Anda di halaman 1dari 31

BAB I

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : Nn. SE
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tegal, Jawa Tengah
No RM : 00364xxx
MRS : 8 September 2019
Tanggal Periksa : 13 September 2019

II. KeluhanUtama
Nyeri pada punggung sejak 1 tahun SMRS

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari RSUD Tegal datang ke IGD RS dr.Soeharso
dengan keluhan nyeri punggung sejak 1 tahun SMRS. Nyeri punggung
dirasakan terus menerus, memberat saat berubah posisi dan beraktifitas
dan berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan kaki kiri
melemah 2 minggu SMRS. Lemah dirasakan semakin lama semakin
memberat hingga pasien kesulitan dalam berjalan.
Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan , keluar keringat
di malam hari dan penurunan nafsu makan bersamaan dengan munculnya
nyeri punggung. Pasien mengatakan pernah mengkonsumsi obat TB
selama 1 tahun. Teman sebangku pasien pernah mengalami keluhan yang
sama ditambah batuk berdahak selama lebih dari 3 bulan. BAB dan BAK
pasien tidak ditemukan kelainan

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma atau deformitas sebelumnya : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat hepatitis : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : (+)pengangkatan
tumor kelenjar TB di
perut kiri
Riwayat Ambulasi : berjalan dengan bant
uan

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal

VI. Riwayat Kebiasaan


Riwayat minum minuman keras : disangkal
NAPZA : disangkal
Riwayat merokok : disangkal

VII. Riwayat Gizi


Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk berganti-ganti. Pasien makan 2
kali sehari dengan lauk berganti-ganti. Nafsu menurun setelah nyeri pada
punggung

VIII. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat dengan fasilitas BPJS

2
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Compos mentis E4V5M6, tampak sakit sedang.
1. Primary Survey
Airway : Bebas
Breathing : Pernapasan spontan, thoracoabdominal 20x/ menit,
simetris, normal
Circulation : Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 85x/menit
Disability : GCS E4V5M6, refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
Exposure : Suhu 36,8 ° C

2. Secondary Survey
Mata : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-)
Kulit : sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petekie (-),
turgor
baik
Kepala : mesocephal, lesi (-)
Mulut : maloklusi (-), lidah kotor (-), gigi tanggal (-)
Leher : deviasi trakea (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Thorax : simetris, normochest, retraksi (-)
Cor :I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis tidak kuat angkat
P : batas jantung tidak melebar
A : bunyi jantung I-II, intensitas reguler, bising
(-)
Pulmo :I : pengembangan dinding dada kanan = kiri
P : fremitus raba dinding dada kanan = kiri
P : sonor / sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+), suara nafas
tambahan (-/-)
Abdomen :I : dinding perut sejajar dinding dada,
distended (-)
3
A : bising usus (-)
P : timpani
P : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat(+), edema (-)

3. Status Lokalis
Regio Spine
Look : Skin intak, swelling (-), verban(+)
Feel : Nyeri tekan (+)thorakal, step off (-)
Movement : ROM tidak dilakukan
Pemeriksaan Motorik :
C5C6C7C8T1 55555/55555
L2L3L4L5S1 55555/11111
Pemeriksaan Sensorik : Paraesthesia setinggi VTh2 (D)
Otonom : BAB dan BAK normal
Refleks fisiologis : Bicep refleks +2/+2, Knee refleks +2/+1
Refleks patologis : Hoffman tromner -/-, Babinski -/-, Chaddok -/-

C. ASSESSMENT
- Kifosis ai spondylitis TB post laminektomi dekompresi
D. PLANNING
 TLSO
 Meloxicam 2x 7,5mg
 Mecobalamin 2x 500mcg
 Cefadroxil 2x500mg

PEMERIKSAAN PENUNJANG

4
Laboratorium :

a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein

Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.

Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan selama 48

– 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus

dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang

immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau

disertai penyakit lain).


c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),

sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-

paru yang aktif).


d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang

bersifat relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang

sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih)

untuk menyingkirkan diagnosa banding.


f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

5
kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom.
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap

akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.


Kandungan protein meningkat.

A. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK PADA SPONDILITIS TB

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung

pada banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak

dan berevolusi lambat(Rasuoli, 2012).

Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa

pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa

sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa(Rasuoli, 2012).

Anamnesa dan inspeksi :

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan

malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat

berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak

jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan

kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya

6
berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan

jelas(Rasuoli, 2012).
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau

berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi

pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan

pembesaran hati dan limpa(Rasuoli, 2012).


3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri

yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak

sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi

di thorakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan

intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa

nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang

dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan

punggungnya menjadi kaku(Rasuoli, 2012).


4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.

Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di

punggung(Rasuoli, 2012).
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat

menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi

dan duduk dalam posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara

tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris

sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga

mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat

abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang

besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch


7
sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor

respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa

akan menyebabkan tetraparesis(Rasuoli, 2012).


6. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi

kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari

sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk

lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku.

Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan

mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak

dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat

menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis(Rasuoli, 2012).


7. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan

lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus

dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di

belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip

dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan

meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan

menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul(Rasuoli, 2012).


8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi

tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi,

spondilolistesis, dan dislokasi(Rasuoli, 2012).


9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit

neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi

paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area

torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari
8
alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola

jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat

pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal(Rasuoli,

2012).
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan

nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari

pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut

disebabkan karena tuberkulosa(Rasuoli, 2012).

Palpasi :

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan

dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah

lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di

sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara

ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess(Rasuoli,

2012).
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena(Rasuoli, 2012).

Perkusi :

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus

vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness(Rasuoli, 2012).

9
Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium :

a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam(Rasuoli, 2012).
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein

Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.

Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan

selama 48 – 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada

– 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada

pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja

terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain) (Rasuoli, 2012)..


c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),

sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan

paru- paru yang aktif) (Rasuoli, 2012).


d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis

yang bersifat relatif(Rasuoli, 2012).


e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus

yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup

canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding (Rasuoli, 2012).


f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara

10
serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal

akan tampak: (Rasuoli, 2012)


 Xantokrom.
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada

tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada

meningitis piogenik.
 Kandungan protein meningkat

B. PATOFISIOLOGI

Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung

Mikobakterium tuberkulosis (M.Tb), di alveolus akan difagositosis oleh

makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan

makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembang biak dan

menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik

secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb

tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk

tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel

raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma

dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi

11
kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar

limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan

limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb

dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup

dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun

kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi

atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag.

Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular

sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi

endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara

bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya. (Smith, 2003)

Perjalanan infeksi pada vertebra melalui 2 jalur utama yaitu arteri

dan vena, serta jalur tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik

mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk ke dalam korpus vertebra,

berasal dari arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh

dari korpus yang berdekatan, di mana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4

buah arteri. Di dalam korpus ini berakhir sebagai end arteri sehingga

perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai di daerah paradiskus.

Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, yaitu sebuah anyaman vena

epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus

Batson pada daerah perivertebral. Pleksus ini beranastomosa dengan

pleksuspleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal, lumbal dan

pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat perubahan tekanan pada dinding
12
dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar. Jalur ketiga adalah

penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah

terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan

posterior ke korpus vertebra yang berdekatan. Basil M. tuberculosis

mungkin berjalan dari paru ke spinal melalui pleksus venosus

paravertebral Batson, melalui drainase limfatik ke kelanjar paraaorta. Pada

individu sehat respons imun selular sudah mengandung basil ini tapi tidak

melakukan eradikasi. (Kusmiati, 2016)

Penyebaran infeksi tuberkulosis akan menyebabkan inflamasi pada

paradiskus, terjadi hyperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis.

Desttruksi tulang terjadi progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior,

serta adanya iskemi sekunder, periartritis dan endarteritis, akan menyebabkan

kolapsnya bagian tersebuInfeksi tuberkulosis pada tulang vertebra terjadi akibat

infeksi sekunder dari infeksi primer di bagian tubuh lainnya. Cara penyebaran

utama bakteri ke bagian tulang vertebra adalah melalui aliran darah pada arteri

maupun vena. Oleh sebab itu spondylitis TB disebut sebagai blood-borne disease

dimana penyebaran terjadi secara hematogen. Sumber infeksi primer paling

sering terjadi pada organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi menyerang

segmen torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung berasal dari infeksi

TB paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen torako-lumbal maka sumber

infeksi primer cenderung lebih berasal dari infeksi pada traktus urinaria
Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian anterior atau

korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan disertai dengan

osteoporosis regional. Kemudian infeksi akan menyebar dan terjadi

avaskularisasi sehingga pada saat yang bersamaan produksi tulang baru


13
terhambat. Tuberculous sequestra akhirnya terbentuk pada segmen tulang

vertebra yang terinfeksi. Secara perlahan jaringan tuberculous sequestra ini akan

mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga terbentuk

yang disebut dengan abses paravertebra. Abses paravetebra akan menyebar ke

arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan tanda-tanda

inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal sebagai “cold

abcess”. (Rajasekaran,2018)
Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya secara

anterior maupun posterior melalui ligamen longitudinal. Diskus intervertebralis

tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang melaluinya. Akan

tetapi diskus intervertebralis secara perlahan akan terdesak oleh jaringan

granulasi tuberkulosis dan menjadi hancur. Pada anak-anak, diskus

intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran vaskular yang

melalui diskus intervertebralis. Ketika infeksi menyerang tulang vertebra beserta

dengan diskus intervertebralis, maka penyakit tersebut bukan disebut sebagai

spondylitis, akan tetapi disebut sebagai spondylodiscitis.


Oleh karena destruksi tulang terjadi pada bagian anterior tulang vertebra,

maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio anterior

sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana wedging pada

tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan gibbus. Maka

secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau yang dikenal

sebagai postur kyphosis. (Kusmiati, 2016)

Ketika terjadi kolaps pada tulang vertebra dan penjepitan diskus

intervertebralis, maka struktur yang berada di dalam foramen vertebralis,

yaitu medulla spinalis akan tertekan sehingga akan tampak keluhan

neurologis. Keluhan neurologis oleh karena penekanan mekanik terhadap


14
medulla spinalis yang paling sering ditemukan pada penderita spondylitis

TB adalah paraplegia. Apabila abses paravertebra telah terbentuk, nekrosis

perkijuan dapat turun mengikuti alur fasia muskulus psoas dan membentuk

abses psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis. Abses dapat

berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula

spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal.

Selain karena tekanan abses, paraplegia awal dapat pula disebabkan oleh

kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskular atau akibat regangan

terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut. Abses dingin di

daerah torakal dapat menembus rongga pleura sehingga terjadi abses

pleura, atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal,

abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra dan faring.

B.1 Klasifikasi Berdasarkan Keterlibatan Organ

Berdasarkan keterlibatan organ Spondilitis TB dibagi dalam 5 derajat,

yaitu:

Derajat 1 Infeksi terbatas hanya pada korpus vertebra dengan kerusakan <

50%.

Derajat 2 Infeksi telah menyebabkan adanya abses paravertebral dengan

kerusakan korpus > 50%.

Derajat 3 Infeksi telah mengenai jaringan lunak yang menyebabkan

kelainan struktur, yakni gibus > 30°.

Derajat 4 infeksi telah menimbulkan kerusakan vertebra > 50% disertai

pemendekan postur. Kondisi ini dapat disertai munculnya gibus, abses, dan
15
jaringan granulasi, tetapi tidak memiliki riwayat kelumpuhan dengan

status neurologis Franke D atau E.

Derajat 5 Telah terjadi defisit neurologis yang nyata dengan status

neurologis Frankel C, B, atau A. (Rahyussalim,2018)

B.2 Bentuk Spondilitis Tuberkulosis pada Vertebrae

Penyebaran basil ke vertebra menyebabkan spondilitis yang mengenai

korpus vertebra. Spondilitis tuberkulosis ditandai dengan destruksi

progresif yang lambat pada bagian anterior corpus vertebra disertai

osteoporosis regional. Spondilitis korpus vertebra ini dibagi menjadi 4

bentuk:

1. Bentuk sentral

Destruksi awal pada sentral korpus vertebra yang dekat dengan

lempeng subkondral (biasanya ditemukan pada anak-anak)

2. Bentuk paradiskus

Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan

diskus intervertebralis (biasanya ditemukan pada orang dewasa)

3. Bentuk anterior

Lokus awal di korpus vertebra bagian anterior yang merupakan

perjalanan per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

4. Atipikal Campuran

Beberapa bentuk sehingga tidak memiliki pola yang jelas.

B.3 Stadium perjalanan penyakit Spondilitis Tuberkulosis

Stadium perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu :


16
1. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh

penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang

berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada

daerah paradiskus dan pada anak- anak umumnya pada daerah sentral

vertebra.

2. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus

vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini

berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan

terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses

dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya

dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada

saat ini terbentuk tulang baji terutama d sebelah depan (wedging anterior)

akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis

atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang

terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis

17
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat

kerusakan paraplegia, yaitu :

a. Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah

melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum

terjadi gangguan saraf sensoris.

b. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi

penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.

c. Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang

membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

d. Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai

gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia

dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena

tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan

langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.

Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh

karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh

pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi

tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat

terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual


18
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium

implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra

yang massif di sebelah depan.

B.4 Kategori Defisit Neurologis pada Spondilitis Tuberkulosis

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa defisit saraf

meningkat secara berurutan saat kompresi pada kolom vertebra meningkat.

Defisit neurologis dapat dikategorikan ke dalam lima tahap:

Tahap I, Pasien tidak menyadari defisit saraf, namun dokter

mendeteksi ekstensor plantar dan atau klonus pergelangan kaki.

Tahap II, Pasien mengalami spastisitas dengan defisit motorik. Skor

motorik yang untuk tetraplegia adalah 60-100, sedangkan pada paraplegia

adalah 80- 100. Kerusakan sensorik menandakan kompresi pada kolom

lateral.

Tahap III, Pasien spastik terbaring di tempat tidur. Skor motorik


untuk tetraplegia adalah 0-30, dan untuk paraplegia adalah 50-80. Skor
sensorik sama dengan tahap II.
Tahap IV, Pasien terbaring di tempat tidur dengan kehilangan
sensorik berat dan/ atau luka tekan. Skor motorik untuk tetraplegia adalah
0 dan paraplegia adalah 50. Ada gangguan dari kedua sensasi kolom lateral
dan posterior.
Tahap V, Sama seperti tahap IV dan disertai keterlibatan kandung
kemih dan usus dan/atau spasme fleksor tetraplegia/ paraplegi
(Rahyussalim,2018)
B.5 DERAJAT KERUSAKAN PARAPLEGIA
Bila terjadi gangguan neurologis, derajat kerusakan paraplegia
dapat dibedakan menjadi:

19
Derajat 1 Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
terjadi gangguan saraf sensorik.
Derajat 2 Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah tapi
penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat 3 Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/ aktivitas penderita serta hipoestesia/ anestesia.
Derajat 4 Terjadi gangguan saraf sensorik dan motorik disertai
gangguan defekasi dan mikturisi. (Rahyussalim,2018)
C. IMAGING

Pemeriksaan radiologis
a) Pemeriksaan foto toraks
Untuk melihat adanya tuberkulosis paru
b) Foto polos vertebra
Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut
dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada
foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung
(birrd’s nets) di daerah torakal berbentuk bulbul dan pada daerah lumbal
abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi
vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis. Pada pasien dengan
deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama
akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar
dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar
terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau
tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di
bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformitas scoliosis.

20
c) Pemeriksaan CT scan
CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi
tulang. Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk
menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
CT juga memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf
posterior seperti pedikel tampak lebih baik. CT scan juga

21
digunakan untuk membantu memvisualisasikan pada saat
biopsi.

d) Pemeriksaan MRI
Pada MRI dapat dilihat infeksi diskus intervertebra, osteomielitis tulang
belakang, gambaran abses dan adanya penekanan saraf. MRI dapat mendeteksi
dini perubahan pada spondilitis TB. Selain itu, MRI juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi respon dari terapi yang diberikan.

22
23
Klasifikasi GATA 2008 (Gulhane Askeri Tıp Akademisi)

D. PENATALAKSANAAN
24
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta
mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas:
Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest) untuk mencegah paraplegia
b. Memperbaiki keadaan umum penderita dan pemberian
tuberkulostatik
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun
yang tidak dioperasi. Dengan memberikan corset yang
mencegah gerak vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset
tadi dapat dibikin dari gips, dari kulit/plastik, dengan corset
tadi pasien dapat duduk/berjalan.
d. Pada terapi konservatif ini dapat dilakukan bersamaan dengan
diberikan nya terapi OAT selama 2 bulan untuk observasi
apakah perlu tindakan operatif atau non-operatif. Terapi ini
juga sebagai umbrella therapy yang mana dapat menjadi
pelindung di kamar operasi agar infeksi tidak menyebar.
Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:
a. Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari
dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10
mg/kg berat badan.
b. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
c. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada
anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

25
d. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi
e. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan
mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap
obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat
tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di Eropa
adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH +
Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di Korea
diberikan kombinasi antar INH+ Rifampisin selama 6-12 bulan
atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan. Standar
pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru
adalah:
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan
dalam dua tahap, yaitu :
1) Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg,
INH 300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama
2) Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kaii seminggu (intermiten) selama 7 bulan
Kategori 2
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minuet obat
selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+)
yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap. Yaitu :
1. Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg,
Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol
750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama

26
2. Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan
Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu
(intermiten) selama 7 bulan
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:
1) Keadaan umum penderita bertambah baik
2) Laju endap darah menurun dan menetap
3) Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
4) Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan
utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun
tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
1) Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa,
yaitu:
a) Drainase
b) Debridement
c) Stabilisasi
2) Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia,
yaitu pengobatan dengan kemoterapi

27
a) Laminektomi

b) Kosto-transveresektomi

c) Operasi radikal
3) Kifosis
Operasi dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat.
Kifosis mempunyal tendensi untuk bertambah berat
terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa
fusi posterior atau melalui operasi radikal.
Indikasi operasi
1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu
sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkolusi diberikan obat tuberkulostatik.
28
2) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan
drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman
serta bone graft.
3) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos,
mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan
adanya penekanan langsung pada medula spinalis.
Metode total therapy yang merupakan gabungan tindakan konservatif dan operatif :

1. Konservatif dengan obat-obatan

Dilakukan pada stadium dini, KU baik, keluhan minimal.

2. Operasi evakuasi abses

Dilakukan pada dengan abses yang besar tetapi dengan lesi tulang

yang terbatas

3. Hongkong method

Debridement anterior dan fusi anterior

4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong

method pada spondilitis tuberkulosis dengan deformitas kifosis yang

tidak rigid

5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong

method dan shortening pada spondilitis tuberkulosis dengan

deformitas kifosis rigid.

6. Hong Kong method didertai dengan intrumentasi anterior

7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotransversectomi

dapat disertai shortening pada lamina dan pedikel.

8. Instrumentasi posterior saja pada penderita yang dilakukan total


posterior shortening atau pada penderita yang dilakukan
29
posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini dilakukan pada penderita
dengan deformitas kifosis di lumbal.
9. Hanya dilakukan tindakan posterior debridement, laminektomi, biopsy
transpedikuler dan instrumentasi. Hal ini dilakukan bila tidak ada
abses, operasi anterior dipertimbangkan resikonya lebih besar.

10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>600) terutama
dengan defisit neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening
lamina, pedikel dan korpus.

11. Spondilitis tuberkulosis dengan deformitas lebih dari 900, disertai


kelumpuhan atau paralisis spastik dilakukan tindakan dekompresi
medula spinalis dan fusi minimal atau tanpa koreksi.

DAFTAR PUSTAKA

30
Garg, R. K., & Somvanshi, D. S. 2011. Spinal tuberculosis: a review. The
journal of spinal cord medicine, 34(5), 440–454
Kusmiati T, Narendrani . 2016. POTT’S Disease.Surabaya. Jurnal
Respirasi FK UNAIR. Vol. 2 No. ,99-109
Rahyussalim.2018. Spondilitis Tuberkulosis: Diagnosis, Penatalaksanaan,
dan Rehabilitasi. Jakarta. Media Aesculapius 46-51
Rajasekaran S, Kanna RM, Shetty AJ. 2018. Spinal Tuberculosis: Current
Concepts. JBJS Rev. DOI: 10.1177/2192568218769053.
RVW.M.00130
Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis.
(Online).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/, diakses
tanggal 11 September 2019)
Smith I. 2003. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular
determinants of virulence pp 463-496. Clinical Microbiology
Reviews.

31

Anda mungkin juga menyukai