatu tidak dilarang Tuhan.
Allah sendirilah, yang menyuruh membuat patung kerub/ malaikat untuk ditempatkan di tempat kudus-
Nya (lih. Kel 25:1,18-20; 1Taw 28:18-19; 1Raj 6:23-35). Di Perjanjian Lama, Allah memang melarang
umat-Nya menggambarkan Diri-Nya ke dalam bentuk patung, karena Ia sendiri belum menggambarkan
Diri-Nya. Namun kemudian Allah sendiri memperbaharui ajaran ini, dengan menggambarkan Diri-Nya di
dalam Kristus (lih. Kol 1:15); dengan demikian, manusia memperoleh gambaran akan Tuhan. Oleh karena
itu penggambaran akan Kristus dalam bentuk patung, lukisan atau bahkan gambar dalam film kartun
tidaklah melanggar perintah Allah, karena Allah telah terlebih dahulu menggambarkan Diri-Nya di dalam
Kristus. Gambar/ patung itu tidak disembah, namun hanya dimaksudkan sebagai alat bantu untuk
mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan.
Maka sikap hormat di hadapan patung/ gambar Tuhan Yesus, Bunda Maria atau para kudus lainnya bukan
merupakan penyembahan berhala, sebab yang dihormati bukan patung itu sendiri melainkan pribadi yang
dilambangkannya. Sejak abad awal gereja jemaat purba (katakomba) telah dihiasi oleh gambar- gambar
rohani (Christian art), yang terlihat dari dinding- dinding gereja bawah tanah tersebut, yang antara lain
ditemukan di abad ke-16 (31 Mei 1578, katakomba di Via Salaria). Adanya gambar Kristus Gembala
yang baik, atau Kristus yang duduk di antara para orang kudus dan simbol- simbol serta ornamen lainnya
(seperti daun palma, domba, salib, ikan, dst) juga nampak pada kubur batu (sarcophagi) umat Kristen.
Kubur yang terkenal milik Julius Bassus (45-101), sudah dihiasi gambar- gambar peristiwa dalam
Perjanjian Baru. Patung St. Hippolytus dan St. Petrus sudah dibuat di awal abad ke-3. Maka pandangan
bahwa jemaat purba menolak semua gambar atau patung adalah pandangan yang keliru. Setelah jaman
Kaisar Konstantin (306-307) memang terdapat perkembangan pesat dalam hal seni Kristiani, namun tidak
ada perubahan prinsip di sini. Ornamen- ornamen di basilika merupakan perkembangan dari ornamen-
ornamen di dinding katakomba; patung- patung di basilika dibuat lebih besar dan lebih indah daripada
patung- patung di kubur batu/ sarcophagi.

Dasar Kitab Suci


 Bil 21:8-9; Yoh 3:14: Dulia relatif: Allah memerintahkan Musa untuk membuat patung ular tembaga di
sebuah tiang, yang menjadi gambaran Yesus yang ditinggikan di kayu salib
 Kel 20 3-5: Larangan membuat patung untuk disembah sebagai allah lain
 Kel 25:1,18-20; 1Taw 28:18-19; 1Raj 6:23-35, 7:23-26: Allah memerintahkan pembuatan patung kerub
yang diletakkan di atas tabut perjanjian.
 Yos 7:6: Yosua sujud sampai ke tanah di hadapan tabut perjanjian.
 1 Raj 8:54; 1 Raj 9:3: Raja Salomo berlutut di hadapan mezbah di bait Allah, dan Allah berkenan
menerima penghormatan Raja Salomo.
 Yeh 41:17-18: ukiran gambar- gambar kerub/ malaikat dan pohon- pohon korma di ruang Bait Suci.

Dasar Tradisi Suci


 Tertullian (160-220): “Adalah cukup bahwa Tuhan yang sama, sebagaimana dengan hukum melarang
pembuatan patung yang menyerupai apapun, juga dengan perintah yang khusus, seperti dalam kasus ular
tembaga [jaman Nabi Musa], memerintahkan untuk membuat patung [yang menyerupai ular].”
(Tertullian, On Idolatry, chapt. 5)
 St. Basilius Agung (330-379): “Penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar mengacu kepada
tokoh yang digambarkannya” (St. Basilius, De Spiritu Sancto. 18,45).
 St. Ambrosius (397) menuliskan dalam suratnya bahwa suatu malam Rasul Paulus menampakkan diri
kepadanya, dan St. Ambrosius mengenali Rasul Paulus dari kemiripan dengan gambar/ lukisan
tentangnya (Ep. ii, in P.L., XVII, 821).
 St. Agustinus (wafat 430) menyebutkan beberapa kali tentang lukisan Tuhan Yesus dan para orang kudus
di gereja- gereja (lih. St. Agustinus, “De cons. Evang.”, x, in P.L., XXXIV, 1049; “Contra Faust. Man.”,
xxii, 73, in P.L., XLII, 446); ia mengatakan bahwa beberapa orang bahkan menghormati lukisan- lukisan
tersebut (“De mor. eccl. cath.“, xxxiv, P.L., XXXII, 1342).
 St. Hieronimus- (wafat 420) menulis tentang gambar- gambar lukisan para Rasul dan ornamen- ornamen
yang ada dalam gedung- gedung gereja.
 St. Gregorius Agung (wafat 604). Ia menulis kepada Serenus dari Marseilles, Uskup Ikonoklas, yang telah
merusak gambar-gambar di keuskupannya: “Bukannya tanpa alasan bahwa jemaat purba
memperbolehkan kisah- kisah para kudus untuk dilukiskan di tempat- tempat kudus. Dan kami sungguh
memuji anda sebab anda tidak memperbolehkan lukisan- lukisan itu untuk disembah, tetapi kami
menyalahkan anda karena anda telah merusaknya. Sebab adalah satu hal tentang menyembah sebuah
gambar, namun adalah hal lain tentang mempelajari dari apa yang nampak di gambar itu, tentang apa
yang harus kita sembah. Apa yang ada di buku adalah untuk mereka yang dapat membaca, seperti halnya
gambar bagi mereka yang tidak dapat membaca yang memandangnya; melalui gambar, bahkan mereka
yang tidak terpelajar dapat melihat tentang contoh yang harus mereka ikuti; melalui gambar, mereka yang
buta huruf dapat membaca…. (Ep. ix, 105, in P.L., LXXVII, 1027)
Catatan: Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara signifikan di Eropa
pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada abad 19/20. Jadi tentu selama 12
abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan patung mengambil peran untuk pengajaran iman,
karena praktis, mayoritas orang di dunia pada saat itu tidak dapat membaca.

Dasar Magisterium
 Katekismus Gereja Katolik 2129, 2130, 2131, 2132:

KGK 2129 Perintah Allah melarang tiap-tiap lukisan tentang Allah yang dibuat oleh tangan manusia.
Buku Ulangan menjelaskan: “Karena kamu tidak melihat sesuatu rupa pada hari Tuhan berfirman
kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api, hati- hatilah supaya jangan kamu berlaku busuk dengan
membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apa pun” (Ul 4:15-16). Allah yang transenden secara
absolut telah menampakkan diri kepada Israel. “Dialah segala-galanya”, tetapi serentak pula “Ia adalah
lebih besar daripada segala perbuatan-Nya” (Sir 43:27-28). Ia adalah “bapa keindahan” (Keb 13:3).
KGK 2130 Namun demikian, di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menyuruh dan mengizinkan
pembuatan patung, yang sebagai lambang harus menunjuk kepada keselamatan dengan perantaraan Sabda
yang menjadi manusia: sebagai contoh, ular tembaga (Bdk. Bil 21:4-9; Keb 16:5-14; Yoh 3:14-15), tabut
perjanjian, dan kerub (Bdk. Kel 25:10-22; 1 Raj 6:23-28; 7:23-26).
KGK 2131 Berkenaan dengan misteri penjelmaan Sabda menjadi manusia, maka konsili ekumene
ketujuh di Nisea tahun 787 membela penghormatan kepada ikon [gambar], yang menampilkan Kristus
atau juga Bunda Allah, para malaikat dan para kudus, melawan kelompok ikonoklas. Dengan penjelmaan
menjadi manusia, Putera Allah membuka satu “tata gambar” yang baru.
KGK 2132 Penghormatan Kristen terhadap gambar tidak bertentangan dengan perintah pertama, yang
melarang patung berhala. Karena “penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar menyangkut
gambar asli di baliknya” (Basilius, Spir. 18,45), dan “siapa yang menghormati gambar, menghormati
pribadi yang digambarkan di dalamnya” (Konsili Nisea 11: DS 601, Bdk.Konsili Trente: DS 1821-1825;
SC 126; LG 67). Penghormatan yang kita berikan kepada gambar-gambar adalah satu “penghormatan
yang khidmat”, bukan penyembahan; penyembahan hanya boleh diberikan kepada Allah.
“Penghormatan kepada Allah tidak diberikan kepada gambar sebagai benda, tetapi hanya sejauh mereka
itu gambar-gambar, yang mengantar kepada Allah yang menjadi manusia. Gerakan yang mengarahkan ke
gambar sebagai gambar, tidak tinggal di dalam ini, tetapi mengarah kepada Dia, yang dilukiskan di dalam
gambar itu” (Tomas Aquinas., S.Th. 2-2,81,3, ad 3).

Pandangan Martin Luther tentang penggunaan patung/


lukisan
 “Seseorang tidak dapat memahami hal- hal spiritual kecuali jika gambar- gambar dibuat tentang mereka.”
(Martin Luther, Weimar edition of Martin Luther’s Works, (translation by William J Cole) 46, p. 308)

 “Tidak ada yang lain yang dapat disimpulkan dari perkataan: “Jangan kamu mempunyai allah- allah lain
di hadapan-Ku”, kecuali apa yang berkaitan dengan berhala. Tetapi gambar- gambar ataupun patung-
patung dibuat tanpa berhala, pembuatan benda- benda tersebut tidak dilarang.” (Martin Luther, ibid., 18,
p. 69)
 “Kalau saya telah melukis gambar di dinding dan saya melihatnya tanpa berhala, maka hal itu tidak
dilarang bagi saya, dan seharusnya tidak diambil dari saya.” (Martin Luther, ibid., 28, p. 677)

Anda mungkin juga menyukai