Reaksi Transfusi Darah Informasi Kedokteran Dan Kesehatan
Reaksi Transfusi Darah Informasi Kedokteran Dan Kesehatan
Custom Search
SEARCH
Untuk smartphone dan tablet, tampilan terbaik
(khususnya untuk melihat tabel dalam artikel)
dalam posisi landscape (horizontal memanjang)
Kecocokan antara antigen sel darah merah donor dengan antibody plasma resipien Disclaimer
haruslah dapat dipastikan, kalau tidak reaksi haemolitik yang potensial fatal dapat
terjadi. About Us
Meskipun telah dilakukan pencocokan golongan darah, beberapa penderita tetap dapat
mengalami reaksi ringan transfusi darah seperti : Contact Us
Kor Pulmonal
De nisi Kor
pulmonal / Cor Pulmonale
atau disebut juga
Pulmonary Heart Disease adalah
suatu kondisi gagal jantung sisi ...
Koagulasi Intravaskular
Diseminata (Disseminated
Intravascular Coagulation)
De nisi Koagulasi
intravaskular diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation, KID) adalah suatu
sindrom yang ditandai d...
Angina Pektoris
De nisi Angina pektoris
berasal dari bahasa
Yunani, ankhon, yang
berarti ‘mencekik’ dan pectus yang
berarti ‘dada’. Jadi, angina pect...
Penyakit Jantung
Hipertensif (Hipertensive
Heart Disease)
De nisi Hipertensi
adalah peninggian tekanan darah
diatas nilai normal. Ini termasuk
golongan penyakit yang terjadi akiba...
4. Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B. Sehingga, orang dengan
golongan darah O-negatif dapat mendonorkan darahnya kepada orang dengan
golongan darah ABO apapun dan disebut donor universal. Namun, orang
dengan golongan darah O-negatif hanya dapat menerima darah dari sesama O-
negatif.
Rhesus
Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan memanfaatkan
faktor Rhesus atau faktor Rh. Nama ini diperoleh dari monyet jenis Rhesus yang
diketahui memiliki faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner. Seseorang yang
tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki golongan darah
Rh-. Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut
memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini seringkali digabungkan dengan
penggolongan ABO. Golongan darah O+ adalah yang paling umum dijumpai, meskipun
pada daerah tertentu golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan
80% populasi dengan golongan darah B.
Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan. Misalnya
donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-) dapat menyebabkan produksi antibodi
terhadap antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada
perempuan yang pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat
mempengaruhi janin pada saat kehamilan.
Diego positif yang ditemukan hanya pada orang Asia Selatan dan pribumi
Amerika.
Dari sistem MNS didapat golongan darah M, N dan MN. Berguna untuk tes
kesuburan.
Di luar fasilitas kesehatan besar, seperti di apotik atau tempat umum lainnya, biasanya
hanya menguji dengan menggunakan metode 1. Dengan cara itu, sebenarnya hanya melihat
apa antigen yang ada di permukaan eritrosit. Pada kebanyakan kasus, langkah ini sudah
cukup untuk mengetahui golongan darah seseorang dalam sistem ABO. Meskipun sebenarnya
itu belum komprehensif karena belum memastikan "apa antibodi yang ada pada serumnya".
Mengapa demikian? Karena umumnya pemeriksaan dilakukan hanya terhadap darah,
tanpa dipisahkan antara eritrosit dan serumnya. Bahkan juga tanpa adanya kontrol untuk
menghindari kondisi darah yang memang sudah mengalami aglutinasi (mudahnya sudah
terjadi perlekatan antar eritrosit sebelum dilakukan pemeriksaan golongan darah sehingga
hasil pemeriksaan menjadi tidak valid).
Pada pemeriksaan di BDRS (Bank Darah Rumah Sakit) atau PMI (red cross), pengujian
golongan darah dilakukan dengan kedua metode: cell-grouping maupun serum-grouping.
Caranya diawali dengan memisahkan dulu antara eritrosit untuk cell-grouping dan serum
untuk serum-grouping. Dengan langkah ini menjadikan pemeriksaan lengkap menjawab
pertanyaan: apa antigennya, apa antibodinya.
Dengan menggunakan kedua metode, juga ada langkah validasi: kalau seseorang memiliki
Antigen A maka tentu tidak akan memiliki Antibodi A. Demikian pula dengan Antigen B.
Contohnya adalah apabila ada pasien yang diduga memiliki golongan darah A2. Ini adalah
sub-tipe dari golongan darah A. Mudahnya, 80% orang bergolongan darah A, sebenarnya lebih
tepat disebut sebagai golongan darah A1. Sedangkan 20% orang sisanya bergolongan darah A2.
Sebenarnya ada sekitar 20 subtipe golongan darah A. Hanya, yang signifikan secara klinis pada
dua saja: A1 dan A2.
Sifat dari sub-tipe A2 adalah reaksi antigennya lebih lemah. Akibatnya ketika diuji HANYA
dengan metode 1, tidak terdeteksi adanya antigen A. Maka dinyatakan golongan darahnya O.
Tetapi ketika diperiksa di PMI menggunakan dua metode, maka terjadi hasil yang perlu
dianalisis lebih lanjut. Bila benar golongan darah O, maka pada serum-grouping akan
ditemukan baik anti-A maupun anti-B. Sedangkan di cell-grouping akan bersih, tidak
didapatkan antigen.
Pada golongan darah A1, maka pada serum-grouping hanya ditemukan anti-B. Dengan
hasil itu, kemudian dilakukan pemeirksaan lebih mendalam di cell-grouping, dan akhirnya
ditemukan antigen A walau dengan reaksi yang lebih lemah. DI situlah akan dinyatakan
sebagai Golongan Darah A2.
Sampai di sini, sebenarnya belum menjadi masalah besar terkait transfusinya. Artinya asal
sudah benar-benar diuji golongan darahnya, kemudian dilakukan cross-match tanpa reaksi,
berarti tidak masalah memberikan darah dari donor bergolongan darah A tanpa harus
membatasi donor harus bergolongan darah A2.
Lantas, apa masalahnya pada contoh kasus di atas? Dari semua orang bergolongan darah
A, maka sekitar 20% diantaranya adalah bergolongan darah A2. Dari 20% tersebut, sekitar 10-
20% nya lagi (artinya sekitar 2-4% dari semua orang bergolongan darah A) adalah mereka
yang bergolongan darah A2 TETAPI disertai adanya Anti-A1.
Pada pemeriksaan golongan darah kelompok terakhir ini, akan didapatkan diskrepansi
antara cell-grouping dan serum-grouping. Ditemukan Anti-A tetapi juga ada Antigen A. Maka
ini sebenarnya adalah: ada Antigen A2 maupun ada Antibodi A1.
Pada 1-2% orang bergolongan darah A ini dengan sub tipe A1 dan memiliki Anti-A1 inilah
yang akan bereaksi bila diberi darah transfusi dari sembarang orang bergolongan darah A.
Yang bisa diberikan adalah darah dari donor yang sama-sama bergolongan darah A2 dengan
disertai Anti-A1.
Untuk itu, pada kasus seperti di atas, harus dilakukan upaya memastikan dulu apakah
darah pasien memiliiki Anti-A1. Bila benar adanya, maka harus dicari donor dengan kondisi
yang sama. Memang tidak mudah, karena itu tadi, hanya sekitar 1-2% dari semua yang
bergolongan darah A.
Untuk memastikannya memang diperlukan reagen khusus A1. Tidak mudah untuk
menyediakannya. Bila tidak bisa memastikan menggunakan reagen, maka langkah
selanjutnya adalah mencoba sebanyak mungkin donor sampai ketemu yang benar-benar
sesuai dan tidak menimbulkan reaksi. Ini tentu memakan waktu dan membutuhkan biaya
relatif tinggi. Hal demikian perlu disampaikan kepada para pihak terutama pasien agar tidak
timbul salah paham.
Sifat A2 bisa juga muncul pada orang dengan golongan darah AB, dimana komponen A
nya juga terkena potensi adalah A1 atau A2. Sehingga sebenarnya juga ada yang A1B dan A2B.
Terhadap yang A2B pun ada potensi untuk memiliki Anti-A1 seperti pada kelompok golongan
darah A. Berarti cara penanganan pada saat dibutuhkan transfusi juga sama.
Apakah ada juga Sub-grup pada golongan darah B? Secara ilmiah, diyakini bahwa ada juga
Sub tipe golongan darah B, hanya sangat sangat jarang. Sejauh ini juga belum didapatkan efek
signifikan terhadap pemberian transfusi pada orang golongan darah B akibat adanya beda
sub tipe.
Reaksi transfusi di klasifikasikan sebagai tipe Akut (cepat) dan Delayed (lambat), dimana
masing-masing dari tipe tersebut terdiri dari reaksi akibat Respon Imun dan Respon Non Imun
(2,8).
A. Reaksi Transfusi akut :
Imunologi :
2. Reaksi Alergi.
4. Reaksi Anafilaksis
Non Imunologi :
3. Emboli Gas/Udara
4. Keracunan Sitrat
6. Tromboflebitis
7. Gangguan Hemostatis
Non Imun :
2. Siderosis Transfusi
Reaksi Imunologi :
Edema laring jarang, namun bila timbul merupakan komplikasi yang berat.
Jarang terjadi reaksi anafilakik dengan gejala shok, tetapi bila ada, maka tanda
awalnya adalah takikardi, impotensi dan sesak nafas.
Penatalaksanaan (1,2,8)
Bila gejala alergi ringan berupa urtikaria, transfusi diperlambat dan diberikan
antihistamin iv.
Bila timbul gejala – gejala berat, transfusi dihentikan dan diberikan adrenalin,
antihistamin dan kortikosteroid.
Pencegahan
Pada penderita dengan riwayat alergi sesudah transfusi atau penyuntikan,
reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian eritrosit yang telah dicuci.
Biasanya disertai menggigil, penderita gelisah, sakit kepala dan disertai mual
dan muntah.
Penatalaksanaan
Selimuti penderita agar tidak kedinginan
Pencegahan
Pada penderita-penderita anemia yang hanya membutuhkan erirosit, eritrosit
saja yang diberikan sedang plasma dan yang banyak mengandung leukosit dan
trombosit tidak diberikan.
Mual, muntah terkadang disertai dengan diare dan dengan abdominal cramps
Penatalaksanaan
Hentikan transfusi
Prinsipnya ABC, yaitu dengan bebaskan jalan nafas dan berikan bantuan nafas
serta sirkulasi agar tetap stabil.
Pencegahan
Pada penderita yang memiliki antibody terhadap molekul IgA, sebaiknya
ditangani dengan komponen darah defisiensi IgA dari saudara atau daftar
donor.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative
belum tentu bebas reaksi karena dapat pula terjadi false negative.
Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi
dilakukan.
V. Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury
= TRALI)
Kerusakan paru disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi
dengan granulosit resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi
dalam jaringan vaskuler paru, menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi
kebocoran cairan kedalam alveoli.
Umumnya berupa ”respiratory distress” berat yang tiba-tiba, disebabkan oleh sindrom
edema pulmonal non kardiogenik. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis,
sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Pada pemeriksaan radiologis
nampak edema paru.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya berat,
umumnya akan mereda dalam 48-96 jam dengan bantuan pernafasan, tanpa gejala sisa.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan
pernafasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan,
karena menghambat agregrasi granulosit.
Pada penderita yang sedang dalam pembiusan tanda dan gejala sering tidak
tampak. Harus dicurigai adanya reaksi hemolitik bila nadi meningkat dengan
cepat, tekanan darah yang tiba-tiba menurun serta perdarahan yang sukar
diatasi.
Gejala - gejala setelah melewati fase akut yaitu danya ikterus dan uremia
akibat kegagalan ginjal mendadak.
Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobinemia secara mudah diketahui darah didiamkan plasma berwarna
merah.
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi
shok.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.
Pencegahan :
Penyimpanan darah yang baik
Pada setiap botol darah, awasi menit – menit pertama pemberian transfusi,
sebab gejala yang berat dapat terjadi 40-50 ml pertama.
Penatalaksanaan (1,6,8,9)
Transfusi segera dihentikan dan penderita ditegakkan.
Oksigenasi
Phlebotomi.
Pencegahan (1,4,6,9)
Pada pengobatan anemia sebaiknya hanya diberikan packed red cell saja.
Pada penderita yang diduga mudah terjadi komplikasi ini, transfusi sebaiknya
secara perlahan – lahan.
Syncope terjadi oleh karena adanya tanda-tanda tersebut dan terjadi begitu
cepat sehingga penderita dapat mendadak iskemia serebral.
Penatalaksanaan
Selang segera diklem
Oksigenasi.
Pencegahan
Pantau dan pastikan selang transfusi bebas dari udara.
Perhatikan jika kantong darah sudah akan habis, untuk mencegah masuknya
udara.
4. Keracunan Sitrat
Darah simpan supaya awet dan tidak membeku diberikan pengawet campuran sitrat
untuk mengikat kalsium agar tidak terjadi pembekuan, fosfat sebagai penyangga
(buffer), dan dekstrosa sebagai sumber energi sel darah merah serta Ademin untuk
membantu resistensi adenosin Trifosfat dan menjaga supaya 2,3 DPG tidak cepat rusak.
Pada penderita yang mengalami penyakit hepar dan ginjal yang berat, akan menderita
intoksikasi sitrat oleh karena sitrat dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal.
Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau deficit kalsium
ialah mereka yang mendapat transfusi plasma, wholeblood, trombosit dengan kecepatan
melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati. Dimana
hati tidak bias mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi
sitrat,mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia
jantung.
Penatalaksanaan
Pemberian glukonas kalsikus 10 % 4 – 8 cc setiap pemberian transfusi 1 unit kolf
darah.
Faktor-faktor penyebab :
Hiperkalemi. Khusus bila digunakan darah yang telah lama disimpan (lebih
dari satu minggu), dimana telah banyak ion kalium keluar dari sel-sel darah ke
dalam plasma. Keadaan hiperkalemi lebih mudah terjadi bila penderita
insufisiensi ginjal.
Darah yang dingin yang diberikan secara cepat dan banyak (masif)
Penatalaksanaan
Berikan obat Anti Aritmia
Bila penyebab adalah intoksikasi sitrat lakukan terapi seperti pada intoksikasi
sitrat
Pencegahan :
Hiperkalemi. Usahakan gunakan darah yang belum terlalu lama disimpan.
Memanaskan darah sampai suhu tubuh, tetapi hati-hati terjadinya over heating
karena dapat terjadi hemolisis.
6. Thrombo Flebritis
Merupakan peradangan pada sepanjang pembuluh darah vena yang digunakan.
Biasanya sering timbul pada transfusi yang lama. Walaupun jarang terjadi namun dapat
menyebabkan komplikasi berupa emboli dan/atau sepsis.
Penatalaksanaan
Anti inflamasi, phenylbutazon 3 x 100 mg/hari, memberikan hasil yang baik.
Pencegahan
Transfusi setiap 48 jam harus dipindahkan ke vena yang lain.
Faktor-faktor penyebab :
· Dilutional trombocytopenia (trombositopenia akibat pengenceran)
Darah yang telah disimpan lebih dari 48 jam, hampir tidak mengandung trombosit
lagi, sehingga sesudah transfusi darah yang masif trombosit penderita mengalami
pengenceran.
· Kekurangan faktor V dan Viii (faktor labil)
Pada penyimpanan darah secara biasa faktor V dan VIII juga cepat rusak, tetapi telah
diselediki setelah penyimpanan 21 hari, faktor-faktor ini masih ada 20 % - 50 %,
sedang untuk proses pembekuan berjalan biasa, cukup dengan 5 – 20 % dari kadar
normal, sehingga kekurangan faktor-faktor ini bukan sebab utama terjadi
perdarahan pasca tranfusi.
· Disseminata Intravasculer Coagulation (DIC)
Diduga oleh adanya hipoksia jaringan dan Stagnant blood flow akan dilepaskan
tromboplastin jaringan yang selanjutnya merangsang terjadinya koagulasi
intravaskuler.
Reaksi Imunologi :
Reaksi ini biasanya timbul setelah 3-21 hari setelah transfusi (1) reaksi ini biasanya
ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi
sesudah kemasukan antigen eritrosit, respon terbentuknya antibodi lambat, puncak
reaksi tercapai juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolotik lambat ini, perusakan
eritrosit donor terjadi ekstravaskular, yaitu di sistem retikulo endotelial (clearance
dipercepat)
Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul dapat berupa Sakit kepala (berdenyut), sakit pinggang, panas, muka
kemerahan, kelesuan yang hebat, sakit dada, respirasi menjadi cepat dan pendek,
urtikaria, anemia, kadang – kadang hipotensi dan takikardi, dapat pula mengakibatkan
gagal ginjal akut (1).
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.
Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami hemolisis ekstravaskuler akibat sensitisasi imun terhadap
rhesus D harus di tangani secara konservatif. Transfusi lebih lanjut harus ditunda
sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali bila nyawa pasien
terancam. Penanganan yang lainnya bersifat simptomatik seperti pada penatalaksanaan
reaksi hemolisis yang lain.
Pencegahan
Anti-D bertanggung jawab untuk sebagian besar problem klinis yang bersamaan dengan
system ini oleh karena itu skrinning orang – orang terhadap rhesus D positif atau rhesus
D negative memberikan maksud klinik terhadap pencegahan kasus ini.
Buat preparat hapus dari sisa darah botol transfusi dan diwarnai menurut
gram, bila terlihat kuman berarti darah yang mengalami kontaminasi kuman.
Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan kultur darah dari sisa darah yang diberikan
dan dari darah penderita. Adapun penularan penyakit yang dilaporkan oleh peneliti dan
para ahli Hematologi adalah sebagai berikut (1) :
1. Sebab Viral:
a. Hepatitis(HAV, HBV, HDV, NANB)
b. Cito Megalo Virus
c. EBV
d. AIDS
3. Sebab Protozoa:
a. Malaria
b. Chaga’s Disease
c. Tryponemiasis
d. Kala Azar
4. Sebab Bakterial:
a. Bakteremia
b. Kontaminasi :
Coliform Sp
Pseudomonas
Proteus
Untuk mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan penapisan faktor risiko donor
berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan dengan serangkaian uji laboratorium.
Telah digunakan teknik sterilisasi untuk beberapa komponen plasma dan produk
fraksional, namun belum diciptakannya metode untuk melakukan sterilisasi terhadap
komponen sel. Di bawah ini kami jelaskan sedikit tentang beberapa penyakit yang kami
anggap perlu dan umum untuk dilakukan pemeriksaan.
Hepatitis
Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira 1:3.000 sampai1:5.000 pemajanan
donor . Risiko transfusi terhadaphepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit transfusi. ).
Risiko transfusiterhadap hepatitis C kira-kira 1:1.613.000 tiap unit transfusi. Insiden
hepatitis B yang berkaitan dengan transfusi saat ini sangatlah rendah, dan tersedia
vaksin hepatitis B untuk pasien rentan yang diperkirakan akan mendapatkan transfusi
kronik. Sebagian besar hepatitis yang ditularkan melalui transfusi adalah hepatitis C.
Hepatitis C biasanya hanya akan menimbulkan sedikit gejala dan tanda, tetapi bukti
serologi baru dapat dideteksi pada minggu ke 2-26 setelah transfusi. Walaupun
insidennya rendah dan frekuensinya menurun tetapi hepatitis C merupakan masalah
kesehatan yang serius, karena 50 % pasien yang terinfeksi berkembang menjadi
penyakit hati kronik. Selain itu bukti statistic mengaitkan HBV dan HCV dengan
karsinoma hepatoseluler.
Infeksi Retrovirus
Beberapa retrovirus manusia mudah ditularkan melalui transfusi darah.
Human Immunodeficiency Virus tipe 1 (HIV-1), penyebab AIDS, menginfeksi sekitar 90
% pasien yang mendapat darah tercemar. Risiko transfusi terkait HIV mendekati nol,
dengan perkiraan berkisar antara 1:300.000 sampai 1: 1.000.000 pemajanan donor.
Sebelum dilakukan uji rutin untuk donor darah, transfusi merupakan penyebab pada 2-
3 % kasus AIDS total. Perbaikan kriteria seleksi donor dan uji penapisan spesifik,
tampaknya telah secara bermakna menurunkan angka ini. Risiko infeksi saat ini
diperkirakan 1: 225.000 unit yang ditransfusikan. Virus serupa, HIV-2, dikaitkan dengan
AIDS, walupun belum pernah dilaporkan kasus yang berkaitan dengan transfusi di
Amerika Serikat, saat ini dilakukan juga pemeriksaan terhadap virus tersebut pada
donor darah.
Infeksi lain
CMV, biasanya merupakan virus herpes yang tidak berbahaya, dapat
menjadi patogen penting pada perempuan hamil, bayi premature dan pasien dengan
cacat kekebalan. Pasien ini harus mendapat komponen seronegatif atau darah yang
telah diolah untuk menghilangkan leukositnya. Jarang terjadi pada darah yang disimpan
pada suhu yang dingin, namun unit darah yang tercemar dengan Staphylococcus aureus
atau oleh organisme gram negative tertentu seperti Yersinia enterocolitica dan spesies
Citrobacter yang tumbuh baik pada 4°C dan dalam darah bersitrat dapat menimbulkan
syok dan kematian. Berbagai bakteri dan spiroketa dapat tumbuh baik pada konsentrat
trombosit yang disimpan dalam suhu kamar. Malaria dan penyakit Chagas adalah
penyakit menular terpenting yang merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan transfusi.
Penatalaksanaan
Pasien dengan darah terinfeksi mencakup penatalaksanaan syok. Terapi
antibiotika yang sesuai harus dimulai segera setelah didiagnosis disebut dan sebelum
hasil kultur diketahui.
2. Hemosiderosis Transfusi
Hemosiderosis akibat transfusi merupakan tertimbunnya zat besi dalam jaringan
– jaringan yang dapat terjadi pada transfusi yang berulang – ulang pada penderita
anemia yang bukan kekurangan besi. Anak yang menderita talesemia minor merupakan
satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang menderita anemia
kongenital dan orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara intensif juga
beresiko.
Setiap milliliter sel darah merah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu
sel darah merah menua atau mati. Deposit besi mulai mempengaruhi fungsi endokrin,
hati dan jantung bila beban tubuh total naik mencapai lebih dari 20 gram, ekivalen
dengan sekitar 100 unit sel darah merah. Penyulit jantung letal terjadi pada beban 60
gram atau sekitar 300 unit. Terapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua
pasien yang diperkirakan memerlukan pemberian sel darah intensif.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
1. Pengertian Transfusi Darah. posted by Unit Transfusi Darah Daerah. Available
at: http://utdd-pmijateng.blogspot.com/2007/08/pengertian-transfusi -
darah.html
5. Harrison, Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, Vol 4, EGC, 2000, hal 1990-
1994.
6. Golongan darah, Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa
Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_darah
7. Transfusion Reaction Review Date: 3/13/2007 Reviewed By: Mark Levin, M.D.,
Hematologist and Oncologist, Newark, NJ. Review provided by VeriMed
Healthcare Network.. Available at :http://adam.about.com/
encyclopedia/infectiousdiseases/Transfu-sion-reaction.htm
10. Sudoyo, Aru.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Pusat Penerbitan, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi IV,
2006.hal 691-695
11. Said A Latief, Petunjuk Praktis Anestesiologi, FKUI, 2001, hal 141-145.
13. Transfusion Reactions, Article Last Updated: Jan 18, 2007, Eric Kardon, MD,
FACEP. Available at: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC603.HTM
Kata Kunci Pencarian : Peristiwa Reaksi Transfusi Darah, Tesis, Makalah, Hematologi,
Jurnal, Ilmu penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf,
.doc, .docx, Skripsi, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Referat, Disertasi, Refrat, modul
BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan
keperawatan
0 comments:
Posting Komentar
Publikasikan Pratinjau