2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nilai presipitasi dan intensitas hujan yang tinggi dapat menghasilkan proses pelapukan
khemik, erosi, dan gerakan massa tanah/batuan yang tinggi. berkurangnya vegetasi dan degradasi
hutan turut serta mempercepat terjadinya erosi di suatu lokasi. Suhu udara, suhu tanah, kelembaban
tanah, dan mempunyai nilai agregat yang rendah merupakan faktor pendorong terjadinya
denudasioanal di suatu lokasi, terutamanya di Indonesia. Denudasi yang terjadi di Indonesia seperti
yang ada di DAS Serayu hulu, tepatnya di Kabupaten Banjarnega. Meijerink menemukan bahwa
hasil sedimen dari formasi Merawu 50 kali lebih besar dibanding formasi geologi lainnya karena
sepertiga sedimen yang dihasilkan DAS Serayu merupakan hasil erosi dan pelapukan di bagian
hulu.
Ciri-ciri bentuk lahan denudasional yang pertama tidak ada gejala struktural, batuan massif,
dip/strike tertutup. Kedua, relief sangat jelas sperti lembah, lereng, dan pola aliran. Ketiga dapat
dibedakan dengan jelas terhadap bentuk lahan lain. Ketiga, dasar satuan lahan relief lokal, pola
3
aliran, dan kerapatan aliran. Keempat, satuan lahan denudasional berdasarkan litologi seperti
terasosiasi dengan bukit, kerapatan aliran, dan tipe prosesnya.
Erosi adalah proses terlepasnya agregat material (tanah atau batuan lapuk) dan
terpindahkannya material tersebut ke tempat lain. Erosi tidak mencakup proses pengenda- pan
natecial basil erosi. Uraian di bahasan ini akan menekan pada proses erosi yang disebabkah oleh
air mengalir. Erosi mulai terjadi pada saat tetesan hujan mengenai permukaan tanah. Tumbukan
tetesan hujan akan melepaskan butir-butir tanah, selanjutnya percikan air akan memindahkan
butiranbutiran tanah yang telah terlepas. Proses ini disebut dengan erosi percik (splash erosion).
Awal turun hujan semua air akan mengisi pori tanah hingga tanah menjadi jenuh. Segera setelah
tanah jenuh, kelebihan air hujan mulai membentuk lapisan tipis dipermukaan dan mengalir di
saluruh permukaan tanah. Pergerakan lapisan air permukaan ini akan mengerosi tanah di laluinya
yang dikenal dengan erosi lerubar (sheet erosion). Hanya material berbutir halus dapat
terpindahkan dalam erosi lembar, serta mempunyai tenaga yang lebih besar sehingga mampu
mengerosi lebih besar dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hasil erosi yang terkonsentrasi ini
4
menghasilkan cekungan memanjang membentuk alur yang selanjutnya dikenal dengan erosi alur
(rill erosion). Erosi alur mempunyai kedalaman maksimum 50 cm.
Pelapukan (weathering) adalah proses berubahnya sifat fisik dan kimia batuan di permukaan
dan atau dekat permukaan bumi tanpa disertai perpindahan material (insitu). Pelapukan dapat
dibedakan menjadi pelapu- kan fisik, pelapukan kemis, dan pelapukan biotik. Pelapukan fisik
merupakan proses pecahnya batuan menjadi ukuran yang lebih kecil tanpa diikuti oleh perubahan
komposisi kimia batuan. Pelapukan kimia merupakan proses berubahnya komposisi kimia batuan
sehingga menghasilkan mineral sekunder. Air dan temperatur memegang peranan penting dalam
pelapukan kimia, sehingga pelapukan kimia terjadi secara intensif di daerah tropis. Pelapukan
biologis terjadi baik secara fisik maupun kemis karena dipicu oleh organisme.
Gerak masa (masswashting) batuan adalah proses perpindahan material permukaan bumi
secara gravitatif menuruni lereng. Perpindahan dapat terjadi secara cepat maupun lambat den- gan
material yang terpindahkan bervariasi dari tanah hingga bongkahan batuan. Ciri dari material
endapan dari proses gerak masa batuan adalah tidak adanya sortasi / pemilahan metarial yang
terpindahkan. Material balk yang berulcuran halus hingga bongkah tercampur menjadi satu dengan
kedudukan satu dengan yang lain sama seperti kedudukannya saat terpindahkan Gerak masa
batuan dapat dibedakan berdasarkan tipe gerakan dan jenis material yang terpindahkan. Berikut
bebrapa tipe/jenis gerak masa batuan (masswashting) :
a. Rayapan merupakan gerak masa batuan yang sangat lambat, sehingga proses
rayapannya tidak dapat diamati. Rayapan hanya da- pat diketahui dari gejala
permukaan berupa pohon atau tiang li- strik yang miring atau permukaan tanah yang
tidak teratur. Rayapan mempunyai kecepatan antara 1 mm hingga 10 m per tahun
(Summerfield, 1991). Rayapan dapat berupa rayapan tanah, rayapan talus, atau rayapan
batuan. Rayapan sering mengawali terjadinya luncuran (slide).
Gerak masa batuan tipe luncuran paling seing menjadi berita karena sering menim
bulkan korban jiwa. Secara umum luncuran batuan diartikan sebagai perpindahan
material permukaan bumi menuruni lereng secara cepat. Tipe luncuran dibedakan
dengan aliran dari tegasnya/ terdapatnya bidang geser yang jelas. Tipe luncuran dapat
5
terjadi sebagai aliran maupun jatuhan. Tipe luncuran selalu mempunyai dimensi
panjang jauh lebih besar dari lebarnya dengan ratio 10 : 1. Luncuran dapat dibedakan
menjadi transla- tional dan rotasional.
c. Tipe Aliran
Gerak masa tipe aliran dicirikan oleh tidak adanya bidang geser (shear plan). Tipe
aliran dapat dibedakan dengan rayapan dari batas yang tegas dari material yang
terpindah- kan. Menurut Varnes (1978) aliran masa batuan dapat dibedakan menjadi
aliran kering, solifluction, aliran tanah, aliran debris, debris avalanche. Solif- luction
merupakan gerak masa batuan tipe aliran yang paling lambat dari tanah yang jenuh air.
Solifluction dapat terjadi pada lereng yang kurang dari 1° dan terjadi pada lingkungan
periglasial.
d. Translational Slide
Translational slide merupakan luncuran masa batuan dengan bidang luncur yang lurus,
sedangkan rotational slides mempunyai bidang luncur yang melengkung.
e. Tipe Jatuhan
Gerak masa batuan tipe jatuhan dicirikan oleh pergerakan melalui udara, pada
umumnya fragmen batuan. Jatuhan tanah jarang ditemukan di alam. Suatu
perkecualian adalah jatuhan tanah pada tebing sungai yang disebut dengan bank
calving. Jenis jatuhan batu yang lain adalah topples yang dicirikan oleh adanya rotasi
blok / fragmen batuan pada saat jatuh. Topple dapat terjadi apabila kekar batuan
vertikal.
Denudasi meliputi proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses
pengendapan/sedimentasi yang menjadi proses awal Bentanglahan Denudasional.
1.2.1. Pelapukan
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang berarti
cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan dengan perubahan sifat
(fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh pengaruh cuaca. Secara umum, pelapukan
6
diartikan sebagai proses hancurnya massa batuan oleh tenaga Eksogen. Menurut Olliver
(1963) pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mmineral dan sifat fisik batuan terhadap
kondisi lingkungan di sekitarnya. Akibat dari proses ini pada batuan terjadi perubahan warna,
misal kuning pada suatu bongkahan batuan. Meskipun proses pelapukan ini berlangsung
lambat, karena telah berjalan dalam jangka waktu yang sangat lama maka di beberapa tempat
telah terjadi pelapukan yang sangat tebal. Ada jga daerah yang hasil pelapukanya tipis atau
bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini terjadi akibat perpindahan hasil pelapukan pada tempat
yang bersangkutan ke tempat lalin. Tanah yang kita kenal ini adalah hasil pelapukan batuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan adalah:
A. Jenis batuan (kandungan mineral, retakan, bidang pelapisan, patahan dan retakan). Batuan
yang resisten lebih lambat terkena proses eksternal sehingga tidak mudah lapuk,
sedangkan batuan yang tidak resisten sebaliknya. Contoh :
1. Limestone, resisten pada iklim kering tetapi tidak resisten pada iklim basah.
2. Granit, resisten pada iklim basah tetapi tidak resisten pada iklim kering.
B. Iklim, terutama tenperatur dan curah hujan sangat mempengaruhi pelapukan.Contoh :
1. Iklim kering, jenis pelapukannya fisis
2. Iklim basah, jenis pelapukannya kimia
3. Iklim dingin, jenis pelapukannya mekanik
C. Vegetasi, atau tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang cukup besar terhadap proses
pelapukan batuan. Hal ini dapat terjadi karena:
1. Secara mekanis akar tumbuh-tumbuhan itu menembus batuan, bertambah panjang
dan membesar menyebabkan batuan pecah.
2. Secara kimiawi tumbuh-tumbuhan melalui akarnya mengeluarkan zat-zat kimia yang
dapat mempercepat proses pelapukan batuan. Akar, batang, daun yang membusuk
dapat pula membantu proses pelapukan, karena pada bagian tumbuhan yang
membusuk akan mengeluarkan zat kimia yang mungkin dapat membantu
menguraikan susunan kimia pada batuan. Oleh karena itu, jenis dan jumlah tumbuhan
yang ada di suatu daerah sangat besar pengaruhnya terhadap pelapukan. Sebenarnya
antara tumbuh-tumbuhan dan proses pelapukan terdapat hubungan yang timbal balik.
D. Topografi
7
Topografi yang kemiringannya besar dan menghadap arah datangnya sinar matahari atau
arah hujan, maka akan mempercepat proses pelapukan
B. Pelapukan kimiawi, yaitu pelapukan yang ditimbulkan oleh reaksi kimia terhadap
massa batuan. Air, oksigen dan gas asam arang mudah bereaksi dengan mineral,
sehingga membentuk mineral baru yang menyebabkan batuan cepat pecah.
8
Daerah yang mempunyai iklim basah adan panas misalnya ilim hujan tropis akan
mempercepat proses reaksi kimia, sehingga batuan menjadi cepat lapuk.
Ukuran batuan
Makin kecil ukuran batuan makin intensif reaksi kimia pada batuan tersebut
berarti makin cepat pelapukannya.
Vegetasi dan binatang
Dalam hidupnya vegetai dan binatang menghasilkan asam-asam tertentu,
oksigen dan gas asam arang sehingga mudah bereaksi dengan batuan. Artinya
vegetasi dan binatang ikut mempercepat proses pelapukan batuan.
C. Pelapukan organik, dapat juga disebut pelapukan biologis. Yaitu pelapukan yang
disebabkan oleh mahkluk hidup, seperti lumut. Pengaruh yang disebabkan oleh
tumbuh tumbuhan ini dapat bersifat mekanik atau kimiawi.
9
C. Ketebalan hancuran batuan(debris) diatas batuan dasar,
Ketebalan hancuran batuan atau Debris diatas batuan dasar makin tebal hancuran
batuan yang berada diatas batuan dasar, makin besar pula peluang untuk terjadinya
Mass Wasting, karena permukaan yang labil makin besar pula.
D. Orientasi bidang lemah dalam batuan,
Pada umumnya Mass wasting akan mengikuti alur bidang lemah dalam batuan, karena
orientasi bidang lemah tersebut akan lapuk lebih dahulu kemudian materi yang lapuk
akan bergerak.
E. Iklim,
Kondisi iklim disuatu daerah akan mempengaruhi cepat atau lambatnya Mass wasting.
F. Vegetasi,
Daerah yang tertutup oleh vegetasi atau tumbuh-tumbuhan peluang untuk terjadinya
Mass Wasting kecil, karena vegetasi dapat menahan laju gerakan massa batuan di
permukaan.
G. Gempa bumi,
Daerah yang sering mengalami gempa bumi cenderung labil, sehingga peluang
terjadinya Mass wasting besar.
H. Tambahan material pada bagian atas lereng
Di daerah gunung api aktif sering terjadi penambahan material di bagian Satas lereng
akibat letusan sehingga akan memperbesar peluang terjadinya Mass wasting.
1.2.2.2. Klasifikasi mass wasting :
A. Slow flowage (gerakan lambat)
Gerakan lambat meliputi rayapan dan solifluksi. Rayapan (creep) adalah
pemindahan massa batuan yang lambat hingga tidak mudah diamati.
10
Menurut bahan yang dipindahkan dan cara pemindahanya diklasifikasikan
menjadi :
o Rayapan tanah (soil creep):
Yaitu gerakan massa tanah/batuan secara lambat ( <1cm/th ) menuruni lereng,
sebagai akibat gravitasi. Akibat dari adanya rayapan ini tidak jelas hanya saja
pada tiang telepon, tiang listrik, pohon-pohon menjadi miring/agak miring.
Lahan seperti ini tidak baik untuk dijadikan lahan persawahan ataupun untuk
permukiman.
o Rayapan puing hasil rombakan batuan (talus creep),
Rayapan puing hasil rombakan batuan (talus creep),pada prinsipnya sama
dengan soil creep, hanya bahannya saja yang berbeda. Gejala ini banyak
terjadi pada daerah-daerah yang mengalami pergantian antara pembekuan dan
pencairan kembali.
o Rayapan batu (rock creep):
Apabila bahan-bahan yang bergerak berupa bongkah-bongkah besar dengan
gerakannya yang perlahan-lahan.
o Rayapan lawina batuan (rock glacier creep):
Dilihat dari segi bahannya sama dengan rock creep. Perbedaannya adalah
bahwa pada rayapan lawina, batuan tampak seperti anak-anak sungai
(bercabang-cabang yang menggerakan massa batuan tersebut menuruni
lereng).
o Solifluksi, yaitu pengaliran massa batuan yang jenuh akan air. Hal ini terjadi
terutama di daerah dingin (daerah lintang tinggi dan di daerah pegunungan
tinggi). Oleh karena itu, jelaslah bahwa dalam proses ini terdapat kadar air
yang tinggi, namun demikian air dalam hal ini tidak menjadi faktor
pengangkut. Ada beberapa faktor yang mendorong untuk terjadinya
solifluksi, yaitu:
• Proses pelapukan berlangsung cepat
• Adanya persediaan air yang cukup, biasanya dari pencairan salju
• Adanya lereng yang curam dan tidak bervegetasi
B. Rapid flowage (gerakan cepat)
11
Rapid Flowage adalah perpindahan massa batuan atau tanah yang reltif cepat
karena dibantu oleh aliran air dalam tanah yang telah jenuh. Pemindahan cepat ini
disebabkan oleh adanya kadar air yang lebih tinggi, sehingga batuan/tanah yang
bergerak itu jenuh. Oleh karena itu, diperoleh kesan bahwa batuan itu mengalir.
12
1.2.3. Erosi
Erosi adalah suatu proses geomorfologi, yaitu proses pelepasan dan terangkutnya
material bumi oleh tenaga geomorfologis baik kekuatan air, angin, gletser atau gravitasi.
Faktor yang mempengaruhi erosi tanah antara lain sifat hujan, kemiringan lereng dari jaringan
aliran air, tanaman penutup tanah, dan kemampuan tanah untuk menahan dispersi dan untuk
menghisap kemudian merembeskan air kelapisan yang lebih dalam.
1.2.3.1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi erosi tanah :
A. Iklim: Faktor iklim yang berpengaruh adalah curah hujan, angin, temperatur,
kelembapan, penyinaran matahari. Banyaknya curah hujan, intensitas dan distribusi
hujan menentukan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran
permukaan, serta besarnya kerusakan erosi. Angin selain sebagai agen transport
dalam erosi beberapa kawasan juga bersama-sama dengan temperatur, kelembaban
dan penyinaran matahari terhadap evapotranspirasi, sehingga mengurangi kandungan
air dalam tanah yang berarti memperbesar investasi tanah yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kepekaan erosi tanah.
B. Topografi: kemiringan lereng, panjang lereng, konfigurasi, keseragaman, dan arah
lereng mempengaruhi erosi. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajad atau
persen. Kecuraman lereng memperbesar jumlah aliran permukaan, dan memperbesar
kecepatan aliran permukaan, sehingga dengan demikian memperbesar daya angkut
air. Semakin besar erosi terjadi dengan makin curamnya lereng.
C. Vegetasi, berperan untuk mengurangi kecepatan erosi
D. Tanah. Kepekaan tanah terhadap erosi tergantung pada sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, kapasitas menahan air dan struktur
tanah.
E. Manusia. Manusia dapat mencegah dan mempercepat terjadinya erosi tergantung
bagaimana manusia mengelolanya.
Setiap proses erosi merupakan gabungan dari beberapa subproses, yaitu dimulai dengan
pengambilan hasil pelapukan yang terangkut juga sebagai alat pengikis. Butir-butiran batuan
secara bersama-sama dalam pengangkutan, saling bersinggungan dan saling bergesekan satu
13
sama lain. Cara pengangkutan terhadap bahan terjadi berbeda-beda: ada yang terapung di
permukaan, digulingkan, digeser dan sebagainya.
1.2.3.2. Klasifikasi bentuk erosi :
A. Erosi percik (splash erotion),
ialah proses percikan partikel-partikel tanah halus yang disebabkan oleh pukulan tetes air
hujan terhadap tanah dalam keadaan basah (Yunianto, 1994)
B. Erosi lembar (sheet erosion)
adalah erosi yang terjadi karena pengangkutan atau pemindahan lapisan tanah yang
hampir merata ditanah permukaan oleh tenaga aliran perluapan.
C. Erosi alur (rill erosion).
Erosi ini terjadi karena adanya proses erosi dengan sejumlah saluran kecil (alir) yang
dalamnya <30 cm, dan terbentuk terutama dilahan pertanian yang baru saja diolah. Erosi
ini dimulai dengan genangan-genangan kecil tempat-tempat di suatu lereng, maka bila air
dalam genangan itu mengalir, terbentuklah alur-alur bekas aliran air tersebut
D. Erosi parit (channel erosion).
Erosi ini terbentuk sama dengan erosi alur, tetapi tenaga erosinya berupa aliran lipasan
dan alur-alur yang terbentuk sudah sedemikian dalam sehingga tidak dapat dihilangkan
dengan pengolahan tanah secara biasa.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faktor Pengontrol Bentanglahan Denudasional
Faktor pengontrol pelapukan adalah batuan induk, aktivitas organisme, topografi, dan
iklim. Batuan induk dalam hal ini yang mengontrol proses pelapukan adalah mineralogi, kekar dan
porositas. Batuan yang mengandung mineral-mineral mafik akan lebih cepat lapuk dibandingkan
dengan batuan yang mengandung mineral felsik. Aktivitas organik akan meningkatkan keasaman
tanah. yang selanjutnya mempercepat senyawa dan palapukan kemis. Topografi mempengaruhi
drainase permukaan dan dekat permukaan, daerah yang datar dan sering tergenang mempunyai
tingkat pelapukan dibandingkan daerah yang miring. Topografi juga berpengaruh terhadap
temperatur dan curuh hujan yang pada akhirnya berpengaruh terdap proses pelapukan. Parameter
iklim yang berpengaruh terhadap pelapukan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur secara
langsung berpengaruh terhadap pelapukan fisik dan kemis. Temperatur berpengaruh terhadap
kegiatan organisme, sehingga secara tidak langsung temperatur berpengaruh terhadap proses
pelapukan melalui aktivitas organik.
15
Proses pelapukan merupakan prasyarat bagi proses denudasi lainnya (erosi dan gerak masa
batuan). Sebelum ada pelapukan proses erosi dan gerak masa batuan tidak akan terjadi. Intensitas
erosi dan gerak masa batuan yang lebih besar daripada intensitas pelapukan menyebabkan
tersingkapnya batuan dasar, sebaliknya intensitas erosi dan gerak masa batuan yang lebih kecil
dari intensitas pelapukan menghasilkan tanah yang tebal.
Satuan bentuk lahan merupakan hasil dari penggabungan klasifikasi suatu wilayah menjadi
objek kajian. Satuan lahan denudasional terdiri atas sembilan sebagai berikut :
a. Pegunungan Denudasi (Pegunungan Terkikis)
Ciri utama Karakteristik umum unit mempunyai topografi bergunung dengan lereng
sangat curam (55>140%), perbedaan tinggi antara tempat terendah dan tertinggi (relief)
> 500 m.Mempunyai lembah yang dalam, berdinding terjal berbentuk V karena proses
yng dominan adalah proses pendalaman lembah (valley deepening). Contoh
pegunungan terkikis berada di Canyonland nasional park, Utah, Amerika Serikat dan
Gunung Roraima (gunung meja besar) yang ditemukan di Venezuela, Brazil, dan
Guyana.
16
b. Pengunungan Denudasi (Perbukitan Terkikis)
Mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan lereng berkisar antara 15 >
55%, perbedaan tinggi (relief lokal) antara 50 -> 500 m. Terkikis sedang hingga kecil
tergantung pada kondisi litologi, iklim, vegetasi penutup baik alami maupun tata guna
lahan. Contoh adalah pulau Berhala, hamper 72,54 persen pulau tersebut merupakan
perbukitan dengan luas 38,19 ha. Perbukitan yang berada di pulau tersebut adalah
perbukitan denudasional terkikis sedang yang disebabkan oleh gelombang air laut serta
erosi sehingga terbentuk lereng-lereng yang sangat curam. Contoh lain yaitu perbukitan
terkikis di daerah Jawa, Perbukitan terkikis di daerah Oe’sapa, Kupang, NTT dan
perbukitan terkikis di Soreang, Bandung.
c. Peneplain (Dataran Nyaris)
Akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara terus menerus, maka
permukaan lahan pada daerah tersebut menurun ketinggiannya dan membentuk
17
permukaan yang hamper datar yang disebut dataran nyaris (peneplain). Dataran nyaris
dikontrol oleh batuan penyusunan yang mempunyai struktur berlapis (layer). Apabila
batuan penyusun tersebut masih dan mempunyai permukaan yang datar akibat erosi,
maka disebut permukaan planasi.
d. Inselberg (Perbukitan Sisa)
18
Mempunyai topografi berbentuk kerucut/kipas dengan lereng curam. Secaraindividu
fragmen batuan bervariasi dari ukuran pasir hingga blok, tergantung padabesarnya cliff
dan batuan yang hancur. Fragmen berukuran kecil terendapkanpada bagian atas kerucut
(apex) sedangkan fragmen yang kasar meluncur kebawah dan terendapkan di bagian
bawah kerucut talus.
f. Bad Land (Lahan Rusak)
Merupakan daerah yang mempunyai topografi dengan lereng curam hingga sangat
curam dan terkikis sangat kuat sehingga mempunyai bentuk lembah-lembah yang
dalam dan berdinding curam serta berigir tajam (knife-like) dan membulat. Proses erosi
parit (gully erosion) sangat aktif sehingga banyak singkapan batuan muncul ke
permukaan (rock outcrops).
Jasa ekosistem adalah segala keuntungan yang didapatkan dari suatu ekosistem, khususnya
yang terkait dengan kesejahteraan manusia (Woodruff dan Bendor, 2016). Jasa ekosistem
dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan (provisioning), jasa pengaturan
(regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MA, 2005). Berdasarkan
empat kategori ini, dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi jasa ekosistem, yaitu (De Groots, 2002):
a. Jasa Penyediaan: (1) Bahan makanan, (2) Air bersih, (3) Serat, bahan bakar, dan bahan
dasar lainnya, (4) Materi genetik, (5) Bahan obat dan biokimia, (6) Spesies hias.
19
b. Jasa Pengaturan: (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9) Pencegahan
gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12) Perlindungan tanah, (13)
Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15) Pembentukan tanah.
c. Budaya: (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Inspirasi, (19) Warisan dan indentitas budaya,
(20) Spiritual, (21) Pendidikan.
d. Pendukung: (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah.
Berikut merupakan jasa ekosistem bentuk lahan denadusional berdasarkan Jasa Penyediaan,
pengaturan, budaya, dan pendukung
Tabel 1. Hubungan dan Penjelasan antara Jasa Ekosistem dan Jasa Penyediaan pada Bentanglahan Denudasional
Tabel 2. Hubungan dan Penjelasan antara Jasa Ekosistem dan Jasa Pengaturan pada Bentanglahan Denudasional
Jasa ekosistem Jasa pengaturan
Iklim Tata air dan Pencegahan dan Pemurnian air Pengolah.
Geoekosistem banjir perlind. penguraian
bencana limbah
Pegunungan terkikis Tinggi sedang Sedang sedang tinggi
Perbukitan terkikis Sedang- sedang Sedang sedangTinggi sedang
tinggi
Bukit sisa Rendah Rendah Sedang Rendah sedang
Perbukitan terisolir sedang Sedang Sedang Sedang sedang
Dataran nyaris Sedang Sedang Sedang sedang sedang
Lereng kaki Sedang Sedang Sedang Sedang sedang
Kipas rombakan Sedang Sedang Sedang sedang sedang
lereng
Lahan rusak sedang Sedang Sedang Sedang sedang
20
Tabel 3. Hubungan dan Penjelasan antara Jasa Ekosistem dan Jasa Pendukung pada Bentanglahan Denudasional
Jasa ekosistem Jasa pendukung
Geoekosistem Pembentukan lapisan Siklus hara, Produksi primer,
tanah, pemeliharaan kesuburan, tingkat oksigen, penyediaan
kesuburan produksi habitat spsies
Pegunungan Tinggi Tinggi-sedang tinggi
terkikis
Perbukitan Sedang-Tinggi Tinggi-sedang Tinggi
terkikis
Bukit sisa Rendah Rendah rendah
Perbukitan sedang Sedang sedang
terisolir
Dataran nyaris Sedang Sedang sedang
Lereng kaki Sedang-tinggi Sedang-tinggi Sedang-tinggi
Kipas rombakan Sedang Sedang sedang
lereng
Lahan rusak Rendah Rendah rendah
21
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Nurjahati dkk. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung; Universitas Lampung
Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.
Pramadya Paramita, Jakarta.
Santosa, Langgeng. 2012. Bahan Ajar Kuliah: Tipologi Wilayah Pesisir. Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM
Suharjo. 1996. Geomorfologi Dasar. Buku Pegangan Kuliah. Surakarta; Fakultas Geografi UMS.
22