TUGAS AKHIR
VICTORIO ADITIAWARMAN
15062045
FAKULTAS TEKNIK
LAMONGAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir : Analisa penyebab patahnya join pipa pada konstruksi
offshore rig di bagian pile dengan metode six sigma
Nama Mahasisa : VICTORIO ADITIAWARMAN
NIM : 15062045
NPP. 09.06.0229
Mengetahui,
NPP. 09.06.0229
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Judul Tugas Akhir : Analisa penyebab patahnya join pipa pada konstruksi
offshore rig di bagian pile dengan metode six sigma
Nama Mahasisa : VICTORIO ADITIAWARMAN
NIM : 15062045
Pada tanggal,
Penguji 1
Penguji 2
Mengetahui,
NPP. 09.06.0229
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “ANALISA PENYEBAB PATAHNYA JOIN PIPA PADA
KONSTRUKSI OFFSHORE RIG DI BAGIAN PILE DENGAN METODE
SIX SIGMA” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari proses
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, Universitas Islam Darul ‘Ulum Lamongan. Penulis menyadari tugas akhir
ini dapat terselesaikan berkat bantuan, petunjuk dan bimbingan berbagai pihak yang
telah benyak membantu proses penyelesaian tugas akhir ini, oleh karena itu tak lupa
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
iv
9. Teman-teman yang telah menemani dengan canda dan tawa tanpa lelah
memberikan dorongan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan untuk penelitian dan
pengembangan yang lebih lanjut.
Penulis
v
MOTTO
vi
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
BAB PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 6
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 6
1.5 Batasan Masalah ....................................................................................... 7
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................... 7
ix
2.4.2 Radiographic Test ........................................................................... 21
2.5 Rig ............................................................................................................ 23
2.6 Pengendalian Kualitas .............................................................................. 27
2.6.1 Pengertian Kualitas ......................................................................... 27
2.6.2 Perspektif Terhadap Kualitas .......................................................... 29
2.7 Six Sigma ................................................................................................. 30
2.8 DMAIC ..................................................................................................... 30
2.8.1 Siklus DMAIC ................................................................................ 31
2.8.2 Fase Define ..................................................................................... 32
2.8.3 Fase Measure .................................................................................. 32
2.8.3.1 Analisis Kapabilitas Data Atribut ..................................... 33
2.8.4 Fase Analyze ................................................................................... 34
2.8.5 Fase Improve ................................................................................... 35
2.9 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 35
x
4.4 Fase Measure ............................................................................................ 62
4.4.1 Pengukuran Menggunakan DPMO, Analisa Cp Dan Nilai Sigma . 64
4.5 Fase Analyze ............................................................................................. 69
4.5.1 Sebab-Akibat Porosity .................................................................... 69
4.5.2 Sebab-Akibat Slag Inclusion .......................................................... 72
4.5.3 Sebab-akibat Incomplete Penetration ............................................. 74
4.5.4 Sebab-Akibat Incomplete Fusion.................................................... 77
4.6 Fase Improve ............................................................................................ 79
4.6.1 Rekomendasi Perbaikan Cacat Porosity ......................................... 79
4.6.2 Rekomendasi Perbaikan Cacat Slag Inclusion................................ 80
4.6.3 Rekomendasi Perbaikan Cacat Incomplete Fusion......................... 81
4.6.4 Rekomendasi Perbaikan Cacat Incomplete Penetration ................. 82
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 83
5.2 Saran ......................................................................................................... 84
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
Gambar 4.2 Joint Detail Butt Joint And Fillet ................................................... 52
Gambar 4.3 Joint Detail Desain TYK ................................................................ 52
Gambar 4.4 Pengurutan Pengelasan Butt Joint And Fillet................................. 56
Gambar 4.5 Pengurutan Pengelasan Desain TYK ............................................. 56
Gambar 4.6 Cacat Cluster Porosity .................................................................... 58
Gambar 4.7 Radiografi Cluster Porosity ............................................................ 58
Gambar 4.8 Cacat Slag Inclusion ....................................................................... 59
Gambar 4.9 Radiograi Slag Inclusion ................................................................ 59
Gambar 4.10 Cacat Incomplete Penetration....................................................... 60
Gambar 4.11 Ilustrasi UT Cacat IP .................................................................... 60
Gambar 4.12 Cacat Incomplete Fusion .............................................................. 61
Gambar 4.13 Ilustrasi UT Cacat IF .................................................................... 62
Gambar 4.14 Oven Elektrode............................................................................. 81
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
TYK connection branch member and fillet digunakan metode Ultrasonic Test (UT)
yaitu dengan menggunakan metode gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang
tidak dapat di dengar oleh manusia.
Penelitian pada bagian pile hanya mengamati joint welding pada bagian pile.
Sambungan yang di uji menggunakan sambungan TYK connection branch member
and fillet yang diuji dengan ultrasonic test. Pengujian dengan menggunakan
radiographic test untuk menguji sambungan butt joint and fillet.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa dalam meminimasi defect yang
ada pada joint struktur pile make up & details sehingga diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi proses tanpa adanya pengulangan pengerjaan proses
welding pada joint. Pengendalian kualitas yang dilakukan dalam penelitian ini
digunakan metode Six Sigma. Six Sigma adalah suatu visi peningkatan kualitas
menuju target 3,4 kegagalan dalam persejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap
transaksi produk (barang atau jasa), upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect)
(Vincent Gaspersz, 2002). Terdapat metode lain yang bisa digunakan untuk
meningkatkan kualitas produk yaitu Reliability engineering. Tetapi proses
Reliability engineering secara menyeluruh dan tidak bertahap. Metode six sigma
diharapkan mampu untuk menganalisis faktor-faktor penyebab cacat dan
memberikan rekomendasi perbaikan untuk melakukan pengendalian kualitas,
dimana dalam metode six sigma terdapat tahap-tahap untuk menganalisis, yaitu
dengan DMAIC (Define, Measure, Analyze, dan Improve) tanpa melibatkan tahap
Control karena berakhirnya masa proyek. Pendekatan ini melibatkan usaha yang
cukup dalam jangka waktu yang lama dan secara terus menerus digunakan untuk
meningkatkan kualitas pada proyek berikutnya. Metode six sigma diharapkan
mampu memberikan output rekomendasi perbaikan kepada proses pengelasan
sebagai upaya untuk meminimasi ratio reject pada proses welding joint dan
diharapkan mampu mengoptimalkan proses serta meningkatkan kualitas produk.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dari tugas
akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui jenis cacat apa saja yang terjadi dalam proses welding
yang terdapat pada bagian pile.
2. Untuk mengetahui definisi ultrasonic dan radiographic.
3. Untuk mengetahui tingkat DPMO dan level sigma dari proses welding pada
bagian Pile.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecacatan
dan berpengaruh terhadap ratio defect.
1.4 Manfaat
Untuk menjaga agar tetap fokus pada masalah yang dihadapi, maka perlu
adanya batasan masalah terhadap ruang lingkup penelitian, maka pada penelitian
ini ada batasan masalah yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang dilakukan hanya berbatas pada proses welding pada pile.
2. Penelitian yang dilakukan hanya sebatas pada lingkup aktivitas proses
offshore.
3. Proses penelitian hanya mengidentifikasi factor penyebab defect yang
terdapat pada uji ultrasonic dan radiographic.
4. Proses penelitian hanya dilakukan tahapan define, measure, analyze,
improve dan saran saja. Tidak sampai tahap control karena proyek sudah
diselesaikan.
5. Masalah biaya tidak dibahas dalam penelitian ini.
6. Hasil penelitian hanya menggunakan pendekatan Six sigma.
Garis besar penulisan laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi penguraian tentang latar belakang dan permasalahan yang dikaji,
tujuan, manfaat, batasan masalah, serta sistematika penulisan laporan penelitian.
BAB IV : PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang beberapa pengujian, yaitu pengujian untuk mendapatkan hasil
yang di inginkan dan perhitungan DPMO, nilai sigma, dan kapabilitas proses.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian serta saran untuk
mengembangkan.
BAB II
LANDASAN TEORI
9
10
menunjukkan temperatur pemanasan, daerah itu mencapai daerah berfasa ferit dan
austenit dan ini yang disebut transformasi sebagian yang artinya struktur mikro baja
mula-mula ferit+perlit berubah menjadi ferit dan austenit.
Jenis las yang dipakai di industri antar lain las SMAW, FCAW, GMAW,
GTAW dan SAW. Proses dasar dari jenis proses las tersebut dijelaskan untuk mesin
las SMAW saja, yaitu sebagai berikut.
Berdasarkan hukum Ohm kita dapat menentukan harga kuat arus, tegangan
maupun tahanan. Misalnya ditentukan R = 0,2 Ὠ dan harga I bervariasi, maka E
dapat dihitung sebagai berikut :
Nilai hasil perhitungan tersebut dapat dituliskan pada diagram dibawah ini
yang lazim disebut garis karakteristik busur las.
Umumnya elekroda ini digunakan pada proses fill pass maupun capping, karena
kandungan iron powder yang besar menghasilkan deposit las yang tinggi. Pada
waktu proses pengelasan selaput yang menyelimuti elektroda ini menghasilkan
CO2 yang berfungsi untuk melindungi dari udara bebas. Selaput ini juga
membentuk slag akibat pembekuan dari selaput yang sudah mencair dan
melindungi dari kontaminasi kotoran dari luar. Di industri maupun fabrikasi
elektroda ini sering digunakan karena mempunyai harga yang relatif murah, mudah
ditemukan di pasaran dan juga tidak sulit untuk penanganannya. Untuk mengetahui
chemical composition (as welded) dan tensile requirement (as welded), bisa dilihat
pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 berikut :
Beberapa material high alloy seperti chrome steel atau beberapa jenis
stainless steel memerlukan kontrol interpass temperature yang ketat untuk
mengindari keretakan ataupun menurunnya kualitas properties mekanik seperti
kekuatan atau ketangguhan atau pun properties engineering seperti kemampuan
tahan korosi atau tahan suhu tinggi. Alat pengukur suhu interpass adalah termo gun
yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Thickness of
Thickest Part at Minimum Preheat
Steel Welding and Interpass
Category Point of Welding
Specification Process Temperature
In Mm ˚F ˚C
Posisi pengelasan yang paling ideal untuk kebanyakan joint adalah posisi
datar karena memungkinkan untuk daerah cairan las yang lebih besar untuk
dikendalikan. Biasanya daerah lasan yang lebih besar, semakin cepat sendi dapat
diselesaikan. Ketika pengelasan dilakukan dalam posisi lain selain posisi datar,
mereka disebut sebagai yang dilakukan outof-posisi. Beberapa jenis alur bekerja
lebih baik di out-of-posisi pengelasan daripada yang lain; untuk contoh, sendi bevel
sering merupakan pilihan terbaik untuk pengelasan akar horisontal.
Posisi pengelasan pipa - perkumpulam pengelasan Amerika membagi
pengelasan pipa menjadi lima posisi dasar untuk alur (G) dan fillet (F) las sebagai
berikut :
5. Horizontal tetap 5G - ketika pipa sejajar secara horizontal, dan las dibuat
secara vertical sekitar pipa.
6. Condong 6G - pipa adalah tetap di 45⁰ posisi condong dan las yang dibuat
di sekitar pipa.
7. Condong dengan cincin pembatasan 6GR - pipa adalah tetap dalam 45⁰
sudut miring dan ada cincin membatasi ditempatkan di sekitar pipa bawah
alur las.
Gambar 2.4 Posisi Pengelasan Pipa. (a) Posisi pengelasan 1G, (b) Posisi
pengelasan 2G. (c) Posisi pengelasan 3G, (d) posisi pengelasan 6G.
adanya cacat, retak, atau discontinyu lain tanpa merusak benda yang akan diuji atau
di inspeksi. Tes yang dilakukan menjamin bahwa material yang digunakan masih
dalam batas aman dan belum melewati batas damage tolerance.
Pengujian ultrasonik adalah bentuk lain dari pengujian tanpa merusak. Ini
berarti bahwa kita memiliki sistem pengujian tanpa merusak yang khusus. Pada
dasarnya dalam pengujian ultrasonik kita memasukkan getaran ultrasonik ke dalam
spesimen. Spesimen kemudian mengubah getaran tersebut dengan beberapa cara.
Hasil perubahannya dideteksi oleh sistem pengujian, dan melalui sebuah
indikasi, kita memperoleh informasi mengenai spesimen. Sebagai inspektor,
pekerjaan kita adalah mengaplikasikan sistem ke dalam spesimen dan
menginterpretasi hasilnya melalui indikasi yang kita peroleh. Getaran merambat di
dalam benda padat sebagai sebuah perpindahan partikel yang saling berurutan. Hal
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
berhubungan dengan sifat elastis dari material tersebut. Pada pengujian ultrasonik,
perlu di sadari bahwa konsep perpindahan juga berlaku pada benda padat.
Waktu yang diperlukan oleh sebuah gerakan untuk menghasilkan satu siklus
lengkap dinamakan perioda.
Energi yang dipancarkan oleh sebuah transducer dapat berupa energi putus-
putus atau menerus. Energi suara putus-putus didefinisikan sebagai kelompok
getaran pendek yang dipancarkan sebelum dan setelah transducer dapat bertindak
sebagai penerima. Baja, air, dan minyak akan merambatkan gelombang suara
dengan sangat baik, namun tidak demikian halnya dengan udara.
Udara adalah penghantar suara yang buruk karena kerapatan partikelnya
rendah sehingga energi suara sulit merambat dari partikel ke partikel. Itulah
mengapa kita menambahkan minyak atau gemuk di antara transducer dan spesimen.
Kerapatan partikel suatu material menentukan cepat rambat suara. Cepat rambat
suara akan berubah saat ia merambat dari satu media ke media lain seperti gambar
berikut.
Gambar 2.10 Cepat Rambat Gelombang pada Medium Udara Air dan Baja
Perlu waktu yang lebih lama bagi gelombang suara untuk merambat di air
dibandingkan di dalam baja. Cepat rambat suara di dalam baja kurang lebih empat
kali lebih besar dibandingkan di dalam air. Panjang gelombang adalah jarak antara
21
dua titik yang sama pada dua gelombang yang berurutan. Panjang gelombang juga
dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh sebuah gelombang dalam satu
siklus. Simbol λ digunakan untuk menunjukkan panjang gelombang dan disebut
sebagai lambda. Panjang gelombang adalah perbandingan dari harga tetap
(kecepatan) dibagi dengan variabel (frekuensi).
λ = V / f (2.8)
perak di dalam emulsi menghasilkan citra laten atau tersembunyi dan akan nampak
ketika film sudah dicuci.
Pembentukan citra pada film tergantung pada banyaknya radiasi yang
diterima oleh bagian- bagian yang berbeda pada film. Seperti ditunjukkan di bawah
ini, sebuah diskontinuitas seperti rongga menghasilkan perbedaan ketebalan pada
spesimen dan akan tampak sebagai bintik hitam pada film yang telah diproses. Jika
diskontinuitas merupakan sebuah inklusi yang lebih padat dibandingkan material
spesimen, maka citra pada film akan lebih terang pada titik tersebut. Sinar X akan
diserap oleh inklusi yang lebih padat tersebut.
2.5 Rig
untuk pekerjaan pekerjaan yang sederhana, seperti Well Service dan Work
Over. Sedangkan Rig besar digunakan untuk operasi pengeboran, baik
pengeboran vertikal maupun pengeboran Directional. Land Rig pada
Gambar 4.14 dirancang portable, sehingga mudah dibongkar dan dipasang
kembali dan dibawa oleh truk atau trailer. Untuk wilayah yang sulit
dijangkau oleh kendaraan daratm bagian-bagian Rig ini diangkut
menggunakan heliportable.
a. Swamp Barge
Merupakan Rig yang berbentuk sebuah Barge bertingkat yang
beroperasi di daerah rawa-rawa dan delta sungai dengan kedalaman 4
meter-7 meter. Rig jenis ini akan dibantu oleh beberapa Barge yang
25
c. Semisubmersible Rig
Mempunyai dua atau lebih Hull atau semacam kaki. Kaki ini dirancang
untuk terapung (Flooded, ballasted). Setengah terapung Ballast Control
System, dioperasikan dengan menggunakan computer sehingga Rig
26
selalu berada pada level diatas air sesuai dengan keinginan. Jenis Rig ini
digunakan untuk kedalaman air 90-700 meter.
d. Drill Ship
Merupakan jenis Rig yang terapung. Rig ini berbentuk sebuah kapal
sehingga dapat berpindah tempat dengan mudah, dan dimodifikasi
beberapa bagiannya sehingga berfungsi sebagai Rig. Ditengah kapal
biasanya didirikan Menara dan dibagian bawahnya terbuka kelaut
(moon pool) Rig ini dioperasikan pada kedalaman laut lebih dari 2800
meter.
1. Transcendental Approach
Dalam pendekatan ini dapat diketahui tetapi sulit didefinisikan dan
dioperasionalkan. Sudut pandang ini diterapkan dalam seni musik, drama,
seni tari, dan seni rupa.
2. Product-based Approach
Pendekatan ini beranggapan bahwa kualitas sebagai karakteristik atau
atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam
kualitas mencerminkan perbedaan pada beberapa unsur atau atribut yang
dimiliki produk.
3. User-based Approach
Didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada individu yang
memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang
merupakan produk yang berkualitas tinggi.
4. Manufacturing-based Approach
Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan
secara internal, seringkali dipicu dengan tujuan untuk meningkatkan
produktivitas dan penekanan biaya.
5. Value-based Approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga, dengan
mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga. Sehingga kualitas
didefinisikan sebagai “Affordable Excellence”.
30
2.8 DMAIC
Dalam konsep six sigma, terdapat beberapa model yang bisa diterapkan
untuk meminimasi tingkat kecacatan, salah satu konsep yang paling sering
digunakan adalah DMAIC. Konsep ini, merupakan proses utnuk melakuakn
peningkatan secara terusmenerus menuju target six sigma. Berikut dijelaskan
mengenai tahapan-tahapan DMAIC.
31
3. Analyze adalah fase ketiga dalam siklus DMAIC, dimana detail proses
diperiksa dengan cermat. Yang perlu diperhatikan dalam fase ini yaitu:
5. Control adalah tahap terakhir dalam metode DMAIC, dimana setelah solusi-
solusi diestimasi, hasil-hasil peningkatan di dokumentasikan, prosedur-
prosedur di dokumentasikan dan dijadikan sebagai pedoman kerja standar.
32
Tahap define berkaitan dengan pendefinisian tujuan dan latar belakang serta
mengidentifikasi permasalahan yang harus diberikan perhatian untuk dapat
mencapai performa mutu yang lebih baik. Pada tahap ini perlu untuk dapat
mengidentifikasi beberapa hal yang terkait dengan define antara lain (gazperz,
2002):
Sebelum suatu produk dapat dinyatakan sebagai cacat atau gagal, maka
kriteria yang berkaitan dengan kegagalan atau kecacatan harus di definisikan
terlebih dahulu. Dalam terminologi Six sigma, kriteria karakteristik kualitas yang
menimbulkan dan atau memiliki potensi untuk menimbulkan kegagalan atau
kecacatan itu disebut sebagai Critical to Quality (CTQ) potensial yang
menimbulkan kegagalan atau kecacatan (Gaspersz, 2002).
Pada fase measure dilakukan perhitungan level sigma dan Defect Per
Million Opportunities (DPMO) yang merupakan baseline kinerja dalam six sigma
dan dapat di konversikan dalam level sigma (gaspersz, 2002). DPMO merupakan
ukuran kegagalan yang di hitung berdasarkan banyaknya kegagalan per satu juta
kesempatan. Target yang ingin di capai adalah adanya kegagalan produk sebesar
3,4 tiap satu juta kesempatan. DPMO dapat di hitung dengan rumus :
kapabilitas proses untuk data atribut dapat di hitung dengan rumus (Park, 2003).
Untuk mendapatkan indeks kapabilitas proses pada data atribut adalah
menggunakan rumus sebagai berikut:
Cp = Nilai Sigma
3
Apabila Cp < 1,00 maka status proses industri dianggap sangat tidak mampu
untuk mencapai target kualitas pada tingkat kegagalan nol (zero defect oriented).
Apabila ,00 ≤ p ≤ ,99 maka kapabilitas proses berada pada tidak sampai cukup
mampu sehingga perlu peningkatan proses guna target kegagalan nol. Apabila 2,00
≥ p aka proses itu sangat mampu memenuhi spesifikasi target kualitas yang di
tetapkan pelanggan dengan tingkat kegagalan mendekati nol (zero defect).
Dari rumus itu maka didapat akumulasi persentase dari jumlah defect
dengan keseluruhan film radiografi yang diambil dari seluruh produk pengelasan di
bagian produksi selama delapan minggu berturut-turut. Adapun data film radiografi
yang diteliti selama kuliah praktek tersebut dibuatkan tabel sebagaimana terdapat
dalam Tabel 2.4 berikut. Dimana terdapat jumlah film yang diradiografi sebanyak
3903 lembar dan dari jumlah itu 605 lembar berisi defect yang harus diperbaiki, dan
setelah dikonversi dalam persentase menjadi 15,5%. Hal ini jauh dari apa yang
diharapkan oleh manajemen perusahaan yaitu sebesar 10% maksimum.
Data yang diperoleh dari kuliah praktek juga menunjukkan bahwa jenis
defect yang paling banyak menyebabkan kegagalan las adalah slag inclusion,
dimana jenis defect ini menduduki peringkat pertama persentase defect pengelasan
dan di ikuti dengan defect-defect yang lain (lihat Tabel 2.5).
Setelah mendapatkan jumlah produk atau output dan jumlah defect maka
peneliti mencari nilai DPMO yaitu dengan rumus sebagai berikut :
Jadi bila jumlah defect yang ditemukan selama bulan Oktober sampai
Nopember 2018 dibuatkan DPMO-nya, maka akan menjadi sebagai berikut:
METODOLOGI PENILITIAN
39
40
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil secara langsung dari objek penelitian
yang terdiri:
a. Studi Pustaka
Metode studi pustaka dengan cara membaca dan mempelajari buku-
buku yang berhubungan dengan analisis Six Sigma dan tentang profil
perusahaan.
b. Observasi Langsung
Metode pengamatan dilakukan untuk mengetahui aliran proses produk
dan pengambilan data produksi.
c. Wawancara Terstruktur
Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh perusahaan dan jenis
karakteristik kualitas produk yang diinginkan oleh pelanggan.
2. Data Sekunder
Data historis yang diberikan oleh perusahaan. Data yang diperlukan untuk
penelitian yaitu sebagai berikut :
a. Profil perusahaan
41
1. Studi Lapangan
Melakukan studi lapangan dengan memberikan pertanyaan kepada pekerja
di PT DPL terhadap welder dan welding inspector. Data yang didapat dari
hasil wawancara ini berkaitan dengan proses pengelasan sampai kepada
inspeksi akhir. Dan diperoleh data dengan melihat data historis dari arsip-
arsip yang ada di PT DPL yang berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti. Dan dilakukan juga pengamatan langsung dilingkungan kerja guna
untuk mengetahui budaya kerja yang ada diperusahaan.
2. Studi Literatur
Melakukan studi literatur untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teori-
teori yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yaitu
mengurangi kecacatan dengan metode studi kepustakaan untuk
mendapatkan data dengan cara membaca literature yang berhubungan
dengan penelitian diperusahaan. Literatur yang digunakan berhubungan
dengan pengendalian kualitas dengan menggunakan NDT, pengelasan, serta
jurnal-jurnal yang berkaitan dengan masalah yang ada diperusahaan.
3. Identifikasi Masalah
42
4. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan rincian dari permasalahan yang dikaji
sesuai kenyataan di lapangan dan nantinya menunjukkan tujuan dari
penelitian ini. Setelah mengidentifikasi permasalahan, selanjutnya dengan
merumuskan masalah sesuai dengan kenyataan di lapangan.
5. Tujuan Masalah
Setelah melakukan perumusan masalah, yang akan dilakukan selanjutnya
yaitu menetapkan penelitian yang akan dilakukan berdasarkan pada
perumusan masalah.
6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara observasi,
wawancara, brainstorming dan data historis PT DPL. Data-data yang
digunakan pada penelitian ini terdiri dari profil PT DPL, data ratio defect,
jenis defect, welding map and Quality plan, dan Welding Procedure
Spesification.
7. Pengolahan Data
Metode untuk pengolahan data dengan metode NDT. Tahapan NDT yang
dilaksanakan meliputi Ultrasonic Test dan Radiographic Test.
Mulai
Obsevasi Lapangan
Perumusan Masalah
Define
1. Identifikasi jenis defect yang ada
2. Identifikasi Proses Produksi
3. Identifikasi Critical to Quality (CTQ)
Tahap pengumpulan
Dan
Pengolahan data
Measure
1. Perhitungan DPMO dan Level Sigma
2. Perhitungan Kapabilitas Proses dan nilai sigma
Analyze
Sebab akibat Terjadinya kegagalan
44
Tahap Analisa
Improve Dan
Rekomendasi Perbaikan Pembahasan
Selesai
45
46
PT Dok Pantai Lamongan memiliki visi dan misi perusahaan adalah sebagai
berikut :
1. Visi
Menjadi galangan kapal yang di perhitungkan dunia dengan biaya
operasional yang efektif serta pada keselamatan kerja, kualitas, dan
ketepatan waktu.
2. Misi
Menjadi galangan kapal pilihan utama.
47
Dalam tahap define ini dapat diketahui bahwa terdapat rata-rata jumlah
defect weld yang dihitung dari jumlah film radiografi , data ini diambil dari rumus
jumlah defect per jumlah out film radiografi.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap KPI sistem manajemen mutu (QMS)
PT DPL yang menetapkan maksimum weld defect rate sebesar 10%. Dampak dan
imbas defect pengelasan ini dapat mempengaruhi image atau reputasi perusahaan
di mata pelanggan, dimana tingkat kepuasan pelanggan akan ditentukan dari
pencapaian kualitas produksi yang dihasilkan perusahaan. Selain mempengaruhi
kepuasan pelanggan, defect ini juga menyebabkan biaya menjadi lebih besar
dikarenakan perusahaan harus memperbaiki produk pengelasan yang cacat tersebut
dan membuang defect dalam pengelasannya dan melakukan pengelasan dan
inspeksi ulang sebelum dapat diterima oleh pihak QC (Quality Control) dan
pelanggan, biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut disebut juga sebagai cost of poor
quality. Untuk kemajuan perusahaan ke depannya, PT DPL harus meningkatkan
kualitas produk maupun proses produksi agar jumlah defect pengelasan dapat di
minimalisasikan. Aktivitas utama pada tahap define ini adalah menetapkan CTQ
(Critical to Quality), yaitu sebuah fokus terhadap permasalahan-permasalahan yang
terjadi dalam rangka memenuhi keinginan pelanggan.
Pada tahap ini yang pertama kali dilakukan adalah menetapkan proyek yang
akan dijalankan berdasarkan skala prioritas yang telah ditentukan, dan setelah itu
kemudian menentukan CTQ. Hal ini dilakukan adalah untuk mengetahui keinginan
dari konsumen yang sesuai dengan tujuan dari metode Six Sigma yaitu memberikan
kepuasan kepada konsumen. Hal selanjutnya adalah membentuk tim, membuat
jadwal proyek, membuat peta proses dan yang terakhir adalah mengidentifikasi
proses yang mempengaruhi CTQ atau biasa disebut juga sebagai CTP (Critical to
48
Process).
Dalam penelitian ini digunakan data output hasil radiografi dari pengelasan
di PT DPL. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah film radiografi yang berisi
defect pengelasan dan jenis-jenis cacat yang terjadi dalam pengelasan tersebut.
Dengan mengetahui jenis-jenis defect pengelasan yang ada pada pengelasan yang
dihasilkan oleh departemen welding di PT DPL, maka pihak perusahaan dapat
memfokuskan pada mengidentifikasi jenis-jenis defect pengelasan yang paling
banyak terjadi atau yang memiliki kontribusi terbesar dalam permasalahan. Dengan
meminimalkan jumlah defect pengelasan maka tingkat kualitas produk yang
diinginkan pelanggan akan dapat dengan mudah dicapai, serta sasaran QMS
(quality management system) perusahaan sehubungan dengan cost of poor quality
dapat diminimalkan.
Penelitian dilakukan pada Pile Rig terfokus pada wellhead platform pile
make up and details. Bagian tersebut digunakan untuk penelitian karena bagian
tersebut menunjukan ratio defect terbesar pada pengujian radiographic test dan
dibagian tersebut mempunyai ratio defect yang tinggi pada pengujian ultrasonic
test. Karena itu diperlukannya pengendalian kualitas dengan menggunakan metode
NDT sebagai salah satu metode untuk melakukan analisa pengendalian kualitas
pada proses welding yang dilakukan PT DPL.
bagian sambungan pile dengan uji radiography test dan ultrasonic test., sambungan
butt joint and fillet yang diuji dengan menggunakan Radiography test dan
sambungan TYK connection branch member and fillet yang di uji menggunakan
ultrasonic test.
Terdapat 4 jenis kecacatan pada sambungan pengelasan pada bagian pile
yaitu cacat slag inclusion, cacat porosity, cacat incomplete penetration, dan cacat
incomplete fusion.
1. Procedure Number
2. Welder Data
3. Process Type
4. Thickness Range
5. Plate or pipe, diameter range
6. Welding Position
7. Joint fit up, preparation, cleaning and dimention
8. Pre-heat (min temp and method)
9. Welding technique
10. Welding sequence
PQR diterima maka proses akan diteruskan dengan melakukan proses demo WPS
pada lantai kerja, lalu dilakukan pengelasan. Setelah dilakukan proses pengelasan,
dilanjutkan dengan pengujian secara visual. Jika terdapat kecacatan pada pengujian
visual makan dilakukan perbaikan, jika tidak ada kecacatan pada hasil pengelasan
akan dilanjutkan ke tahap pengujian selanjutnya. Pengujian NDT, jika hasil dari
proses produksi mengalami kecacatan dan ditolak dari hasil pengujian NDT, makan
dilakukan perbaikan. Apabila hasil dari pengujian NDT tidak ada kecacatan dan
diterima, maka benda kerja dikirim ke lantai kerja lainnya untuk diproses finishing.
Gambar detail
sambungan lasan
Pengujian
Persiapan PQR Persiapan WPS
PQR
Visual
Proses Pengelasan
Inspection
NDT
Gambar 4.3 Joint Detail Desain TYK Connection Branch Member and
Fillet
53
2. Persiapan WPS
Untuk proses pengelasan menggunakan WPS yaitu, 15 / WPS/ 2015. WPS
berguna untuk melakukan pengetesan untuk ketentuan yang telah ditulis
dalam WPS tersebut. WPS digunakan pada masing-masing joint tergantung
pada desain sambungan tersebut. 15 / WPS / 2015 digunakan untuk desain
sambungan butt joint and fillet dan untuk sambungan TYK connection
branch member and fillet.
a. Joint
Kedua jenis join yang digunakan pada proses pengelasan yaitu butt joint
and fillet dan TYK connection branch member and fillet, dua jenis
sambungan tersebut menggunakan single weld tanpa backing degan root
opening minimal 2mm dan root face dimension maksimal 1mm. untuk
butt joint and fille, grove andle yang diterapkan adalah 60º(+10º,-0º). dan
untuk sambungan pada TYK connection branch member and fillet,
groove angel yang ditetapkan yaitu 37.5º(+10º,-0º) dan kedua
sambungan tanpa menggunakan back gouging
3. Pengujian PQR
Untuk membuktikan bahwa WPS yang digunakan memenuhi standar yang
menghasilkan lasan yang berkualitas maka dilakukan pengujian. Pengujian
dilakukan oleh pihak eksternal agar tidak ada campur tangan dari pihak PT
DPL, pengujian ini dilakukan oleh Laboratorium Konstruksi dan Kekuatan
Kapal Institut teknologi Sepuluh Nopember. Pengujian yang dilakukan
anatara lain: tensile stress, guided-bend test, macro examination, dan notch
toughness test. Apabila pengujian dianggap tidak sesuai maka proses
kembali ke persiapan PQR.
55
4. Final WPS
Setelah dilakukan pengujian dan didapatkan hasil yang sesuai dengan
kebutuhan maka didapat ketetapan aturan yang dapat digunakan oleh welder
untuk melakukan pengelasan terhadap proyek.
6. Proses pengelasan
Proses pengelasan menggunakan mesin las SMAW. Posisi pengelasan
untuk desain butt joint and fillet adalah posisi 6G yang dapat dilihat pada
gambar 2.6 (d) sedangkan untuk desain TYK connection branch member
and fillet adalah posisi 6GR yang dapat dilihat pada gambar 2.7, keduanya
dilakukan secara vertical dari atas (uphill). Arus listrik yang digunakan pada
mesin las adalah DCEP (elektron arus searah positif). Teknik pengelasan
yang di terapkan yaitu stringer and weave, dengan tidak ada weaning lebih
dari 3 kali dari diameter elektroda inti. Pada tiap sisinya menggunakan
multipass weld dan jumlah elektroda tunggal. Setelah dilakukan pengelasan
teknik membersihkan hasil pengelasan yaitu dengan metode chipping
(memotong), brushing (menyikat) serta grinding (dengan menggunakan
grinda) setelah pengelasan selesai tidak diterapkan perlakuan panas. Lebih
jelasnya hasil pengurutan pengelasan untuk desain butt joint and fillet dapat
dilihat pada Gambar 4.4 dan untuk desain TYK connection branch member
and fillet dapat dilihat pada Gambar 4.5.
56
Gambar 4.5 Pengurutan pengelasan desain TYK connection branch member and
fillet
7. Inspeksi visual
Proses inspeksi visual yang dilakukan terhadap hasil lasan ada 2 yaitu:
a. Inspeksi visual, yaitu inspeksi yang dapat dilihat langsung dengan mata.
Biasanya inspektor membawa senter dalam melakukan proses inspeksi.
b. Inspeksi cacat permukaaan, yaitu melakukan pengujian terhadap hasil
pengelasan untuk mengetahui cacat permukaan yang tidak dapat dilihat
langsung oleh mata. Inspeksi disini menggunakan 2 metode pengujian
antara lain: penetrant test dimana diberikan cairan penguji terhadap
hasil lasan serta magnetic test dimana menggunakan prinsip magnet
dalam melakukan pengujian.
8. NDT
Inspeksi cacat dalam, yaitu melakukan pengujian tanpa merusak material
terhadap hasil pengelasan yang tak nampak mata serta tidak dapat
diidentifikasi melalui pengujian pada permukaan. Metode pengujian yang
digunakan yaitu menggunakan ultrasonic test dan radiographic test.
57
9. Pengujian lasan
Setelah dilakukan dua proses pengujian yaitu inspeksi visual untuk
mengetahui cacat yang dapat dilihat dan cacat pada permukaan serta cacat
dalam pada hasil lasan melalui proses NDT, maka dapat ditentukan apakah
hasil lasan dapat diterima atau tidak. Bila di temukan cacat yang tidak
memenuhi standar maka dilakukan proses perbaikan dengan WPS repair
dan dilakukan pengujian kembali dengan NDT. Tetapi apabila hasil lasan
tidak terdapat cacat atau cacat masih memenuhi standart maka hasil lasan di
kirim ke laintai kerja lainnya.
Hasil dari proses pengelasan yang telah dilakukan inspeksi visual akan
dilanjutkan ke pemeriksaan dengan menggunakan NDT. Luasnya pemeriksaan dari
penerimaan harus ditentukan dengan dokumen kontrak yang terdapat pada bagian
informasi yang diberitakan penawar. Jenis cacat yang terdapat pada pengamatan
yang sedang dilakukan penelitian yaitu:
1. Porosity
Cacat las prosity adalah salah satu jenis cacat pengelasan yang disebabkan
karena terkontaminasinya logam las dalam bentuk gas yang terperangkap
sehingga di dalam logam las terdapat rongga-rongga.porositas merupakan
cacat las yang cukup umum, tetapi juga cukup mudah untuk
memperbaikinya. Porositas terjadi dalam bentuk lubang bulat, yang disebut
spherical porosity, jika lubangnya memanjang disebut wormholes atau
piping. Contoh cacat porositas dapat dilihat pada Gambar 4.7.
58
2. Slag inclusion
Slag incluion adalah salah satu jenis cacat pada pengelasan. Slag inclusion
merupakan oksida dan benda non logam yang terjebak pada logam las. Slag
inclusion bisa disebabkan oleh kontaminasi dari udara luar atau slag yang
kurang bersih ketika mengelas dengan banyak lapisan (multipass). Linear
inklusi yang tersebar dapat menyerupai porositas, tetapi tidak seperti
porositas, mereka umumnya tidak bulat. Dalam radiografi rinci akan
muncul, seperti inklusi terak linear. Berikut ini ditampilkan sampel dari
cacat las dan gambar radiografi yang mewakili:
Cacat las: dapat dilihat pada Gambar 4.8 adalah contoh ilustrasi dari
cacat slag inclusion. biasanya kotoran non logam yang membeku di
permukaan las dan tidak hilang antara melewati las.
59
3. Incomplete Penetration
Incomplete penetration yaitu cacat las yang disebabkan karena ketidak
sempurnaan pengisian las pada kaki las. Penetrasi sambungan tidak cukup
terjadi ketika kurangnya kedalaman lasan menembus sendi akar. Sebuah
cacat biasanya menghasilkan yang dapat mengurangi luas penampang yang
diperlukan sendi atau menjadi sumber konsentrasi tegangan yang mengarah
ke kegagalan kelelahan. Pentingnya cacat tersebut tergantung pada
sensitivitas kedudukan logam dan faktor keselamatan yang lasan telah
desain. Secara umum, jika prosedur pengelasan yang tepat dikembangkan
dan diikuti. cacat tersebut tidak terjadi.
Cacat las: pada Gambar 4.10 menunjukan contoh tidak lengkap atau
kurangnya penetrasi. tepi potongan belum dilas bersamaan, biasanya di
bagian bawah tunggal V-groove las.
60
4. Incomplete Fusion
Fusi tidak lengkap adalah kurangnya perpaduan antara logam cair filler dan
sebelumnya disimpan logam pengisi dan / atau logam dasar. Kurangnya fusi
antara logam las dan wajah sendi disebut kurangnya sidewall fusion. Kedua
masalah ini biasanya berjalan sepanjang semua atau sebagian dari panjang
las ini.
Cacat las: kurangnya dinding sisi fusi. rongga memanjang antara manik las
dan permukaan sendi yang akan dilas. pada Gambar 4.12 menunjukan
contoh tidak lengkap atau kurangnya fusi.
Pengukuran merupakan fase kedua dari konsep Six Sigma. Dalam tahap ini
akan di lakukan beberapa analisis untuk menentukan bagaimana kondisi proses
pengelasan yang sedang berjalan serta masalah-masalah apa yang di hadapi
sebelum di lakukannya perbaikan dengan menggunakan metode Six Sigma. Tahap
ini menggunakan acuan Critical to Quality (CTQ) yang telah di definisikan pada
tahap define sebelumnya.
Tahap measure memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan
kualitas karena dapat mengetahui kinerja perusahaan melalui perhitungan data yang
di jadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis dan perbaikan. Dalam DMAIC
terdapat dua konsep pengukuran yaitu konsep pengukuran kinerja produk dan
konsep pengukuran kinerja proses, yaitu :
Data-data yang digunakan untuk pembuatan peta kendali ini adalah data-
data jumlah output yaitu jumlah film radiografi yang dihasilkan untuk produk
pengelasan perusahaan.
Berikut di bawah ini adalah perhitungan proporsi cacat dalam tiap minggu
inspeksinya.
64
Dari table di atas dapat dilihat bahwa total jumlah cacat selama 4 minggu
adalah sebanyak 26 defect. Di bawah ini adalah tabel rekapitulasi defect dan jenis-
jenisnya.
Dari data rekapitulasi di atas didapat bahwa jenis defect slag inclusion
menjadi defect yang paling banyak ditemukan dalam inspeksi pengelasan.Di bawah
ini adalah cara penentuan DPMO (Defect Per Million Opportunities) dan level
Sigma.
kemampuan proses dalam memenuhi batas spesifikasi yang telah ditentukan dalam
upaya pemenuhan critical to quality (CTQ). Berikut ini adalah hasil dari
perhitungan DPMO, kapabilitas proses serta nilai sigma untuk keseluruhan dari
proses pengelasan.
1. Menghitung DPU (Defect per Unit) dalam hal ini adalah jumlah defect per
minggu.
DPMO = 7 x 1.000.000
221 x 4
= 0,007918552 x 1.000.000
= 7918,55
1. Nilai DPMO, kapabilitas proses dan nilai sigma untuk cacat Porosity.
c. Cp = Nilai Sigma
3
= 3,0 / 3
=1
67
2. Nilai DPMO, kapabilitas proses nilai sigma untuk cacat slag inclusion.
c. Cp = Nilai Sigma
3
= 3,0 / 3
=1
3. Nilai DPMO , kapabilitas proses dan nilai sigma untuk cacat incomplete
penetration.
c. Cp = Nilai Sigma
3
= 3,0 / 3
=1
4. Nilai DPMO, kapabilitas proses dan nilai sigma untuk cacat incomplete
fusion.
c. Cp = Nilai Sigma
3
= 3,16 / 3
= 1,05
1. Faktor manusia
2. Faktor mesin
Mesin tidak di setting dengan benar, seperti amper yang digunakan terlalu
tinggi, arus yang masuk tidak sesuai dan juga salah polaritas yang
menyebabkan kerja mesin las tidak sempurna yang mengakibatkan terdapat
udara yang terperangkap dalam hasil pengelasan.
3. Faktor material
4. Faktor Lingkungan
b. Udaranya yang lembab pada saat musim hujan juga dapat menyebabkan
zat-zat terperangkap dalam hasil lasan.
1. Faktor manusia
2. Faktor mesin
b. Tools kebersihan yang digunakan seperti palu tetek dan sikat tidak
memenuhi persyaratan. Meskipun welder sudah disiplin untuk
membersihkan permukaan lasan tetapi alat yang digunakan untuk
membersihkan tidak maksimal dalam menjangkau sudut daerah lasan
tertentu, sehingga tidak efisien dalam melakukan pembersihan
permukaan lasan.
3. Faktor material
a. Desain sambungan yang tidak tepat yaitu bentuk sudut bevel yang kecil,
kurang dari 37,5º untuk sambungan TYK connection branch member
and fillet dan kurang dari 60º untuk sambungan butt joint and fillet. Hal
ini membuat welder susah untuk membersihkan kotoran yang terdapat
pada sudut yang terlalu kecil dan tidak dapat di jangkau oleh tools yang
digunakan.
74
4. Faktor lingkungan
1. Faktor manusia
dilakukan oleh welder yang mana teknik pengelasan yang tidak tepat
dapat membuat hasil pengelasan yang dihasilkan antara weld metal tidak
menyatu sempurna sampai pada akar pengelasan. Dalam hal ini welder
bisa jadi memiliki kemampuan tetapi belum banyak pengalaman.
2. Faktor mesin
3. Faktor material
b. Pemilihan material weld metal yang salah. Elektroda yang tidak tepat
seperti diameter eletroda terlalu besar, pada root pass sigunakan
elektroda dengan ukuran yang diameter yang lebih kecil daripada daerah
lasan lainnya yaitu elektroda dengan diameter 2.6mm. Posisi elektroda
yang salah menggunakan posisi pengelasan downhill yang mana
seharusnya uphill. Pada posisi pengelasan downhill adanya gaya
gravitasi akan menyebabkan cairan lasan turun lebih cepat dan
membeku sebelum cairan lasan benar benar sampai ke ujung/akar,
sehingga terjadi kekosongan pada daerah akar lasan.
4. Faktor lingkungan
5. Faktor Metode
1. Faktor manusia
2. Faktor mesin
3. Faktor material
c. Pemilihan material weld metal yang salah. Elektroda yang tidak tepat
seperti diameter eletroda terlalu besar dan posisi elektroda yang salah
akan menyebabkan kesulit untuk weld metal masuk ke dalam sudut
celah antar daerah pengelasan, sehingga terjadi kekosongan antar urutan
daerah pengelasan karena elektroda tidak meleleh dengan sempurna.
4. Faktor lingkungan
Pada jenis cacat porosity mode kegagalan dengan nilai RPN tertinggi
menjadi prioritas untuk dilakukan perbaikan. Mode kegagalan dengan nilai
tertinggi yaitu lingkungan kerja tidak sesuai dan elektroda lembab. Lingkungan
kerja tidak sesuai dikarenakan sirkulasi udara minim. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya kecacatan porosity dikarenakan sirkulasi udara yang tertahan didalam
ruangan. Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan penambahan sirkulasi udara
atau hexos agar udara tidak tertahan didalam ruangan. Agar elektroda bertahan lama
80
sebelum digunakan, maka elektroda perlu disimpan secara baik dan benar. Oleh
sebab itu perlu diperhatikan hal-hal berikut dalam menyimpan elektroda:
1. Simpan elektroda pada tempat yang kering dengan kemasan yang masih
tertutup rapi (kemasan tidak rusak).
2. Jangan disimpan langsung pada lantai. Beri alas sehingga ada jarak dari
lantai.
3. Hindari dari benda-benda yang menyebabkan elektroda menjadi lembab.
4. Temperatur ruangan penyimpanan sebaiknya 5derajat diatas temperatur
rata-rata udara luar.
5. Bila elektroda tidak dapat disimpan pada tempat yang memenuhi syarat,
maka sebaiknya diberi bahan pengikat kelembaban, seperti silica gel pada
tempat penyimpanan.
PENUTUP
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan yang dapat diambil
dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran perbaikan yang mengacu
kepada hasil penelitian yang berguna untuk perusahaan maupun penelitian
selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap hasil
pengumpulan dan pengolahan data, dapat disimpulkan sebagai berikut:
2. Berdasarkan perhitungan untuk mencari nilai DPMO, nilai sigma, dan nilai
kapabilitas proses. Untuk nilai DPMO jenis cacat porosity 67307,69 per
sejuta kesempatan cacat yang muncul dan nilai sigma 3,0 untuk nilai
kapabilitas proses 1. Untuk nilai DPMO jenis cacat slag inclusion 67307,69
per sejuta kesempatan cacat yang muncul dan nilai sigma 3,0 untuk nilai
kapabilitas proses sebesar 1. Untuk nilai DPMO jenis cacat Incomplete
penetration 67307,69 per sejuta kesempatan cacat yang akan muncul dan
nilai sigma 3,0 untuk nilai kapabilitas proses sebesar 1. Nilai DPMO jenis
cacat Incomplete fusion 48076,92 cacat yang muncul dari satu juta
kesempatan dan nilai sigma 3,16 sedangkan nilai kapabilitas proses 1,05.
83
84
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini untuk perusahaan dan
penelitian selanjutnya adalah:
85
86
LAMPIRAN
87
88