Anda di halaman 1dari 21

INFORMASI KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

Kumpulan Artikel dan Informasi Medis dan Kesehatan

Untuk Pencarian Silakan Masukkan Kata Kunci Di Kotak


Di Bawah Ini

Custom Search

SEARCH
Untuk smartphone dan tablet, tampilan terbaik
(khususnya untuk melihat tabel dalam artikel)
dalam posisi landscape (horizontal memanjang)

Bidang Ilmu Home Legal Notices

Reaksi Transfusi Darah Search

 Hematologi, Ilmu Penyakit Dalam     No comments   


CATEGORIES
Definisi
                      Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena transfusi
darah. Potensi untuk terjadinya komplikasi pada transfusi darah cukup besar, namun Ilmu Penyakit Dalam Hematologi
kebanyakan masalah yang muncul hanya pada pasien yang membutuhkan transfusi Kardiologi Infeksi Tropik
berulang atau dalam jumlah besar. Risiko yang berhubungan dengan transfusi dari
komponen spesifik darah cukup rendah. Meskipun demikian, risiko tersebut harus Nefrologi Gastroenterologi
dipertimbangkan dengan keuntungan setiap transfusi  yang dilakukan (Weinstein, 2000). Medis Terkini Pulmonologi
            Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah
dari satu orang ke  sistem peredaran  orang lainnya. Transfusi darah berhubungan Endokrinologi Hepatologi
dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar Kumpulan Latihan Soal Leukemia
disebabkan  trauma,  operasi,  syok  dan tidak berfungsinya  organ  pembentuk sel darah
merah. Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari
POSTING TERBARU
seorang donor ke resipien.
           Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada
resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu
1 ORGANISME GABUNGAN MANUSIA
dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara
DAN MONYET MEMUNCULKAN
darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama,
KONTROVERSI
ternyata dapat terjadi ketidakcocokan (inkompatibilitas) pada uji silang serasi. Sehingga
perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah Perdebatan mengenai etika dan...
donor dan pasien. (1) Aug 24 2019 | Baca lebih lanjut
1 Komentar
            Sejak penemuan Landsteiner (1901) sampai sekarang, telah diketemukan lebih
dari 400  antigen golongan darah dalam eritrosit. Tapi untuk kegunaan praktek, klinis
yang terpenting hanya sistem golongan darah ABO dan Rh. Pada sistem golongan darah 2 KUMPULAN SOAL LATIHAN UKMPPD
ABO hanya ada 4 golongan darah yaitu. A, B, AB dan 0. Golongan tersebut. berdasarkan (UJI KOMPETENSI MAHASISWA
atas ada atau tidak adanya antigen A dan antigen B. PROGRAM PROFESI DOKTER
            Dalam pelayanan kesehatan modern, transfusi darah merupakan salah satu hal INDONESIA) BAGIAN KEEMPAT
yang penting dalam menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Berikut ini adalah bagian keempat dari...
Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi
Aug 09 2019 | Baca lebih lanjut
yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi 0 Komentar
dengan cara lain. Dalam perkembangannya transfusi darah harus dilaksanakan sesuai
dengna prosedur ketat oleh tenaga profesional menggunakan darah yang aman dan
3 AMEBIASIS HATI (ABSES HEPATIK)
berkualitas. Sebelum melakukan transfusi darah perlu diketahui syarat-syarat dalam
melakukan transfusi, agar proses transfusi dapat berlangsung seperti yang diharapkan. De nisi    Amebiasis hati
            Sekitar disebutkan di atas 400 antigen golongan darah telah di laporkan. Makna adalah...
klinis golongan darah dalam transfusi darah adalah bahwa individu yang tidak Jun 25 2019 | Baca lebih lanjut
0 Komentar
mempunyai suatu antigen golongan darah tertentu mungkin menghasilkan antibodi
yang bereaksi dengan antigen tersebut, yang kemungkinan menyebabkan reaksi
transfusi. Antigen-antigen golongan darah yang berbeda tersebut memiliki makna klinis 4 HEPATITIS FULMINAN (KEGAGALAN
yang sangat bervariasi, dan yang terpenting adalah golongan darah ABO dan rhesus HEPATIK FULMINAN)
(Rh). De nisi    Hepatitis fulminan
adalah...
Transfusi darah sendiri memiliki tujuan:
Jun 14 2019 | Baca lebih lanjut
Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor. 0 Komentar

Memelihara keadaan biologis darah atau komponen – komponennya agar


5 INIKAH OBAT SEJATI DARI KANKER?
tetap bermanfaat.
(TERBUKTI SECARA ILMIAH)
Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada        Perjuangan umat manusia
peredaran darah (stabilitas peredaran darah).
melawan...
Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah. Oct 11 2018 | Baca lebih lanjut
0 Komentar
Meningkatkan oksigenasi jaringan.
PAGES
Memperbaiki fungsi Hemostatis.

Tindakan terapi kasus tertentu. Home

        Kecocokan antara antigen sel darah merah donor dengan antibody plasma resipien Disclaimer
haruslah dapat dipastikan, kalau tidak reaksi haemolitik yang potensial fatal dapat
terjadi. About Us
Meskipun telah dilakukan pencocokan golongan darah, beberapa penderita tetap dapat
mengalami reaksi ringan transfusi darah seperti : Contact Us

Demam. Privacy Policy

Gatal dan bintik bintik merah pada kulit.

Nafas pendek. SILAHKAN LIKE DI FACEBOOK


Nyeri. UNTUK MENGIKUTI
PERKEMBANGAN ARTIKEL
Berdebar debar. BARU
Menggigil.

Tekanan darah menurun.


ENTRI POPULER
         Reaksi transfusi ini memang sedikit menakutkan namun tidak berbahaya jika cepat
ditangani. Reaksi transfusi adalah suatu komplikasi dari transfusi darah yang berupa
respon imun terhadap sel darah transfusi atau komponen lain yang di transfusikan Struma Nodosa Nontoksik
secara langsung atau dapat juga berupa respons non imun sebagai akibat dari kelebihan (SNNT)
beban sirkulasi, siderosis transfusi atau penularan infeksi. Risiko yang berhubungan DEFINISI        Struma
dengan transfusi dari komponen spesifik darah cukup rendah. Meskipun demikian, nodosa non toksik adalah
risiko tersebut harus dipertimbangkan dengan keuntungan setiap transfusi dilakukan pembesaran kelenjar tiroid yang
(2,3,4,5)
secara klinik teraba nodul satu atau
Dalam suatu proses transfusi tersebut, adapun prinsip penanggulangan apabila  terjadi
lebih tanpa disertai...
reaksi transfusi yaitu dengan cara:
Berhenti melakukan transfusi Reaksi Transfusi Darah
De nisi             Reaksi
Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu tambahan
transfusi adalah semua
vasokonstriktor, inotropik.
kejadian ikutan yang
Berikan oksigen 100% terjadi karena transfusi darah. Potensi
untuk terjadinya kompl...
Diuretic manitol 50 mg atau furosemid 10-20 mg.

Antihistamin. Kumpulan Soal Latihan


UKMPPD (Uji Kompetensi
Steroid dosis tinggi. Mahasiswa Program

Jika perlu exchange transfusion. Profesi Dokter Indonesia)


Bagian Pertama
Periksa analisis gas dan pH darah.        Berikut ini beberapa kumpulan
latihan soal UKMPPD (Uji Kompetensi
              Tindakan transfusi darah atau komponennya relatif aman akan tetapi bukanlah
tindakan tanpa risiko, tindakan ini dapat mengakibatkan risiko yang beragam dari yang Mahasiswa Program Profesi Dokter)
ringan hingga fatal. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat dan yang telah kami himpun dari bebe...
lambat. (akan dibahas pada pokok bahasan terkait di bawah)       
Dislipidemia (Bagian
Pertama) : De nisi,
Pato siologi, Klasi kasi,
Manifestasi Klinis,
Diagnosis
Untuk bagian kedua dapat dibaca di
sini DEFINISI             Dislipidemia
adalah kelainan metabolisme lipid
yang ditandai oleh peningka...

Kor Pulmonal
De nisi             Kor
pulmonal / Cor Pulmonale
atau disebut juga
Pulmonary Heart Disease adalah
suatu kondisi gagal jantung sisi ...

Koagulasi Intravaskular
Diseminata (Disseminated
Intravascular Coagulation)
De nisi           Koagulasi
intravaskular diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation, KID) adalah suatu
sindrom yang ditandai d...

Angina Pektoris
De nisi    Angina pektoris
berasal dari bahasa
Yunani, ankhon, yang
berarti ‘mencekik’ dan pectus yang
berarti ‘dada’. Jadi, angina pect...

Penyakit Jantung
Hipertensif (Hipertensive
Heart Disease)
De nisi             Hipertensi
adalah peninggian tekanan darah
diatas nilai normal. Ini termasuk
golongan penyakit yang terjadi akiba...

Infark Miokard Akut (AMI)


De nisi             Infark
adalah area nekrosis
koagulasi pada jaringan
akibat iskemia lokal, disebabkan oleh
obstruksi sirkulasi ke dae...

Kolelitiasis (Batu Empedu)


DEFINISI         Kolelitiasis
atau Cholelithiasis adalah
keadaan adanya atau
sedang terbentuknya batu empedu
MACAM-MACAM GOLONGAN DARAH MANUSIA
yang merupakan timbunan kris...
              Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya
perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah.
Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan
Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain UNTUK BERLANGGANAN
antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai. Transfusi darah dari golongan MELALUI PEMBERITAHUAN
yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi. (6) EMAIL

Sistem Golongan Darah ABO.


       Ditemukan oleh dr. Karl Landsteiner bahwa terdapat antigen pada eritrosit manusia Email address... SUBMIT
yang diberi nama antigen A dan antigen B sehingga ditemukan  suatu golongan darah
ABO, sebaliknya pada serum/plasma darah manusia ditemukan 2 macam zat antibodi
yang masing-masing yaitu antibodi-A dan antibodi-B. Antibodi-A merupakan lawan dari
antigen-A sedangkan antibodi-B merupakan lawan dari antigen-B (2). KEHIDUPAN YANG
BERMANFAAT ADALAH
1. Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen KEHIDUPAN HEBAT
A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen
B dalam serum darahnya. Sehingga, orang dengan golongan darah A-negatif
ILMU ADALAH KUNCI
hanya dapat menerima darah dari orang dengan golongan darah A-negatif
KEMAJUAN
atau O-negatif.

2. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel


TERIMA KASIH TELAH
darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum BERKUNJUNG
darahnya. Sehingga, orang dengan golongan darah B-negatif hanya dapat
menerima darah dari orang dengan dolongan darah B-negatif atau O-negatif
PENCARIAN UNTUK WEBSITE
3. Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan antigen INI SILAHKAN KETIK DI
A dan B serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A maupun B. BAWAH
Sehingga, orang dengan golongan darah AB-positif dapat menerima darah dari
orang dengan golongan darah ABO apapun dan disebut resipien universal. TELUSURI
Namun, orang dengan golongan darah AB-positif tidak dapat mendonorkan
darah kecuali pada sesama AB-positif.

4. Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B. Sehingga, orang dengan
golongan darah O-negatif dapat mendonorkan darahnya kepada orang dengan
golongan darah ABO apapun dan disebut donor universal. Namun, orang
dengan golongan darah O-negatif hanya dapat menerima darah dari sesama O-
negatif.

Rhesus
           Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan memanfaatkan
faktor Rhesus atau faktor Rh. Nama ini diperoleh dari monyet jenis Rhesus yang
diketahui memiliki faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner. Seseorang yang
tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki golongan darah
Rh-. Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut
memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini seringkali digabungkan dengan
penggolongan ABO. Golongan darah O+ adalah yang paling umum dijumpai, meskipun
pada daerah tertentu golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan
80% populasi dengan golongan darah B.
            Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan. Misalnya
donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-) dapat menyebabkan produksi antibodi
terhadap antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada
perempuan yang pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat
mempengaruhi janin pada saat kehamilan.

Interaksi perbedaan golongan darah rhesus antara janin dan ibu


      Perbedaan golongan darah rhesus antara janin (fetus) dan ibu yang mengandung dapat
menimbulkan interaksi pada kehamilan kedua dan seterusnya, terutama apabila ibu memiliki
golongan darah rhesus faktor negatif dan janinnya Rh-positif. Terdapat beberapa langkah
pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyelamatan kehamilan-kehamilan berikutnya.
Secara umum, grup golongan darah rhesus terdiri dari 5 antigen, dengan antigen D
merupakan yang paling bersifat imunogenik yang kemudian paling sering terlibat dalam
kelainan / gangguan janin. Plasenta berfungsi sebagai barrier (palang penahan) antara ibu dan
fetus, tetapi eritrosit janin dapat memasuki sirkulasi darah ibunya yang dapat mengakibatkan
perdarahan (tank haemorrhage) yang dapat terjadi pada saat abortus (spontan atau diinduksi)
begitu juga selama persalinan normal, chorionic virus sampling (CVS), rotasi manual pada
presentasi bokong, trauma dan prosedur invasif seperti amniosentesis. 
      Dapat disimpulkan, alloimunisasi (alloimmunization) antigen Rh atau inkompatibiltas
terjadi apabila eritrosit janin Rh-positif memasuki aliran darah dari ibu yang mengandungnya
yang memiliki golongan darah Rh-negatif dan ibu tersebut kemudian mengembangkan
antibodi terhadap antigen D yang terdapat pada eritrosit fetal tersebut. 
      Walaupun umumnya antibodi ini belum terbentuk dan berpengaruh pada kehamilan
pertama, namun dapat membahayakan pada kehamilan-kehamilan selanjutnya. Jika ibu yang
sudah mengalami aloimunisasi kemudian hamil selanjutnya dengan janin Rh-positif, maka
antibodinya akan mengikat dan melisis (destruksi) eritrosit fetus. Keadaan ini dikenal sebagai
eritroblastosis fetalis (Erythroblastosis Fetalis). 
      Maka sebagai langkah pencegahan, ibu hamil yang memiliki golongan darah Rh-negatif
yang belum tersensitisasi sebaiknya mendapat anti-immune globulin (RhoGAM) untuk
menurunkan risiko inkompabilitas dan berkembangnya penyakit hemolitik dari bayi lahir
pada kehamilan berikutnya. Injeksi RhoGAM (Rho(D) immune globulin) diberikan pada saat-
saat kritis tersebut (abortus, persalinan, dan lain-lain), yang kemudian akan mengikat antigen
D pada eritrosit janin di dalam sirkulasi ibunya dan mencegah pembentukan antibody,
sehingga tidak akan menyebrang dan mempengaruhi kehamilan berikutnya.

Tabel kecocokan RBC


Golongan darah Resipien Donor harus bergolongan darah:
AB+ Golongan darah manapun
AB- O- A- B- AB-
A+ O- O+ A- A+
A- O- A-
B+ O- O+ B- B+
B- O- B-
O+ O- O+
O- O-

Tabel kecocokan plasma


Golongan darah Resipien Donor harus bergolongan darah:
AB AB manapun
A A atau AB manapun
B B atau AB manapun
O O, A, B atau AB manapun

Golongan darah lainnya

Diego positif yang ditemukan hanya pada orang Asia Selatan dan pribumi
Amerika.

Dari sistem MNS didapat golongan darah M, N dan MN. Berguna untuk tes
kesuburan.

Duffy negatif yang ditemukan di populasi Afrika.

Sistem Lutherans yang mendeskripsikan satu set 21 antigen.

Dan sistem lainnya meliputi Colton, Kell, Kidd, Lewis, Landsteiner-Wiener, P, Yt


atau Cartwright, XG, Scianna, Dombrock, Chido/ Rodgers, Kx, Gerbich, Cromer,
Knops, Indian, Ok, Raph dan JMH.

              Dengan meningkatnya penggunaan darah atau komponen komponennya maka


frekuensi terjadinya reaksi transfusi juga meningkat. Frekuensi terjadinya reaksi
transfusi semakin meningkat bila penyediaan dan supervisi kurang sempurna, oleh
karena itu walaupun transfusi darah sudah dianggap biasa, tetapi haruslah disiapkan
secara baik serta haruslah disadari akan kemungkinan reaksi – reaksi yang dapat timbul
(2)
.
        Penelitian yang dilakukan di kota New York pada tahun 1998, didapatkan 256 kasus
pelayanan transfusi yang mengalami kesalahan penggolongan darah ABO atau Rhesus
group sejak selama 10 tahun. Dimana 49 % dari kasus ini merupakan kesalahan uji dari
specimen serta  kesalahan transkripsi  yang terjadi di dalam Bank Darah, sedangkan 51
% terjadi di luar Bank Darah berupa kesalahan dalam melakukan phlebotomy, kesalahan
data tentang penerima dan sisanya merupakan “multiple errors”. Dari data diatas
kesalahan terbanyak didapatkan dari bangsal  akibat tertukarnya data pasien (3).
Sebagaimana diketahui bahwa kesalahan transfusi dapat menjadi resiko yang signifikan dan
kesalahan terbanyak berasal dari “human errors”, oleh karena itu bahwa hal yang
demikian itu haruslah dapat dicegah.
            Sehingga diharapkan dengan pemberian informasi dengan jelas tentang reaksi
transfusi, pelaksana transfusi dapat mengenal tanda dan gejala serta penanganan dan
pencegahan dari reaksi transfusi.
                      Reaksi transfusi merupakan Semua kejadian yang tidak menguntungkan
penderita , yang timbul selama atau setelah transfusi , dan memang berhubungan
dengan transfusi tersebut. Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada
jenis reaksi transfusi yang buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera
terjadi setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau
bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan. Untuk mencegah terjadinya reaksi yang
buruk, diperlukan tindakan pencegahan sebelum transfusi dimulai. Jenis darah
diperiksa berkali-kali, dan dilakukan cross-matched untuk memastikan bahwa jenis
darah tersebut cocok dengan jenis darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah
itu, perawat dan teknisi laboratorium bank darah mencari informasi tentang pasien dan
informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum dikeluarkan. Informasi ini
dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi dimulai.

Golongan Darah Sub Grup


        Mungkin kita pernah mendengar tentang golongan darah A2 atau A lemah, sebenarnya
apakah yang dimaksud golongan darah tersebut? Dan bagaimana bila hendak melakukan
transfusi darah?
        Secara prinsip, golongan darah itu ditentukan keberadaan atau sifat dari 2 hal: Antigen di
permukaan eritrosit, dan Antibodi di serum darah. Dalam hal ini, yang diuji adalah Antigen A,
Antigen B, Anti-A dan Anti-B.
        Karena itu, untuk menguji golongan darah itu berbasis dua metode:
1. Cell-grouping (Forward typing, Type 1) adalah menguji apa antigen yang di
permukaan eritrosit.
2. Serum-grouping (back typing, Type 2) adalah menguji apa antibodi di serum. 

        Di luar fasilitas kesehatan besar, seperti di apotik atau tempat umum lainnya, biasanya
hanya menguji dengan menggunakan metode 1. Dengan cara itu, sebenarnya hanya melihat
apa antigen yang ada di permukaan eritrosit. Pada kebanyakan kasus, langkah ini sudah
cukup untuk mengetahui golongan darah seseorang dalam sistem ABO. Meskipun sebenarnya
itu belum komprehensif karena belum memastikan "apa antibodi yang ada pada serumnya".
              Mengapa demikian? Karena umumnya pemeriksaan dilakukan hanya terhadap darah,
tanpa dipisahkan antara eritrosit dan serumnya. Bahkan juga tanpa adanya kontrol untuk
menghindari kondisi darah yang memang sudah mengalami aglutinasi (mudahnya sudah
terjadi perlekatan antar eritrosit sebelum dilakukan pemeriksaan golongan darah sehingga
hasil pemeriksaan menjadi tidak valid).
              Pada pemeriksaan di BDRS (Bank Darah Rumah Sakit) atau PMI (red cross), pengujian
golongan darah dilakukan dengan kedua metode: cell-grouping maupun serum-grouping.
Caranya diawali dengan memisahkan dulu antara eritrosit untuk cell-grouping dan serum
untuk serum-grouping. Dengan langkah ini menjadikan pemeriksaan lengkap menjawab
pertanyaan: apa antigennya, apa antibodinya.
Dengan menggunakan kedua metode, juga ada langkah validasi: kalau seseorang memiliki
Antigen A maka tentu tidak akan memiliki Antibodi A. Demikian pula dengan Antigen B.
        Contohnya adalah apabila ada pasien yang diduga memiliki golongan darah A2. Ini adalah
sub-tipe dari golongan darah A. Mudahnya, 80% orang bergolongan darah A, sebenarnya lebih
tepat disebut sebagai golongan darah A1. Sedangkan 20% orang sisanya bergolongan darah A2.
Sebenarnya ada sekitar 20 subtipe golongan darah A. Hanya, yang signifikan secara klinis pada
dua saja: A1 dan A2.
        Sifat dari sub-tipe A2 adalah reaksi antigennya lebih lemah. Akibatnya ketika diuji HANYA
dengan metode 1, tidak terdeteksi adanya antigen A. Maka dinyatakan golongan darahnya O.
Tetapi ketika diperiksa di PMI menggunakan dua metode, maka terjadi hasil yang perlu
dianalisis lebih lanjut. Bila benar golongan darah O, maka pada serum-grouping akan
ditemukan baik anti-A maupun anti-B. Sedangkan di cell-grouping akan bersih, tidak
didapatkan antigen.
        Pada golongan darah  A1, maka pada serum-grouping hanya ditemukan anti-B. Dengan
hasil itu, kemudian dilakukan pemeirksaan lebih mendalam di cell-grouping, dan akhirnya
ditemukan antigen A walau dengan reaksi yang lebih lemah. DI situlah akan dinyatakan
sebagai Golongan Darah A2.
Sampai di sini, sebenarnya belum menjadi masalah besar terkait transfusinya. Artinya asal
sudah benar-benar diuji golongan darahnya, kemudian dilakukan cross-match tanpa reaksi,
berarti tidak masalah memberikan darah dari donor bergolongan darah A tanpa harus
membatasi donor harus bergolongan darah A2.
        Lantas, apa masalahnya pada contoh kasus di atas? Dari semua orang bergolongan darah
A, maka sekitar 20% diantaranya adalah bergolongan darah A2. Dari 20% tersebut, sekitar 10-
20% nya lagi (artinya sekitar 2-4% dari semua orang bergolongan darah A) adalah mereka
yang bergolongan darah A2 TETAPI disertai adanya Anti-A1.
            Pada pemeriksaan golongan darah kelompok terakhir ini, akan didapatkan diskrepansi
antara cell-grouping dan serum-grouping. Ditemukan Anti-A tetapi juga ada Antigen A. Maka
ini sebenarnya adalah: ada Antigen A2 maupun ada Antibodi A1.
        Pada 1-2% orang bergolongan darah A ini dengan sub tipe A1 dan memiliki Anti-A1 inilah
yang akan bereaksi bila diberi darah transfusi dari sembarang orang bergolongan darah A.
Yang bisa diberikan adalah darah dari donor yang sama-sama bergolongan darah A2 dengan
disertai Anti-A1.
              Untuk itu, pada kasus seperti di atas, harus dilakukan upaya memastikan dulu apakah
darah pasien memiliiki Anti-A1. Bila benar adanya, maka harus dicari donor dengan kondisi
yang sama. Memang tidak mudah, karena itu tadi, hanya sekitar 1-2% dari semua yang
bergolongan darah A.
              Untuk memastikannya memang diperlukan reagen khusus A1. Tidak mudah untuk
menyediakannya. Bila tidak bisa memastikan menggunakan reagen, maka langkah
selanjutnya adalah mencoba sebanyak mungkin donor sampai ketemu yang benar-benar
sesuai dan tidak menimbulkan reaksi. Ini tentu memakan waktu dan membutuhkan biaya
relatif tinggi. Hal demikian perlu disampaikan kepada para pihak terutama pasien agar tidak
timbul salah paham.
        Sifat A2 bisa juga muncul pada orang dengan golongan darah AB, dimana komponen A
nya juga terkena potensi adalah A1 atau A2. Sehingga sebenarnya juga ada yang A1B dan A2B.
Terhadap yang A2B pun ada potensi untuk memiliki Anti-A1 seperti pada kelompok golongan
darah A. Berarti cara penanganan pada saat dibutuhkan transfusi juga sama.
       Apakah ada juga Sub-grup pada golongan darah B? Secara ilmiah, diyakini bahwa ada juga
Sub tipe golongan darah B, hanya sangat sangat jarang. Sejauh ini juga belum didapatkan efek
signifikan terhadap pemberian transfusi  pada orang golongan darah B akibat adanya beda
sub tipe.

Klasifikasi dan Penatalaksanaan

Reaksi transfusi di klasifikasikan sebagai tipe Akut (cepat) dan Delayed  (lambat), dimana
masing-masing dari tipe tersebut terdiri dari reaksi akibat Respon Imun dan Respon Non Imun
(2,8).

 
 A.    Reaksi Transfusi akut :
Imunologi :

1. Reaksi Hemolitik Akut

2. Reaksi Alergi.

3. Reaksi Demam Non Hemolitik

4. Reaksi Anafilaksis

5. Kerusakan Paru akut akibat Transfusi

Non Imunologi :

1. Reaksi Hemolitik Non Imunologi

2. Kelebihan Beban Sirkulasi

3. Emboli Gas/Udara

4. Keracunan Sitrat

5. Gangguan Irama Jantung

6. Tromboflebitis

7. Gangguan Hemostatis

  B.     Reaksi Transfusi Delayed  (Lambat) :


Imunologi :

1. Reaksi Hemolitik Lambat

2. Sensitisasi imun terhadap antige Rhesus D

3. Purpura Pasca Transfusi

Non Imun :

1. Reaksi Penularan Infeksi

2. Siderosis Transfusi

A.    Reaksi Transfusi akut


Reaksi Transfusi akut adalah reaksi yang timbul sampai dengan 24 jam setelah
pemberian transfusi. Pembagiannya berdasarkan reaksi Imun dan Non Imun.

Reaksi Imunologi :

 I.      Reaksi Hemolitik Akut (Acute Hemolytic Reaction) (1,2,8,9,10)


              Reaksi hemolisis akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah
merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun
sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko
        Pasien yang mengalami reaksi hemolitik akut mungkin mengalami  mengeluh rasa
panas di muka (flushing), nyeri di tempat infuse, nyeri dada atau punggung, gelisah,
cemas, mual, atau diare, dispnea. Tanda berupa demam dan menggigil serta temuan
khas pada syok dan gagal ginjal.    Pada pasien koma atau dalam anestesi, indikasi
pertama mungkin hemoglobulinuria, atau perdarahan generalisata akibat koagulasi
intravaskuler diseminata.

Pemeriksaan reaksi transfusi hemolitik


              Dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien, penyebab tersering
adalah karena kesalahan klinis, terutama kesalahaan pemberian label spesimen.
Langkah berikutnya adalah membuktikan adanya destruksi sel darah merah,
pemeriksaan penyebabnya, dan penatalaksanaan status klinis pasien.
              Pada hemolisis intravaskuler yang baru terjadi, hemoglobulin bebas dapat
mewarnai plasma dan urin. Laboratorium dapat mengkonfirmasi peningkatan
hemoglobulin bebas, adanya methemalbumin, atau penurunan haptoglobin serum bila
perlu. Indikator terbaik adanya hemolisis intravaskuler adalah adanya peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) dan kegagalan hematokrit mencapai kadar
pascatransfusi yang diharapkan.

Penatalaksanaan hemolisis akibat reaksi transfusi


              Segera menghentikan transfusi, lakukan terapi simptomatik dengan anti piretik
oral/supp dan/atau anti histamine iv, setelah 15-30 menit berikan hidrokortison dan
epinefrin iv kemudian infuse manitol 10 % yang diteruskan dengan pemberian
bikarbonat natrikus serta diuretika (1). Buatlah laporan kepada Bank Darah untuk
pemeriksaan akan sebab-sebab reaksi.

Pencegahan Hemolisis akibat Reaksi transfusi


Dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien

 II.      Reaksi Alergi


        Reaksi alergi terjadi pada 1% dari semua transfusi darah, sering terjadi pada orang –
orang dengan riwayat alergi, dan yang lebih sering lagi pada orang – orang yang telah
banyak mendapat transfusi darah sebelumnya. Reaksi alergi ini disebabkan oleh adanya
antibody dalam tubuh penderita terhadap protein dalam plasma donor, atau
pemindahan alergi dari donor (1,2,8,9)

Tanda dan Gejala


Urtikaria disertai gatal, biasanya timbul segera mulainya transfusi.

Dapat disertai demam, sakit kepala dan muntah.

Edema pada muka, bibir, dan kelopak mata.

Edema laring jarang, namun bila timbul merupakan komplikasi yang berat.

Dapat timbul gejala – gejala asma bronchial.

Jarang terjadi reaksi anafilakik dengan gejala shok, tetapi bila ada, maka tanda
awalnya adalah takikardi, impotensi dan sesak nafas.    

Penatalaksanaan (1,2,8)
Bila gejala alergi ringan berupa urtikaria, transfusi diperlambat dan diberikan
antihistamin iv.

Bila timbul gejala – gejala berat, transfusi dihentikan dan diberikan adrenalin,
antihistamin dan kortikosteroid.

Pencegahan
Pada penderita dengan riwayat alergi sesudah transfusi atau penyuntikan,
reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian eritrosit yang telah dicuci.

Dapat diberikan antihistmin dan korikosteroid sebelum transfusi darah.


Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative
belum tentu bebas reaksi karena dapat pula terjadi “false negative”. Namun
hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.

 III.      Reaksi Demam Non Hemolitik / Aloimunisasi


        Karena tidak ada dua manusia yang memiliki susunan genetik yang sama, kecuali
kembar identik, proses transfusi darah berarti memasukkan banyak antigen asing.
Antigen ini tidak secara langsung mengakibatkan reaksi imunologis. Antibodi pada
resipien akan terbentuk dalam hitungan hari, minggu atau bulan setelah proses
transfusi.
        Reaksi imunologi ini disebabkan rangsangan aloantigen asing yang terdapat pada
eritrosit, leukosit, trombosit dan protein plasma. Bila resipien mendapat transfusi yang
mengandung antigen tersebut maka akan terjadi pembentukan antibodi sehingga kelak
bila mendapat transfusi dapat terjadi mediasi imunologi. Komplikasi ini hanya terdapat
pada pasien yang perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan sejumlah
darah yang banyak, sekitar 10 kali transfusi.

Tanda dan Gejala


Demam timbul secara tiba – tiba. Biasanya ½ - 3 jam mulainya transfusi. Suhu
badan sekitar 38° C – 40° C.

Biasanya disertai menggigil, penderita gelisah, sakit kepala dan disertai mual
dan muntah.

Jarang menimbulkan bahaya pada penderita, kecuali bila penderita dengan


keadaan umum buruk.

Penatalaksanaan
Selimuti penderita agar tidak kedinginan

Anti piretika dan anti histamin dan/atau kortikosteroid.

Sedativa bila penderita gelisah.

Transfusi diperlambat, Bila tidak ada perbaikan transfusi dihentikan atau


diganti

           
Pencegahan
Pada penderita-penderita anemia yang hanya membutuhkan erirosit, eritrosit
saja yang diberikan sedang plasma dan yang banyak mengandung leukosit dan
trombosit tidak diberikan.

Pada penderita-penderita yang telah terbukti adanya antibody terhadap


leukosit dan trombosit, sebaiknya diberikan washed red cells (eritrosit cuci).

IV.      Reaksi Anafilaksis


Reaksi anafilaktik ini sangat jarang, diperkirakan hanya terjadi pada 1 dari 170.000
transfusi. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA dan pasien
yang memiliki antibodi anti-IgA. Dua tanda klasik reaksi anafilaktik segera terjadi yaitu
gejala hanya setelah beberapa millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa
adademam. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada resipien tertentu.
           

Tanda dan Gejala


Batuk – batuk dengan kesulitan bernafas, disertai bronkospasme.

Mual, muntah terkadang disertai dengan diare dan dengan abdominal cramps

Penurunan kesadaran, hipotensi, bradikardi, dan shok.


Tampak beberapa saat setelah diberikannya transfusi.

Penatalaksanaan
Hentikan transfusi

Prinsipnya ABC, yaitu dengan bebaskan jalan nafas dan berikan bantuan nafas
serta sirkulasi agar tetap stabil.

Berikan epinepherin (0,4 ml dari 1:1000 solution) sc/im

Berikan cairan koloid jika memungkinkan

Jangan berikan kembali transfusi, lakukan pemantauan tanda – tanda vital


secara intensif sampai stabil.

Pencegahan
Pada penderita yang memiliki antibody terhadap molekul IgA, sebaiknya
ditangani dengan komponen darah defisiensi IgA dari saudara atau daftar
donor.

Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative
belum tentu bebas reaksi karena dapat pula terjadi                        false negative.
Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi
dilakukan.

V.      Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury
= TRALI)
Kerusakan paru disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi
dengan granulosit resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi
dalam jaringan vaskuler paru, menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi
kebocoran cairan kedalam alveoli.
Umumnya berupa ”respiratory distress” berat yang tiba-tiba, disebabkan oleh sindrom
edema pulmonal non kardiogenik. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis,
sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Pada pemeriksaan radiologis
nampak edema paru.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya berat,
umumnya akan mereda dalam 48-96 jam dengan bantuan pernafasan, tanpa gejala sisa.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan
pernafasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan,
karena menghambat agregrasi granulosit.

Reaksi Non Imunologi

1.         Reaksi Hemolitik Non Imun (1,8,9)


Reaksi hemolitik non imun merupakan reaksi akibat transfusi yang disebabkan bukan
karena reaksi antara antigen dan antibody, melainkan karena pemberian darah yang
telah mengalami hemolisis atau oleh karena pemberian transfusi bersama – sama
dengan larutan hipotonis. Pada pemberian darah yang telah terhemolisis disebabkan
oleh ; Darah donor sudah terlalu lama disimpan, Cara penyimpanan yang kurang baik,
sehingga eritrosit dapat membengkak atau hancur, Pemanasan tiba - tiba dengan
diberikan atau dimasukkan air panas yang temperaturnya melebihi panas tubuh atau
suhu yang terlalu rendah, Pemberian transfusi dengan cara memompa atau dengan
tekanan, Telah terkontaminasi dengan bakteri, sehingga eritrosit hancur

Tanda dan Gejala


Cepat dan beratnya gejala bervariasi, ada yang baru 40 – 50 ml sudah timbul gejala, ada
yang setelah 1-2 jam transfusi dihentikan. Pada yang cepat, gejalanya biasanya berat.
Pada reaksi yang berat memberikan gejala yang klasik yakni :
Penderita gelisah, takut, rasa sesak, mual, munah, sakit pada region lumbal,
kaki dan prekordial.

Menggigil, demam, takikardi dan shok.

Dapat disusul oliguria dan anuria akibat kegagalan ginjal mendadak.


Dapat timbul gangguan hemostatis berupa perdarahan yang abnormal dari
vena punksi atau luka operasi.

Pada penderita yang sedang dalam pembiusan tanda dan gejala sering tidak
tampak. Harus dicurigai adanya reaksi hemolitik bila nadi meningkat dengan
cepat, tekanan darah yang tiba-tiba menurun serta perdarahan yang sukar
diatasi.

Gejala - gejala setelah melewati fase akut yaitu danya ikterus dan uremia
akibat kegagalan ginjal mendadak.

Terjadinya kegagalan ginjal mendadak dan gangguan hemostatis disebabkan


oleh proses koagulasi intravaskuler (DIC).

Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobinemia secara mudah diketahui darah didiamkan plasma berwarna
merah.

Hemoglobinuria dimana urin berwarna seperti air daging.

Pada fase berikutnya adanya hiperbilirubinemia dan ureum dapat meningkat

Adanya gangguan ketidakseimbangan elektrolit akibat terjadi kegagalan ginjal.

Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan

Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi
shok.

Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan

Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika


furosemid dosis tinggi.

Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.

Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.

Pencegahan :
Penyimpanan darah yang baik

Teliti dalam mengambil darah dengan memperhatikan tanggal (lama)


penyimpanan darah.

Pada setiap botol darah, awasi menit – menit pertama pemberian transfusi,
sebab gejala yang berat dapat terjadi 40-50 ml pertama.

2.         Kelebihan beban sirkulasi (1,9)


Terjadinya hipervolemia secara mendadak akibat transfusi akan menyebabkan
terjadinya bendungan dalam paru yang disusul dengan sembab paru dan akan tampak
gejala – gejala dekompensasi jantung mendadak, edema paru serta hiperhidrosis renalis.
Komplikasi dekompensasi kordis merupakan yang terpenting karena banyak
menyebabkan kematian. Kemungkinan terjadinya over transfusi lebih besar pada
penderita – penderita dengan anemia kronis, pada orang tua, anak kecil, dan pada
penderita dengan penyakit paru, jantung dan penyakit degeneratif.

Tanda dan Gejala


Seperti gejala dekompensasi kordis mendadak, timbul selama transfusi atau
segera setelah transfusi dihentikan.

Penderita sesak, ortopnoe, sianosis, batuk – batuk dengan dahak kemerah –


merahan.

Tekanan vena sentralis meningkat.

Pada auskultasi terdengar rhonki basah halus dan krepitasi.

Penatalaksanaan (1,6,8,9)
Transfusi segera dihentikan dan penderita ditegakkan.

Berikan Diuretika (furosemid iv), Digitalis iv.

Oksigenasi

Torniket keempat ekstremitas dilonggarkan secara bergantian

Phlebotomi.

Pencegahan (1,4,6,9)
Pada pengobatan anemia sebaiknya hanya diberikan packed red cell saja.

Pengawasan vena sentralis.

Pada penderita yang diduga mudah terjadi komplikasi ini, transfusi sebaiknya
secara perlahan – lahan.

Pemberian diuretika sebelum/selama transfusi.

3.         Emboli Udara (1)


Kejadian ini dapat terjadi pada permulaan transfusi atau yang paling sering pada waktu
transfusi habis dan tak terkontrol oleh petugas. Juga terjadi pada transfusi yang
dipercepat dengan meninggikan tekanan, dengan cara memasukkan udara ke dalam
botol, bisa terjadi juga pada saat pemasangan selang transfusi atau waktu penggantian
botol darah. Namun dengan adanya kantong plastik untuk darah emboli darah sudah
jarang terjadi.

Tanda dan Gejala


Sesak nafas, sianosis dan gelisah

Takikardi dan tekanan darah menurun

Syncope terjadi oleh karena adanya tanda-tanda tersebut dan terjadi begitu
cepat sehingga penderita dapat mendadak iskemia serebral.

Pingsan dan dapat disusul dengan kematian.

Penatalaksanaan
Selang segera diklem

Penderita segera dimiringkan ke kiri (jika memungkinkan) dan kepala


direndahkan sedang tungkai ditinggikan dengan demikian udara diharapkan
tertahan di ventrikel kanan, tidak ikut aliran darah ke paru.

Oksigenasi.

Pencegahan
Pantau dan pastikan selang transfusi bebas dari udara.
Perhatikan jika kantong darah sudah akan habis, untuk mencegah masuknya
udara.

4.  Keracunan Sitrat
Darah simpan supaya awet dan tidak membeku diberikan pengawet campuran sitrat
untuk mengikat kalsium agar tidak terjadi pembekuan, fosfat sebagai penyangga
(buffer), dan dekstrosa sebagai sumber energi sel darah merah serta Ademin untuk
membantu resistensi adenosin Trifosfat dan menjaga supaya 2,3 DPG tidak cepat rusak.
Pada penderita yang mengalami penyakit hepar dan ginjal yang berat, akan menderita
intoksikasi sitrat oleh karena sitrat dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal.
Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau deficit kalsium
ialah mereka yang mendapat transfusi plasma, wholeblood, trombosit dengan kecepatan
melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati. Dimana
hati tidak bias mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi
sitrat,mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia
jantung.

Tanda dan Gejala


Tremor

Perubahan EKG : ST segmen memanjang

Penatalaksanaan
Pemberian glukonas kalsikus 10 % 4 – 8 cc setiap pemberian transfusi              1 unit kolf
darah.

5.         Gangguan Irama Jantung


Pada penderita yang menerima transfusi darah yang masif (cepat dan banyak) dapat
timbul gangguan irama jantung yang pada keadaan berat dapat menyebabkan cardiac
arrest.

Faktor-faktor penyebab :
Hiperkalemi. Khusus bila digunakan darah yang telah lama disimpan (lebih
dari satu minggu), dimana telah banyak ion kalium keluar dari sel-sel darah ke
dalam plasma. Keadaan hiperkalemi lebih mudah terjadi bila penderita
insufisiensi ginjal.

Keracunan sitrat yang menyebabkan hipokalsemia, sehingga memberikan


gejala tetani keracunan sitrat lebih mudah terjadi bila ada gangguan hepar.

Darah yang dingin yang diberikan secara cepat dan banyak (masif)

Penatalaksanaan      
Berikan obat Anti Aritmia

Apabila terjadi cardiac arrest lakukan resusitasi jantung – paru

Bila penyebab adalah intoksikasi sitrat lakukan terapi seperti pada intoksikasi
sitrat 

Pencegahan :
Hiperkalemi. Usahakan gunakan darah yang belum terlalu lama disimpan.

Keracunan sitrat dapat dihindari dengan pemberian 10 ml 10 % larutan


kalsium glukosa setiap liter darah pada transfusi yang masif.

Memanaskan darah sampai suhu tubuh, tetapi hati-hati terjadinya over heating
karena dapat terjadi hemolisis. 
6.         Thrombo Flebritis
Merupakan peradangan pada sepanjang pembuluh darah vena yang digunakan.
Biasanya sering timbul pada transfusi yang lama. Walaupun jarang terjadi namun dapat
menyebabkan komplikasi berupa emboli dan/atau sepsis.

Penatalaksanaan
Anti inflamasi, phenylbutazon 3 x 100 mg/hari, memberikan hasil yang baik.

Antibiotika terutama bila ditakutkan terjadinya infeksi

Pencegahan 
Transfusi setiap 48 jam harus dipindahkan ke vena yang lain.

Pengawasan, bila ada tanda-tanda peradangan, harus segera dipindahkan.

7.             Gangguan Hemostatis


Pada suatu transfusi darah dapat terjadi gangguan hemostatis atau koagulasi yang
memberikan gejala-gejala perdarahan.    

Faktor-faktor penyebab :
·           Dilutional trombocytopenia (trombositopenia akibat pengenceran)
       Darah yang telah disimpan lebih dari 48 jam, hampir tidak mengandung trombosit
lagi, sehingga sesudah transfusi darah yang masif trombosit penderita mengalami
pengenceran. 
·           Kekurangan faktor V dan Viii (faktor labil)
       Pada penyimpanan darah secara biasa faktor V dan VIII juga cepat rusak, tetapi telah
diselediki setelah penyimpanan 21 hari, faktor-faktor ini masih ada 20 % - 50 %,
sedang untuk proses pembekuan berjalan biasa, cukup dengan 5 – 20 % dari kadar
normal, sehingga kekurangan faktor-faktor ini bukan sebab utama terjadi
perdarahan pasca tranfusi.
·           Disseminata Intravasculer Coagulation (DIC)
            Diduga oleh adanya hipoksia jaringan dan Stagnant blood flow akan dilepaskan
tromboplastin jaringan yang selanjutnya merangsang terjadinya koagulasi
intravaskuler. 

Penatalaksanaan dan Pencegahan :


Pada transfusi yang masif sebaiknya diselingi pemberian darah segar yang
masih cukup mengandung trombosit dan faktor-faktor pembekuan.

Bila ada tanda-tanda D.I.C, lakukan terapi D.I.C

B.  Reaksi Transfusi Delayed (lambat)


Reaksi transfusi yang terjadi setelah 24 jam pemberian transfusi. Pembagiannya
berdasarkan akibat reaksi Imun dan Non Imun

Reaksi Imunologi :

1. Reaksi Hemolitik Lambat

Reaksi ini biasanya timbul setelah 3-21 hari setelah transfusi (1) reaksi ini biasanya
ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi
sesudah kemasukan antigen eritrosit, respon terbentuknya antibodi lambat, puncak
reaksi tercapai juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolotik lambat ini, perusakan
eritrosit donor terjadi ekstravaskular, yaitu di sistem retikulo endotelial (clearance
dipercepat)
           
Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul dapat berupa Sakit kepala (berdenyut), sakit pinggang, panas, muka
kemerahan, kelesuan yang hebat, sakit dada, respirasi menjadi cepat dan pendek,
urtikaria, anemia, kadang – kadang hipotensi dan takikardi, dapat pula mengakibatkan
gagal ginjal akut (1).

Terapi  (Seperti terapi pada reaksi hemolitik yang lain)


Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi
shok.

Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan

Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika


furosemid dosis tinggi.

Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.

Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.

2.      Sensitisasi imun terhadap antigen Rhesus D


Sensitisasi imun terhadap antibody Rhesus D dapat menyebabkan hemolisis
ekstravaskuler karena bersifat imun. Hal tersebut terjadi dari transfusi sebelumnya atau
kehamilan (8,9).
           
Tanda dan Gejala
Klinis yang tampak berupa malaise, ikterus serta demam dijumpai pada 1:500 pasien
yang ditransfusi, biasanya ringan dan timbul 5-10 hari setelah transfusi. Syok dan
penyulit ginjal jarang terjadi. Sekitar 1 dari 150 pasien asimptomatik akan membentuk
antibody baru setelah 1 minggu transfusi, dan menunjukkan peningkatan amnestik
antibody yang sebelumnya tidak terdeteksi oleh rangsangan transfusi. Walaupun jarang,
pasien dapat menghancurkan semua sel yang ditransfusikan tanpa memperlihatkan
adanya sel antibody.

Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami hemolisis ekstravaskuler akibat sensitisasi imun terhadap
rhesus D harus di tangani secara konservatif. Transfusi lebih lanjut harus ditunda
sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali bila nyawa pasien
terancam. Penanganan yang lainnya bersifat simptomatik seperti pada penatalaksanaan
reaksi hemolisis yang lain.

Pencegahan
Anti-D bertanggung jawab untuk sebagian besar problem klinis yang bersamaan dengan
system ini oleh karena itu skrinning orang – orang terhadap rhesus D positif atau rhesus
D negative memberikan maksud klinik terhadap pencegahan kasus ini.

3.      Purpura Pasca Transfusi


Merupakan pengembangan trombositopeni yang mengancam kehidupan, terjadi pada
hari ke 5-10 sesudah transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi yang
ditijukan kepada antigen khusus trombosit.

Reaksi Non Imunologi

1.  Reaksi Penularan Penyakit


Transfusi dengan darah yang telah kejangkitan kuman sangat berbahaya, apalagi telah
lama disimpan dapat menyebabkan syok sampai kematian. Untungnya kejadian ini
jarang terjadi, meskipun darah diambil secara steril mungkin, umumnya akan terjadi
kontaminasi dengan kuman yang ada di kulit atau diudara, tetapi darah segar bersifat
bakterisid sehingga kuman yang terkontaminasi sebagian besar akan mati, sedang
kuman yang tidak mati, bila darah yang akan diambil dilakukan penyimpangan dengan
baik (dengan segera dimasukkan dalam refrigerator). Kuman tersebut tidak akan
berkembang biak dan tidak akan memberikan gejala klinis. Tetapi bila penyimpanan
tidak baik atau darah dibiarkan dengan temperature ruangan maka kuman akan cepat
berkembang. Yang paling banyak ditemukan ialah kuman gram (-), yang menimbulkan
gejala – gejala syok akibat endotoksin.(1,9).

Tanda dan Gejala  


Pada darah yang mengalami kontaminasi berat akan menyebabkan sepsi akut dan syok
endotoksin dengan didahului demam, menggigil, berkeringat, mual, muntah, takikardi
disusul penurunan tekanan darah. Kadang – kadang sulit dibedakan dengan reaksi
hemolitik. Kematian dapat terjadi sesudah transfusi. Untuk membedakannya secara
sederhana :
Ambil darah penderita, diamkan sejenak dan dilihat bila plasmanya berwarna
merah merah oleh adanya hemoglobinemia, berarti adanya hemolisis

Buat preparat hapus dari sisa darah botol transfusi dan diwarnai menurut
gram, bila terlihat kuman berarti darah yang mengalami kontaminasi kuman.
Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan kultur darah dari sisa darah yang diberikan
dan dari darah penderita. Adapun penularan penyakit yang dilaporkan oleh peneliti dan
para ahli Hematologi adalah sebagai berikut (1) :

1. Sebab Viral:
a.     Hepatitis(HAV, HBV, HDV, NANB)
b.    Cito Megalo Virus
c.     EBV
d.    AIDS

2. Sebab Triponema (sifilis)

3. Sebab Protozoa:
a.    Malaria
b.    Chaga’s Disease
c.    Tryponemiasis
d.   Kala Azar
           
4. Sebab Bakterial:
a.    Bakteremia
b.    Kontaminasi :
Coliform Sp

Pseudomonas

Proteus

                       
Untuk mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan penapisan faktor risiko donor
berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan dengan serangkaian uji laboratorium.
Telah digunakan teknik sterilisasi untuk beberapa komponen plasma dan produk
fraksional, namun belum diciptakannya metode untuk melakukan sterilisasi terhadap
komponen sel. Di bawah ini kami jelaskan sedikit tentang beberapa penyakit yang kami
anggap perlu dan umum untuk dilakukan pemeriksaan.

Hepatitis
Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira 1:3.000 sampai1:5.000 pemajanan
donor . Risiko transfusi terhadaphepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit transfusi.   ).
Risiko transfusiterhadap hepatitis C kira-kira 1:1.613.000 tiap unit transfusi. Insiden
hepatitis B yang berkaitan dengan transfusi saat ini sangatlah rendah, dan tersedia
vaksin hepatitis B untuk pasien rentan yang diperkirakan akan mendapatkan transfusi
kronik. Sebagian besar hepatitis yang ditularkan melalui transfusi adalah hepatitis C.
Hepatitis C biasanya hanya akan menimbulkan sedikit gejala dan tanda, tetapi bukti
serologi baru dapat dideteksi pada minggu ke 2-26 setelah transfusi. Walaupun
insidennya rendah dan frekuensinya menurun tetapi hepatitis C merupakan masalah
kesehatan yang serius, karena 50 % pasien yang terinfeksi berkembang menjadi
penyakit hati kronik. Selain  itu bukti statistic mengaitkan HBV dan HCV dengan
karsinoma hepatoseluler.

Infeksi Retrovirus
                        Beberapa retrovirus manusia mudah ditularkan melalui transfusi darah.
Human Immunodeficiency Virus  tipe 1 (HIV-1), penyebab AIDS, menginfeksi sekitar 90
% pasien yang mendapat darah tercemar. Risiko transfusi terkait HIV mendekati nol,
dengan perkiraan berkisar antara 1:300.000 sampai 1: 1.000.000 pemajanan donor.
Sebelum dilakukan uji rutin untuk donor darah, transfusi merupakan penyebab pada 2-
3 % kasus AIDS total. Perbaikan kriteria seleksi donor dan uji penapisan spesifik,
tampaknya telah secara bermakna menurunkan angka ini. Risiko infeksi saat ini
diperkirakan 1: 225.000 unit yang ditransfusikan. Virus serupa, HIV-2, dikaitkan dengan
AIDS, walupun belum pernah dilaporkan kasus yang berkaitan dengan transfusi di
Amerika Serikat, saat ini dilakukan juga pemeriksaan terhadap virus tersebut pada
donor darah.

Infeksi lain
                                              CMV, biasanya merupakan virus herpes yang tidak berbahaya, dapat
menjadi patogen penting pada perempuan hamil, bayi premature dan pasien dengan
cacat kekebalan. Pasien ini harus mendapat komponen seronegatif atau darah yang
telah diolah untuk menghilangkan leukositnya. Jarang terjadi pada darah yang disimpan
pada suhu yang dingin, namun unit darah yang tercemar dengan Staphylococcus aureus
atau oleh organisme gram negative tertentu seperti Yersinia enterocolitica dan spesies
Citrobacter yang tumbuh baik pada 4°C dan dalam darah bersitrat dapat menimbulkan
syok dan kematian. Berbagai bakteri dan spiroketa dapat tumbuh baik pada konsentrat
trombosit yang disimpan dalam suhu kamar. Malaria dan penyakit Chagas adalah
penyakit menular terpenting yang merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan transfusi.

Penatalaksanaan
                      Pasien dengan darah terinfeksi mencakup penatalaksanaan syok. Terapi
antibiotika yang sesuai harus dimulai segera setelah didiagnosis disebut dan sebelum
hasil kultur diketahui.

2. Hemosiderosis Transfusi
            Hemosiderosis akibat transfusi merupakan tertimbunnya zat besi dalam jaringan
– jaringan yang dapat terjadi pada transfusi yang berulang – ulang pada penderita
anemia yang bukan kekurangan besi. Anak yang menderita talesemia minor merupakan
satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang menderita anemia
kongenital dan orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara intensif juga
beresiko.
            Setiap milliliter sel darah merah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu
sel darah merah menua atau mati. Deposit besi mulai mempengaruhi fungsi endokrin,
hati dan jantung  bila beban tubuh total naik mencapai lebih dari 20 gram, ekivalen
dengan sekitar 100 unit sel darah merah. Penyulit jantung letal terjadi pada beban 60
gram atau sekitar 300 unit. Terapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua
pasien yang diperkirakan memerlukan pemberian sel darah intensif. 

Tanda, gejala dan penyebab reaksi transfusi mild dan moderately severe


Penanganan Reaksi Transfusi Mild  And Moderately severe

Tanda, Gejala dan Penyebab Reaksi Transfusi Life Threatening


Penanganan Reaksi Transfusi Life Threatening

Lanjutan Penanganan Reaksi Transfusi Life Threatening 

DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
1. Pengertian Transfusi Darah. posted by Unit Transfusi Darah Daerah. Available
at: http://utdd-pmijateng.blogspot.com/2007/08/pengertian-transfusi -
darah.html

2. Bambang Hariadi, Reaksi Transfusi Darah, Laboratorium FK UNDIP, RS Dr


Kariadi Semarang.

3. Blood Transfusion Reaction-Blood Book, available at: 


http://www.bloodbook.com/reaction.html

4. Pretransfusion Testing. Medline plus Medical Encyclopedia Transfusion


Reaction.htm, Update Date: 3/13/2007 Updated by: Mark Levin, M.D.,
Hematologist and Oncologist. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus
/ency/article/001303.htm

5. Harrison, Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, Vol 4, EGC, 2000, hal       1990-
1994.
6. Golongan darah, Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa
Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_darah

7. Transfusion Reaction Review Date: 3/13/2007 Reviewed By: Mark Levin, M.D.,
Hematologist and Oncologist, Newark, NJ. Review provided by VeriMed
Healthcare Network.. Available at :http://adam.about.com/
encyclopedia/infectiousdiseases/Transfu-sion-reaction.htm

8. A.V. Hoofbrand, J.E. Petit, Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology),


EGC, 1996

9. Lawrance, D.Petz. Clinical Practice of Transfusion Medicine, second Ed. 1989.


page 713-733.

10. Sudoyo, Aru.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Pusat Penerbitan, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi IV,
2006.hal 691-695

11. Said A Latief, Petunjuk Praktis Anestesiologi, FKUI, 2001, hal 141-145.

12. Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, FKUI, 1999.

13. Transfusion Reactions, Article Last Updated: Jan 18, 2007, Eric Kardon, MD,
FACEP. Available at: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC603.HTM

14. Health Technology Assesment. Reaksi Transfusi. Available at:


http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2003/
Transfusi%20Komponen%20Darah%20Indikasi%20dan%20Skrining.doc

15. SN Elizabeth, Reaksi Transfusi, Patologi Klinik FK Wijaya Kusuma Surabaya.

    Kata Kunci Pencarian : Peristiwa Reaksi Transfusi Darah, Tesis, Makalah, Hematologi,
Jurnal, Ilmu penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf,
.doc, .docx, Skripsi, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Referat, Disertasi,    Refrat, modul
BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based   Learning, askep, asuhan
keperawatan

Share This:    Facebook  Twitter

Posting Lebih Baru Beranda Posting Lama

0 comments:

Posting Komentar

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: Google Ac

Publikasikan Pratinjau

Langganan: Posting Komentar (Atom)



Copyright © 2019 Informasi Kedokteran Dan Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai