Anda di halaman 1dari 23

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran
alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma disertai kerusakan alveolar difus
dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru (Sudoyo, 2009).
Sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri
yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius (Brunner & Suddarth, 2002).
ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba
ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua
belah paru. ARDS (syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat, sindrom
ini kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan laju mortalitas 65%
untuk semua pasien yang mengalami ARDS. ARDS telah menunjukkan hubungan dengan
angka kematian hingga setinggi 50% sampai 60% (Doenges, 2000).
Faktor resiko yang menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma
mayor, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik
toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosisobat. Perawatan akut secara khusus
menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges, 2000).
ARDS juga dapat meningkatkan angka mortalitas sampai 65% sehingga hal ini
membutuhkan penanganan dengan tindakan khusus dari perawat untuk
mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan
klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang ARDS yang
dapat meningkatkan angka mortalitas. Dengan konsentrasi ilmu dari penulis adalah
keperawatan maka makalah ini akan membahas makalah secara khusus yang berjudul
“Penatalaksanaan Klien Dengan ARDS”.

B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini mempunyai beberapa rumusan masalah, antara lain adalah:
1. Apa definisi atau pengertian dari ARDS?
2

2. Apa etiologi ARDS?


3. Bagaimana patofisiologi dari ARDS?
4. Apa manifestasi klinik dari ARDS?
5. Komplikasi yang terjadi pada klien dengan ARDS?
6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan ARDS?
7. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan pada klien dengan ARDS?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien ARDS?

C. Tujuan
Penulisan makalah ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain adalah:
1) Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan klien
dengan ARDS
2) Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan klien ARDS, diagnosa, dan
intervensi keperawatan

D. Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah memperoleh pengetahuan tentang
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan klien ARDS. Selain itu, pengetahuan tersebut nantinya dapat
diterapkan secara tepat dalam memberikan penanganan kegawatdaruratan jika terjadi
masalah ARDS pada klien dan dapat memberikan asuhan keperawatan klien ARDS
dengan tepat.
3

BAB II
ISI

A. Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membran alveolar – kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan
alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru
(Sudoyo, 2009).
Dasar definisi dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari:
1. Gagal napas dengan onset akut
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi
(PaO2 / FIO2) < 200 mmHg-hipoksia berat.
3. Radiografi torak: infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda klinis adanya hipertensi atrial kiri/tanpa adanya tanda gagal jantung kiri
(Sudoyo, 2009).

Gambar 1. Gambaran ARDS


Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury
(ALI).Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai
4

kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan


kapiler paru (Sudoyo, 2009).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Sindrom Gawat Napas Dewasa (ARDS), juga
dikenal dengan edema paru nonkardiogenik, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera
serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanis yang lebih tinggi dari tekanan
jalan napas normal.

B. Etiologi

Gambar 2. Eiologi, Tanda dan gejala ARDS

Menurut Smeltzer dan Bare, (2002), faktor – faktor etiologi yang berhubungan dengan
ARDS:
1. Aspirasi (sekresi lambung, tenggelam, hidrokarbon)
2. Kelainan hematologik (koagulasi intravascular diseminata, transfuse massif, pirau
jantung paru)
3. Inhalasi oksigen konsentrasi tinggi berkepanjangan, asap, atau bahan korosif
4. Infeksi setempat (pneumonia bakteri, jamur, virus)
5. Kelainan metabolik (pankreatitis, uremia)
6. Syok (sembarang penyebab)
7. Trauma (kontusia paru, fraktur multiple, cedera kepala)
8. Bedah mayor
9. Embolisme lemak atau udara
10. Sepsis sistemik
5

C. Manifestasi Klinis
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas
spontan.Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi
menit tinggi.Sianosis dapat atau tidak terjadi.Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah
tanda dini dari hipoksemia.
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
1) Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
2) Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
3) Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
4) Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
5) Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
(Asih, 2003).
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah
kelainan dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa
pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit
terlihat pucat atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan
fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari
organ lain segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila
keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi
serius seperti agal ginjal.Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan
kematian. Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena
penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia
bakterial dalam perjalanan penyakitnya.Gejala lainnya yang mungkin ditemukan cemas,
merasa ajalnya hampir tiba, tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah
disertai oleh kegagalan organ lain), dan penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan
gejalanya karena tampak sangat sakit.

D. Patofisiologi
ARDS terjadi akibat cedera pada membran kapiler alveolar yang mengakibatkan
kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial alveolar dan perubahan dalam jarring –
jaring kapiler.Terdapat ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang jelas akibat kerusakan
6

pertukaran gas dan pengalihan ekstensif darah dalam paru – paru.ARDS menyebabkan
penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps
alveolar.Komplians paru menjadi sangat menurun (paru-paru kaku).Akibatnya adalah
penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat, dan
hipokapnia (Smeltzer dan Bare, 2002).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran
hialin.Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh
atau menjadi menetap, adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery : jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami
remodeling dan fibrosis.Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12
bulan, dan sangat bervariasiantar individu, tergantung keparahan cederanya.
Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal
sebagai ARDS (Farid, 2006):
1. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement ca scade menjadi aktif
yangselanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
2. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor kedalam
ruanginterstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
3. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area
permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan
rendahnyan rasio ventilasi- perfusi dan hipoksemia.
4. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga
mengakibatkanhipokapnea dan alkalosis resiratorik.
5. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang
tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan
alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma
fisik,meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum
awitan,misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten
sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi
7

sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang
tampak sehat akan pulih dari ARDS.
Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut
akibat serangansekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih.Hal
125).Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah
sampai 3 kalinormalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke
jaringan interstisiel danterjadi edema paru (Tambayog, 2000).

Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kerusakan sistemik

Pe ↓ perfusi jaringan

Hipoksia seluler

Pelepasan faktor-faktor biokimia
( enzim lisosom, vasoaktif, system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine )

Pe ↑ permiabilitas kapiler paru

Pe ↓ aktivitas surfaktan
8


Edema interstisial alveolar paru

Kolaps alveolar yang progresif

Pe ↓ compliance paru
Stiff lung
Pe ↑ shunting

Hipoksia arterial
Keterangan ;
Pergerakan cairan paru pada kasus ARDS :
1. Terjadi peregangan / deposisi dari mebran hialin
2. Intraalveolar Epithelial junction melebar
3. Terjadi edema interstisial, cairan intravascular keluar,protein keluar masuk
ke dalam alveoli
4. Endotel kapiler paru pecah
5. Eritrosit keluar dari intavaskuler masuk kedalam paru menyebabkan
fenomenafrozzy sputum

E. Komplikasi Klinis
Peningkatan beratnya penyakit secara klinis dan berlanjutnya penyakit dari hasil
pemeriksaan radiologik yang menyertai proses primernya seringkali akan mengaburkan
komplikasi yang timbul selama perjalanan gagal napas hipoksemia akut.
1. Gagal ventrikel kiri merupakan komplikasi yang sering terjadi tapi mudah
terlewatkan. Hal ini diakibatkan karena semua pasien berkemungkinan memiliki rales
dan ronki yang difus, meskipun tanpa gagal ventrikel kiri dan bunyi-bunyi ini juga
membuatnya sulit untuk mendeteksi irama gallop. Kesukaran tambahan adalah bahwa
film dada yang dapat dipindahkan (portable) diambil dalam arah anteroposterior,
seringkali pada inflamasi paru yang kurang dari pada inflamasi penuh, sehingga
bayangan jantung tampak membesar, sehingga sebagai konsekuensinya, penilaian
fisis dan radiografinya yang tidak dapat selalu dipercaya. Oleh karenanya, dengan
adanya gangguan tersebut, harus dicurigai akan adanya gagal ventrikel kiri, hal yang
9

membantu adalah memasang kateter Swan yang digunakan untuk memantau tekanan
arteri pulmonalis secara terus-menerus dan secara intermiten untuk menilai desakan
kapiler paru dan kandungan oksigen dari campuran darah vena (Iselbacher et all,
2000).
2. Pada corak gambaran radoiografik yang difus, infeksi bakteri sekunder mudah
terlewatkan, karena itu sediaan apus dan kultur sputum harus sering dikerjakan,
khususnya kalau terdapat gejala fibris. Dengan berbagai macam kondisi, misalnya
septicemia gram negative pancreatitis hemoragis akut dan “paru yang syok” mungkin
disertai koagulasi intravascular diseminata, yang mengara ke perdarahan saluran
makanan dan intrapulmonal. Pemantauan yang sering terhadap jumlah trombosit,
kadar fibrinogen dan tromboplastin parsial dan waktu protombin membantu dalam
deteksi dini komplikasi ini dan dalam menuntun terapi (Iselbacher et all, 2000).
3. Obstruksi bronchial oleh pipaendotrakeal atau trakeostomi sering dijumpai. Kalau
terlampau panjang dan tidak terfiksasi dengan baik, pipa ini dapat meluncur ke dalam
salah satu bronkus utama, biasanya kedalam bronkus kanan karena origonya dari
trakea tidak begitu menekuk dengan tajam pipa tersebut kemudian menyumbat
ventilasi pada bronkus utama lainnya dan atelektasis dapat terjadi. Kejadian ini
biasnay menyebabkan kemunduran mendadak kedalam kedaan umum pasien yang
menderita gagal nafpas. Deteksinya dapat dilakukan dengan mudah lewat
pemeriksaan fisis yang akan mengungkapkan tidak adanya suara pernapasan pada
bagian paru yang tersumbat. Pipa tersebut harus segera ditarik dengan perlahan-lahan
jika dicurigai adanya komplikasi ini. Dalam proses penanganan sindroma distress
pernapasan orang dewasa dengan menggunakan ventilator mekanis dan tekana
peniupan yang tinggi, pneumotoraks atau pneumomediastinum dapat terjadi dan
keadaan ini tidak mungkin terdeteksi kecuali lewat pemeriksaan radiologic. Kadang-
kadang adanya emfisema sebkutan memberikan penjelasan secara klinis. Setiap
gangguan harus dipertimbangkan terhadap komplikasi ini, pengulangan radiograf
dada dan institusi terapi pneumotoraks yang segera jika ada. Jika gangguan terjadi
mendadak, pneumotoraks tegangan harus dicurigai jika ada tanda fisis, kateter pleura
haerus segera dipasang tanpa konfirmasi radiografik, kadar oksigen yang tinggi
(>0,60) dalam jangka lama dapat menimbulkan lesi maupun gambaran klinis ARDS.
Oleh karenanya, kadar oksigen minimal disertai dengan oksigenasi arteri yang dapat
diterima harus selalu digunakan (Iselbacher et all, 2000).
10

F. Pengkajian Kegawatdaruratan
1. Pengkajian Primer
a. Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret
2) Wheezing atau krekles
b. Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
3) Ronchi, krekle
4) Ekspansi dada tidak penuh
5) Penggunaan otot bantu nafas
c. Circulation
1) Nadi lemah , tidak teratur
2) Takikardi
3) TD meningkat / menurun
4) Edema
5) Gelisah
6) Akral dingin
7) Kulit pucat, sianosis
8) Output urine menurun
2. Pengkajian Sekunder
a. Aktifitas
Gejala :
1) Kelemahan
2) Kelelahan
3) Tidak dapat tidur
4) Pola hidup menetap
5) Jadwal olah raga tidak teratur
Tanda :
1) Takikardi
2) Dispnea pada istirahat atau aaktifitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus.
11

Tanda : Tekanan darah dapat normal / naik / turun, perubahan postural dicatat dari
tidur sampai duduk atau berdiri.
c. Nadi
Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
d. Bunyi jantung
1) Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau
penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel.
2) Murmur : Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung
3) Friksi ; dicurigai Perikarditis
4) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
e. Edema : Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum, krekles
mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
f. Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir
g. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal
sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan ,
kerja , keluarga.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.
h. Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
i. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah, perubahan berat
badan
j. Higiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
k. Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat )
Tanda : perubahan mental, kelemahan
l. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
12

1) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan
aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun
kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
2) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar ke
tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku,
rahang, abdomen, punggung, leher.
3) Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan.
4) Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling
buruk yang pernah dialami.
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes
mellitus, hipertensi, lansia
m. Pernafasan:
Gejala :
1) dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat
2) dispnea nocturnal
3) batuk dengan atau tanpa produksi sputum
4) riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
Tanda :
1) peningkatan frekuensi pernafasan
2) nafas sesak / kuat
3) pucat, sianosis
4) bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
n. Interaksi sosial
Gejala :
1) Stress
2) Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal : penyakit, perawatan di RS
Tanda :
1) Kesulitan istirahat dengan tenang
2) Respon terlalu emosi ( marah terus-menerus, takut )
3) Menarik diri
(Dongoes, 2000).
13

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a) Analisa gas darah: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada awal
proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
b) Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik
dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amylase (pada pankreatitis).
c) Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskuler diseminata (sebagai
bagian dari MODS/multiple organ dysfunction syndrome).
2. Radiologi
a) Foto toraks: pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau patchy bilateral dan
diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambaran confluent, tidak terpengaruh
gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
b) CT scan: pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru.
(Sudoyo, 2009).

H. Intervensi Kegawatdaruratan dan Monitoring


Intervensi kegawatdaruratan dan monitoring pada ARDS sebagai berikut:
1. Pemberian oksigen, pertahankan nutrisi adekuat, pertahankan suhu lingkungan netral.
2. Diit 60 kkal/kg per hari (sesuaikan dengan protocol yang ada) dengan asam amino
yang mencukupi untuk mencegah katabolisme protein dan ketoasidosis endogenous.
3. Pertahankan PO2 dalam batas normal.
4. Intubasi bila perlu dengan tekanan ventilasi positif.
(Hudak dan Gallo, 2001).

I. Penatalaksanaan Medis pada Kegawatdaruratan


Penatalaksanaan ARDS termasuk sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan mengatasi penyebab dan pencegahan infeksi
2. Memastikan ventilasi yang adekuat. Kebutuhan ventilasi sama saja dengan halnya
kritis. Pada awalnya, pasien hanya membutuhkan suplemen oksigen. Sejalan dengan
kemajuan penyakit, intubasi dan ventilasi mekanis dilakukan. Konsentrasi oksigen
dan letak ventilator ditentukan oleh status pasien. Hal ini dipantau dengan gas arteri.
Tekanan ekspirasi akhir postif (PEEP) atau tekanan udara positif kontinu (CPAP)
14

adalah bagian penting dari pengobatan ARDS. PEEP dan CPAP meningkatkan
kapasitas residual dan melawan kolaps alveolar dengan menjaga agar alveoli tetap
terbuka, mengakibatkan perbaikan oksigenasi arteri dan reduksi dalam keseimbangan
ventilasi perfusi V/Q. Dengan menggunakan PEEP dibutuhkan FIO2 yang lebih
rendah. Tujuannya adalah suatu FIO2yang lebih tinggi atau sama dengan 50%.
Sebagian besar masalah oksigenasi disebabkan oleh kolapsnya alveoli.
3. Memberikan dukungan sirkulasi dan memastikan volume cairan yang adekuat.
Hipotensi sistemik dapat terjadi pada ARDS karena hipovolemia sekunder terhadap
kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial. Hipovolemia harus diatasi tanpa
menyebabkan kelebihan cairan lebih lanjut. Larutan kristaloid intravena diberikan
dengan pemantauan yang cermat status paru. Agens inotropic atau vasopressor
mungkin diperlukan. Kateter tekanan paru arteri digunakan untuk memantau status
cairan pasien.
4. Memberikan dukungan nutrisi. Pasien ARDS membutuhkan 35-45 kkal/kg sehari
untuk memenuhi kebutuhan normal. Pemberian makan enteral adalah pertimbangan
pertama namun, nutrisi parenteral total dapat saja diperlukan.
(Sudoyo, 2009).

J. Pemulangan Klien
Rencana pemulangan tergantung pada efek sisa dan kerusakkan paru, dapat
memerlukan bantuan dalam transportasi, perawatan diri, perawatan atau pemeliharan
rumah (Dongoes, 2000).
15

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
a) Peningkatan sekresi pernapasan
b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2) Breathing
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
b) Menggunakan otot aksesori pernapasan
c) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3) Circulation
a) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b) Sakit kepala
c) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d) Papiledema
e) Penurunan haluaran urine
b. Pemeriksaan fisik
1) Mata
a) Konjungtiva pucat (karena anemia)
b) Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
c) Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)
2) Kulit
a) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
b) Sianosis secara umum (hipoksemia)
c) Penurunan turgor (dehidrasi)
d) .Edema
e) Edema periorbital
3) Jari dan kuku
a) Sianosis
16

b) Clubbing finger
4) Mulut dan bibir
a) Membrane mukosa sianosis
b) Bernafas dengan mengerutkan mulut
5) Hidung
a) Pernapasan dengan cuping hidung
6) Vena leher : adanya distensi/bendungan
7) Dada
a) Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan,
dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
b) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
c) Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran /rongga pernafasan)
d) Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
e) Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub,
/pleural friction)
f) Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
8) Pola pernafasan
a) Pernafasan normal (eupnea)
b) Pernafasan cepat (tacypnea)
c) Pernafasan lambat (bradypnea)
2. Diagnosa keperawatan
a. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan:
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau
tanpa sputum, cyanosis.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,
penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan
alveoli ditandai dengan: takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan,
cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan sekresi, penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat
atau kelelahan.
17

d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan
penurunan curah jantung,edema,hipotensi.
3. Intervensi
a. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan:
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau
tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan:
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan
ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Intervensi Rasional
Independen:
- Catat perubahan dalam bernafas - Penggunaan otot-otot intercostal /
dan pola nafasnya abdominal / leher dapat
meningkatkan usaha dalam bernafas
- Observasi dari penurunan - Pengembangan dada dapat menjadi
pengembangan dada dan batas dari akumulasi cairan dan
peningkatan fremitus adanya cairan dapat meningkatkan
fremitus
- Catat karakteristik dari suara
nafas
- Suara nafas terjadi karena adanya
aliran udara melewati batang tracheo
branchial dan juga karena adanya
- Catat karakteristik dari batuk cairan, mukus atau sumbatan lain
dari saluran nafas

- Karakteristik batuk dapat merubah


ketergantungan pada penyebab dan
etiologi dari jalan nafas. Adanya
sputum dapat dalam jumlah yang
18

- Pertahankan posisi tubuh/posisi banyak, tebal dan purulent


kepala dan gunakan jalan nafas
- Pemeliharaan jalan nafas bagian
tambahan bila perlu
nafas dengan paten
- Kaji kemampuan batuk, latihan
nafas dalam, perubahan posisi
- Penimbunan sekret mengganggu
dan lakukan suction bila ada
ventilasi dan predisposisi
indikas
perkembangan atelektasis dan
Kolaborasi infeksi paru
- Berikan terapi aerosol,
ultrasonik nabulasasi
- Berikan fisiotherapi dada
misalnya : postural drainase, - Dapat berfungsi sebagai
perkusi dada/vibrasi jika ada bronchodilatasi dan mengeluarkan
indikasi sekret
- Berikan bronchodilator - Meningkatkan drainase sekret paru,
misalnya : aminofilin, albuteal peningkatan efisiensi penggunaan
dan mukolitik otot-otot pernafasan

- Diberikan untuk mengurangi


bronchospasme, menurunkan
viskositas sekret dan meningkatkan
ventilas

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,


penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan
alveoli ditandai dengan: takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan,
cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.

Tujuan:
- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan
nilai ABGs normal
- Bebas dari gejala distress pernafasan
19

Intervensi Rasional
Independen
- Kaji status pernafasan, catat - Takipneu adalah mekanisme
peningkatan respirasi atau kompensasi untuk hipoksemia dan
perubahan pola nafas peningkatan usaha nafas
- Catat ada tidaknya suara nafas - Suara nafas mungkin tidak sama
dan adanya bunyi nafas atau tidak ada ditemukan. Crakles
tambahan seperti crakles, dan terjadi karena peningkatan cairan
wheezing di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli –
kapiler. Wheezing terjadi karena
bronchokontriksi atau adanya
mukus pada jalan nafas
- Selalu berarti bila diberikan
oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb)
- Kaji adanya cyanosis sebelum cyanosis muncul. Tanda
cyanosis dapat dinilai pada mulut,
bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis
perifer seperti pada kuku dan
ekstremitas adalah vasokontriksi.
- Hipoksemia dapat menyebabkan
- Observasi adanya somnolen, iritabilitas dari miokardium
confusion, apatis, dan
ketidakmampuan beristirahat - Menyimpan tenaga pasien,
- Berikan istirahat yang cukup mengurangi penggunaan oksigen
dan nyaman

- Memaksimalkan pertukaran
Kolaborasi
oksigen secara terus menerus
- Berikan humidifier oksigen
dengan tekanan yang sesuai
dengan masker CPAP jika ada
- Memperlihatkan kongesti paru
indikasi
20

- Review X-ray dada yang progresif


- Untuk mencegah ARDS
- Berikan obat-obat jika ada
indikasi seperti steroids,
antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant

c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan sekresi, penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat
atau kelelahan.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola
pernapasan yang efektif
Kriteria hasil:
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal (16-20 x/menit)
- Adanya penurunan dispneu
Intervensi Rasional
Independen
- Kaji frekuensi, kedalaman dan - Takipneu adalah mekanisme
kualitas pernapasan serta pola kompensasi untuk hipoksemia dan
pernapasan peningkatan usaha nafas
- Kaji tanda vital dan tingkat - Mengetahui keadaan umum pasien
kesadaran setiap jam.
- Auskultasi dada untuk - Suara nafas mungkin tidak sama
mendengarkan bunyi nafas setiap atau tidak ada ditemukan. Crakles
1 jam. Catat ada tidaknya suara terjadi karena peningkatan cairan
nafas dan adanya bunyi nafas di permukaan jaringan yang
tambahan seperti crakles, dan disebabkan oleh peningkatan
wheezing. permeabilitas membran alveoli –
kapiler. Wheezing terjadi karena
bronchokontriksi atau adanya
Kolaborasi mukus pada jalan nafas
- Berikan obat-obat jika ada - Untuk mencegah kondisi lebih
21

indikasi seperti steroids, buruk pada gagal nafas


antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant

d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan kekurangan oksigen yang


ditandai dengan dispnea dan sianosis sentral
Tujuan:
- Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan
perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
- TTV normal (T : 36,5-37,50 C, RR : 16-20 x/menit, PR : 60-90 x/menit, TD :
120/80)
Intervensi Rasional
Independen
- Pantau TTV (suhu, RR, nadi, TD) - Untuk mengetahui masih adanya
denyut nadi yang teraba
22

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS) dikenal sebagai sindrom gawat
nafas akut atau edema paru nonkardiogenik, adalah sindroma klinis yang ditandai
dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah cedera atau
adanya penyakit yang serius. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, tranfusi
darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik,
pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus
menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik. Manifestasi
klinik dari ARDS sebagai penyakit gabungan dari hipoksemia dan hiperkapnea.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan labolatorium dan radiologi.

B. Saran
Perawat yang menangani klien dengan ARDS harus membuat prioritas
keperawatan sebagai berikut:
1. Memperbaiki atau mempertahankan fungsi respirasi optimal dan oksigenasi
2. Meminimalkan atau mencegah komplikasi
3. Mempertahankan nutrisi adekuat untuk penyembuhan/membantu fungsi pernafasan
4. Memberikan support emosi kepada pasien dan keluarga
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognose, dan kebutuhan
pengobatan
23

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin, 2003. Keperawatan Medikal Bedah. Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: EGC
Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Farid, 2006. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Penyakit Sejuta Etiologi.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=108. Diakses tanggal
24 September 2012.
Hudak dan Gallo. (2001) Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Iselbacher.(2000). Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Mansjore, Arif. (2000) Kapita Selekta Kedokteran.
http://medicastore.com/penyakit/106/Sindroma_Gawat_Pernafasan_Akut.html. Diakses
tanggal 24 September 2012.
Smeltzer and Bare.(2002) Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta: EGC.
Sudoyo, S. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1.Edisi 5. Jakarta Pusat: Internal
Publishing.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai