Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

SEORANG PRIA 30 TAHUN DENGAN SDH REGIO TEMPORO BASAL


DEXTRA, REGIO TEMPORAL SINISTRA DAN ICH REGIO FRONTAL
DEXTRA PLAN GENERAL ANESTHESIA ENDOTRACHEAL TUBE
STATUS FISIK ASA III

Disusun Oleh :
MUHAMMAD FAKHRI KW G99172104

Pembimbing :
Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG PRIA 30 TAHUN DENGAN SDH REGIO TEMPORO BASAL


DEXTRA, REGIO TEMPORAL SINISTRA DAN ICH REGIO FRONTAL
DEXTRA PLAN GENERAL ANESTHESIA ENDOTRACHEAL TUBE
STATUS FISIK ASA III

Hari, tanggal : Rabu, 10 April 2019

Oleh:
M Fakhri Kusuma W G99172104

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA


NIP. 19790107 201001 1 012
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker payudara sering dijumpai pada wanita baik di negara maju maupun
berkembang. Diperkirakan sekitar lebih dari 508.000 wanita di seluruh dunia meni
nggal karena penyakit ini.11 Angka kejadian di negara Amerika adalah sekitar 92 p
er 100.000 wanita dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27 per 100.000 atau
18 % dari kematian yang dijumpai pada wanita, sedangkan insidensi di negara ber
kembang seperti Indonesia mengenai 12 per 100.000 wanita. Di Indonesia, lebih d
ari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang lanjut, dimana upaya pengoba
tan sulit dilakukan.5 Ca mamae sendiri merupakan penyakit neoplasma ganas yang
berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya dimana sel-sel telah kehilangan
pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang
tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.9
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemeberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan
keselamatan pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi),
perawatan intensif pasien gawat, pemeberian terapi inhalasi, dan
penanggulangannya nyeri menahun. Terapi pada ca mammae sangat ditentukan
luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari agen biomolekulernya. Teknik
pembedahan pada kanker payudara sendiri bermacam-macam tergantung dari
penyebaran jaringannya dan disebut dengan mastektomi. Pada mastektomi sendiri
tergantung dari tindakan pembedahan yang akan dilakukan, dapat dilakukan baik
anesthesia regional maupun umum dan masing-masing memiliki kelebihan serta
kekurangan ditambah dengan penyulit dari pasien yang sangat bervariasi.11
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn Ganisha Unggul
Tanggal lahir : 13 Juni 1988
Jenis Kelamin : Laki Laki
Alamat :Pati, Jawa Tengah
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Berat Badan (BB) : 75 kg
Tinggi Badan (TB) : 168 cm
Tanggal masuk : 06 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 06 Maret 2019
Nomor Rekam Medis : 01456461

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang Pria 30 tahun, pasien datang dalam keadaan tidak sadar.
Pasien diketahui telah mengalami kecelakaan lalu linta 12 jam yang
lalu saat mengendarai sepeda motor.Pasien dibawa ke rumah sakit di
Pati lalu pasien dirujuk ke RSDM. Pasien sempat muntah, kejang
disangkal
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Operasi : (+)
Riwayat Kemoterapi : (-)
Riwayat Obat-obatan : (+)
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : (-)
Penyakit Jantung : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat alergi : (-)
4. Riwayat Kebiasaan
Merokok : (-)
Mengonsumsi alkohol : (-)
Ketergantungan obat : (-)
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS
6. Resume AMPLE

A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan

M : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan

P : Riwayat DM (-), hipertensi (-), keluhan serupa (-), asma (-), operasi sebelumnya (+)

L : Pasien terakhir makan minum jam 23.00 WIB sebelum kecelakaan

E : Tekanan darah normal, pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : Tampak Sakit berat, GCS E1VxM3
Derajat gizi : baik
2. Tanda Vital
SpO2 : 99% on ETT02 10 LPM
Tekanan darah : 125/75 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler
Pernafasan : 24 x/menit, reguler
Suhu : 36,5ºC (per axilla)
3. Status Gizi
Berat badan : 75 kg
Tinggi badan : 178 cm
IMT : 31 kg/m2
Kesan : Overweight
4. Primary Survey
i. Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka mulut
SDE, mallampati 2, gerak leher SDE, TMD SDE
ii. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas 24x/menit.
iii. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
125/85 mmHg, nadi 85 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
iv. Disability : GCS E1VxM3, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya (+/+).
v. Exposure : suhu 36.50C
5. Secondary Survey
i. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
ii. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
iii. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-), cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)
iv. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
v. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
vi. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
vii. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
viii. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm
ix. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
x. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
xi. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (20 Maret 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 11.7 g/dL 12,0-15,6
Hematokrit 38 % 33-45
Leukosit 16,3 ribu/ul 4,5-11,0
Trombosit 346 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4,08 juta/ul 4,10-5,10
Golongan darah B
HEMOSTASIS
PT 13,5 detik 10,0-15,0
APTT 31,1 detik 20,0-40,0
INR 1.070
KIMIA KLINIK
Glukosa darah sewaktu 152 mg/dl 60-140
SGOT 20 u/l <31
SGPT 22 u/l <34
Creatinine 1,8 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 57 mg/dl <50
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive

2. Thorax PA (6/4/2019) : Cor dan pulmo tak tampak kelainan


3. USG Mammae (6/4/2019) :
- Sdh luas reg frontemporal volume 85cc
-Sah
-Kontusio hemoragic lobus frontalis kanan kir
E. PLAN
1. Daftar OK IGD
2. Informed consent
3. Konsultasi TS Anestesi
4. Site marking
5. General Anestesi Endotracheal Tube (GAET)
6. Pro cito craniotomi evakuasi SDH +dekompresi
F. DIAGNOSA ANESTESI
Tn. GU, laki laki 30 tahun, dengan SDH regio temporo basal dextra +
regio temporal (s) +ich reg frontal (d) , pemeriksaan fisik kondisi umum
baik, tekanan darah 125/75 mmHg, dan denyut nadi 85 kali/menit. Pada
prinsipnya setuju tata laksana anestesi dengan status fisik ASA III , plan
informed consent, IV line, DC, obat tetap diberikan terus, premedikasi di
OK IGD, GAET, analgesic post op paracetamol + fentanyl
G. PROBLEM
- SDH regio temporo basal dextra + regio temporal (s)
- ICH reg frontal (d)
H. POTENSIAL PROBLEM
- Perdarahan
- Nyeri post operasi
- Infeksi
I. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 06 April 2019 di OK7 IBD
Primary Survey
1. Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka
mulut SDE, mallampati 2, gerak leher SDE, TMD > 6cm
2. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan
dada kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas
20x/menit.
3. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
125/75 mmHg, nadi 85 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
4. Disability : GCS E1VxM3, pupil isokor dengan diameter 3mm /
3mm, reflek cahaya (+/+).
5. Exposure : suhu 36.50C
Secondary survey
1. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
1. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
2. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-), cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)
3. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
4. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari, gigi tonggor (-), gigi palsu (-), gigi
goyang (-), gigi patah (-), massa (-)
5. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
6. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
7. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm
8. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
9. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Perdarahan Intrakranial (ICH)


A. Definisi
Perdarahan intrakranial (ICH) adalah perdarahan (patologis) yang
terjadi di dalam kranium, yang mungkin terjadi di ekstradural, subdural,
subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat
terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain.1,3
Perdarahan intraserebral (ICH) adalah disfungsi
neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan
primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan
oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena
pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. Perdarahan
intraserebral merupakan 10% dari semua jenis stroke,
tetapi persentase kematian leih tinggi disebabkan oleh
stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen dan kapsula interna,
dan masing-masing 10% pada substansia alba, batang
otak, serebelum dan talamus.2

B. Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%).
Perdarahan intraserebral spontan yang tidak berhubungan
dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan
diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM,
tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans,
gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan
adiksi narkotika.3,4 Perdarahan intraserebral dapat
disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis
dan nekrosis fibrinoid yang memperlemah dinding
pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur
intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat
menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi
kronik dapat juga menimbulkan sneurisma-aneurisma
kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai
aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu
perubahan vaskular yang unik ditandai oleh adanya
deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer
serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah
arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri
leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di
daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal
ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri
menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi
perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid
angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya
perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan
oleh jaringan neoplasma yang hipervaskular.
5. Trauma
Koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan
cedera regangan atau robekan rasional terhadap
pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau
kadang-kadang cedera penetrans. Intracerebral
hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih
dari 5 ml dalam substansi otak.
C. Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi perdarahan intracerebral
primer masih kontroversi. Perdarahan intraserebral primer
adalah disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
arterioles, pada kebanyakan kasus dengan hipertensi
arterial.Pecahnya pembuluh darah spontan adalah
disebabkan berkurangnya elastisiti pembuluh darah dan
meningkatnya suseptibiliti. Cerebral amyloid angiopati
adalah penyakit yang tersering pada orang
berusia.Perdarahan intrserebral mengambil jalan yang
paling rendah resistensinya dan menyebar sepanjang
neuronal fiber.Perdarahan intrserebral yang belokasi pada
suprtatentorial menyebabkan meningkatnya tekanan
intracranial jika volume lebih dari 60cc atau adanya lebih
banyak atrofi pada otak.Akhirnya meningkatkan tekanan
pada jaringan dan hemostasis akhirnya menghentikan
perdarahan. Meningkatnya tekanan pada jaringan
seterusnya ICH menyebabkan bahaya Iskemik pada area
tersebut dimana menyebabkan sitotoksik edema otak
dalam waktu 24 sampai 48 jam.Mekanisme ini
menyebabkan peningkatan intracranial sekunder dimana
merosakkan neurologis sekunder dan memerlukan
pengobatan yang lebih.
Perdarahan terkumpul dan membeku disebut sebagai
hematom,dimana akan terus membesar dan meningkatkan
tekanan pada jaringan sekitar otak.Peningkatan tekanan
intracranial menyebabkan pasien konfius dan letargi. Pada
tempat perdarahan suplai darah berkurang dan
menyebabkan stroke.Sel darah yang mati melepaskan
toksin dan menambahkan lagi kerusakan jaringan di sekitar
hematoma. Perdarahan intraserebral bisa terjadi pada
superfisial atau terjadi lebih dalam pada otak. Perdarahan
yang dalam boleh menyebar sampai ke ventrikel.

D. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala klinis ICH merupakan gambaran
klinis akibat akumulasi darah di dalam parenkim otak. ICH
khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat
jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%)
per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan
derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan
tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60%
kasus. Dua pertiganya mengalami koma, yang
dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke
arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis
yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial
dijumpai pada ICH, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi
hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang
muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit
kepala dan muntah tidak menyingkirkan ICH, sebaliknya
bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis ICH atau
perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke
oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai
pada saat onset ICH.2

E. Gambaran CT-Scan ICH


Hematoma intraserebral adalah perdarahan
parenkhim otak disebabkan pecahnya pembuluh darah,
sehingga timbulnya hematom intraparenkim sesudah 30
menit hingga 6 jam trauma. Hematom ini boleh timbul di
daerah kontralateral (contrecoup). Pada gambaran sesudah
beberapa jam akan tampak daerah hematom (hiperdens)
dan tepi yang tidak rata.11,12,15

Gambar 1. Hematoma intraserebral. Gambaran ditemukan


perdarahan parenkim otak dengan adanya gambaran lesi
hiperdens (panah putih), jaringan di sekitar tampak
densitasnya lebih rendah akibat infark atau edema.

F. MRI
1. Perdarahan hiperakut

T1 T2
Gambar 2. Magnetic Resonance Imaging aksial menunjukkan
hematoma hiperakut dalam kapsul eksternal yang tepat dan
korteks insular pada pasien hipertensi. T1 aksial menunjukkan
isointens untuk lesi hipointens di daerah temporoparietal kanan
yang hiperintens pada T2 dan dengan kecenderungan tampak
sebagai intensitas sinyal rendah karena darah pada gradienecho
(GRE). Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi
hematoma.

2. Perdarahan akut

T1 T2

Gambar 3. Magnetic Resonance Imaging menunjukkan


hematoma akut pada daerah frontal kiri. T1 aksial dan T2
menunjukkan hematoma yang hipointens. Sebuah lingkaran kecil
edema vasogenik mengelilingi hematoma terlihat di T2.

3. Perdarahan subakut awal (Early Subacute Hemorrhage)


T1 T2

Gambar 4. Magnetic Resonance Imaging menunjukkan


hematoma subakut awal di daerah oksipital kiri. Lesi terlihat
hiperintens pada T1 dan hipointens pada T2 ditandai dengan
kecenderungan disebabkan oleh hematoma pada gradien-echo
(GRE). Hematoma intraventrikular juga terlihat jelas sebagai
sinyal rendah pada GRE.

4. Perdarahan subakut akhir (Late subacute hemorrhage)

T1 T2

Gambar 5. Magnetic Resonance Imaging menunjukkan


perdarahan subakut akhir di kedua daerah thalamus pada pasien
malaria cerebral. T1, T2, dan gradient-echo (GRE) menunjukkan
hematoma hiperintens. T2 dan GRE menunjukkan lingkaran kecil
hipointens yang disebabkan hemosiderin.
5. Perdarahan kronik

T1 T2

Gambar 6. Magnetic Resonance Imaging menunjukkan


hematoma kronik sebagai spaceoccupying lesion pada fossa
posterior kanan. Perdarahan terlihat sebagai gambaran
hipointens di T1 dan T2. Hipointensitas diperjelas oleh efek darah
pada GRE.

G. Terapi
1. Medikamentosa
a) Cairan Intravena
Prinsip manajemen adalah mempertahankan perfusi serebral yang
adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan
darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar
penderita tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan
hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3
Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline
hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.2

b) Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa
mencegah atau menunda herniasi pada pasien yang mengalami
trauma kapitis parah. Gol tindakan ini adalah menurunkan PCO2 ke
rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan menurunkan ICP
dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada
rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini,
prognosisnya secara umum adalah buruk. Hiperventilasi
berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak
dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma
kapitis parah yang mengalami penurunan neurologis atau
menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu, hiperventilasi dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c) Manitol
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan
ada kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi,
penggunaan diuretika osmotik, seperti manitol atau HTS, harus
dipertimbangkan. Indikasi penggunaan agen osmotik adalah
deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat
pasien dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice
dengan HTS sebagai alternatif. Manitol digunakan untuk
menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan yang tersedia biasanya
berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan
gradient osmotis yang akan menarik cairan dari jaringan ke
intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek
osmosis terjadi dalam hitungan menit dan mencapai puncak sekitar
60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP bolus
3
tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. Dosis tinggi manitol
tidak boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena
manitol adalah diuretik osmotik yang poten dan akan memperberat
hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-23% digunakan untuk
merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan kenaikan ICP.
HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS
bermanfaat pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem
serebri.
d) Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. 3
Dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus
intravena.3 Furosemid tidak boleh diberikan pada penderita dengan
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.
e) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang
refrakter terhadap obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara
“membius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada
penggunaan barbiturat. Oleh karena itu, obat ini tidak
diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f) Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma
kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca
trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa
memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi
pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu
pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan
menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi
kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah
itu. Namun penelitian lain menyebutkan, penggunaan
antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan kejang secara
bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma
kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%,
walau profilaksis kejang dini tidak mencegah kejang pasca trauma.
Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk mencegah akibat tambahan
yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan dengan segera
karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih
sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV,
tiap 5 menit hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan
serangan epilepsy. Pillihan lain adalah diazepam. Untuk
antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa
diberikan.11
2. Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif,
karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria
trauma kapitis yang hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif
adalah sebagai berikut:
 Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada
kelopak mata
 Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign)
dan atau kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari
telinga atau hidung.
 Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran
temporer
 Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada
pecahan tulang yang
 Menembus dura dan jaringan otak
 Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan
akut atau progresif akibat contusio
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan
intrakranial sebagai usaha untuk menghindari pembedahan.
Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien
dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial
karena terapi medis.

II. Perdarahan Subdural (SDH)


A. Definisi
Subdural Hematoma atau Perdarahan subdural
adalah salah satu bentuk cedera otak dimana
perdarahannya terjadi diantara duramater (lapisan
pelindung terluar dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah
meningens) yang terjadi akibat dari trauma.2

B. Etiologi
Hematom subdural disebabkan robekan vena – vena
di korteks cerebri atau bridging vein oleh suatu trauma.
kebanyakan perdarahan subdural disebabkan karena
trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam
lapis meninges.2
C. Patofisiologi
Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan
piamater. Daerah yang terdapat diantara arachnoid dan
duramater disebut daerah subdural. Bridging veins
melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal
menuju sinus dural.4
Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi akibat
dari mekanisme sobekan di sepanjang permukaan subdural
dan peregangan traumatic dari vena-vena, yang dapat
terjadi dengan cepat akibat dekompresi ventrikular. Karena
Permukaan subdural yang tidak dibatasi oleh sutura
cranialis, darah dapat menyebar di seleuruh hemisper dan
masuk ke dalam fisura hemisfer. 3

Mekanisme yang bisa menyebabkan munculnya


hematom subdural akut adalah benturan yang cepat dan
kuat pada tengkorak. Subdural Hematom akut biasanya
ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali
disertai dengan laserasi atau kontusi otak.2

D. Manifestasi Klinis
Subdural Hematom diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
 Subdural Hematom Akut (Hiperdens)
Bila perdarahan terjadi kurang dari bebrapa hari atau
dalam 24 – 48 jam setelah trauma.
 Subdural Hematom SubAkut (Isodens)
Bila perdarahan berlangsung antara 2-3 minggu setelah
trauma
 Subdural Hematom Kronik
Bila perdarahan lebih dari 3 minggu setelah trauma
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung
dari ukuran hematom dan derajat kerusakan parenkim
otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral.
Gejala neurologis yang sering muncul adalah :
 Perubahan tingkat kesadaran, terjadi penurunan kesad
aran
 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema
Pada penderita subdural hematom subakut, terdapat
trauma kepala yang menyebabkan penurunan kesadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologic yang
perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu
pasien memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk.
Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik
biasanya tersembunyi dengan gejala-gejala berupa
penurunan kesadaran, gangguan keseimbangan, disfungsi
kognitif dan gangguan memori, hemiparesis, sakit kepala
dan afasia.

E. Gambaran CT-Scan
1. Subdural hematom akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle
(seperti bulan sabit) didekat tabula interna, kadang sulit
dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial
hematom seperti bergerigi. adanya hematom di daerah
fissura interhemisfer dan tentorium juga menunjukkan
adanya hematom subdural.9
Gambar 7. CT Scan Kepala Polos Subdural hematom
akut
2. Subdural hematom kronik
Pada CT Scan tampak area hipodens, isodens dan
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas,
melekat pada tabula. Ada 4 macam tampilan CT Scan
untuk subdural hematom kronik, yaitu:9
 Tipe I : Hypodens Chronic Subdural Hematom
 Tipe II : Chronic Subdural Hematom densitas
inhomogen
 Tipe III : isodens Chronic Subdural Hematom
 Tipe IV : Sligthly hyperdens chronic subdural
hematom

Gambar 8. CT Scan Subdural hematom Kronik


Gambar 9. CT Scan Subdural hematom Kronik

F. MRI
Subdural hematoma (SDH) memiliki 5 tahap yang
berbeda evolusinya, oleh karena itu, terdapat 5
penampilan di MRI. Dura tervaskularisasi dengan baik dan
mempunyai tekanan oksigen yang agar tinggi,
mengakibatkan perkembangan dari satu tahap ke tahap
lainnya menjadi lebih lambat di dalam lesi daripada di
dalam otak. 4 tahapan yang pertama itu adalah sama
dengan yang untuk hematoma parenkim, dengan
karakteristik yang sama pada T1-WI dan T2-WI. Tahap
kronis ditandai dengan denaturasi oksidatif methemoglobin
yang terus-menerus, terjadi pembentukan hemochromates
nonparamagnetic. Selain itu, tidak ada pinggiran
hemosiderin dan jaringan makrofag terlihat di sekitarnya
hematoma. Apabila terjadinya perdarahan rekuren di SDH,
akan terlihat lesi dengan gambaran intensitas sinyal yang
berbeda pada MRI.10
T1-WI T2-WI

Gambar 10. Hematoma subdural subakut pada frontoparietal.


Menunjukkan isodens – hipodens subdural hematoma. Pada MRI,
T1-W1 dan T2-W2 terlihat gambaran intensitas sinyal tinggi
menunjukkan perdarahan subakut akhir.

Gambar 11. Pada MRI menunjukkan subdural hematoma


subakut bilateral dengan intensitas sinyal yang meningkat.
Daerah intensitas yang intermediate menunjukkan perdarahan
akut pada perdarahan subakut.

G. Angiografi
Pada pemeriksaan angiografi serebral, hematoma
subdural menunjukkan pendesakan arteri dan vena
berbentuk konveks sesuai dengan lengkung hemisfer
serebri. Sesuai dengan lokalisasi perdarahan, akan tampak
pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media
maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang
luas, tetapi pendesakan arteri serebri anterior, arteri
serebri media dan vena serebri interna sangat sedikit
(tidak seimbang), maka harus dilakukan angiografi sisi
kontralateral karena kemungkinan adanya hematoma
subdural di sisi kontralateral tersebut. Membedakan
hematoma epidural dan hematoma subdural pada
angiogram sering sulit.9,10
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

H. Persiapan Pra-anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah
elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat
mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi
dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:2
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, tidak merokok dengan toleransi
olahraga yang baik, pasien non-obes (BMI <30)
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan. Contoh: pasien
tanpa Batasan fungsional dan penyakit yang terkontrol
dengan baik seperti hipertensi yang terobati
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang tidak
mengancam jiwa. Contoh: pasien dengan beberapa
batasan fungsional sebagai akibat dari penyakit seperti
hipertensi atau DM yang tidak terawat dengan baik,
gagal ginjal kronis, bronkospastik dengan eksaserbasi
intermitten, stable angina, pasien dengan implan
pacemaker
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa. Contoh: pasien dengan keterbatasan fungsional dari
penyakit parah yang mengancam jiwa seperti unstable
angina, gejala CHF, infark miokard atau stroke
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Contoh:
ruptur abdominal aneurisma aorta, trauma masif, dan
perdarahan intrakranial yang luas.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan) dengan tujuan untuk
mentransplantasikannya ke pasien lain.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
I. Pemeriksaan praoperasi anestesi
a. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
b. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
c. Pemeriksaan laboratorium dan
penunjang lain
A. Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
J. Pramedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :7
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan pra
bedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat
badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan.
Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :
a. Midazolam (0,07-0,15mg/kg/IM)
Midazolam adalah benzodiazepine yang bekerja di system
saraf pusat untuk menyebabkan mengantuk, relaksasi otot,
kehilangan ingatan jangka pendek dan mengurangi kecemasan.
Mengurangi kecemasan atau memproduksi kantuk atau anestesi
sebelum menjalani prosedur medis tertentu atau operasi.
b. Fentanyl (1-3mcg/kgBB)
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-
150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten
dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu,
dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan
sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam
anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek
analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding
meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh
antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi
fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang
mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik
di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan
sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi
tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan
bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan
dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek
yang disedut sebagai neurolepanestesia.
K. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol (2mg/kg)
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5
mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain
itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah post operasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah post operasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi
dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan.
Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan
pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan
dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi
perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke
dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total
anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih
cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada
sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg).
b. Atrakurium Basylate (25mg)
Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium memiliki struktur
benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain
metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut
eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi
ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.

L. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N 2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b. Sevoflurane (2vol%)
Sevofluran merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun
panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi
inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate
nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi
juga mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level
dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi
rasa sakit.

M. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :7
g. Mempermudah pemberian anestesi.
h. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
i. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
j. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
k. Pemakaian ventilasi yang lama.
l. Mengatasi obstruksi laring akut.
N. Terapi cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk:12
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
O. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.10
Tabel 2.2. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2
Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas 0
2 Respirasi  Mampu napas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari prabedah 2
Darah  Berubah sampai 20-50 % dari prabedah 1
 Berubah sampai > 50 % dari prabedah 0
4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna Kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Tn.GU 30 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi


cito craniotomi evakuasi SDH +dekompresi pada tanggal 06 April 2019 dengan
diagnosis SDH regio temporo basal dextra + regio temporal (s) +ICH reg frontal
(d). Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 6 April 2019. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 12 jam yang lalu. Pasien lalu
dibawa ke RS Kasih Ibu Pati lalu kemudian di rujuk ke RSDM.PAsien sempat
muntah, namun kejang disangkal Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan
tekanan darah 125/75 mmHg; nadi 85x/menit; respirasi 24x/menit; suhu 36,5 OC .
Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 20 Maret
2019 dengan hasil: : Hb 11.7 g/dl; golongan darah B, Hematoktit 36% , leukosit
16.3 ribu/uL, trombosit 235 ribu/uL, eritrosit 4.08 juta/ul , GDS 152 mg/dl, PT
14.9 detik , APTT 32.3 detik , SGOT 20 u/l , SGPT 22 u/l, kreatinin 1,8 mg/dl,
ureum 57 mg/dl dan HBsAg (-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA III.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
6cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 150 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6 jam, namun karena pasien
tidak sadar lebih dari 6 jam . Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi
lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks
laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus
dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan
yang harus dipenuhi selama 8 jam ini adalah 816 cc/8jam.
Operasi cito craniotomi evakuasi SDH +dekompresi dilakukan pada tanggal
06 April 2019. Pasien dikirim dari Resus ke ruang OK IGD. Pasien masuk
keruang OK IGD pada pukul 23.30 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2
dengan hasil TD 125/78 mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99% dengan ETT 02
10 LPM. Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan premedikasi dengan
midazolam 0,07-0,15mg/kg/IM dan fentanyl 1-3mcg/kg. Pemberian midazolam
bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau memproduksi kantuk sementara
fentanyl bertujuan untuk analgetik. Penggunaan premedikasi ini betujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya pasien
diberikan fentanyl 0.5 mcg, propofol 150 mg. Bila hemodinamik telah stabil,
setelah onset tercapai dan airway terkontrol pasien diberikan atrakurium 25mg
untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevofluran) dengan ukuran 2vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging
selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga
menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya
pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Pada pukul 05:15 WIB, pembedahan selesai dilakukan dengan pemantauan
akhir TD 126/75mmHg; Nadi 90x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan
selama 5 jam dengan perdarahan ± 300 cc. Sebelum selesai pembedahan
dilakukan pemberian analgetik, injeksi parasetamol dan fentanyl 25mcg
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and
infratentorial hemorrhage. In: Youmans JR. ed. Neurological
Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1996 .p. 1890-1913.
2. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG,
Bruyn GW, editors. Handbook of Clinical Neurology. New
York : Elsevier ; 1971; 660-719.
3. Ropper AH, Brown HR. Cerebrovascular Diseases. In: Adam
and Victor’s Principle Neurology 8 th Edition, United States of
America: The McGraw-Hill 2005; 2005; 660-756.
4. Fabregas JM, Piles, Guardia, Vilalta Lluis. Spontaneous
primary intraventricular hemorrhage: clinical data, etiology
and outcome. J Neurol. 1999.246:287-91.
5. Baehr, M . M. Frotscher. Diagnosis Topik Neurologi Duus .
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010
6. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar
Sastrodiningrat Divisi Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume
39 y No. 3 y September 2006
7. Octaviani D, Estiasari R, Tandian D : Intraventricular
Hemorrage; J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 5, Mei
2011

Anda mungkin juga menyukai