Disusun oleh :
1. Ratna (113119019)
2. Abdul Rohman Al Aziz (113119043)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Mahasiswa dapat memahami tentang terapi bermain pada anak usia sekolah yaitu usia 6
tahun sampai 12 tahun.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat memahami tentang konsep pertumbuhan dan perkembangan anak
b. Mahasiswa dapat memahami konsep bermain pada anak
c. Mahasiswa dapat menerapkan konsep permainan pada anak usia 6 tahun sampai 12 tahun
1.3 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penulisan pengamatan hasil penelitian ini adalah:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : Konsep Tumbuh kembang yang terdiri dari Pengertian Tumbuh Kembang, Ciri Proses
Tumbuh Kembang, Prinsip Tumbuh Kembang, Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan
Anak, Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak,
Teori Tumbuh Kembang dan Konsep Bermain yang terdiri dari Pengertian Bermain,
Metode Bermain, Tahapan Perkembangan Bermain, Fungsi Bermain terhadap
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Bermain
pada Anak, Pedoman untuk Keamanan Bermain, Terapi Bermain pada Anak yang
Dihospitalisasi.
BAB III : Program Bermain Anak Usia Sekolah
BAB IV : Kesimpulan dan Saran
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
Istilah tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling
berkaitan dan sulit untuk dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah besar, jumlah, ukuran atau dimensi
tingkat sel, organ, maupun individu, yang bias diukur. Sedangkan perkembangan adalah
bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur sebagai hasil dari proses kematangan (Soetjiningsih, 1995).
Whaley dan Wong dalam Supartini (2004), mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu
peningkatan jumlah dan ukuran, sedangkan perkembangan menitikberatkan pada perubahan
yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan
kompleks melalui proses maturasi dan pembelajaran.
Menurut Soetjiningsih, tumbuh kembang anak dimulai dari masa konsepsi sampai dewasa
memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu :
4
1. Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak konsepsi sampai maturitas atau dewasa
yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan
2. Dalam periode tertentu terdapat percepatan dan perlambatan dalam proses tumbuh kembang pada
setiap organ tubuh berbeda
3. Pola perkembangan anak adalah sama tapi kecepatannya berbeda antara anak satu dengan lainnya
4. Aktivitas seluruh tubuh diganti dengan respon tubuh yang khas oleh setiap organ
2. Perkembangan adalah sesuatu yang terarah dan berlangsung terus menerus dalam pola
sebagai berikut :
- Cephalocaudal, pertumbuhan berlansung terus menerus dari kepala ke arah bawah bagian
tubuh
- Differentiation, ketika perkembangan berlangsung terus yang mudah ke arah yang lebih
kompleks
3. Perkembangan adalah hal yang kompleks, dapat diprediksi, terjadi dengan pola yang
konsisten dan kronologis
2.1.4 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun)
1. Motorik
Lebih mampu menggunakan otot-otot kasar daripada otot –otot halus. Misalnya loncat
tali, badminton, bola volly, pada akhir masa sekolah motorik halus lebih berkurang, anak
laki-laki lebih aktif daripada anak perempuan.
5
2. Sosial emosional
Mencari lingkungan yang lebih luassehingga cenderung sering pergi dari rumah hanya
untuk bermain dengan teman, saat ini sekolah sanggat berperan untuk membentuk pribadi
anak, disekolah anak harus berinteraksi dengan orang lain selain keluarga sehingga peran
guru sangatlah besar.
3. Pertumbuhan fisik
2.1.5 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1. Faktor herediter
Keturunan merupakan faktor yang tidak dapat untuk diubah ataupun dimodifikasi, ini merupakan
modal dasar untuk mendapatkan hasil akhir dari proses tumbang anak. Melalui instruksi genetic
yang terkandung didalam sel telur yang telah dibuahi dapatlah ditentukan kualitas dan kuantitas
pertumbuhan. Termasuk dalam faktor genetic ini adalah jenis kelamin dan suku bangsa /ras.
Misalnya, anak keturunan bangsa eropa akan lebih tinggi dan lebih besar jika dibandingkan
dengan keturunan asia termasuk indonesia, pertumbuhan postur tubuh wanita akan berbeda
dengan laki-laki.
2. Faktor lingkungan
1) Lingkungan internal
Hal yang berpengaruh diantaranya adalah hormon dan emosi. Ada tiga hormon yang
mempengaruhi pertumbuhan anak, hormon somatotropin merupakan hormon yang
mempengaruhi jumlah sel tulang, merangsang sel otak pada masa pertumbuhan,berkurangnya
hormon ini dapat menyebabkan gigantisme. Hormon tiroid akan mempengaruhi pertumbuhan
tulang, kekurangan hormon ini akan menyebabkan kretinesme dan hor,on gonadotropin yang
berfungsi untuk merangsang perkembangan seks laki-laki dan memproduksi spermatozoa,
sedangkan esterogen merangsang perkembangan seks sekunder wanita dan produksi sel telur.
Jika kekurangan hormon gonadotropin ini akan menyebakan terhambatnya perkembangan
seks.
6
Terciptanya hubungan yang hangat dengan orang lain seperti ayah, ibu, saudara, teman sebaya,
guru dan sebagainya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi, sosial, dan
intelektual anak. Cara seseorang anak dalam berinteraksi dengan orang tua akan
mempengaruhi interaksi anak diluar rumah. Pada umumnya anak yang perkembangannya baik
dan mempunyai intelegensi yang tinggi dibandingkan dengan anak yang tahap
perkembangannya terhambat.
2) Lingkungan eksternal
Dalam lingkungan eksternal ini banyak sekali yang mempengaruhi, diantaranya adalah
kebudayaan. Kebudayaan suatu daerah akan mempengaruhi kepercayaan, adat kebiasaan dan
tingkah laku dalam bagaimana oarang tua mendidik anaknya.status sosial ekonomi keluarga
juga berpengaruh, orang tua yang ekonominya menengah ke atas dapat dengan mudah
menyekolahkan anaknya disekolah-sekolah berkualitas. Sehingga mereka dapat menerima dan
mengadopsi cara-cara baru bagimana cara merawat anak dengan baik. Status nutrisi
pengaruhnya juga sangat besar, orang tua dengan status ekonomi lemah bahkan tidak mampu
memberikan makanan tambahan buat bayinya, sehingga bayi akan kekurangan asupan nutrisi
yang akibat selanjutnya daya tahan tubuh akan menurun dan akhirnya bayi/anak akan jatuh
sakit.
Olahraga yang teratur dapat meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, aktifitas fisiologis dan
stimulasi terhadap perkembangan otot-otot, posisi anak dalam keluarga juga berpengaruh,
anak pertama akan menjadi pusat perhatian orang tua, sehingga semua kebutuhan dipenuhi
baik itu kebutuhan fisik, emosi, maupun sosial.
Adanya pelayanan kesehatan yang memadai yang ada disekitar lingkungan dimana anak
tumbuh dan berkembang. Diharapkan tumbang anak dapat dipantau. Sehingga apabila terdapat
sesuatu hal yang sekiranya meragukan atau terdapat keterlambatan dalam perkembangannya.
Anak dapat segera mendapatkan pelayanan kesehatan dan diberikan solusi pencegahannya.
7
2.1.6 Teori Tumbuh Kembang
Tahapan perkembangan :
Jean Piaget lebih menekankan kepada perkembangan kognitif atau intelektual. Piaget
menyatakan perkembangan kognitif berkembang dengan proses yang teratur dengan 4
urutan/tahapan melalui proses ini:
1. Assimilasi, adalah proses pada saat manusia ketemu dan berekasi dengan situasi baru dengan
mengunakan mekanisme yang sudah ada. Pada tahap ini manusia mendapatkan pengalaman
dan keterampilan baru termasuk cara pandang terhadap dirinya dan duania disekitarnya
2. Akomodasi, merupakan proses kematangan kognitive untuk memecahkan masalah yang
sebelumnya tidak dapat dipecahkan. Tahap ini dapat tercapai karena ada pengetahuan baru
yang menyatu.
3. Adaptasi, merupakan kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan
2.2 Konsep Bermain
Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikan
keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, memersiapkan diri
untuk berperan dan menjadi dewasa.(Aziz Alimul Hidayat,2008).
Bermain merupakan cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya
yang tidak disadari ( Miller B.F dan Keane, 1983 ).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan sendiri untuk
memperoleh kesenangan ( Foster, 1989 ). Bermain adalah cerminan kemampuan fisik,
8
intelektual, emosional dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar
karena dengan bermain , anak akan berkata-kata, belajar memnyesuaikan diri dengan
lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak, serta suara .
(Wong, 2000).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah aktivitas yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena bermain sama dengan kerja
pada orang dewasa, yang dapat menurunkan stres anak, belajar berkomunikasi dengan
lingkungan, menyesuaikan diri dengan lingkungan, belajar mengenal dunia dan
meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial anak.
Anak dalam keadaan sakit atau yang mendapat perawatan dirumah sakit umumnya
mengalami krisis dikarenakan perubahan lingkungan yang terjadi pada dirinya. Krisis
tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti usia perkembangan anak, pengalaman
masa lalu tentang penyakit, dan rasa terancam karena perawatan. Stress yang dialami
seorang anak dirawat dirumah sakit perlu mendapatkan perhatian dan pemecahannya agar
saat dirawat seorang anak mengetahui dan kooperatif menghadapi permasalahan yang terjadi
saat dirawat. Salah satu cara untuk menghadapi permasalahan tersebut adalah bermain
dengan tujuan mengurangi rasa sakit akibat tindakan invansif yang diterima.
Gibon dan Boren mendeskripsikan 3 tipe permainan yang bermanfaat untuk mengurangi
rasa stress anak, yaitu:
1. Bermain rekreasi atau bermain dengan tujuan bersenang-senang yaitu bermain bemain
spontan yang tidak terstruktur.
2. Bermain terapetik yaitu bila orang dewasa menstruktur aktifitas untuk tujuan tertentu,
biasanya sebelum atau sesudah pengobatan
3. Bermain dengan tujuan Terapi yaitu, bermain yang bertujuan meninterprestasiakan
permainan anak dan merekomendasikan intervensi yang sesuai. Tipe bermain ini
bertujuan untuk untuk memberikan pengalaman pada anak menyelesaiakan konflik
internal, dan tipe ini merupakan komponen penting pendekatan psikososial untuk
merawat anak.
Sasaran Usia Sekolah ( 6-12 tahun )
Dalam usia sekolah tuntutan yang dihadapi oleh anak semakin banyak. Tekanan sekolah,
lingkungan sebaya (peer group), serta tuntutan belajar yang semakin tinggi membuat anak harus lebih
9
mampu menghadapi tuntutan sosial masyarakat. Bahkan tidak jarang orang tua menuntut anak untuk
berprestasi tinggi, dan adakalanya harapan orang tua melebihi kapasitas anak untuk dapat mencapainya.
Berbagai kondisi sosial yang penuh tuntutan baik dari sekolah, teman sebaya maupun orang tua dapat
menimbulkan berbagai permasalahan bagi anak salah satunya dalam proses belajar anak sulit
berkonsentrasi, perstasi anak menurun bahkan motivasi anak untuk belajar menurun. Berbagai keluhan
tersebut merupakan sebagian kecil keluhan rutin yang kerap disampaikan oleh para orang tua pada
konselor. Tidak jarang bahakan orang tua justru menekankan keluhan bahwa anak-anak mereka terlalu
senang bermain, sehingga kurang belajar. Padahal justru melalui bermain, mereka bisa belajar lebih
banyak lagi. Usia sekolah adalah usia 6 sampai 12 tahun.
2.2.2 Metode Bermain
Permainan untuk anak-anak tidak perlu memakai alat yang sulit dijangkau tempatnya
apalagi harganya. Cukup dengan barang-barang atau alat-alat di sekitar kita bisa kita gunakan
untuk memperkaya permainan anak. Misal ; bola, lompat tali, kertas origami, dan lain-lain. Yang
terpenting kita bisa meramu dan menggunakan alat sesuai dengan keinginan anak.
Pelatihan anak dengan metode bermain, menoton film dan diskusi dapat membuat anak
lebih berani tampil di depan umum, percaya diri, dapat menghargai orang lain, dan dapat melihat
kekurangan diri.
Acara pementasan juga dapat menjadi salah satu pilihan yang sangat efektif untuk
membentuk kerja sama anak, mengekspresikan diri, dan anak dapat memberikan apresiasi
terhadap karya orang lain. Nilai-nilai yang diajarkan dalam model pendidikan ini dapat
diterapkan oleh anak dalam kegiatan sehari-hari.
2.2.3 Tahapan Perkembangan Bermain
a. Tahap eksplorasi
Hingga bayi berusia sekitar 3 bulan, permaianan mereka terutama terdiri atas melihat orang
dan benda serta melakukan usaha acak untuk menggapai benda yang diasungkan
dihadapannya. Selanjutnya mereka akan mengendalikan tangan sehingga cukup
memungkinkan bagi mereka untuk mengambil, memegang dan memperlajari benda kecil.
Setelah mereka dapat merangkak atau berjalan, mulai memperhatikan apa saja yang berada
dalam jarak jangkauannya
b. Tahap permainan
10
Bermain barang mainan dimuali pada tahun pertama dan mencapai puncaknya pada usia antar
5 dan 6 tahun. Pada mulanya anak hanya mengeksplorasi mainannya. Antara 2 dan 3 tahun
mereka membayangkan bahwa mainannya mempunyai sifat hidup, dapat bergerak, berbicara
dan merasakan. Dengan semakin berkembangnya kecerdasan anak, mereka tidak lagi
mengangap benda mati sebagai sesuatu yang hidup dan hal ini mengurangi minatnya pada
barang mainan. Faktor lain yang mendorong penyusutan minat dengan barang mainan ini
adalah bahwa permaianan itu sifatnya menyendiri sedangkan mereka menginginkan teman.
Setelah masuk sekolah, kebanyakan anak mengangap bermaian barang sebagai “permaianan
bayi”.
c. Tahap bermain
Setelah masuk sekolah, jenis permainan mereka sangat beragam. Semula mereka meneruskan
bermain dengan barang mainan, terutama bila sendirian, selain itu mereka merasa tertarik
dengan permainan, olahraga, hobi dan bentuk permaianan matang lainnya.
d. Tahap melamun
Semakin mendekati masa puber, mereka mulai kehilangan minat pada peramainan yang
sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan waktu dengan melamun. Melamun yang
merupakan ciri khas anak remaja adalah saat berkorban, saat mereka mengangap dirinya tidak
diperlakukan dengan baik dan tidak dimengerti oleh siapapun.
Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga tidak akan merasa
jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya
makan, perawatan dan cinta kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan
sensoris-motorik, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri,
perkembangan moral dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 1995).
11
a. Status kesehatan, pada anak yang sedang sakit kemampuan psikomotorik/ kognitif
terganggu. Sehingga ada saat-saat anak sangat ambisius pada permainannya dan ada saat-
saatanak sama sekali tidak punya keinginan untuk bermaian.
b. Jenis kelamin, pada saat usia sekolah biasanya anka laki-laki engan bermain dengan anak
perempuan, mereka sudah bisa membentuk komunikasi sendiri, dimana anak wanita bermain
sesama wanita dan anak laki-laki bermain sesama laki-laki. Tipe dan alat permainanpun akan
berbeda, misalnya anak laki-laki suka bermain bola, pada anak permpuan suka main boneka.
c. Lingkungan, lokasi dimana anak berada sangat mempengaruhi pola permainan anak. Dikota-
kota besar anak jarang sekali yang bermain layang-layangan. Paling mereka bermain game
karena memang tidak ada/jarang ada tanah lapang/lapangan untuk bermain, berbeda dengan
yang masih terdapat tanah-tanah kosong.
d. Alat permainan yang cocok, disesuaikan dengan tahap perkembangan sehingga anak menjadi
senang untuk menggunakannya.
a) Solitary play
Bermaian sendiri walaupun disekitarnya orang lain. Misalnya pada bayi dan toddler,
dia akan asyik dengan mainnya sendiri tanpa menghiraukan orang-orang yang ada
disekitarnya.
b) Pararel play
12
c) Associative play
Bermain dalam kelompok , dalam suatu aktivitas yang sama tetapi masih belum
terorganisir, tidak ada pembagian tugas, mereka bermain sesuai keinginannya.
Misalnya, anak bermain hujan-hujanan di teras rumah, berlari-lari dan sebagainya.
Hal ini banyak dialami pada anak pre school.
d) Cooperative play
2. Menurut isi
Anak mulai belajar memberikan respon melalui orang dewasa dengan cara
merajuk/berbicara sehingga anak menjadi senang dan tertawa.
c) Skill play
d) Dramatic play
Melakukan peran sesuai keinginannya atau dengan apa yang dia lihat dan dia dengar,
sehingga anak akan membuat fantasi dari permaianan itu. Misalnya, anak pernah
berkunjung kerumah sakit waktu salah satu tetangganya sakit, dia melihat perawat dan
dokter . sesampainya dirumah dia berusaha untuk memerankan dirinya sebagai seorang
13
perawat maupun dokter, sesuai dengan apa yang dia lihat dan diterima tentang peran
tersebut.
Menurut Soetjiningsih (1995), agar anak-anak dapat bermain dengan maksimal, maka diperlukan
hal-hal seperti:
a. Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan energi ekstra. Anak-anak yang sakit kecil kemungkinan untuk
melakukan permainan.
b. Waktu
Anak harus mempunyai waktu yang cukup untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan
dapat optimal.
c. Alat permainan
Untuk bermain alat permainan harus disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak
serta memiliki unsur edukatif bagi anak.
d. Ruang untuk bermain
Bermain dapat dilakukan di mana saja, di ruang tamu, halaman, bahkan di tempat tidur.
e. Pengetahuan cara bermain
Dengan mengetahui cara bermain maka anak akan lebih terarah dan pengetahuan anak akan
lebih berkembang dalam menggunakan alat permainan tersebut.
f. Teman bermain
Teman bermain diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak
dalam menghadapi perbedaan. Bila permainan dilakukan bersama dengan orangtua, maka
hubungan orangtua dan anak menjadi lebih akrab.
Ada juga yang disebut dengan Alat Permainan Edukatif (APE). APE merupakan alat
permainan yang dapat memberikan fungsi permainan secara optimal dan perkembangan
anak,dimana melalui alat permainan ini anak akan selalu dapat mengembangkan kemampuan
fisiknya,bahasa,kemampuan kognitifnya,dan adaptasi sosialnya. Dalam mencapai fungsi
14
perkembangan secara optimal,maka alat permainan ini harus aman,ukurannya sesuai dengan usia
anak,modelnya jelas,menarik,sederhana,dan tidak mudah rusak.
Dalam penggunaan alat permainan edukatif ini banyak dijumpai pada masyarakat kurang
memahami jenis permainan karena banyak orang tua membeli permainan tanpa memperdulikan
jenis kegunaan yang mampu mengembangkan aspek tersebut,sehingga terkadang harganya
mahal,tidak sesuai dengan umur anak dan tipe permainannya sama.
Untuk mengetahui alat permainan edukatif, ada beberapa contoh jenis permainan yang dapat
mengembangkan secara edukatif seperti : permainan sepeda roda tiga atau dua, bola, mainan
yang ditarik dan didorong jenis ini mempunyai pendidikan dalam pertumbuhan fisik atau motorik
kasar,kemudian alat permainan gunting,pensil,bola,balok,lilin jenis alat ini dapat digunakan
dalam mengembangkan motorik halus, alat permainan buku bergambar, buku cerita, puzzle,
boneka , pensil warna, radio dan lain-lain, ini dapat digunakan untuk mengembangkan
kemampuan kognitif atau kecerdasan anak, alat permainan seperti buku gambar, buku cerita,
majalah, radio, tape dan televise tersebut dapat digunakan dalam mengembangkan kemampuan
bahasa, alat permainan seperti gelas plastic, sendok, baju, sepatu, kaos kaki semuanya dapat
digunakan dalam mengembangkan kemampuan menolong diri sendiri dan alat permainan seperti
kotak, bola dan tali, dapat digunakan secara bersama dapat dilakukan untuk mengembangkan
tingkah laku social.
Selain menggunakan alat permainan secara edukatif, harus ada peran orang tua atau
pembimbing dalam bermain yang memiliki kemampuan tentang jenis alat permainan dan
kegunaannya, sabar dalam bermain, tidak memaksakan, mampu mengkaji kebutuhan bermain
seperti kapan harus berhenti dan kapan harus dimulai, memberikan kesempatan untuk mandiri.
2.2.8 Terapi Bermain pada Anak yang Dihospitalisasi
Setiap anak meskipun sedang dalam perawatan tetap membutuhkan aktivitas bermain.
Bermain dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan tugas perkembangan
secara normal dan membangun koping terhadap stres, ketakutan, kecemasan, frustasi dan marah
terhadap penyakit dari hospitalisasi (Mott, 1999).
Bermain juga menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan memberikan
perlindungan anak terhadap stres, sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman
yang tidak menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Dengan demikian diharapkan
15
respon anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresi dapat berkurang sehingga anak
lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh seorang anak bila bermain dilaksanakan di suatu rumah
sakit, antara lain:
1. Memfasilitasi situasi yang tidak familiar
2. Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan control
3. Membantu untuk mengurangi stres terhadap perpisahan
4. Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang fungsi dan bagian tubuh
5. Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan dan tujuan peralatan dan
prosedur medis
6. Memberi peralihan dan relaksasi
7. Membantu anak untuk merasa aman dalam lingkungan yang asing
8. Memberikan cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengekspresikan perasaan
9. Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap yang positif terhadap
orang lain
10. Memberikan cara untuk mengekspresikan ide kreatif dan minat
11. Memberi cara mencapai tujuan-tujuan terapeutik (Wong ,1996).
Dukungan dari orang tuapun merupakan faktor penting yang harus diberikan untuk memotivasi
anak. Hal-hal yang perlu diberikan sebagai orang tua antara lain:
a. Memberikan dukungan
Dukungan positif dapat berupa menjaga anak saat dirawat di rumah sakit, mendampingi anak saat
diperiksa petugas medis, atau memberikan beberapa treatment pengobatan. Yang tak kalah
16
penting, memberi sentuhann lembut, seperti pelukan atau mengelus saat anak mengalami
kesakitan.
b. Bersikap optimis dan tidak menampakkan kecemasan didepan anak.
Orang tua yang menampakkan wajah ceria, meski beban yang ditanggungnya cukup berat, akan
membuat anak bersikap tabah dan ceria dalam menghadapi kondisi sakitnya.
3. Menanamkan pengertian bahwa proses pengobatan dan perawatan dirumah sakit adalah
proses menuju kesembuhan.
Perlu diingat, beri pengertian kepada anak bahwa dokter atau petugas medis lainnya adalah
orang-orang yang menolongnya untuk sembuh
17
BAB III
Leader :
Co-Leader :
Fasilitator :
a.
b.
c.
d.
1. Jenis permainan : Permainan SCL (Snake, Cards, and Ladders) atau permainan ular, kartu,
dan tangga
2. Jenis kelamin : Laki-laki & Perempuan
3. Usia : 6 – 12 tahun
4. Waktu permainan : ± 30 menit
5. Tempat permainan : SD Al Irsyad Cilacap
6. Alat yang digunakan : Kartu tanya dan kartu perintah, papan permainan
7. Tujuan :
a. Meningkatkan hubungan perawat – klien.
b. Menjaga kesehatan sejak diri
c. Sosialisasi dengan teman sebaya / orang lain.
d. Mengasah pengetahuan anak-anak tentang materi mencuci tangan
e. Melatih perkembangan motorik kasar pada anak.
7. Strategi permainan :
18
KEGIATAN BERMAIN
Kegiatan
No Tahapan Waktu
Perawat Klien
1. Fase Pra-Interaksi 5 menit a. Mempersiapkan diri
b. Mempersiapkan
media & alat yang akan
digunakan
c. Mempersiapkan
tempat untuk bermain
d. Mempersiapkan klien
lanjut senang
8. Evaluasi
1) Kaji respon anak secara verbal maupun non verbal dalam kemampuan anak mengikuti permainan
selama permainan berlangsung
2) Pantau keadaan anak selama bermain
3) Kaji tercapainya tujuan bermain
Denah Permainan
Keterangan:
Leader fasilitator
20
Co leader
Anak observer
Denah :
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perkembangan adalah hal yang teratur dan mengikuti rangkaian tertentu. Bermain merupakan
proses dinamis yang sesungguhnya tidak menghambat anak dalam proses belajar, sebaliknya
justru menunjang proses belajar anak. Orang tua yang keberatan terhadap aktivitas bermain anak
justru menghambat kemampuan kreativitas anak untuk mengenal dirinya sendiri serta lingkungan
hidupnya. Dalam usia sekolah tuntutan yang dihadapi oleh anak semakin banyak.
4.2 Saran
21
Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat memeberikan pelayanan dari mulai manusia
sebelum lahir sampai dengan meninggal, dalam merawat kasus yang apapun tindakan yang
diberikan akan sangat berbeda karena setiap orang adalah unik, sehingga seorang perawat
dituntut untuk mengerti proses tumbuh kembang.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Alimul Hidayat, A.Aziz. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta : Salemba Medika
3. Perry, A,G & Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.
5. Riyadi, Sujono & Sukatmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak Ed Pertama. Yogyakara :
Graha Ilmu
7. Soetjiningsih. 2005. Buku Ajar II Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Idai
23
JURNAL PENELITIAN
e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.3 (no.2), Mei, 2015
Abstract
Hand washing behaviour in school-age children showed the lowest quality. Prevention effort to
improve hand washing skill with SCL (Snake, Cards, and Ladders) games therapy. This study aimed
to analyze the effect of SCL (Snake, Cards, and Ladders) games therapy to hand washing skill of first
and second grade students in Elementary School of Pakusari II Jember District. The study used pre-
experimental with pretest-posttest group design. Sampling technique used simple random sampling
with 44 respondents. Data analysis used Wilcoxon Signed Rank Test. Hand washing skill of
respondents after games therapy showed 70,4% had good hand washing skill and 29,6% had
sufficient hand washing skill. The result showed point p value = 0.000. There was an effect of SCL
(Snake, Cards, and Ladders) games therapy to hand washing skills of first and second grade students
in Elementary School of Pakusari II Jember District. Recommendation for the school to supply hand
washing facility like soap, tissue paper, and hand sanitizer to improve hand washing skill of students
in Elementary School of Pakusari II Jember District.
Keywords: hand washing, school-aged children, skill, SCL (Snake, Cards, and Ladders), games therapy.
Abstrak
Perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah menunjukkan kualitas terendah. Upaya
pencegahan untuk meningkatkan keterampilan mencuci tangan dengan terapi bermain SCL
(Snake, Cards, and Ladders). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terapi
bermain SCL (Snake, Cards, and Ladders) terhadap keterampilan mencuci tangan siswa
kelas I dan II di SDN Pakusari II Kabupaten Jember. Penelitian menggunakan desain pre-
eksperimental dengan pretest posttest group. Teknik pengambilan sampel menggunakan
simple random sampling dengan 44 responden. Analisis data menggunakan Wilcoxon
Signed Rank Test. Keterampilan mencuci tangan responden setelah terapi bermain
menunjukkan 70,4% memiliki keterampilan mencuci tangan baik dan 29,6% mempunyai
keterampilan mencuci tangan cukup. Hasil menunjukkan nilai p value = 0.000. Terdapat
pengaruh terapi bermain SCL (Snake, Cards, and Ladders) terhadap keterampilan mencuci
tangan siswa kelas I dan II di SDN Pakusari II Kabupaten Jember. Saran bagi sekolah untuk
menyediakan fasilitas mencuci tangan seperti sabun, kertas tissue, dan hand sanitizer untuk
meningkatkan keterampilan mencuci tangan siswa kelas I dan II di SDN Pakusari II
Kabupaten Jember.
24
Kata kunci: mencuci tangan, anak usia sekolah, keterampilan, SCL (Snake, Cards, and Ladders), terapi
bermain.
25
68,2% dan benar mencuci tangan hanya 17,2%
Pendahuluan
Indonesia telah melaksanakan berbagai
upaya dalam rangka meningkatkan kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat selama lebih dari
tiga dasawarsa. Departemen Kesehatan
menetapkan visi dan misi serta strategi baru
yang dicapai melalui program-program
pembangunan kesehatan untuk mengatasi
masalah-masalah kesehatan yang ada.
Pembaruan ini membuat orientasi
pembangunan kesehatan yang semula
menekankan upaya kuratif dan rehabilitatif,
secara bertahap diubah menjadi upaya
kesehatan terintegrasi menuju kawasan sehat
dan sejahtera dengan peran-aktif masyarakat.
Pendekatan baru ini menekankan pentingnya
upaya promotif dan preventif tanpa
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif [1].
Menurut Graeff et al. [2] pelatihan
keterampilan merupakan aktivitas utama dalam
tahap implementasi suatu program kesehatan.
Pelatihan keterampilan bertujuan untuk
membangun dan memelihara perilaku-perilaku
kesehatan serta merupakan hal penting dalam
kelangsungan program kesehatan yang akan
mengarah pada terbentuknya keterampilan.
Keterampilan adalah kemampuan
melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan
menggunakan anggota badan dan peralatan
kerja yang tersedia. Keterampilan merupakan
kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami
sesuatu) dan afektif (perbuatan atau perilaku)
[2]. Pemeliharaan perilaku kesehatan yang
dapat mengarah pada terbentuknya
keterampilan yaitu keterampilan mencuci
tangan.
Mencuci tangan adalah proses menggosok
kedua permukaan tangan dengan kuat secara
bersamaan menggunakan zat pembersih yang
sesuai dan dibilas dengan air mengalir dengan
tujuan menghilangkan mikroorganisme
sebanyak mungkin [3]. Tujuan mencuci tangan
adalah menghilangkan mikroorganisme
sementara yang mungkin ditularkan [4]. Mencuci
tangan dapat mencegah menularnya penyakit
yang ditularkan melalui tangan seperti diare,
infeksi saluran pernafasan atas, difteri,
cacingan, demam tifoid, infeksi kulit, infeksi
mata, dan lainnya [5].
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang
buruk serta air minum yang tidak aman
berkontribusi terhadap 88% kematian anak
akibat diare di seluruh dunia [6]. Perilaku hidup
bersih dan sehat pada anak usia sekolah masih
rendah yaitu benar berperilaku buang air besar
26
[7]. Anak-anak termasuk dalam kelompok sekolah [9].
rentan terhadap penyakit akibat perilaku Banyak alat dan cara yang dapat
yang tidak sehat dan kurang mendukung digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup
kesehatan. Anak pada usia sekolah bersih dan sehat anak usia sekolah melalui
sangat aktif beraktivitas dan rentan pendidikan kesehatan. Salah satunya yaitu
terhadap penyakit, maka dibutuhkan terapi bermain sebagai strategi pengajaran bagi
peningkatan kesadaran anak usia sekolah perawat pendidik dalam mendidik anak-anak
(atau pengasuhnya) akan pentingnya dengan usia sekolah [10]. Terapi bermain dapat
mencuci tangan diterapkan dalam membantu anak mengekspresikan perasaannya
kehidupan sehari-hari.
Kecamatan Pakusari merupakan
salah satu kecamatan di Kabupaten
Jember yang memiliki angka kejadian
penyakit menular tinggi di Kabupaten
Jember. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember tahun
2012, jumlah kasus diare pada anak usia
sekolah (5-
14 tahun) di Kecamatan Pakusari
merupakan peringkat pertama se-
Kabupaten Jember dengan jumlah 681
kasus [8].
Berdasarkan data Puskesmas
Pakusari, Desa Pakusari memiliki jumlah
kasus diare tertinggi pada anak sekolah.
SDN Pakusari II merupakan salah satu
sekolah dasar yang berada di wilayah
Desa Pakusari Kecamatan Pakusari
Kabupaten Jember. Hasil studi
pendahuluan di SDN Pakusari II
Kabupaten Jember didapatkan data dari
puluhan anak usia sekolah yang ada di
kelas I dan II SDN Pakusari II, lima belas
anak mengatakan masih belum mencuci
tangan setelah bermain dan sepuluh anak
mengaku masih belum mencuci tangan
sebelum dan setelah makan. Siswa-siswi
kelas I dan II di SDN Pakusari II Pakusari
masih belum menerapkan kegiatan
mencuci tangan pada waktu-waktu
penting mencuci tangan.
Permasalahan penyakit menular
melalui tangan membutuhkan upaya
pencegahan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat masyarakat
khususnya pada anak usia sekolah.
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah
wadah yang mengurus berbagai hal
terkait dengan kesehatan masyarakat
sekolah. Salah satu kegiatan UKS adalah
penyuluhan atau pendidikan kesehatan.
Perawat dapat memberikan pendidikan
kesehatan kepada anak dan warga
sekolah untuk meningkatkan kesehatan
dan sebagai upaya pencegahan tingkat
pertama/primer bagi anak dan warga
27
baik senang, sedih, marah, dendam, tertekan, keterampilan cukup apabila jumlah nilai
maupun emosi yang lain [11]. berjumlah 4-7, dan kategori keterampilan baik
Media yang dipilih dan mudah diterapkan apabila jumlah nilai berjumlah 8-12 dengan nilai
kepada anak usia sekolah sesuai karakteristik minimal = 0 dan nilai maksimal = 12.
tumbuh kembangnya adalah permainan SCL Pengambilan data pada penelitian ini
(Snake, Cards, and Ladders) atau permainan dilakukan di SDN Pakusari II Kabupaten Jember
ular, kartu, dan tangga. SCL adalah permainan dimulai tanggal 18-21 Desember 2013.
inovasi dan modifikasi dari permainan ular Pengambilan data dilakukan pada siswa kelas I
tangga dan monopoli yang sesuai dengan dan II SDN Pakusari II Kabupaten Jember
karakteristik anak usia sekolah. Permainan berjumlah 44 siswa (18 siswa kelas I dan 26
dapat dikembangkan sebagai media siswa kelas II). Penelitian menggunakan uji
pembelajaran dengan melakukan penyesuaian Wilcoxon signed rank test untuk menguji
terhadap aturan main serta dengan perbedaan antara variabel dalam satu sampel.
memodifikasi papan main sedemikian rupa Hasil analisis perubahan dilihat dari nilai p
dengan beberapa sisipan materi yang menjadi pengolahan data dan pengambilan keputusan
tujuan pembelajaran [12]. dengan membandingkan antara nilai p dengan
Permainan SCL dapat menjadi sebuah α. Hipotesis nol (Ho) ditolak jika nilai p value < α
terobosan dalam permainan edukatif bagi anak (0,05) dan Ho gagal ditolak jika nilai p > α (0,05)
usia sekolah. Kemampuan anak dalam dengan tingkat kepercayaan 95%.
bersosialisasi dengan teman sebaya atau teman Permainan SCL merupakan suatu
sepermainan menjadi meningkat. Permainan permainan modifikasi yaitu permainan papan
SCL dalam terapi bermain dapat meningkatkan untuk anak-anak yang dimainkan oleh dua
dan memelihara perilaku hidup bersih dan sehat orang atau lebih. Papan permainan dibagi dalam
anak usia sekolah. Permainan SCL dapat kotak-kotak kecil dan di beberapa kotak
meningkatkan keterampilan mencuci tangan digambar sejumlah tangga atau ular yang
anak usia sekolah sehingga anak menjadi menghubungkannya dengan kotak lain seperti
mampu dan cekatan dalam berperilaku sehat ular tangga. Permainan ini menggunakan unsur
serta terbiasa mencuci tangan dalam kehidupan monopoli yaitu kartu dana umum dan
sehari-harinya. Tujuan penelitian adalah kesempatan berubah menjadi kartu tanya dan
menganalisis pengaruh terapi bermain SCL kartu perintah. Kartu tanya berisikan pertanyaan
(Snake, Cards, and Ladders) terhadap yang berkaitan dengan materi mencuci tangan
keterampilan mencuci tangan siswa kelas I dan yang harus dijawab siswa dan kartu perintah
II SDN Pakusari II Kabupaten Jember. berisikan perintah yang harus dilakukan oleh
siswa sesuai isi kartu tersebut.
Metode Penelitian Instruksi berupa kartu tanya dan kartu
perintah dapat menjadi sarana anak-anak untuk
Penelitian menggunakan desain penelitian
mengenal cuci tangan dan pentingnya menjaga
eksperimental dengan rancangan pre
kesehatan sejak dini sehingga dapat diterapkan
eksperimental pendekatan one group pretest
dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.
posttest. Populasi penelitian adalah seluruh
Bidak-bidak bergambar dalam permainan SCL
siswa kelas I dan II SDN Pakusari II Kabupaten
yang harus dijelaskan atau dipraktikkan anak-
Jember dengan jumlah siswa kelas I sebanyak
anak dapat mengasah pengetahuan anak-anak
21 siswa dan kelas II sebanyak 29 siswa, total
tentang materi mencuci tangan dari pengertian,
siswa berjumlah 50 siswa. Teknik pengambilan
tujuan, waktu, penyakit yang dapat dicegah, dan
sampel penelitian menggunakan simple random
cara-cara mencuci tangan. Kartu-kartu
sampling yaitu cara pengambilan sampel secara
permainan dalam permainan SCL berupa kartu
acak dan didapatkan sampel siswa kelas I dan II
tanya dan kartu perintah memberi arahan pada
SDN Pakusari II Kabupaten Jember berjumlah
anak-anak untuk bekerja sama dengan teman-
44 siswa (18 siswa kelas I dan 26 siswa kelas
teman sebayanya dalam menjawab pertanyaan
II). Teknik pengumpulan data dengan lembar
atau mengikuti perintah yang ada dalam kartu.
observasi tentang keterampilan mencuci tangan.
Peraturan permainan SCL memberi arahan
Alat observasi yang digunakan dalam penelitian
pada anak untuk mempraktikkan gerakan-
ini adalah check list. Keterampilan mencuci
gerakan mencuci tangan yang ada dalam bidak-
tangan responden dikatakan kurang apabila
bidak permainan atau kartu tanya dan kartu
jumlah nilai pada lembar observasi mencuci
perintah yang berisi pertanyaan dan perintah
tangan (check list) berjumlah 0-3, kategori
untuk mempraktikkan cara mencuci tangan.
28
Permainan ini dapat meningkatkan keterampilan II SDN Pakusari II Kabupaten Jember sebelum
anak untuk mencuci tangan. dan setelah pemberian terapi bermain SCL.
Perbedaan keterampilan mencuci tangan dapat
Hasil Penelitian diketahui dengan menggunakan uji Wilcoxon.
Tabel 1. Karakteristik Jenis Kelamin Siswa Kelas I dan II Hasil uji Wilcoxon dapat dilihat pada tabel 4.
SDN Pakusari II Kabupaten Jember Tahun 2013
Tabel 4. Distribusi Perbedaan Keterampilan Mencuci
Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%) Tangan Sebelum (Pretest) dan Setelah (Posttest)
Pemberian Terapi Bermain SCL pada Siswa
Kelas I dan II di SDN Pakusari II
Laki-Laki 26 59,1 Kabupaten Jember Tahun 2013
Perempuan 18 40,9
Kategori Juml Mean SD Min Max Z p
Total 44 100 ah Valu
e
Tabel 2. Karakteristik Umur Siswa Kelas I dan II SDN Pretest 44 1.39 0.49 1 2 - 0,00
Umur
(tahun) Jumlah Persentase Rata-Rata Nilai rata-rata pretest keterampilan mencuci
(orang) (%) tangan adalah 1,39 dengan standar deviasi (SD)
Enam
Tujuh 5 11,4 sebesar 0,493. Nilai minimal yang didapat
Delapan 18 40,9 7,41 responden sebelum pemberian terapi bermain
Sembilan 19 43,2 SCL adalah satu (keterampilan kurang) dan nilai
2 4,5 maksimal dua (keterampilan cukup). Nilai rata-
Total 44 100 rata posttest keterampilan mencuci tangan
adalah 2,70 dengan standar deviasi (SD)
sebesar 0,462. Nilai minimal yang didapat
Tabel 3. Distribusi Keterampilan Mencuci Tangan Sebelum
responden setelah pemberian terapi bermain
dan Setelah Pemberian Terapi Bermain SCL
pada Siswa Kelas I dan II di SDN Pakusari II SCL adalah dua (keterampilan cukup) dan nilai
Kabupaten Jember Tahun maksimal tiga (keterampilan baik). Standar
2013 deviasi adalah ukuran penyebaran data.
Semakin rendah nilai standar deviasi maka nilai
Keterampila Pretest Posttest data mendekati mean dan semakin tinggi nilai
n Mencuci standar deviasi maka nilai data jauh dari mean
Jumla Persent Jumlah Persent
Tangan
h ase (%) (orang) ase (%) [13]. Nilai standar deviasi yang semakin rendah
(orang) setelah pemberian terapi bermain SCL seperti
Baik 0 0 31 70,4 pada tabel 4. menunjukkan nilai data mendekati
Cukup 17 38,6 13 29,6 nilai rata-rata.
Kurang 27 61,4 0 0 Pengambilan keputusan uji Wilcoxon
dapat menggunakan uji z dan berdasarkan
Total 44 100 44 100
probabilitas [13]. Nilai z tabel pada tingkat
Keterampilan mencuci tangan siswa kelas Tabel 4. menggambarkan perbedaan
I dan II sebelum diberikan terapi bermain SCL keterampilan mencuci tangan siswa kelas I dan
berada pada kategori kurang sebanyak 61,4%
(27 orang), pada kategori cukup sebanyak
38,6% (17 orang), dan tidak ada responden
yang memiliki keterampilan mencuci tangan
pada kategori baik. Keterampilan mencuci
tangan siswa kelas I dan II SDN Pakusari II
Kabupaten Jember setelah pemberian terapi
bermain SCL berada pada kategori baik
sebanyak 70,4% (31 orang), pada kategori
cukup sebanyak 29,6% (13 orang), dan tidak
ada responden yang memiliki keterampilan
mencuci tangan pada kategori kurang.
29
kepercayaan 95% dan uji dua sisi
(standar perhitungan di SPSS) adalah ±
1,96 [14]. Nilai z hitung pada tabel 5.3
adalah -6,037. Hal ini menunjukkan
bahwa z hitung terletak di daerah Ho
ditolak yaitu < z tabel (-1,96) maka
pengambilan keputusan adalah menolak
Ho atau ada pengaruh terapi bermain SCL
(Snake, Cards, and Ladders) terhadap
keterampilan mencuci tangan siswa kelas
I dan II SDN Pakusari II Kabupaten
Jember.
Perbedaan nilai mean sebelum dan
setelah pemberian terapi bermain SCL
pada tabel 4. menandakan adanya
pengaruh terapi bermain SCL (Snake,
Cards, and Ladders) terhadap
keterampilan mencuci tangan siswa kelas
I dan II SDN Pakusari II Kabupaten
30
Jember. Hasil penelitian melalui nilai uji beda kesehatan untuk mendorong terjadinya perilaku
Wilcoxon signed rank test didapatkan p value individu atau masyarakat.
sebesar 0,000. Pengambilan keputusan Stimulasi tumbuh kembang anak dapat
dilakukan dengan melihat derajat kemaknaan dilakukan dengan cara memberikan permainan
(α=0,05) yaitu jika nilai p value < α (0,05) maka atau bermain [18]. Bermain merupakan aktivitas
hipotesis nol (Ho) ditolak. Nilai p value penelitian anak untuk melakukan atau mempraktikkan
ini menunjukkan nilai p value < α (0,05) yang keterampilan dan menjadi kreatif. Kebutuhan
berarti memiliki nilai sangat bermakna sehingga stimulasi ini akan membantu proses
dapat disimpulkan ada pengaruh terapi bermain pembelajaran dan pencapaian tumbuh kembang
SCL (Snake, Cards, and Ladders) terhadap secara optimal. Media yang dapat dipilih dan
keterampilan mencuci tangan siswa kelas I dan mudah diterapkan kepada anak usia sekolah
II SDN Pakusari II Kabupaten Jember. sesuai karakteristik tumbuh kembangnya adalah
permainan SCL (Snake, Cards, and Ladders).
Pembahasan Peningkatan keterampilan mencuci
tangan terlihat setelah pemberian terapi bermain
Usia 6-12 tahun disebut usia sekolah atau SCL. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
masa sekolah. Periode ini dimulai dengan faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh dibagi
masuknya anak ke lingkungan sekolah yang menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan faktor
memiliki dampak signifikan dalam ekstrinsik.
perkembangan dan hubungan anak dengan
orang lain [9]. Anak usia sekolah yang termasuk Faktor Intrinsik
dalam kelas rendah seperti kelas I dan II Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal
merupakan fase penyesuaian dalam lingkungan dari dalam diri individu dan bersifat fisiologis
sekolah yang baru dan mulai lepas dari atau psikologis. Faktor intrinsik yaitu
pengawasan orang tua. Kontak dengan pengetahuan, motivasi, dan umur [19].
berbagai penyebab penyakit akan menjadi lebih Pengetahuan
besar pada kelas rendah karena ketidaktahuan Faktor yang dapat mempengaruhi
dan ketidakmengertian anak tentang kesehatan keterampilan adalah pengetahuan.
[15]. Pengetahuan adalah apa yang diketahui individu
Masa anak-anak sekolah adalah periode tentang objek tertentu dan disimpan di dalam
perkembangan psikoseksual yang ingatan. Hal ini sesuai dengan teori dari
dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten. Notoatmodjo [2] bahwa semakin banyak
Masa perkembangan ini terlihat ketika anak- pengalaman belajar seseorang dari proses tahu,
anak membina hubungan dengan teman sebaya individu tersebut akan semakin terampil dan
sesama jenis. Anak usia sekolah ingin sekali menjadi terbiasa. Individu yang ditunjang tingkat
mengembangkan keterampilan dan pengetahuan dan pendidikan lebih tinggi akan
berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan lebih mudah dalam mengembangkan tingkat
berguna secara sosial. Menurut Erikson seorang keterampilannya. Hasil penelitian yang
anak perlu memiliki keterampilan tertentu karena mendukung adalah penelitian dari Syahrani,
dengan menguasai suatu keterampilan akan Santoso, dan Sayono [20] yang membuktikan
menimbulkan rasa percaya diri pada anak untuk bahwa keterampilan dapat berubah dengan
menyiapkan diri memasuki masa dewasa [16]. memberikan pendidikan kesehatan yaitu
Pelayanan kesehatan dibutuhkan oleh kelompok yang diberikan intervensi pendidikan
anak-anak usia sekolah khususnya kelas rendah kesehatan mengalami peningkatan keterampilan
untuk mencegah penyakit menular dan secara bermakna dibandingkan kelompok
meningkatkan kesehatan anak sesuai masa kontrol.
tumbuh kembangnya. Perawat sekolah dapat Motivasi
meningkatkan kemampuan dan keterampilan Motivasi akan mendorong seseorang bisa
anak sekolah untuk melakukan tindakan hidup melakukan suatu tindakan sesuai dengan
sehat dalam rangka membentuk perilaku hidup prosedur yang sudah ditetapkan [2]. Motivasi
sehat [15]. Hal ini sesuai dengan pernyataan didukung oleh pengetahuan tentang tindakan
Green [17] menyatakan kesehatan seseorang yang diperkuat dengan pengalaman melakukan
ditentukan tiga faktor yaitu faktor predisposisi, tindakan. Motivasi mencuci tangan adalah
faktor pendukung, dan faktor penguat. Peran perasaan jijik, rasa takut, perasaan nyaman,
perawat sekolah termasuk faktor penguat yang pemeliharaan, keadaan, budaya, dan promosi
berupa sikap dan perilaku petugas pelayanan [21]. Hasil penelitian Danquah, Curtis, dan
Aunger [22] menyebutkan sebagian besar orang senang [12]. SCL adalah permainan inovasi dan
mempraktikkan cuci tangan karena perasaan modifikasi dari permainan ular tangga dan
jijik dan budaya dari norma lokal. Motivasi monopoli yang sesuai dengan karakteristik anak
perasaan jijik dan mengikuti budaya ini usia sekolah. Permainan ini dapat
membuat individu termotivasi untuk mencuci dikembangkan sebagai media pembelajaran.
tangan. Hendriyantini [26] menyatakan bahwa
Umur permainan edukatif dapat meningkatkan
Umur dapat mempengaruhi keterampilan kemampuan berfikir, berbahasa serta
seseorang. Semakin bertambah usia seseorang berinteraksi dengan orang lain. Hasil penelitian
akan membawa perubahan pada aspek fisik dan yang mendukung adalah penelitian Sain,
mentalnya dan bertambah pula keterampilannya Ismanto, dan Babakal [27] yang menyebutkan
[2]. Teori yang mendukung adalah teori dari alat permainan edukatif berpengaruh terhadap
Alford et al. [10] yang menyatakan bahwa umur perkembangan stimulasi anak. Penggunaan
berpengaruh terhadap tingkat keterampilan yang media pembelajaran seperti permainan SCL
dimiliki. Hasil penelitian Sulastyawati, dapat membangkitkan motivasi siswa untuk
Nataliswati, dan Hidayah [23] menyatakan belajar. Hal ini dibuktikan dengaan teori menurut
semakin bertambah usia seseorang akan LIPI [28] yang menyatakan bahwa lingkungan
membawa perubahan pada aspek fisik dan belajar yang menyenangkan menjadi faktor yang
mentalnya (psikologis) dan mempengaruhi mempengaruhi keterampilan yang dimiliki oleh
keterampilan yang dimilikinya. seseorang. Sesuai teori menurut Turner dan
Faktor Ekstrinsik Helms [29] mengungkapkan kegiatan bermain
Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal memberi kesempatan pada anak untuk bergaul
dari luar individu [19]. Faktor ekstrinsik yaitu dengan teman sebayanya dan belajar mengenal
sarana, keluarga, dan penggunaan media berbagai aturan untuk menyesuaikan diri
pembelajaran. dengan lingkungan sosialnya.
Sarana Hasil penelitian Yogaswara, Fattah, dan
Sarana adalah seluruh fasilitas dan peralata Sa’ud [30] menyatakan keterampilan seseorang
yang memadai yang digunakan dalam suatu berpengaruh terhadap proses pembelajaran
kegiatan. Faktor sarana akan mendukung yang dilakukan. Bidak-bidak bergambar dalam
keterampilan seseorang dalam melakukan suatu permainan SCL yang harus dijelaskan atau
tindakan [2]. Pernyataan tersebut didukung oleh dipraktikkan anak-anak dapat mengasah
hasil penelitian Gagarin, Pallu, dan Baharuddin pengetahuan anak-anak tentang materi mencuci
[24] yang membuktikan penggunaan sarana dan tangan dari pengertian, tujuan, waktu, penyakit
prasarana sekolah berpengaruh terhadap yang dapat dicegah, dan cara-cara mencuci
kinerja guru yang menentukan kemampuan tangan [31]. Penelitian dari Susanti, Siswati, dan
belajar siswa. Widodo [32] menyebutkan bahwa permainan
Keluarga dapat melatih anak mengembangkan
Bronfenbreneur [25] menyatakan lingkungan keterampilan sosialnya yaitu bekerja sama
keluarga berpengaruh terhadap perkembangan dengan teman sepermainannya. Anak dapat
anak dan keterampilan yang dimiliki anak berinteraksi secara langsung dengan teman
nantinya. Hasil penelitian oleh Baydar et al. [10] sebayanya dan meningkatkan sosialisasi anak.
menemukan bahwa faktor lingkungan keluarga Peraturan permainan SCL memberi arahan
mempengaruhi kualitas fisik dan emosional pada anak untuk mempraktikkan gerakan-
lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap gerakan mencuci tangan yang ada dalam bidak-
tingkat perkembangan masa anak-anak (fungsi bidak permainan atau kartu tanya dan kartu
kognitif, perilaku, keterampilan) dan latar perintah yang berisi pertanyaan dan perintah
belakang pendidikan anak. untuk mempraktikkan cara mencuci tangan.
Penggunaan Media Pembelajaran Permainan SCL dapat meningkatkan
Penggunaan media pembelajaran adalah keterampilan anak untuk mencuci tangan.
satu faktor dalam proses belajar mengajar yang
dapat membangkitkan keinginan dan minat
siswa serta membangkitkan motivasi dan
rangsangan untuk belajar. Siswa-siswi dapat
dengan mudah menangkap dan memahami
materi pelajaran ketika pembelajaran yang
diselenggarakan membuat siswa merasa