Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TRANSFUSI DARAH

Disusun Oleh :
Nama : Ristiawini Ahmad
NIM : 11170005
Kelas : A7 Reguler

Dosen Pembimbing :

Ns. Nur Afni W. A. S.Kep., M.Kep.

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KESETIAKAWANAN SOSIAL INDONESIA

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puja dan Puji Syukur tercurahkan kepada ALLAH SWT karena atas
limpahan nikmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Dengan judul makalah “Transfusi Darah” . Makalah ini memberi perhatian yang besar terhadap
mata kuliah Keperawatan Medical Bedah. Sesuai dengan judul makalah ini, penguraian yang
disajikan dalam makalah ini cukup jelas, singkat dan terutama yang menekan yang berhubungan
dengan judul makalah tersebut.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami dan juga dapat menambah informasi serta
edukasi bagi saya selaku penyusun serta bagi siapa pun yang membacanya. Saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata dan penulisan yang kurang berkenan.

Akhir kata saya ucapkan terimakasih terutama kepada dosen pembimbing dan teman-
teman sekalian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

JAKARTA, 30 NOVEMBER 2019

Ristiawini Ahmad

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang....................................................................................... 1

B.       Rumusan Masalah.................................................................................. 2


C.       Tujuan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A.       Pengertian................................................................................................ 3
B.       Tujuan Transfusi Darah........................................................................... 3
C.       Indikasi Transfusi Darah......................................................................... 4
D.       Penggolongan Darah............................................................................... 5
E.     Pengambilan Darah................................................................................. 7
F.       Skrining Atau Pemeriksaan Uji Saring.................................................... 7
G. Faktor Yang Mempengaruhi Transfusi Darah…………………………. 11
H. Komplikasi Transfusi Darah…………………………………………... . 14
I. Langkah-langkah Transfusi Darah……………………………………. . 20
J. Persiapan Pasien………………………………………………………. . 20
K. Persiapan Alat………………………………………………………..... 21
L. Prosedur Pelaksanaan……………………………………………….... . 22

BAB III PENUTUP

A.       Kesimpulan............................................................................................ 23
B. Saran…………………………………………………………………... 24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Transfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah
seperti plasma, sel darah merah, atau trombosit melalui jalur IV (Potter, 2005).Tujuannya
adalah untuk memenuhi kebutuhan klien terhadap darah sesuai dengan program
pengobatan. Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk menangani pasien anemia
berat, pasien dengan kelaian darah bawaan, pasien yang mengalami kecederaan parah,
pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif dan pasien yang mengalami
penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat
memproduksi darah atau komponen darah sebagaimana mestinya. Pada negara
berkembang, transfusi darah juga diperlukan untuk menangani kegawatdaruratan
melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang berujung pada anemia berat (WHO, 2007).
Tanpa darah yang cukup, seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan bahkan
kematian. Oleh karena itu, tranfusi darah yang diberikan kepada pasien yang
membutuhkannya sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa.
Angka kematian akibat dari tidak tersedianya cadangan tranfusi darah pada negara
berkembang relatif tinggi. Hal tersebut dikarenakan ketidakseimbangan perbandingan
ketersediaan darah dengan kebutuhan rasional. Di negara berkembang seperti Indonesia,
persentase donasi darah lebih minim dibandingkan dengan negara maju padahal tingkat
kebutuhan darah setiap negara secara relatif adalah sama. Indonesia memiliki tingkat
penyumbang enam hingga sepuluh orang per 1.000 penduduk. Hal ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan sejumlah negara maju di Asia, misalnya di Singapura tercatat
sebanyak 24 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk, berikut juga di
Jepang tercatat sebanyak 68 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk
(Daradjatun, 2008).
Indonesia membutuhkan sedikitnya satu juta pendonor darah guna memenuhi
kebutuhan 4,5 juta kantong darah per tahunnya. Sedangkan unit transfusi darah Palang
Merah Indonesia (UTD PMI) menyatakan bahwa pada tahun 2008 darah yang terkumpul
sejumlah 1.283.582 kantong. Hal tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan akan darah

4
di Indonesia yang tinggi tetapi darah yang terkumpul dari donor darah masih rendah
dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi pendonor darah
sukarela masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena
masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang masalah transfusi darah, persepsi akan
bahaya bila seseorang memberikan darah secara rutin. Selain itu, kegiatan donor darah
juga terhambat oleh keterbatasan jumlah UTD PMI di berbagai daerah, PMI hanya
mempunyai 188 unit tranfusi darah (UTD). Mengingat jumlah kota/kabupaten di
Indonesia mencapai sekitar 440.
Di rumah sakit, banyak terdapat pasien dengan perdarahan baik karena
kecelakaan maupun post operasi, dalam keadaan seperti ini tentunya pasien
membutuhkan darah untuk memenuhi kebutuhan darah. Tindakan untuk memenuhi
kebutuhan darah ini dipenuhi dengan transfusi darah, dan sebagai seorang perawat kita
sangat berperan dalam pemberian transfusi darah. Oleh karena itu, kemampuan perawat
dalam pemberian transfusi darah perlu ditingkatkan.
Dari penjabaran di atas, menjadi latar belakang kami untuk menyusun makalah
yang berjudul “Transfusi Darah”. Dengan harapan makalah ini dapat memberikan
pengetahuan tentang transfusi darah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari transfusi darah?
2. Apakah indikasi pemberian transfusi darah?
3. Bagaimakah penggolongan darah pada pasien transfusi darah?
4. Bagaimana proses pengambilan darah donor?
5. Bagaimana pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah donor?
6. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah?
7. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah?
8. Apa saja langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan kesalahan
identifikasi transfusi darah?
9. Bagaimanakah persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah?
10. Bagaimanakah persiapan alat dalam pemberian transfusi darah?
11. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah?

5
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari transfusi darah.
2. Untuk mengetahui indikasi pemberian transfusi darah.
3. Untuk mengetahui penggolongan darah pada pasien transfusi darah.
4. Untuk mengetahui proses pengambilan darah donor.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah
donor.
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah.
7. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah.
8. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan
kesalahan identifikasi transfusi darah.
9. Untuk mengetahui persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah.
10. Untuk mengetahui persiapan alat dalam pemberian transfusi darah.
11. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Transfusi Darah


Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari
satu orang ke sistem peredaran orang lainnya (Sudoyo, 2006). Transfusi darah adalah
suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah,
atau trombosit melalui jalur IV (Potter, 2005). Menurut Peraturan Pemerintah No. 18
tahun 1980, definisi transfusi darah adalah tindakan medis memberikan darah kepada
seorang penderita yang darahnya telah tersedia dalam botol kantong plastik. Usaha
transfusi darah adalah segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk
memungkinkan penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan
yang mencakup masalah-masalah pengadaan, pengolahan, dan penyampaian darah
kepada orang sakit. Darah yang digunakan adalah darah manusia atau bagian-bagiannya
yang diambil dan diolah secara khusus untuk tujuan pengobatan dan pemulihan
kesehatan. Penyumbang darah adalah semua orang yang memberikan darah untuk
maksud dan tujuan transfusi darah (PMI, 2002).
Transfusi darah umumnya berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah
besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ
pembentuk sel darah merah. Pemberian transfusi darah secara aman merupakan salah satu
peran perawat yang sangat penting. Pada situasi darurat, perawat perlu mendapatkan
spesimen darah secara cepat dan aman bagi klien. Klien yang mendapatkan transfusi
darah harus dimonitor secara ketat agar tidak terjadi efek samping yang merugikan.
Menurut penelitian dilaporkan bahwa reaksi transfusi darah yang tidak diharapkan
ditemukan pada 6,6% responden, dimana 55% berupa demam, 14% menggigil, 20%
reaksi alergi terutama urtikaria, 6% hepatitis serum positif, 4% reaksi hemolitik dan 1%
overload sirkulasi (Sudoyo, 2006).

7
Dalam pemberian darah harus diperhatikan kondisi pasien, kemudian kecocokan
darah melalui nama pasien, label darah, golonngan darah, danperiksa warna darah (terjadi
gumpalan atau tidak) , homogenitas (bercampur atau tidak).

B. Tujuan Tranfusi Darah


a. Untuk meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma, atau
perdarahan.
b. Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.
c. Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti
(misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol
perdarahan pada klien penderita hemofilia).

C. Indikasi Pemberian Transfusi


1. Indikasi Untuk Transfusi Sel Darah Merah.
a) Indikasi satu – satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk
memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam jangka waktu singkat. Kadar
hemoglobin rendah tidak boleh menjadi satu – satunya alasan transfusi, karena
banyak lagi factor yang penting; termasuk usia penderita, dan keadaan umum
serta besarnya penurunan kadar hemoglobin. Penderita dengan kadar hemoglobin
yang menurun secara tiba – tiba akan merasa sakit dan memang membutuhkan
transfusi. Walaupun kadar hemoglobin cukup rendah (misalnya 80 g/l), namun
dapat ditoleransikan penderita yang tubuhnya masih mempunyai waktu untuk
beradaptasi, karena penurunan kadar terjadi secara bertahap salama berminggu –
minggu atau berbulan – bulan, sehingga penderita itu biasanya lebih baik diobati
dengan cara lain.
b) Kehilangan darah yang akut—Jika darah hilang karena trauma atau pembedahan,
maka baik penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan. Jika
lebih dari separuh volume darah hilang, maka darah lengkap yang harus
diberikan; jika kurangn daripada separuh, maka konsentrat sel darah merah dan
plasma expanders yang diberikan.

8
c) Transfusi darah prabedah—Biasanya lebih aman memperbaiki anemia dengan
hematinik yang sesuai, jika penyebabnya diketahui. Jika anemia prabedah tidak
dapat diatasi dengan cara tersebut (misalnya, jika pembedahan bersifat darurat,
atau penderita gagal dapat diatasi dengan hematinik), dan kadar hemoglobin 80
g/l atau kurang, maka setiap penderita boleh ditransfusi. Jika hemoglobin antara
80 dan 100 g/l, setiap penderita harus dinilai secara perorangan sebelum
keputusan untuk memberikan transfusi dilakukan.
d) Anemia defisiensi besi—Penderita defisiensi besi tidak dapat ditansfusikan,
kecuali memang dibutuhkan untuk pembedahan segera atau yang telah gagal
berespon terhadap pengobatan dengan dosis terapeutik penuh besi peroral.
Transfuse pada defisiensi besi saja akan menjadi mahal, dan dapat berbahaya
karena meningkatnya kadar hemoglobin, yang sebenarnya dapat meningkat
sekitar 10 g/l/minggu dengan pengobatan peroral yang adekuat, jika tidak terdapat
penyakit lain.
e) Anemia megaloblastik—Transfusi harus dihindarkan pada penderita ini, karena
dapat mencetuskan gagal jantung dan kematian karena peningkatan tegangan pada
jantung.
f) Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun—Kadang – kadang penderita
penykit keganasan, arthritis rheumatoid, atau proses radang menahun tidak
merespon terhadap hematinik, sehingga membutuhkan transfuse darah.
g) Gagal ginjal—anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharunya diobati
dengan transfusi sel darah merah maupun dengan eritropoietin manusia
rekombinan.
h) Gagal sumsum tulang—penderita gagal sumsum tulang karena leukemia,
pengobatan sitotoksin, atau infiltrasi keganasan akan membutuhkan buka saja sel
darah merah, namun juga komponen darah yang lain.
i) Penderita yang tergantung transfusi—penderita sindrom talasemia berat, anemia
aplastik, dan anemi sideroblastik membutuhka tansfusi secara teratur setiap empat
sampai enam minggu, sehingga mereka mampu menjalani kehidupan yang
normal-bagi anak-anak, dan petumbuhan yang normal.

9
j) Penyakit sel bulan sabit—beberapa penderita penyakit ini juga membutuhkan
transfusi secara teratut, terutam setelah stroke, karena “sindrom dada” berulang
yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan. Pemilohan sel darah merarh pada
penderita bukan keturunan eropa bagian utara, memerlukan penyaring tambahan
terutama pada antigen Kell, dan semua antigen Rh. Beberapa penderita penyakit
sel bulan sabit membutuhkan transfusi pengganti pada kedaruratan seperti
hipoksia berat, stroke, priapisme. Tujuanya untuk mengurangi jumlah hemoglobin
S sampai kurang daripada 20% total, sambil secara bertahap meningkatkan kadar
hemoglobin total menjadi 120-145 g/I.
k) Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk transfusi
pengganti, jika neonatus mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia.
2. Indikasi lain untuk transfusi pengganti mencangkup beberapa kasus tertentu malaria
berat karena plasmodium falciparum dan septicemia meningokokus.
Hemolisis diperantarai imunitas—penderita penyakit ini tidak boleh dibiarkan
menjadi rentan terhadap anemia berat. Walaupun demikian seleksi dan uji unit sel
dara merah sebelum tranfusi tidak boleh dilaksanakan tanpa anjuran ahli hemtologi.
3. Indikasi pemberian transfusi darah antara lain :
a) Untuk memberikan volume darah yang adekuat.
b) Mencegah syok hemoragik.
c) Meningkatkan kapasitas pembawaoksigen darah.
d) Megganti trombosit atau faktor pembeku darah untukpertahankan hemostatis.

D. Penggolongan darah
Menentukan golongan darah seseorang tidak diperlukan biaya yang besar dan
relatif mudah karena hanya memerlukan beberapa tetes dari sampel darah. Sebuah serum
anti-A dicampur dengan satu atau dua tetes sampel darah. Serum lainnya dengan anti-B
dicampurkan pada sisa sampel. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan apakan ada
penggumpalan pada salah satu sampel darah tersebut. Sebagai contoh, apabila sampel
darah yang dicampur serum anti-A tersebut menggumpal namun tidak menggumpal pada
sampel darah yang dicampur serum anti-B maka antigen A ada pada sampel darah

10
tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sampel darah tersebut diambil dari
orang dengan golongan darah A.
Berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka golongan darah manusia dibedakan
atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang dengan Rh-positif (Rh+),
berarti darahnya memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi positif atau terjadi
penggumpalan eritrosit pada waktu dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi Rh).
Kelompok satunya lagi adalah kelompok orang dengan Rh-negatif (Rh), berarti darahnya
tidak memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi negatif atau tidak terjadi
penggumpalan saat dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi Rh).
Sebaliknya, alasan untuk pengujian sel darah merah resipien karena adanya
antibody Rh adalah karena antigen D sangat imunogenik; secara kasar 90% golongan Rh
negative ditranfusikan dengan satu atau lebih dari satu unit darah Rh positif akan
menimbulkan anti-D. Antibodi Rh imun akan menghancurkan sel darah Rh positif dan
dapat menyebabkan reaksi transfusi hemolitik, demikian pula dengan penyakit hemolitik
pada neonatus dapat menyebabkan kematian. Jadi, penting sekali bahwa wanita usia
subur menerima darah yang digolongkan Rh-nya sebelum tranfusi. Wanita dengan Rh
negative harus ditransfusikan hanya dengan darah negative Rh.

Golongan Antigen A Antigen B Antibodi Anti- Antibodi Anti-


Darah A B
A + - - +
B - + + -
O - - + +
AB + + - -

E. Pengambilan Darah Donor


Seorang calon donor yang datang ke UTD akan diminta untuk menbaca dan
menjawab sendiri persyaratan-persyaratan menjadi donor, mengisi formulir pendaftaran
donor dan diperbolehkan untuk menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti kepada
petugas. Riwayat medis calon donor akan ditanyakan. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan hemoglobin dengan mengambil darah dari ujung jari anda untuk diperiksa.
Dokter akan melalukan pemeriksaan fisik sederhana dan tekanan darah dan akan

11
memberikan pertanyaan sehubungan dengan isian formulir pendaftaran. Pengambilan
darah akan mengambil waktu kurang lebih 15 menit (PMI, 2002).
Seorang asisten atau laboran akan bersama calon pendonor dan calon pendonor
diminta untuk beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi berbaring. Lama
penyumbangan bervariasi terbantung dari banyak tidaknya penyumbang darah.
Pengambilan donor darah dilakukan secara bergantian. Darah yang diambil sekitar 250cc
atau 350 cc, kira-kira 7-9% dari volume rata-rata orang dewasa. Darah dikumpulkan ke
dalam kantung plastik 250 ml yang mengandung 65 – 75 mL CPC (Citrate Phosphate
Dextrose) atau ACD (Acid Citrate Dextrose). Volume tersebut akan digantikan oleh
tubuh dalam waktu 24-48 jam dengan minum yang cukup (PMI, 2002).
Setelah menyumbangkan darah, pendonor dipersilahkan menuju ruang istirahat
sambil duduk untuk memberikan kesempatan tubuh menyesuaikan diri sambil menikmati
hidangan. Kartu donor akan diberikan sebelum meninggalkan ruangan (PMI, 2002).

Tabel Perbandingan Komponen Sel Darah Merah

No. Masa
Bentuk Darah Indikasi Keterangan
Simpan
1 Darah lengkap 1. Perdarahan 21 hari
2. Anemia
3. Renjetan
oligonemik
4. Kelainan darah
seperti anemia
aplastik
2 Eritrosit Anemia kronis dimana 21 hari Khususnya untuk
terkonsentrasi volume sirkulasi tidak pasien jantung,
bertambah anemia berat, sepsis,
pasien sangat muda
ataupun sangat tua.

3 Darah lengkap Perdarahan dengan 12 jam


segar trombositopenia

12
(trombosit <40.000/ml)
4 Darah baru Transfusi tukar pada 2 hari Bila kadar kalium
neonatus pasien masih rendah
5 Eritrosit cairan 1. Hemoglobinuria 6 jam Leukosit belum
noktruna dapat hilang
paroksimal seluruhnya.
2. Resipien yang
memiliki
antibodi
terhadap
leukosit atau
trombosit.
3. Reaksi transfusi
terhadap antigen
plasma
4. Pasca
transplantasi
organ
5. Pasien dengan
defisiensi
imunitas
6 Eritrosit beku Sama seperti indikasi 6 jam Pembuatan mahal
untuk eritrosit cucian setelah
dicairkan
7 Plasma kering 1. Untuk 8 tahun Umur 3 jam setelah
meningkatkan dicairkan
volume sirkulasi
2. Luka bakar
8 Plasma beku Defisiensi faktor Harus segera dipakai
segar pembekuan seperti setelah dicairkan
hemofilia, pasca
transfusi masif,
kelebihan dosis

13
coumarin dan
antikoagulan inda ndion
9 Konsentrasi fraksi Sama dengan indikasi 2 tahun Tidak mengandung
protein plasma kering fibrinogen
10 Albumin Hipoalbuminemia 3 jam
setelah
preparasi
11 Fibrinogen Afibrinogenemia 3 jam
setelah
preparasi
12 Kripresipitat Defisiensi faktor VII
13 Faktor VIII Hemofilia 3 jam
kering setelah
preparasi
14 Konsentrat Trombositopenia 2-3 hari
trombosit karena berbagai macam
sebab

F. Skrining atau Pemeriksaan Uji Saring


Transfusi darah merupakan jalur ideal bagi penularan penyebab infeksi tertentu
dari donor kepada resipien. Untuk mengurangi potensi transmisi penyakit melalui
transfusi darah, diperlukan serangkaian skrining terhadap faktor-faktor risiko yang
dimulai dari riwayat medis sampai beberapa tes spesifik. Tujuan utama skrining adalah
untuk memastikan agar persediaan darah yang ada sedapat mungkin bebas dari penyebab
infeksi dengan cara melacaknya sebelum darah tersebut ditransfusikan. Untuk skrining
donor darah yang aman maka pemeriksaan harus dilakukan secara individual (tiap
individual bag atau satu unit darah). Jenis pemeriksaan yang digunakan sesuai dengan
standard WHO, dalam hal ini meliputi pemeriksaan atas sifilis, hepatitis B, hepatitis C
dan HIV. Metode tes dapat menggunakan uji cepat khusus (rapid test), automated test
maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay). Laboratorium yang menguji 1-
35 donasi per minggu sebaiknya menggunakan rapid test. Laboratorium yang menguji
35-60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan metoda uji aglutinasi partikel dan yang

14
menguji lebih dari 60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan EIA. Metode yang
umum digunakan di UTD cabang adalah rapid test (Depkes RI, 2001).
Dalam mempertimbangkan berbagai pengujian, perlu disadari data yang berkaitan
dengan sensitivitas dan spesifitas masing-masing pengujian. Sensitivitas adalah suatu
kemungkinan adanya hasil tes yang akan menjadi reaktif pada seorang individu yang
terinfeksi, oleh karena itu sensitivitas pada suatu pengujian adalah kemampuannya untuk
melacak sampel positif yang selemah mungkin. Spesifisitas adalah suatu kemungkinan
adanya suatu hasil tes yang akan menjadi non-reaktif pada seorang individu yang tidak
terinfeksi, oleh karena itu spesifitas suatu pengujian adalah kemampuannya untuk
melacak hasil positif non-spesifik atau palsu (Depkes RI, 2001).
Dalam mempertimbangkan masalah penularan penyakit melalui transfusi darah,
perlu diingat bahwa seorang donor yang sehat akan memberikan darah yang aman. Donor
yang paling aman adalah donor yang teratur, sukarela, dan tidak dibayar. Jelasnya bahwa
para donor yang berisiko terhadap penyakit infeksi harus didorong agar tidak
menyumbangkan darahnya (Depkes RI, 2001).

G. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Transfusi Darah


1. Golongan dan Tipe Darah
Golongan darah yang paling penting untuk transfusi darah ialah sistem ABO, yang
meliputi golongan berikut golongan berikut : A, B, O dan AB. Penetapan golongan
darah didasarkan pada ada tidaknya antigen sel darah merah A dan B. Individu
dengan antigen A, antigen B, atau tidak memiliki antigen yang termasuk dalam
golongan darah A, B, dan O. Individu dengan antigen A dan B memiliki golongan
darah AB (Long et al,1993).
2. Reaksi Transfusi.
Reaksi transfusi adalah respons sistemik tubuh terhadap ketidak cocokan darah donor
dengan darah resipien. Reaksi ini disebabkan ketidak cocokan sel darah merah atau
sensitivitas alergi terhadap leukosit, trombosit atau komponen protein plasma pada
darah donor atau terhadap kalium atau kandungan sitrat di dalam darah. Transfusi
darah juga dapat menyebabkan penularan penyakit.
Faktor Lain Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Dan Kesejahteraan Donor.

15
a. Usia – Batas bawah (18 tahun) karena pertimbangan kebutuhan besi yang tinggi
pada akhil balik, dan usia persetujuan. Batas atas menurut perjanjian di atur pada
65, karena meningkatnya insidensi penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskular
pada usia lanjut, sehingga pengambilan darah sebanyak 450ml menjadi
berbahaya. Donor pertama kali, yang semakin mengalami banyak insidensi
kondisi buruk, tidak diterima selama usia 60 tahun, donor yang mapan dapat di
izinkan untuk dilanjutkan melebihi usia 65 tahun.
b. Frekuensi pendonoran biasanya 2-3 kali setahun. Wanita usia subur terutama
rentan terhadap kekurangan besi, kebanyakan pria, dapat mendonorkan lebih
sering tanpa akibat buruk seperti itu. Perkiraan kadar hemoglobin sebelum
pendengaran (biasanya dengan menggunakan teknik sederhana berdasarkan pada
berat jenis setetes darah yang dimasukkan kedalam larutan tembaga sulfat)
dirancang untuk menemukan donor dengan kekurangan besi yang nyata atau
mendekati batas bawah, kadar minimum yang dapat di terima 135gr/l untuk pria
dan 125 gr/l untuk wanita.
c. Volume pendonoran tidak boleh melebihi 13% volume perkiraan darah, untuk
mencegah serangan vasovagal. Kantong pengumpulan di rancang dengan isi
antara 405 dan 495 (rata-rata 450 ml) ml darah , dengan berat badan minimum 47
sampai 50 kg, kecuali pendonoran yang sedikit dapat dimasukkan kedalam
kemasan yang sesuai.
d. Kemungkinan akibat buruk selama atau setelah pendonoran- Kadang- kadang
donor pertama kali menjadi pingsan. Walaupun pingsan seperti itu tidak
berkomplikasi, namun sang donor dapat mengalami akibat buruk- Sebagai contoh,
jika keadaan itu terjadi lama kemudian, dan donor telah meninggalkan ruang
perawatan. Keadaan pingsan yang berat merupakan kontraindikasi donor
selanjutnya. Pertimbangan paling utama adalah menghindari agen infektif yang
menular, biasanya melalui kombinasi kriteria ketat untuk penyelsaian donor dan
penggunaan uji penyaringan laboraturium.
e. Obat dan penyakit lainnya. Obat yang berada dalam aliran darah donor dapat
menimbulkan efek merugikan resipien. Dengan minum obat tertentu berarti
bahwa ada penyakit yang diderita, yang dengan sendirinya menjadi alasan untuk

16
mencegah donor. Penderita penyakit menahun dan penyakit yang tidak diketahui
etiologinya dilarang mendonorkan darahnya. Keganasan juga kontraindikasi,
walaupun kekecualian mungkin dapat dilakukan jika terdapat kasus lesi invasive
setempat yang telah diobati dengan baik dan tidak berulang setelah tindak lanjut
yang adekuat (sebagai contoh, ulkus roden atau karsinoma serviks in situ).

H. Komplikasi Tranfusi Darah


Banyak kesalahan yang terjadi pada saat perawat memberikan transfusi darah ke
klien. Kesalahan ini berupa kesalahan pengambilan sampel untuk pemeriksaan, kesalahan
dalam memberikan label, kesalahan yang bersifat teknis ataupun kesalahan akibat
kurangnya pemahaman perawat dalam memilih komponen darah yang sesuai dengan
spesifikasi. Kesalahan juga sering terjadi pada situasi sibuk, dimana jumlah perawat lebih
sedikit dibandingkan jumlah klien. Ditambah lagi situasi kerja di ruangan yang under
pressure sehingga fokus perhatian perawat untuk melakukan pengecekan darah secara
detail sebelum pemberian transfusi menjadi berkurang. Kesalahan-kesalahan yang
sebenarnya tidak dilakukan secara sengaja ini dapat mengurangi keselamatan klien dalam
menjalani proses transfusi sehingga banyak sekali reaksi efek samping dari transfusi yang
pada akhirnya harus ditanggung oleh klien. Komplikasi reaksi transfusi darah, yaitu:
1. Reaksi hemolitik
Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi
hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-imun
(non-immune mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses
imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR)
dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR),
sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah transfusi lebih
dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik (pseudo-hemolytic transfusion reaction)
a. Reaksi hemolitik akut
Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan
masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat
cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan
dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah

17
resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole
blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh
frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan.
Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000. Reaksi hemolitik ini adalah
reaksi transfusi yang paling berat yang berhubungan dengan inkompatibilitas
ABO. Inkompatibilitas ABO dapat terjadi akibat antibodi yang didapat secara
alami bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,
dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Manifestasi klinis yang dapat terjadi
akibat inkompatibilitas ABO antala lain demam, menggigil, kemerahan, nyeri
pada punggung bagian bawah, takikardi dan hipotensi, kolaps pembuluh darah
sampai henti jantung.
b. Reaksi hemolitik lambat
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi
tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO
lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak
dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi
antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3
sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6.000 sampai 33.000. DHTR
diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun
proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung
eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG
dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b
akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi
(IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi
tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi
berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada
apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis,
tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang
menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi

18
GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami
penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.
c. Reaksi Pseudohemolitik
Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain
yang terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan
merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi
hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan
dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat
transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan
DAT yang negatif. Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:
 Trauma suhu
Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas
atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur
melebihi 40°C karena suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran
eritrosit sehingga mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk
dan permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah pecah
akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda
klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah
darah yang hangat (sekitar 38°C).
Paparan darah pada temperatur kurang dari 10°C per menit tanpa
cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma
dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari
10°C per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit
oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat
terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan
warna pada isi kantong darah.
 Trauma osmotik
Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang
dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi
eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak adekuat dapat

19
mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang lebih rendah
(hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda
klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap
isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung
cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%.
Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa
cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal
0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%. Ringer laktat juga
tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada
cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan
antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong
darah. Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi
haruslah diperhatikan. Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan
reaksi hemolitik intravaskular
 Trauma mekanik
Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses
transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum
yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya penekanan
mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik
pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan
hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda
klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR
 Kontaminasi mikroba
Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari
donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses
transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk dapat hidup pada
kondisi tersebut merupakan faktor risiko terjadinya reaksi hemolitik dan
sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta kasus
pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak
dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat terjadi

20
jika unit kantong darah mengandung partikel atau bekuan darah, ada
perubahan warna dan/atau ada udara.
Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba
dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam, menggigil,
hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang,
transfusi darah yang terkontaminasi protozoa malaria dapat menunjukkan
gejala demam dalam beberapa hari sampai minggu seperti pada DHTR.
Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba saat
diberikan, maka transfusi harus segera dihentikan, dilakukan pemantauan
kondisi klinis pasien, evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri,
dicatat, dan diberitahukan kepada UTD
 Anemia hemolitik kongenital
Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik
kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan AHTR
atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital yang sering dijumpai adalah
akibat glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada
defisiensi G6PD, eritrosit donor akan mengalami lisis jika terpapar zat
yang menyebabkan oxidant stress. Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant
Stress pada Defisiensi G6PD15, antara lain:
a. Acetanilid
b. Phenylhydrazine
c. Furazolidone
d. Primaquine
e. Isobutyl nitrite
f. Sulfacetamide
g. Nalidixic acid
h. Sulfamethoxazole
i. Naphtalene
j. Sulfapyridine
k. Niridazole
l. Thiazolesulfone

21
m. Nitrofurantoin
n. Trinitrotoluene
o. Phenazopyridine
p. UrateOxidase(TNT)
2. Reaksi infeksi
a. Hepatitis – Hepatitis A bukan penyakit yang dikaitkan dengan transfusi. Uji
untuk anti gen permukaan hepatitis B (HBsAg) selalu harus dikerjakan.
Sebagian besar kasus hepatitis non-A ,non-B disebabkan oleh infeksi hepatitis
C . Uji penyaringan anti bodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCF) di mulai di
Inggris pada tahun 1991. Riwayat ikterus (hepatitis) bukan indikator
kemungkinan pembawa virus hepatitis yang dapat diandalkan
b. Penularan malaria melalui transafusi sel darah merah merupakan masalah
yang dapat berakibat serius di Inggris. Pencegahan tergantung pada
wawancara dengan donor secara cermat,tentang perjalanan keluar negeri,
penundaaan pendonoran, oleh mereka yang baru saja mengunjungi daerah
endemis penyakit tertentu, dan dalam beberapa kasus, uji imunologis untuk
anti bodi malaria.
c. Virus imunodefisiensi manusia (HIV 1 dan 2) jarang ditularkan melalui
transfusi di Inggris, namun demikian tetap merupakan keprihatinan utama
masyarakat, walaupun penyaringan semua pendonoran telah dilakukan sejak
1985. Uji gabungan untuk antibody terhadap HIV 1 dan 2 digunakan pada
penyaringan donor. Uji tersebut harus bersifat pelengkap, supaya tidak
mengambil darah dari mereka yang dicurigai telah berisiko terkena infeksi,
sehingga menghindarkan penggunaan darah yang didonorkan pada saat
stadium awal infeksi, ketika uji penyaringan laboratorium dapat memberikan
hasil negatif.
d. Sifilis lebih menimbulkan persoalan teoritis daripada masalah praktisnya, dan
donor tidak ditanyakan secara spesifik tentang infeksi yang terjadi
sebelumnya. Penyaringan rutin pendonoran darah masih terus dijalankan,
walaupun mungkin lebih berguna untuk deteksi orang-orang berisiko infeksi

22
penyakit akibat hubungan seks (termasuk HIV) daripada untuk pencegahan
penularan sifilis.
e. Agen infektif lain dapat menjadi bahaya bagi resipien tertentu, sebagai contoh,
sitomegalovirus pada penderita yang terimunosupresi. Dindikasikan supaya
penyaringan pendonoran secara selektif dilakukan sebelum transfusi, karena
riwayat kesehatan tidak membantu dalam penyeleksian donor yang “aman”.

I. Langkah – Langkah yang Harus Diambil Untuk Menghindarkan Kesalahan


Identifikasi Transfusi Darah.

1. Tes kompatibilitas dapat dilakukan untuk memprediksi dan mencegah antigen-


antibodi sebagai hasil transfusi sel darah merah. Tes kompatibilitas yang dapat
dilakukan antara lain Crossmatching dan Screening Anti body. Kedua pemeriksaan ini
dapat memberikan informasi mengenai jenis ABO dan Rhesus. Namun kelemahan
pada kedua pemeriksaan ini adalah keduanya membutuhkan waktu 5-45 menit untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan. Pada kenyataannya, kadang klien tidak dapat
menunggu waktu karena membutuhkan darah segera demi menyelematakan nyawa
dalam situasi krisis. Berdasarkan urgensi dari pemberian transfusi darah secara cepat,
tepat dan aman maka dibutuhkan pemeriksaan pre transfusi yang lebih cepat dan
akurat agar nyawa klien dapat diselamatkan dan reaksi alergi yang diakibatkan oleh
pemberian transfusi yang salah dapat dihindarkan.
2. Kesalahan lain yang umumnya dilakukan adalah kesalahan dalam pemberian label
dan salah mengidentifikasi darah atau klien pada saat darah akan diberikan kepada
klien di tempat tidurnya. Hal ini dapat terjadi karena kelalaian perawat pada saat akan
memberikan transfusi darah. Sehingga tabung yang berisi sampel darah harus secara
jelas diberikan label nama lengkap penderita, tanggal lahir, dan nomer indeks rumah
sakit.
3. Orang yang mengambil sample darah harus memastikan bahwa penderita telah
diidentifikasi secara tepat, baik dengan berbicara langsung dengan penderita atau –
jika penderita tidak sadar-dengan memeriksa gelang pergelangan tangan. Yang ideal,
jika tabung diberikan label setelah terisi dengan darah.

23
4. Tidak boleh ada penyimpangan antara informasi dalam formulir permintaan yang
terdapat pada tabung.
5. Bagi penderita dengan catatan bank darah sebelumnya, maka informasi mutakhir
harus identik dengan catatan yang lama.
6. Sistem manajemen transfusi darah berbasis komputer memberikan keuntungan yang
besar bagi dunia keperawatan pada umumnya dan bagi klien pada khususnya. Dengan
adanya sistem ini maka terjadinya kesalahan manusia (human errors) dalam
melakukan transfusi dapat dicegah dan keamanan transfusi bagi klien dapat
ditingkatkan dengan memastikan bahwa darah yang tepat untuk klien yang tepat.
Sistem ini dapat mengurangi terjadinya kesalahan manusia dalam memberikan
transfusi karena sistem ini mengurangi sejumlah prosedur manual dalam beberapa
langkah dari proses transfusi. Oleh karena itu kesalahan dalam memberikan transfusi
dapat dicegah sehingga efek samping yang dapat merugikan klien akibat mistransfusi
dapat dihindari.

J. Persiapan Pasien
Pastikan suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, supaya tidak terjadi lisis terhadap
darah yang akan ditransfusikan.

K. Persiapan Alat
Berikut merupakan alat-alat yang harus disiapkan dalam pemberian transfusi darah:
1. Transfusi set.
2. Cairan NaCl.
3. Persediaan darah yang sesuai dengan golongan darah klien, sesuai dengan kebutuhan.
4. Sarung tangan bersih.

L. Prosedur Pelaksanaan
1. Beri tahu dan jelaskan prosedur kepada klien.
2. Bawa alat ke dekat klien.
3. Cuci tangan.
4. Pakai sarung tangan bersih.

24
5. Buat jalur intravena, gunakan selang infus yang memiliki filter dengan tipe-Y.
6. Berikan cairan NaCl terlebih dahulu, kemudian darahnya.
7. Atur tetesan darah per menit sesuai dengan program.
8. Lepas sarung tangan dan cuci tangan.
9. Bereskan alat-alat.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas, Kami dapat menarik beberapa kesimpulan,
yaitu:

25
1. Transfusi darah merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien yang
membutuhkan darah dan atau produk darah dengan cara memasukkan darah melalui
vena dengan menggunakan set transfusi.
2. Indikasi dari transfusi darah adalah kebutuhan, untuk memberikan volume darah
yang adekuat, mencegah syok hemoragik, meningkatkan kapasitas pembawa oksigen
darah, megganti trombosit atau faktor pembeku darah untukpertahankan hemostatis.
3. Pengolongan darah digolongkan berdasarkan sistem ABO, serta memperhatikan Rh-
nya.
4. Komponen sel darah merah digolongkan antara lain darah lengkap, darah segar,
konsentrat sel darah merah, konsentrat sel darah merah dalam larutan aditif optimal,
sel darah merah yang dicuci , sel darah merah beku dan dicairkan.
5. Faktor-faktor yang memengaruhi transfusi darah yaitu golongan dan tipe darah,
reaksi transfusi, usia, frekuensi pendonoran, volume pendonoran, dan penyakit
menular.
6. Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang
disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan
proses imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang
bukan merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik.
Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan
ahli. Pada AHTR transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi
dapat dihentikan atau diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi
pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi pseudo-
hemolitik ini harus dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat transfusi. Pada saat
terjadi reaksi transfusi, juga harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang
timbul berhubungan dengan proses hemolitik atau nonhemolitik.

B. SARAN
Meningkatkan wawasan tentang komponen darah, prosedur pre transfusi dan saat
pemberian transfusi darah serta efek samping yang dapat muncul akibat mistransfusi
dengan cara mengkaji literature dan jurnal penelitian serta mengikuti kegiatan
seminar/workshop yang terkait, mengikuti perkembangan teknologi keperawatan dan

26
kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan, menerima dan mengimplementasikan
perkembangan teknologi yang baik pada tatanan nyata sehingga dunia keperawatan di
Indonesia dapat berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/283749894/Makalah-Transfusi-Darah

Di Unduh Pada 04 Januari 2021 Pukul 12.00 WIB.

27
Contreras, Marcelo.1995.Petunjuk Penting Transfusi Darah.Jakarta:EGC.

Perry dan Potter.2005.Fundamental Keperawatan.Jakarta:EGC.

Saputra, Lyndor.2013.Pengantar Kebutuhan Dasar Kemanusiaan.Jakarta:Binarupa Aksara


Publisher.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., et. al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

28

Anda mungkin juga menyukai