Anda di halaman 1dari 40

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Reaksi Transfusi Darah” tepat
pada waktunya.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain adalah
untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban pada mata kuliah
“Imunohematologi dan Bank Darah” serta merupakan bentuk tanggung
jawab langsung kami pada tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, kami
juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana kami pun
sadar bawasannya kami hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca
Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak
sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi kami
sebagai penulis, pembaca, ataupun seluruhnya.

Ternate, Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk
berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya.
Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan
darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak
berfungsinya organ pembentukan sel darah merah. Reaksi tranfusi
adalah reaksi yang terjadi selama tranfusi darah yang tidak diinginkan
berkaitan dengan tranfusi itu. sejak dilakukannya tes komatibilitas untuk
menentukan adanya antibody terhadap antigen sel darah merah, efek
samping transfusi umumnya disebabkan oleh leokosit, trombosit dan
protein plasma. Gejala bervariasi mungkin tidak terdapat gejala atau
gejalanya tidak jelas, ringan sampai berat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan transfusi darah?
2. Macam-macam sistem penggolongan darah?
3. Bagaimana Reaksi Transfusi Darah?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian transfusi darah
2. Mengetahui system penggolongan darah
3. Mengetahui reaksi tranfusi darah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Transfusi Darah


Transfusi darah adalah proses menyalurkan darahatau produk
berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya.
Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan
darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi , syok dan tidak
berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. (A.Harryanto
Reksodiputro,1994).
Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang
yang sehat (donor) ke orang sakit (respien).
 Tujuan tranfusi darah :
1) Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2) Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponennya
agar tetap bermanfaat.
3) Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada
peredaran darah (stabilitas peredaran darah)
4) Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah
5) Meningkatkan oksigenasi jaringan
6) Memperbaiki fungsi Hemostatis.
7) Tindakan terapi kasus tertentu.

 Manfaat tranfusi darah :


1) Dapat mengetahui golongan darah
2) Dapat menambah cairan darah yang hilang di dalam tubuh
3) Dapat menyelamatkan jiwa pasien

 Jenis Transfusi darah


1) Transfusi PRC. Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb
pasien tanpa menaikkan volume darah secara nyata. Keuntungan
menggunakan PRC dibandingkan dengan darah jenuh adalah:
a) Kenaikan Hb dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
b) Mengurangi kemungkinan penularan penyakit.
c) Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
d) Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga
kemungkinan overload berkurang
e) Komponen darah lainnya dapatdiberikan pada pasien lain.

2) Transfusi suspensi trombosit. Tujuan transfusi suspensi trombosit


adalah menaikkan kadar trombosit darah. Dosis suspensi trombosit
yang diperlukan dapat dihitung kira-kira sebagai berikut : 50 ml
suspensi trombosit menaikkan kadar trombosit 7500-10.000/mm pada
resipien yang beratnya 50 kg.Suspensi trombosit diberikan pada
penderita trombositopeni bila:
a) didapat perdarahan
b) untuk mencegah perdarahan pada keadaan dimana ada erosi
yang dapat berdarah bila kadar < 35.000/mm.
c) untuk mencegah perdarahan spontan bila kadar trombosit <
15.000/mm

3) Transfusi dengan suspensi plasma beku (Fresh Frozen Plasma).


Plasma segar yang dibekukan mengandung sebagian besar faktor
pembekuan di samping berbagai protein yang terdapat didalamnya;
karena itu selain untuk mengganti plasma yang hilang dengan
perdarahan dapat dipakai sebagai pengobatan simptomatis
kekurangan faktor pembekuan darah. Fresh Frozen Plasma (PIT) tidak
digunakan untuk mengobati kebutuhan faktor VIII dan faktor IX
(Hemofilia); untuk ini digunakan plasma Cryoprecipitate.Pada transfusi
dengan FFP biasanya diberikan 48 kantong (175225 ml) tiap 68 jam
bergantung kebutuhan.

4) Transfusi dengan darah penuh (Whole Blood). Transfusi dengan darah


penuh diperlukan untuk mengembalikan dan mempertahankan volume
darah dalam sirkulasi atau mengatasi renjatan.

2.2 Macam-Macam Golongan Darah Manusia


Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena
adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan
membran sel darah merah. Dua jenis penggolongan darah yang paling
penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini
sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh,
hanya saja lebih jarang dijumpai. Transfusi darah dari golongan yang
tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi.

Sistem Golongan Darah ABO.


Oleh dr. Karl Landsteiner bahwa antigen pada eritrosit manusia yang
diberi nama antigen A dan antigen B sehingga ditemukan suatu
golongan darah ABO, sebaliknya pada serum/plasma darah manusia
ditemukan 2 macam zat antibodi yang masing-masing yaitu antibodi-A
dan antibodi-B. Antibodi-A merupakan lawan dari antigen-A sedangkan
antibodi-B merupakan lawan dari antigen-B (2).
a) Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan
antigen A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi
terhadap antigen B dalam serum darahnya. Sehingga, orang dengan
golongan darah A-negatif hanya dapat menerima darah dari orang
dengan golongan darah A-negatif atau O-negatif.
b) Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan
sel darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A
dalam serum darahnya. Sehingga, orang dengan golongan darah B-
negatif hanya dapat menerima darah dari orang dengan dolongan
darah B-negatif atau O-negatif
c) Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan
antigen A dan B serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A
maupun B. Sehingga, orang dengan golongan darah AB-positif dapat
menerima darah dari orang dengan golongan darah ABO apapun dan
disebut resipien universal. Namun, orang dengan golongan darah AB-
positif tidak dapat mendonorkan darah kecuali pada sesama AB-positif.
d) Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen,
tapi memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B. Sehingga, orang
dengan golongan darah O-negatif dapat mendonorkan darahnya
kepada orang dengan golongan darah ABO apapun dan disebut donor
universal. Namun, orang dengan golongan darah O-negatif hanya
dapat menerima darah dari sesama O-negatif.

Rhesus
Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan
memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh. Seseorang yang tidak
memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki golongan
darah Rh-. Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah
merahnya disebut memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini
seringkali digabungkan dengan penggolongan ABO. Golongan darah O+
adalah yang paling umum dijumpai, meskipun pada daerah tertentu
golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan 80%
populasi dengan golongan darah B.
Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan
golongan. Misalnya donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-)
dapat menyebabkan produksi antibodi terhadap antigen Rh (D) yang
mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang
pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat
mempengaruhi janin pada saat kehamilan.

Tabel kecocokan RBC

Golongan darah Donor harus bergolongan darah:


Resipien
AB+ Golongan darah manapun
AB- O- A- B- AB-
A+ O- O+ A- A+
A- O- A-
B+ O- O+ B- B+
B- O- B-
O+ O- O+
O- O-
Tabel kecocokan plasma
Golongan darah Donor harus bergolongan darah:
Resipien
AB AB manapun
A A atau AB manapun
B B atau AB manapun
O O, A, B atau AB manapun

Dengan meningkatnya penggunaan darah atau komponen


komponennya maka frekuensi terjadinya reaksi transfusi juga meningkat.
Frekuensi terjadinya reaksi transfusi semakin meningkat bila penyediaan
dan supervisi kurang sempurna, oleh karena itu walaupun transfusi darah
sudah dianggap biasa, tetapi haruslah disiapkan secara baik serta
haruslah disadari akan kemungkinan reaksi-reaksi yang dapat timbul.
Sehingga diharapkan dengan pemberian informasi dengan jelas
tentang reaksi transfusi, pelaksana transfusi dapat mengenal tanda dan
gejala serta penanganan dan pencegahan dari reaksi transfusi.

2.3 Reaksi Transfusi Darah


Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena
transfusi darah. Potensi untuk terjadinya komplikasi pada transfusi darah
cukup banyak, namun kebanyakan masalah yang muncul hanya pada
pasien yang membutuhkan transfusi berulang atau dalam jumlah besar.
Risiko yang berhubungan dengan transfusi dari komponen spesifik darah
cukup rendah. Meskipun demikian, risiko tersebut harus dipertimbangkan
dengan keuntungan setiap transfusi dilakukan (Weinstein, 2000).
Reaksi transfusi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu immediate
dan delayed. Keduanya kemudian dibagi menjadi imunologis dan non
imunologis.
1. Immediate
Reaksi transfusi tipe immediate biasanya terjadi pada 1-2 jam
setelah transfusi selesai. Sehingga pasien harus diawasi dengan ketat
selama dan sesudah transfusi untuk menilai dan mengidentifikasi
tanda dan gejala reaksi yang segera terjadi. Kebanyakan reaksi
transfusi tipe ini bisa dicegah dan disebabkan oleh pemberian yang
kurang tepat, kegagalan untuk mengikuti standar operasi, atau
kurangnya pengetahuan tentang prosedur atau dampak terapi.
Mengikuti prosedur tertulis secara menyeluruh dan menaati kebijakan
yang berlaku penting untuk terapi transfusi yang aman (Weinstein,
2000).
a. Imunologis
Reaksi antigen-antibodi dari eritrosit, leukosit, atau protein
plasmalah yang berperan dalam reaksi transfusi pada resipien.
Reaksi ini dibuat oleh respon tubuh terhadap protein asing. Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain:
1) Acute Hemolytic Reaction. Acute hemolytic reaction terjadi ketika
ada reaksi antigen-antibodi pada resipien sebagai akibat
inkompabilitas antara antibodi resipien dan eritrosit donor.
Inkompabilitas golongan darah sistem ABO berperan pada
kebanyakan kematian akibat Acute hemolytic reaction (Weinstein,
2000).
2) Febrile Nonhemolytic Transfusion Reactions (FNHTRs). Febrile
nonhemolytic reactions biasanya merupakan hasil transfusi
komponen seluler tanpa hemolisis, dimana antibodi antileukosit
resipien diarahkan melawan leukosit donor. Meskipun beberapa
leukosit hancur dengan cepat selama penyimpanan, fragmen
membrannya masih mampu mensensitisasi pasien dengan cara
yang sama seperti leukosit yang utuh. Pasien yang telah
tersensitisasi oleh banyak transfusi atau kehamilan multipel lebih
mungkin mengalami febrile nonhemolytic reaction, yang
didefinisikan sebagai peningkatan suhu 1°C dan biasanya terjadi
selama 1-6 jam setelah inisiasi transfusi. Reaksi yang terjadi
pada 0,5-1,5% transfusi ini dapat diikuti gejala kemerahan pada
wajah, palpitasi, batu, sesak di dada, kecepatan nadi meningkat,
atau menggigil (Weinstein, 2000).
3) Reaksi Anafilaktik. Reaksi anafilaktik ini sangat jarang,
diperkirakan hanya terjadi pada 1 dari 170.000 transfusi. Reaksi
anafilaktik dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA dan
pasien yang memiliki antibodi anti-IgA. Dua tanda klasik reaksi
anafilaktik segera terjadi yaitu gejala hanya setelah beberapa
millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa ada demam.
Bronkospasme, distress pernapasan, nyeri abdominal, instabilitas
vaskuler, syok, dan mungkin hilang kesadaran menandai
terjadinya reaksi ini (Weinstein, 2000).
4) Urtikaria. Reaksi ini sangat jarang, terjadi 1-3% dari transfusi, dan
berdasarkan respon hipersensitivitas, mungkin terhadap protein
dari plasma donor. Reaksi urtikaria biasanya ringan, dan ditandai
oleh eritema lokal, bengkak, dan gatal. Sesekali demam dapat
muncul (Weinstein, 2000).
5) Transfusion-Related Acute Lung Injury. Transfusion-related acute
lung injury paling sering muncul sebagai distres pernapasan
dengan onset mendadak, yang disebabkan oleh sindrom non
edema paru kardiogenik yang menyerupai sindrom distres
pernapasan pada orang dewasa. Menggigil, demam, nyeri dada,
hipotensi, dan sianosis merupakan manifestasi umum edema
paru yang dapat terlihat. Gambaran radiografi dada menunjukkan
edema paru yang kemerahan. Reaksi dapat terjadi dalam
beberapa jam transfusi. Pada awalnya parah, tetapi biasanya
membaik dalam 48-96 jam dengan bantuan pernapasan tanpa
sekuele. Reaksi ini lebih jarang terjadi daripada FNHTRs, dengan
insidensi sekitar 1 dalam 5000 transfusi, namun mungkin saja
reaksi ini tak terdiagnosis (Greer et al, 2003).

b. Non imunologis
Reaksi transfusi immediate non imunologis disebabkan oleh
faktor eksternal dalam pemberian darah, seperti infeksi bakteri dari
pasien, kontaminasi darah donor, penanganan darah yang tidak
tepat, dan pemberian cairan hipertonik dengan transfusi. Pada
kelompok ini tidak ada reaksi antigen-antibodi. Yang termasuk
dalam kelompok ini ialah:
1) Overload Cairan. Overload cairan dapat terjadi ketika darah atau
komponennya diberikan dengan kecepatan melebihi cardiac
output pasien (Weinstein, 2000).
2) Emboli Udara. Gejala yang muncul sama seperti kolaps
kardiovaskuler, meliputi sianosis, dispneu, syok, dan terkadang
henti jantung (Weinstein, 2000).
3) Keracunan Sitrat. Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi
keracunan sitrat atau deficit kalsium ialah mereka yang mendapat
transfusi plasma, whole blood, trombosit dengan kecepatan
melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan
penyakit hati. Dimana hati tidak bisa mengikuti pemberian yang
cepat, tidak bisa memetabolasi sitrat, mengurangi kalsium yang
terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia jantung
(Weinstein, 2000).
4) Hipotermia. Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume
yang banyak diberikan dengan cepat. Pemberian yang cepat
dapat mengakibatkan pasien menggigil, hipotermi, vasokonstriksi
perifer, aritmia ventrikuler, dan henti jantung (Weinstein, 2000).
5) Kontaminasi Bakteri. Kontaminasi bakteri darah dapat terjadi
pada saat donasi atau persiapan komponen infusi. Sebagai
tambahan terhadap kontaminasi kulit, bakteri gram negative
tahan dingin dapat berperan pada kejadian yangtidak
menguntungkan ini. Organism seperti spesies Pseudomonas,
Citrobacter freundii, dan Escherichia coli merupakan penyebab
yang potensial. Organism ini mampu berproliferasi pada suhu
refrigerator, melepaskan endotoksin yang menginisiasi reaksi
yang jarang dan berpotensi fatal ini (Weinstein, 2000).

2. Delayed
Komplikasi ini terjadi setelah beberapa hari, bulan, atau tahun
setelah transfusi dan biasanya merupakan akibat alloimunisasi atau
penyakit menular.
a. Imunologis
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:
1) Delayed Hemolytic Reaction. Delayed hemolytic reaction
disebabkan oleh antibodi yang terbentuk sebagai respon
terhadap antigen asing. Reaksi ini dikelompokkan menjadi primer
dan sekunder. Reaksi yang primer biasanya ringan dan dapat
terjadi satu minggu atau lebih setelah transfusi. Reaksi yang
sekunder terjadi pada pasien yang sebelumnya terimunisasi
melalui transfusi atau kehamilan (Weinstein, 2000).
2) Transfusion-Associated Graft-Versus-Host Disease (TAGVHD).
Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan
reaksi yang kompleks, jarang, dan sering fatal. Penyebab
umumnya yaitu transfer limfosit T imunokompeten pada
komponen darah pada pasien dengan penurunan imun berat. Hal
ini bisa juga terjadi dari transfusi yang berasal dari anggota
keluarga tingkat pertama. Limfosit donor dikenali dan membelah
pada resipien dengan penurunan imun berat. Sel yang dikenali ini
bereaksi terhadap jaringan asing asal resipien, menyebabkan
komplikasi pendarahan dan infeksi (Weinstein, 2000).

b. Non Imunologis
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:
1) Hepatitis. Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira
1:3.000 sampai 1:5.000 pemajanan donor (Nelson, 1996). Risiko
transfusi terhadap hepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit
transfusi. ). Risiko transfusi terhadap hepatitis C kira-kira
1:1.613.000tiap unit transfusi (Greer et al, 2003).
2) Human Immunodeficiency Virus (HIV). Risiko ransfusi terkait HIV
mendekati nol, dengan perkiraan berkisar antara 1:300.000
sampai 1:1.000.000 pemajanan donor (Nelson, 1996).
3) Human T-Cell Lymphotropic Virus. Frekuensi penularan melalui
transfusi pada HTVL cukup rendah di Amerika Serikat, dengan
perkiraan antara 1 dari 250.000 sampai 1 dari 2.000.000 trasfusi
unit (Weinstein, 2000).
4) Sifilis. Hingga saat ini tidak ada laporan terkait transmisi sifilis
pada transfusi selama beberapa decade ini (Weinstein, 2000).
5) Cytomegalovirus. Transfusi terkait cytomegalovirus dapat
dieliminasi dengan memberikan transfusi produk seluler darah,
yang disaring dengan filter penghilang leukosit, atau dengan
memilih darah dari donor seronegatif untuk antibodi terhadap
cytomegalovirus (Nelson, 1996).
6) Malaria. Jumlah kasus penularan malaria melalui transfusi di
Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 0,25 kasus setiap
1.000.000 unit darah yang terkumpul (Weinstein, 2000).

2.4 Presentasi Klinis Reaksi Transfusi Darah


Reaksi Transfusi hemolitik dapat bersifat akut atau segera (dalam
24 jam) atau tertunda (lambat) lebih dari 24 jam dalam 3-10 hari. Antibodi
yang tereksitasi pada darah penerima melawan antigen sel darah merah
pendonor merupakan penyebab utama. Paling sering terjadi karena
ketidaksesuaian golongan ABO atau pada wanita multipara yang
sebelumnya telah mengalami eksitasi sebelumnya.
Presentasi klnis dapat dramatik dan meliputi demam disertai
menggigil, pingsan, dada menyesak, nyeri dada atau abdomen,
takikardia, takipneua, hipotensi, oliguria, dan/atau hematuria. Akan tetapi,
insiden reaksi ini sudah sangat jarang ditemukan pada masa kini.
Reaksi Transfusi alergik memiliki rentang dari urtikaria ringan
hingga edema laring fatal atau bahkan syok anafilaktik. Pembentukan
antibodi sebelumnya pada darah penerima pada berbagai protein plasma
darah pendonor atau muncunya anti-IgA pada darah penerima akan
mencetuskan reaksi ini. Namun, reaksi ini juga jarang terjadi. Reaksi
Transfusi lainnya adalah jenis reaksi febril non hemolitik (febrile non
haemolytic reaction) yang terjadi karena penerima merespon antigen sel
darah putih pendonor. Reaksi ini sangat sering ditemukan dan pada
umumnya bersifat ringan.

2.5 Manifestasi Klinis Khusus


Terdapat dua kondisi unik yang berhubungan dengan reaksi Transfusi
darah yaitu:
1. Purpura pasca Transfusi (PTP) merupakan trombositopenia signifikan
yang terjadi sekitar 7-10 hari pasca pemberian konsentrat trombosit.
Kondisi ini sangat jarang, sering ditemukan pada wanita multipara
atau pasien yang telah mendapatkan beberapa Transfusi
sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena diproduksinya antibodi yang
melaawan antigen permukaan trombosit yang disebut sebagai HPA-
1a.
2. Transfusion-related acute lung injury ( TRALI ) merupakan edema
pulmoner non kardiogenik akut/segera, kondisi ini terjadi karena
neurofil terperangkap pada sirkulasi pulmoner. Lagi-lagi lebih sering
terjadi pada wanita multipara dengan antibodi anti-HLA yang banyak
(imun TRALI). Non imun TRALI dapat terjadi ketika ditemukan
ketiadaan antibodi plasma donor, tapi terdapat respons terhadap
berbagai produk lipid reaktif pada membran sel donor. Kondisi ini juga
jarang ditemukan dan biasanya sembuh dengan sendirinya (self-
limiting).

2.6 Tatalaksana dan Pencegahan Reaksi Transfusi Darah


Reaksi Transfusi hemolitik harus ditatalaksana secara agresif.
Transfusi harus segera dihentikan. Antipiretik, diuresis dengan NaCl 0,9%
disertai loop diuretik, dan monitorik tanda-tanda vital adalah hal penting
yang harus dilakukan. Urine output yang adekuat (80-100 cc/jam)
merupakan tanda prognostik yang baik. Pencegahan reaksi ini belum
ditemukan. Akan tetapi, uji silang yang baik dan penandaan produk darah
dari bank darah serta produk darah diberikan pada peneima yang paling
tepat merupakan langkah yang paling efektif untuk mencegah reaksi
Transfusi. Perlu juga mengkonfirmasi klinis terhadap jumlah dan jenis
produk darah yang akan diberikan.
Reaksi alergik dapat dicegah dan ditatalaksana dengan pemberian
antihistamin berupa dipenhidramin baik oral atau parenteral. Pada kondisi
yang serius, dapat diberikan adrenalin subkutan 0,1-0,5 mg dan/atau
deksametason parenteral. Reaksi demam tipe non hemolitik dapat
dengan mudah ditatalaksana dengan pemberian antipiretik.
Purpura pasca Transfusi harus ditatalaksana dengan pemberian
imunoglobulin intravena atau plasmafaresis. Transfusi trombosit
sebaliknya dihindari pada kondisi ini karena dapat menyebabkan
perburukan. TRALI dapat ditatalaksana dengan pemberian ventilator
untuk mendukung pernapasan dengan pengukuran parameter
pernapasan dan biasanya akan sembuh dalam waktu tertentu.

2.7 KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

1. Berdasarkan Cakupannya
a. Komplikasi Local
Pada proses transfuse darah dapat terjadi suatu komplikasi,
pada komplikasi transfuse darah local dapat terjadi suatu reaksi
atau komplikasi yang meliputi :
- Kegagalan memperoleh akses vena
- Fiksasi vena tidak baik
- Masalah ditempat tusukan
- Vena pecah saat ditusuk, dll
b. Komplikasi Umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-
langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan
dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin
terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya
bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena
itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang
pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap
memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera
memberitahu dokter jaga dan bank darah.

2. Berdasarkan Cepat Lambanya


a. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau
dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi
tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh
hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya
warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot.
Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik, antihistamin
atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan
diperlambat. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh
hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-
hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri. Pada reaksi yang
membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung,
nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,
demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik),
takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak
jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut,
kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan
gagal paru akut akibat transfusi.
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu
karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM
yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam
mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam
dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada,
sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada
keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi
intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang
dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
dilakukan tindakan meningkatkan perfusi ginjal, mempertahankan
volume intravaskuler, mencegah timbulnya DIC.
b. Reaksi Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan
oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi
sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang
lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan
produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya
ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam,
pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak
terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat
dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada
RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila
terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya
sama seperti pada RTHA.

3. Berdasarkan Factor Penyebabnya


a. Komplikasi Imunologis
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan
dengan sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit
atau protein plasma.
1) Reaksi hemolitik
Reaksi hemolitik adalah reaksi akibat bercampurnya darah
yang mempunyai aglutinin plasma anti A dan anti B dengan darah
yang mengandung aglutinogen A atau B dan darah yang
mempunyai Rh berbeda sehingga menyebabkan sel
menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti penyimpangan fisik
sel dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan sel-
sel darah merah yang teraglutinasi 4 Akibat penghancuran sel
darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam
plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi
hemoglobinuria.
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik
dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien.
Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien terjadi
sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit
konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau
cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau
anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam
jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian transfusi
darah yang lisis akibat diberikan bersama larutan hipotonis
misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah lisis akibat
pemanasan mendadak dengan air panas melebihi temperatur
tubuh atau tetesan terlalu cepat serta dipompa dan atau
terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah bengkak dan
hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C, dan transfusi
darah pada penderita paroksismal nokturnal hematuria (PNH)
yang mengandung komponen aktif dalam plasma donor yang
dapat menyebabkan hemolisis.
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian transfusi,
atasi syok dengan posisi, oksigenasi, vasopresor, dan infus bila
ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya diuresis
dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta pemberian
steroid. Lapor ke bank darah untuk pengulangan pemeriksaan
ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross match dari sisa
darah.
Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi
hemolitik lambat.
a) Reaksi Hemolitik Akut (Intravaskuler)
Reaksi Hemolitik Akut terjadi segera pada waktu transfusi
baru berlangsung. Lima puluh mililiter darah dari golongan
yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan reaksi.Gejala
berupa rasa panas sepanjang vena dimana infus dipasang,
nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka merah, pireksia,
mual, muntah, dan ikterus. Penyebab yang paling umum
adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit
transfuse, pemberian darah rhesus positif pada penderita
rhesus negatif yang mengandung anti D akibat transfusi
sebelumnya. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu
reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada
pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam,
nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi,
manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu
meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan , hipotensi,
hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan
penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat.
Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa
banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini
biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah,
pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan
ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi.
Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam
plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain
golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti
sistem Idd, Kell atau Duffy.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml
darah yang ABO inkompatibel. Pada orang sadar, gejala yang
dialami berupa menggigil, demam, mual, serta nyeri dada dan
panggul. Pada orang dalam keadaan terbius, gejala berupa
peningkatan suhu tubuh, takikardia yang tidak diketahui
penyebabnya, hipotensi, hemoglobinuria, dan perdarahan
difus pada daerah lapangan operasi. Koagulasi intravaskular
disseminata, syok, dan gagal ginjal terjadi dengan cepat. Berat
ringannya gejala tersebut tergantung dari seberapa banyak
darah inkompatibilitas ABO yang ditransfusikan.
Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai
berikut:
 Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus
dihentikan dengan segera.
 Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas
pasien.
 Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya
hemoglobin.
 Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan
cairan kedalam pembuluh darah.
 Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan
FFP.
 Ambil darah pasien untuk diperiksa kadar Hb, trombosit, uji
kompatibilitas, dan tes koagulasi.

b) Reaksi Hemolitik Lambat (Ekstravaskuler)


Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi
dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan
hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan
mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang
terjadi.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang
sering mendapat transfusi. Reaksi timbul beberapa jam atau
beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2
atau lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan
titer anti A dan anti B yang tinggi kepada golongan lain.
Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi hemolitik lambat disebut sebagai hemolisis
ekstravaskular. Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini
umumnya ringan. Penyebabnya adalah antibodi terhadap
antigen non-D dari sistem RH atau terhadap alel asing dari
sistem lain seperti Kell, Duffy, atau antigen Kidd.
Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari
setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari
malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak
meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan.
Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil
pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin
difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test
mendeteksi adanya antibody di membrane sel darah. Test ini
tidak bisa membedakan antara membrane antibody resipien
pada sel darah merah dengan membrane antibody donor
pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu
pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada
kedua spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif.
Frekwensi reaksi transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-
kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah merah
janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies
pada seldarah merah. Pencegahan dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam
plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan
antibodi tersebut.

c). Reaksi Imunologis Non Hemolitik


1) Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi.
Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi
karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor.
Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang
kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan
serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam
akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi
demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya
Sensitisasi terhadap sel darah putih atau trombosit
umumnya bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi 1-
3% dari episode transfusi. Ciri-ciri adalah peningkatan suhu
tubuh tanpa disertai bukti adanya hemolisis. Pasien dengan
riwayat demam berulang paska transfusi perlu mendapat
transfusi sel darah merah murni (tanpa ada sel darah putih).
Komponen darah tersebut bisa didapat dengan cara
melakukan sentrifugasi, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
2) Reaksi alergi (Urtikaria)
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling
sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini
terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi.
Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di
dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE
resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan
menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak
berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan
menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat
menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat
menghentikan reaksi tersebut.
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema,
penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan
rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang
transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien
ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat diatasi
dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers)
dan steroids.
Ditandai dengan eritema, bintik merah, dan gatal tanpa
demam. Diduga terjadi karena sensitisasi terhadap protein
plasma. Reaksi urtikaria dapat ditangani dengan antihistamin
dan steroid
3) Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama
bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau
yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya
terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi
dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot
polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat
fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah
angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat
pernapasan, hipotensi, dan renjatan.
Penanganan dini adalah epinefrin, cairan, kortikosteroid,
dan antihistamin. Pasien defisiensi IgA sebaiknya mendapat
transfusi washed packed red cell, sel darah merah beku
deglycerolized, atau darah tanpa IgA.
4) Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated
acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang
mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien.
Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak
awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman
yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan
bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
5) Purpura pasca transfuse
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang
jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel
darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya
antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit
pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan
tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya
trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang
biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL.
Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit
≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung
trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan
memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi
pasien. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan
6) Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial
membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien
imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi
sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi
transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel
(HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki
hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit
dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya
timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik,
terapi hanya bersifat suportif.
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-
compromised. Produk sel darah berisi lymfosit mampu
mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-
versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah,
granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif
menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari transfusi.

7) Edema Pulmonary Noncardiogenic


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute
Lung Injury) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<
1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau
anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan
menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi
pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan
leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan
Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat
sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.
8) Imun Supresi

Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat


sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada
penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif
nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa
studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan
malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima
transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada
juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat
mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya,
transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang
serius setelah pembedahan atau trauma.

b. komplikasi non imumologis


1) Transfusi darah masif
Transfusi darah masif adalah pemberian darah yang
dengan volume melebihi volume darah pasien dalam waktu 24
jam. Penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak
dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70
ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas
cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan
oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena
trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan
dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat
perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan
dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat
meningkatkan risiko komplikasi.

Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang


digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan
kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan
factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam
waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa
komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis,
kegagalan hemostatik, acute lung injury

a) Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif
adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari
factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi
Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi
acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari
pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot
Analisa) juga bermanfaat.
 Trombositopenia terjadi setelah transfusi darah simpan lama
lebih dari 80 ml/kgBB. Diatasidengan pemberian trombosit
bila jumlah trombosit <50.000/mm3 atau memberi unit darah
utuh segar setiap transfusi 4 unit darah simpan.
 Turunnya faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor VIII.
Dapat diatasi dengan pemberian 1 unit FFP setiap transfusi
5 unit WB/PRC.

b) Keracunan Sitrat
Tubuh memiliki kemampuan yang besar untuk metabolisme
sitrat, kecuali pada keadaan shock, penyakit hati, dan lanjut
usia. Pada kasus ini dapat diberikan Calcium Glukonas 10% 1
gram IV pelan-pelan setiap telah masuk 4 unit darah.
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara
teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam
jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien
normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit.
Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan
penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan pada pasien
hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi
massif ).

c) Hiperkalemia

Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik setinggi 32


mEq/L, sedangkan batas dosis infus kalium adalah 20
mEq/jam. Hiperkalemia menyebabkan aritmia sampai fibrilasi
ventrikel/cardiac arrest. Untuk mencegah hal ini diberikan
Calsium Glukonas 5 mg/kgBB I.V pelan-pelan. Maksud
pemberian kalsium disini karena kalsium merupakan antagonis
terhadap hiperkalemia.
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang
disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium
extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang
dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan
mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100
mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi,
terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolisme.

d)Hypothermia

Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak


untuk semua produk darah cairan intravena hangat ke
temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat menjadi
fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C.
Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang
efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya
insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.

e) Keseimbangan asam basa

Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam


dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan akumulasi
dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam
laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik
yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang
terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah
massif adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika perfusi
normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan alkalosis
metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam
tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh
hepar

f) DIC ( disseminated intravaskular coagulation)


DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini
lebih disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok
hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik). Disseminated
intravaskular coagulation (DIC) ditandai dengan proses
aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh yang
menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah
sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh
darah berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut
menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi
kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat yang
bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari
DIC ( disseminated intravaskular coagulation) merupakan
keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan
medic. Tindakan dan penanganan yang diberikan
tergantung dari patofisiologi penyakit yang mendasarinya.
Namun yang utama dalam memberikan penanganan
tersebut adalah mengetahui proses patologi, yakni
terjadinya proses trombosis mikrovaskular dan kemungkinan
terjadi perdarahan (diatesa hemoragik) secara bersamaan.
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita DIC yang
disertai dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis,
hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan
gusi, penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang
disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda
yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah
gangguan aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia
pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ
tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut,
iskemia fokal, gangren pada kulit.
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat
menyebabkan terjadinya DIC yaitu Sepsis, Trauma, Cidera
jaringan berat, Cidera kepala, Emboli lemak, Kanker (
Myeloproliferative disorder, Tumor padat), komplikasi Obstetrik
(Emboli cairan amnion, Abruptio Placenta), Kelainan pembuluh
darah (Giant hemangioma, Aneurysma Aorta), Reaksi
terhadap toksin, Kelainan Imunologik.
Pada pasien dengan DIC, terjadi pembentukan fibrin
oleh trombin yang diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor
jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel yang
teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara
faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut
akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan
VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V
akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat
yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan
seperti antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-
faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor
tersebut. Pembentukan fibrin yang terjadi tidak
diimbangi dengan penghancuran fibrin yang adekuat,
karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan
oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang
kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat
pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi
antara meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak
adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya
trombosis intravaskular yang menyeluruh.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas
dasar temuan sebagai berikut:
 Adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
 Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm³.
Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2
 Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT). PT
memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
 Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma
(ditandai dengan peningkatan D-dimer). D-dimer: < 500 = 0
500-1000 = 1>10000=2.
 Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
Penatalakasanaan DIC yang utama adalah
mengobati penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
 Antikogulan
 Plasma dan trombosit
 Penghambat pembekuan (AT III)
 Obat-obat antifibrinolitik

2) Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema
paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang
ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi
ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan
anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.

3) Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam
jangka waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam
tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ
(jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti
desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi
dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.

4) Komplikasi Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah
bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di
masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status imun
resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini dipergunakan
model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara
lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus
human T-cell lymphotropic (HTLV), malaria, sifilis, bruselosis,
tripanosomiasis. Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan
penyakit terutama timbul pada saat window period (periode
segera setelah infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi
hasil skrining masih negatif).
a) Hepatitis virus
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan,
insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%.
Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan
hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab
1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah
anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit
hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini,
sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/
resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 %
resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim
transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis.
Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan
oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian
besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui
seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus
hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan
resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan
2,3
hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000.
b) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi
melalui transfuse darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski
telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat. Virus
yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan
melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui
adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA
yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari
satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV
melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
c) Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang
lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya
virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran
leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi
kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah
rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV.
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus
umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau
asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa
individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam
darah dari donor dapat menularkan virus. Pasien
immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya, bayi
prematur dan penerima transplantasi organ ) peka terhadap
infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien
menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru
menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari
darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah
yang CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan
leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada
pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II
( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus,
kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi
darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan
Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic
pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter leukosit
khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi
timbulnya komplikasi di atas.

d) Infeksi parasit

Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi


seperti malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun
kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

e) Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua
kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari
kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000
untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah
berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk
pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke
resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta.
Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-
negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi
darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah
kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan
dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang
ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis,
brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam
rickettsia.

f) Penyakit infeksi lain yang jarang

Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan


melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1,
mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh
trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob
Disease). Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat
pengumpulan darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang
terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan
sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti
pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang
adekuat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darahatau produk
berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya.
Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan
darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi , syok dan tidak
berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. (A.Harryanto
Reksodiputro,1994).
Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang
yang sehat (donor) ke orang sakit (respien).
 Tujuan tranfusi darah :
1) Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2) Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponennya
agar tetap bermanfaat.
3) Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal
pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah)
4) Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah
5) Meningkatkan oksigenasi jaringan
6) Memperbaiki fungsi Hemostatis.
7) Tindakan terapi kasus tertentu.

 Manfaat tranfusi darah :


1) Dapat mengetahui golongan darah
2) Dapat menambah cairan darah yang hilang di dalam tubuh
3) Dapat menyelamatkan jiwa pasien
Reaksi tranfusi merupakan semua kejadian yang tidak
menguntungkan penderita, yang timbul selama atau setelah transfusi,
dan memang berhubungan dengan tranfusi tersebut. Reaksi sedang-
berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam
akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein,
trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.

3.2 Saran
Adapun saran yang ingin diajukan pada penulisan makalah ini adalah
agar pemeriksaan golongan darah dan trasnfusi darah dilakukan oleh
dokter atau perawat yang terlatih sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan sehingga memininalisir kesalahan yang dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/231291216/REAKSI-TRANSFUSI , (Online)
diakses pada 13 Oktober 2019
https://irmaasusil.wordpress.com/tag/makalah-transfusi-darah/ ,
(Online)diakses pada , 13 Oktober 2019
http://www.informasikedokteran.com/2015/09/reaksi-transfusi-darah.html ,
(Online) diakses pada, 13 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai