STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : Nn. SE
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tegal, Jawa Tengah
No RM : 00364xxx
MRS : 8 September 2019
Tanggal Periksa : 13 September 2019
II. KeluhanUtama
Nyeri pada punggung sejak 1 tahun SMRS
2
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Compos mentis E4V5M6, tampak sakit sedang.
1. Primary Survey
Airway : Bebas
Breathing : Pernapasan spontan, thoracoabdominal 20x/ menit,
simetris, normal
Circulation : Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 85x/menit
Disability : GCS E4V5M6, refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
Exposure : Suhu 36,8 ° C
2. Secondary Survey
Mata : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-)
Kulit : sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petekie (-),
turgor
baik
Kepala : mesocephal, lesi (-)
Mulut : maloklusi (-), lidah kotor (-), gigi tanggal (-)
Leher : deviasi trakea (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Thorax : simetris, normochest, retraksi (-)
Cor :I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis tidak kuat angkat
P : batas jantung tidak melebar
A : bunyi jantung I-II, intensitas reguler, bising
(-)
Pulmo :I : pengembangan dinding dada kanan = kiri
P : fremitus raba dinding dada kanan = kiri
P : sonor / sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+), suara nafas
tambahan (-/-)
Abdomen :I : dinding perut sejajar dinding dada,
distended (-)
3
A : bising usus (-)
P : timpani
P : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat(+), edema (-)
3. Status Lokalis
Regio Spine
Look : Skin intak, swelling (-), verban(+)
Feel : Nyeri tekan (+)thorakal, step off (-)
Movement : ROM tidak dilakukan
Pemeriksaan Motorik :
C5C6C7C8T1 55555/55555
L2L3L4L5S1 55555/11111
Pemeriksaan Sensorik : Paraesthesia setinggi VTh2 (D)
Otonom : BAB dan BAK normal
Refleks fisiologis : Bicep refleks +2/+2, Knee refleks +2/+1
Refleks patologis : Hoffman tromner -/-, Babinski -/-, Chaddok -/-
C. ASSESSMENT
- Kifosis ai spondylitis TB post laminektomi dekompresi
D. PLANNING
TLSO
Meloxicam 2x 7,5mg
Mecobalamin 2x 500mcg
Cefadroxil 2x500mg
PEMERIKSAAN PENUNJANG
4
Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
– 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-
bersifat relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih)
5
kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom.
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap
pada banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak
pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa
malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan
6
berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan
jelas(Rasuoli, 2012).
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau
sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi
intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa
punggung(Rasuoli, 2012).
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat
dan duduk dalam posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara
Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan
dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus
belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip
torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari
8
alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola
2012).
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan
nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara
2012).
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena(Rasuoli, 2012).
Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus
9
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam(Rasuoli, 2012).
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup
10
serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal
meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat
B. PATOFISIOLOGI
makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan
11
kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar
limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan
atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag.
Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular
dan vena, serta jalur tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik
dari korpus yang berdekatan, di mana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4
buah arteri. Di dalam korpus ini berakhir sebagai end arteri sehingga
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, yaitu sebuah anyaman vena
pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat perubahan tekanan pada dinding
12
dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar. Jalur ketiga adalah
individu sehat respons imun selular sudah mengandung basil ini tapi tidak
Desttruksi tulang terjadi progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior,
infeksi sekunder dari infeksi primer di bagian tubuh lainnya. Cara penyebaran
utama bakteri ke bagian tulang vertebra adalah melalui aliran darah pada arteri
maupun vena. Oleh sebab itu spondylitis TB disebut sebagai blood-borne disease
sering terjadi pada organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi menyerang
segmen torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung berasal dari infeksi
TB paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen torako-lumbal maka sumber
infeksi primer cenderung lebih berasal dari infeksi pada traktus urinaria
Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian anterior atau
korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan disertai dengan
vertebra yang terinfeksi. Secara perlahan jaringan tuberculous sequestra ini akan
mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga terbentuk
arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan tanda-tanda
inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal sebagai “cold
abcess”. (Rajasekaran,2018)
Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya secara
tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang melaluinya. Akan
intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran vaskular yang
maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio anterior
sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana wedging pada
tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan gibbus. Maka
secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau yang dikenal
perkijuan dapat turun mengikuti alur fasia muskulus psoas dan membentuk
Selain karena tekanan abses, paraplegia awal dapat pula disebabkan oleh
terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut. Abses dingin di
pleura, atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal,
yaitu:
Derajat 1 Infeksi terbatas hanya pada korpus vertebra dengan kerusakan <
50%.
pemendekan postur. Kondisi ini dapat disertai munculnya gibus, abses, dan
15
jaringan granulasi, tetapi tidak memiliki riwayat kelumpuhan dengan
bentuk:
1. Bentuk sentral
2. Bentuk paradiskus
3. Bentuk anterior
4. Atipikal Campuran
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
daerah paradiskus dan pada anak- anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses
dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya
saat ini terbentuk tulang baji terutama d sebelah depan (wedging anterior)
atau gibbus.
17
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
lateral.
19
Derajat 1 Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
terjadi gangguan saraf sensorik.
Derajat 2 Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah tapi
penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat 3 Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/ aktivitas penderita serta hipoestesia/ anestesia.
Derajat 4 Terjadi gangguan saraf sensorik dan motorik disertai
gangguan defekasi dan mikturisi. (Rahyussalim,2018)
C. IMAGING
Pemeriksaan radiologis
a) Pemeriksaan foto toraks
Untuk melihat adanya tuberkulosis paru
b) Foto polos vertebra
Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut
dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada
foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung
(birrd’s nets) di daerah torakal berbentuk bulbul dan pada daerah lumbal
abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi
vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis. Pada pasien dengan
deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama
akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar
dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar
terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau
tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di
bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformitas scoliosis.
20
c) Pemeriksaan CT scan
CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi
tulang. Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk
menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
CT juga memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf
posterior seperti pedikel tampak lebih baik. CT scan juga
21
digunakan untuk membantu memvisualisasikan pada saat
biopsi.
d) Pemeriksaan MRI
Pada MRI dapat dilihat infeksi diskus intervertebra, osteomielitis tulang
belakang, gambaran abses dan adanya penekanan saraf. MRI dapat mendeteksi
dini perubahan pada spondilitis TB. Selain itu, MRI juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi respon dari terapi yang diberikan.
22
23
Klasifikasi GATA 2008 (Gulhane Askeri Tıp Akademisi)
D. PENATALAKSANAAN
24
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta
mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas:
Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest) untuk mencegah paraplegia
b. Memperbaiki keadaan umum penderita dan pemberian
tuberkulostatik
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun
yang tidak dioperasi. Dengan memberikan corset yang
mencegah gerak vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset
tadi dapat dibikin dari gips, dari kulit/plastik, dengan corset
tadi pasien dapat duduk/berjalan.
d. Pada terapi konservatif ini dapat dilakukan bersamaan dengan
diberikan nya terapi OAT selama 2 bulan untuk observasi
apakah perlu tindakan operatif atau non-operatif. Terapi ini
juga sebagai umbrella therapy yang mana dapat menjadi
pelindung di kamar operasi agar infeksi tidak menyebar.
Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:
a. Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari
dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10
mg/kg berat badan.
b. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
c. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada
anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
25
d. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi
e. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan
mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap
obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat
tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di Eropa
adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH +
Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di Korea
diberikan kombinasi antar INH+ Rifampisin selama 6-12 bulan
atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan. Standar
pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru
adalah:
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan
dalam dua tahap, yaitu :
1) Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg,
INH 300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama
2) Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kaii seminggu (intermiten) selama 7 bulan
Kategori 2
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minuet obat
selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+)
yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap. Yaitu :
1. Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg,
Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol
750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama
26
2. Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan
Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu
(intermiten) selama 7 bulan
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:
1) Keadaan umum penderita bertambah baik
2) Laju endap darah menurun dan menetap
3) Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
4) Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra
Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan
utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun
tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
1) Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa,
yaitu:
a) Drainase
b) Debridement
c) Stabilisasi
2) Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia,
yaitu pengobatan dengan kemoterapi
27
a) Laminektomi
b) Kosto-transveresektomi
c) Operasi radikal
3) Kifosis
Operasi dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat.
Kifosis mempunyal tendensi untuk bertambah berat
terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa
fusi posterior atau melalui operasi radikal.
Indikasi operasi
1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu
sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkolusi diberikan obat tuberkulostatik.
28
2) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan
drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman
serta bone graft.
3) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos,
mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan
adanya penekanan langsung pada medula spinalis.
Metode total therapy yang merupakan gabungan tindakan konservatif dan operatif :
Dilakukan pada dengan abses yang besar tetapi dengan lesi tulang
yang terbatas
3. Hongkong method
tidak rigid
10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>600) terutama
dengan defisit neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening
lamina, pedikel dan korpus.
DAFTAR PUSTAKA
30
Garg, R. K., & Somvanshi, D. S. 2011. Spinal tuberculosis: a review. The
journal of spinal cord medicine, 34(5), 440–454
Kusmiati T, Narendrani . 2016. POTT’S Disease.Surabaya. Jurnal
Respirasi FK UNAIR. Vol. 2 No. ,99-109
Rahyussalim.2018. Spondilitis Tuberkulosis: Diagnosis, Penatalaksanaan,
dan Rehabilitasi. Jakarta. Media Aesculapius 46-51
Rajasekaran S, Kanna RM, Shetty AJ. 2018. Spinal Tuberculosis: Current
Concepts. JBJS Rev. DOI: 10.1177/2192568218769053.
RVW.M.00130
Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis.
(Online).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/, diakses
tanggal 11 September 2019)
Smith I. 2003. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular
determinants of virulence pp 463-496. Clinical Microbiology
Reviews.
31