Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

REAKSI TRANSFUSI DARAH

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1
Pengampu: Sodikin, M. Kep, Sp. KMB
Disusun Oleh:
Kelompok 5:
Defindra Yudha P (108116037)
Dewi Nur O (108116039)
Dewi Apriliani (108116041)
Dita Rizki B (108116043)
Tria Oktaviana R (108116045)
Myelinda Arianti (108116047)
Indri Wahyuni (108116049)

STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN 1B
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR

‫بِ ْس َم هللاِ الرحْ َم ِن الر ِحي ِْم‬


Puji syukur penulis  panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Reaksi Transfusi Darah” tepat pada
waktunya.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain adalah untuk
memenuhi salah satu dari sekian kewajiban pada mata kuliah “Keperawatan
Medikal Bedah I” serta merupakan bentuk tanggung jawab langsung penulis pada
tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun
sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan dari para pembaca
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan
penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, ataupun
seluruhnya. Amiin ya Rabbal ‘alamin.
Wassalalam,

Cilacap, 03 Oktober 2017

Penulis

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 i


DAFTAR ISI

MAKALAH..........................................................................................................................................1
REAKSI TRANSFUSI DARAH.........................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................2
BAB III..................................................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................................................15

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 ii


Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis
darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah
berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah
besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ
pembentukan sel darah merah. Reaksi tranfusi adalah reaksi yang terjadi
selama tranfusi darah yang tidak diinginkan berkaitan dengan tranfusi itu.
sejak dilakukannya tes komatibilitas untuk menentukan adanya antibody
terhadap antigen sel darah merah, efek samping transfusi umumnya
disebabkan oleh leokosit, trombosit dan protein plasma. Gejala bervariasi
mungkin tidak terdapat gejala atau gejalanya tidak jelas, ringan sampai berat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan transfusi darah?
2. Macam-macam sistem penggolongan darah?
3. Bagaimana Reaksi Transfusi Darah?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian transfusi darah
2. Mengetahui system penggolongan darah
3. Mengetahui reaksi tranfusi darah

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 1


Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Transfusi Darah


Transfusi darah adalah proses menyalurkan darahatau produk berbasis
darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah
berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah
besar disebabkan trauma, operasi , syok dan tidak berfungsinya organ
pembentuk sel darah merah. (A.Harryanto Reksodiputro,1994). Transfusi
Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke
orang sakit (respien).

Tujuan tranfusi darah :


1) Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2) Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponennya agar
tetap bermanfaat.
3) Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada
peredaran darah (stabilitas peredaran darah)
4) Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah
5) Meningkatkan oksigenasi jaringan
6) Memperbaiki fungsi Hemostatis.
7) Tindakan terapi kasus tertentu.

Manfaat tranfusi darah


1) Dapat mengetahui golongan darah
2) Dapat menambah cairan darah yang hilang di dalam tubuh
3) Dapat menyelamatkan jiwa pasien

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 2


Jenis Transfusi darah
1) Transfusi PRC
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa
menaikkan volume darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC
dibandingkan dengan darah jenuh adalah:
a) Kenaikan Hb dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
b) Mengurangi kemungkinan penularan penyakit.
c) Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
d) Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga
kemungkinan overload berkurang
e) Komponen darah lainnya dapatdiberikan pada pasien lain.

2) Transfusi suspensi trombosit


Tujuan transfusi suspensi trombosit adalah menaikkan kadar trombosit
darah. Dosis suspensi trombosit yang diperlukan dapat dihitung kira-kira
sebagai berikut : 50 ml suspensi trombosit menaikkan kadar trombosit
7500-10.000/mm pada resipien yang beratnya 50 kg.Suspensi trombosit
diberikan pada penderita trombositopeni bila:
a) didapat perdarahan
b) untuk mencegah perdarahan pada keadaan dimana ada erosi yang
dapat berdarah bila kadar < 35.000/mm.
c) untuk mencegah perdarahan spontan bila kadar trombosit <
15.000/mm

3) Transfusi dengan suspensi plasma beku (Fresh Frozen Plasma)


Plasma segar yang dibekukan mengandung sebagian besar faktor
pembekuan di samping berbagai protein yang terdapat didalamnya;
karena itu selain untuk mengganti plasma yang hilang dengan perdarahan
dapat dipakai sebagai pengobatan simptomatis kekurangan faktor

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 3


pembekuan darah. Fresh Frozen Plasma (PIT) tidak digunakan untuk
mengobati kebutuhan faktor VIII dan faktor IX (Hemofilia); untuk ini
digunakan plasma Cryoprecipitate.Pada transfusi dengan FFP biasanya
diberikan 48 kantong (175225 ml) tiap 68 jam bergantung kebutuhan.

4) Transfusi dengan darah penuh (Whole Blood)


Transfusi dengan darah penuh diperlukan untuk mengembalikan dan
mempertahankan volume darah dalam sirkulasi atau mengatasi renjatan.

2.2 Macam-Macam Golongan Darah Manusia


Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena
adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel
darah merah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah
penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal
sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang
dijumpai. Transfusi darah dari golongan yang tidak kompatibel dapat
menyebabkan reaksi transfusi.

Sistem Golongan Darah ABO.


Oleh dr. Karl Landsteiner bahwa antigen pada eritrosit manusia yang
diberi nama antigen A dan antigen B sehingga ditemukan  suatu golongan
darah ABO, sebaliknya pada serum/plasma darah manusia ditemukan 2
macam zat antibodi yang masing-masing yaitu antibodi-A dan antibodi-B.
Antibodi-A merupakan lawan dari antigen-A sedangkan antibodi-B
merupakan lawan dari antigen-B (2).
a) Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan
antigen A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi
terhadap antigen B dalam serum darahnya. Sehingga, orang dengan
golongan darah A-negatif hanya dapat menerima darah dari orang dengan
golongan darah A-negatif atau O-negatif.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 4


b) Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel
darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam
serum darahnya. Sehingga, orang dengan golongan darah B-negatif hanya
dapat menerima darah dari orang dengan dolongan darah B-negatif atau O-
negatif
c) Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan
antigen A dan B serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A
maupun B. Sehingga, orang dengan golongan darah AB-positif dapat
menerima darah dari orang dengan golongan darah ABO apapun dan
disebut resipien universal. Namun, orang dengan golongan darah AB-
positif tidak dapat mendonorkan darah kecuali pada sesama AB-positif.
d) Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B. Sehingga, orang dengan
golongan darah O-negatif dapat mendonorkan darahnya kepada orang
dengan golongan darah ABO apapun dan disebut donor universal. Namun,
orang dengan golongan darah O-negatif hanya dapat menerima darah dari
sesama O-negatif.

Rhesus
Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan
memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh. Seseorang yang tidak memiliki
faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki golongan darah Rh-.
Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut
memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini seringkali
digabungkan dengan penggolongan ABO. Golongan darah O+ adalah yang
paling umum dijumpai, meskipun pada daerah tertentu golongan A lebih
dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan 80% populasi dengan
golongan darah B.
Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan.
Misalnya donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-) dapat menyebabkan
produksi antibodi terhadap antigen Rh (D) yang mengakibatkan hemolisis.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 5


Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang pada atau di bawah usia
melahirkan karena faktor Rh dapat mempengaruhi janin pada saat kehamilan.

Tabel kecocokan RBC


Golongan darah Resipien Donor harus bergolongan darah:
AB+ Golongan darah manapun
AB- O- A- B- AB-
A+ O- O+ A- A+
A- O- A-
B+ O- O+ B- B+
B- O- B-
O+ O- O+
O- O-

Tabel kecocokan plasma


Golongan darah Resipien Donor harus bergolongan darah:
AB AB manapun
A A atau AB manapun
B B atau AB manapun
O O, A, B atau AB manapun

Dengan meningkatnya penggunaan darah atau komponen komponennya maka


frekuensi terjadinya reaksi transfusi juga meningkat. Frekuensi terjadinya reaksi
transfusi semakin meningkat bila penyediaan dan supervisi kurang sempurna, oleh
karena itu walaupun transfusi darah sudah dianggap biasa, tetapi haruslah
disiapkan secara baik serta haruslah disadari akan kemungkinan reaksi-reaksi
yang dapat timbul.
Sehingga diharapkan dengan pemberian informasi dengan jelas tentang
reaksi transfusi, pelaksana transfusi dapat mengenal tanda dan gejala serta
penanganan dan pencegahan dari reaksi transfusi.

2.3 Reaksi Transfusi Darah

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 6


Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena transfusi
darah. Potensi untuk terjadinya komplikasi pada transfusi darah cukup banyak,
namun kebanyakan masalah yang muncul hanya pada pasien yang membutuhkan
transfusi berulang atau dalam jumlah besar. Risiko yang berhubungan dengan
transfusi dari komponen spesifik darah cukup rendah. Meskipun demikian, risiko
tersebut harus dipertimbangkan dengan keuntungan setiap transfusi dilakukan
(Weinstein, 2000).
Reaksi transfusi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu immediate dan
delayed. Keduanya kemudian dibagi menjadi imunologis dan non imunologis.
1. Immediate
Reaksi transfusi tipe immediate biasanya terjadi pada 1-2 jam setelah transfusi
selesai. Sehingga pasien harus diawasi dengan ketat selama dan sesudah
transfusi untuk menilai dan mengidentifikasi tanda dan gejala reaksi yang
segera terjadi. Kebanyakan reaksi transfusi tipe ini bisa dicegah dan
disebabkan oleh pemberian yang kurang tepat, kegagalan untuk mengikuti
standar operasi, atau kurangnya pengetahuan tentang prosedur atau dampak
terapi. Mengikuti prosedur tertulis secara menyeluruh dan menaati kebijakan
yang berlaku penting untuk terapi transfusi yang aman (Weinstein, 2000).
a. Imunologis
Reaksi antigen-antibodi dari eritrosit, leukosit, atau protein plasmalah
yang berperan dalam reaksi transfusi pada resipien. Reaksi ini dibuat oleh
respon tubuh terhadap protein asing. Yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain:
1) Acute Hemolytic Reaction
Acute hemolytic reaction terjadi ketika ada reaksi antigen-antibodi
pada resipien sebagai akibat inkompabilitas antara antibodi resipien
dan eritrosit donor. Inkompabilitas golongan darah sistem ABO
berperan pada kebanyakan kematian akibat Acute hemolytic reaction
(Weinstein, 2000).

2) Febrile Nonhemolytic Transfusion Reactions (FNHTRs)

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 7


Febrile nonhemolytic reactions biasanya merupakan hasil transfusi
komponen seluler tanpa hemolisis, dimana antibodi antileukosit
resipien diarahkan melawan leukosit donor. Meskipun beberapa
leukosit hancur dengan cepat selama penyimpanan, fragmen
membrannya masih mampu mensensitisasi pasien dengan cara yang
sama seperti leukosit yang utuh. Pasien yang telah tersensitisasi oleh
banyak transfusi atau kehamilan multipel lebih mungkin mengalami
febrile nonhemolytic reaction, yang didefinisikan sebagai peningkatan
suhu 1°C dan biasanya terjadi selama 1-6 jam setelah inisiasi transfusi.
Reaksi yang terjadi pada 0,5-1,5% transfusi ini dapat diikuti gejala
kemerahan pada wajah, palpitasi, batu, sesak di dada, kecepatan nadi
meningkat, atau menggigil (Weinstein, 2000).
3) Reaksi Anafilaktik
Reaksi anafilaktik ini sangat jarang, diperkirakan hanya terjadi pada 1
dari 170.000 transfusi. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pasien
dengan defisiensi IgA dan pasien yang memiliki antibodi anti-IgA.
Dua tanda klasik reaksi anafilaktik segera terjadi yaitu gejala hanya
setelah beberapa millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa ada
demam. Bronkospasme, distress pernapasan, nyeri abdominal,
instabilitas vaskuler, syok, dan mungkin hilang kesadaran menandai
terjadinya reaksi ini (Weinstein, 2000).
4) Urtikaria
Reaksi ini sangat jarang, terjadi 1-3% dari transfusi, dan berdasarkan
respon hipersensitivitas, mungkin terhadap protein dari plasma donor.
Reaksi urtikaria biasanya ringan, dan ditandai oleh eritema lokal,
bengkak, dan gatal. Sesekali demam dapat muncul (Weinstein, 2000).
5) Transfusion-Related Acute Lung Injury
Transfusion-related acute lung injury paling sering muncul sebagai
distres pernapasan dengan onset mendadak, yang disebabkan oleh
sindrom non edema paru kardiogenik yang menyerupai sindrom distres
pernapasan pada orang dewasa. Menggigil, demam, nyeri dada,

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 8


hipotensi, dan sianosis merupakan manifestasi umum edema paru yang
dapat terlihat. Gambaran radiografi dada menunjukkan edema paru
yang kemerahan. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam transfusi.
Pada awalnya parah, tetapi biasanya membaik dalam 48-96 jam
dengan bantuan pernapasan tanpa sekuele. Reaksi ini lebih jarang
terjadi daripada FNHTRs, dengan insidensi sekitar 1 dalam 5000
transfusi, namun mungkin saja reaksi ini tak terdiagnosis (Greer et al,
2003).
Etiologi yang umum adalah reaksi aantara donor dengan titer antibodi
antileukosit yang tinggi dan leukosit resipien. Reaksi tersebut
mengakibatkan leukoaglutinasi. Leukoaglutinin dapat terjebak di
pembuluh darah paru yang kecil (Weinstein, 2000).

b. Non imunologis
Reaksi transfusi immediate non imunologis disebabkan oleh faktor
eksternal dalam pemberian darah, seperti infeksi bakteri dari pasien,
kontaminasi darah donor, penanganan darah yang tidak tepat, dan
pemberian cairan hipertonik dengan transfusi. Pada kelompok ini tidak ada
reaksi antigen-antibodi. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:
1) Overload Cairan
Overload cairan dapat terjadi ketika darah atau komponennya
diberikan dengan kecepatan melebihi cardiac output pasien (Weinstein,
2000).
2) Emboli Udara
Gejala yang muncul sama seperti kolaps kardiovaskuler, meliputi
sianosis, dispneu, syok, dan terkadang henti jantung (Weinstein, 2000).
3) Keracunan Sitrat
Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau
deficit kalsium ialah mereka yang mendapat transfusi plasma, whole
blood, trombosit dengan kecepatan melebihi 100 mL/menit, atau lebih
rendah pada pasien dengan penyakit hati. Dimana hati tidak bisa

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 9


mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi sitrat,
mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu
aritmia jantung (Weinstein, 2000).
4) Hipotermia
Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak
diberikan dengan cepat. Pemberian yang cepat dapat mengakibatkan
pasien menggigil, hipotermi, vasokonstriksi perifer, aritmia
ventrikuler, dan henti jantung (Weinstein, 2000).
5) Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri darah dapat terjadi pada saat donasi atau
persiapan komponen infusi. Sebagai tambahan terhadap kontaminasi
kulit, bakteri gram negative tahan dingin dapat berperan pada kejadian
yangtidak menguntungkan ini. Organism seperti spesies Pseudomonas,
Citrobacter freundii, dan Escherichia coli merupakan penyebab yang
potensial. Organism ini mampu berproliferasi pada suhu refrigerator,
melepaskan endotoksin yang menginisiasi reaksi yang jarang dan
berpotensi fatal ini (Weinstein, 2000).

2. Delayed
Komplikasi ini terjadi setelah beberapa hari, bulan, atau tahun setelah transfusi
dan biasanya merupakan akibat alloimunisasi atau penyakit menular.
a. Imunologis
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:
1) Delayed Hemolytic Reaction
Delayed hemolytic reaction disebabkan oleh antibodi yang terbentuk
sebagai respon terhadap antigen asing. Reaksi ini dikelompokkan
menjadi primer dan sekunder. Reaksi yang primer biasanya ringan dan
dapat terjadi satu minggu atau lebih setelah transfusi. Reaksi yang
sekunder terjadi pada pasien yang sebelumnya terimunisasi melalui
transfusi atau kehamilan (Weinstein, 2000).

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 10


2) Transfusion-Associated Graft-Versus-Host Disease (TAGVHD)
Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan reaksi
yang kompleks, jarang, dan sering fatal. Penyebab umumnya yaitu
transfer limfosit T imunokompeten pada komponen darah pada pasien
dengan penurunan imun berat. Hal ini bisa juga terjadi dari transfusi
yang berasal dari anggota keluarga tingkat pertama. Limfosit donor
dikenali dan membelah pada resipien dengan penurunan imun berat.
Sel yang dikenali ini bereaksi terhadap jaringan asing asal resipien,
menyebabkan komplikasi pendarahan dan infeksi (Weinstein, 2000).
b. Non Imunologis
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:
1) Hepatitis
Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira 1:3.000 sampai
1:5.000 pemajanan donor (Nelson, 1996). Risiko transfusi terhadap
hepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit transfusi. ). Risiko transfusi
terhadap hepatitis C kira-kira 1:1.613.000tiap unit transfusi (Greer et
al, 2003).
2) Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Risiko ransfusi terkait HIV mendekati nol, dengan perkiraan berkisar
antara 1:300.000 sampai 1:1.000.000 pemajanan donor (Nelson, 1996).
3) Human T-Cell Lymphotropic Virus
Frekuensi penularan melalui transfusi pada HTVL cukup rendah di
Amerika Serikat, dengan perkiraan antara 1 dari 250.000 sampai 1 dari
2.000.000 trasfusi unit (Weinstein, 2000).
4) Sifilis
Hingga saat ini tidak ada laporan terkait transmisi sifilis pada transfusi
selama beberapa decade ini (Weinstein, 2000).
5) Cytomegalovirus
Transfusi terkait cytomegalovirus dapat dieliminasi dengan
memberikan transfusi produk seluler darah, yang disaring dengan filter

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 11


penghilang leukosit, atau dengan memilih darah dari donor seronegatif
untuk antibodi terhadap cytomegalovirus (Nelson, 1996).
6) Malaria
Jumlah kasus penularan malaria melalui transfusi di Amerika Serikat
dilaporkan sebanyak 0,25 kasus setiap 1.000.000 unit darah yang
terkumpul (Weinstein, 2000).

2.4 Presentasi Klinis Reaksi Transfusi Darah


Reaksi Transfusi hemolitik dapat bersifat akut atau segera (dalam 24
jam) atau tertunda (lambat) lebih dari 24 jam dalam 3-10 hari. Antibodi yang
tereksitasi pada darah penerima melawan antigen sel darah merah pendonor
merupakan penyebab utama. Paling sering terjadi karena ketidaksesuaian
golongan ABO atau pada wanita multipara yang sebelumnya telah mengalami
eksitasi sebelumnya.
Presentasi klnis dapat dramatik dan meliputi demam disertai
menggigil, pingsan, dada menyesak, nyeri dada atau abdomen, takikardia,
takipneua, hipotensi, oliguria, dan/atau hematuria. Akan tetapi, insiden reaksi
ini sudah sangat jarang ditemukan pada masa kini.
Reaksi Transfusi alergik memiliki rentang dari urtikaria ringan
hingga edema laring fatal atau bahkan syok anafilaktik. Pembentukan
antibodi sebelumnya pada darah penerima pada berbagai protein plasma
darah pendonor atau muncunya anti-IgA pada darah penerima akan
mencetuskan reaksi ini. Namun, reaksi ini juga jarang terjadi. Reaksi
Transfusi lainnya adalah jenis reaksi febril non hemolitik (febrile non
haemolytic reaction) yang terjadi karena penerima merespon antigen sel darah
putih pendonor. Reaksi ini sangat sering ditemukan dan pada umumnya
bersifat ringan.
2.5 Manifestasi Klinis Khusus
Terdapat dua kondisi unik yang berhubungan dengan raksi Transfusi darah
yaitu:

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 12


Purpura pasca Transfusi (PTP) merupakan trombositopenia signifikan
yang terjadi sekitar 7-10 hari pasca pemberian konsentrat trombosit. Kondisi
ini sangat jarang, sering ditemukan pada wanita multipara atau pasien yang
telah mendapatkan beberapa Transfusi sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena
diproduksinya antibodi yang melaawan antigen permukaan trombosit yang
disebut sebagai HPA-1a.
Transfusion-related acute lung injury ( TRALI ) merupakan edema
pulmoner non kardiogenik akut/segera, kondisi ini terjadi karena neurofil
terperangkap pada sirkulasi pulmoner. Lagi-lagi lebih sering terjadi pada
wanita multipara dengan antibodi anti-HLA yang banyak (imun TRALI). Non
imun TRALI dapat terjadi ketika ditemukan ketiadaan antibodi plasma donor,
tapi terdapat respons terhadap berbagai produk lipid reaktif pada membran sel
donor. Kondisi ini juga jarang ditemukan dan biasanya sembuh dengan
sendirinya (self-limiting).

2.6 Tatalaksana dan Pencegahan Reaksi Transfusi Darah


Reaksi Transfusi hemolitik harus ditatalaksana secara agresif.
Transfusi harus segera dihentikan. Antipiretik, diuresis dengan NaCl 0,9%
disertai loop diuretik, dan monitorik tanda-tanda vital adalah hal penting yang
harus dilakukan. Urine output yang adekuat (80-100 cc/jam) merupakan tanda
prognostik yang baik. Pencegahan reaksi ini belum ditemukan. Akan tetapi,
uji silang yang baik dan penandaan produk darah dari bank darah serta
produk darah diberikan pada peneima yang paling tepat merupakan langkah
yang paling efektif untuk mencegah reaksi Transfusi. Perlu juga
mengkonfirmasi klinis terhadap jumlah dan jenis produk darah yang akan
diberikan.

Reaksi alergik dapat dicegah dan ditatalaksana dengan pemberian


antihistamin berupa dipenhidramin baik oral atau parenteral. Pada kondisi
yang serius, dapat diberikan adrenalin subkutan 0,1-0,5 mg dan/atau

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 13


deksametason parenteral. Reaksi demam tipe non hemolitik dapat dengan
mudah ditatalaksana dengan pemberian antipiretik.
Purpura pasca Transfusi harus ditatalaksana dengan pemberian
imunoglobulin intravena atau plasmafaresis. Transfusi trombosit sebaliknya
dihindari pada kondisi ini karena dapat menyebabkan perburukan. TRALI
dapat ditatalaksana dengan pemberian ventilator untuk mendukung
pernapasan dengan pengukuran parameter pernapasan dan biasanya akan
sembuh dalam waktu tertentu.

A. 2.7 KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

1. Berdasarkan Cakupannya
a. Komplikasi Local
Pada proses transfuse darah dapat terjadi suatu komplikasi,
pada komplikasi transfuse darah local dapat terjadi suatu reaksi
atau komplikasi yang meliputi :
- Kegagalan memperoleh akses vena
- Fiksasi vena tidak baik
- Masalah ditempat tusukan
- Vena pecah saat ditusuk, dll
b. Komplikasi Umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-
langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan
dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin
terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya
bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena
itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang
pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap
memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera
memberitahu dokter jaga dan bank darah.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 14


2. Berdasarkan Cepat Lambanya
a. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau
dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi
tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh
hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya
warna kemerahan di kulit,  urtikaria,  demam,  takikardia,  kaku
otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik,
antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan
tetesan diperlambat. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh
hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-
hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri. Pada reaksi yang
membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di  sekitar tempat masuknya  infus, napas pendek, nyeri punggung,
nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,
demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik),
takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak
jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut,
kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan
gagal paru akut akibat transfusi.
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir
selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis
IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan
dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan
diberikan.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 15


Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah
demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau
dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi.
Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock),
koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal
akut yang dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi hal tersebut
perlu dilakukan tindakan meningkatkan perfusi ginjal,
mempertahankan volume intravaskuler, mencegah timbulnya DIC.
b. Reaksi Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya
disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat
dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah.
Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk
meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi
biasanya ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah
demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria.
Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis
berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi
seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa
pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal,
penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.
3. Berdasarkan Factor Penyebabnya
a.Komplikasi Imunologis
Komplikasi  imun setelah transfusi darah terutama
berkaitan dengan sensitisasi  donor ke sel darah merah, lekosit,
trombosit  atau protein plasma.
1) Reaksi hemolitik
Reaksi hemolitik adalah reaksi akibat bercampurnya
darah yang mempunyai aglutinin plasma anti A dan anti B
dengan darah yang mengandung aglutinogen A atau B dan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 16


darah yang mempunyai Rh berbeda sehingga menyebabkan sel
menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti penyimpangan
fisik sel dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan
sel-sel darah merah yang teraglutinasi 4 Akibat penghancuran
sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam
plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi
hemoglobinuria.
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi
spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody
resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah 
merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting
faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies.
Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian
transfusi darah yang lisis akibat diberikan bersama larutan
hipotonis misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah
lisis akibat pemanasan mendadak dengan air panas melebihi
temperatur tubuh atau tetesan terlalu cepat serta dipompa dan
atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah
bengkak dan hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C,
dan transfusi darah pada penderita paroksismal nokturnal
hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif dalam
plasma donor yang dapat menyebabkan hemolisis.
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian
transfusi, atasi syok dengan posisi, oksigenasi, vasopresor, dan
infus bila ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya
diuresis dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta
pemberian steroid. Lapor ke bank darah untuk pengulangan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 17


pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross
match dari sisa darah.
Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut
dan reaksi hemolitik lambat.
a) Reaksi Hemolitik Akut (Intravaskuler)
Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu
transfusi baru berlangsung. Lima puluh mililiter darah dari
golongan yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan
reaksi.Gejala berupa rasa panas sepanjang vena dimana
infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka
merah, pireksia, mual, muntah, dan ikterus.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi
suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfuse,
pemberian darah rhesus positif pada penderita rhesus
negatif yang mengandung anti D akibat transfusi
sebelumnya. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu
reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.
Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin,
demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang
dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut
adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan  ,
hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari
lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation,
shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang
dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung
pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah
diberikan.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO.
Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan
darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung
yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 18


pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah
adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen
golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari
darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau
Duffy.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 –
15 ml darah yang ABO inkompatibel. Pada orang sadar,
gejala yang dialami berupa menggigil, demam, mual, serta
nyeri dada dan panggul. Pada orang dalam keadaan terbius,
gejala berupa peningkatan suhu tubuh, takikardia yang
tidak diketahui penyebabnya, hipotensi, hemoglobinuria,
dan perdarahan difus pada daerah lapangan operasi.
Koagulasi intravaskular disseminata, syok, dan gagal ginjal
terjadi dengan cepat. Berat ringannya gejala tersebut
tergantung dari seberapa banyak darah inkompatibilitas
ABO yang ditransfusikan.
Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan
sebagai berikut:

 Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi


harus dihentikan dengan segera.
 Darah harus di cek ulang dengan slip darah
dan identitas pasien.
 Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek
adanya hemoglobin.
 Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan
mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
 Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian
platelets dan FFP.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 19


 Ambil darah pasien untuk diperiksa kadar Hb,
trombosit, uji kompatibilitas, dan tes koagulasi.
b) Reaksi Hemolitik Lambat (Ekstravaskuler)
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah
transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik
dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat
dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC
jarang terjadi.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang
sering mendapat transfusi. Reaksi timbul beberapa jam atau
beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2
atau lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan
titer anti A dan anti B yang tinggi kepada golongan lain.
Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi hemolitik lambat disebut sebagai hemolisis
ekstravaskular. Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini
umumnya ringan. Penyebabnya adalah antibodi terhadap
antigen non-D dari sistem RH atau terhadap alel asing dari
sistem lain seperti Kell, Duffy, atau antigen Kidd.
Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari
setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari
malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak
meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan.
Serum bilirubin unconjugated  meningkat sebagai hasil
pemecahan hemoglobin.
 Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat
mungkin difasilitasi  oleh antiglobulin (Coombs) Test.
Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane sel
darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane
antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane
antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 20


suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi
pada kedua spesimen : pasien dan  donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah
suportif. Frekwensi reaksi transfusi hemolytic lambat
diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan
pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan
pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.

b. Reaksi Imunologis Non Hemolitik


1) Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi
transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya.
Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit
donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang
kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan
serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat
peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam
tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya
Sensitisasi terhadap sel darah putih atau trombosit
umumnya bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi 1-3%
dari episode transfusi. Ciri-ciri adalah peningkatan suhu tubuh
tanpa disertai bukti adanya hemolisis. Pasien dengan riwayat
demam berulang paska transfusi perlu mendapat transfusi sel
darah merah murni (tanpa ada sel darah putih). Komponen
darah tersebut bisa didapat dengan cara melakukan sentrifugasi,
filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
2) Reaksi alergi (Urtikaria)

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 21


Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling
sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini
terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi.
Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di
dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE
resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan
menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak
berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan
menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda
transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi
tersebut.
Reaksi Urtikaria  pada umumnya ditandai oleh
erythema, penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan
menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada  umumnya ( 1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi
pasien ke transfusi protein plasma.  Reaksi Urticaria dapat
diatasi  dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin  H2
blockers) dan steroids.
Ditandai dengan eritema, bintik merah, dan gatal tanpa
demam. Diduga terjadi karena sensitisasi terhadap protein
plasma. Reaksi urtikaria dapat ditangani dengan antihistamin
dan steroid

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 22


3) Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama
bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau
yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya
terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi
dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos
terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala
dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka
merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan
renjatan.
Penanganan dini adalah epinefrin, cairan,
kortikosteroid, dan antihistamin. Pasien defisiensi IgA
sebaiknya mendapat transfusi washed packed red cell, sel darah
merah beku deglycerolized, atau darah tanpa IgA.
4) Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated
acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang
mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien.
Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak
awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang
difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan
pernapasan di ruang rawat intensif.
5) Purpura pasca transfuse
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang
jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah
merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi
langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada
resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda
yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia
berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 23


hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting
terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan
yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien. Plasmapheresis dalam hal
ini dianjurkan
6) Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial
membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi,
terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan
pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang
memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte
antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan
tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare,
hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah
transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat
suportif.
 Reaksi jenis ini  dapat dilihat pada pasien immune-
compromised. Produk sel darah berisi lymfosit mampu
mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-
host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte,
dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit
tanpa mengubahefikasi dari transfusi.

7) Edema  Pulmonary Noncardiogenic


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute
Lung Injury) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<
1:10,000). Ini berkaitan dengan  transfusi antileukocytic atau
anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan
sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 24


pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan
leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan
Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat
sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.
8) Imun Supresi

Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat


sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada
penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif
nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan
mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi
darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada  juga
menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat
mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya,
transfusi darah dapat  meningkatkan timbulnya infeksi yang
serius setelah pembedahan atau  trauma.

b. komplikasi non imumologis


1) Transfusi darah masif
 Transfusi darah masif adalah pemberian darah yang
dengan volume melebihi volume darah pasien dalam waktu 24
jam. Penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak
dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa:
70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas
cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan
oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi
karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat
perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan
risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi,
dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi
masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 25


Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah
yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia
dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari
trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah
simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung,
asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury
a) Koagulopati
 Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah
masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis
dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia,
idealnya menjadi acuan  transfusi trombosit dan FFP.
Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga
bermanfaat.

 Trombositopenia

Terjadi setelah transfusi darah simpan lama


lebih dari 80 ml/kgBB. Diatasidengan pemberian
trombosit bila jumlah trombosit <50.000/mm3 atau
memberi unit darah utuh segar setiap transfusi 4 unit
darah simpan.

 Turunnya faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor


VIII. Dapat diatasi dengan pemberian 1 unit FFP setiap
transfusi 5 unit WB/PRC.
b) Keracunan Sitrat
Tubuh memiliki kemampuan yang besar untuk
metabolisme sitrat, kecuali pada keadaan shock, penyakit
hati, dan lanjut usia. Pada kasus ini dapat diberikan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 26


Calcium Glukonas 10% 1 gram IV pelan-pelan setiap telah
masuk 4 unit darah.
 Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat
secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah
dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting,
karena menyebabkan depresi jantung,  tidak terjadi pada
pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5
menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien
dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama
transfusi massif ).

c) Hiperkalemia

Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik


setinggi 32 mEq/L, sedangkan batas dosis infus kalium
adalah 20 mEq/jam. Hiperkalemia menyebabkan aritmia
sampai fibrilasi ventrikel/cardiac arrest. Untuk mencegah
hal ini diberikan Calsium Glukonas 5 mg/kgBB I.V pelan-
pelan. Maksud pemberian kalsium disini karena kalsium
merupakan antagonis terhadap hiperkalemia.

Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang


disimpan meningkat  dengan waktu. Jumlah kalium
extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing
kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat
berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika
transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya
ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan
dengan alkalosis metabolisme.

d) Hypothermia

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 27


Transfusi Darah massif  adalah merupakan indikasi
mutlak untuk semua produk darah cairan intravena hangat
ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat
menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar
30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas
yang efisien  sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan
transfusi.

e) Keseimbangan asam basa            

 Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat


asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan
akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida
dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme  acidosis
metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum.
Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi
darah massif adalah alkalosis metabolic
postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis
metabolic berakhir dan alkalosis metabolic progresif
terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan
resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar

f) DIC ( disseminated   intravaskular coagulation)


DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun
hal ini lebih disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi
(syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).
Disseminated intravaskular coagulation (DIC) ditandai
dengan proses  aktivasi dari sistem koagulasi yang
menyeluruh yang menyebabkan pembentukan  fibrin di 
dalam pembuluh darah sehingga   terjadi   oklusi  

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 28


trombotik   di   dalam pembuluh   darah   berukuran  
sedang   dan   kecil. Proses   tersebut   menjadikan   aliran  
darah terganggu   sehingga   terjadi   kerusakan   pada
banyak organ tubuh. Pada saat yang bersamaan, terjadi  
pemakaian   trombosit  dan   protein   dari
DIC ( disseminated   intravaskular coagulation)
merupakan keadaan yang  termasuk dalam   kategori  
kedaruratan   medic. Tindakan   dan   penanganan   yang
diberikan tergantung dari patofisiologi  penyakit yang
mendasarinya.   Namun   yang   utama   dalam
memberikan   penanganan   tersebut   adalah mengetahui  
proses   patologi,    yakni terjadinya proses  trombosis
mikrovaskular dan kemungkinan   terjadi   perdarahan  
(diatesa hemoragik) secara bersamaan. Tanda-tanda   yang  
dapat   dilihat   pada penderita DIC yang disertai dengan
perdarahan misalnya:  petekie, ekimosis, hematuria,
melena, epistaksis,   hemoptisis,   perdarahan   gusi,
penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan
oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda yang dapat
dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan
aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada
organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ  tersebut, 
seperti:  gagal  ginjal  akut,  gagal nafas akut, iskemia fokal,
gangren pada kulit.
Berikut   ini   adalah   kondisi   klinik   yang dapat
menyebabkan terjadinya DIC yaitu   Sepsis, Trauma,
Cidera jaringan berat, Cidera kepala, Emboli lemak,
Kanker ( Myeloproliferative disorder, Tumor padat),
komplikasi Obstetrik (Emboli cairan amnion, Abruptio
Placenta), Kelainan pembuluh darah (Giant hemangioma,

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 29


Aneurysma Aorta), Reaksi terhadap toksin, Kelainan
Imunologik.
Pada   pasien   dengan   DIC,   terjadi pembentukan  
fibrin   oleh   trombin   yang diaktivasi oleh faktor 
jaringan.  Faktor  jaringan, berupa   sel  mononuklir   dan  
sel   endotel   yang teraktivasi,  mengaktivasi   faktor  VII. 
Kompleks antara   faktor   jaringan   dan   faktor   VII  
yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik  
secara   langsung  maupun  tidak   langsung dengan  cara 
mengaktivasi   faktor   IX dan VIII. Faktor   X   yang  
teraktivasi   bersama   dengan faktor  V  akan mengubah
protrombin menjadi trombin.   Di   saat   yang   bersamaan  
terjadi konsumsi   faktor   antikoagulan   seperti antitrombin
III,   protein   C   dan   jalur penghambat-faktor   jaringan,  
mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut.
Pembentukan fibrin   yang   terjadi   tidak   diimbangi  
dengan penghancuran   fibrin   yang   adekuat,   karena
sistem  fibrinolisis   endogen   (plasmin)   tertekan oleh  
penghambat-aktivasi   plasminogen   tipe   1 yang  
kadarnya   tinggi   di   dalam   plasma menghambat  
pembentukan   plasmin   dari plasminogen.  Kombinasi  
antara  meningkatnya pembentukan   fibrin   dan   tidak  
adekuatnya penghancuran   fibrin  menyebabkan  
terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat
ditentukan atas dasar temuan sebagai berikut:
 Adanya   penyakit   yang   mendasari terjadinya DIC.
 Pemeriksaan   trombosit   kurang   dari 100.000/mm³.
Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000   = 1 <50000 =
2
 Pemanjangan   waktu   pembekuan   (PT, aPTT).

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 30


PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
 Adanya   hasil   degradasi   fibrin   di   dalam plasma 
(ditandai  dengan peningkatan D-dimer)
D-dimer: < 500 = 0 500-1000   =   1>10000=2.
 Rendahnya kadar  penghambat  koagulasi (Antitrombin
III)
Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
Penatalakasanaan   DIC   yang   utama adalah  
mengobati   penyakit   yang   mendasari terjadinya  DIC.  
 Antikogulan
 Plasma dan trombosit
 Penghambat pembekuan (AT III)
 Obat-obat antifibrinolitik
2) Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan
edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan
yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan
fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien
dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar
kardiovaskular.
3) Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam
jangka waktu panjang akan  mengalami akumulasi besi dalam
tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal
organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti
desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi
dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
4) Komplikasi Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi
darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 31


penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan,
status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini
dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko
transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis
C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV),
malaria, sifilis, bruselosis, tripanosomiasis. Model ini
berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul
pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana
darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih
negatif).
a) Hepatitis virus
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah
diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah  transfusi
darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis  C virus. Timbulnya hepatitis
posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75%
tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50%
berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu,
tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20%
berkembang menjadi cirrhosis.
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu
bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-
10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar
enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus
hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi
disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski
sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini
dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat,
serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih
tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 32


1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar
1:10.000. 2,3
b) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat
terjadi melalui transfuse darah, yaitu dengan rasio
1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang
baik dan ketat. Virus yang bertanggung jawab untuk
penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah.
Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1
dan - 2 antibodi . Dengan adanya  FDA yang menguji asam 
nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan
menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi
1:1.900.000 tranfusi.
c) Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus
yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi.
Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga
penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah
atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi
sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik
mencegah CMV.

Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus


umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau
asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi  asimptomatik;
lekosit dalam darah dari donor  dapat menularkan virus.
Pasien immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya,
bayi prematur dan penerima transplantasi organ )   peka
terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, .
pasien- pasien menerima hanya CMV negative.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 33


Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko
transmisi CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya
berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative.
Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang
dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti
itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan
HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-
duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah;
leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan
Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient
aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan
filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak
mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.

d)  Infeksi parasit

 Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui


transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit
Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

e) Infeksi Bakteri

 Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua


kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari
kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai
1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi
darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000
untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar
dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di
sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive
( Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan
Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 34


menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan
kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui
transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.

f) Penyakit infeksi lain yang jarang

Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga


ditularkan melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis,
HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas
(disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD
( Creutzfeldt Jakob Disease). Pencemaran oleh bakteri juga
mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan
ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami
reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan.
Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah
dengan pemberian antibiotic yang adekuat.

B. 2.8 KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

1. Berdasarkan Cakupannya
a. Komplikasi Local
Pada proses transfuse darah dapat terjadi suatu komplikasi,
pada komplikasi transfuse darah local dapat terjadi suatu reaksi
atau komplikasi yang meliputi :
- Kegagalan memperoleh akses vena
- Fiksasi vena tidak baik
- Masalah ditempat tusukan
- Vena pecah saat ditusuk, dll
b. Komplikasi Umum

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 35


Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-
langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan
dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin
terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya
bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena
itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang
pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap
memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera
memberitahu dokter jaga dan bank darah.
2. Berdasarkan Cepat Lambanya
a. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau
dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi
tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh
hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya
warna kemerahan di kulit,  urtikaria,  demam,  takikardia,  kaku
otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik,
antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan
tetesan diperlambat. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh
hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-
hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri. Pada reaksi yang
membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di  sekitar tempat masuknya  infus, napas pendek, nyeri punggung,
nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,
demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik),

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 36


takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak
jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut,
kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan
gagal paru akut akibat transfusi.
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir
selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis
IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan
dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan
diberikan.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah
demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau
dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi.
Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock),
koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal
akut yang dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi hal tersebut
perlu dilakukan tindakan meningkatkan perfusi ginjal,
mempertahankan volume intravaskuler, mencegah timbulnya DIC.
b. Reaksi Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya
disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat
dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah.
Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk
meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi
biasanya ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah
demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria.
Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis
berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi
seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa
pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal,
penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 37


4. Berdasarkan Factor Penyebabnya
b. Komplikasi Imunologis
Komplikasi  imun setelah transfusi darah terutama
berkaitan dengan sensitisasi  donor ke sel darah merah, lekosit,
trombosit  atau protein plasma.
1) Reaksi hemolitik
Reaksi hemolitik adalah reaksi akibat bercampurnya
darah yang mempunyai aglutinin plasma anti A dan anti B
dengan darah yang mengandung aglutinogen A atau B dan
darah yang mempunyai Rh berbeda sehingga menyebabkan sel
menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti penyimpangan
fisik sel dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan
sel-sel darah merah yang teraglutinasi 4 Akibat penghancuran
sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam
plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi
hemoglobinuria.
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi
spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody
resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah 
merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting
faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies.
Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian
transfusi darah yang lisis akibat diberikan bersama larutan
hipotonis misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah
lisis akibat pemanasan mendadak dengan air panas melebihi
temperatur tubuh atau tetesan terlalu cepat serta dipompa dan
atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 38


bengkak dan hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C,
dan transfusi darah pada penderita paroksismal nokturnal
hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif dalam
plasma donor yang dapat menyebabkan hemolisis.
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian
transfusi, atasi syok dengan posisi, oksigenasi, vasopresor, dan
infus bila ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya
diuresis dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta
pemberian steroid. Lapor ke bank darah untuk pengulangan
pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross
match dari sisa darah.
Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut
dan reaksi hemolitik lambat.
c) Reaksi Hemolitik Akut (Intravaskuler)
Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu
transfusi baru berlangsung. Lima puluh mililiter darah dari
golongan yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan
reaksi.Gejala berupa rasa panas sepanjang vena dimana
infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka
merah, pireksia, mual, muntah, dan ikterus.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi
suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfuse,
pemberian darah rhesus positif pada penderita rhesus
negatif yang mengandung anti D akibat transfusi
sebelumnya. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu
reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.
Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin,
demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang
dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut
adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan  ,
hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 39


lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation,
shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang
dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung
pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah
diberikan.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO.
Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan
darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung
yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label
pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah
adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen
golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari
darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau
Duffy.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 –
15 ml darah yang ABO inkompatibel. Pada orang sadar,
gejala yang dialami berupa menggigil, demam, mual, serta
nyeri dada dan panggul. Pada orang dalam keadaan terbius,
gejala berupa peningkatan suhu tubuh, takikardia yang
tidak diketahui penyebabnya, hipotensi, hemoglobinuria,
dan perdarahan difus pada daerah lapangan operasi.
Koagulasi intravaskular disseminata, syok, dan gagal ginjal
terjadi dengan cepat. Berat ringannya gejala tersebut
tergantung dari seberapa banyak darah inkompatibilitas
ABO yang ditransfusikan.
Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan
sebagai berikut:

 Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi


harus dihentikan dengan segera.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 40


 Darah harus di cek ulang dengan slip darah
dan identitas pasien.
 Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek
adanya hemoglobin.
 Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan
mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
 Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian
platelets dan FFP.
 Ambil darah pasien untuk diperiksa kadar Hb,
trombosit, uji kompatibilitas, dan tes koagulasi.
d) Reaksi Hemolitik Lambat (Ekstravaskuler)
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah
transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik
dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat
dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC
jarang terjadi.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang
sering mendapat transfusi. Reaksi timbul beberapa jam atau
beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2
atau lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan
titer anti A dan anti B yang tinggi kepada golongan lain.
Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi hemolitik lambat disebut sebagai hemolisis
ekstravaskular. Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini
umumnya ringan. Penyebabnya adalah antibodi terhadap
antigen non-D dari sistem RH atau terhadap alel asing dari
sistem lain seperti Kell, Duffy, atau antigen Kidd.
Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari
setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari
malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak
meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 41


Serum bilirubin unconjugated  meningkat sebagai hasil
pemecahan hemoglobin.
 Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat
mungkin difasilitasi  oleh antiglobulin (Coombs) Test.
Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane sel
darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane
antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane
antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan
suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi
pada kedua spesimen : pasien dan  donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah
suportif. Frekwensi reaksi transfusi hemolytic lambat
diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan
pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan
pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.

b. Reaksi Imunologis Non Hemolitik


1) Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi
transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya.
Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit
donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang
kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan
serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat
peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam
tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 42


Sensitisasi terhadap sel darah putih atau trombosit
umumnya bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi 1-3%
dari episode transfusi. Ciri-ciri adalah peningkatan suhu tubuh
tanpa disertai bukti adanya hemolisis. Pasien dengan riwayat
demam berulang paska transfusi perlu mendapat transfusi sel
darah merah murni (tanpa ada sel darah putih). Komponen
darah tersebut bisa didapat dengan cara melakukan sentrifugasi,
filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
2) Reaksi alergi (Urtikaria)
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling
sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini
terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi.
Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di
dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE
resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan
menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak
berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan
menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda
transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi
tersebut.
Reaksi Urtikaria  pada umumnya ditandai oleh
erythema, penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan
menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada  umumnya ( 1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi
pasien ke transfusi protein plasma.  Reaksi Urticaria dapat
diatasi  dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin  H2
blockers) dan steroids.
Ditandai dengan eritema, bintik merah, dan gatal tanpa
demam. Diduga terjadi karena sensitisasi terhadap protein
plasma. Reaksi urtikaria dapat ditangani dengan antihistamin
dan steroid

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 43


3) Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama
bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau
yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya
terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi
dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos
terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala
dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka
merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan
renjatan.
Penanganan dini adalah epinefrin, cairan,
kortikosteroid, dan antihistamin. Pasien defisiensi IgA
sebaiknya mendapat transfusi washed packed red cell, sel darah
merah beku deglycerolized, atau darah tanpa IgA.
4) Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated
acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang
mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien.
Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak
awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang
difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan
pernapasan di ruang rawat intensif.
5) Purpura pasca transfuse
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang
jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah
merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi
langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada
resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda
yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia
berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 44


hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting
terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan
yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien. Plasmapheresis dalam hal
ini dianjurkan
6) Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial
membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi,
terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan
pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang
memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte
antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan
tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare,
hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah
transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat
suportif.
 Reaksi jenis ini  dapat dilihat pada pasien immune-
compromised. Produk sel darah berisi lymfosit mampu
mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-
host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte,
dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit
tanpa mengubahefikasi dari transfusi.

7) Edema  Pulmonary Noncardiogenic


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute
Lung Injury) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<
1:10,000). Ini berkaitan dengan  transfusi antileukocytic atau
anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan
sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 45


pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan
leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan
Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat
sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.
8) Imun Supresi

Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat


sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada
penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif
nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan
mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi
darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada  juga
menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat
mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya,
transfusi darah dapat  meningkatkan timbulnya infeksi yang
serius setelah pembedahan atau  trauma.

b. komplikasi non imumologis


5) Transfusi darah masif
 Transfusi darah masif adalah pemberian darah yang
dengan volume melebihi volume darah pasien dalam waktu 24
jam. Penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak
dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa:
70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas
cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan
oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi
karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat
perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan
risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi,
dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi
masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 46


Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah
yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia
dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari
trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah
simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung,
asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury
a) Koagulopati
 Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah
masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis
dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia,
idealnya menjadi acuan  transfusi trombosit dan FFP.
Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga
bermanfaat.

 Trombositopenia

Terjadi setelah transfusi darah simpan lama


lebih dari 80 ml/kgBB. Diatasidengan pemberian
trombosit bila jumlah trombosit <50.000/mm3 atau
memberi unit darah utuh segar setiap transfusi 4 unit
darah simpan.

 Turunnya faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor


VIII. Dapat diatasi dengan pemberian 1 unit FFP setiap
transfusi 5 unit WB/PRC.
b) Keracunan Sitrat
Tubuh memiliki kemampuan yang besar untuk
metabolisme sitrat, kecuali pada keadaan shock, penyakit
hati, dan lanjut usia. Pada kasus ini dapat diberikan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 47


Calcium Glukonas 10% 1 gram IV pelan-pelan setiap telah
masuk 4 unit darah.
 Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat
secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah
dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting,
karena menyebabkan depresi jantung,  tidak terjadi pada
pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5
menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien
dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama
transfusi massif ).

c) Hiperkalemia

Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik


setinggi 32 mEq/L, sedangkan batas dosis infus kalium
adalah 20 mEq/jam. Hiperkalemia menyebabkan aritmia
sampai fibrilasi ventrikel/cardiac arrest. Untuk mencegah
hal ini diberikan Calsium Glukonas 5 mg/kgBB I.V pelan-
pelan. Maksud pemberian kalsium disini karena kalsium
merupakan antagonis terhadap hiperkalemia.

Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang


disimpan meningkat  dengan waktu. Jumlah kalium
extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing
kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat
berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika
transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya
ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan
dengan alkalosis metabolisme.

d) Hypothermia

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 48


Transfusi Darah massif  adalah merupakan indikasi
mutlak untuk semua produk darah cairan intravena hangat
ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat
menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar
30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas
yang efisien  sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan
transfusi.

e) Keseimbangan asam basa            

 Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat


asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan
akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida
dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme  acidosis
metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum.
Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi
darah massif adalah alkalosis metabolic
postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis
metabolic berakhir dan alkalosis metabolic progresif
terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan
resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar

f) DIC ( disseminated   intravaskular coagulation)


DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun
hal ini lebih disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi
(syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).
Disseminated intravaskular coagulation (DIC) ditandai
dengan proses  aktivasi dari sistem koagulasi yang
menyeluruh yang menyebabkan pembentukan  fibrin di 
dalam pembuluh darah sehingga   terjadi   oklusi  

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 49


trombotik   di   dalam pembuluh   darah   berukuran  
sedang   dan   kecil. Proses   tersebut   menjadikan   aliran  
darah terganggu   sehingga   terjadi   kerusakan   pada
banyak organ tubuh. Pada saat yang bersamaan, terjadi  
pemakaian   trombosit  dan   protein   dari
DIC ( disseminated   intravaskular coagulation)
merupakan keadaan yang  termasuk dalam   kategori  
kedaruratan   medic. Tindakan   dan   penanganan   yang
diberikan tergantung dari patofisiologi  penyakit yang
mendasarinya.   Namun   yang   utama   dalam
memberikan   penanganan   tersebut   adalah mengetahui  
proses   patologi,    yakni terjadinya proses  trombosis
mikrovaskular dan kemungkinan   terjadi   perdarahan  
(diatesa hemoragik) secara bersamaan. Tanda-tanda   yang  
dapat   dilihat   pada penderita DIC yang disertai dengan
perdarahan misalnya:  petekie, ekimosis, hematuria,
melena, epistaksis,   hemoptisis,   perdarahan   gusi,
penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan
oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda yang dapat
dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan
aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada
organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ  tersebut, 
seperti:  gagal  ginjal  akut,  gagal nafas akut, iskemia fokal,
gangren pada kulit.
Berikut   ini   adalah   kondisi   klinik   yang dapat
menyebabkan terjadinya DIC yaitu   Sepsis, Trauma,
Cidera jaringan berat, Cidera kepala, Emboli lemak,
Kanker ( Myeloproliferative disorder, Tumor padat),
komplikasi Obstetrik (Emboli cairan amnion, Abruptio
Placenta), Kelainan pembuluh darah (Giant hemangioma,

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 50


Aneurysma Aorta), Reaksi terhadap toksin, Kelainan
Imunologik.
Pada   pasien   dengan   DIC,   terjadi pembentukan  
fibrin   oleh   trombin   yang diaktivasi oleh faktor 
jaringan.  Faktor  jaringan, berupa   sel  mononuklir   dan  
sel   endotel   yang teraktivasi,  mengaktivasi   faktor  VII. 
Kompleks antara   faktor   jaringan   dan   faktor   VII  
yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik  
secara   langsung  maupun  tidak   langsung dengan  cara 
mengaktivasi   faktor   IX dan VIII. Faktor   X   yang  
teraktivasi   bersama   dengan faktor  V  akan mengubah
protrombin menjadi trombin.   Di   saat   yang   bersamaan  
terjadi konsumsi   faktor   antikoagulan   seperti antitrombin
III,   protein   C   dan   jalur penghambat-faktor   jaringan,  
mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut.
Pembentukan fibrin   yang   terjadi   tidak   diimbangi  
dengan penghancuran   fibrin   yang   adekuat,   karena
sistem  fibrinolisis   endogen   (plasmin)   tertekan oleh  
penghambat-aktivasi   plasminogen   tipe   1 yang  
kadarnya   tinggi   di   dalam   plasma menghambat  
pembentukan   plasmin   dari plasminogen.  Kombinasi  
antara  meningkatnya pembentukan   fibrin   dan   tidak  
adekuatnya penghancuran   fibrin  menyebabkan  
terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat
ditentukan atas dasar temuan sebagai berikut:
 Adanya   penyakit   yang   mendasari terjadinya DIC.
 Pemeriksaan   trombosit   kurang   dari 100.000/mm³.
Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000   = 1 <50000 =
2
 Pemanjangan   waktu   pembekuan   (PT, aPTT).

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 51


PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
 Adanya   hasil   degradasi   fibrin   di   dalam plasma 
(ditandai  dengan peningkatan D-dimer)
D-dimer: < 500 = 0 500-1000   =   1>10000=2.
 Rendahnya kadar  penghambat  koagulasi (Antitrombin
III)
Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
Penatalakasanaan   DIC   yang   utama adalah  
mengobati   penyakit   yang   mendasari terjadinya  DIC.  
 Antikogulan
 Plasma dan trombosit
 Penghambat pembekuan (AT III)
 Obat-obat antifibrinolitik
6) Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan
edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan
yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan
fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien
dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar
kardiovaskular.
7) Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam
jangka waktu panjang akan  mengalami akumulasi besi dalam
tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal
organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti
desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi
dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
8) Komplikasi Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi
darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 52


penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan,
status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini
dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko
transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis
C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV),
malaria, sifilis, bruselosis, tripanosomiasis. Model ini
berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul
pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana
darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih
negatif).
g) Hepatitis virus
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah
diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah  transfusi
darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis  C virus. Timbulnya hepatitis
posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75%
tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50%
berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu,
tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20%
berkembang menjadi cirrhosis.
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu
bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-
10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar
enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus
hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi
disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski
sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini
dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat,
serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih
tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 53


1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar
1:10.000. 2,3
h) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat
terjadi melalui transfuse darah, yaitu dengan rasio
1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang
baik dan ketat. Virus yang bertanggung jawab untuk
penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah.
Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1
dan - 2 antibodi . Dengan adanya  FDA yang menguji asam 
nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan
menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi
1:1.900.000 tranfusi.
i) Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus
yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi.
Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga
penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah
atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi
sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik
mencegah CMV.

Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus


umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau
asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi  asimptomatik;
lekosit dalam darah dari donor  dapat menularkan virus.
Pasien immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya,
bayi prematur dan penerima transplantasi organ )   peka
terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, .
pasien- pasien menerima hanya CMV negative.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 54


Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko
transmisi CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya
berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative.
Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang
dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti
itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan
HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-
duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah;
leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan
Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient
aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan
filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak
mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.

j)  Infeksi parasit

 Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui


transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit
Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

k) Infeksi Bakteri

 Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua


kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari
kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai
1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi
darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000
untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar
dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di
sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive
( Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan
Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 55


menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan
kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui
transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.

l) Penyakit infeksi lain yang jarang

Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga


ditularkan melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis,
HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas
(disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD
( Creutzfeldt Jakob Disease). Pencemaran oleh bakteri juga
mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan
ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami
reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan.
Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah
dengan pemberian antibiotic yang adekuat.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 56


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Reaksi tranfusi merupakan semua kejadian yang tidak menguntungkan
penderita, yang timbul selama atau setelah transfusi, dan memang
berhubungan dengan tranfusi tersebut. Reaksi sedang-berat biasanya
disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi
non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi
pirogen dan/atau bakteri.

3.2 Saran
Adapun saran yang ingin diajukan pada penulisan makalah ini adalah
agar pemeriksaan golongan darah dan trasnfusi darah dilakukan oleh dokter
atau perawat yang terlatih sesuai dengan prosedur yang ditetapkan sehingga
memininalisir kesalahan yang dapat terjadi.

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 57


DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/231291216/REAKSI-TRANSFUSI, (Online) diakses


pada Senin, 02 Oktober 2017
https://irmaasusil.wordpress.com/tag/makalah-transfusi-darah/,(Online)diakses
pada Senin, 03 Oktober 2017
http://www.informasikedokteran.com/2015/09/reaksi-transfusi-darah.html,
(Online) diakses pada Senin, 03 Oktober 2017

Tugas Keperawatan Medikal Bedah 1 Kelompok 5 58

Anda mungkin juga menyukai