Anda di halaman 1dari 14

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

TUGAS MIKROPALEONTOLOGI

PALINOLOGI

OLEH :

ANDI A’ZHAM WAL AQDI


R1C1 17 027

KENDARI
2019
A. PENGERTIAN PALINOLOGI

Palinologi secara umum adalah cabang ilmu yang belum terlalu tua dibandingkan
dengan mikrofosil lainnya seperti foraminifera dan nanoplankton. Di Indonesia,
palinologi baru mulai dikenal sekitar tahun 1930an yang diawali dengan
penelitian tentang gambut di daerah Jawa dan Sumatra. Kemudian disusul oleh
peneliti-peneliti lain yang juga datang ke Indonesia. Sejak saat itu palinologi
mulai berkembang sampai saat ini. Selain untuk mengetahui lingkungan
pengendapan di industri minyak dan gas, palinologi juga dapat digunakan untuk
penentuan umur batuan dan riset perubahan iklim. Riset ini dapat digunakan
untuk mengumpulkan data-data tentang iklim yang terjadi sebelumnya dan dapat
dipakai sebagai bahan untuk memprediksi iklim di masa yang akan datang.
Morfologi serbuk sari memiliki beberapa karakter yakni: simetri, ukuran dan
bentuk, struktur dinding serbuk sari, stratifikasi eksin, ornamentasi eksin,
kerutan/ alur, dan lubang. Karakter serbuk sari bergantung pada jenis spesies dan
lingkungan tempatmnya berada. Namun untuk karekter serbuk sari sendiri telah
dibagi menjadi kelompok-kelompok tertentu seperti: simetri serbuk sari yaitu
simetris dan asimetris, bentuk serbuk sari yang terdiri atas kelompok non angular
dan angular, ukuran serbuk sari dari yang sangat kecil (<10 µm) hingga yang
terbesar (>200 µm), ornamen eksin yang terdiri atas supratectal sculpturing dan
sculpturing on subtectate sexine serta karakter lainnya. Para peneliti biasanya
mengambil sampel-sampel dari bebatuan di bawah laut atau cekungan-cekungan
yang ada di Indonesia yang kebanyakan adalah batu sedimen.

Batuan sedimen terbentuk dari kerangka kalsit dari organisme mikroskopik


di laut dangkal sehingga di dalamnya juga terdapat fosil-fosil yang mendukung
penelitian. Batuan amat berbeda dengan tanah, di dalam batuan sama sekali tidak
ada unsur kehidupan akan tetapi di dalam batuan tetap memiliki kandungan silika
dan karbonat di dalamnya. Pada dasarnya, batu sedimen lebih mudah terlarutkan
oleh air hujan dibanding dengan batuan lain. Karena sebelum sampai ke
permukaan tanah, air hujan yang mengandung sejumlah kecil karbondioksida
bereaksi dengan udara dan membuat air hujan bersifat asam yang selanjutnya
bereaksi dengan kalsit di dalam batu tersebut. Namun pelapisan pada batu
gamping bagian atas mengandung sejumlah fraksi silika yang lebih tahan
terhadap air sehingga proses pengikisan juga dapat berlangsung lama. Penelitian-
penelitian yang selama ini dilakukan biasanya menggunakan proses preparasi
standar yaitu menggunakan pelarut asam basa kuat seperti HCl, HF, HNO3, dan
KOH untuk mengikis batuan. Meskipun menggunakan asam basa kuat kuat,
serbuk sari memiliki struktur yang kokoh sehingga dapat diperoleh dengan utuh.
Agar diperoleh serbuk sari yang terkandung dalam batuan, perlu untuk mengikis
dulu batuan tersebut dengan cara menghilangkan za-zat penyusun maupun zat
pengotornya sehingga didapat sampel serbuk sari murni. Silika cukup sulit
dihilangkan walaupun dengan asam-aam kuat kecuali HF. Meskipun memberikan
hasil yang cukup baik, penggunaan HF murni untuk menghilangkan silika
membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena harga HF yang mahal. Dewasa
kini, palinologi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun,
kendala-kendala yang dihadapi oleh palinologis di Indonesia pada dasarnya sama
dengan kendala yang dihadapi oleh peneliti di bidang lain yaitu terkait dana yang
cukup mahal. Untuk preparasi palinologi sendiri membutuhkan dana yang lebih
besar dibandingkan dengan preparasi fosil lain termasuk penggunaan alat dan
bahannya.

Di perguruan tinggi, mahasiswa masih jarang yang meneliti mengenai


palinologi dikarenakan prosesnya yang sedikit panjang dan bahan – bahan yang
digunakan juga cukup berbahaya serta biayanya yang tinggi. Pada penelitian ini,
akan dilakukan preparasi palinologi dengan menggunakan metode yang
dikembangkan yakni dengan cara mengganti beberapa larutan pro analisis dengan
menggunakan beberapa larutan teknis yang nantinya akan dibandingkan
kandungan serbuk sari dalam preparat yang memakai metode standar dengan
metode yang dikembangkan. Dari hasil tersebut, akan diketahui seberapa
efisienkah penggunaan larutan teknis dalam penanganan preparasi palinologi
serta berapa persen nilai ekonomisnya jika menggunkaan metode yang
dikembangkan.

B. SEJARAH

Sejarah palinologi di duma diawali dengan penemuan mikroskop pada Abad


XVII oleh van Leuwenhoek (Rahardjo, 2014). Pada tabun 1665, Grew melakukan
pengamatan partikel-partikel kecil yang terkandung dalam anthera bunga (kepala
sari), di samping itu Malphigi juga melakukan penelitiao terkait struktur dinding
polen. Sprengel (1812) meneliti cara penyebaran polen terutama oleh angin dan
serangga. Tabun 1837 Geppert, Ehrenberg, Benni-Kidston dan Potonie untuk
pertamakali menemukan dan mempelajari fosil polen, sedangkan Frueh
mempelajari pol len dari sedimen rawa pada tahun 1885.Ana lisa statistik untuk
menghitung polen tertentu dilakukan Weber (1896), sedangkan Lagerheim (1905)
menggunakan statistik untuk menghitung seluruh polen dalam sedimen. Von Post
(1916) mulai membuat diagram pollen dan interpretasinya untuk lingkungan
pengendapan. Polen mulai digunakan untuk mempelajari sedimen kuarter di
Scandinavia dan untuk eksplorasi batubara di tahun 1930. Pada tahun 1944,
istiJah "Palynology"mulai diperkenalkan oleh Hyde dan William. Tahun 1950
hingga sekarang polen dipakai untuk eksplorasi minyak bwni dandigunakan
untuk herbagai disiplin iImu. Perkembangan studi palinologi di Indonesia dimulai
sejak tahun 1933 oleh Polak rnelalui penelitian sedimen gambut berumur Resen
di Jawadan Sumatera (Rahardjo, 20 14).Tabun 1968 Germeraad, Hoping dan
Muller meneliti sedimen Tersier di daerab tropis termasuk Indonesia dan
membagi polen Tersiermenjadi 3 zona yaitu zona Florschuetzia trilobata, zona
Florschuetzia levipoli dan zona Florschuetzia meridionalis. Penelitian pollenpada
sedimen Kuarter dilakukan oleh Flenley (1973) dan Morley (1976). Pada tahun
1977, Morley memulai melakukan penelitian fosil polen pada endapan sedimen
Tersier dan mencoba menyusun zonasi pollen di Indonesia yaitu mem bagi zona
Florschuetzia meridionalis menjadi 2 subzona (Rahardjo, 2014). Peneliti-peneliti
Indonesia mulai mempelajari polen Tersier dan Kuarter pada tahun 1985.Tahun
1991, Morleymenyempumakan zonasi palinologinya menjadi 6 zona dan tabun
1994zonasi palinologi, foraminifera dan nannofossil untuk sedimen Tersier di
Indonesia yang dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi (ITB &
UGM), Lembaga Penelitian (P3G, PPPGL, Lemigas) melalui Riset Unggulan
Terpadu (RUT) dan didukung data pem boran dari Pertam ina dan beberapa
perusabaan minyak.

C. KETERDAPATAN FOSIL POLEN DAN SPORA

Jika kita menilik sedikit teman-teman spora dan pollen (mikrofosil yang lain)
maka akan kita dapatkan bahwa lingkungan pengendapan spora dan pollen
memiliki lingkungan pengendapan yang berbeda dengan mikrofosil yang lain.
Misalnya saja, Foraminifera Bentonik atau Planktonik biasa terendapkan di
lingkungan shelf, batial, abisal dan transisi (jumlahnya relatif sedikit). Yang
paling dominan menjadi penciri lingkungan pengendapan terutama adalah
foraminifera bentonik karena hidupnya yang menambat di bawah permukaan air,
sedangkan foraminifera planktonik hidupnya mengambang atau melayang di
perairan sehingga sulit untuk menjadi penciri lingkungan pengendapan, lebih
cocok menjadi penentu umur kapan sedimen diendapkan. Sedangkan hubungan
antara perbandingan jumlah foraminifera planktonik dan bentonik adalah,
semakin besar nilai perbandingan foraminifera planktonik berbanding bentonik
maka lingkungan pengendapannya akan semakin dalam (marine yang lebih
dalam). Jumlah kehidupan foraminifera di laut atau marine sangat dipengaruhi
oleh intensitas sinar matahari yang masuk, okesigen maupun kandungan nutrisi di
laut.

Selanjutnya Nannoplankton biasanya terendapkan di lingkungan marine


dimana dia hidup tidak menambat dengan ukurannya yang sangat kecil.
Radiolaria biasa terendapkan di lingkungan batial hingga abisal dan hidup
menambatkan diri di bawah permukaan air. Kemudian Diatomea yang berasal
dari tanaman diatomea banyak terendapkan di lingkungan transisi hingga marine.
Nah, spora dan pollen sendiri merupakan mikrofosil penciri lingkungan darat
hingga transisi. Oleh karena itu jika kita menemukan batuan yang berasal dari
lingkungan darat jangan pernah bilang kalo batuan itu tidak mengandung fosil,
buktinya ada fosil spora dan pollen, yang pada umumnya terendapkan pada
sedimen berbutir halus.

D. ASAL-USUL POLEN DAN SPORA

Polen atau serbuk sari merupakan bagian bunga yang berupa kantung
berisi gametofit jantan pada tumbuhan berbunga Anthophyta baik Gymnospermae
(Pinophyla) maupun Angiospermae (Magnoliophyta) (Puspaningrum, 2008),
sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler seperti alga, jamur,
lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah lain yaitu tumbuhan lumut
(Bryophyta) dan paku tPteridophytai (Suedy,2012). Adapun contob bentuk polen
dan spora dapat dilihat pada gambar l. Polen dan spora berasal dari tumbuhan
yang hidup pada suatu lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk
merekonstruksi flora dan vegetasi yang berada disekelilingnya (Suedy, 2012).
Bukti palinologi (palinomorf) merepresentasikan sebaran penyusun vegetasi
beserta kondisi lingkungan nya. Flenley (1979) dan Morley (1990) menyatakan
bahwa dengan diketahui tipe polen dan spora selanjutnya dapat dirunut dan
diketahui takson tum buhan penghasil. Penggunaan bukti palinologi berupa fosil
polen dan spora merupakan cara yang tepat, karena dapatmengungkap latar
belakang perubahan vegetasi dan lingkungan suatu daerah pada satu periode
waktu tertentu (Suedy, 2012).

Gambar 1. A. Polen Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L) yang merupakan


kelompok tumbuhan Angiospermae; B. Spora Suplir (Adiantum
trapeziforme) yang termasuk kelompok tumbuhan paku (Nugroho,
2014).

E. MORFOLOGI POLEN DAN SPORA

Polen maupun spora seeara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan


kenampakan fisik atau morfologinya. Polen dan spora memiliki struktur, bentuk
dan pola yang kompleks, oleh karena itu dibutuhkan terminologi khusus
(Puspaningrum, 2008) (Gambar 2). Karakter utama dari polen dan spora yang
digunakan untuk determinasi dan identifikasi adalah unit, aperture, ukuran dan
bentuk, dan ornamentasi pada eksin (Gambar 7).

Gambar 2. Terminologi dan karakter dalam mendeskripsikan polen dan spora


(Tschudy & Scott, 1969; Puspaningrum, 2008; Septriono Hari
Nugroho, 2014).

1. Unit Polen dan Spora


Unit polen dibedakan alas monad, diad, tetrad, dan polyad. Selain itu ada
pula polen yang dilepaskan dari tumbuhan dalam bentuk massulau atau
polinia. Kapp (1969) dan Moore & Webb (J978) mengungkapkan bahwa polen
tetrad dibedakan ke dalam lima tipe, yaitu: tetrahedral, tetragonal, rhomboid,
decussata, dan tetrad silang

Suedy (2012) mengungkapkan bahwa butir polen maupun spora


mempunyai bentuk, ukuran, dan ornamentasi eksin tertentu. Dengan
mengetahui, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan suatu butir polen dan
spora maka dapat diketahui tingkat takson tumbuhan penghasilnya, misalnya
tumbuhan Angiospermae yang memiliki polen polyad diketahui ada lima suku,
yaitu: Annonaceae, Leguminosae, Hippocrateaceae (pada Marga Hippoeraea),
Asclepiadaceae dan Orchidaceae. Secara umum ada dua golongan tumbuhan
berbunga berdasar sifat polen, yaitu:

a Stenapalynous family: kelompok tumbuhan yang polennya seragam atau


variasi sangat kecil. Contoh: suku Poaceae (Gramineae). Sifat polen suku
Poaceae adalah monoporate dengan ornamentasi (skulptur) psilate dan
skabrat.
b Eurypalynousfamily: kelompok tumbuhan yang polennya sangat
bervariasi. Contoh: suku Arecaceae (Palmae). Sifat polen suku Arecaceae
adalah: monocolpate, sebagian tanpa apertura, ornamentasi bervariasi dari
psilale sampai echinate (Kapp, 1969; Moore & Webb, 1978; Septriono
Hari Nugroho, 2014).

2. Ukuran dan bentuk Polen dan Spora


Bentuk butir polen dapat dideskripsi menggunakan kenampakan pada
pandangan polar dan pandangan ekuatorial (Gambar 4).

Gambar 4. A.Pandangan ekuatorial; B.pandangan polar (Sengbusch, 2005;


Septriono Hari Nugroho, 2014)

Morley (1990) mengklasifikasikan pandangan ekuatorial polen dan spora


menjadi 8 bentuk yaitu: circular (oval), rhomboidal, apiculate, constricted oval
circular, constricted rectangular, compressed oval, depressed oval,
rectangular (Gambar 5). Pada pandangan polar dapat dibedakan menjadi 13
bentuk: circular, semi-angular; inter semi-angular, angular, inter angular;
semi-lobate, inter semi-lobate, lobate, inter lobate, hexagonal, inter hexagonal,
sub-angular; inter sub-angular (Gambar 5).

Polen mempunyai struktur dinding kompleks yang merefleksikan


adaptasi fungsional dari suatu spesies terhadap habitat, substansi pembentuk
dinding serbuk sari ini disebut sporopolenin. Sporopolenin sangat stabil dan
resisten terhadap berbagai pengaruh lingkungan (Suedy, 2012). Pada dasarnya
struktur dinding polen dan spora mempunyai dua lapisan dasar (Garnbar 6),
yaitu intine (intin) dan exine (eksin). Intin atau lapisan tengah langsung
berhubungan dengan sitoplasma, yaitu bagian dalam polen atau spora dan akan
hilang setelah polen atau spora tersebut mati. lntin tersusun dari selulosa dan
mcmpunyai struktur mirip dengan dinding sel tumbuhan pada umumnya. Eksin
merupakan bagian luar butiran dengan permukaan berupa struktur yang
beraneka rag am yang bersifat tahan terhadap daya destruktif, tekanan, suhu,
kondisi asam dan oksidasi alarni dalam lapisan batuan, maupun tahan terhadap
keadaan anaerob dan oksidasi selama proses fosilisasi (Faegri & Iversen,
1989). Lapisan eksin terdiri dan lapisan endeksin (eksin dalam) dan lapisan
ekteksin (eksin luar) (Gambar 7). Ekteksin tersusun tiga lapisan yaitu tektum
(lapisan terluar), kolumela atau bakula berbentuk tiang keeil yang mendukung
tektum dan lapisan kaki sebagai lapisan paling dasar. Butiran dengan tektum
yang menutupi seluruh permukaan butiran disebut tektat, jika tidak mempunyai
tektum disebut intektat dan butir yang mempunyai tektum hanya menutupi
sebagian kecil permukaan disebut semitektat (Morley, 1990; Septriono Hari
Nugroho, 2014).

Gambar 5. Bentuk polen dan spora (Morley, 1990; Septriono Hari Nugroho,
2014)
Gambar 6. Skema susunan dinding polen (Morley, 1990; Septriono Hari
Nugroho, 2014)

Gambar 7. Morfologi eksin dinding polen (Morley, 1990; Septriono Hari


Nugroho, 2014)
Menurut Kapp (l969), Moore & Webb (1978) tingkatan bentuk polen dan
spora ditentukan pula berdasarkan indeks perbandingan perbandingan antara
panjang aksis polar (P) dan diameter ekuatorial (E), atau lndeks P/E (Tabel 1).
Berdasarkan ukurannya, secara umum ukuran fosil polen dan spora
bervariasidari sangat kecil (< 10 im) sampai dengan ukuran raksasa (>200 im),
namun yang umum ditemukan berukuran antara 20-50 im (Erdtman, 1952).

Tabel 1. Nilai indeks perbandingan diameter polar dan ekuatorial (P/E) polen
dan spora (Kapp 1969; Moore & Webb 1978; Septriono Hari Nugroho, 2014)

Indeks P/E Bentuk


>2,0 Perprolate
1,33-2,0 Prolate
0,75-1,33 Subspheroidal
0,5-0,7 Oblate
<0,5 Peroblate

3. Jumlah dan bentuk apertura


Apertura merupakan salah satu karakter polen yang penting. Apertura
adalah suatu area tipis pada eksin yang berhubungan dengan perkecambahan
polen (Suedy, 2012). Bentuk butir polen juga terkait erat dengan tipe
aperturanya, contohnya butir serbuk sari dengan tipe apertura tricolpate akan
cenderung berbentuk bulat hingga bulat telur, sedangkan pada polen yang
aperturanya monosulkat akan cenderung berbentuk seperti perabu (Tabel 2).
Apertura polen dibedakan menjadi dua tipe, yaitu celah memanjang disebut
colpus/colpi dan berbentuk bulat disebut porus/pori, serta dengan beberapa
variasi apertura antara bentuk colpus dan porus (Tabel 2, Gambar 8).

Tabel 2. Tipe-tipe apertura polen dan ciri-cirinya (Kapp, 1969; Moore &
Webb, 1978; Septriono Hari Nugroho, 2014)
Tipe Apertura Ciri-ciri
Inapertura Tidak mempunyai apertura
Monocolpate Mempunyai 1 apertura berbentuk colpus
Monoporate Mempunyai 1 apertura berbentuk porus
Tricolpate Mempunyai 3 apertura berbentuk colpus
Stephanocolpate Mempunyai >3 colpus yang terletak meridional/sejajar
Pericolpate Mempunyai >3 colpus yang terletak menyebar
Tricolporate Mempunyai 3 apertura berbentuk gabungan colpus-porus
Triporate Mempunyai 3 apertura berbentuk porus
Stephanoporate Mempunyai >3 porus terletak sejajar pada zona ekuatorial
Periporate Mempunyai >3 porus yang terletak menyebar
Syncolpate Apertura berbentuk colpus bertemu pada ujung-ujungnya
Hetercolpate Apertura berbentuk antara porus dan colpus/Pseudocolpi

Gambar 8. K1asifikasi polen berdasarkan apertura (Tschudy & Scott, 1969;


Septriono Hari Nugroho, 2014)

Pada tumbuhan Pteridophyta maupun Bryophyta, spora tidak memiliki


apertura, namun mempunyai suatu area tipis yang menyerupai apertura pada
spora adaJah bekas luka tetrad disebut laesura yang tampak seperti garis pada
sisi luar. Ada 3 (tiga) bentuk yaitu alete, monolete dan trilete (Gambar 9).
Gambar 9. Klasifikasi spora berdasarkan jumlah laesura.
a. alete, b. monoiete, c. Trilete
4. Bentuk dan ornamentasi pada eksin
Tipe ornamentasi eksin polen disusun berdasar ukuran, bentuk, dan
susunan unsur ornamentasi. Ornamentasi merupakan bentuk eksternal eksin
tanpa menunjukkan susunan eksin bagian dalam. Menurut Faegri & Iversen
(1989), ornamentasi termasuk dalam komponen eksin yang timbul karena
adanya keanekaragaman bentuk morfologi dari tektum. Beberapa bentuk
omamentasi antara lain psilate, verrucate, scabrate, perforate, foveolate,
gemmate, clavate, echinate, regulate, reticulate, baculate, dan striate (Tabel 3
dan Gambar 10).

Tabel 3. Tipe ornamentasi eksin polen dan ciri-cirinya (Faegri & Iversen, 1989;
Septriono Hari Nugroho, 2014)
Ornamentasi Ciri-ciri
Psilate Seluruh permukaan halus, rata dan licin tidak berelief
Perforate Permukaan berlubang dengan ukuran lubang <1µm
Foveolate Permukaan berlubang dengan ukuran lubang >1µm
Scabrate Unsur ornamentasi isodiametrik/bintik ukuran <1µm
Verrucate Unsur ornamentasi isodiametrik/bintik ukuran >1µm
Gemmate Unsur ornamentasi isodiametrik/tonjolan berkerut/seperti
lingkaran ukuran >1µm
Clavate Unsur ornamentasi seperti tangkai dengan dasar menyempit
dan ukuran tinggi lebih besar daripada lebarnya
Pilate Unsur ornamentasi seperti clavate tetapi bagian apikalnya
menggembung
Echinate Unsur ornamentasi berbentuk seperti duri
Rugulate Unsur ornamentasi memanjang horizontal dengan pola tidak
beratura
Striate Unsur ornamentasi memanjang horizontal dengan susunan
sejajar antara satu dengan lainnya
Reticulate Unsur ornamentasi membentuk pola seperti jala
Baculate Unsur ornamentasi berbentuk silinder tinggi dan ramping

Traverse (1988), dengan teknik luxobscuritas analysis untuk mengamati


ornamentasi, yaitu menggunakan perbesaran mikroskop 90-100 kali, fokus
digerakkan turun naik untuk mengetahui ornamentasi serta morfologi butiran
polen dan spora. Struktur dinding polen khususnya bagian eksin merupakan
salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi (Suedy, 2012).
Pencandraan tipe ornamentasi eksin dibuat berdasar ukuran, bentuk, dan
susunan unsur ornamentasi. Ciri utama butir polen yang seriog dipakai dan
mempunyai nilai taksonomi adalah ukuran, bentuk, ornamentasi dan apertura
(Morley, 1990; Birks & Birks, 2005; Septriono Hari Nugroho, 2014).

F. CARA SPORA DAN POLLEN TERPRESERVASI DENGAN BAIK

Lingkungan darat sendiri tidak semua dapat mempreservasi spora dan


pollen secara baik hingga menjadi fosil. Dalam hal ini si spora dan pollen harus
terbebas dari disintegrasi (kehancuran), evaporasi dimana hilangnya satu atau
lebih unsure penyusun spora dan pollen (C,H,O,N), dehidrasi atau kehilangan
kandungan air karena penguapan, hidrolisis atau unsure-unsurnya mengalami
pemecahan dan juga teroksidasi. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan spora dan
pollen gagal memfosil. Spora dan pollen akan terpreservasi dengan baik di
lingkungan darat seperti endapan sungai yang berbutir halus (lanau-lempung),
oxbow lake atau danau, flood plain, endapan delta di bagian lower delta plain
(interdistributary channel), mangrove belt (swamp belt) yang kesemuanya
memiliki ukuran butir sedimen halus yaitu kisaran lanau hingga lempung. Lanau
dan lempung dapat mempreservasi dengan baik karena porositas batuannya yang
kecil, ukuran di atasnya misalnya batupasir tidak akan mempreservasi dengan
baik karena porositasnya yang jauh lebih besar dari ukuran spora dan pollen itu
sendiri. Lalu, bagaimana kita mengetahui bahwa fosil yang kita temukan adalah
spora atau pollen. Dalam menganalisa atau mengenal spesies, maka yang kita
gunakan adalah ciri morfologinya baik itu spora dan polen maupun mikrofosil
yang lain, semunya berdasarkan cirri morfologi. Jika ingin mendapatkan data-
data dari spora dan pollen maka sampel yang dapat kita ambil adalah dari hasil
core/side wall core, sampel cuttingdari pemboran maupun bisa juga dari surface
stratigraphy.

G. PEMANFAATAN PALINOLOGI DALAM DISIPLIN ILMU LAIN

Palinologi banyak digunakan dalam aplikasi yang berhubungan dengan


disiplin ilmu lain, contohnya geokronologi, biostratigrafi, perubahan iklim,
migrasi, evolusi flora, stratigrafi, paleoekologi, paleoklimatologi dan arkeologi
(Suedy, 2012). Fosil polen dan spora merupakan sumber data palinologi yang
sangat penting dan dapat diterapkan secara luas, karena:
a Dapat ditemukan melimpah dan terawetkan dalam sedimen serta jumlah
dapat dihitung sehingga menghasilkan suatu spektrum,
b Berukuran kecil dan melimpah sehingga hanya diperlukan sedikit sedimen
sebagai sampel yang memadai,
c Resisten terhadap kerusakan baik oleh asam, kadar garam, suhu dan tekanan
lain sehingga dapat tersimpan pada berbagai keadaan,
d Dapat diidentifikasi dengan bantuan mikroskop sehingga secara taksonomi
dapat diketahui taksa penghasilnya,
e Berasal dari tumbuhan yang membentuk vegetasi suatu area sehingga fosil
polen dan spora dapat digunakan untuk merekontruksi vegetasi baik lokal
maupun regional yang berada di sekeliling lingkungan pengendapan (Moore
& Webb 1978; Morley 1990; Birks & Birks 2005; Traverse 2007; Septriono
Hari Nugroho, 2014).

Rekaman polen dan spora merupakan proxy untuk perubahan vegetasi di


masa lalu yang dapat dijadikan sebagai indikator variasi iklim (Rahardjo, 1993;
Leyden, 2002; Gajewski, 2002; Viau et al., 2006; Hall, 2009). Rekonstruksi
perubahan iklim masa lalu (seribu tabun terakhir) yang beresolusi tinggi menjadi
sangat penting di akhir dekade ini (Urrutia, 2010). Penelitian polen tidak hanya
sebagai proxy untuk indikator perubahan iklim, tetapi dapat juga digunakan untuk
menginterpretasikan sejarah perubahan iklim (Tingley, 2011). Selain itu polen juga
merupakan proxy yang cocok untuk merekonstruksi perubahan muka laut di
lingkungan tropis (Engelhart, 2007). Studi palinologi tidak hanya menganalisis
perubahan vegetasi akibat variasi ikIim dan fluktuasi muka laut (sea level) yang
terjadi pada periode Kuarter, tetapi juga memberikan informasi tentang perubahan
tingkat erosi (Nair, 1966; Birks & Birks, 1980; Williams et al., 1998; Newby et
al., 2000; Ajaykumar et al, 2012; Septriono Hari Nugroho, 2014).

H. KESIMPULAN

Berdasarkan asal usulnya, polen merupakan bagian bunga berisi gametofit


jantan pada tumbuhan berbunga, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan
tumbuhan vaskuler tingkat rendah dan non vaskuler. Polen dan spora berasal dari
tumbuhan yang akan membentuk vegetasi pada suatu lingkungan tertentu,
sehingga dapat digunakan untuk merekonstruksi flora dan vegetasi yang berada
disekelilingnya. Polen dan spora memiliki struktur, bentuk dan pola yang
kompleks, oleh karena itu dibutuhkan terminologi khusus. Beberapa sifat yang
dapat digunakan dalam determinasi polen dan spora diantaranya adalah unit,
ukuran dan bentuk, jumlah dan bentuk apertura, serta bentuk dan omamentasi
pada eksin. Polen dan spora member; gambaran tentang dinamika vegetasi dan
lingkungan pada masa lampau yang berguna untuk merekonstruksi kondisi masa
lampau dan memprediksi kondisi dimasa akan datang melalui pola perubahan
maupun dinamika yang terjadi dari masa lalu, sekarang dan akan datang.
(Septriono Hari Nugroho, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

 Anomim. 2014. PanoIogi. https://www.geomacorner.com diakses


tanggal 18 Juni 2019.

 Erdtman, G 1952. Morphology and Taxonomy Angiospermae: An


Introduction 10 Palynology. The Botanica Company Wather,
Massachusetts, USA.

 Rahardjo,A.T. 1993.StudiKuarter: Keterpaduan Berbagai Bidang


Ilrnu. Buletin Geologi ITB 23(2):58-61.

 Rahardjo, A.T. 2014. Bahan ajar kuliah Palinologi. Program Pasca


Sarjana Teknik Geologi, ITB, Bandung: 301p.

Anda mungkin juga menyukai