KELOMPOK V
1.AGIL (PO.7120120005)
2.ISMAIL (PO.71201200020)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “memasang dan memonitor
transfusi darah dan pemberian obat sesuai program ”ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas “Dr.
Andi Fatmawati,M.Kep.,Ns.Sp.Kep.An.” mata kuliah keperawatan anak, makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan tentang “memasang dan monitor transfusi darah dan
pemberian obat sesuai program” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andi
Fatmawati,M.Kep.,Ns.Sp.Kep.An selaku dosen mata kuliah keperawatan anak yang telah
memberi tugas ini sehingga dapat menambah wawasan tentang konsep penanggulangan
pasien gawat darurat sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni
kami menyadari, makalah yang saya tulis ini jauh dari kata sempurna . oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan semi kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................I
A. Latar Belakang…..............................................................................................................2
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................3
C. Tujuan................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
BAB III.PENUTUP..............................................................................................................13
A. KESIMPULAN........................................................................................................14
B. SARAN.....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah
seperti plasma, sel darah merah, atau trombosit melalui jalur IV (Potter,
2005).Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan klien terhadap darah sesuai
dengan program pengobatan. Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk
menangani pasien anemia berat, pasien dengan kelaian darah bawaan, pasien yang
mengalami kecederaan parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah
operatif dan pasien yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang
mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah
sebagaimana mestinya. Pada negara berkembang, transfusi darah juga diperlukan
untuk menangani kegawatdaruratan melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang
berujung pada anemia berat (WHO, 2007). Tanpa darah yang cukup, seseorang dapat
mengalami gangguan kesehatan bahkan kematian. Oleh karena itu, tranfusi darah
yang diberikan kepada pasien yang membutuhkannya sangat diperlukan untuk
menyelamatkan jiwa.
Angka kematian akibat dari tidak tersedianya cadangan tranfusi darah pada
negara berkembang relatif tinggi. Hal tersebut dikarenakan ketidakseimbangan
perbandingan ketersediaan darah dengan kebutuhan rasional. Di negara berkembang
seperti Indonesia, persentase donasi darah lebih minim dibandingkan dengan negara
maju padahal tingkat kebutuhan darah setiap negara secara relatif adalah sama.
Indonesia memiliki tingkat penyumbang enam hingga sepuluh orang per 1.000
penduduk. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan sejumlah negara maju di
Asia, misalnya di Singapura tercatat sebanyak 24 orang yang melakukan donor darah
per 1.000 penduduk, berikut juga di Jepang tercatat sebanyak 68 orang yang
melakukan donor darah per 1.000 penduduk (Daradjatun, 2008).
Indonesia membutuhkan sedikitnya satu juta pendonor darah guna memenuhi
kebutuhan 4,5 juta kantong darah per tahunnya. Sedangkan unit transfusi darah
Palang Merah Indonesia (UTD PMI) menyatakan bahwa pada tahun 2008 darah yang
terkumpul sejumlah 1.283.582 kantong. Hal tersebut menggambarkan bahwa
kebutuhan akan darah di Indonesia yang tinggi tetapi darah yang terkumpul dari donor
4
darah masih rendah dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk
menjadi pendonor darah sukarela masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa kendala misalnya karena masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang
masalah transfusi darah, persepsi akan bahaya bila seseorang memberikan darah
secara rutin. Selain itu, kegiatan donor darah juga terhambat oleh keterbatasan jumlah
UTD PMI di berbagai daerah, PMI hanya mempunyai 188 unit tranfusi darah (UTD).
Mengingat jumlah kota/kabupaten di Indonesia mencapai sekitar 440.
Di rumah sakit, banyak terdapat pasien dengan perdarahan baik karena
kecelakaan maupun post operasi, dalam keadaan seperti ini tentunya pasien
membutuhkan darah untuk memenuhi kebutuhan darah. Tindakan untuk memenuhi
kebutuhan darah ini dipenuhi dengan transfusi darah, dan sebagai seorang perawat
kita sangat berperan dalam pemberian transfusi darah. Oleh karena itu, kemampuan
perawat dalam pemberian transfusi darah perlu ditingkatkan.
Dari penjabaran di atas, menjadi latar belakang kami untuk menyusun
makalah yang berjudul “Transfusi Darah”. Dengan harapan makalah ini dapat
memberikan pengetahuan tentang transfusi darah.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari transfusi darah?
2. Apakah indikasi pemberian transfusi darah?
3. Bagaimakah penggolongan darah pada pasien transfusi darah?
4. Bagaimana proses pengambilan darah donor?
5. Bagaimana pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah donor?
6. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah?
7. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah?
8. Apa saja langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan kesalahan
identifikasi transfusi darah?
9. Bagaimanakah persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah?
10. Bagaimanakah persiapan alat dalam pemberian transfusi darah?
11. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari transfusi darah.
2. Untuk mengetahui indikasi pemberian transfusi darah.
3. Untuk mengetahui penggolongan darah pada pasien transfusi darah.
4. Untuk mengetahui proses pengambilan darah donor.
5
5. Untuk mengetahui pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah
donor.
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah.
7. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah.
8. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan
kesalahan identifikasi transfusi darah.
9. Untuk mengetahui persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah.
10. Untuk mengetahui persiapan alat dalam pemberian transfusi darah.
11. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
b. Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan
kadar hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.
c. Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi
pengganti (misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu
mengontrol perdarahan pada klien penderita hemofilia).
8
Transfuse pada defisiensi besi saja akan menjadi mahal, dan dapat berbahaya
karena meningkatnya kadar hemoglobin, yang sebenarnya dapat meningkat
sekitar 10 g/l/minggu dengan pengobatan peroral yang adekuat, jika tidak
terdapat penyakit lain.
e) Anemia megaloblastik—Transfusi harus dihindarkan pada penderita ini,
karena dapat mencetuskan gagal jantung dan kematian karena peningkatan
tegangan pada jantung.
f) Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun—Kadang – kadang
penderita penykit keganasan, arthritis rheumatoid, atau proses radang
menahun tidak merespon terhadap hematinik, sehingga membutuhkan
transfuse darah.
g) Gagal ginjal—anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharunya
diobati dengan transfusi sel darah merah maupun dengan eritropoietin manusia
rekombinan.
h) Gagal sumsum tulang—penderita gagal sumsum tulang karena leukemia,
pengobatan sitotoksin, atau infiltrasi keganasan akan membutuhkan buka saja
sel darah merah, namun juga komponen darah yang lain.
i) Penderita yang tergantung transfusi—penderita sindrom talasemia berat,
anemia aplastik, dan anemi sideroblastik membutuhka tansfusi secara teratur
setiap empat sampai enam minggu, sehingga mereka mampu menjalani
kehidupan yang normal-bagi anak-anak, dan petumbuhan yang normal.
j) Penyakit sel bulan sabit—beberapa penderita penyakit ini juga membutuhkan
transfusi secara teratut, terutam setelah stroke, karena “sindrom dada”
berulang yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan. Pemilohan sel darah
merarh pada penderita bukan keturunan eropa bagian utara, memerlukan
penyaring tambahan terutama pada antigen Kell, dan semua antigen Rh.
Beberapa penderita penyakit sel bulan sabit membutuhkan transfusi pengganti
pada kedaruratan seperti hipoksia berat, stroke, priapisme. Tujuanya untuk
mengurangi jumlah hemoglobin S sampai kurang daripada 20% total, sambil
secara bertahap meningkatkan kadar hemoglobin total menjadi 120-145 g/I.
k) Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk transfusi
pengganti, jika neonatus mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia.
2. Indikasi lain untuk transfusi pengganti mencangkup beberapa kasus tertentu
malaria berat karena plasmodium falciparum dan septicemia meningokokus.
9
Hemolisis diperantarai imunitas—penderita penyakit ini tidak boleh dibiarkan
menjadi rentan terhadap anemia berat. Walaupun demikian seleksi dan uji unit sel
dara merah sebelum tranfusi tidak boleh dilaksanakan tanpa anjuran ahli
hemtologi.
3. Indikasi pemberian transfusi darah antara lain :
a) Untuk memberikan volume darah yang adekuat.
b) Mencegah syok hemoragik.
c) Meningkatkan kapasitas pembawaoksigen darah.
d) Megganti trombosit atau faktor pembeku darah untukpertahankan hemostatis.
C. Penggolongan darah
Menentukan golongan darah seseorang tidak diperlukan biaya yang besar dan
relatif mudah karena hanya memerlukan beberapa tetes dari sampel darah. Sebuah
serum anti-A dicampur dengan satu atau dua tetes sampel darah. Serum lainnya
dengan anti-B dicampurkan pada sisa sampel. Penilaian dilakukan dengan
memperhatikan apakan ada penggumpalan pada salah satu sampel darah tersebut.
Sebagai contoh, apabila sampel darah yang dicampur serum anti-A tersebut
menggumpal namun tidak menggumpal pada sampel darah yang dicampur serum anti-
B maka antigen A ada pada sampel darah tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa sampel darah tersebut diambil dari orang dengan golongan darah A.
Berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka golongan darah manusia
dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang dengan Rh-
positif (Rh+), berarti darahnya memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi
positif atau terjadi penggumpalan eritrosit pada waktu dilakukan tes dengan anti-Rh
(antibodi Rh). Kelompok satunya lagi adalah kelompok orang dengan Rh-negatif
(Rh), berarti darahnya tidak memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi
negatif atau tidak terjadi penggumpalan saat dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi
Rh).
Sebaliknya, alasan untuk pengujian sel darah merah resipien karena adanya
antibody Rh adalah karena antigen D sangat imunogenik; secara kasar 90% golongan
Rh negative ditranfusikan dengan satu atau lebih dari satu unit darah Rh positif akan
menimbulkan anti-D. Antibodi Rh imun akan menghancurkan sel darah Rh positif dan
dapat menyebabkan reaksi transfusi hemolitik, demikian pula dengan penyakit
hemolitik pada neonatus dapat menyebabkan kematian. Jadi, penting sekali bahwa
10
wanita usia subur menerima darah yang digolongkan Rh-nya sebelum tranfusi.
Wanita dengan Rh negative harus ditransfusikan hanya dengan darah negative Rh.
11
Tabel Perbandingan Komponen Sel Darah Merah
No. Masa
Bentuk Darah Indikasi Keterangan
Simpan
1 Darah lengkap 1. Perdarahan 21 hari
2. Anemia
3. Renjetan
oligonemik
4. Kelainan darah
seperti anemia
aplastik
2 Eritrosit Anemia kronis dimana 21 hari Khususnya untuk
terkonsentrasi volume sirkulasi tidak pasien jantung,
bertambah anemia berat, sepsis,
pasien sangat muda
ataupun sangat tua.
12
plasma
4. Pasca
transplantasi
organ
5. Pasien dengan
defisiensi
imunitas
6 Eritrosit beku Sama seperti indikasi 6 jam Pembuatan mahal
untuk eritrosit cucian setelah
dicairkan
7 Plasma kering 1. Untuk 8 tahun Umur 3 jam setelah
meningkatkan dicairkan
volume sirkulasi
2. Luka bakar
8 Plasma beku Defisiensi faktor Harus segera dipakai
segar pembekuan seperti setelah dicairkan
hemofilia, pasca
transfusi masif,
kelebihan dosis
coumarin dan
antikoagulan inda ndion
9 Konsentrasi fraksi Sama dengan indikasi 2 tahun Tidak mengandung
protein plasma kering fibrinogen
10 Albumin Hipoalbuminemia 3 jam
setelah
preparasi
11 Fibrinogen Afibrinogenemia 3 jam
setelah
preparasi
12 Kripresipitat Defisiensi faktor VII
13 Faktor VIII Hemofilia 3 jam
kering setelah
preparasi
13
14 Konsentrat Trombositopenia 2-3 hari
trombosit karena berbagai macam
sebab
14
Jelasnya bahwa para donor yang berisiko terhadap penyakit infeksi harus didorong
agar tidak menyumbangkan darahnya (Depkes RI, 2001).
15
c. Volume pendonoran tidak boleh melebihi 13% volume perkiraan darah, untuk
mencegah serangan vasovagal. Kantong pengumpulan di rancang dengan isi
antara 405 dan 495 (rata-rata 450 ml) ml darah , dengan berat badan minimum
47 sampai 50 kg, kecuali pendonoran yang sedikit dapat dimasukkan kedalam
kemasan yang sesuai.
d. Kemungkinan akibat buruk selama atau setelah pendonoran- Kadang- kadang
donor pertama kali menjadi pingsan. Walaupun pingsan seperti itu tidak
berkomplikasi, namun sang donor dapat mengalami akibat buruk- Sebagai
contoh, jika keadaan itu terjadi lama kemudian, dan donor telah
meninggalkan ruang perawatan. Keadaan pingsan yang berat merupakan
kontraindikasi donor selanjutnya. Pertimbangan paling utama adalah
menghindari agen infektif yang menular, biasanya melalui kombinasi kriteria
ketat untuk penyelsaian donor dan penggunaan uji penyaringan laboraturium.
e. Obat dan penyakit lainnya. Obat yang berada dalam aliran darah donor dapat
menimbulkan efek merugikan resipien. Dengan minum obat tertentu berarti
bahwa ada penyakit yang diderita, yang dengan sendirinya menjadi alasan
untuk mencegah donor. Penderita penyakit menahun dan penyakit yang tidak
diketahui etiologinya dilarang mendonorkan darahnya. Keganasan juga
kontraindikasi, walaupun kekecualian mungkin dapat dilakukan jika terdapat
kasus lesi invasive setempat yang telah diobati dengan baik dan tidak berulang
setelah tindak lanjut yang adekuat (sebagai contoh, ulkus roden atau
karsinoma serviks in situ).
16
sekali reaksi efek samping dari transfusi yang pada akhirnya harus ditanggung oleh
klien. Komplikasi reaksi transfusi darah, yaitu:
1. Reaksi hemolitik
Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi
hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-
imun (non-immune mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh
proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion
reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion
reaction, DHTR), sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau
setelah transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik (pseudo-hemolytic
transfusion reaction)
a. Reaksi hemolitik akut
Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan
masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat
cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan
dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah
resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi
whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi
fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII
nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000. Reaksi
hemolitik ini adalah reaksi transfusi yang paling berat yang berhubungan
dengan inkompatibilitas ABO. Inkompatibilitas ABO dapat terjadi akibat
antibodi yang didapat secara alami bereaksi melawan antigen dari transfusi
(asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis
intravascular. Manifestasi klinis yang dapat terjadi akibat inkompatibilitas
ABO antala lain demam, menggigil, kemerahan, nyeri pada punggung bagian
bawah, takikardi dan hipotensi, kolaps pembuluh darah sampai henti jantung.
b. Reaksi hemolitik lambat
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi
tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO
lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak
dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi
antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3
sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6.000 sampai 33.000.
17
DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular,
namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang
mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang
berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang
telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit
donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen,
maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan
dihancurkan di limpa.
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah
transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit,
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan
dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak
memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT
yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria
dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi
pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk
kondisi penyakit.
c. Reaksi Pseudohemolitik
Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik
lain yang terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan,
yang bukan merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama
dengan reaksi hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat
berhubungan dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi
pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada
pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif. Beberapa reaksi
pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
sebagai berikut:
Trauma suhu
Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu
panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan
temperatur melebihi 40°C karena suhu tinggi dapat menyebabkan
kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah viskositas,
ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan
18
osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari
sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR.
Standar darah yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar
38°C).
Paparan darah pada temperatur kurang dari 10°C per menit
tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan
trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur
lebih dari 10°C per menit akan mengakibatkan kerusakan pada
membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin,
reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini
dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.
Trauma osmotik
Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik
yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat.
Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang
lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi.
Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini,
cairan harus tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit,
harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan
albumin 5%.
Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan
beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam
salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%.
Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab
kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa
sitrat yang merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan
darah di dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan
sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian cairan
hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular
Trauma mekanik
Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses
transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati
19
jarum yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya
penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh
trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung,
pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau
cytapheresis. Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma
mekanik mirip dengan AHTR
Kontaminasi mikroba
Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari
donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses
transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk dapat hidup pada
kondisi tersebut merupakan faktor risiko terjadinya reaksi hemolitik
dan sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta
kasus pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah
tidak dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat
terjadi jika unit kantong darah mengandung partikel atau bekuan darah,
ada perubahan warna dan/atau ada udara.
Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi
mikroba dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam,
menggigil, hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun
kejadianny jarang, transfusi darah yang terkontaminasi protozoa
malaria dapat menunjukkan gejala demam dalam beberapa hari sampai
minggu seperti pada DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah
terkontaminasi mikroba saat diberikan, maka transfusi harus segera
dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi klinis pasien, evaluasi
kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat, dan diberitahukan
kepada UTD
Anemia hemolitik kongenital
Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik
kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan
AHTR atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital yang sering dijumpai
adalah akibat glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.
Pada defisiensi G6PD, eritrosit donor akan mengalami lisis jika
20
terpapar zat yang menyebabkan oxidant stress. Beberapa Zat yang
Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi G6PD15, antara lain:
o Acetanilid o Naphtalene
o Phenylhydrazine o Sulfapyridine
o Furazolidone o Niridazole
o Primaquine o Thiazolesulfone
o Isobutyl nitrite o Nitrofurantoin
o Sulfacetamide o Trinitrotoluene
o Nalidixic acid o Phenazopyridine
o Sulfamethoxazole o Urate Oxidase (TNT)
2. Reaksi infeksi
a. Hepatitis – Hepatitis A bukan penyakit yang dikaitkan dengan transfusi.
Uji untuk anti gen permukaan hepatitis B (HBsAg) selalu harus
dikerjakan. Sebagian besar kasus hepatitis non-A ,non-B disebabkan oleh
infeksi hepatitis C . Uji penyaringan anti bodi terhadap virus hepatitis C
(anti-HCF) di mulai di Inggris pada tahun 1991. Riwayat ikterus (hepatitis)
bukan indikator kemungkinan pembawa virus hepatitis yang dapat
diandalkan
b. Penularan malaria melalui transafusi sel darah merah merupakan masalah
yang dapat berakibat serius di Inggris. Pencegahan tergantung pada
wawancara dengan donor secara cermat,tentang perjalanan keluar negeri,
penundaaan pendonoran, oleh mereka yang baru saja mengunjungi daerah
endemis penyakit tertentu, dan dalam beberapa kasus, uji imunologis
untuk anti bodi malaria.
c. Virus imunodefisiensi manusia (HIV 1 dan 2) jarang ditularkan melalui
transfusi di Inggris, namun demikian tetap merupakan keprihatinan utama
masyarakat, walaupun penyaringan semua pendonoran telah dilakukan
sejak 1985. Uji gabungan untuk antibody terhadap HIV 1 dan 2 digunakan
pada penyaringan donor. Uji tersebut harus bersifat pelengkap, supaya
tidak mengambil darah dari mereka yang dicurigai telah berisiko terkena
infeksi, sehingga menghindarkan penggunaan darah yang didonorkan pada
21
saat stadium awal infeksi, ketika uji penyaringan laboratorium dapat
memberikan hasil negatif.
d. Sifilis lebih menimbulkan persoalan teoritis daripada masalah praktisnya,
dan donor tidak ditanyakan secara spesifik tentang infeksi yang terjadi
sebelumnya. Penyaringan rutin pendonoran darah masih terus dijalankan,
walaupun mungkin lebih berguna untuk deteksi orang-orang berisiko
infeksi penyakit akibat hubungan seks (termasuk HIV) daripada untuk
pencegahan penularan sifilis.
e. Agen infektif lain dapat menjadi bahaya bagi resipien tertentu, sebagai
contoh, sitomegalovirus pada penderita yang terimunosupresi.
Dindikasikan supaya penyaringan pendonoran secara selektif dilakukan
sebelum transfusi, karena riwayat kesehatan tidak membantu dalam
penyeleksian donor yang “aman”.
22
harus secara jelas diberikan label nama lengkap penderita, tanggal lahir, dan
nomer indeks rumah sakit.
3. Orang yang mengambil sample darah harus memastikan bahwa penderita telah
diidentifikasi secara tepat, baik dengan berbicara langsung dengan penderita atau
–jika penderita tidak sadar-dengan memeriksa gelang pergelangan tangan. Yang
ideal, jika tabung diberikan label setelah terisi dengan darah.
4. Tidak boleh ada penyimpangan antara informasi dalam formulir permintaan yang
terdapat pada tabung.
5. Bagi penderita dengan catatan bank darah sebelumnya, maka informasi mutakhir
harus identik dengan catatan yang lama.
6. Sistem manajemen transfusi darah berbasis komputer memberikan keuntungan
yang besar bagi dunia keperawatan pada umumnya dan bagi klien pada
khususnya. Dengan adanya sistem ini maka terjadinya kesalahan manusia (human
errors) dalam melakukan transfusi dapat dicegah dan keamanan transfusi bagi
klien dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa darah yang tepat untuk klien
yang tepat. Sistem ini dapat mengurangi terjadinya kesalahan manusia dalam
memberikan transfusi karena sistem ini mengurangi sejumlah prosedur manual
dalam beberapa langkah dari proses transfusi. Oleh karena itu kesalahan dalam
memberikan transfusi dapat dicegah sehingga efek samping yang dapat merugikan
klien akibat mistransfusi dapat dihindari.
I. Persiapan Pasien
Pastikan suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, supaya tidak terjadi lisis terhadap
darah yang akan ditransfusikan.
J. Persiapan Alat
Berikut merupakan alat-alat yang harus disiapkan dalam pemberian transfusi darah:
1. Transfusi set.
2. Cairan NaCl.
3. Persediaan darah yang sesuai dengan golongan darah klien, sesuai dengan
kebutuhan.
4. Sarung tangan bersih.
K. Prosedur Pelaksanaan
23
1. Beri tahu dan jelaskan prosedur kepada klien.
2. Bawa alat ke dekat klien.
3. Cuci tangan.
4. Pakai sarung tangan bersih.
5. Buat jalur intravena, gunakan selang infus yang memiliki filter dengan tipe-Y.
6. Berikan cairan NaCl terlebih dahulu, kemudian darahnya.
7. Atur tetesan darah per menit sesuai dengan program.
8. Lepas sarung tangan dan cuci tangan.
9. Bereskan alat-alat.
24
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas, Kami dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Transfusi darah merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada
klien yang membutuhkan darah dan atau produk darah dengan cara
memasukkan darah melalui vena dengan menggunakan set transfusi.
2. Indikasi dari transfusi darah adalah kebutuhan, untuk memberikan volume
darah yang adekuat, mencegah syok hemoragik, meningkatkan kapasitas
pembawa oksigen darah, megganti trombosit atau faktor pembeku darah
untukpertahankan hemostatis.
3. Pengolongan darah digolongkan berdasarkan sistem ABO, serta
memperhatikan Rh-nya.
4. Komponen sel darah merah digolongkan antara lain darah lengkap, darah
segar, konsentrat sel darah merah, konsentrat sel darah merah dalam
larutan aditif optimal, sel darah merah yang dicuci , sel darah merah beku
dan dicairkan.
5. Faktor-faktor yang memengaruhi transfusi darah yaitu golongan dan tipe
darah, reaksi transfusi, usia, frekuensi pendonoran, volume pendonoran,
dan penyakit menular.
6. Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik
yang disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang
disebabkan proses imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi
hemolitik lain yang bukan merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai
reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih
menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada AHTR transfusi harus
dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi dapat dihentikan atau
diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi
pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi
pseudo-hemolitik ini harus dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat
25
transfusi. Pada saat terjadi reaksi transfusi, juga harus dipikirkan apakah
gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan dengan proses hemolitik
atau nonhemolitik.
B. SARAN
Meningkatkan wawasan tentang komponen darah, prosedur pre transfusi dan saat
pemberian transfusi darah serta efek samping yang dapat muncul akibat mistransfusi
dengan cara mengkaji literature dan jurnal penelitian serta mengikuti kegiatan
seminar/workshop yang terkait, mengikuti perkembangan teknologi keperawatan dan
kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan, menerima dan mengimplementasikan
perkembangan teknologi yang baik pada tatanan nyata sehingga dunia keperawatan di
Indonesia dapat berkembang.
26
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., et. al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
27