A. Pendahuluan
Perusahaan Jasa K3 atau PJK3 adalah salah satu lembaga K3 yaitu pihak
ketiga berupa organisasi swasta independen yang ditunjuk atau disetujui oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Republik
Indonesia untuk menyediakan jasa dan layanan pembinaan untuk memenuhi
syarat-syarat K3. PJK3 di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor: PER.04/MEN/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja dan SE.02/Men/DJPPK/I/2011.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.04/MEN/1995
tentang Perusahaan Jasa Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, PJK3 merupakan
perusahaan yang usahanya dibidang jasa K3 untuk membantu pelaksanaan
pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Pasal 1 huruf b)
PJK3 dalam melaksanakan kegiatan jasa K3 harus terlebih dahulu
memperoleh keputusan penunjukan dari Menteri Tenaga Kerja, dalam hal ini
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan. (Pasal 2 ayat 1)
Tugas pokok PJK3 adalah membantu pelaksanaan pemenuhan syarat-
syarat keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Fungsi PJK3 adalah melakukan kegiatan yang berhubungan dengan masalah K3,
mulai dari tahap konsultasi, fabrikasi, pemeliharaan, reparasi, penelitian,
pemeriksaan, pengujian, audit K3 dan pembinaan K3.
Perusahaan Jasa K3, meliputi: (Pasal 3)
a. Jasa Konsultan K3;
b. Jasa Pabrikasi, Pemeliharaan, Reparasi dan Instalasi Teknik K3;
c. Jasa Pemeriksaan dan Pengujian Teknik;
d. Jasa Pemeriksaan/pengujian dan atau pelayanan kesehatan kerja;
e. Jasa Audit K3;
f. Jasa Pembinaan K3.
Jenis kegiatan perusahaan jasa pemeriksaan dan pengujian teknik K3 PJK3
Riksa Uji Teknik :
a. Pesawat Uap dan Bejana Tekan
b. Listrik
c. Penyalur Petir dan Peralatan Elektronik
d. Lift
e. Instalasi Proteksi Kebakaran
f. Konstruksi Bangunan
g. Pesawat Angkat dan Angkut
h. Pesawat Tenaga dan Produksi
i. DT dan NDT
Perusahaan jasa K3 riksa uji dilarang melakukan kegiatan jasa konsultan, jasa
fabrikasi, pemeliharaan, reparasi dan instalasi teknik K3 jasa audit SMK3 dan jasa
pembinaan K3.
Safety Leadership
Oleh Ahmad Maulidi
Pengertian Safety Leadership (Kepemimpinan Keselamatan) adalah
kemampuan pimpinan untuk mengerahkan dan menggerakkan seluruh
bawahannya untuk mencapai target terciptanya budaya keselamatan kerja dalam
organisasi. Operasional kepemimpinan keselamatan mengacu pada pembinaan
keselamatan, kepedulian terhadap keselamatan dan pengendalian keselamatan.
Safety leadership menjadi kunci keberhasilan dalam membangun budaya
keselamatan yang kuat pada industri berisiko tinggi seperti Pertamina, perusahaan
penerbangan dan lain-lain, karena pengembangan keselamatan dimulai dari
manajemen puncak dan tim manajemen dalam organisasi.
Mengapa setiap pemimpin dan calon pemimpin dalam setiap level
organisasi di perusahaan harus mengembangkan dan memiliki safety leadership,
terutama perusahaan yang memiliki resiko tinggi?
Pertama, karena pekerja safety bukanlah orang nomor satu di sebuah organisasi.
Para pemimpin yang menduduki posisi-posisi teratas seperti manager - senior
manager, vice president - senior vice president, jajaran direksi dan lain-lain yang
memiliki otoritas dalam memimpin dan membuat keputusan. Pekerja safety hanya
bertanggungjawab sebagai advisor untuk memberikan masukan-masukan dalam
bidang safety bagi organisasi yang di pimpin oleh para pemimpin. Jajaran
pimpinan yang mampu menjalankan organisasi dan mereka yang menginspirasi
mimpi-mimpi semua pekerja yang ada di organisasi. Karena pekerja safety bukan
pemimpin, maka para pimpinan tersebutlah yang harus memiliki safety
leadership.
Kedua, sebagai pemimpin, mereka yang dimintai pertanggungjawaban atas semua
yang terjadi di organisasi, termasuk kejadian yang tak diinginkan, salah satunya
adalah kecelakaan.
“With great power comes great responsibility,” ujar Voltaire. Kecelakaan
mungkin tidak murni kesalahan para pimpinan, tetapi melampaui soal siapa yang
salah atau seberapa besar kesalahannya, sebagai misal ketika ada kecelakaan
kereta api atau kapal feri, maka menteri perhubungan dapat saja dituntut rakyat
untuk mundur. Hal itu sudah menjadi konsekuensi seorang pemimpin. Jika
seorang pemimpin belum dituntut secara moral, sosial maupun evaluasi kinerja
saat ada kecelakaan, berarti ada problem akuntabilitas dalam organisasi, dan itu
tidak bagus untuk organisasi.
Ketiga, seorang pemimpin adalah sosok yang berani bermimpi.
Zero accident adalah mimpi. Kapan terakhir kita menutup tahun kinerja dengan
kebanggaan yang sempurna karena kita mencapai zero accident? Kalau mau jujur,
seluruh level pekerja sebenarnya merasa zero accident itu nyaris mustahil untuk
dicapai. Di dunia safety dan seluruh perusahaan di dunia pun masih
diperdebatkan, apakah zero accident itu layak dijadikan KPI? Pandangan yang
tidak setuju beralasan zero accident hanya bisa dicapai dengan zero defect, zero
error, zero mistake dan zero imperfection. Dalam filosofi manajemen yang
memandang manusia dan organisasi sebagai learning entity (makhluk pembelajar)
yang membolehkan manusia melakukan kesalahan, KPI zero accident itu
dianggap kontradiktif. Jadi, jika seluruh level pekerja apatis pada target zero
accident, harapan ada pada pemimpin, sebab bagi pemimpin yang hebat, ada
pepatah Arab mengatakan “ahlamul yaum, haqaiqul amsi” atau “mimpi hari ini
adalah kenyataan hari esok”
Jadi, pengertian safety leadership merupakan bagian dari kualitas kepemimpinan.
Di perusahaan kelas dunia, safety leadership adalah bagian yang tak terpisahkan
dari leadership value. Pemimpin yang pandai dalam banyak hal, misalnya
budgeting control, public speaking, technical knowledge, management skill serta
lain-lainnya, tetap akan dipertanyakan kualitasnya ketika ia tidak mampu
menunjukkan safety leadership.
(Artikel asli : http://www.kanal.web.id/2016/12/kepemimpinan-keselamatan-
safety.html )
Safety Leadership is NOT Safety Management
Oleh Craig White
Kinerja keselamatan (safety) didorong oleh pimpinan organisasi.
Pemimpin menetapkan nilai-nilai, mengembangkan prosedur, dan menegakkan
akuntabilitas untuk program keselamatan mereka. Dengan kata lain, pemimpin
keselamatan menetapkan standar perilaku yang aman dalam perusahaan mereka.
Kita jelas akan mengharapkan seorang pemimpin menjadi seseorang yang
menunjukkan SafetyDNA tinggi, tapi kepemimpinan adalah lebih dari sekedar
mengelola perilaku keselamatan sendiri. Seorang safety leader sejati juga
memotivasi rekan kerja untuk berjuang meminimalkan risiko dari eksposur.
Safety leadership didefinisikan sebagai proses interaksi antara pemimpin
dan pengikut, di mana pemimpin dapat memberikan pengaruh terhadap pengikut
untuk mencapai tujuan keselamatan organisasi. Fitur dari definisi ini yang paling
sering membingungkan orang adalah konsep pemimpin dan pengikut. Terlalu
sering, istilah 'kepemimpinan' atau leadership dan 'manajemen' digunakan secara
bergantian. Masalahnya di sini adalah bahwa banyak yang tidak mengenali
perbedaan penting antara peran dan fungsi vital masing-masing dalam
membangun kinerja keselamatan yang kuat. Secara khusus, manajer ada sebagai
bagian dari hirarki struktural organisasi dan memberikan pengaruh resmi atas
bawahan mereka, sementara leadership adalah kegiatan sukarela dengan seorang
individu yang memiliki pengaruh sosial atas rekan kerja dengan menetapkan
contoh perilaku yang sesuai untuk memperoleh tujuan bersama dan perubahan
positif di organisasi. Tentu saja salah satu individu dapat menjadi seorang manajer
dan pemimpin (leader), tapi ini hanya terjadi melalui usaha sadar untuk secara
efektif melakukan kedua peran.
Kesalahpahaman bahwa safety leadeship mengacu hanya untuk mereka di
manajemen puncak adalah jauh jangkauannya. Misalnya OSHA mengembangkan
model 5-STARS Safety Leadership yang mencakup:
Supervision : mengawasi aktivitas kerja untuk memastikan karyawan aman
Training : memimpin pelatihan dan pendidikan keselamatan
Accountability : bersikeras bahwa setiap orang sesuai dengan kebijakan dan aturan
keamanan perusahaan
Resources : menyediakan sumber daya fisik - peralatan, perlengkapan, bahan -
sehingga karyawan dapat bekerja dengan aman
Support : menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dari segi psikososial-
jadwal, beban kerja, pengakuan - sehingga karyawan tidak bekerja di bawah
tekanan berlebihan
Meskipun ini merupakan tujuan penting dari program keselamatan,
mereka disajikan dengan asumsi bahwa kepemimpinan manajemen keselamatan
dan terdiri dari individu-individu yang sama, dan hanya sebentar menyebutkan
perbedaan kepemimpinan manajemen. Hal ini cukup menarik untuk menemukan
OSHA membuat kesalahan konseptual ini, mengingat mereka konsisten track
record menghasilkan kualitas, bahan berbasis penelitian.
Sekarang kita telah mengklarifikasi perbedaan ini, harus jelas bahwa setiap
individu dalam organisasi dapat menjadi safety leader jika mereka memilih untuk
menjadi. Saya tidak bisa menekankan titik ini cukup karena sangat penting bagi
organisasi untuk memiliki pemimpin keselamatan di setiap tempat kerja, setiap
departemen, setiap tim kerja, dll di seluruh tingkat hirarki struktural jika mereka
ingin menciptakan budaya keselamatan yang kuat yang mengarah ke peningkatan
keamanan kinerja. Bahkan, manajemen senior mungkin bukan orang yang paling
luas tentang bahaya sekarang pekerjaan tertentu. Dengan demikian, manajemen
harus terkesan pada tenaga kerja mereka bahwa seorang safety leader adalah
orang yang cukup peduli tentang organisasi untuk mengambil tindakan yang akan
membuat diri mereka sendiri dan orang lain bebas dari bahaya atau cedera melalui
bimbingan, persuasi, arah, dan pengaturan contoh. Safety leader tidak
mempengaruhi orang lain melalui kekuasaan, status, atau otoritas; mereka
menunjukkan SafetyDNA tinggi dan menginspirasi rekan kerja mereka untuk
melakukan hal yang sama melalui tindakan mereka.
Hal ini menimbulkan poin penting lain mengenai apa artinya menjadi
safety leader. Kepemimpinan bukan tentang atribut individu, melainkan perilaku
mereka. Hanya karena seorang karyawan tidak karismatik tidak berarti bahwa ia
tidak dapat menjadi safety leader. Seorang safety leader menunjukkan berbagai
perilaku yang, sering tidak sengaja, mempengaruhi rekan kerja untuk
meningkatkan SafetyDNA mereka, seperti:
˗ Menjadi contoh, dengan mengetahui dan mengikuti aturan
˗ Menghindari puas untuk bahaya pekerjaan
˗ Melaporkan bahaya keamanan, pelanggaran, dan insiden
˗ Menjaga komunikasi terbuka dengan rekan kerja dan manajemen tentang
masalah keamanan
˗ Mengimplementasikan perubahan untuk meningkatkan keselamatan dan
kondisi kerja
˗ Mendorong rekan kerja untuk menunjukkan perilaku yang aman
˗ Menunjukan apresiasi terhadap rekan kerja untuk pekerjaan yang aman
dilakukan dengan baik
˗ Membuat rekan kerja menyadari bahwa perilaku tidak aman tidak bisa
diterima
˗ Terlibat dalam inisiatif keselamatan dan komite
Meskipun ini mungkin tampak sebagai sebuah kewajiban yang
memberatkan yang dapat dihindari oleh beberapa karyawan, mereka harus
menyadari bahwa safety leader tidak mengambil bagian yang lebih besar dari
tanggung jawab rekan kerja mereka. Perbedaan utama adalah bahwa para psafety
leader lebih sadar lingkungan mereka dan sepanjang hari lebih mungkin untuk
mengambil tindakan yang benar dan aman berdasarkan pelatihan dan pengalaman
untuk menjadi seaman mungkin. Manajemen harus mendukung keputusan yang
dibuat oleh para pemimpin keamanan dan memberdayakan mereka untuk
membimbing orang lain untuk kinerja keselamatan yang kuat.
(Artikel asli : http://www.selectinternational.com/safety-blog/bid/185973/safety-
leadership-is-not-safety-management )