Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

REAKSI TRANSFUSI

DOSEN PENGAMPU:

Dr, Jessica Juan P, MSi.med


DI SUSUN OLEH:

MUHAMAD RIZAL MUHAIMIN


(P1337434221024)

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI BANK DARAH
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Reaksi tranfusi" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas serologi golongsn darah II. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi
saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Jessica Juan P selaku dosen pengampu.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 24 Oktober 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II..............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Pengertian dan Tujuan Transfusi Darah.............................................................................3
2.2 Pengertian Reaksi Transfusi..................................................................................................3
2.3 Jenis-Jenis Reaksi Transfusi Darah.......................................................................................4
2.4 Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi Darah.........13
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pelayanan kesehatan modern. Bila
digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat
kesehatan.
Kegiatan ini hanya diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) melalui peraturan
pemerintah no 7 tahun 2011 tentang pelayanan darah.1 Pelayanan Unit Donor Darah (UDD) PMI
adalah upaya pelayanan kesehatan yang terdiri dari rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan,
pengerahan dan pelestarian pendonor darah, penyediaan darah, pendistribusian darah, dan tindakan
medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.1 UDD membantu menyuplai darah dari pendonor kepada resepien di berbagai rumah
sakit.
Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain

Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah
besar disebabkan perdarahan pasca melahirkan, trauma, operasi, demam berdarah, kelainan darah
dll. Pemberian transfusi darah mempunyai resiko penularan penyakit infeksi menular lewat
transfusi darah terutama HIV/AIDS, Hepatitis C, Hepatitis B, Sifilis, Malaria, Demam Berdarah
Dengue serta resiko transfusi lain yang dapat mengancam nyawa.
Darah yang mengandung virus dari makhluk hidup yang positif penyakitpenyakit diatas dapat
menularkan pada makhluk hidup lain melalui sentuhan antara darah dengan darah, hubungan
seksual, transfusi darah, obat intravena atau jarum suntik, vertikal darah ibu ke janin yaitu melalui
infeksi perinatal, intrauterin dan air susu ibu. Darah memiliki peranan penting bagi tubuh manusia,
selain fungsinya dalam pengangkutan oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh fungsi
lainnya yaitu menjadi vektor penularan penyakit infeksi.
Tingginya angka penyakit infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah di Indonesia
khususnya di Provinsi Jawa Tengah yang cukup tinggi akhir-akhir ini merupakan masalah serius
yang harus segera ditangani menyelamatkan jiwa, tetapi memiliki risiko seperti komplikasi
infeksius maupun non- infeksius (Liumbruno, 2011

1
Angka kejadian reaksi transfusi non-hemolisis akut bervariasi hingga 38% dari seluruh
transfusi trombosit dan sel darah merah. Reaksi yang sering terjadi adalah demam non-
hemolisis 1,7%-30% dan reaksi alergi 1%-3%.1-3 Beberapa penelitian melaporkan kejadian
reaksi transfusi berkurang dengan menggunakan produk darah aferesis dari donor tunggal
dan produk darah lekoreduksi disertai dengan penggunaan premedikasi. Premedikasi adalah
pemberian obat sebelum transfusi yang bertujuan untuk mencegah reaksi transfusi.3,4
Penggunaan premedikasi ini sering digunakan, meliputi antara 50%-80% transfusi.Obat
premedikasi yang paling sering digunakan adalah asetaminofen, difenhidramin, dan
hidrokortison, baik tunggal maupun kombinasi. Penggunaan premedikasi sebelum transfusi
masih digunakan secara luas, tetapi menjadi kontroversi sampai saat ini karena efektivitasnya
belum jelas. Untuk itu diajukan pertanyaan klinis sebagai berikut, pada anak yang mendapat
transfusi, apakah pemberian premedikasi dapat mencegah reaksi transfusi akut non-hemolisis

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Pengertian dan tujuan dari Transfusi Darah?
2. Apakah Pengertian dari Reaksi Transfusi Darah?
3. Apakah Jenis-jenis dari reaksi Transfusi Darah?
4. Bagaimanakah Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi
Darah?

1.3 Tujuan
Dengan diberikannya tugas ini kita dapat memahami lebih lanjut mengenai reaksi transfuse
sehingga kelak dapat dilakukan pada saat kerja lapangan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Tujuan Transfusi Darah

Transfusi darah telah dilakukan kira-kira pada abab ke-18, dimana pada masa itu pengetahuan
dalam bidang physiologi dan pengetahuan sirkulasi darah yang dirintis oleh William Harvey
masih sangat sempit sekali. Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi banyak mengalami
kegagalan, banyak mendatangkan kecelakaan pada manusia.

Namun demikian, para peneliti tidak henti-hentinya melakukan percobaan-percobaan sampai


pada suatu saat Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1900 mengumumkan penemuannya tentang
golongan-golongan darah manusia. Setelah ditemukan golongan-golongan darah ini, transfusi
banyak menolong jiwa manusia dari ancaman kematian karena kehilangan darah .

Tujuan Didalam pustaka medik, pengertian transfusi darah adalah suatu proses pekerjaan
memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit.11Tujuan utama dari transfusi
darah ada dua macam, yang pertama menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang
sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab misalnya operasi, pendarahan waktu
melahirkan, kecelakaan, dan lain-lain, hingga darahnya yang biasanya 4-5 liter menjadi berkurang
hingga 3 liter misalnya, dan harus ditambah dengan transfusi. Tujuan kedua ialah menambah
kemampuan darah dalam badan orang sakit untuk membawa zat asam atau oksigen, misalnya
untuk penyakitpenyakit yang sel-sel darahnya tidak berfungsi baik, sehingga sel darah itu cepat
pecah dalam badan sendiri dan kemampuan darahnya untuk mengolah zat asam itu menjadi
berkurang. Jumlah cc darah penderita sama dengan orang biasa, tetapi apabila darahnya ada 5 liter,
maka yang berfungsi baik tidak sampai 5 liter mungkin hanya 3 liter.

2.2 Pengertian Reaksi Transfusi


Reaksi transfusi adalah suatu gejala yang muncul saat proses transfusi atau setelah selesai
transfusi darah maka bisa juga mengalaminya, Jika terjadi reaksi transfusi akan dilakukan
tindak lanjut atas kecurigaan terjadinya reaksi transfusi, dengan melakukan evaluasi klinis
pasien dan melakukan verifikasi secara laboratorium(Kiswari Rukman,)

Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian situasi klinis
yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila
didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi
daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang

3
stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan.
Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan
keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat,
penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi masif.

2.3 Jenis-Jenis Reaksi Transfusi Darah


Reaksi transfusi dibagi menjadi dua yaitu Immunological ( Dimediasi imun ) dan Non-
immunological ( Tidak dimediasi Imun ). serta dapat dikategorikan menjadi tipe segera dan
tipe lambat. . Gejala dan tanda dari komplikasi tranfusi dapat berhubungan dengan lebih dari
satu tipe reaksi, semakin cepat pengenalan dan evaluasi dilakukan , maka keluarannya akan
semakin baik. Reaksi tranfusi dapat terjadi akut (segera atau 24 jam). Gejala dan tanda
seseorang dengan reaksi tranfusi antara lain : demam dengan peningkatan suhu ≥ 1oC atau
>380C, menggigil, distres pernapasan ; wheezing, batuk, sesak sianosis, hipertensi atau
hipotensi, nyeri; abdomen, dada, pinggang atau punggung, infusion site, manifestasi kulit;
urticaria, rash, flushing, edema, jaundice, hemoglobinuria, mual muntah, perdarahan
abnormal, oliguria/anuria .

Berbagai tipe reaksi transfusi yang dapat terjadi di antaranya: reaksi transfusi hemolitik
(HTR), transfussion-associated graft-versus-host-disease (TA-GVHD), hemoglobinuria,
purpura pasca transfusi (PTP), demam, overload sirkulasi, tromboflebitis, urtikaria,
hiperkalemia, edema paru nonkardiogenik, serta reaksi alergi dan anafilaktik. Ahli transfusi
harus mengenali tanda dan gejala yang muncul dan bereaksi dengan cepat.

A. Immunological
a. Reaksi Segera
1. Reaksi Transfusi Hemolitik Segera
Reaksi transfusi hemolitik segera atau Immediate hemolytic transfusion reaction
(IHTR) terjadi segera setelah transfusi sel darah merah yang tidak kompatibel.
Sel darah merah yang ditransfusikan dihancurkan dengan cepat dengan
pelepasan hemoglobin dan stroma ke sirkulasi dari sel yang mengalami
hemolisis. Penyebab hemolisis biasanya adalah adanya alloantibodi preformed
yang dihasilkan dari transfusi sebelumnya atau kehamilan. Yang lebih sering,
kondisi ini disebabkan oleh antibodi ABO yang muncul secara alami. Jika sel

4
darah merah yang tidak kompatibel ditransfusikan, terbentuklah kompleks
antigenantibodi, yang mengaktifkan komplemen, plasminogen, kinin, dan
sistem koagulasi. Hanya sedikit darah inkompatibel yang ditransfusikan untuk
mencetuskan gejala dan tanda IHTR yang mengancam. Tanda dan gejala
pertama meliputi demam, menggigil, gelisah, nyeri punggung, hemoglobinuria,
dispneu, hipotensi, syok, perdarahan tak terkendali, nyeri di tempat infus, mual,
kemerahan di wajah, kepala terasa ringan, nyeri substernal, hemoglobinemia,
dan anemia. Reaksi ini adalah akibat dari berbagai sitokin yang dilepaskan
meliputi interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), IL-6, dan
IL-8. BRM adalah semua mediator penting untuk respon imun dan inflamasi,
dan mereka bersinergi satu sama lain untuk mempresipitasi reaksi yang
menyebabkan IHTR(4,5).
Morbiditas dan mortalitas reaksi transfusi hemolitik akut berkorelasi dengan
jumlah darah yang ditransfusikan. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan
IHTR ekstravaskuler relatif ringan dibanding hemolisis intravaskuler dan tidak
mengancam nyawa. Pada kedua jenis krisis hemolitik, pasien harus diberi
perawatan dan dukungan yang dibutuhkan untuk menghindari atau mengurangi
risiko terjadinya DIC, hipotensi, dan gagal ginjal akut.
Jika semua prosedur operasinal standar (SOP) diikuti dan dijalankan untuk
memastikan identifikasi pasien yang tepat, pengambilan sampel, pemberian
label dan identifikasi unit, pemeriksaan pasien, dan penanganan serta koreksi
transfusi pada pasien langsung di tempat, maka insiden IHTR akan dapat
diminimalkan. Reaksi transfusi hemolitik dipikirkan sebagai komplikasi yang
jarang dari transfusi platelet. Jika inkompatibilitas ABO minor terjadi seperti
adanya antibodi donor terhadap sel darah merah resipien dalam platelet yang
inkompatibel plasma, antibodi yang terdapat pada plasma platelet dapat
menyebabkan hemolisis akut.
Sekali dipikirkan kemungkinan IHTR sebagai penyebab hemolitik, tranfusi
harus segera dihentikan. Terapi suportif harus segera dilakukan untuk
menejemen hipotensi dan menjaga perfusi ginjal. Pemberian cairan kristaloid
(10-20 ml/kgBB), termasuk pemberian dopamin dosis rendah, maupun tranfusi

5
plasma, platelet dan atau kriopresipitat untuk DIC. Beberapa buku ajar
menyarankan menggunakan manitol sebagai diuresis osmotik, namun nilai dan
penelitian lebih lanjut tentang intervensi ini belum banyak yang melakukan.
2. Reaksi Transfusi Febril Non-Hemolitik
Reaksi transfusi febril nonhemolitik atau Febrile non hemolytic transfusion
reaction (FNHTR) adalah efek samping yang sering ditemukan setelah transfusi
darah dan komponen darah. Sebagian besar reaksi bersifat ringan, namun
beberapa di antaranya dapat mengancam nyawa karena kemungkinan terjadinya
syok anafilaktik yang berat. Reaksi ini terjadi pada sekitar 0,5% transfusi darah
dan komponen darah dengan reduksi leukosit, dan pasien dengan riwayat
FNHTR memiliki risiko sekitar 15% untuk mengalami lagi kejadian tersebut.
FNHTR terjadi pada sekitar 3-7% pasien yang mendapat transfusi sel darah
merah dan pada 20-30% mereka yang mendapat konsentrat platelet (TC).
Reaksi ini merupakan reaksi transfusi yang paling sering terjadi dan
dipresipitasi oleh adanya leukoaglutinin dalam plasma resipien. Aloimunisasi
biasanya merupakan akibat dari paparan terhadap antigen melalui transfusi
sebelumnya, transplantasi jaringan, atau kehamilan. Leukoaglutinin ditujukan
langsung terhadap antigen di monosit, granulosit, dan limfosit. Reaksi febril
dapat terjadi setelah aktivasi komplemen melalui produksi komponen C5a, yang
menginduksi produksi IL-1 oleh makrofag dan monosit. Hipotalamus memulai
sintesis prostaglandin, yang mencetuskan efek piogenik IL-1.
Reaksi transfusi febril nonhemolitik biasanya menyebabkan peningkatan suhu
tubuh 1°C atau lebih terkait transfusi darah atau komponen darah dan tanpa
penjelasan lain untuk terjadinya peningkatan suhu tubuh. Oleh karena itu, untuk
membuat diagnosis FNHTR, penyebab lain dengan tanda dan gejala serupa
harus dieksklusi. Gejala yang ditunjukkan oleh pasien yaitu demam dan
hipotensi .
Dahulu, leukoaglutinin diduga sebagai faktor utama pada FNHTR, namun
kemaknaannya menurun seiring dengan diperkenalkannya alat untuk reduksi
leukosit. Kontaminasi sitokin inflamasi pada TC, seperti IL-1, IL-6, IL-8, atau
TNF-alfa telah dibuktikan berhubungan dengan alat dalam hal presipitasi reaksi

6
ini. Sitokin tersebut dapat terakumulasi dengan konsentrasi tinggi dalam TC
simpan, dan kadarnya bergantung pada keberadaan leukosit kontaminan. Filtrasi
TC sebelum penyimpanan dapat secara dramatis mengurangi jumlah leukosit
kontaminan dan sitokin inflamasi. Reaksi transfusi tetap terjadi setelah transfusi
TC yang telah direduksi leukosit, sehingga mungkin masih ada patomekanisme
lain selain adanya sitokin inflamasi yang berasal dari leukosit, yang juga dapat
terlibat dalam FNHTR. Namun, FNHTR telah diidentifikasi sebagai alasan
utama dikerjakannya reduksi leukosit secara universal sebelum penyimpanan).
Manajemen FNHTR adalah menghentikan tranfusi segera, simptomatik
diberikan antipiretik, atau miperidin bila terdapat kondisi menggigil. Demam
maupun menggigil pada kondisi FNHTR bersifat self-limited, dan akan
menghilang sendiri tanpa terapi apapun.
3. Reaksi Transfusi Alergi
Reaksi akut terhadap konstituen plasma dapat diklasifikasikan menjadi alergi,
anafilaktoid, atau anafilaktik. Reaksi alergi terhadap komponen yang tidak
diketahui dalam darah donor sering terjadi, biasanya karena alergen dalam
plasma donor, atau kadang karena antibodi dari donor yang alergi. Antibodi IgE
terfiksasi dengan sel mast dan basofil, yang menyebabkan pelepasan histamin
dan amin vasoaktif. Reaksi biasanya ringan yaitu urtikaria, edema, kadang
pusing, dan sakit kepala saat atau segera setelah transfusi. Kadang, dapat terjadi
dispneu, mengi, dan inkontinensia, menunjukkan spasme otot polos secara
menyeluruh. Kadang, anafilaksis juga dapat terjadi. Pada pasien dengan riwayat
alergi atau reaksi transfusi alergi, antihistamin dapat diberikan untuk profilaksis
tepat sebelum atau pada awal transfusi. Obat tidak boleh dicampur dengan
darah. Jika reaksi alergi terjadi, transfusi dihentikan dan diberikan antihistamin
untuk mengendalikan kasus yang ringan. Untuk reaksi yang lebih berat,
epinefrin harus diberikan. Kortikosteroid kadang dibutuhkan, dan dimulai
investigasi terhadap reaksi transfusi. Transfusi lebih lanjut tidak boleh terjadi
sampai investigasi selesai. Dalam reaksi berat, harus diberikan sel darah merah
cuci atau beku dengan degliserolisasi.
4. Reaksi Transfusi Anafilaktik

7
Reaksi anafilaktik jarang terjadi, ditemukan pada pasien dengan defisiensi IgA
dan telah memiliki antibodi anti-IgA. Produksi antibodi IgA dapat terjadi
setelah imunisasi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan, dan sejumlah
pasien mungkin memiliki antibodi tersebut tanpa paparan yang diketahui
sebelumnya. Defisiensi IgA adalah yang paling sering dari semua defisiensi
selektif terhadap imunoglobulin serum. Reaksi transfusi anafilaktik IgA
diperkirakan terjadi pada 1 dari 20.000-47.000 transfusi. Tanda dan gejala
reaksi ini memiliki onset dramatis dan cepat dan muncul tiba-tiba setelah
paparan terhadap protein IgA seringkali sebelum 10 mL plasma dimasukkan.
Gejala dapat meliputi mual, kram abdomen, muntah, dan diare. Hipertensi
sementara dapat diikuti oleh hipotensi, syok, dan penurunan kesadaran. Tidak
adanya demam membedakan reaksi anafilaktik dengan reaksi segera lainnya .
Diagnosis reaksi transfusi anafilaktik ditegakkan dengan menunjukkan
antibodi IgA dalam serum pasien. Passive hemagglutination assays (PHA) dapat
digunakan untuk mendeteksi darah plasma yang defisien IgA dimana komponen
yang mengandung plasma ditransfusikan untuk mencegah reaksi transfusi
anafilaktik pada resipien prospektif yang berisiko karena adanya antibodi IgA.
Menghindari paparan terhadap IgA diwajibkan pada pasien yang telah
terimunisasi sebelumnya. Jika dicurigai terjadi reaksi anafilaktik, transfusi harus
segera dihentikan dan jalur intravena dibiarkan tetap terbuka dengan salin
normal. Epinefrin harus segera diberikan pada semua kasus berat,
kortikosteroid, atau keduanya juga dapat diberikan.
5. Reaksi Paru Nonkardiogenik
Reaksi paru nonkardiogenik yang juga dikenal sebagai transfusion related
acute lung injury (TRALI) jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang
mengancam nyawa dari suatu terapi transfusi. Gambarannya mirip dengan
ARDS namun dengan prognosis yang jauh lebih baik. Dilaporkan angka
kematian 5-10%, dibanding 50-60% pada ARDS (19). Reaksi biasanya dimulai
6 jam setelah transfusi dengan tampilan edema paru berat, hipoksemia berat,
hipotensi, menggigil, dan demam. Penyebab kardiogenik dan penyebab
gangguan respirasi lain harus dieksklusi. Pada sebagian besar kasus, TRALI

8
membaik secara klinis dalam 48-96 jam setelah onset. Kadang TRALI muncul
sebagai komplikasi transfusi yang tidak dikenali. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis berupa overload sirkulasi atau yang lebih dikenal dengan
tranfusion-associated circulatory overload (TACO), sehingga terapi yag
diberikan juga tidak sesuai (Tabel 3) (2). Kondisi tersebut dihubungkan dengan
berbagai jenis transfusi komponen darah seperti whole blood, sel darah merah,
TC, dan granulosit, namun tidak demikian halnya dengan derivat plasma.
Preparasi imunoglobulin untuk penggunaan intravena belum pernah dilaporkan
sebagai penyebab TRALI. Granulosit dan atau antibodi HLAm terdapat dalam
darah donor, paling sering diimplikasikan sebagai penyebab TRALI.
Aloimunisasi terhadap antigen granulosit ditemukan pada sekitar 3% wanita
hamil, pada 7,7% donor wanita, dan sampai 78% resipien transfusi granulosit.
Antibodi HLA terdeteksi pada 7,8%, 14,6%, dan 26,3% donor dengan masing-
masing 0,1-2, dan 3 kehamilan atau lebih. Selama kehamilan, antibodi HLA
dapat terdeteksi pada 19,2% wanita.
primipara dan sampai 50% pada wanita multipara. Telah ditunjukkan dalam
studi terbaru bahwa TRALI dapat pula berhubungan dengan adanya agen
neutrophil-priming dalam darah simpan. Komplikasi TRALI disebabkan oleh
leukoaglutinasi dalam plasma donor yang menyebabkan aglutinasi dan
degranulasi leukosit resipien di dalam paru. Gejala respirasi akut muncul, dan
ronsen dada menunjukkan pola khas edema paru nonkardiogenik. Ini secara
khas merupakan masalah yang berhubungan dengan transfusi granulosit. Dua
mekanisme telah diajukan untuk reaksi ini. Pada salah satu dari mekanisme
yang diajukan, dikatakan bahwa leukoaglutinin donor dan leukosit resipien
menghasilkan agregat leukosit yang terjebak dalam mikrosirkulasi paru,
menyebabkan perubahan permeabilitas vaskuler. Pemberian konsentrat
granulosit menyebabkan leukoaglutinin resipien mengalami mengagregasi
granulosit yang ditransfusikan. Mekanisme kedua yang diajukan melibatkan
aktivasi komplemen dan produksi fragmen inflamasi komplemen C3a dan C5a.
fragmen komplemen menstimulasi pelepasan histamin dan serotonin dari
basofil jaringan dan platelet selain agregasi granulosit secara langsung.

9
Granulosit teragregasi menghasilkan emboli leukosit yang menyumbat dalam
sirkulasi mikrovaskuler paru. Meskipun transfusi granulosit direkomendasikan
pada pasien netropenia dengan infeksi bakteri yang tidak berespon terhadap
terapi antibiotik, adanya leukoaglutinin pada resipien dapat membuat transfusi
tersebut tidak efektif. Resipien transfusi granulosit sering menjadi
teraloimunisasi. Jika leukoaglutinin muncul, tidak boleh diberikan transfusi
granulosit kecuali granulosit dikumpulkan dari donor kompatibel HLA dan/atau
kompatibel antigen netrofil.
b. Reaksi Segera
1. Reaksi Transfusi Hemolitik Tipe Lambat
Reaksi transfusi hemolitik tipe lambat atau Delayed hemolytic transfusion
reaction (DHTR) adalah penghancuran darah atau komponen darah yang
ditransfusikan setelah interval dimana resipien menghasilkan respon imun
sekunder terhadap antigen asing. Reaksi ini dapat dilihat bersama dengan reaksi
transfusi serologis tipe lambat dimana sel darah merah yang ditransfusikan
tersensitisasi oleh antibodi yang baru terbentuk tanpa hemolisis klinis. Reaksi
hemolitik biasanya terjadi 3-10 hari setelah tranfusi. Terminologi delayed
serologic tranfusion reaction (DSTR) didefinisikan bila secara serologi antibodi
ditemukan, tanpa adanya bukti klinis adanya percepatan destruksi RBC (7).
Berbagai alloantibodi telah diimplikasikan sebagai penyebab DHTR antara lain
anti-U, anti-Dob , anti-Cob , Anti-M, antiP1, dan anti-Jsb.
Manajemen spesifik seringkali tidak diperlukan kecuali bila simptom anemia
jelas terlihat. Tindakan untuk mencegah DHTR adalah dengan melakukan
anamnesis lengkap yang mencakup transfusi sebelumnya, kehamilan,
transplantasi, dan reaksi transfusi. Pemeriksaan golongan darah dan skrining
harus dikerjakan pada semua pasien yang mungkin membutuhkan transfusi dan
mereka yang sebelumnya pernah ditransfusi. Unit antigen negatif harus
diberikan bagi pasien dimana sebelumnya terdeteksi antibodi yang bermakna
klinis namun tidak lagi terlihat saat ini.
2. Transfusion-Associated Graft-Versus-Host Disease

10
Pasien yang mengalami imunosupresi berat, seperti mereka yang menjalani
kemoterapi antikanker intensif, berisiko mengalami engraftment dan GVHD
aksidental saat mereka menjalani transfusi komponen darah, kondisi yang
dikenal sebagai TA-GVHD. Untuk mencegah komplikasi ini, rutin untuk
mengiradiasi komponen darah sebelum ditransfusikan, meskipun dosis iradiasi
minimum yang dibutuhkan masih belum pasti. GVHD biasanya disebabkan oleh
limfosit imunokompeten dari transplan sumsum tulang ke pasien
imunokompromais. Namun, bahkan limfosit viabel dalam jumlah kecil pada
transfusi darah atau komponen darah dapat terbagi secara spontan dan
menyebabkan GVHD pada pasien imunosupresi. Pencegahan dengan iradiasi
terhadap semua produk darah ditujukan untuk transfusi pada pasien yang
demikian. GVHD kadang dapat terjadi pada pasien imunokompeten jika mereka
mendapat darah dari donor yang homozigot untuk haplotipe HLA. (biasanya
keluarga dekat) dimana pasien tersebut heterozigot. Oleh karena itu dibutuhkan
iradiasi preventif jika darah donor diperoleh dari keluarga tingkat pertama. Hal
tersebut juga dibutuhkan jika memberi transfusi komponen HLA-matched,
eksklusi sel punca.
3. Purpura Pasca Transfusi
Purpura pascatransfusi adalah komplikasi yang terjadi akibat transfusi, yang
menyebabkan trombositopenia dramatis secara tiba-tiba yang terjadi dalam 5-10
hari setelah transfusi whole blood, sel darah merah, FFP, atau TC. Pasien yang
mengalami komplikasi ini telah memiliki antibodi anti-platelet saat kehamilan
atau transfusi sebelumnya. Transfusi berikutnya mencetuskan destruksi yang
dimediasi imun pada platelet pasien sendiri yang menyebabkan trombositopenia
berat dimana kadar platelet sering menurun sampai platelet spontan terjadi
dalam 2 minggu. Sementara itu, pasien dapat diterapi dengan kortikosteroid,
pertukaran plasma, imunoglobulin intravena dosis tinggi, dan transfusi platelet
negatif PlA1. Patologi pasti tidak diketahui dan telah diajukan beberapa
mekanisme. Karena perdarahan yang mengancam nyawa, diagnosis dan terapi
tidak boleh tertunda. Terapi terbaik adalah infus IgG intravena.
Trombositopenia merupakan penyebab utama morbiditas dan biaya perawatan

11
di rumah sakit setelah transplantasi sumsum tulang. Transfusi platelet pada
pasien tersebut sering dipersulit oleh pembentukan antibodi terhadap antigen
HLA kelas I pada resipien. Jika pasien tersebut menjadi refrakter terhadap
transfusi platelet HLA-matched, fenotipe antigen platelet resipien harus
diketahui untuk memastikan bahwa platelet donor akan kompatibel secara
fenotipe.

B. Non-immunological
a. Reaksi cepat
1. Trandfusion ralate bacteria contamination
Sumber terjadinya kontaminasi bakteri dapat berasal dari kulit pendonor yang kurang
aseptis, bakterimia donor dan pengolahan produk darah.4 Selain itu, kondisi
penyimpanan TC pada suhu 20-24°C, proses pengolahan pada kantong berpori dengan
proses agitasi, serta adanya tambahan pengawet pada kantong penyimpan TC dapat
menjadi sumber energi bagi bakteri sehingga pertumbuhan bakteri kontaminan semakin
baik.5 Kasus kontaminasi bakteri memiliki resiko infeksi menular lewat transfusi darah
yang lebih tinggi daripada infeksi virus.
Selain itu, kontaminasi bakteri merupakan penyebab kematian nomor dua akibat
resiko transfusi sepsis bakteri. 7 Hal ini berkaitan juga dengan pasien yang menerima
transfusi TC memiliki kondisi immunosupresi. Penelitian sebelumnya menunjukan
bahwa sebanyak 9,2% dari 196 produk darah diketahui terkontaminasi bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif.8 Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat
bakteri Staphylococcus, Bacillus sp., Pseudomonas, Streptococcus peumoniae, dan
Pseudomonas aeruginosa pada produk darah yang disimpan. Lebih dari 50% bakteri
yang terdeteksi pada produk darah TC adalah bakteri gram positif dapat menyebabkan
reaksi transfusi, sedangkan kontaminasi bakteri gram negatif biasanya lebih sedikit
namun apabila terjadi kontaminasi bakteri gram negatif memiliki resiko transfusi
sampai pada kematian.
2. Tranfusion-associated circulatory overload (TACO)
kelebihan cairan dalam sistem peredaran darah (hipervolemia) dalam waktu 12
jam setelah transfusi. Gejala TACO dapat mencakup sesak napas (dispnea),

12
kadar oksigen darah rendah (hipoksemia), pembengkakan kaki (edema perifer),
tekanan darah tinggi (hipertensi), dan detak jantung tinggi (takikardia
Hal ini dapat terjadi karena transfusi yang cepat dari sejumlah besar darah tetapi
juga dapat terjadi selama transfusi sel darah merah tungga
b. Reaksi Lambat
1. Iron Overload
Penumpukan zat besi berlebih dalam tubuh atau iron overload merupakan
komplikasi utama akibat transfusi darah jangka panjang pada pasien dengan
thalassemia. Setiap 1 ml packed red cells mengandung 1 mg zat besi. Zat besi
tidak dapat dikeluarkan dari tubuh secara fisiologis, sehingga transfusi berulang
menyebabkan deposit zat besi dalam organ tubuh, yang dimulai dari hepar,
diikuti organ endokrin, dan jantung. Organ lain yang dapat mengalami deposit
zat besi yaitu otak dan pankreas.
Hemosiderosis pada jantung menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan thalassemia.
Hemosiderosis hepar menyebabkan fibrosis, sirosis, hingga karsinoma
hepatoselular. Hemosiderosis juga dapat terjadi pada organ endokrin, sehingga
menyebabkan penurunan fungsi endokrin secara progresif, sehingga
menyebabkan gangguan seperti hipotiroid, hipoparatiroid, defisiensi growth
hormone, hipogonadisme, dan pubertas terhambat. MRI merupakan
pemeriksaan pencitraan standar untuk memeriksa jaringan yang mengalami
penumpukan zat besi. Pemeriksaan dapat mulai dilakukan pada anak usia >10
tahun, atau lebih cepat pada kasus penumpukan zat besi yang berat

2.4 Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi Darah

1. Kategori 1 : Reaksi Ringan

 Ditandai dengan reaksi kulit yang terbatas yaitu urtikaria atau ruam.
 Gejalanya adalah pruritus atau gatal-gatal dengan kemungkinan penyebab
hipersensitivitas (ringan).

Penatalaksanaan segera:

13
Perlambat transfusi.

Suntikkan antihistamin intarmuskular (misalnya klorfeniramin 0,1 mg/kg atau preparat

yang ekuivalen).
 Jika dalam waktu 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda dan gejalanya
memburuk, lakukan penanganan seperti kategori 2.

1. Kategori 2 : Reaksi yang cukup berat

 Ditandai dengan flusing, urtikaria, rigor, febris, gelisah dan takikardia.


 Gejalanya adalah kecemasan, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan sakit kepala.
 Kemungkinan penyababnya hipersinsitivitas (sedang-berat); reaksi transfusi febris non
hemolitik (antibodi terhadap sel darah putih atau trombosit, antibodi terhadap protein
termasuk Ig A) ; kemungkinan kontaminasi dengan pirogen dan/atau bakteri.

Penatalaksanaan segera:

 Hentikan transfusi, ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus agar tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
 Beritahukan segera pada dokter yang merawat pasien dan bank darah.
 Kirimkan unit darah dengan set transfusinya, urin harus diambil dan sampel darah baru
(satu sampel yang dibekukan dan satu lagi diberi antikoagulan) diambil dari pembuluh darah
vena yang berlawanan dengan tempat infus. Pengiriman ini bersama formulir permintaan
yang sesuai dari bank darah untuk pemeriksaan laboratorium.
 Suntikkan antihistamin intarmuskular (misalnya klorfeniramin 0,1 mg/kg atau preparat
yang ekuivalen) dan berikan preparat antipiretik oral atau rektal (misalnya parasetamol 10
mg/kg : 500 mg – 1 g pada pasien dewasa). Hindari pemakaian aspirin pada pasien yang
mengalami trombositopenia.
 Suntikan preparat kortikosteroid dan bronkodilator secara IV jika timbul gejala
anafilaktis (misalnya bronkospasme, stridor).
 Kumpulkan urin selama 24 jam berikutnya untuk bukti hemolisis dan kirimkan sampel
urin tersebut ke laboratorium.
 Jika terjadi perbaikan klinis, mulailah kembali transfusi secara perlahan-lahan dengan
unit darah yang baru dan lakukan observasi yang cermat.
 Jika tidak terjadi perbaikan dalam waktu 15 menit atau jika tanda dan gejalanya
bertambah, lakukan penanganan seperti kategori 3.

2. Kategori 3 : Reaksi yang mengancam jiwa pasien

 Ditandai dengan rigor, febris, gelisah, hipotensi (penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 20 %), takikardia (kenaikan frekwensi jantung sebesar 20%), hemoglobinuria (urin
berwarna merah), perdarahan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (DIC).
 Gejalanya adalah kecemasan, nyeri dada, nyeri di dekat tempat transfusi, gawat
pernafasan/ sesak nafas, nyeri pada pinggang/punggung, sakit kepala, dipsnea.
 Kemungkinan penyebabnya adalah hemolisis akut intravaskular, kontaminasi bakteri dan
syok septik, kelebihan muatan cairan, anafilaksis, cidera paru akut yang berkaitan dengan
cidera.

14
Penatalaksanaan segera :

 Hentikan transfusi, ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus agar tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
 Berikan infus larutan salin normal (dosis inisial 20 – 30 ml/kgBB) untuk
mempertahanankan tekanan darah sistolik. Jika pasien mengalami hipotensi, berikan infus
tersebut selama lima menit dan tinggikan kedua tungkai pasien.
 Pertahankan saluran nafas pasien dan berikan oksigen dengan kecepatan aliran yang
tinggi lewat masker oksigen.
 Suntikan adrenalin (dalam bentuk larutan 1 : 1000) dengan takaran 0,01 mg/kgBB secara
intramuskular.
 Suntikan preparat kortikosteroid dan bronkodilator secara IV jika timbul gejala
anafilaktis (misalnya bronkospasme, stridor).
 Berikan preparat diuretik: misalnya furosemid 1 mg / kgBB IV atau preparat yang
ekuivalen.
 Beritahukan segera pada dokter yang merawat pasien dan bank darah.
 Kirimkan unit darah dengan set transfusinya, urin yang harus diambil dan sampel darah
baru (satu sampel yang dibekukan dan satu lagi diberi antikoagulan) yang diambil dari
pembuluh darah vena yang berlawanan denban tempat infus. Pengiriman ini bersama
formulir permintaan yang sesuai dari bank darah untuk pemeriksaan laboratorium.
 Lakukan pengecekan terhadap spesimen urin yang baru untuk menemukan tanda-tanda
hemoglobinuria.
 Mulai pengumpulan urin 24 jam dan mengisi kartu keseimbangan cairan serta mencatat
semua asupan serta keluaran urin.
 Pertahankan keseimbangan cairan.
 Perhatikan perdarahan yang terjadi pada tempat tusukan atau luka. Jika terdapat bukti
klinis atau laboratorium yang menunjukkan koagulasi intravaskular disseminata (DIC),
berikan preparat konsentrat trombosit (disis dewasa 12 unit) atau plasma beku segar (dosis
dewasa 3 unit).
 Lakukan pengakajian ulang, jika pasien dalam keadaan hipotermia:
 Ulangi pemberian infus larutan salin dengan takaran 20 – 30 ml / kgBB dalam waktu 5
menit.
 Berikan inotrope jika preparat ini tersedia.
 Jika keluaran urinnya menurun atau pemeriksaan laboratorium membuktikan adanya
gagal ginjal akut (kadar kalium, ureum dan kreatinin meningkat):
 Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.
 Ulangi suntikan furosemid.
 Pertimbangkan pemberian dopamin jika preparat ini tersedia.
 Mintalah bantuan dokter spesialis karena pasien mungkin memerlukan dialisis renal.
 Jika terdapat kecurigaan bakterimia (gejala rigor/menggigil, febris, kolap tanpa adanya
bukti reaksi hemolitik), mulailah menyuntikan antibiotik berspektrum luas secara IV.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terdapat perbedaan kebutuhan transfusi antara pra-splenektomi dan pasca


splenektomi berdasarkan jenis hipersplenisme dan genotip pasien. Kebutuhan transfusi
pasca splenektomi lebih sedikit apabila splenektomi dianjurkan pada keadaan
hipersplenisme dini dan kasus thalassemia
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk dari satu
orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Komponen darah terdiri dari sel darah
dan plasma, sehingga dengan adanya komponen yang beragam tersebut maka sediaan
transfusi pun dibuat beragam untuk memenuhi kebutuhan pasien melalui pengolahan
darah dari pendonor secara maksimal.
Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat
dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang
dapat terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-
komponen darah merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan
tujuan utama transfusi yaitu memelihara dan mempertahankan kesehatan donor,
memelihara keadaan biologis darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara
dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas
peredaran darah).
mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan
oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis. Dan selalu memperhatikan segala
reaksi transfusi yang terjadi pada pasien.

3.2 Saran
Analis teknisi atau tenaga medis bank darah harus mengetahui segala sesuatu terkait
reaksi transfusi yang terjadi pada saat melakukan donor darah maupun tranfusi darah.
selanjutnya penulis diharapkan bisa mengembangkan sendiri mengenai tenaga medis.
16
DAFTAR PUSTAKA

Sri Ratna Suminar, Analisis Hukum Terhadap Pemberian Transfusi Darah Di Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Saki, FH.UNISBA. VOL.
XIII, NO 3 November 2011

Smith-Temple, jean, dkk.(2010). Buku saku prosedurklinis keperawatan edisi 5. Jakarta: EGC
Grujić Jasmina, Gulan Zdravko, Budakov Zorana.2012. Značaj hemovigilansa i prijave
transfuzione reakcije u komponentnoj terapiji

Bobby Rojas 1 , Irza Wahid2. 2020. TERAPI TRANSFUSI DARAH


LEUKODEPLETEDPADA PASIEN THALASSEMIA. Volume 5;No.2.

Nining Ratna Ningrum 1), Gina Khairinisa1. 2022. : Jurnal Ilmiah Analis Kesehatan Vol. 8
No.1.
Gambaran Hematologi Pada Komponen PRC Buffy Coat Removed dan Washed Red Cel.

D. T. Sadani,S. J. Urbaniak,M. Bruce,J. E. Tighe. 2006. Transfusion Medicine Volume 16,


Issue 5. Repeat ABO-incompatible platelet transfusions leading to haemolytic
transfusion reaction.
a
Devina Esmeralda, Laporan kasus berbasis bukti Efektivitas Premedikasi untuk Pencegahan
Reaksi Transfus. Novie Amelia Chozie. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.\

Abd. Halim, 2022 Program Studi Teknik Informatika Program Magister Fakultas Teknologi
Industri Universitas Islam Indonesia , Prediksi Risiko Terjadi Reaksi Transfusi: Pelaksanaan
Hemovigilance Pada Bank Darah Rumah Sakit (BDRS), Tesis.

Sharon G.ChildsMS, APRN-BC, CS, ONC, CEN, December 2002, Journal of PeriAnesthesia
Nursing. Tension pneumothorax: A pulmonary complication secondary to regional anesthesia
from brachial plexus interscalene nerve block.

17
Weinstein R. Clinical practice guide on red blood cell transfusion. Ann Intern Med 2012;157:49-
58. 15.

Wang JS, Sackett DJ, Yuan YM. Randomized clinical controlled cross-over trial (RCT) in the
prevention of blood transfusion febrile reactions with small dose hydrocortisone versus anti-
histamines (abstrak). Zhonghua Nei Ke Za Zhi 1992;31:536-8

18

Anda mungkin juga menyukai