Pendahuluan
Pada waktu saya SMP dan sedang belajar pelajaran agama Katolik, saya diberitahu
bahwa di altar gereja, yaitu di bawah kotak marmer ada relikwi, yaitu bagian tubuh
atau benda yang bersentuhan dengan santa atau santo. Waktu itu saya terbengong-
bengong dan tidak tahu mengapa Gereja Katolik menempatkan relikwi tersebut di
altar. Saya yakin, banyak pertanyaan dari para pembaca tentang hal ini. Dan sering,
umat yang tidak terlalu tahu mengatakan bahwa relikwi ini adalah sama seperti jimat,
yang dapat mendatangkan keuntungan.
Dasar Alkitab
Penghormatan terhadap relikwi ini bukanlah karangan dari Gereja Katolik semata,
namun mempunyai dasar Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru.
Kita tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara-Nya yang ajaib dan sering dengan
menggunakan perantaraan manusia atau material yang lain. Di dalam Perjanjian
Lama dikatakan bahwa Musa membawa tulang-tulang Yusuf sebagai pemenuhan
akan permintaan Yusuf (Kel 13:19; Yos 24:32). Dan yang lebih eksplisit adalah
bagaimana Elisa membawa jubah Elia dan memukulkannya di sungai Yordan,
sehingga air terbelah, sehingga Elisa dapat menyeberangi sungai Yordan (2 Raj 2:9-
14). Di kitab yang sama, diceritakan bagaimana mayat yang terkena tulang-tulang
dari Elisa, dapat hidup kembali (2 Raj 13:20-21).
Di dalam Perjanjian Baru diceritakan bahwa sapu tangan dan kain yang pernah
dipakai oleh Paulus dapat menyembuhkan penyakit-penyakit (Kis 19:11-12). Kisah
Para Rasul juga menceritakan bagaimana orang-orang membawa orang-orang sakit,
sehingga minimal mereka dapat terkena bayangan dari rasul Petrus, dan kemudian
disembuhkan (Kis 5:15).
Dari beberapa ayat di atas, kita melihat bahwa kesembuhan dan mukjijat yang terjadi
karena bersentuhan dengan relikwi dari para kudus adalah disebabkan oleh kuasa
Allah. Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa relikwi adalah seperti jimat
yang mempunyai kuasa secara terpisah dari kuasa Allah. Allah mempunyai
kebebasan untuk menyatakan kuasa-Nya, dan salah satunya dengan menggunakan
relikwi. Dan memang begitu banyak mukjijat, baik yang bersifat jasmani maupun
rohani, lewat relikwi di dalam sejarah Gereja dari awal sampai saat ini.
Bapa Gereja
Kita juga melihat tulisan beberapa para kudus, seperti St. Jerome (340-420) yang
mengatakan “Kita tidak menyembah (non colimus, non adoramus), karena takut
bahwa kami harus bersembah sujud kepada ciptaan daripada kepada Sang Pencipta,
tetapi kita menghormati (honoramus) relikwi dari para martir sehingga kita dapat
menyembah Dia, yang empunya para martir” (Ad Riparium”, i, P. L., XXII, 907).
Kemudian Cyril dari Alexandria (378-444) mengatakan “Kita, bukanlah menganggap
bahwa para martir kudus sebagai tuhan, atau bersembah sujud menyembah mereka,
tetapi hanya secara relatif dan secara hormat [ou latreutikos alla schetikos kai
timetikos].” (Adv. Julian.”, vi, P. G. LXXVI, 812).
Dan masih begitu banyak tulisan dari para santa dan santo yang menyatakan bahwa
sudah semestinya umat beriman menghormati relikwi, sehingga umat beriman dapat
lebih memuji dan menyembah Tuhan yang memberikan inspirasi dan berkat kepada
para kudus dan para martir.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita melihat bahwa relikwi mempunyai dasar teologis yang
kuat, baik ditinjau dari Alkitab, perkembangan historis, dan juga perkembangan
teologis. Relikwi dapat membawa umat kepada Tuhan yang memberikan inspirasi
dan berkat kepada para kudus. Pada akhirnya ini dapat memberikan inspirasi kepada
kita untuk mengikuti jejak para kudus yang bekerja sama dengan rahmat Tuhan,
sehingga seperti mereka, kita bisa tetap setia beriman dan berbuat kasih sampai
akhir hayat kita. Akhirnya, kita tidak dapat memperlakukan relikwi sebagai sebuah
jimat yang mendatangkan keuntungan bagi kita. Sebab, kalaupun terjadi mukjijat,
kita harus senantiasa mengingat bahwa itu semua adalah karena kebesaran Tuhan
yang bekerja melalui relikwi.