Anda di halaman 1dari 146

DAFTAR ISI

BAB 7
PEMIKIRAN KOLEKTIF PARTAI 1
Urgensi Akidah 3
Bab 8
KEHARUSAN MENGADOPSI PEMIKIRAN YANG DIBUTUHKAN
UNTUK MENJALANKAN
AKTIVITAS KEPARTAIAN 12
BAB 9
PERSOALAN DI SEPUTAR GERAKAN MULTIPARTAI ISLAM 21
Kebolehan Multipartai dalam Islam 35
Antara Gerakan Internasional dan Gerakan Lokal 44
Antara Dakwah yang Parsial serta Dakwah yang Komprehensif dan Seimbang 47
BAB 10
TADARRUJ 56
Pembenaran pihak yang membolehkan tadarruj atau adanya masa transisi dan jawaban-jawaban
atasnya. 65
BAB 11
KONSISTEN DENGAN MABDA, BAIK FIKRAH MAUPUN THARIQAH 88
Waspada Terhadap Penyimpangan dan Kompromi 93
Demokrasi 98
Definisi Thaghut 105
Kebebasan Menurut Barat 106
Ilmu dan Teknologi Bukan Produk Peradaban Barat 111
BAB 12
BERGABUNG DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN KUFUR 114
Diskusi tentang alasan-alasan aqliyah yang disampaikan dan jawaban terhadapnya 120
BAB13
SAYIDINA YUSUF AS DAN SISTEM PEMERINTAHAN KUFUR 126
BAB 14
MENGHALALKAN SESUATU YANG HARAM
DENGAN ALASAN MASLAHAT 150
BAB 15
TUJUAN TIDAK MENGHALALKAN
SEGALA CARA 178
Pembedaan Dua Perkara yang Serupa 179
Menyamakan Dua Perkara yang Berbeda 180
BAB 16
PERBAIKAN PARSIAL DAN PERUBAHAN TOTAL 196
BAB 17
APAKAH RASULULLAH SAW MERESTUI NAJASY (SETELAH MASUK ISLAM)
MENERAPKAN SISTEM PEMERINTAHAN DENGAN SYARI’AT KUFUR 203
BAB 18
MODERAT DAN EKSTREM 212

Bab 7
Pemikiran Kolektif Partai

Sesungguhnya realitas umat ini perlu diubah. Perubahan itu seharusnya dilakukan secara
politis melalui sebuah partai (kutlah) politik yang ditegakkan di atas dasar ideologi (mabda’) Islam.
Oleh karena itu harus ada penelitian terhadap berbagai karakteristik partai politik Islam yang ada,
berikut faktor-faktor pendukungnya, di samping harus pula dilakukan penelitian terhadap sejumlah
partai politik terdahulu dalam rangka mengetahui sebab-sebab kegagalan dan kehancurannya,
terutama menyangkut aspek keorganisasiannya. Aspek ini berkaitan dengan masalah teknis-
strategis yang pilihan-pilihannya—untuk menentukan mana yang terbaik dan yang paling cocok—
yang pada dasarnya bersifat mubah, yakni diserahkan kepada setiap Muslim. Meskipun
merupakan masalah teknis-strategis, hal ini termasuk di antara materi yang mesti ada dalam
pemikiran (tsaqâfah) kolektif organisasi/partai.
Umat Islam saat ini hidup di dalam struktur masyarakat yang pemikiran, perasaan, dan
peraturannya campur-aduk (plural). Oleh karena itu, perjuangan untuk mendirikan Daulah
Islamiyah pasti akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat berikut seluruh realitas, komponen,
dan apa saja yang berpengaruh di dalamnya; di samping akan berhadapan dengan bagaimana
cara mengubahnya agar tercipta suatu masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan
peraturan yang bersifat monolitik (satu warna) dan khas Islam.
Realitas individu tidak sama dengan realitas masyarakat. Komponen-komponen
pembentuk individu tentu berbeda dengan komponen-komponen pembentuk masyarakat.
Berdasarkan hal ini, hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan individu berbeda pula dengan
hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masyarakat.
Aktivitas partai politik Islam berkaitan dengan transformasi sosial atau perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, ia harus mengadopsi secara rinci semua hal yang berkaitan dengan
perubahan masyarakat, yakni berupa berbagai pemikiran dan hukum-hukum syariat yang
berkaitan dengan perbaikan realitas masyarakat ini. Pada saat yang sama, organisasi/partai
dakwah harus memberikan petunjuk kepada setiap individu, baik yang menjadi anggotanya
maupun yang menjadi anggota masyarakat, bahwa mereka wajib mengadopsi setiap hukum yang
berkaitan dengan aktivitas dan perjuangannya. Hukum-hukum yang dimaksud, baik yang berkaitan
dengan upaya mendirikan masyarakat Islam yang terkait dengan dirinya sebagai fardhu kifayah—
yang tidak ada uzur baginya untuk meninggalkannya—ataupun yang berkaitan dengan pribadinya
ketika partai politik ini menyeru dirinya untuk terikat dengan syariat dalam masalah muamalat,
ibadat, dan akhlak, yang seluruhnya tegak di atas landasan akidah Islam dalam kehidupannya
sehari-hari.
Umat Islam saat ini banyak mempergunakan akal mereka yang telah teracuni oleh
pemikiran Barat dan mengikuti hukum-hukum akal mereka dalam menentukan kemaslahatan.
Untuk dapat meneladani dengan tepat dan benar-benar konsisten jalannya suatu aktivitas kita
harus berhadapan dengan akal dan faktor-faktor penyusunnya. Dengan begitu akan diketahui
batas-batas penggunaannya sekaligus cara-cara penggunaannya dalam masalah akidah, hukum-
hukum syariat, pemikiran-pemikiran dan realitas yang ada.
Aktivitas dakwah ini ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan menegakkan negara
Islam. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengetahuan mengenai perjalanan Rasulullah saw. di
Makkah dan berbagai aktivitas yang beliau lakukan, yang mengantarkan beliau pada tegaknya
Daulah Islamiyah di Madinah. Dari sinilah kita dapat meneladani beliau. Aktivitas perjuangan ini
juga menuntut adanya upaya pembedaan antara hukum-hukum mengenai metode (tharîqah),
sarana (wasîlah), dan strategi (uslûb) dakwah, sehingga kita benar-benar tepat dalam meneladani
Rasulullah saw.
Aktivitas dakwah ini juga ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan mengubah sistem
yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya monitoring (kontrol) politik terhadap
setiap aktivitas penguasa, sekaligus adanya pemahaman mengenai realitas mereka, keterlibatan
mereka, dan politik negara-negara besar yang mengendalikan sepak terjang mereka, serta adanya
upaya untuk membongkar segala strategi mereka.
Sesungguhnya negeri-negeri Islam saat ini tunduk pada sistem kufur— khususnya pada
peradaban Barat—dalam sistem pemikiran, sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perjalanan
dakwah untuk mendirikan Daulah Islamiyah akan berhadapan dengan sejumlah ideologi, akidah,
serta pemikiran yang tumbuh di atasnya dan sistem-sistem yang dilahirkannya.
Sesungguhnya tujuan syariat adalah diterapkannya Islam dan mengemban Islam sebagai
risalah ke seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemaparan mengenai pemerintahan
Islam dan Daulah Islamiyah serta bentuk negaranya, berikut pilar-pilarnya, strukturnya, UUD-nya,
dan pemikiran umum yang diterapkan di dalamnya; diperlukan adanya pemaparan bentuk-bentuk
pemerintahan yang ada sekarang ini agar bisa dilihat adanya perbedaan antara Daulah Islamiyah
dan negara kufur serta agar umat Islam tidak terpengaruh dengan segala bentuknya; serta
diperlukan adanya pemaparan mengenai dasar negara.
Dengan metode (manhaj) semacam ini, partai politik Islam harus menempuh perjalanan
dakwahnya dengan cara menentukan terlebih dulu pemikiran (tsaqâfah) kolektifnya. Pemikiran
kolektif inilah yang dipraktikkan dan didakwahkan di tengah-tengah masyarakat dengan cara yang
dituntut oleh dakwah yang ditujukan dalam rangka mengembalikan kehidupan Islam. Caranya
adalah melalui penegakkan Khilafah Islamiyah yang memerintah umat Islam dan non-Muslim—
yang menjadi rakyatnya—dengan Islam. Dari sinilah risalah Islam kemudian disebarluaskan ke
luar negeri melalui aktivitas dakwah dan jihad yang dilakukan oleh negara.

Urgensi Akidah
Sebagaimana diketahui, akidah Islam harus menjadi motivator kerja partai politik Islam, dan
upaya mendirikan pemerintahan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah harus menjadi
tujuannya. Oleh karena itu, pemikiran kolektif yang diadopsi oleh partai politik Islam wajib diambil
dalam bentuknya yang terikat kuat dengan akidah. Cara seperti itu akan mewujudkan rasa
tanggung jawab, perhatian, kesungguhan, semangat yang berapi-api, serta pengorbanan pada
para pengemban dakwah atau para aktivis partai. Cara seperti ini juga, pada saat yang sama,
akan menjadikan seorang Muslim mau menanggung berbagai kesulitan yang menghadangnya,
dan tidak akan menjadikan pengemban dakwah menunggu ‘ucapan terima kasih’ dari manusia.
Yang akan terjadi pada dirinya justru adalah rasa khawatir terhadap Hari Kiamat. Dengan begitu,
dia senantisa ridha dengan segala kesulitan aktivitas yang dijalaninya serta keterhalangan dirinya
dari kesenangan dan kenikmatan dunia. Semua itu dilakukan semata-mata demi memperoleh
keridhaan Tuhannya serta demi memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan akhirat.
Dijadikannya akidah Islam sebagai asas pemikiran partai politik Islam juga meniscayakan
akidah tersebut sebagai satu-satunya asas perubahan masyarakat. Artinya, perubahan sosial yang
diupayakan semata-mata harus didasarkan pada akidah Islam; bukan karena faktor kebencian
terhadap kezaliman yang meliputi masyarakat, atau agar masyarakat terlepas dari kebodohan,
atau semata-mata demi memperbaiki keadaan. Dengan kata lain, faktor yang mendorong seorang
Muslim untuk berdakwah dan yang mendorong kaum Muslim lainnya untuk menyambut seruan
dakwahnya adalah pemikiran-pemikiran tentang keimanan. Hal inilah yang, pada dasarnya,
merupakan manhaj yang dikehendaki oleh Islam. Pemikiran tentang keimanan yang dijadikan asas
pemikiran kolektif bagi perubahan sosial ini wajib disampaikan dalam bentuk yang mampu
mendorong tercapainya tujuan yang telah dicanangkan. Demikian pula dengan akidah Islam dan
hukum-hukumnya serta penelitian terhadap realitas yang ada; wajib disampaikan dalam bentuk
yang dapat mendukung tercapainya tujuan yang ada.
Walhasil, pemikiran kolektif partai harus senantiasa diikat dengan akidah Islamiyah, yang
dilengkapi dengan dalil-dalil syariat, dan yang disampaikan dengan cara yang dapat
merealisasikan tujuan syariat. Tujuan tersebut adalah terwujudnya penyembahan kepada Allah
secara praktis dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah, yakni merealisasikan bahwa kekuasaan
(al-hâkimiyyah) hanya milik Allah semata. Atas dasar inilah, para anggota partai politik Islam harus
dibina dan dikaderisasi.
Akidah Islam, sebagaimana dipahami, menduduki posisi puncak; laksana kepala bagi
tubuh, dan jantung bagi anggota-anggota tubuh. Akidah Islam merupakan satu-satunya pengatur
dan pengendali segala perkara sekaligus penjaga segala sesuatu.
Atas dasar ini, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
(1) Akidah Islam ini, ketika disampaikan, harus mampu mendorong manusia ke arah pengesaan Allah
Swt. dalam masalah ibadah maupun hukum (tasyrî‘). Artinya, harus diyakini, bahwa tidak ada
seorang pun selain-Nya yang memiliki hak ini. Allahlah satu-satunya Tuhan dan satu-satunya
Pencipta. Dialah Yang Mahatahu atas semua perkara lahir maupun batin. Dialah satu-satunya
Yang berhak membuat/menetapkan syariat dan Yang berhak melakukan pengaturan. Karena
manusia secara fitrah merasakan bahwa dirinya lemah, serba kurang, membutuhkan yang lain,
serta terbatas, maka sesungguhnya upaya dirinya mencari Tuhan dimaksudkan agar Tuhan
memberinya petunjuk jalan yang benar dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya.
Sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Rasulullah saw. dari kalangan hamba-Nya yang
terpilih untuk membawa risalah-Nya yang akan memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada
orang-orang yang mengikutinya. Allah meminta kepada kita agar hanya mengikuti Rasulullah
dalam semua perkara yang disampaikannya dari Tuhannya. Rasululullah saw. adalah ma‘shûm
(terpelihara dari kekeliruan). Al-Quran yang diturunkan kepadanya merupakan risalah bagi umat
manusia seluruhnya yang menjadi petunjuk, cahaya, rahmat, nasihat, dan obat bagi jiwa-jiwa
manusia. Allah telah menjanjikan kepada mereka kesenangan yang abadi jika mereka beriman
dan taat kepada-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam mereka dengan Neraka Jahanam jika
mereka menolak perintah-Nya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan agar hanya beribadah
kepada Allah dengan hanya mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulllah saw.
(2) Umat Islam harus diberikan penjelasan bahwa Islam mengikat realitas manusia dengan
keimanannya kepada Zat Yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah Yang Maha Pencipta
dan Maha Pengatur; juga pada apa yang ada pasca kehidupan dunia, yaitu Hari Kebangkitan serta
adanya perhitungan, pahala, dan dosa. Hal ini harus disampaikan dengan cara yang dapat
menjelaskan hubungan ini. Harus dijelaskan pula, bahwa siapa pun yang memutuskan atau
memisahkan hubungan/keterikatan ini tidak akan mampu menegakkan pendapatnya di atas hujjah
yang kuat atau bukti yang nyata, sehingga pendapatnya tergolong pendapat yang kufur.
(3) Akidah Islam wajib disampaikan dengan cara yang dapat menghidupkan umat dan mendorongnya
untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
(4) Akidah Islam wajib dijelaskan kepada umat Islam sebagai sesuatu yang layak untuk menghadapi
berbagai pemikiran kufur yang ada sekarang ini. Harus dijelaskan pula kepalsuan setiap pemikiran
kontemporer seperti kapitalisme, nasionalisme, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya
untuk memperbandingkan antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran lainnya
untuk memperoleh hasil ganda, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam dan selanjutnya
meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya. Dari sini kemudian dijelaskan, bahwa
hanya Islam yang benar dan layak untuk seluruh dunia (karena keuniversalan akidah dan
sistemnya) dan hanya pada Daulah Islamiyah Islam dapat direpresentasikan secara utuh. Di
dalam medan semacam inilah jamaah Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda,
slogan-slogan yang digelar, papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu yang
ditanamkan oleh orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan, “Kebebasan kebudayaan
dan pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar kepada kaisar dan berikan apa yang
menjadi Allah kepada Allah,” “Tanah airku selalu benar,” atau “Tolonglah saudaramu, baik dalam
keadaan berbuat zalim atau dizalimi,” (dengan pengertian jahiliyah).
Hendaknya partai politik Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap pemikiran Barat dari benak
umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan menyangkal berbagai pemikiran destruktif
yang berkembang seperti: “Pengembangan Syariat,” “Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat
untuk merespon perkembangan zaman,” (menurut versi Barat) “Pemisahan agama dari politik,”
“Tidak ada politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena
adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain meruntuhkan semua propaganda ini,
organisasi/partai dakwah juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran yang benar yang
berlandaskan pada—sekaligus lahir dari—konsep, “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.”

Secara syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh—
baik secara ilmu maupun amal—tidak akan bersih berada di dalam jiwa sampai segala pemikiran
selainnya dibuang dan setiap keimanan kepada selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah
Swt. berfirman:
‫ؤ‬ ‫ِْى ؤننننننننننننننننننننن ت مْ توِ ْمنننننننننننننننننننننس ِْفَ َننننننننننننننننننننن ِْ ت َ تم َننننننننننننننننننننن َ ِ ْمنننننننننننننننننننننس تَ ؤ تْ َى ِْ تَن‬
ِ ِ َ ‫ننننننننننننننننننننى ت‬ َ ‫قى‬ َ َ‫ننننننننننننننننننننِْ ْمس‬
‫كنننننننننننننننننننننس ؤ‬ ‫ت‬ ‫فَ َمن‬
‫ننننننننننننننننننننوِ َ تَُؤن‬
‫ت‬
ِ ‫ع ْل ٌِم‬ َ ‫الَِ تن ُْصَس َمََِه‬
َ ِ‫َسِىهللاؤِ َمْ ٌع‬
Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar (kufur) terhadap thâghût dan beriman kepada Allah, berarti
ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 256).
Dalam ayat di atas, Allah Swt. mendahulukan untuk menyebut kata kufur terhadap thâghût
supaya tidak menempel satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam jiwa, sehingga
setelah itu datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang dialami oleh orang yang berpegang
teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ).
Allah Swt. juga berfirman:
ِ ِْ ‫ِى تَ ؤم ت مْ نَنننننننننننننننننننننننننننس‬
َ َ‫ِى َْ تل ؤمننننننننننننننننننننننننننن ت مْ نْ و‬ َ ‫فَنننننننننننننننننننننننننننس تعلَ تمِاَنَنننننننننننننننننننننننننننؤؤِالَِيََْنننننننننننننننننننننننننننؤَِيْالَِهللاؤ‬
َ َ ‫ِى ت ننننننننننننننننننننننننننن َ تُ تِْْ َْننننننننننننننننننننننننننن َ تن ْم‬
ِ ‫ِى َم ت َى ؤَ تِم‬ َ ‫َىهللاؤِ َ تلَ ؤمِ ؤم َ َلَمَ ؤَ تم‬
Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, serta
mohonkanlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang Mukmin, laki-laki dan
perempuan. Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS Muhammad
[47]: 19).

Frasa lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti dan memikirkan, muncullah ‘ilm (baca:
keyakinan)—yang bermakna negasi—bahwa sesungguhnya tidak ada ‘tuhan’ yang ada sebagai
Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa
ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik Allah semata. Artinya, kalimat di atas menegasikan
tuhan selain Allah, dan sekaligus mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak
disebut Tuhan. Dalam perspektif bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan
(itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi untuk memberikan pembatasan/pengkhususan (al-
hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran sosialis, nasionalisme, atau patriotisme yang akan
menyelamatkan atau merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu
semuanya adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya.
Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan petunjuk, cahaya, dan
penyembuh.
Partai politik Islam mesti melakukan pembinaan atas para anggotanya sekaligus
membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islâmiyyah) mereka. Caranya adalah dengan
menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok ukur yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka.
Dengan begitu, mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika
melanggarnya; mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika berhukum
dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam memandang perkara-perkara
yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur dan pemikiran yang bersumber dari syariat;
kecenderungan mereka mengikuti kecenderungan Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka
semata-mata karena alasan syar‘î.
Partai politik Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran ini kepada para
pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah (pembinaan intensif). Halaqah ini dimaksudkan
dalam rangka mempersiapkan para aktivis partai untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas
dakwah. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas bersama partai untuk
mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikirannya.
Partai politik Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang ada dengan cara berpikir.
Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya proses berpikir yang dipergunakannya
sehingga ia sampai pada suatu definisi atau batasan-batasan rasional (‘aqliyyah). Dengan
demikian, partai berperan sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara
mereka berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai pada berbagai
definisi rasional mengenai sejumlah realitas yang ada—sesuatu yang niscaya bagi hukum-hukum
syariat—yang menempati posisi sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi
akal, kebutuhan fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan (nahdhah),
masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah), kebudayaan material (madaniyyah), dan
lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan karena adanya kebutuhan untuk mengetahui
hakikatnya yang sangat berkaitan dengan banyak hukum syariat.
Partai politik Islam juga harus memahami hukum-hukum syariat melalui pemahaman
terhadap dalil-dalilnya. Dari dalil-dalil itulah kemudian digali sejumlah hukum yang berkaitan
dengan penyelesaian berbagai masalah atau perbaikan realitas. Hal ini tentu saja membutuhkan
pengadopsian (tabanni) sejumlah perangkat ilmu. Ilmu inilah yang memungkinkan partai mampu
memahami nash-nash syariat sehingga, pada gilirannya, ia mampu memahami hukum-hukum
syariat dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, partai wajib mempergunakan metode penggalian
dalil (istidlâl), khususnya di hadapan para aktivisnya dan juga umat Islam secara umum. Artinya,
partai mesti mengajarkan kepada mereka, sekaligus menanamkan di dalam jiwa-jiwa mereka,
metode Islam yang benar di dalam memahami sekaligus menggali hukum-hukum syariat.
Partai politik Islam, ketika pemikiran-pemikiran Islam yang diadopsinya ditransformasikan
kepada para aktivisnya, juga wajib memperhatikan bahwa aspek amaliahnyalah yang dijadikan
tujuan. Jadi, pemikiran kolektif partai bukan sekadar untuk dipelajari, dikembangkan sebagai
pengetahuan, atau semata-mata ditujukan agar para aktivisnya mencapai derajat ilmu yang
mumpuni. Akan tetapi, lebih dari itu, pemikiran kolektif ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi
pergumulan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sekaligus
untuk mengembannya sebagai kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyyah) di dalam diri umat
dalam upaya mendirikan sebuah institusi (baca: Daulah Islamiyah) yang akan membumikannya.
Partai politik Islam juga wajib menerjemahkan pemikiran kolektifnya secara praktis dan
mendetail. Partai tidak boleh mengatakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu yang sebaliknya. Jika
melakukan hal yang demikian, niscaya hanya kebencian yang besar di sisi Allah terhadap partai,
karena ia mengetahui yang haq tetapi melaksanakan hal yang sebaliknya.
Memang, partai politik Islam harus mengadopsi pemikiran (tsaqâfah) Islam—sebagai
pemikiran kolektif partai—dan demikian juga para aktivisnya. Partai harus menjadikan pemikiran
kolektifnya sebagai asas bagi mereka dan menanamkannya dalam jiwa para aktivisnya. Dari sini,
partai politik Islam dapat terjun ke tengah-tengah umat dengan membawa pemikiran-pemikiran
Islam yang pokok, yakni dengan cara yang dapat membentuk opini umum terhadap pemikiran-
pemikiran tersebut. Partai politik Islam terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah pemikiran
Islam mengenai akidah dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam bentuk yang dapat
menyatukan umat. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yaitu menjadikan syariat Allah
sebagai satu-satunya hakim (pemutus perkara). Dengan begitu, partai telah memiliki perspektif
yang benar, yang dianggap sebagai awal kembalinya kepribadiannya yang telah lama hilang.
Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok yang dimaksud adalah seperti
pemikiran-pemikiran yang mendorong umat pada pengesaan Allah dalam hukum (tasyrî‘) dan
ibadah, yang mengarahkan pada pemahaman bahwa Rasulullah saw. adalah satu-satunya yang
boleh diikuti, yang merangsang umat untuk selalu merindukan surga, dan yang menimbulkan rasa
ngeri terhadap neraka. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok ini juga harus
mengandung penjelasan bahwa: usaha untuk mendirikan Daulah Islamiyah adalah salah satu
kewajiban paling penting di antara sejumlah kewajiban penting lainnya dalam Islam, karena
banyaknya kewajiban lain yang bergantung padanya; umat Islam adalah umat yang satu, berbeda
dengan umat yang lain, sehingga adanya perbedaan ras atau sistem yang berkuasa atas mereka
tidak boleh menjauhkan jarak mereka; umat Islam adalah bersaudara sehingga bukan ikatan
patriotisme atau nasionalisme yang menguasai mereka; jauhnya umat Islam dari hukum-hukum
syariatlah yang mewariskan kehinaan dan kerendahan bagi mereka; umat Islam wajib untuk terikat
dengan syariat yang berasal dari Tuhan mereka dan mereka tidak boleh melakukan satu
perbuatan pun kecuali setelah mengetahui dalilnya.
Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah yang akan menciptakan suatu lahan yang subur
bagi tumbuhnya hukum-hukum Islam yang matang dan bernas.
Semua yang telah kami sebutkan di atas harus tercakup di dalam pemikiran kolektif partai
politik Islam. Dalam hal ini, cita-cita kita hanyalah bagaimana mewujudkan metode
dakwah/perjuangan yang selamat, yang memang diperintahkan oleh syariat, di dalam menentukan
pemikiran kolektif ini. Dengan berpedoman pada metode tersebut, proses pengadopsian pemikiran
tersebut berlangsung dengan sempurna.
Dengan demikian, berarti telah lahir di dalam partai sejumlah besar pemikiran dan
pendapat serta hukum-hukum syariat yang harus dimilikinya. Semua itu diperlukan sebagai bekal
untuk menerjuni pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî),
mewujudkan pemikiran-pemikiran yang terkonsentrasikan (tsaqâfah murakkazah) dalam diri orang-
orang yang bersedia memikul tanggung jawab dakwah ini di atas pundak-pundak mereka, serta
menciptakan opini umum di tengah-tengah umat sehingga mereka mau menerima pemikiran-
pemikiran yang diemban oleh partai.
Inilah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik Islam. Jika partai tetap
konsisten dengan batasan-batasan di atas, ia tidak akan ditimpa malapetaka seandainya ia
membuat sejumlah kekeliruan pada sebagian hukum-hukum cabang, atau ketika partai berbeda
pendapat dengan partai lainnya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar dan bukanlah hal
yang aneh.
Inilah pemikiran (tsaqâfah) yang dibutuhkan oleh partai politik Islam agar berhasil mencapai
cita-citanya. Keberhasilan tersebut akan direpresentasikan oleh adanya penerapan syariat Allah
dan tersebar luasnya dakwah ke seluruh pelosok dunia. Wallâhu Waliy at-tawfîq.

Bab 8
Keharusan Mengadopsi Pemikiran yang Dibutuhkan
Untuk Menjalankan Aktivitas Kepartaian

Sebagaimana telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat bukanlah semata-
mata keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah adanya partai yang mampu
melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil-dalil mengenai keharusan adanya partai dakwah telah
menjelaskan hal itu kepada kita.
Allah Swt. berfirman:
ِ ِ َ‫َننننننننننننننننننننىو‬
‫ت‬ َ ْ ‫ِى َنننننننننننننننننننن ت ؤم ؤْىوَ ِ ْمننننننننننننننننننننس تَ َم ت ؤْى‬
‫ِى َ تنه‬ َ ْ‫تنننننننننننننننننننن‬
ْ ‫ َى تَنننننننننننننننننننن ََ تؤوِمْ نننننننننننننننننننن تن ؤَ تمِا ؤ َمننننننننننننننننننننيٌِ َنننننننننننننننننننن ت ؤ‬
َ َ‫عىوَ ِ ْيََنننننننننننننننننننن ِ ت‬
ِ َِ‫ِىاؤىََ ْئ َ ِ ؤه ؤمِ تَ ؤم تُ ْلحؤىو‬
َ َْْ َ‫ع َْوِ تَ ؤم تن‬
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (al-Islâm), menyuruh
kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali
‘Imran [3]: 104).

Melalui ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk mendirikan partai
politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah pemikiran dan hukum-hukum syariat
yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan
konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf). Yang dimaksud
tentu bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya partai yang dapat
merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah
kemungkaran. Lebih dari itu, yang dituntut juga bukan sekadar adanya partai yang mendakwahkan
Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran; tetapi partai yang melaksanakan
semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan
konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan perubahan (dan pengambilalihan) kekuasaan
(istikhlâf).
Rasulullah saw. bersabda:

Tidak halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang
di antara mereka menjadi amir (pemimpin). (HR Ahmad ibn Hanbal).

Hadis di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas umat Islam untuk
dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana, seperti adanya seorang amir yang
wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia diangkat, dan adanya partai yang memiliki komitmen
terhadap perintah amir. Dengan adanya kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang
dikehendaki sesuai dengan tuntutan syariat.
Kita telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak kewajiban atas umat
Islam, sekaligus menyandarkan pelaksanaannya kepada Khalifah semata, bukan yang lain.
Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah untuk menegakkan berbagai
kewajiban tersebut. Kita pun telah memahami bahwa pengangkatan Khalifah dan penegakkan ke-
Khilafahan tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan adanya partai Islam. Implikasinya,
harus ada partai Islam yang didirikan dalam rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan
ke-Khilafahan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada kaidah syariat berikut:

Selama suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat dengan adanya
tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai yang didirikan untuk sekadar
mengemban dakwah Islam atau tabligh semata. Lebih dari itu, partai Islam yang ada haruslah
ditujukan dalam rangka menegakkan Islam di dalam realitas kehidupan umat Islam melalui
pendirian Daulah Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk
menerapkan setiap hukum Islam, baik yang bersifat individual maupun kolektif.
Jamaah/partai Islam yang dimaksud harus memenuhi sejumlah syarat berikut:

1. Mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat—yang sesuai dengan syariat—yang


dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya, sekaligus terikat dengan ketiganya; baik dalam
pemikiran, perkataan, maupun tindakan. Alasannya, di antara fungsi pengadopsian (tabanni)—
dalam pemikiran, hukum, dan pendapat—adalah untuk mempersatukan para anggota partai.
Sebuah partai yang para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut berbagai
ijtihad—meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam secara umum—tidak bisa
tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan perpecahan. Bahkan, lebih jauh, akan muncul di
dalam tubuh partai itu sejumlah ‘partai kecil’ dan akan lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah;
dakwahnya akan berubah dari upaya mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk
menegakkan kewajiban ini ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya; mereka akan
saling bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar pendapatnyalah yang dipakai di dalam
partai. Dari sini, tampak jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) dan
legislasinya bagi partai. Alasannya, kesatuan partai sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada
yang dapat menjaga kesatuan partai kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat)
yang dibutuhkan partai dalam aktivitas perjuangannya. Dalam hal ini, para aktivis partai jelas wajib
juga untuk mengadopsi apa yang telah diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni) merupakan
tuntutan syariat berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.”
Selama berbagai pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada sebuah partai
sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya menaruh kepercayaan penuh pada partai,
maka partai boleh mewajibkan para aktivisnya untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan
apa yang telah diadopsinya. Hal ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim untuk
meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain. Utsman ibn ‘Affan r.a.,
misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil ijtihad
Abu Bakar dan ‘Umar r.a., meskipun pendapat keduanya bertentangan dengan pendapatnya. Para
sahabat telah menyetujui sikap ‘Utsman dan mereka pun membaiat ‘Utsman. Hanya saja, hal ini
merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban. Alasannya, Sayidina ‘Ali r.a. tidak mau
meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil pendapat Abu Bakar dan ‘Umar, sementara tidak ada
seorang pun dari para sahabat yang mengingkari hal itu. Ada pula ada hadis sahih dari asy-Sya‘bi
yang menyebutkan bahwa Abu Musa pernah meninggalkan pendapatnya dan mengambil
pendapat Ali; Zaid meninggalkan ijtihadnya dan mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah
meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis yang
meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat mereka dan
mengambil pendapat ‘Ali. Hal ini menunjukkan bolehnya seorang mujtahid meninggalkan
pendapatnya dan mengambil pendapat orang lain dengan didasarkan pada keyakinan pada
ijtihadnya. Namun demikian, para aktivis partai harus berpegang teguh pada pemahaman
partainya sehingga akan tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan pemikiran dan perasaan.
2. Disamping partai harus mengadopsi hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitasnya, ia
juga harus mengadopsi sejumlah cara (uslûb) yang diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum
tersebut. Uslûb, dengan demikian, merupakan model dari penerapan hukum-hukum syariat. Uslûb
adalah hukum yang berkaitan dengan hukum asal di mana dalil datang untuk menetapkannya.
Sebagai contoh: yang dituntut dari sebuah jamaah adalah memproduksi pemikiran (tsaqâfah) yang
mendalam pada diri para aktivisnya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Rasulullah saw. Ini
adalah hukum syariat yang harus dilaksanakan. Lantas, dengan model seperti apa dan bagaimana
hukum syariat ini diaplikasikan, tentu harus ada cara (uslûb) tertentu. Dalam hal ini, dapat
digunakan uslûb berupa halqah, ‘usrah, atau model lainnya.
Dengan demikian, pemilihan cara/model (uslûb) dakwah semata-mata didasarkan pada
pertimbangan akal untuk aktivitas yang paling sesuai, yang dengannya hukum syariat dapat
dilaksanakan. Secara asali, uslûb ini hukumnya mubah. Dengan kata lain, syariat sendiri telah
menuntut agar hukum syariat direalisasikan, sedangkan mengenai uslûb, penerapannya
diserahkan kepada umat Islam sendiri.
Banyaknya uslûb bagi penerapan satu hukum syariat mengharuskan partai mengadopsi
uslûb tertentu dan membimbing para aktivisnya untuk menggunakannya. Dalam hal ini, partai
hendaknya mengadopsi uslûb yang dapat mengantarkan pada penerapan hukum-hukum syariat.
Atas dasar ini, hukum uslûb diambil berdasarkan hukum pokoknya. Jadi, uslûb yang diambil
bersifat mengikat sebagaimana halnya hukum syariat.
Sebuah partai yang telah memilih halaqah (halqah, halqât) sebagai uslûb untuk
mewujudkan pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam harus mengadopsi uslûb tersebut sebagai
sesuatu yang mengikat. Ketika mengadopsi uslûb tersebut, partai harus memandang bahwa tujuan
yang diharapkan, yaitu terwujudnya tsaqâfah yang mendalam, akan tercapai dengan uslûb ini.
Contohnya adalah demikian: jumlah anggota halaqah harus disesuaikan dengan tujuan. Jumlah
anggota halaqah yang terlalu banyak dapat menyebabkan para anggotanya kurang konsentrasi.
Sebaliknya, jumlah anggota halaqah yang terlalu sedikit akan mengakibatkan jumlah kelompok
halaqah menjadi banyak sehingga akan menyulitkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, jumlah
anggota halaqah harus sesuai dengan proses penanaman pemikiran; tidak lebih dan tidak kurang.
Penentuan jumlah anggota halaqah ini harus dipertimbangan secara rasional. Demikian juga
alokasi waktu yang diperlukan untuk halaqah; harus diatur agar para anggota halaqah tetap
memiliki kesadaran di dalam memahami berbagai pemikiran yang ada. Alokasi waktu halaqah
yang terlalu lama akan mengakibatkan daya serap para anggota terhadap materi halaqah menjadi
rendah. Daya serap para anggota yang rendah akan mengakibatkan berbagai pemikiran tidak
tersampaikan secara sempurna. Demikian pula menyangkut frekuensi halaqah; apakah harian,
mingguan, atau dwimingguan; harus disepakati dan ditetapkan waktunya. Dengan begitu, aspek
praktis dalam dakwah tidak akan menjadi sulit dan para aktivis partai tidak disibukkan oleh aspek
ilmiah Islam dengan mengorbankan aspek amaliahnya. Demikianlah proses pengadopsian setiap
uslûb yang sesuai dengan hukum-hukum syariat berlangsung dan menjadikannya pas dengan
hukum-hukum syariat yang ingin direalisasikan. Apa yang dibicarakan berkaitan dengan uslûb juga
sama persis dengan apa yang dibicarakan bekenaan dengan wasilah (sarana) dakwah. Seorang
pemimpin partai, dalam hal ini, boleh melakukan perubahan terhadap uslûb dan wasilah yang
digunakan sesuai dengan apa yang memang dituntut untuk merealisasikan suatu amal.
3. Karena aktivitas partai meliputi areal yang luas di muka bumi dan memiliki jaringan di berbagai
negara, maka besarnya tugas yang dibebankan pada partai mengharuskan adanya struktur
administrasi (jihâz idârî). Dengan struktur administrasi ini, partai dapat melakukan monitoring
dakwah, merealisasikan berbagai targetnya di seluruh lahan aktivitasnya, mengatur dan
menertibkan gerakan dakwah, mengawasi pembinaan para aktivisnya, mempersiapkan kondisi
umum atas ide, terjun dalam pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-
kifâh as-siyâsî), sekaligus menampilkan diri di tengah-tengah umat sebagai satu tubuh yang
memposisikan dirinya untuk melaksanakan kewajiban ini. Dengan demikian, harus ada struktur
organisasi yang didirikan untuk mencapai tujuan secara optimal sehingga hasil-hasilnya dapat
diperoleh dan dilestarikan.
Oleh karena itu, partai harus pula mengadopsi struktur administrasi (jihâz idârî) atau
struktur organisasi sehingga pengaturan aktivitas dakwah dapat dilakukan secara sempurna.
Dengan begitu, tujuan dakwah dapai dicapai dengan sukses.
Setelah itu, partai harus mengadopsi peraturan administrasi (qânûn idârî) yang akan
mengatur setiap bagian partai dan gerakan di dalamnya, membatasi wewenang ketua (amir)
partai, menentukan bagaimana ketua partai mengatur partai, menjelaskan bagaimana cara
pemilihan ketua partai, serta menerangkan siapa yang berhak mengangkat penanggung jawab
mantiqah-mantiqah (mas’ûl manâtiq) atau penanggung jawab wilayah-wilayah (mas’ûl wilâyât) dan
batas-batas wewenang mereka. Singkatnya, peraturan ini mengatur administrasi setiap aktivitas
partai dan menentukan wewenang semua komponen partai.
Semua yang disebutkan di atas merupakan uslûb dan wasilah yang dibutuhkan untuk
melaksanakan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitas partai. Berbagai uslûb
administrasi yang diadopsi partai wajib dilaksanakan selama ketua (amir) partai memandang perlu
hal itu. Alasannya, menaati ketua/amir partai hukumnya wajib.
4. Setiap perkara yang telah diadopsi oleh partai adalah wajib dilaksanakan. Lantas, bagaimana
sikap partai jika terjadi pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsinya? Apakan partai akan
menyelesaikannya dengan teguran atau sanksi administratif?
Sebuah organisasi politik sesungguhnya juga harus mengadopsi sejumlah sanksi
administratif atas setiap anggotanya yang melanggar hukum yang telah diadopsinya atau yang
melampaui batas-batas syariat yang telah ditetapkannya. Dasar hukum dari keharusan adanya
sanksi-sanksi tersebut adalah adanya pelanggaran terhadap perintah amir (mukhâlafah al-amir).
Alasannya, hukum syariat telah mewajibkan adanya amir jamaah atau ketua partai sekaligus
mewajibkan pula untuk menaatinya. Pelanggaran terhadap setiap perintahnya—yang berkaitan
dengan semua perkara yang menyebabkan dirinya diangkat sebagai amir/ketua atas diri mereka—
adalah tindakan yang diharamkan. Jika tidak demikian, eksistensi amir/ketua bagi partai tentu tidak
ada artinya.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah berabda:

Siapa saja yang menaatiku, dia sesungguhnya telah menaati Allah; siapa saja yang bermaksiat
kepadaku, dia sesungguhnya telah bermaksiat kepada Allah; siapa saja yang menaati amir, dia
sesungguhnya telah menaatiku; dan siapa saja yang bermaksiat kepada amir, dia sesungguhnya
telah bermaksiat kepadaku. (HR Muslim).

Adanya sanksi-sanksi administratif harus meliputi seluruh komponen partai, mulai dari amir
sampai anggota terkecil dalam tubuh partai. Sanksi-sanksi ini diberlakukan atas seluruh
pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsi oleh partai. Jadi, siapa saja yang melakukan
pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat yang diadopsi partai, melanggar uslûb-uslûb-nya,
atau tidak mempedulikan eksistensi struktur administrasi (jihâz idârî) atau peraturan administrasi
(qânûn idârî), ataupun keluar dari batas-batas wewenangnya harus ditegur, dikritik, atau diberi
sanksi.

Demikianlah, suasana pemikiran harus disertai dengan suasana organisasi yang teratur,
yang akan mengatur pengejawantahan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aktivitas partai
dan hukum-hukum yang berhubungan dengan metode dakwahnya.
Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri betapa banyak organisasi Islam maupun
non-Islam telah bubar karena tidak memperhatikan aspek keorganisasian yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, wajar jika sebuah partai yang tidak memperhatikan gagasan tentang betapa
pentingnya pengadopsian (tabanni) pemikiran/hukum akan selalu dilanda perbedaan pendapat,
menghadapi keguncangan dan kekacauan, masuk dalam lingkaran setan, mengalami berbagai
deviasi, dan tidak memiliki pihak yang melakukan kritik terhadapnya. Akibatnya, partai akan
semakin jauh dari sosoknya yang memenuhi berbagai ketentuan syariat. Wajar pula jika
perekrutan para anggota partai dan para penanggung jawabnya yang tidak berdasarkan syarat-
syarat syar’iyyah yang tertib—tetapi berdasarkan pada kekerabatan, kedudukan sosial, jabatan,
atau tingkat pendidikannya—akan mengakibatkan buruknya distribusi tugas-tugas dakwah dan
menciptakan kesenjangan jabatan di antara para anggotanya. Tidak adanya aturan administrasi
yang jelas, yang harus ditaati oleh semua anggota partai, secara alami, juga akan menimbulkan
kritik/teguran yang bersifat diskriminatif dan tidak proposional. Demikian pula jika tidak ada sanksi-
sanksi administratif yang tidak mentoleransi terjadinya pelanggaran besar maupun kecil dan tidak
akan membiarkan orang menikmati kemaksiatan dan banyak berbuat kesalahan.
Berdasarkan hal di atas, berbagai aspek keorganisasian dan pembentukan tubuh partai
yang mampu bergerak secara efektif harus selalu diperhatikan, karena hal itu merupakan garansi
bagi tertibnya pemikiran-pemikiran dakwah dan terkoordinasinya para aktivis partai, yang lebih
lanjut akan memudahkan aktivitas dakwah. Dalam hal ini, pembentukan partai atau jamaah
dakwah harus senantiasa sesuai dengan tujuannya.
Hendaknya jangan ada seorang pun yang berasumsi bahwa aspek keorganisasian hanya
merupakan perkara sekunder. Akan tetapi, harus disadari bahwa aspek ini mempunyai peran yang
sangat penting dan krusial. Oleh karena itu, jika penyusunan dan pembentukan partai tidak tepat,
pengadopsian hukum-hukum yang diperlukannya tidak bagus, dan keterikatannya terhadap apa
yang diadopsi tidak baik, maka segala sesuatu yang dimiliki partai—sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya—akan mengalami keruntuhan dan kehancuran.
Selanjutnya, harus disadari, bahwa pelaksanaan tugas-tugas keorganisasian
mengharuskan partai atau jamaah memiliki dana. Di antaranya adalah untuk membiayai aktivitas
para aktivisnya yang membutuhkan dana untuk transportasi, biaya percetakan/fotokopi, dan lain
sebagainya, yang diperlukan bagi upaya pengembanan dakwah Islam. Tanggung jawab keuangan
ini harus ditanggung oleh partai, dengan kata lain, harus ditanggung oleh para anggotanya.
Dengan demikian, siapa saja yang telah mengikhlaskan diri untuk berdakwah, sudah selayaknya
dia mengorbankan hartanya, yang nyata-nyata lebih ringan dibandingkan dengan memilkul tugas
dakwah itu sendiri.
Dalam hal ini, partai harus berusaha keras agar tidak meminta bantuan pihak luar; baik
pihak luar ini adalah individu, kelompok, atau pemerintah. Dengan begitu, partai tidak akan
disusupi melalui sektor ini. Masalahnya, musuh-musuh partai akan selalu berpikir untuk
mengeksploitasi kebutuhan partai terhadap dana hingga mereka pun menawarkan bantuannya.
Boleh jadi, pada awalnya tanpa pretensi apa-apa. Akan tetapi kemudian, tidak berapa lama,
bantuan dana tesebut akan berubah menjadi bantuan yang mengandung motif dan tujuan tertentu
di baliknya.

Bab 9
Persoalan di Seputar Gerakan Multipartai Islam

Di dalam sejumlah topik yang telah dibahas sebelumnya di dalam buku ini, kami berusaha
memberikan konsepsi yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai program oleh setiap
harakah, partai, atau jamaah dakwah. Kami memang tidak membahasnya secara mendetail, tetapi
hanya sekadar memberikan prinsip-prinsipnya yang harus diperhatikan. Dalam hal ini, kami
menyerahkan penjelasan rinci mengenai partai dakwah ini kepada para mujtahidnya masing-
masing.
Sekarang ini, di lapangan dakwah terdapat banyak sekali lontaran pemikiran yang tidak
berlandaskan pada asas yang benar, dan banyak sekali partai dakwah yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang dituntut oleh syariat. Sejumlah partai yang ada itu tidak lain sekadar merupakan
perkumpulan umat Islam yang rela melakukan aktivitas yang bersifat parsial—yang tidak dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang ada, sekalipun bersifat parsial—serta melalaikan
pandangan yang komprehensif menurut syariat. Sejumlah partai dakwah tersebut pada dasarnya
tidak mengemban Islam secara benar, yakni yang memungkinkan Islam dapat diterapkan secara
sempurna di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Partai dakwah semacam ini sangat banyak
jumlahnya, bahkan di satu negeri saja bisa mencapai ratusan. Pada gilirannya, mereka
menjadikan sejumlah “toko dan lahan pertanian” kehabisan segala usahanya, serta menjadikan
orientasi dan aktivitas yang sahih hilang pada diri umat Islam.
Di tengah sejumlah banyak partai dakwah yang banyak menarik perhatian ini, hanya ada
sedikit sekali yang memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk mencapai berbagai tujuan Islam
dan berusaha merealisasikannya. Seandainya kita menghilangkan “lahan-lahan pertanian dan
toko-toko” ini dari perhatian kita seraya memfokuskan pandangan kita pada sejumlah partai
dakwah yang besar yang memiliki pandangan jauh ke depan dan aktivitas yang komprehensif, lalu
apa sebetulnya yang dikehendaki oleh syariat? Apakah adanya satu partai dakwah saja yang
meliputi segala aktivitas dan menunaikan apa yang dituntut oleh syariat? Ataukah syariat
membolehkan adanya banyak harakah (gerakan)—selama berada di dalam batas-batas syariat—
yang berusaha melakukan perubahan? Bagaimana pandangan yang benar mengenai aktivitas
dakwah yang bersifat parsial, komprehensif, atau keseimbangan di antara keduanya? Bagaimana
pula pandangan yang sahih mengenai gerakan dakwah yang bersifat lokal atau internasional?
Sesungguhnya masalah kesatuan dan keragaman amal Islami (adanya satu atau banyak
jamaah/partai dakwah) telah banyak menyita perhatian serta menimbulkan sikap pro dan kontra.
Ada yang berpendapat mengenai perlunya kesatuan amal Islami dalam melakukan perubahan
melalui satu harakah saja dan ada pula yang membolehkan amal tersebut dilakukan oleh banyak
harakah.
Seandainya kita mengembalikan setiap cabang pembahasan ke akarnya, kita pasti akan
dapat membedakan antara dalil-dalil syariat dan dalih-dalih yang hanya berfungsi sebagai
pembenar saja. Seandainya kita pun memperhatikan pendapat yang mewajibkan kesatuan amal
Islami melalui satu harakah, kita pun pasti akan melihat bahwa kewajiban itu berada dalam dua
judul:
Judul pertama: Kesatuan amal Islami merupakan kewajiban syariat.
Judul kedua: Kesatuan amal Islami merupakan kebutuhan harakah.
Pertimbangan bahwa kesatuan amal Islami merupakan kewajiban syariat didasarkan pada
dalil-dalil berikut:
1. Adanya isyarat kesatuan umat Islam dan kesatuan umat secara keseluruhan berdasarkan firman
Allah Swt. berikut:
َ َ‫ِىاَن‬
ِْ ‫سِْمُّ ؤَ تِمِفَس تعمؤ‬
ِ ‫ؤىو‬ َ ً‫يْوَ ِ َه ْ هِْا ؤ َم ؤ ؤَ تمِا ؤ َمي‬
َ ً َ ْ‫ِى ح‬
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua.
Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku. (QS al-Anbiya’ [21]: 92).
َ َ‫ِىاَن‬
ِْ ‫سِْ ُّم ؤَ تمِفَس َ ؤ‬
ِ ‫ىو‬ َ ً‫ َى ْيوَ ِ َه ْ هِْا ؤ َم ؤ ؤَ تمِا ؤ َمي‬
َ ً َ ْ‫ِى ح‬
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh
karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku. (QS al-Mukminun [23]: 52).

Isyarat di atas juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw. berikut:

Permisalan orang-orang Mukmin itu dalam kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh; jika
salah satu anggotanya ada yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan gelisah dan demam.
(HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

2. Adanya isyarat khusus mengenai keharusan adanya kesatuan dan larangan untuk berbeda
pendapat berdasarkan firman Allah Swt. berikut:
ِ ‫بِعَظِْ ٌِم‬ َ ِ‫ِىاؤىََئْ َ ََِ ؤه تم‬
ٌ َ‫ع‬ َ ‫ َىالَِ ََؤىنؤى ََِسََ ْ وَ ِ ََُ َْقؤى‬
َ ‫ِى ت َلَُؤى ِمْ توِمَ ت ِْ َمسِجَس َء ؤه ؤمِ تَمَ ْنَس ؤ‬
Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang
kepada mereka sejumlah bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan
azab yang pedih. (QS Ali ‘Imran [3]: 105).
ِ َِ‫يءٍ ِيْنَ َمسِا َ تم ؤْ ؤه تمِيََْ ِهللاِْ ؤ َمِ ؤنَمْئ ؤ ؤه تمِمْ َمسََِسنؤى ِ َ تُ َلؤىو‬ َ ِ‫ش َ ًسََِ ت َ ِمْ تن ؤه تمِفْي‬
ِ‫ش ت‬ َ ‫يْوَ ِ ََ ْ وَ ِفَ َْقؤى ِ ْ نَ ؤه تم‬
ْ ِ ‫ِىََسنؤى‬
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS al-An’am [6]: 159).
.
3. Adanya keharusan untuk membentuk satu partai dakwah, bukan banyak partai dakwah
berdasarkan sabda Rasulullah saw. berikut:
Akan ada kebinasaan demi kebinasaan. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin memecah-
belah urusan umat ini, sedangkan mereka dalam keadaan bersatu, maka bunuhlah dia, siapa pun
orangnya. (HR Muslim).

Rasulullah saw. telah mengundang kami dan kami pun membaiat beliau. Beliau lantas
menyatakan apa yang harus kami laksanakan, yaitu agar kami membaiat beliau untuk selalu
mendengar dan taat di dalam keadaan susah maupun senang serta di dalam keadaan sempit
ataupun lapang; agar lebih mengutamakan beliau; dan agar kami tidak merebut kekuasaan yang
sah. Beliau kemudian berkata, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian
memiliki bukti yang nyata di hadapan Allah’. (HR Muslim).

Jamaah itu adalah rahmat dan perpecahan itu adalah azab. (HR Imam Ahmad).

Tangan Allah selalu bersama orang-orang yang berjamaah. (HR at-Turmudzi dan an-Nasa’i).

Sementara itu, pertimbangan bahwa persatuan amal islami merupakan kebutuhan gerakan
dan kemanusiaan adalah didasarkan pada beberapa sebab berikut:

1. Sesungguhnya proses perubahan yang Islami merupakan aktivitas yang sulit; mengusir kekuatan
jahiliah dari kedudukannya juga bukanlah perkara yang mudah; sementara upaya merealisasikan
kekuasaan Islam atas masyarakat—dalam pemikiran, perilaku, dan sistem —menuntut adanya
pelekatan berbagai kekuatan di dalam satu kerangka persatuan yang bersifat gabungan (fusi),
bukan hanya sekadar koordinasi.
2. Konspirasi internasional atas Islam dan atas harakah Islam mengharuskan adanya persatuan
dalam menghadapi dan menantangnya. Kekuatan internasional yang memusuhi Islam dan
bersekongkol untuk menguasai Dunia Islam telah saling bekerjasama dan menyatukan
perjuangannya. Oleh karena itu, bukankah lebih baik jika kekuatan Islam yang ada di Dunia Islam
bersatu agar tidak menjadi santapan yang lezat bagi musuh dan agar tidak mudah bagi mereka
untuk mengeliminasi dan menjatuhkannya? Secara prinsip, jika persatuan amal Islami bukan
merupakan sebuah kewajiban yang dituntut oleh syariat, hal demikian tidak akan pula menjadi
penjaga masa depan Islam serta memelihara perjalanan Islam dari kerusakan, pelecehan, dan
pemusnahan.
3. Berbagai kekuatan dan partai yang bersifat lokal yang memusuhi Islam sampai sekarang ini telah
memiliki cabang-cabangnya di seluruh Dunia Islam. Mereka senantiasa mempelajari, mengawasi,
merancang strategi, dan selalu bersiap diri di segala lini. Apakah memang kekuatan-kekuatan
Islam dalam menghadapi realita ini harus tetap berpecah-belah? Ataukah sebaiknya umat Islam
membuang segala slogan serta sebab-sebab yang menghalangi persatuan dan
penggabungannya?

Dalil-dalil (justifikasi) di atas dan yang semacamnya, secara pasti, akan menghilangkan
segala keraguan, kebimbangan, dan keterlambatan berdirinya satu gerakan Islam internasional,
yang pemikiran, pengaturan, strategi, dan persiapannya mampu ditampilkan.
Inilah dalil-dalil dan justifikasi yang dilontarkan oleh kalangan yang mewajibkan adanya
persatuan amal Islami (dalam satu partai) dan mengharamkan adanya multipartai. Oleh karena itu,
kita wajib berijtihad sesuai dengan metode Islam untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian dalil-
dalil dan justifikasi tersebut dengan realitas.
Sebagaimana telah kami paparkan sebelumnya, umat Islam saat ini hidup di dalam
naungan darul kufur, yang karenanya mesti diubah agar menjadi darul Islam. Kami juga telah
menjelaskan mengenai keharusan adanya jamaah/partai yang berjuang untuk merealisasikan
tujuan ini dengan cara mengikuti langkah-langkah perjuangan Rasulullah saw.
Sekarang, sebelum kita membahas dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh orang-orang
yang mengambil pendapat ini, kita harus memaparkan realitas partai yang memiliki komitmen
untuk menegakkan urusan ini: apakah partai yang dimaksud harus merupakan jamâ‘ah al-
muslimîn (umat Islam sebagai satu jamaah) atau jamâ‘ah min al-muslimîn (jamaah yang terdiri dari
sejumlah orang dari kalangan umat Islam).
Untuk memahami persoalan ini, kami ingin mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah telah
menetapkan beberapa kewajiban yang harus diusahakan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Di
antara kewajiban tersebut, ada yang harus dilaksanakan secara individual (fardhu ‘ain), yang tidak
dapat digugurkan sampai berhasil dilaksanakan; dan ada pula merupakan kewajiban kolektif
(fardhu kifayah), yang harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh suatu jamaah di tengah-
tengah umat Islam. Di antara sejumlah fardhu kifayah itu adalah kewajiban mendirikan Daulah
Islamiyah. Menegakkan syariat Allah secara total merupakan kewajiban, sementara seorang
individu Muslim tidak akan mampu melaksanakannya tanpa bantuan Muslim lainnya. Namun
demikian, setiap Muslim wajib menyatukan usaha serta mengumpulkan kemauan dan segenap
kesungguhan untuk menegakkannya. Perkara ini termasuk ke dalam bab Mâ lâ yatim al-wâjib illâ
bihî fahuwa wâjib (Selama suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan
adanya suatu perkara, maka perkara tersebut hukumnya wajib).
Kewajiban ini merupakan salah satu fardhu kifayah yang harus ditegakkan. Jika tidak
ditegakkan, maka siapa pun yang tidak melibatkan diri (berdiam diri) di dalamnya akan berdosa
besar. Akan tetapi, watak pelaksanaannya tidak membutuhkan partisipasi seluruh umat Islam,
yakni sekadar partisipasi sebagian orang yang dapat merealisasikan kifâyah (terpenuhinya
kewajiban); dengan kata lain hanya membutuhkan sekadar adanya jamaah/komunitas/partai dari
kalangan umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Partai ini berusaha untuk menegakkan kewajiban
ini. Para anggotanya yang berdiam diri dipandang berdosa dan dosa itu tetap ada pada siapa saja
yang tidak berusaha untuk merealisasikannya.
Partai yang ada di tengah-tengah umat Islam ini berupaya menegakkan kewajiban
tersebut. Partai juga harus mengevaluasi sekaligus mengkritisi benar-salahnya berbagai pemikiran
dan hukum yang diadopsi serta yang dibutuhkannya ketika beraktivitas untuk merealisasikan
tujuan yang ingin dicapai.
Partai yang dimaksud tentu bukan merupakan umat Islam secara keseluruhan sebagai
jamaah (jamâ‘ah al-muslimîn) karena banyak individu di tengah-tengah mereka tidak beraktivitas
bersamanya. Akan tetapi, mereka kadang-kadang beraktivitas dengan harakah lainnya—
sebagaimana akan segera kami jelaskan dalam pembahasan di seputar kebolehan adanya
gerakan multipartai—dan kadang-kadang pula ada yang tidak bekerjasama dengan satu jamaah
pun.
Partai ini juga tentu bukan Khalifah atau sejajar kedudukannya dengan Khalifah. Hukum-
hukum di seputar ke-Khalifahan tidak berlaku bagi partai. Partai tidak boleh mengerjakan satu
aktivitas apa pun yang menjadi tugas seorang Khalifah, yang pelaksanaannya memang hanya
disandarkan kepada dirinya, bukan kepada yang lain. Partai, dalam hal ini, hanya merupakan
salah satu jamaah yang merupakan bagian dari umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn) saja.
Sebaliknya, umat Islam dengan seluruh komunitas yang ada di dalamnya merupakan jamaah umat
Islam (jamâ‘ah al-muslimîn). Jama‘ah al-muslimîn meliputi semua jamaah dan semua individu
yang ada di tengah-tengah masyarakat, termasuk khalifah.
Yang dimaksud dengan jamâ‘ah al-muslimîn adalah umat Islam yang disatukan dan
dipersaudarakan oleh akidah Islam dan bukan oleh hukum-hukum syariat. Jadi, umat Islam
mungkin saja berbeda pendapat dalam berbagai perkara cabang (furû‘), tetapi perbedaan itu tidak
akan menafikan persaudaraan mereka. Andaikan hukum-hukum syariat menjadi standar
persaudaraan umat Islam, seorang Muslim, boleh jadi, tidak akan bersaudara dengan Muslim
lainnya. Sebaliknya, siapa saja—baik individu maupun jamaah dari kalangan umat Islam—yang
keluar dari akidah mereka, maka dia dianggap telah keluar dari jamâ‘ah al-muslimîn dan dia akan
terlempar ke dalam neraka. Pengertian seperti inilah yang dimaksud oleh Hadis Nabi saw. yang
berbunyi:

Orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang berpisah dari jamaah. (HR al-Bukhari
dan Muslim).

Maksudnya, seorang Muslim yang meninggalkan agamanya tidak lagi termasuk jamâ‘ah al-
muslimîn. Pengertian ini pula yang dimaksud oleh Hadis Rasulullah saw. berikut:

“Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; semuanya ada di neraka, kecuali satu.”
Mereka bertanya, “Golongan manakah itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Golongan yang
mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn
Hanbal).

Sebagai jamaah, umat Islam adalah umat yang satu; tidak seperti umat-umat lainnya. Umat
Islam sekufu (setara) dalam darah dan harta mereka. Orang yang dianggap paling rendah di
antara mereka sama dengan orang yang dianggap paling tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka
itu merupakan satu tangan, meskipun pemahaman mereka beragam dan hasil ijtihad mereka
berbeda-beda.
Dengan demikian, ada perbedaan yang jauh antara jamâ‘ah al-muslimîn dengan jamâ‘ah
min al-muslimîn. Jadi, keliru besar jika kita menerapkan dalil untuk jamâ‘ah al-muslimîn pada
jamâ‘ah min al-muslimîn.
Allah Swt. berfirman:

َ َ‫ِىاَن‬
ِْ ‫سِْ ُّم ؤَ تمِفَس تعمؤ‬
ِ ‫ؤىو‬ َ ً‫ ْيوَ ِ َه ْ هِْا ؤ َم ؤ ؤَ تمِا ؤ َمي‬
َ ً َ ْ‫ِى ح‬
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua.
Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku. (QS al-Anbiya’ [21]: 92).
َ َ‫ِىاَن‬
ِْ ‫سِْ ُّم ؤَ تمِفَس َ ؤ‬
ِ ‫ىو‬ َ ً‫ َى ْيوَ ِ َه ْ هِْا ؤ َم ؤ ؤَ تمِا ؤ َمي‬
َ ً َ ْ‫ِى ح‬
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh
karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku. (QS al-Mukminun [23]: 52).

Nabi saw. juga bersabda:

Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam kasih sayang di antara mereka adalah seperti
satu tubuh; jika salah satu anggotanya mengeluh sakit maka seluruh tubuh merasakan demam
dan tidak bisa tidur. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Nash-nash di atas mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan seluruh komponen
yang ada di dalamnya bukan merupakan salah satu jamaah Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Jika
suatu jamaah mengklaim dirinya sebagai jamâ‘ah al-muslimîn, maka klaim tersebut merupakan
kesalahan besar dan merupakan pemahaman yang aneh. Klaim tersebut tidak jarang
mengakibatkan hal-hal yang berbahaya seperti: menganggap orang yang tidak bergabung dengan
mereka sebagai orang yang tidak ikut serta dalam ukhuwah bersama mereka; sebagai orang yang
meninggalkan agamanya dan keluar dari jamaah; atau sebagai orang yang akan terjerumus ke
dalam neraka.
Mereka yang mengharamkan gerakan multipartai di tubuh umat Islam berdalih dengan
ayat-ayat berikut:

ِ ‫بِعَظِْ ٌِم‬ َ ِ‫ِىاؤىََئْ َ ََِ ؤه تم‬


ٌ َ‫ع‬ َ ‫ َىالَِ ََؤىنؤى ََِسََ ْ وَ ِ ََُ َْقؤى‬
َ ‫ِى ت َلَُؤى ِمْ توِمَ ت ِْ َمسِجَس َء ؤه ؤمِ تَمَ ْنَس ؤ‬
Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang
kepada mereka sejumlah bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan
azab yang pedih. (QS Ali ‘Imran [3]: 105).

ِ َِ‫ش تيءٍ ِيْنَ َمسِا َ تم ؤْ ؤِه تمِيََْ ِهللاِْ ؤ َمِ ؤنَمْئ ؤ ؤه تمِمْ َمسََِسنؤى ِ َ تُ َلؤىو‬
َ ِ‫ش َ ًسََِ ت َ ِمْ تن ؤه تمِفْي‬ َ ‫يْوَ ِ ََ ْ وَ ِفَ َْقؤى ِ ْ نَ ؤه تم‬
ْ ِ ‫ِىََسنؤى‬
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS al-An’am [6]: 159).

Dalil-dalil ini tidak relevan dengan realitas yang dimaksudkannya. Dua ayat ini tidak ada
kaitannya sama sekali dengan topik multipartai. Topik yang dibahas oleh dua ayat ini adalah
akidah, tidak berhubungan secara langsung dengan hukum-hukum syariat. Tafsirnya, “Janganlah
kalian seperti orang-orang yang melepaskan diri dari agama mereka dan berbeda pendapat
tentangnya setelah datang kepada kalian bayyinât, yaitu akidah-akidah yang jelas dan bukti-bukti
yang tegas (qath‘î). Yang dimaksud dengan mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan
Nasrani.”
Bahkan, Imam al-Baydhawi, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Janganlah kalian
bertikai dan berpecah-belah (QS Ali ‘Imran [3]: 104),” menyatakan demikian:
Maksudnya adalah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertikai dalam masalah tauhid,
penyucian Allah, dan beberapa kondisi alam akhirat; sementara mereka telah mengetahui—
setelah datang kepada mereka bukti-bukti—berbagai tanda dan hujjah yang menjelaskan
kebenaran yang wajib mereka sepakati. Tampak jelas bahwa larangan di dalam ayat ini khusus
ditujukan pada perbedaan pendapat dalam masalah ushûl, bukan masalah furû‘, berdasarkan
sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:

Siapa saja yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, sedangkan jika
ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.

Potongan ayat yang artinya, “Mereka itulah yang akan mendapatkan azab yang berat,”
merupakan ancaman bagi orang-orang yang berpecah-belah dan bagi orang-orang yang
menyerupai mereka.

Demikianlah pernyataan al-Baydhawi.

Dengan kata lain, suatu jamaah yang berusaha melakukan perubahan masyarakat berbeda
dengan jamaah lainnya dari segi hukum-hukum syariat. Satu jamaah berbeda dengan jamaah
lainnya dalam aspek hukum-hukum syariat. Jamaah yang dimaksud adalah partai Islam yang
berlandaskan akidah Islam. Perbedaan satu partai Islam dengan partai Islam lainnya bukanlah
dalam masalah akidah, tetapi dalam masalah hukum-hukum syariat. Oleh karena itu, ayat ini telah
mengeluarkan orang yang akidahnya bertentangan dengan akidah umat Islam—bukan orang yang
berbeda dalam masalah hukum-hukum syariat— dari agama Islam. Ayat ini tidak ada kaitannya
sama sekali dengan topik di seputar perbedaan ijtihad.
Apabila dikatakan bahwa ayat ini bersifat umum, sementara hukum yang diambil adalah
berdasarkan keumuman lafalnya dan bukan karena kekhususan sebabnya, maka kami
mengatakan bahwa keumuman dalam ayat ini tidak melampaui topik yang dibicarakan ayat ini.
Ayat ini umum mencakup semua pelanggaran dalam masalah akidah, bukan dalam masalah
selain akidah. Ini dari satu segi. Dari segi lain, pemahaman mereka bertentangan dengan hadis-
hadis yang membolehkan perbedaan pendapat dalam ijtihad. Dari segi lainnya lagi, pemahaman
mereka tentang mufâraqah sesungguhnya dimaknai sebagai mufâraqah dari agama.
Allah Swt. berfirman:

ِ َِ‫ش تيءٍِِيْنَ َمسِا َ تم ؤْ ؤه تمِيََْ ِهللاِْ ؤ َمِ ؤنَمْئ ؤ ؤه تمِمْ َمسََِسنؤى ِ َ تُ َلؤىو‬
َ ِ‫ش َ ًسََِ ت َ ِمْ تن ؤه تمِفْي‬ َ ‫يْوَ ِ ََ ْ وَ ِفَ َْقؤى ِ ْ نَ ؤه تم‬
ْ ِ ‫ِىََسنؤى‬
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS al-An’am [6]: 159).

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menyatakan demikian:

Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak, dan as-Sadi mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. ‘Aisyah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda kepadanya, “Mereka adalah orang-orang yang berbuat bid’ah.” (Mereka ada beberapa
kelompok) atau banyak firqah seperti para penganut berbagai agama, mazhab, hawa nafsu, dan
kesesatan. Sesungguhnya Allah Swt. telah membersihkan Rasulullah saw. dari apa yang mereka
anut. Di dalam qirâ’ah Hamzah dan al-Kisa’i yang bersumber dari ‘Ali ibn Abi Thalib r.a disebutkan,
bahwa ayat Alquran yang artinya Sesungguhnya orang-orang yang melepaskan diri dari agama
mereka (QS al-An’am [6]: 159) mengandung maksud bahwa mereka meninggalkan agama yang
harus mereka anut; mereka adalah orang-oang Yahudi dan Nasrani.

Allah Swt. berfirman:

َ ِ‫ََ ت َ ِمْ تن ؤه تمِفْي‬


ٍِ‫ش تيء‬
….tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. (QS al-An’am [6]: 159).

Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baydhawi, berkata, “Mereka berlebih-lebihan dalam


agama; mereka mengimani sebagian dan kafir atas sebagian yang lain; dan mereka pun berbeda
pendapat di dalamnya.”
Memang, perbedaan dalam masalah ushûl (akidah) berbeda dengan perbedaan dalam
masalah furû’ (syariat). Dalam masalah ushûl (akidah), ayat di atas dan sejumlah ayat lain telah
melarang adanya perbedaan pendapat. Dengan begitu, keadaan kita tidak sama dengan keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berbeda pendapat tentang nabi-nabi mereka; yang
meninggalkan agama mereka serta masuk ke dalam kesesatan dan bid’ah; serta yang terdiri dari
banyak kelompok, agama, dan mazhab. Inilah tafsir yang benar atas ayat di atas. Ayat ini juga
dijelaskan oleh Allah melalui firman-Nya sebagai berikut:
َ َ‫ْوِ ت َلَُؤى ِفَمْ تن ؤه تمِ َم توِ َء َمو‬
َِْ َََُ ِ‫ِىمْ تن ؤه تمِ َم تو‬ ْ َََ‫ َى‬
Akan tetapi, mereka berpecah-belah; sebagian mereka beriman dan sebagian lagi kufur. (QS al-
Baqarah [2]: 253).

Artinya, topik pembahasan pada ayat di atas adalah di seputar iman dan kufur.
Sebaliknya, dalam masalah furû‘ (syariat, fikih), banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan
kebolehan adanya banyak pemahaman atas nash dan pengertian yang ditunjukkannya, tetapi
tidak di luar itu. Fakta semacam ini telah diketahui oleh jumhur ulama kaum Muslim. Karena itu,
suatu hal yang riskan sekaligus merupakan suatu kepolosan apabila dalil-dalil tentang
ketidakbolehan adanya perbedaan dalam masalah akidah digunakan pada topik di seputar
ketidakbolehan adanya perbedaan dalam masalah furû‘ selama jamaah kaum Muslim masih tegak
di atas hukum-hukum syariat.
Rasulullah saw. memang bersabda antara lain sebagai berikut:

Akan ada kehinaan demi kehinaan. Karena itu, siapa saja yang ingin memecah-belah urusan umat
ini, sedangkan mereka dalam keadaan bersatu dalam satu jamaah, maka bunuhlah; siapapun dia.
(HR).

Siapa saja yang memecah-belah jamaah, maka dia bukan golongan kami. (HR).
Nabi saw. telah mengundang kami lalu kami pun membaiat beliau. Beliau kemudian berkata
tentang apa yang harus kami lakukan, yaitu agar kami membaiat untuk mendengar dan menaati
beliau di dalam keadaan senang maupun susah dan dalam keadaan lapang ataupun sempit; agar
kami mengutamakan beliau; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. Beliau
berkata, “Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti yang jelas
di sisi Allah.” (HR).

Dalil-dalil di atas sesungguhnya berkaitan dengan Khalifah dan proses pembaiatannya,


ketaatan kepadanya, dan ketidakbolehan memberontak kepadanya; kecuali dalam satu keadaan,
yaitu ketika telah tampak kekufuran yang nyata. Apabila ada seseorang yang datang untuk
merebut kekuasaan Khalifah yang sah dan ingin memecah-belah jamaah kaum Muslim, maka
hendaklah dia dibunuh, siapapun orangnya. Dalil-dalil ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
jamâ‘ah min al-muslimîn yang tidak menggunakan hukum-hukum untuk Khalifah dan yang
disandarkan kepadanya. Akan tetapi, jamaah yang dimaksud adalah yang dituntut untuk
mengangkat Khalifah dan melakukan koreksi/kritik terhadapnya.
Rasulullah saw. juga bersabda:

Tangan Allah senantiasa bersama jamaah. (HR).

Jamaah adalah rahmat sedangkan perbedaan adalah azab. (HR Imam Ahmad).

Dua hadis ini tidak ada kaitannya dengan larangan adanya multipartai atau banyaknya
jamaah. Sebab, baik hidup dalam jamâ‘ah al-muslimîn dan jamâ‘ah min al-muslimîn, kaum Muslim
akan merasakan adanya rahmat. Sebaliknya, perbedaan pendapat dan jauhnya kaum Muslim dari
jamaah akan mendekatkan setan dengan seorang Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

Sesungguhnya srigala itu hanya akan memakan domba yang sendirian. (HR).

Dengan demikian, baik secara tekstual (manthûq) maupun kontekstual (mafhûm), dalam
kedua hadis di atas tidak terdapat petunjuk mengenai kewajiban adanya persatuan amal islami
atau kesatuan jamaah untuk menegakkan hukum-hukum Allah.
Inilah sebagian dalil-dalil syariat yang disebutkan sebagai dalil-dalil mengenai
ketidakbolehan dan larangan adanya multipartai dalam Islam, yang semuanya tidak sesuai dengan
konteksnya.
Sementara itu, justifikasi akal dan hal-hal negatif yang disebutkan sebagai akibat adanya
multipartai atau banyak jamaah tidak bisa mencegah, mengharamkan, ataupun mewajibkannya;
karena yang berhak mengharamkan dan membolehkan hanyalah syariat saja. Realitas yang buruk
hendaknya dipahami secara sempurna sebagaimana adanya dan dicermati hakikatnya. Setelah
itu, dilakukan penelitian atas dalil-dalil syariat—yang membolehkan atau mengharamkan—untuk
mengatasi realitas yang buruk tersebut. Karena itu, kita tidak mungkin mengambil hukum syariat
apapun dari realitas yang ada.
Kebolehan Multipartai dalam Islam
Sekarang, setelah kami menjelaskan bahwa apa yang dianggap sebagai ‘dalil’ mengenai
kewajiban persatuan amal Islami tidak mencapai derajat dalil, sesungguhnya hal ini tidak berarti
bahwa pendapat lainnya—yaitu mengenai kebolehan adanya multipartai atau banyaknya jamaah
yang berusaha untuk menegakkan Islam—menjadi sesuatu yang disyariatkan, dengan anggapan,
bahwa tertolaknya sesuatu secara otomatis mengukuhkan apa yang berlawanan dengannya. Ini
merupakan suatu pernyataan yang salah. Yang benar, tentu saja harus ada dalil-dalil yang tepat
yang menegaskan kebenaran pengambilan dalil dan ketepatan penggaliannya. Jika demikian,
bagaimanakah gerangan dalil-dalil itu?
Dalil-dalil yang membolehkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah cabang (furû‘),
bukan masalah pokok (ushûl), yaitu perbedaan dalam hukum-hukum syariat bukan dalam akidah,
sangat banyak sekali. Sunnah Nabi saw. sendiri telah menunjukkan kebolehan adanya perbedaan
dalam masalah-masalah cabang ini. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terjadi juga di
kalangan para sahabat; demikian juga di kalangan para tâbi‘în dan para ulama salaf. Sebaliknya,
yang terlarang adalah berbeda pendapat sebagaimana halnya yang terjadi di kalangan orang-
orang kafir, yaitu perbedaan dalam masalah pokok-pokok agama dan bukan dalam masalah-
masalah cabang. Mereka, misalnya, berbeda pendapat mengenai nabi-nabi mereka, Hari
Kebangkitan, kehidupan dan kehidupan pasca kematian, dan kitab-kitab mereka. Mereka terpecah
menjadi banyak kelompok, partai, aliran, dan mazhab. Akibatnya, mereka tersesat dari kebenaran
yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi mereka sehingga tersesat pula para pengikut
mereka. Allah Swt. berfirman:

‫بِمْ توِمَ تن ْْه تمِفَ َى تلٌِ َْلَ ْ وَ ِ َََُ ؤْى ِمْ توِ َم ت‬
ِ ‫ش َه ِْ تَى ٍمِعَظْ ٍِم‬ ‫فَس ت َلَ َ ِ تألَحت َز ؤ‬
Kemudian berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka sehingga kecelakaanlah
bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar. (QS Maryam [19]: 37).

Maksudnya, Allah Swt. memperingatkan kita terhadap perbedaan seperti yang mereka
tunjukkan.
Rasulullah saw. sendiri, pada waktu Perang Khandaq, telah membiarkan adanya
perbedaan pemahaman para sahabat terhadap perkataan beliau, yakni ketika beliau bersabda
mereka:

Siapa saja yang mendengar dan taat, hendaknya dia tidak menunaikan shalat kecuali di Bani
Quraidzah. (Sirah Ibn Hisyam).

Rasulullah saw. juga bersabda:

Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka dia mendapatkan dua
pahala. Sebaliknya, apabila dia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah maka dia mendapatkan
satu pahala. (HR al-Bukhari).

Dari hadis-hadis di atas dapat disimpulkan sebagai dalil:


1. Seorang mujtahid, ketika berijtihad, bisa salah bisa benar. Ini tidak berarti bahwa kedudukannya
sebagai seorang mujtahid menjadikan dia tidak pernah melakukan kesalahan.
2. Hukum yang digali oleh seorang mujtahid dianggap sebagai hukum syariat meskipun salah.
3. Seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya tidak mengetahui bahwa dia salah. Sebab,
seandainya dia mengetahui kesalahannya, dia jelas tidak boleh tetap berada dalam kesalahannya
itu. Akan tetapi, dia mesti membandingkan pemahamannya dengan pemahaman orang lain.
4. Seorang mujtahid mendapatkan pahala di sisi Allah apakah ijtihadnya benar atau salah. Akan
tetapi, pahala keduanya berbeda.

Ada kesepakatan di kalangan para ulama bahwa dosa terlepas dari para mujtahid yang
berijtihad dalam hukum-hukum syariat yang zhannî yang berkaitan dengan fikih.
Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi bertutur, “Para sahabat berbeda pendapat dalam
menghukumi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka mereka
tetap bersatu.”
Sementara itu, dalam bukunya, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, al-Baghdadi menukil
pernyataan ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz r.a. yang berkata, “Tidaklah saya merasa senang jika para
sahabat Rasulullah Muhammad saw. tidak pernah berbeda pendapat. Sebab, seandainya mereka
tidak berbeda pendapat, berarti tidak akan ada rukhshah (keringanan).”
Banyak sekali karya yang ditulis oleh para ulama besar kaum Muslim yang menjelaskan
ihwal perbedaan ini. Di antaranya adalah yang menjelaskan hal-hal berikut:
1. Manusia, dengan tabiatnya sebagai manusia, memiliki pemahaman yang berbeda-beda; demikian
juga kemampuan dan pemikirannya. Dari sinilah lahir berbagai ijtihad dan penggalian hukum yang
bermacam-macam sejak masa sahabat sampai masa kita sekarang ini. Keadaan semacam ini
akan tetap berlangsung sampai Hari Kiamat. Tabiat syariat juga telah memungkinkan kaum
Muslim berbeda pendapat dan dalam masalah ini ada rahmat.
2. Adanya perbedaan qirâ’ât (bacaan) mengakibatkan adanya perbedaan pemahaman. Setiap
mujtahid memahami nash-nash al-Quran yang ada berdasarkan qirâ’ah-nya. Mereka, misalnya,
misalnya berbeda dalam memahami ayat tentang wudhu (dalam kaitannya dengan kedua kaki):
apakah sekadar mencucurinya dengan air atau sekalian mengusap keduanya.
3. Adanya perbedaan ulama dan fukaha di dalam memahami sejumlah Hadis Nabi. Kadang-kadang,
sebuah hadis dipandang sahih menurut sebagian ulama atau fukaha, tetapi dianggap lemah
menurut sebagian yang lain. Hal ini bergantung pada metode dalam menerima atau menolaknya.
Contohnya adalah berkenaan dengan hadis mursal. Para ahli hadis, para ulama ushul, para
fukaha, dan para imam umat ini telah berbeda pendapat dalam penggunaan hadis mursal sebagai
hujjah. Sebagian dari mereka ada yang menggunakannya sebagai hujjah, sementara sebagian
lainnya tidak memakainya sebagai hujjah dan menganggapnya sebagai hadis munqathi‘.
4. Adanya pertentangan di antara sejumlah dalil yang ada. Contohnya adalah berkenaan dengan
persoalan di seputar berobat dengan najis. Ada nash yang melarang berobat dengan najis karena
najis adalah haram. Demikianlah sebagaimana terdapat dalam hadis berikut:

Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya. Bagi setiap penyakit ada obatnya.
Karena itu, berobatlah kalian, tetapi janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram. (HR
Abu Dawud).
Sementara itu, ada nash lain atau perbuatan lain yang membolehkan berobat dengan sesuatu
yang najis atau dengan sesuatu yang haram, sebagaimana dalam hadis berikut:

Nabi saw. telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada ‘Abdurrahman ibn ‘Auf dan Zubair
untuk mengenakan sutera karena gatal-gatal yang mereka derita. (HR Jamaah).

Kaum Muslim pernah berobat dengan kencing unta. Mereka mengangap hal itu tidak apa-apa. (HR
al-Bukhari).

5. Tidak adanya nash yang jelas dalam satu masalah sehingga jalan untuk mengetahui hukum Allah
dalam masalah ini adalah dengan ijtihad. Ijtihad adalah hukum yang zhannî yang memungkinkan
adanya perbedaan pendapat.
6. Adanya keluasan pemaknaan (madlûlât) dalam bahasa Arab seperti adanya isytirâk (satu kata
banyak makna), adanya hakikat dan majaz, adanya muthlaq dan muqayyad, ‘âm dan khâsh.
Watak bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran memiliki kata-kata dan susunan-susunan
mengandung makna-makna yang berbeda dan pengertian-pengertian yang banyak.
Allah Swt., misalnya, berfirman tentang muthallaqât (wanita-wanita yang ditalak) sebagai
berikut:
ِ ٍِ‫صوَ ِمْ َ تنُؤ ْْهوَ ِ َالَ َيَِقؤ ؤْىء‬ َ ‫ َى تَ ؤم‬
‫كلَ َس ؤ ِ َ َ َْمَ ت‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) selama tiga kali qurû’ (QS al-
Baqarah [2]: 228).

Kata qurû’ secara bahasa bisa berarti ath-thuhr (suci) dan bisa pula berarti al-haidh. Lalu,
makna mana yang dimaksud oleh ayat ini? Inilah yang menjadi penyebab adanya perbedaan
pendapat di kalangan fukaha.

Ini berkaitan dengan syariat secara umum. Jika demikian, lalu apakah apa yang kita
bicarakan dalam pembahasan kita sebelumnya ada kaitannya dengan pembahasan ini? Dengan
kata lain, apakah kebolehan berbeda pendapat dalam hukum-ukum syariat yang telah diakui oleh
syariat sendiri juga membolehkan adanya multiharakah, multijamaah, atau multipartai yang
berusaha untuk melakukan perubahan? Ataukah topik pembahasan ini memiliki dalil-dalil tersendiri
dan bersifat khusus yang mengeluarkannya dari hukum sebelumnya?
Suatu jamaah atau partai berdiri di atas pemahaman terhadap syariat tertentu yang
kadang-kadang mungkin berbeda-beda, sebagaimana terhadap syariat yang lainnya; kecuali
apabila hukum-hukum syariat itu bersifat qath‘î (tegas). Hukum-hukum syariat yang diadopsi oleh
suatu jamaah/partai adalah hukum-hukum syariat yang bersifat ijtihadi yang boleh jadi benar dan
boleh jadi pula keliru. Seorang Muslim—ketika menyaksikan banyak kesalahan dalam satu
jamaah/partai—tentu saja tidak boleh beraktivitas bersama jamaah/partai tersebur. Akan tetapi,
yang harus dilakukannya adalah menasihati jamaah/partai tersebut sembari mencari jamaah/partai
yang dapat menyelamatkan dirinya di hadapan Allah Swt. apabila dia beraktivitas di dalamnya.
Sebagaimana telah saya katakan bahwa watak manusia, para ulama, syariat, dan bahasa
secara keseluruhan menunjukkan kemungkinan dan kebolehan adanya pemahaman yang
berbeda. Inilah yang menjadi alasan dibolehkannya terdapat lebih dari satu jamaah/partai. Adanya
banyak jamaah/partai tidaklah menjadi masalah selama tidak meluas pada munculnya perbedaan
pemahaman. Namun demikian, dalam hal ini, beraktivitas atau berjuang bersama-sama
jamaah/partai yang lebih dekat dengan kebenaran menjadi wajib hukumnya. Demikianlah
sebagaimana Allah Swt. berfirman:

ِ ِ َ‫َننننننننننننننننننننىو‬
‫ت‬ َ ْ ‫ِى َنننننننننننننننننننن ت ؤم ؤْىوَ ِمْننننننننننننننننننننس تَ َم ت ؤْى‬
‫ِى َ تنه‬ َ ْ‫تنننننننننننننننننننن‬
ْ ‫ َى تَنننننننننننننننننننن ََ تؤوِمْ نننننننننننننننننننن تن ؤَ تمِا ؤ َمننننننننننننننننننننيٌِ َنننننننننننننننننننن ت ؤ‬
َ َ‫عىوَ ِيََْنننننننننننننننننننن ِ ت‬
ِ َِ‫ِىاؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَ ؤم تُ ْلحؤىو‬
َ َْْ َ‫ع َْوِ تَ ؤم تن‬

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan, menyuruh
kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali
‘Imran [3]: 104).

Perintah Allah Swt. di dalam ayat ini menunjukkan pada kewajiban untu, mendirikan
minimal satu jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim yang aktivitasnya adalah
mendakwahkan al-khair (islam) dan amar makruf nahi mungkar. Yang dimaksud oleh ayat di atas
tentu bukan hanya satu jamaah/partai saja. Sebab, seandainya hal itu yang dimaksudkan, tentu
akan dikatakan “ummah wahidah”. Akan tetapi, yang dituntut adalah jamaah/partai yang
aktivitasnya adalah melakukan dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar. Upaya mendirikan
jamaah/partai ini sifatnya adalah fardhu kifayah yang akan dapat terealisasi hanya dengan adanya
satu jamaah. Namun demikian, apabila terdapat lebih dari satu jamaah/partai yang disebabkan
oleh adanya perbedaan pemahaman dalam aktivitasnya, maka hal itu tidak mengapa. Ungkapan
semacam ini telah banyak diulang dalam ratusan ayat al-Quran dan Hadis Nabi. Contohnya adalah
dalam potongan hadis berikut:

Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya.
(HR).

Kemungkaran yang dimaksud oleh hadis di atas bukanlah satu jenis kemungkaran saja,
tetapi kemungkaran secara umum (segala jenis kemungkaran).
Abu al-‘A’la al-Mawdudi rahimahullâh dalam buku Mafâhîm Islâmiyyah hawla ad-Dîn wa ad-
Dawlah pada bab “Farîdhah al-Amr bi al-Ma‘rûf wa an-Nahy ‘an al-Munkar,” telah menyatakankan:

Dari seluruh pembagian (tab‘îdh) pada surah Ali ‘Imran ayat 104, yang tampak secara zahir bukan
berarti bahwa kaum Muslim dituntut untul mendirikan satu jamaah/partai saja yang menegakkan
kewajiban dakwah islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar sedangkan sebagian kaum
Muslim yang lain tidak memiliki kewajiban untuk itu. Akan tetapi, makna ayat ini adalah bahwa di
tengah-tengah umat ini tidak boleh kosong dari adanya—minimal—satu jamaah/partai yang
berusaha untuk menyalakan lampu kebenaran dan kebaikan serta berjuang melawan gelapnya
keburukan dan kebatilan. Apabila di tengah-tengah kaum Muslim tidak ada jamaah/partai yang
seperti ini, maka tidak mustahil mereka akan mendapatkan laknat Allah dan azab yang pedih
ketimbang menjadi umat terbaik.
Demikianlah pernyataan al-Mawdudi.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat dipaparkan hal-hal berikut:

1. Sesungguhnya kita wajib memahami dengan baik bahwa apa saja yang diakui atau disetujui oleh
syariat merupakan rahmat. Apabila ia kemudian berubah menjadi laknat maka sesungguhnya yang
demikian itu akibat dari buruknya pemahaman kaum Muslim terhadap syariat, bukan karena faktor
lain. Perhatikanlah, misalnya, fikih yang mulia dari dua Imam Besar, imam-imam umat ini, yakni
Imam Asy-syafi’i dan Imam Ahmad. Dalam buku Sudzur adz-Dzahab disebutkan bahwa murid-
murid Imam asy-Syafi’i pada suatu hari pernah menjumpai Imam asy-Syafi’i. Mereka mengadukan
perihal bagaimana caranya agar mereka bisa berkunjung kepada Imam Ahmad ibnn Hanbal,
sementara mereka sering saling berbantah-bantahan dengan murid-murid Imam Ahmad ibn
Hanbal karena adanya perbedaan pendapat diantara mereka. Imam asy-Syafi’i—semoga Allah
merahmatinya—bertutur kepada mereka demikian:
Kata mereka, Ahmad mengunjungi Anda dan anda mengunjunginya
Kataku, kemuliaan tak kan berpisah dengannya
Jika dia mengunjungiku, itu karena kemuliaannya;
jika aku mengunjunginya, itu pun karena kemuliaanya
Kemuliaan melekat padanya dalam dua keadaan itu

Hal semacam ini juga terjadi pada murid-murid Imam Ahmad. Imam Ahmad kemudian
bertutur kepada mereka demikian:

Meski berbeda dalam nasab, kita disatukan


oleh ilmu yang kita posisikan sebagaimana halnya orangtua
Meski air laut berbeda-beda, kita semua
meminum air tawar dari satu bejana.

2. Orang yang ingin mempersatukan kaum Muslim dalam satu amal, maka selain tidak
memperhatikan realitas syariat, dia juga tidak memperhatikan realitas manusia. Karena itu, kepada
orang seperti ini, kami akan berkata sebagaimana Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar-
Rasyid ketika Khalifah ingin mengadopsi dan melegislasi pemahaman dan mazhab Imam Malik,
sekaligus memaksa masyarakat untuk mempraktikkannya dan melarang penerapan pemahaman
lainnya. Saat itu Imam Malik berkata, “Janganlah Anda mempersempit kaum Muslim dalam hal
apa saja yang telah Allah mudahkan untuk mereka.”
3. Wajib diperhatikan di sini bahwa negara-negara kafir dengan sistem yang dibawanya—dalam
menghadapi munculnya satu atau beberapa jamaah/partai di muka bumi ini secara nyata yang
berusaha keras untuk menegakkan hukum-hukum Allah—selain mempergunakan cara-cara
kekerasan dan membuat berita-berita bohong tentang jamaah-jamaah/partai-partai itu, mereka pun
sengaja menjatuhkan dan menggagalkan jamaah-jamaah/partai-partai ini dengan jalan mendirikan
jamaah-jamaah/partai-partai lain yang tunduk kepada mereka. Seandainya kita mengasumsikan
bahwa multijamaah/multipartai tidak boleh, itu berarti kita wajib menyatukan berbagai
jamaah/partai yang ada. Akibatnya, jamaah/partai yang terbentuk akan terdiri atas campuran
jamaah-jamaah/partai-partai yang palsu dan yang asli. Padahal, yang dituntut dalam kondisi ini
adalah sebaliknya, yakni kita wajib membuang apa saja yang palsu dan membiarkan apa saja
yang bermanfaat bagi manusia.
4. Gagasan mengenai wajibnya menyatukan amal Islami dan tidak boleh adanya
multijamaah/multipartai jelas bertentangan dengan realitas syariat, realitas manusia, dan realitas
bahasa Arab yang menjadi bahasa wahyu. Karena itu, sesungguhnya gagasan seperti ini tidak
mungkin dapat diterapkan. Dengan kata lain, perbincangan mengenai gagasan ini hanya akan
melalaikan usaha yang lebih penting, yaitu usaha untuk mendirikan Khilafah. Sementara itu,
pernyataan yang menyebutkan bahwa Allah tidak akan menolong kaum Muslim kecuali apabila
mereka bersatu merupakan pernyataan yang tidak bisa diterima. Yang benar, Allah tidak akan
menolong kaum Muslim kecuali apabila mereka terikat dengan syariat, berpegang teguh dengan
tali Allah, serta melaksanakan semua perintah-Nya. Sesungguhnya Allah akan menolong mereka
meskipun mereka hanya sedikit. Satu dalam kebenaran itu banyak, sementara banyak dalam
kebatilan adalah seperti buih.

Dengan demikian, berarti tinggal satu pembicaraan yang akan kita bahas dalam topik ini,
yaitu bahwa adanya seorang Khalifah dan adanya Daulah Islamiyah adalah representasi dan
penampakan terpenting dari bentuk-bentuk persatuan kaum Muslim; tidak ada persatuan selain
dalam kerangka itu. Memang, dalam Daulah Islamiyah, akan banyak pemahaman yang berbeda-
beda, tetapi kita diperintahkan untuk tetap menaati Khalifah. Khalifahlah yang mengadopsi
sekaligus melegislasi hukum. Legislasi hukum yang dilakukan Khalifah—bukan melarang atau
menghapuskan pemahaman/mazhab tertentu— jelas akan menghilangkan perbedaan pendapat di
kalangan umat. Sebab, perintah Khalifah harus diterapkan, baik secara lahir maupun batin, oleh
seluruh kaum Muslim. Sementara itu, pemimpin jamaah/partai sesungguhnya hanya wajib ditaati di
dalam jamaah/partainya saja. Perintahnya akan menghilangkan perbedaan pendapat di antara
anggota-anggota partainya saja, bukan di antara kaum Muslim secara keseluruhan.

Antara Gerakan Internasional dan Gerakan Lokal


Di antara kaum Muslim ada yang melontarkan pemikiran bahwa sebuah harakah Islamiyah
wajib bersifat internasional. Alasannya, karena agama Islam adalah agama yang bersifat universal;
karena Muhammad saw. diutus kepada manusia seluruhnya; karena dari segi realitas, suatu
jamaah/partai Islam berhadapan dengan gerakan-gerakan lain yang penyebarannya bersifat
mendunia; juga karena beban yang amat berat yang dipikul oleh dakwah Islam mengharuskan
adanya jamaah/partai yang bersifat internasional. Para penggagas pemikiran ini berdalil dengan
ayat-ayat al-Quran berikut:

ِ  ً ‫علَ ت ؤَ تمِش َْه‬ َ ِ َ‫ِى ََؤىو‬


َ ِ‫َْ ؤىلؤ‬ ْ َ‫علَ ِ َن‬
َ ‫سس‬ ‫كسِ َْ ََؤىنؤى ِ ؤ‬
َ ِ‫ش َه َ َء‬ َ ً‫ َى ََ َ َْ َ ِ َج َ تلنَس ؤَ تمِا ؤ َمي‬
ً َ ‫ِى‬
Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan dan pilihan
agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kalian. (QS al-Baqarah [2]: 143).

‫يِْ ؤىلؤِهللاِْ ْيََ ت ؤَ تمِجَمْ ًس‬ ‫قؤلتِ َسا َ ُّهَسِ َنَ ؤ‬
َ ‫سسِ ْيِْن‬
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadalian semuanya.” (QS al-
A’raf [7]: 158).
ِ ِ‫نننننننننننننننننننننسس‬
ْ َ‫نننننننننننننننننننننِْ َن‬
َ َ َ‫ِىََ َْنننننننننننننننننننننوَ ِا َ ت‬
َ ًْ ْ ‫ِىنَننننننننننننننننننننن‬
َ ًْ ‫نننننننننننننننننننننسسِمَشْننننننننننننننننننننن‬
ْ َ‫ َى َمنننننننننننننننننننننسِا َ تْ َننننننننننننننننننننن تلنَس َ ِ ْيالَََِسفَنننننننننننننننننننننيًَِْلن‬
ِ َِ‫الَِ َ تلَ ؤِمىو‬
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada
mengetahui. (QS Saba’ [34]: 28).

Dengan demikian, Rasulullah saw. telah mengarahkan dakwahnya ke seluruh dunia, ke


segala kekuatan, ke seluruh blok, dan kepada semua raja. Karena itulah, beliau mengirim utusan
kepada Najasyi (Raja Habsyah), Heraklius (Kaisar Romawi), Muqauqis (Pembesar Koptik), dan
Kisra (Pemimpin Persia). Dalam hal ini, dakwah Islam tidak boleh hanya berbentuk semacam
“toko-toko” dan “lahan-lahan pertanian” yang ada di sana-sini, sementara jihad Islam pun hanya
merupakan teriakan di padang sahara yang lengang.
Memang benar, Islam sebagai agama bersifat internasional dalam akidah dan sistemnya.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui yang
lahir maupun yang batin. Manusia yang lemah yang diciptakan dari air yang hina tentu wajib untuk
kembali kepada-Nya. Allah adalah Pencipta manusia. Dia adalah Tuhan setiap manusia.
Keberadaan manusia berkaitan dengan tujuan penciptaannya, yaitu ibadah. Keberadaan manusia
juga berkaitan dengan kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan;
surga dan neraka; balasan bagi keimanan dan kekufuran; serta balasan bagi ketaatan dan
kemaksiatan. Hakikat akidah Islam wajib untuk ditransformasikan dan disampaikan kepada
manusia seluruhnya. Allah Swt. berfirman:

َ ِ‫ِهللاِ ََ َمْ ٌع‬


‫ع ْل ٌِم‬ َ ‫يِع تَوِمَ ْنَي‬
َ َ‫ٍِى ْيو‬ َ ‫ َْ َ ته ْل َ ِ َم توِ َهلَ َ ِع تَوِمَ ْنَي‬
َ ‫ٍِى َحت َسِ َم توِ َح‬
Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang
hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). (QS al-Anfal [8]: 42).

Peraturan yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan yang berasal dari akidah ini
juga merupakan peraturan untuk manusia sebagai manusia tanpa memperhatikan lagi warna kulit,
ras, atau keadaannya.
Memang benar, Islam adalah agama yang universal. Islam mewajibkan benih berdirinya
Daulah Islamiyah adalah benih yang mendunia. Selanjutnya, Islam juga mengharuskan
jamaah/partai mempersiapkan dirinya untuk menegakkan tugas ini. Oleh karena itu, jamaah/partai
pada dasarnya wajib untuk tidak memandang aktivitasnya dengan pandangan yang sempit, jangan
hanya memfasilitasi dirinya hanya di negeri tempatnya beraktivitas, serta tidak menerima lontaran-
lontaran pendapat yang bersifat tambal-sulam, bersifat gradual, atau yang hanya menerima
kebenaran yang bersifat parsial yang justru akan menghilangkan esensi kebenaran itu sendiri.
Akan tetapi, jamaah/partai harus memandang bahwa dirinya wajib menyelamatkan umat manusia
seluruhnya dari ide-ide kufur dan syirik meskipun kekufuran dan kemusyrikan itu menampilkan diri
dalam berbagai bentuk. (Sebelumnya, mereka beranggapan bahwa berhala itu bermanfaat dan di
tangannya ada kebaikan dan kemadaaratan. Sebaliknya sekarang, mereka beranggapan bahwa
pemikiran-pemikiran tertentu bermanfaat dan mengandung kebaikan sementara pemikiran
selainnya mengandung kemadaratan). Jamaah/partai juga harus mengembalikan manusia pada
kebenaran yang tidak berbilang. Inilah yang wajib menjadi perspektif jamaah/partai. Berdasarkan
ini pula diadopsi pemikiran-pemikiran (tsaqâfât) jamaah/partai.
Jamaah/partai juga mesti memandang bahwa aktivitas dan langkah-langkah perjalanannya
telah didesain sedemikian rupa. Dengan begitu, apabila jamaah/partai berjalan tanpa melenceng
sedikitpun dan bersabar menghadapi segala hal yang menimpanya tanpa bias, tanpa melakukan
rekonsiliasi, dan tanpa melakukan kamuflase, maka Allah Swt. telah mempersiapkannya (secara
praktis dan teoritis) untuk menegakkan urusan ini secara internasional. Yang demikian itu adalah
setelah berdirinya Daulah Islamiyah. Dengan demikian, apabila dilihat dari segi pemikiran,
jamaah/partai haruslah bersifat internasional. Sebaliknya, dari segi aktivitas, ia tidak keluar dari
keadaannya sebagai suatu jamaah/partai yang beraktivitas di satu tempat tertentu untuk
mendirikan Daulah Islamiyah. Setelah itu, Daulah Islamiyahlah yang akan berperan untuk
menegakkan tugas yang agung itu.
Masih ada satu topik lagi yang harus diungkapkan, yaitu bahwa negeri-negeri kaum Muslim
telah terbagi-bagi menjadi sejumlah negara. Inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam dan
kaum Muslim. Secara umum, kaum Muslim di negara-negara itu hidup dalam kondisi yang mirip;
meskipun ada perbedaan di dalam beberapa aspek cabang yang tidak mengubah metode dan
menghalangi penyebaran aktivitas yang terorganisasi dan bersatu di lebih dari satu negeri.
Ekspansi ini akan memberikan kekuatan bagi jamaah/partai, membuat orientasinya lebih besar
dan lebih efektif, dan menjadikan tegaknya Daulah Islamiyah di salah satu wilayah di antara
wilayah-wilayah yang menerima dakwah lebih luas dan lebih tersebar. Faktor inilah yang dapat
membantu jamaah/partai untuk melaksanakan tugas yang akan mengantarkannya pada tegaknya
Daulah Islamiyah dan mempersiapkan Daulah Islamiyah memasuki fase pergulatan internasional.
Dalam dua perkara ini jamaah/partai tentu harus menyandarkan diri pada pertolongan Allah Swt.

Antara Dakwah yang Parsial serta Dakwah yang Komprehensif dan Seimbang
Di antara aktivis dakwah Islam, ada juga yang melontarkan keharusan adanya ide
mengenai komprehensivitas dan keseimbangan dalam aktivitas dakwah di masa sekarang ini.
Sebaliknya, ada juga pihak yang melontarkan gagasan dakwah yang bersifat parsial dan terkesan
“ekstrem”.
Yang dimaksud dengan dakwah yang komprehensif (takâmul) adalah dakwah yang tidak
membatasi diri hanya pada satu aspek/bidang saja sembari mengesampingkan aspek/bidang
lainnya. Sebab, di antara kekhususan metode Islami adalah bahwa di dalamnya ada sistem
ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik, dan sistem militer. Sesungguhnya aktivitas
dakwah yang pertama pada masa Nabi saw. pun bersifat komprehensif. Ketika itu, Rasulullah saw.
mengatur dan memonitor aktivitas dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau
berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran, beliau berperan sebagai mu‘allim
(pengajar); di medan jihad, beliau beperan sebagai panglima perang; dan di bidang strategi, beliau
adalah seorang pioner. Aktivitas dakwah Islam jelas harus mengikuti jejak-jejak Rasulullah saw. ini
di setiap waktu dan tempat; tidak ada alternatif lain yang boleh diikuti selain mengikuti manhaj
Rasulullah ini.
Sebaliknya, ada juga kalangan yang beranggapan bahwa parsialitas dalam dakwah Islam
berarti membatasi dakwah pada aspek-aspek yang memang harus dilaksanakan—tidak boleh
melampauinya—dan meyakini hal itu saja sembari menolak selainnya. Gagasan parsialitas
dakwah ini telah menyebabkan berbilangnya dan tumpang-tindihnya dakwah serta memecah-
belah kekuatan yang ada. Padahal, al-Quran telah mengingkari adanya parsialitas dalam dakwah
ini dalam kaitannya dengan Bani Israel. Allah Swt. berfirman:

ٍ
ٍِ ‫ب‬ َ َ ‫َسِى تَى َمِ تَ ْ َس َميِْ ؤ َْ ُّىوَ ِ ْي ََ ِا‬
ْ َ َ َ‫ش ِْ ت‬ ٌ ‫ِى َ تَُؤ ؤْىوَ ِ ْم َم تضَُ َمسِج ََز ؤءِ َم توِ َ تُ َلؤِ َ َْ َ ِمْ تن ؤَ تمِ ْيالَِ ْ تز‬
َ ‫يِفْيِ تَ َحَِس ِْ َ ُّ تن‬ َ ‫ب‬ ْ ‫اَفَ ؤ ت مْ نؤىوَ ِ ْم َم ت‬
ْ ‫ضِ تَ َْ َس‬
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebahagian yang lainmya?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak mereka dikembalikan pada siksaan yang sangat
berat. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Kemudian disebutkan bahwa seluruh kekuatan dan tantangan jahiliah mengharuskan


adanya dakwah Islam yang komprehensif.
Sementara itu, mengenai keseimbangan (tawâzun) dalam dakwah, kelompok aktivis
Muslim yang berpandangan demikian memberikan ukuran dan standar yang seharusnya pada
setiap aspek dakwah yang komprehnsif. Apabila tidak, hal ini akan mengakibatkan pada
kerusakan dan ekstremitas. Dalam hal ini, sesungguhnya salah satu bentuk keseimbangan adalah
logika prioritas.
Kesimpulannya, dakwah Islam yang komprehensif harus mengambil Islam secara
keseluruhan. Oleh karena itu, jamaah/partai Islam harus mengekspos pemikiran-pemikiran yang
umum. Sementara itu, keseimbangan dalam dakwah mengharuskan adanya perhatian pada setiap
segi sesuai dengan tolok ukur dan standar yang sesuai dengannya; tidak boleh berlebihan
sehingga mengakibatkan adanya ekstremitas; juga tidak boleh kurang darinya sehingga akan
mengakibatkan kerusakan.
Kedua ketentuan ini, komprehensif (takâmul) dan keseimbangan (tawâzun), adalah dua
ketentuan yang menghukumi tabiat segala sesuatu dan segala perbuatan. Keduanya adalah
ketentuan yang sering diperhatikan oleh orang Muslim maupun non-Muslim. Keberadaan
keduanya dirasakan penting dalam kehidupan sehingga masing-masing berusaha merealisasikan
keduanya agar diperoleh hasil-hasil yang diharapkan.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa komprehensivitas dan keseimbangan segala
sesuatu (dalam hubungannya dengan benda, pen) yang didasarkan pada akal berbeda dengan
perbuatan, karena perbuatan mesti didasarkan pada syariat. Sebab, akal memang dapat
memahami realitas segala sesuatu (benda), unsur-unsur yang dikandungnya, maupun
perbandingannya. Ini adalah bidang garapan para pakar sains dalam bidang tertentu. Dalam hal ini
berlaku Hadis Rasulullah saw. berikut:

Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian. (HR Muslim).

Para petani, para dokter, para insinyur, dan para mekanik adalah para ahli di bidangnya
masing-masing. Merekalah yang biasa mempertimbangan ketentuan keseimbangan ini dalam
pekerjaan mereka.
Ini berbeda dengan amal perbuatan. Penentuan amal perbuatan berasal dari Allah. Ini
sesuai dengan Hadis Rasulullah saw. yang berbunyi demikian:
Setiap perbuatan yang tidak kami perintahkan adalah tertolak. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ini juga sesuai dengan kaidah syariat yang berbunmyi sebagai berikut:

Asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.

Yang demikian itu karena menghukumi suatu perbuatan dengan hasan dan qabih berada di
bawah anggapan manusia terhadap perbuatan ini dan bukan berasal dari perbuatan itu sendiri.
Seorang muslim ketika menghukumi perbuatannya sebatas pemikiran-pemikiran yang diyakininya.
Seandainya perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka perbuatan itu hasan,
dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih. Disamping itu kaidah syara’ menyebutkan : ”Hasan itu
adalah apa-apa yang dikatakan oleh syara’ hasan dan qabih itu adalah apa-apa yang dikatakan
syara’ qabih”
Berdasarkan hal ini maka seorang muslim yang ingin merealisasikan takâmul dan tawâzun
dalam segala sesuatu bersandarkan pada penilaian akalnya seperti manusia yang lain. Adapun
apabila dia ingin merealisasikan hal itu dalam perbuatan maka wajib baginya untuk terikat dengan
hukum-hukum syara’.
Ciri lainnya adalah bahwa undang-undang takâmul dan tawâzun mengambil porsi
perbuatan yang dituntut oleh syara’, tidak boleh melampauinya. Hal ini mengharuskan kita untuk
memahami perincian berikut ini:
Sesungguhnya Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh
seluruh kaum Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam.
Di dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan untuk
masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’ yang spesifik.
Seorang individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai individu.
Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu pula dengan Khalifah,
melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya.
Apabila kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’
terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah seluruh amal dan
kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apa pun atau hanya membatasi (baik oleh individu,
jamaah atau Khalifah) dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa melaksanakan
yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari keumuman apa yang harus
dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya pada dosa.
Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah. Keterikatan
banyaknya hukum-hukum agama dengan keberadaan Khalifah menjadikan kehadirannya wajib
menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk mengadakannya juga wajib menurut syara’. Implikasi
dari semua itu mewajibkan adanya jamaah yang beraktivitas untuk mengadakannya, dan
menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’ untuk menegakkan agama melalui berdirinya
Daulah Islamiyah. Inilah keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan
kehidupan Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah, dan bukan
keseluruhan agama dimana jamaah tidak akan mampu melaksanakannya, lagi pula pelaksanaan
yang sebenarnya tidak dibebankan kepadanya. Jamaah dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan
banyak hukum, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh mengambil alih tugas Khalifah.
Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah mewujudkan Khalifah agar dia melaksanakan tugas
yang dituntut atasnya.

Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab dengan
segala urusannya. (HR Muslim)

Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan. (HR
Muslim)

Dari sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman kepada
Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan, dia pasti akan
mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya dan mengadopsi pula hal-hal
yang dituntut syara’ dari jamaah, tempat dia beraktivitas di dalamnya. Kelalaian terhadap perkara
apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Demikian juga
halnya dengan seorang Khalifah. Dia harus melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai
pribadi. Dia wajib mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua
orang tuanya. Dia pun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta dan menipu.
Disamping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang Khalifah, seperti
menyusun Undang-undang, mengumumkan jihad, melindungi persatuan kaum Muslim,
memerintah (negara dan masyarakat) dengan apa yang diturunkan Allah, menerapkan hudud.
Sebaliknya, kelalaian apapun dalam tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh
Allah kelak.
Inilah realita yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus dipahami
dengan baik oleh jamaah, agar jamaah mampu untuk memilah-milah mana perkara yang harus
dilaksanakan olehnya, dan mana perkara yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah jamaah mampu
menentukan fakta tentang dirinya maka jamaah tersebut dapat menetapkan kapasitas yang
dituntut atasnya, untuk selanjutnya dia hanya bertanggung jawab terhadap perkara itu. Ini tinjauan
dari segi takâmul.
Setelah jamaah menetapkan perkara-perkara yang dituntut atasnya, akan tetapi kemudian
hanya mengerjakan aspek tertentu saja dari beberapa aspek yang dituntut atasnya; atau hanya
memfokuskan pada satu aspek dan lebih mementingkan aspek tersebut seraya mengorbankan
aspek lainnya; atau tidak memperhatikan prioritas dalam aktivitasnya; maka jamaah tersebut telah
kehilangan tawâzun yang dituntut atasnya. Tentu saja harus diperhatikan bahwa yang memiliki
wewenang untuk menetapkan prioritas adalah syara’, bukan akal.
Selain itu, aktivitas jamaah harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas (mabda)
yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah memperoleh perhatian utama dalam dakwah,
karena akidah adalah asas setiap perkara cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum
syara’. Konsentrasi yang amat besar pada aktivitas pendirian Daulah Islamiyah adalah karena
keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa mendirikan
Daulah Islamiyah sebagai tâj al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara fardhu).
Dengan demikian apabila jamaah berusaha untuk mencapai takâmul dan tawâzun yang
berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka jamaah tersebut telah membebani dirinya
dengan apa yang tidak diwajibkan Allah. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan
kekurangan dan ketidak seimbangan, sebagaimana dia mengeluhkan tentang perkara multi partai.
Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi jamaah yang penuh dengan keluhan dan
berurai air mata, tersesat dari jalan yang seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk.
Diantara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa didalamnya juga terdapat sistem
ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer. Lalu apa kaitan jamaah
dengan semua sistem ini?
Jamaah didirikan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Apabila telah tegak hukum-
hukum Allah itu maka tegak pulalah seluruh peraturan Islam yang beraneka ragam itu.
Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah,
dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri. Seluruh
hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah.
Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan jamaah.
Di dalam sistem politik, negara harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh
syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis
umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki
tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri. Lalu
atas dasar apa jamaah berperan dalam setiap aspek tadi?
Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu
akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia-
mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja; yang
memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata atau melempar granat.
Disamping itu harus dimengerti bahwa ada senjata milik pribadi, ada pula jenis-jenis persenjataan
yang hanya dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level
internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, nuklir, pesawat
ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan
pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat
latihan. Begitulah, maka apa yang dapat dilakukan oleh jamaah dalam perkara-perkara tersebut?
Rasulullah saw ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya
dalam kapasitasnya sebagai pemimpin jamaah, melainkan sebagai penguasa negara. Meneladani
beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif ini.
Jamaah tidak perlu turut campur mengurusi seluruh perkara ini. Kewajiban jamaah adalah
mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara tersebut.
Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam
mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah
maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’.
Jamaah wajib mengadopsi (dalam bentuk pemikiran) sistem-sistem yang ingin
diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya taufiq (kemenangan) untuk
melaksanakannya. Jamaah pun menetapkan struktur sistem Islam dan menetapkan UUD negara,
serta memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar
mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan
bersama mereka dalam mencapai peribadatan mereka, dengan menjadikan mereka berada di
dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka.
Adapun parsialitas yang disebutkan oleh para penggagas pendapat ini, meskipun lembaga-
lembaga sosial atau yayasan-yayasan tersebut menalankan satu hukum syara’, seperti menghafal
al-Qur’an, sesungguhnya lembaga-lembaga sosial semacam ini tidak perlu dipermasalahkan
selama mereka berkumpul untuk melaksnakan hukum syara’. Namun, jika lembaga-lembaga
sosial ini mengklaim bahwa dengan aktivitas yang mereka lakukan bertujuan untuk menegakkan
agama, maka dalam hal ini kami mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosial itu telah melenceng
dari jalan yang telah ditetapkan syara’ dan sifat parsialitasnya menjadi tertolak.
Apabila berdiri sebuah jamaah yang tidak mengambil alih tugas Khalifah dan tidak pula
mengambil alih tugas individu, dan tidak menganggap dirinya sebagai jamâ’at al-muslimin tetapi
merupakan jamâ’ah min al-muslimin, kemudian dia menetapkan tujuannya yaitu untuk
menegakkan hukum-hukum Allah dan melanjutkan kehidupan Islam; lalu mengadopsi apa pun
yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuannya; mengadopsi juga pemahaman yang benar dalam
akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengannya; membina syababnya dengan
pembinaan yang baik dengan akidah yang diadopsinya; mengadopsi jalan yang akan
menyampaikannya pada tujuannya; mengadopsi UUD yang akan diterapkan atas manusia;
mengadopsi pemikiran-pemikiran yang menjelaskan kepalsuan pemikiran-pemikiran batil yang
dilontarkan di tengah-tengah kaum Muslim; meluruskan pemahaman-pemahaman yang keliru;
meminta setiap orang yang bekerja bersamanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
pribadinya sehingga dia menjadi individu muslim yang salih, yaitu kewajiban-kewajiban yang
menyangkut akidah, mu’amalat dan akhlak; dan memfokuskan aktivitasnya untuk menegakkan
masyarakat islami yang interaksi-interaksi di dalamnya berlandaskan Islam dan yang diatur oleh
Daulah Khilafah; dan jamaah itu pun mengawasi langkah-langkah penguasa dan para penguasa
mereka sehingga mengetahui apa yang dirancangnya untuk kaum Muslim, kemudian jamaah itu
mengungkapkannya kepada mereka; jamaah juga mentabanni hukum-hukum syara’ untuk
kemaslahatan umat; jamaah itu juga berusaha untuk memperoleh kekuasaan secara praktis dari
para thâghût yang tidak memperhatikan kaum Muslim; maka jamaah tersebut -dengan apa yang
telah dijelaskan di atas- telah memiliki semua hal yang dibutuhkan oleh sebuah jamaah yang
berusaha untuk mengembalikan pemerintahan agar sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.
Jamaah ini tsaqafahnya harus luas, demiukian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut
untuk melaksanakan seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Dan hal itu banyak sekali.
Untuk melaksanakan tuntutan tawâzun maka jamaah itu tidak boleh berubah menjadi perkumpulan
olah raga, lembaga akhlak atau perkumpulan ekonomi, melainkan tetap menjaga lontaran-lontaran
politik dan aktivitas politiknya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk
mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat.
Berdasarkan hal ini, maka lontaran parsialitas tertolak dengan apa yang telah disebutkan
diatas. Demikian juga ide tentang jamaah yang cakupannya luas, mencakup seluruh perkara, baik
yang dituntut atasnya maupun yang tidak dituntut, juga merupakan pemikiran yang salah dan
tertolak.

Bab 10
Tadarruj
Kami ingin memfokuskan dan menjelaskan kerusakan ide tentang tadarruj dalam
pengambilan dan penerapan (hukum) Islam, termasuk derivatnya, yaitu (antara lain)
dibolehkannya kaum Muslim turut serta di dalam sistem pemerintahan yang ada sekarang ini. Juga
pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan bagian dari Islam, termasuk usaha
mendekatkan Islam dengan akal manusia. Alasan perlunya pemaparan bab ini karena adanya
hubungan erat antara pemikiran-pemikiran tersebut dengan aktivitas yang dilakukan oleh sebagian
jamaah yang melakukan aktivitas taghyîr (perubahan).
Apa yang dimaksud dengan tadarruj? Dan apa yang ada didalam pandangan orang-orang
yang membolehkannya? Serta apa pula alasan-alasannya, dan bagaimana hukum syara’
mensikapi masalah ini?
Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam dibidang ruhiyah,
keterbelakangan dibidang materi, kemunduran dibidang pemikiran dan politik, maka pemikiran
mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-kenyataan buruk yang menimpa mereka. Akibatnya, di
tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang
tidak menggambarkan hakekat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan.
Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan
terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam didalam kehidupan. Pihak kafir imperialis yang
menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil
menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka dikalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir)
berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut
musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum
kafir. Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang
telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri
mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan
pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realita dan tunduk kepada (kepentingan) maslahat.
Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-tatih
yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menakutkan.
Orang-orang kafir masih bercokol di negeri-negeri kita. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka
dan tidak ada yang mampu mencegah mereka. Bagaimana sebenarnya cara orang-orang kafir
imperialis itu menyerang Islam? Dan bagaimana reaksi kaum Muslim?
Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu
menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan
solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang
mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka
mereka pun menyengaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling
berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang pada
gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang
disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk menciptakan
keharmonisan diantara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti
perkembangan zaman. Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap
Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakekatnya jika kikta mengambil
(pemahaman dan tolok ukur semacam itu) berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan
mengikuti sistem kapitalis. Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh
seruan kompromi ini hakekatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan
Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka
untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.
Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk
membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat
seberkas cahaya yang tidak mampu menerangi umat dan tidak sanggup menariknya dari
kemunduran umat.
Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas
syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau secara tidak disengaja, lalu menyatakan bahwa tidak
masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw
masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian. Jadi harus
dilakukan upaya tajdîd (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi. Hal ini mampu meletakkan Islam di garda paling depan (diantara umat-umat
lain). Menurut mereka, Islam harus diberi pakaian dengan busana modern, disuntikkan ke
dalamnya pemikiran-pemikiran kontemporer sehingga Islam mampu mempersatukan kembali jiwa-
jiwa. Dan agar Islam keluar dari kepompongnya, serta keluar dari tuduhan-tuduhan pihak lain yang
dilontarkan kepadanya disebabkan pakaian buruknya tidak bisa diterima (orang banyak).
Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi
bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, yang membatasi gerak orang-orang yang
mengadopsinya dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran
itu disepakati bernama pemikiran-pemikiran masa kemunduran yang dimulai kemunculannya sejak
bangkitnya pemikiran-pemikiran Barat yang rusak di negeri-negeri kita. Itu terjadi ketika sebagian
kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari
pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap
berada pada kemoderenannya.
Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna
marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thâlib
(ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i
(menerima apa pun yang sesuai dengan syara’ atau apa pun yang tidak bertentangan dengan
syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan
bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi
al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah
bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak
diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al-maslahah
fatsamma syar’ullâh (dimana ada maslahat disana ada hukum Allah). Pemikiran-pemikiran seperti
ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan
”kebangkitan Islam moderen” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu
Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemasonri, Muhammad
Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam.
Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk
dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-
sebab kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam
diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.
Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik,
tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang menyembuhkan
apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.
Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap
realita kaum Muslim sama saja. Kami, bagaimanapun juga memperingatkan kepada kaum Muslim
tentang tipu daya orang-orang kafir terhadap agama ini. Kami menasehati mereka agar mencabut
pemikiran semacam ini, yang pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan
tidak mampu mengusir keburukan. Allah Swt telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena
Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan
metoda pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh
problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim kecuali berijtihad,
menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui
hukum-hukum Allah Swt. Kaedah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya
terikat dengan dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki
dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun
tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna,
sebagaimana telah bertolak sebelumnya.
Tidak ada salahnya menyebutkan kaedah-kaedah dan pemikiran-pemikiran yang terikat
dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara
pandang mereka agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Dimana ada hukum syara’
disitu ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum syara’,
‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang
mengharamkannya’, ‘Kebaikan (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan
keburukan (qabih) itu adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu
adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’,
‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah
maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak
seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui wathaniyah (nasionalisme),
qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya hidup yang
istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral’.
Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan
dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi
salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang
baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela.
Rasulullah saw bersabda:

Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang teguh
kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah
dan Sunnah RasulNya. (Sirah Ibnu Hisyam)

Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.


Rasulullah saw bersabda:
Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di neraka,
kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan
yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan
para sahabatku sekarang ini’. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal).

Rasulullah saw bersabda:

Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang
daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat. (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal).

Sabda Rasulullah saw:

Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka,
kemudian orang-orang sesudah mereka..... (HR Muslim)
Sabda Rasulullah saw:

Barangsiapa diantara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang
banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap
perkara itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku
dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang telah mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah
kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Beliau saw juga bersabda:

Setiap perbuatan yang tidak kami perintahkan sesungguhnya (perbuatan itu) tertolak. (HR Bukhari
dan Muslim).

Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (baik) dan peringatan agar
menjauhi perkara bid’ah. Dari sistematika kebaikan yang disebutkan oleh Rasulullah saw
menunjukkan bahwa keterikatan akan semakin melemah setiapkali zaman bertambah jauh dari
masa Rasulullah saw. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh suatu zaman dengan masa
Rasulullah saw maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan
lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar.
Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi saw dan sunnah
khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus melaksanakan apa pun yang Rasulullah
saw dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan
tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak. Lalu, bagaimana
jalan yang harus kita tempuh agar kita bisa memperoleh keselamatan dimasa sekarang ini?
-Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak
ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.
-Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.
-Kita harus menjaga metoda istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah
infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-hukum syara’.
-Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita;
lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara
yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak
melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan
salafush shâlih.
-Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan
akal kita, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para
sahabat ra yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah didepan tangga Islam, lalu mereka
memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan.
Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat dimasa akhir
ini tidak akan baik kecuali dengan (menggunakan) perkara yang menjadikan umat dimasa awal
baik. Ini merupakan suatu keharusan dimana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase
kehidupan mereka. Dekat atau pun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat
atau lemahnya kondisi mereka.
Berdasarkan paparan di atas maka kita pun bertanya: Apa yang dimaksud dengan tadarruj?
Mencakup apa saja didalam teori orang-orang yang membolehkannya? Kemudian, apa alasan-
alasannya? Dan bagaimana pandangan syara’ terhadap hal tersebut?
Tadarruj berarti melaksanakan hukum syara’ yang dituntut melalui tahapan-tahapan, bukan
sekaligus. Para penganutnya menyebutnya sebagai masa transisi (marhaliah). Pertama-tama
seorang muslim menerapkan atau menyerukan hukum selain hukum syara’, akan tetapi hukum itu
lebih dekat kepada hukum syara’ dibandingkan yang telah diterapkan sebelumnya -menurut
pandangan orang yang membolehkan tadarruj-. Kemudian secara bertahap menyeru atau
menerapkan hukum selain syara’ yang lebih dekat lagi dibandingkan dengan hukum sebelumnya -
menurut pandangan orang yang membolehkan tadarruj-. Setelah itu menyeru atau menerapkan
hukum selain syara’ yang lebih dekat lagi hingga menghantarkannya kepada hukum syara’ yang
dituntut.
Tadarruj juga berarti menerapkan hukum syara dengan membiarkan penerapan hukum selain
syara’ untuk sementara waktu, hingga tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara sempurna.
Sesungguhnya tadarruj tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak tunduk
kepada kaedah-kaedah yang mengikat -menurut orang-orang yang membolehkannya-. Kadang-
kadang satu hukum bisa mengambil satu tahap, dua, tiga atau malah lebih. Tadarruj sangat
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dalam menentukan jumlah tahapan. Terkadang banyak,
kadang sedikit. Dan waktu yang dibutuhkan setiap tahap terkadang memakan waktu lama,
terkadang sebentar.
Istilah tadarruj kadang-kadang mencakup juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan
akidah, seperti ‘Sesungguhnya sosialis itu bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi
adalah bagian dari Islam’. Terkadang mencakup juga hukum-hukum syara’, seperti, keadaan
seorang wanita yang mengenakan pakaian yang panjangnya sedikit dibawah lutut sehingga pada
tahap berikutnya bisa melaksanakan hukum syara’ yang dituntut. Kadangkala tadarruj berkaitan
dengan sistem, seperti tuntutan agar turut serta di dalam sistem pemerintahan, meskipun hal itu
haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para pendukung tadarruj itu sendiri. Namun,
menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dengan
pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan
kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk mewujudkan
sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum lain, dengan harapan akan semakin
banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian menjadi mayoritas dan seterusnya. Kadang-
kadang tadarruj berkaitan dengan dakwah tatkala perkara tersebut dipropagandakan. Orang yang
meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk
mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang
yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-
tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia
menghendaki agar orang lain dapat menjalankan hukum syara’, disamping agar mereka tidak
menolak dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang
menjalankan sebagian dari hukum-hukum adalah lebih baik dari pada tidak melaksanakannya
sama sekali.

Pembenaran pihak yang membolehkan tadarruj atau adanya masa transisi dan jawaban-jawaban
atasnya.
Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka
dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka
telah mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka
tidak tunduk kepada nash dan dalalahnya. Mereka malah mempergunakankan nash agar sesuai
dengan keinginan mereka, seperti yang akan kita lihat nanti. Diantara pembenaran tersebut antara
lain:
Pertama: Pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah tidak mengharamkan riba
secara sekaligus. Pengharaman riba itu diturunkan secara bertahap dan berangsur-angsur. Allah
Swt berfirman:
‫ِىجت ؤَِهللاِْفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَ ؤم ت‬
ِ َِ‫ض ْ ُؤىو‬ َ ‫ِْى َمسِ َء َ ت ؤ تمِمْ تو‬
َ َ‫ِزََس ٍِ ْؤِْ ؤىو‬ ْ َ‫ِْمًسِ َْ تَْمؤ َىِفْيِا َ تم َى ْلِ َن‬
َ ‫سسِفَالَِ تَْمؤىِ ْع تن َِهللا‬ ْ ‫ َى َمسِ َء َ ت ؤ تمِمْ تو‬
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. ar-Rum [30]: 39)

Kemudian, firman Allah Swt:


ِ ً‫عَُ ِي‬ ‫الَِ َ ت ؤَلؤى ِ َْْمَسِا َ ت‬
َ ‫ض َسفًسِ ؤمضَس‬
Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. (QS. Ali Imran [3]: 130)

Setelah itu firman Allah Swt:


َ ْ َ‫ِى َ ؤْى ِ َمسِم‬
ِ ‫يِمْ وَ ِ َْْمَس‬ َ ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِ َ ؤى‬
َ ‫ِهللا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut). (QS. al-Baqarah [2]: 278)

Berikutnya adalah firman Allah Swt:


َ ‫ َىا َ ت ْ ْه ؤمِ َْْم‬
َ ِ ‫َسِىقَ تِنؤهؤى‬
ِ ‫ع تن ِؤؤ‬
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya merejka telah dilarang dari
padanya. (QS. an-Nisa [4]: 161)
Kemudian barulah firman Allah Swt:
َ ‫ َىا َ َحلَِهللاؤِ تَمَ ت َع‬
ِ ‫ِىح ََْ َمِ َْْمَس‬
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Berdasarkan keseluruhan ayat-ayat tersebut diatas para pendukung tadarruj memahami,


bahwa riba pada mulanya adalah mubah berdasarkan ayat yang pertama. Setelah itu turun ayat
yang mengharamkan memakan riba yang berlipat ganda tetapi tidak mengharamkan riba yang
(nilainya) sedikit, berdasarkan ayat yang kedua. Kemudian diakhiri oleh ayat yang ketiga yang
mengharamkan riba meskipun sedikit, berdasarkan firman Allah Swt:
َ ْ َ‫ َى َِ ؤْى ِ َمسِم‬
ِ ‫يِمْ وَ ِ َْْمَس‬
Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut). (QS. al-Baqarah [2]: 278)

Dari sini mereka mengatakan bahwa pengharaman riba dimulai dengan sindiran, tidak secara
terang-terangan. Alasannya adalah ayat yang keempat yang menggambarkan kisah tentang
orang-orang Yahudi. Pada akhirnya Allah mengharamkan riba setelah melalui rangkaian ini dan
setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, dengan firman-Nya:
َ ‫ َىا َ َحلَِهللاؤِ تَ َم ت َع‬
ِ ‫ِىح ََْ َمِ َْْمَس‬
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Orang yang memperhatikan aspek fiqih ayat-ayat ini dengan pandangan yang benar, yang
sesuai dengan syara’, maka pasti akan menemukan bahwa pendapat yang mengatakan tentang
bolehnya tadarruj adalah sangat jauh dari kebenaran.
Ayat yang pertama tidak ada kaitannya sama sekali dengan riba yang diharamkan. Ayat
tersebut membahas tentang hibah dan hadiah. Makna ayat tersebut adalah, barangsiapa yang
telah memberi hadiah karena ingin memperoleh balasan yang berlipat dari manusia maka dia tidak
akan mendapatkan riba (tambahan) disisi Allah. Dengan kata lain tidak mendapat pahala atas
hadiah dan hibah yang diberikannya itu disisi Allah. Sedangkan mengenai shadaqah, Rasulullah
saw bersabda:

Barangsiapa yang bershadaqah dengan sesuatu senilai satu biji kurma dari hasil usaha yang baik
(halal), dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Maka Allah menerima shadaqah itu
dengan tangan kanannya dan memeliharanya seperti halnya jika seseorang diantara kalian
memelihara seekor anak kuda hingga membesar seperti sebuah gunung. (HR Bukhari).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat, wa mâ âtaitum min ar-ribâ, bahwa yang dimaksud oleh ayat ini
adalah seseorang yang memberi hadiah karena menghendaki balasan yang lebih banyak dari apa
yang diberikannya, maka hal itu tidak akan bertambah disisi Allah dan tidak akan diberi pahala
orang yang memberikan hadiah dengan maksud demikian, meskipun dia tidak berdosa. Untuk
makna seperti inilah ayat itu turun (dikutip oleh al-Qurthubi). Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata
mengenai ayat ini: ‘Sesungguhnya orang yang memberikan sesuatu karena ingin memperoleh
balasan manusia lebih banyak dari apa yang dihadiahkannya, maka orang yang seperti ini tidak
mendapatkan pahala disisi Allah.’ Demikian pula penafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhâk,
Qatadah, Ikrimah, Muhammad bin Ka’ab dan asy-Sya’biy. Dan perbuatan tersebut hukumnya
boleh.
Ibnu Abbas berkata: ‘Riba itu ada dua macam, (yaitu) riba lâ yashihu (riba yang tidak boleh)
yaitu didalam jual beli, dan riba lâ ba’sa bihi (riba yang tidak apa-apa) yaitu hadiah seseorang yang
ingin memperoleh balasan yang lebih banyak.
Adapun ayat yang kedua:
ِ ًِ‫عَُي‬ ‫الَِ َ ت ؤَلؤى ِ َْْمَسِا َ ت‬
َ ‫ض َسفًسِ ؤمضَس‬
Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. (QS. Ali Imran [3]: 130)

Ayat ini diturunkan untuk melarang makan riba yang berlipat ganda, yaitu riba yang ada pada
masa jahiliyah. Di dalam ayat ini tidak dijumpai perkara yang mengikat (mentaqyîd) haramnya riba.
Para ahli tafsir telah menyebutkan bahwa surat al-Baqarah yang didalamnya terdapat ayat
pengharaman riba merupakan ayat pertama yang turun di Madinah, sedangkan surat Ali Imran
yang didalamnya terdapat ayat yang mengharamkan memakan riba yang berlipat ganda
diturunkan sesudah ayat pengharaman riba di surat al-Baqarah. Berdasarkan kenyataan ini
anggapan bahwa Allah telah membolehkan memakan riba yang sedikit tertolak. Dengan demikian
ayat tentang riba yang terdapat pada surat Ali Imran bukan untuk menjelaskan tentang tadarruj
melainkan menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang kafir yang telah membudaya dengan
perkara riba. Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut pengharaman riba telah datang sejak awal.
Adapun ayat ketiga:
َ ْ َ‫ِى َ ؤْى ِ َمسِم‬
ِ ‫يِمْ وَ ِ َْْمَس‬ َ ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِ ِ َ ؤى‬
َ ‫ِهللا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut). (QS. al-Baqarah [2]: 278)

Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa Allah telah membolehkan bagi kaum Muslim riba yang sedikit,
kemudian riba dilarang atas mereka seluruhnya. Ayat ini diturunkan bagi kaum yang telah beriman
dan mereka memiliki harta (tetapi) mengandung riba yang berada ditangan orang lain.
Sebelumnya mereka telah mengambil sebagian riba dan belum mengambil sisanya. Maka Allah
memaafkan mereka atas riba yang telah mereka ambil dan melarangnya dari mengambil sisa riba.
Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt:
َ َ‫ىسِا َ تم َى َْ ؤَ تمِالَِ َ تظ ْل ؤمىو‬
ِ َِ‫ِىالَِ ؤ تظلَ ؤمىو‬ ‫ َىيْ توِ ؤ تم ؤ تمِفَلَ ؤَ تم ؤ‬
‫ِْ ؤء ؤ‬
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2]: 279)

Begitu juga diperkuat oleh hadits Rasulullah saw:

Ketahuilah bahwa riba jahiliyyah..... (dihapuskan) semuanya, dan riba yang pertama kali
(dihapuskan) adalah ribanya Abbas bin Abdul Muthalib. (Sirah Ibnu Hisyam).

Sedangkan ayat yang keempat:


ْ َ‫ِىا َ تَل ْْه تمِا َ تم َى لَِ َن‬
‫سسِمْس تَمَسكْ ِْل‬ َ ‫ َىا َ ت ْ ْه ؤمِ َْْم‬
َ ِ ‫َسِىقَ تِنؤهؤى‬
َ ‫ع تنؤؤ‬
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya merejka telah dilarang dari
padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. (QS. an-Nisa [4]:
161)

Riba yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah harta haram dari risywah (uang sogok) dan lain-
lainnya yang dahulu dimakan oleh orang-orang Yahudi, seperti yang disinyalir oleh ayat Allah:
ِْ ‫اَََسَؤىوَ َِْل ُّحت‬
Banyak memakan yang haram. (QS. al-Maidah [5]: 42)

Maknanya adalah bukan riba yang dimaksudkan oleh syara’.


Berdasarkan pembahasan di atas jelas bahwa riba telah diharamkan sejak pertama kali ayat
riba diturunkan. Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa riba telah diharamkan secara
bertahap. Berbilangnya nash-nash yang termaktub dalam kasus ini dimaksudkan untuk kejadian-
kejadian tertentu. Dan tidak terdapat satu perkara pun yang menunjukkan bahwa riba telah
diharamkan secara berangsur-angsur.
Kedua: Pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah telah mengharamkan
khamar secara bertahap. Allah Swt berfirman:
‫ِى ْي ت ؤم ؤه َمسِا َ تَم ؤَِْمْ توِنَ تُ ِْ ْه َمس‬ َ ْْ ‫َِ ت ََؤىنَ َ ِع َْوِ تَ َ تم‬
َ ٌْ ‫ِى تَ َم ت ِْْْقؤلتِفْ ْه َمسِ ْي ت ٌمِ ََ ْم‬
ْ َ‫ِى َمنَسفْ ؤعَِْلن‬
َ ‫سس‬
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya’. (QS. al-Baqarah [2]: 219)

Firman Allah Swt lainnya:


َ َ‫ِىا َ تن ؤ تمِ ؤ‬
َِ‫َسْىِ َح َ ِ َ تلَ ؤمى ِ َمسِ َ ؤىَؤىو‬ َ َ َ‫صال‬
َ َ ِ ‫الَِ َ ت َْمؤى‬
Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan. (QS. an-Nisa [4]: 43)

Kemudian firman Allah Swt:


ِ ِ ‫كسوؤ‬ َ ‫شن ت‬َ َ ِ‫ِ ْينَ َمننسِ ؤ ْْ ن ؤ‬ِ َ‫سوِ َفننسجت َنْمؤىهؤََِ َلََؤن تمِ ؤ تُِْل ؤحنىو‬ ِْ ‫ك‬ َ ‫ع َمن ْلِ َشَن ت‬ َ ِ‫نو‬ ‫نسِمْ ن ت‬ٌ ‫ِْجت‬ ْ ‫ِى تأل َ تزالَ ؤم‬ ‫ِى تأل َ تنص ؤ‬
َ ‫َنسب‬ َ ْ‫ِى تَ َم ت ْ ن ؤن‬ َ ْ‫ َسا َ ُّهَنسِ ََن ْ وَ ِ َء َمنؤننى ِ ْينَ َمنسِ تَ َ تم ؤن‬
ِ ِ‫صنننننننننننننننننننننننن َ ؤَ تم‬
‫ِى َ ؤ‬ ‫ِى تَ َم ت ْ ن‬
َ ْ‫ننننننننننننننننننننننن‬
ْ َ ْ‫ننننننننننننننننننننننن‬
ْ ‫ضننننننننننننننننننننننننس َءِفْننننننننننننننننننننننننيِ تَ َ تمن‬ َ َ ‫ا َ توِ ؤىقْنننننننننننننننننننننننن َعِمَ تنننننننننننننننننننننننننَ ؤَ ؤمِ تَ َنننننننننننننننننننننننن َ َى‬
َ ‫ِى تَمَ ت‬
ِ َِ‫صالَ ِْفَ َهلتِا َ تن ؤ تمِ ؤم تن َهؤىو‬ َ ‫ع تَوِ ْ َ ْتِْهللا‬
َ َ ِ‫ِْىع َْو‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
(meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. al-Maidah [5]: 90-91)

Dari keseluruhan ayat diatas, pihak yang membolehkan tadarruj memahami bahwa khamar pada
mulanya hukumnya mubah berdasarkan dalil ayat yang pertama. Kemudian turun ayat yang
mempersempit kemubahan itu dengan firmanNya:
َ َ‫ِىا َ تن ؤ تمِ ؤ‬
‫َسْى‬ َ َ َ‫صال‬
َ َ ِ ‫الَِ َ ت َِْمؤى‬
Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (QS. an-Nisa [4]: 43)
Lalu, pada akhirnya khamar diharamkan setelah penyempitan tersebut.
Apabila ayat-ayat tadi diperhatikan dengan pandangan yang syar’I, maka tidak akan
ditemukan tahapan apapun di dalam pengharaman khamar. Karena tidak ada hukum atas khamar
sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya. Artinya, sebelumnya khamar itu dibiarkan,
dengan kata lain khamar sebelumnya maskût ‘anhu (didiamkan) meskipun mereka melakukannya,
sampai turunnya ayat yang ke tiga. Yang memperkuat hal itu adalah peristiwa yang terjadi pada
sayidina Umar bin Khattab ra, dimana dia telah berkata:
‘Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamar dengan penjelasan yang memuaskan, karena
khamar itu menghabiskan harta dan menghilangkan akal’.
Lalu, turunlah ayat:
َ ْْ ‫ َ ت ََؤىنَ َ ِع َْوِ تَ َ تم‬
ِْ ‫ِى تَ َم ت‬
ْْ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. (QS. al-Baqarah [2]: 219)

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya. Kemudian ia berkata:
‘Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamar dengan penjelasan yang memuaskan’.
Setelah itu turunlah ayat:
َ َ‫ِىا َ تن ؤ تمِ ؤ‬
‫َسْى‬ َ َ ِ ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمِنؤى ِالَِ َ ت َْمؤى‬
َ َ َ‫صال‬
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.
(QS. an-Nisa [4]: 43)

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya. Umar pun berdoa kembali:
‘Wahai Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamar dengan penjelasan yang
memuaskan’. Kemudian turunlah ayat:
ِ‫سوِفَسجت َنْمؤىهؤ‬ َ ‫شت‬
ِْ ‫ك‬ َ ِ‫سِمْ تو‬
َ َ ِ‫ع َم ْل‬ ْ ‫ِى تأل َ تزالَ ؤم‬
ٌ ‫ِْجت‬ ‫ِى تأل َ تنص ؤ‬
َ ‫َسب‬ َ ْ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِيْنَ َمسِ تَ َ تم ؤ‬
َ ْْ‫ِى تَ َم ت ؤ‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah. (QS. al-Maidah [5]: 90)

Umar pun dipanggil dan ayat tersebut dibacakan kepadanya hingga ketika sampai pada bacaan:
َِ‫فَ َهلتِا َ تن ؤ تمِ ؤم تن َهؤىو‬
Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. al-Maidah [5]: 91)

Umar lalu berkata: ‘Kami berhenti wahai Rabb, kami berhenti wahai Rabb’. (HR Ahmad, Tirmidzi,
Nasa’i dan Abu Dawud).

Sayidina Umar terus memohon kepada Allah agar menjelaskan tentang hukum khamar
dengan penjelasan yang memuaskan, yang sebelumnya didiamkan kebolehannya sebelum
turunnya ayat yang pertama. Beliau terus memohon meskipun telah diturunkan dua ayat yang
pertama dan yang kedua. Hal itu menunjukkan bahwa khamar tetap dalam kebolehannya hingga
turunnya ayat pengharaman khamar pada ayat yang ketiga.
Larangan yang terdapat didalam ayat yang kedua difokuskan kepada shalat dalam keadaan
mabuk, bukan ditujukan kepada (haramnya) khamar. Ayat ini berhubungan dengan shalat. Jika
kita perhatikan secara lebih seksama terhadap fiqih ayat ini, maka ayat tersebut tidak melarang
kaum Muslim meminum khamar selain pada waktu shalat. Yang dilarang atas kaum Muslim adalah
shalat dalam keadaan mabuk, sehingga mereka mengetahui apa yang mereka ucapkan (baca).
Seandainya -setelah turunnya ayat ini- tercium dari mulut seorang muslim bau khamar ketika dia
shalat, atau dia membawa segentong khamar, atau telah meminum khamar dalam jumlah yang
tidak sampai membuatnya mabuk, maka hal itu tidak apa-apa baginya (boleh saja).
Allah telah mencela khamar pada ayat yang pertama karena merugikan. Kemudian melarang
shalat dalam keadaan mabuk pada ayat yang kedua. Setelah itu mengharamkan khamar pada
ayat yang ketiga. Hal semacam ini tidak bisa dikatakan adanya tahapan di dalam pengharaman
khamar, karena tidak seorangpun menganggap khamar itu mubah setelah turunnya ayat
pengharaman khamar (surat al-Maidah), baik pada masa Rasulullah saw maupun pada masa
sahabat, atau pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tidak ada satu pun kitab-kitab fiqih yang
dikarang oleh ulama-ulama besar dan para mujtahid umat ini yang membahas masalah tadarruj
dalam kasus pengharaman khamar.
Dahulu kala, futuhât Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-
negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum
Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke-Islaman saudara-saudara
mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar melalui tahapan sebagaimana ‘tahapan’
yang telah dilewati dalam pengharaman khamar. Padahal (kondisi saat itu menuntut) mereka dan
sangat dibutuhkan seandainya hal itu bisa dijadikan sebagai patokan. Wajar saja, karena para
ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Topik ini merupakan pembahasan
baru yang didiktekan oleh keadaan yang sulit dan kerasnya situasi -menurut pendapat sebagian
orang yang dinamakan sebagai ulama- dan mereka ingin menjadikannya sebagai metoda berpikir
yang tidak hanya mencakup sebagian hukum saja tetapi juga melampaui agama seluruhnya.
Kiranya benarlah sabda Rasulullah saw:

Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka
berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam
masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam
neraka. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dengan sendirinya muncul pertanyaan kepada para penganjur tadarruj: Apakah boleh bagi
kita mengambil hukum sebelum Islam dengan alasan tadarruj dalam penerapan hukum?
Dengan tegas jawabannya adalah, tidak. Alasannya, hukum pengharaman khamar adalah
qath’I, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada hukum sebelumnya. Jika kita melaksanakan
hukum sebelumnya, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt
kepada kita. Inilah (pendapat) yang dianut oleh orang-orang terdahulu dan kemudian. Dengan
demikian, terhadap khamar sekarang ini hanya ada satu hukum, tidak berubah dalam kondisi
apapun dan tidak jatuh dosa dari orang yang meminumnya.
Ketiga: Pendapat mereka yang menyebutkan bahwa syara telah menuntaskan hukum
perbudakan dengan cara tadarruj. Pendapat ini batil, karena Allah Swt tidak mengharamkan
adanya perbudakan, akan tetapi memberikan jalan keluarnya. Apabila perbudakan kembali eksis
maka hukum-hukum yang berkaitan dengannya juga akan kembali. Dan perbudakan akan kembali
eksis sekali lagi.
Keempat: Pendapat mereka bahwa al-Quran telah diturunkan secara berangsur-angsur dan
sedikit demi sedikit, dan tidak turun secara sekaligus. Hal itu –menurut mereka- menunjukan
adanya tadarruj. Jawaban terhadap pernyataan ini adalah bahwa Allah ‘azza wa jalla ketika itu
menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati.
Yang pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang surga dan neraka. Setelah itu
halal dan haram. Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian
yang lain. Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang diturunkan,
tidak lebih dari itu. Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan hukum belum turun, maka kaum Muslim –saat itu- bertanggung jawab terhadap Islam
seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’. Kaum
Muslim bertanggungjawab terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan individu muslim dalam
setiap keadaan, baik daulah Islam telah eksis atau pun belum ada. Sedangkan hukum-hukum
Islam yang disandarkan pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara.
Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang namanya
menengok ke belakang.
Sekarang, setelah pemaparan diatas, apa yang dimaksud dengan tadarruj; apa saja yang
dicakupnya; serta apa saja alasan orang yang mengatakannya boleh. Kita akan melanjutkan
dengan penjelasan mengenai pendapat yang benar menurut syara’, dan dibahas dengan metode
yang sesuai dengan syara’ di dalam berpikir.
Saya akan katakan pendapat yang benar, bukan pendapat yang mendekati kebenaran. Ide
tentang tadarruj bukan berasal dari syara’ dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara’.
Permasalahan ini tidak ada kaitannya dengan tadarruj, (tidak tercakup) apakah ia tergolong hukum
syara’ atau bukan, dan terkait dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara’ dalam
kondisi apapun.
Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam
itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata. Lagi pula sifat sistem wadh’i adalah hasil
temuan dan keahlian manusia yang bagaimanapun kuatnya tetap tidak akan mampu untuk
menetapkan penyelesaian-penyelesaian yang benar bagi problematika yang dihadapi manusia.
Tatkala seorang muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus menjadikan
keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak demikian maka
konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam
maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah Swt sebagai asas dakwahnya. Jika tidak maka
dakwahnya tidak akan diterima. Topik yang pertama adalah berkaitan dengan keimanan, dan yang
kedua berhubungan dengan keterikatan yang benar.
Agar seorang muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan
lurus maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian
memupuknya. Adapun perkara lain yang menjadi implikasinya yang berkaitan dengan keterikatan
terhadap hukum syara’ akan menjadi mudah, tanpa perlu mempedulikan apakah sejalan dengan
realita yang ada, tabi’at manusia atau hawa nafsu manusia, atau tidak sejalan. Apabila seorang
muslim tidak bersandar kepada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka hal itu dapat
menjerumuskannya pada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada kekafiran. Pelaksanaan
Islam yang mengacu kepada asas ruhiyah atau iman kepada Allah tidak akan menjadikan hukum
itu jauh atau dekat, kecuali sejauh jarak hukum itu dengan asas ruhiyah tadi.
Sekarang kami datang untuk bertanya kepada orang-orang yang mendukung tadarruj: Mana
asas ruhiyah dari ajakan kepada tadarruj ini? Mana perintah Allah yang menyuruh tadarruj? Dan
kemana Rasulullah saw berlindung ketika beliau kondisinya sangat membutuhkan, baik ketika di
Makkah maupun di Madinah ?
Bukankah Rasulullah saw telah berkata kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau
meminta nushrah (pertolongan) kepada mereka: ‘Perkara itu ditangan Allah, Dialah Yang
menetapkan sekehendak-Nya’. (Sirah Ibnu Hisyam). Ini diucapkan beliau tatkala mereka meminta
kepada beliau (sebagai syarat pertolongan mereka) agar kendali kekuasaan diberikan kepada
mereka setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi pada saat kondisi beliau saw sangat
membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah. Bukankah Rasulullah saw bsa
saja memenuhi permintaan mereka. Lalu setelah mereka masuk Islam mungkin saja tuntutan
mereka akan berubah? Atau apa yang dilakukan Rasulullah saw merupakan ajakan yang benar,
dan perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa mengindahkan
lagi bujuk rayu dan tawar menawar (kompromi), agar dapat diketahui dengan jelas orang-orang
yang benar dan orang-orang yang salah.
Bukankah Rasulullah saw telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib. Saat itu
datang kepada beliau meminta agar meringankan beban yang ditanggungnya, dan agar Rasulullah
saw tidak membebaninya dengan beban yang tidak sanggup menahannya. Bukankah beliau saw
mengatakan kepada pamannya itu:

Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (dakwah) maka aku tidak akan
meninggalkannya sampai Allah akan memenangkanku atau aku binasa karenanya. (Sirah Ibnu
Hisyam).

Nash yang berasal dari Rasulullah saw ini menunjukkan bahwa beliau tidak menerima sedikitpun
kompromi atau tawar menawar didalam syari’at. Beliau dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik
contoh didalam dakwahnya. Beliau tidak mencari muka, tidak berdamai, tidak mengikuti mereka,
tidak menunjukkan kasih sayang dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah beliau
jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang mematahkan dan
menyebabkan kebatilan itu sirna.
Bukankah Allah Swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah, dari tempat dimana
mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Swt ke tempat mereka bisa
melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka tinggal ditempat yang mereka tidak mampu
menjalankan apa yang diwajibkan Allah Swt. Firman Allah Swt:
ْ ‫ِى ْ َيًِفَ ؤه‬
‫َسج ؤْى ِفْ هَس‬ ِْ ِ ‫ضِقَسَؤى ِاَََ تمِ ََ تؤوِا َ تْضؤ‬
َ ‫هللا‬ َ ِ‫يْوَ ِ ََ ْ وَ ِ َ َىفَس ؤه ؤمِ تَ َمالَئََْيؤ‬
‫ظسَْمْ يِا َ تنُؤ ْْه تمِقَسَؤى ِفْ َمِ ؤَ تن ؤ تمِقَسَؤى ِ ؤَنَسِ ؤم ت َ ت‬
ْ ْ‫ض َ ُْ وَ ِفْيِِتأل َ ت‬
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?. mereka menjawab:
‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’. Para malaikat berkara: ‘Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (QS. an-Nisa [4]: 97)
Ibnu Katsir telah menyebutkan tentang adanya ijma’ yang mengharamkan bertempat tinggal di
wilayah yang tidak bisa mendirikan agama di dalamnya.
Bukankah Rasulullah saw memulai dakwahnya dengan Lâ ilâha illa Allah Muhammad
Rasulullâh dan beliau mulai menyampaikan kalimat itu kepada kaumnya. Kalimat itu pula
ucapannya yang terakhir tanpa ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau mendakwahkan sesuatu
yang lebih ringan dari (kalimat) itu, kemudian beliau berdakwah menyampaikannya secara
bertahap sampai akhirnya menyampaikan hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat
itu merupakan awal dan akhir dakwah beliau saw.
Bukankah Abu Bakar ra telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula berbaik sangka kepada mereka.
Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal: ‘Demi Allah, seandainya mereka tidak
mau membayar zakat kepadaku sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah saw
maka sungguh aku akan memerangi mereka’. Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi
gerakan pemurtadan dan pembangkangan yang sangat besar?
Apakah kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam dengan mengambil
pemahaman tadarruj? Dan apakah mereka mengambil metoda ini pada saat mereka menerapkan
Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya berubah dari dâr al-kufur menjadi dâr al-
Islâm. Kaum Muslim terdahulu tidak mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru
memeluk Islam. Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum
khamar sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; atau tidak bermuamalah
dengan riba; atau tidak melacur dengan wanita.... Mereka masuk ke dalam agama Islam secara
keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum khamar, dan
seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka. Mereka menerapkan hukum-hukum syari’at
yang telah dibebankan, baik kewajiban yang dibebankan itu terkait dengan individu atau pun
jama’ah, fardhu ‘ain atau pun fardhu kifayah.
Apakah buku-buku fiqih Islam yang utama telah membahas topik (tadarruj) ini? Dan apakah
para fuqaha maupun mujtahid kita terdahulu dan yang terpercaya ada yang menyinggung-
nyinggung perkara tersebut meskipun sedikit? Sudah sangat masyhur bahwa para fuqaha kita
telah membahas secara mendetail setiap syariat, baik yang bersifat kulliy atau pun cabang?
Syari’at secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah dengan
kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah Swt:
ِ ِِ‫ِىََننننننننننننننننننن تمِ َجت َنننننننننننننننننننلتََِنننننننننننننننننننؤؤِع َْى َجنننننننننننننننننننس‬
َ ‫ننننننننننننننننننسب‬
َ ‫ع تمننننننننننننننننننن ْ هِْ تَ َْ َن‬
َ ِ ‫علَننننننننننننننننننن‬ َ
َ َِ‫ننننننننننننننننننزل‬‫ تَ َح تمننننننننننننننننننن ؤ ِْ ِْ ََننننننننننننننننننن ْيِا َ تنن‬
‫قَ ْ ًمس‬
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Quran) dan Dia
tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus. (QS. al-Kahfi [18] 1-
2)

Allah Swt telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin membujuk-bujuk kita,
berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan kebenaran serta agar kita menerima perkara-
perkara yang dianggap (pada mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap
kekafiran. Allah Swt berfirman:
‫سْ ِ َح َ ً ِمْ توِ ْع تن ِْا َ تنُؤ ْْه تِم‬ ْ ‫ َى َِ ََ ْ ٌِْمْ توِا َ ته ْلِ تَ َْ َس‬
ً ََُ‫بََِ تىِ ؤَْ ُّىنَ ؤَ تمِمْ توِمَ ت ِْيْ َمسنْ ؤَ تمِ ؤ‬
Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. (QS. al-
Baqarah [2]: 109)

Kemudian diakhiri dengan hukum-hukum, sebagaimana firman Allah Swt:


َِ‫ َى ُّى ََِ تىِ ؤ ت ْهوؤ ِفَ ؤ ت ْهنؤىو‬
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula
kepadamu). (QS. al-Qalam [68]: 9)
َِ‫فَالَِ ؤكْ ْعِ تَ ؤم ََ ْ مْ و‬
Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). (QS. al-Qalam [68]:
8)

Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah) nya kita terhadap orang-orang dzalim.
Firman Allah Swt:
ِ ِْ‫ؤىوِهللا‬ ‫ت‬ ‫ِى َمنننننننننننننننننننننسََِ ؤَننننننننننننننننننننن تمِمْ ن‬
ْ ِ‫ننننننننننننننننننننو‬ ‫ظلَ ؤمنننننننننننننننننننننى ِفَ َ َم َننننننننننننننننننننن ؤَ ؤمِ َنَن‬
َ ْ‫ننننننننننننننننننننس‬
‫ؤ‬ َ ِ َ‫ َىالَِ َ تْ ََنؤنننننننننننننننننننننى ِ ْي ََننننننننننننننننننننن ِ ََننننننننننننننننننننن ِْ و‬
َِ‫مْ توِا َ تى َْ َس َءِ ؤ َمِالَِ ؤ تنص ؤَْىو‬
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari pada
Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud [11]: 113)

Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan
keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna, meskipun orang tersebut baru
masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara’. Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai
pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman kedalam jiwa dan menjaganya hingga
memperoleh (panen) buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa.
Daulah Islam tidak dibangun diatas orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau yang
disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang yang tidak menjalankan
aktivitas dakwah. dan orang-orang yang tidak terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang
terpaksa menerima dakwah. Daulah Islam, seperti yang telah kami sampaikan, wajib dibangun di
atas opini umum yang terpancar dari kesadaran umum, yang menerima pemikiran Islam dan
menerima ide untuk bertahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak diperlukan kondisi tadarruj
dengan dalih untuk mendekatkan jiwa-jiwa (manusia) dengan Islam. Tidak diperlukan sikap
dengan mengikuti kelemahan manusia atau mengikuti realita, karena Allah telah memerintahkan
kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realita (yang ada) agar sesuai dengan Islam.
Apabila kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat-ayatnya, pasti kita
akan mengetahui bahwa perintah (untuk menerapkan hukum) disana itu bersifat qath’i. Disamping
itu pasti kita akan mengetahui bawa ide tadarruj adalah ide yang berasal dari luar Islam, berasal
dari Barat, dan disusupkan secara dzalim dan penuh kebohongan oleh orang yang menamakan
dirinya tokoh.
Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat al-
Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-nunggu atau memperlambatnya.
Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya ayat. Setelah turunnya ayat:
‫ْيِى َْ ْض ؤ ََِ ؤَ ؤمِ ت ْإل ت الَ َمِ ْ نًس‬ َ ِ ‫ِىا َ ت َم تم ؤ‬
َ ‫علَ ت ؤَ تمِنْ ت َم‬ َ ‫ تَ تَى َمِا َ تَ َم تل ؤ ََِ ؤَِ تمِ ْ نَ ؤَ تم‬
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah [5]: 3)

Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang
bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah atau pun akhlaq; baik itu
terkait dengan muamalat atau pun dengan aspek pemerintahan, ekonomi, sosial atau politik luar
negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang.
Firman Allah Swt:
ِْ ‫ش ْ ؤِ تَ ْ َس‬
‫ب‬ َ َ‫ِهللاِ ْيو‬
َ ِ‫ِهللا‬ َ ‫ع تنؤؤِفَس تن َهؤى‬
َ ‫ِى َ ؤى‬ َ ‫َْ ؤىلؤِفَ ؤ ؤى ؤه‬
َ ِ‫ِى َمسِنَهَس ؤَ تم‬ َ ِ‫ َى َمسِ َء َس ؤَ ؤم‬
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya. (QS. al-Hasyr [59]: 7)

Maknanya, ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah saw, dan
tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (mâ) di dalam ayat itu
termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal dengan seluruh
kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk
melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah
(indikasi) yang terdapat diujung ayat, (yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan
azab yang pedih bagi yang tidak melaksanakan ayat tersebut.
Firman Allah Swt:
َِ ‫سِا َ تن َزلَِهللاؤِ ْيََ ت‬ ْ ‫ِى حت َ تْ ؤه تمِا َ توِ َ تُ ْنؤى َ ِع تَوِمَ ت‬
ِ ‫ضِ َم‬ َ ‫ِىالَِ َ َ ْم تعِا َ ته َى َء ؤه تم‬
َ ‫ َىا َ ْوِ حت ؤَ تمِمَ تنَ ؤه تمِ ْم َمسِا َ تن َزلَِهللاؤ‬
(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan
Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang
bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu
berupa perintah atau pun larangan. Di dalam ayat itu juga Rasulullah saw dan kaum Muslim
setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan
mereka. Demikian juga terdapat peringatan bagi Rasulullah saw dan kaum Muslim sesudah beliau
agar tidak dipalingkan oleh manusia dari penerapan sebagian hukum-hukum yang diturunkan
Allah.
Allah Swt berfirman:
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَََسف ؤْْىو‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
َ َ ِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َِزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤم‬
َِ‫ظس َْ ؤمىو‬
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang dzalim. (QS. al-Maidah [5]: 45)
ِ َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِ ْم َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تََُس ْ ؤىو‬
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang fasik. (QS. al-Maidah [5]: 47)

Di dalam ayat-ayat ini Allah Swt menghukumi kafir atau dzalim atau fasik bagi orang-orang
yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Lafadz (mâ) disini berbentuk umum,
mencakup seluruh hukum-hukum syara’ yang diturunkan, baik berupa perintah-perintah atau pun
larangan-larangan.
Berdasarkan penjelasan diatas tampak dengan jelas dan tidak ada keraguan lagi bahwa
wajib bagi kaum Muslim, baik individu, jama’ah maupun negara, untuk menerapkan hukum-hukum
Islam secara sempurna, tanpa menunda-nunda, memperlambat atau pun bertahap dalam
penerapan. Dan tidak ada udzur bagi individu, jamaah atau pun negara untuk tidak menerapkan.
Penerapan dengan tadarruj bertentangan dengan hukum-hukum Islam secara diametral.
Islam memandang orang yang menerapkan sebagian hukum seraya meninggalkan sebagian yang
lainnya, berdosa disisi Allah, baik ia individi, jamaah ataupun negara.
Sesuatu yang wajib akan tetap wajib, (yaitu) harus dilaksanakan. Dan sesuatu yang haram
akan tetap haram, (yaitu) wajib dijauhi. Rasulullah saw tidak menerima tuntutan (yang dilontarkan)
utusan bani Tsaqif agar membiarkan berhala yang mereka sembah (Lâta) selama tiga tahun; atau
membiarkan mereka untuk tidak menjalankan shalat jika mereka masuk Islam. Rasulullah saw
tidak menerima (tuntutan tersebut) dan menolaknya dengan tegas. Beliau tetap bersikeras untuk
menghancurkan berhala tanpa menunda-nunda waktu, dan tetap memerintahkan shalat tanpa
mengulur-ulur waktu.
Allah Swt telah menetapkan bahwa penguasa yang tidak menerapkan seluruh hukum-hukum
Islam, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, sebagai kafir jika dia
tidak meyakini kelayakan hukum-hukum Islam, atau tidak meyakini kelayakan sebagian hukum
yang ditinggalkannya itu. Allah Swt juga menganggapnya dzalim jika dia tidak menerapkan
sebagian hukum Islam seraya tetap meyakini kelayakan penerapan (hukum) Islam.
Rasulullah saw mewajibkan untuk memerangi penguasa, dan mengangkat senjata apabila
penguasa menampakkan kekufuran yang nyata, dimana kita memiliki bukti nyata dihadapan Allah.
Dengan kata lain, diberlakukan atas seorang penguasa yang menerapkan hukum kufur, dan tidak
ada keraguan sedikitpun bahwa hal itu adalah hukum kufur, baik hukum itu banyak atau sedikit. Ini
berdasarkan penjelasan dalam hadits Ubadah bin Shamit:

Dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. (Rasulullah bersabda): ‘Kecuali jika
kalian melihat kekufuran yang nyata, di mana kalian memiliki burhân (bukti nyata ) disisi Allah’.
(HR Muslim).

Berdasarkan hal itu, tidak boleh ada (sikap) meremehkan hukum-hukum Allah, tidak juga
tadarruj dalam penerapan hukum-hukum Islam. Sebab, tidak ada perbedaan antara satu
kewajiban dengan kewajiban lainnya, juga antara satu perkara haram dengan perkara haram
lainnya, termasuk antara satu hukum dengan hukum yang lainnya. Hukum Allah semuanya sama-
sama wajib untuk dilaksanakan, tanpa ada penundaan atau tahapan (dalam pelaksanaannya). Jika
tidak, maka kita akan terkena ayat Allah Swt:
‫ب‬ َ َ ‫َسِى تَى َمِ تَ ْ َس َميِْ ؤ َْ ُّىوَ ِيََْ ِا‬
ِْ َِ َ َ‫ش ِْ ت‬ َ ‫ح َس ِْ َ ُّ تن‬ ٌ ‫ضِفَ َمسِج ََز ؤءِ َم توِ َ تُ َلؤِ َ َْ َ ِمْ تن ؤَ تمِيْالَِ ْ تز‬
َِ َ‫يِفْيِ ت‬ ٍ ‫ِى َ تَُؤ ؤْىوَ ِمْمَ ت‬
َ ‫ب‬ ْ ‫اَفَ ؤ ت مْ نؤىوَ ِمْمَ ت‬
ْ ‫ضِ تَ َْ َس‬
Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab (Allah) dan ingkar terhadap sebagian yang
lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat. (QS.
al-Baqarah [2]: 85)

Tidak ada satu udzur (halangan) bagi seorang muslim untuk tidak menerapkan satupun dari
hukum-hukum syara’; baik dia sebagai penguasa atau pun sebagai individu biasa, kecuali apabila
terdapat rukhshah syar’iyyah (keringanan yang telah ditetapkan oleh syara’) yang terdapat didalam
nash-nash suara’. Ketidakmampuan yang dapat diterima (secara syar’I) sebagai rukhshah
syar’iyyah adalah dalam kondisi lemah yang sebenarnya, yang bisa diindera, atau dalam kondisi
keterpaksaan yang sebenarnya, seperti pada keadaan adanya mukrah al-mulji (yaitu, paksaan
yang jika tidak dilaksanakan akan membahayakan jiwa, pen). Contohnya, adalah kondisi
Rasulullah saw ketika menawarkan sepertiga hasil panen (kurma) penduduk Madinah kepada
Yahudi bani Gathfan; atau seperti kondisi Khalifah tatkala berunding dengan para pembangkang;
atau seperti dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang hampir binasa kelaparan.
Dan kita, dengan memperhatikan apa yang telah dilontarkan, akan menjumpai bahwa ide
tadarruj lahir karena tekanan realita. Lalu berupaya untuk melepaskan diri dari tekanan tersebut
seraya mencari-cari dalih untuk dijadikan sebagai alasan dan justifikasi bagi mereka untuk
berdakwah dengan model tadarruj. Jadi, yang muncul pertama kali adalah ide tadarruj, kemudian
dicarikan dalil syar’i yang mereka takwilkan sesuai dengan apa yang dinginkan oleh ide tersebut.
Artinya, dari awalnya (ide ini) sudah menyimpang. Disarankan agar bisa keluar dari situasi seperti
ini, bagi kaum Muslim yang mengambil ide tadarruj wajib melepaskan pakaian ‘kelemahan’ yang
mereka kenakan. Dan hendaklah mereka berhubungan dengan syara’ dengan bentuk hubungan
yang meyakini secara total Rabbnya, beriman kepada-Nya dengan keimanan yang kuat bahwa
Dialah yang mengatur seluruh perkara dan merubah seluruh situasi dan kondisi. Dialah yang
memberikan pertolongan kepada yang berhak mendapatkan pertolongan. Dengan keimanan
seperti itulah seorang muslim (seharusnya) menghadapi realita yang keras dan situasi yang sulit.
Dengan imannya itu seorang muslim mencari kemuliaan dan menjadikannya sebagai titik tolak
dakwahnya, sekaligus sebagai terminal perjalanan dakwahnya. Kita akan melihat bahwa hal itu
akan mempengaruhi obyek dakwah dengan bentuk keterikatan yang benar dan konsistensi yang
lurus, tanpa memerlukan tadarruj.
Seruan kepada tadarruj adalah seruan kepada selain Islam. Dan hal ini diharamkan. Sikap
seperti ini akan menjadikan orang-orang non muslim dan muslim yang lalai sementara mereka
diseru dengan seruan yang bertumpu pada tadarruj akan menjadi ragu-ragu dalam menerima apa
pun yang ditawarkan kepadanya. Keraguan ini harus ditanggung sang da’i, karena dia tidak
memaparkan tentang Islam. Seruannya itu juga jauh dengan asas ruhiyah, yang dibangun diatas
keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Berdasarkan asas ruhiyah
itulah diambil hukum-hukum syara atau ditinggalkan. Sikap seperti inilah yang menjadikan hujjah
Allah tetap tegak atas para da’i dibandingkan dengan menetapkan hujjah mereka berdasarkan
asas yang lain.
seruan kepada tadarruj meningidikasikan campur tangan (manusia) dalam penetapan hukum.
Yaitu dibolehkannya bagi manusia untuk menerapkan Islam secara parsial, dengan dalih tidak
mampu menerapkannya secara sempurna dan sekaligus. Padahal, kita telah diperintahkan agar
tidak mendahulukan atau menunda-nunda apa yang telah ditetapkan Allah atas kita. Lagi pula
bukankah yang mengobati manusia (menyelesaikan segala persoalannya) adalah Rabbnya Yang
Maha Mengetahui, yang mengetahui apa yang diciptakan-Nya. Bagaimana mungkin seorang
muslim bisa mentolelir dirinya dengan menyerukan tadarruj, dan turut campur dalam proses
pembuatan hukum ini. Seharusnya, tugas seorang da’i terbatas hanya dalam penerapan dan
penyampaian hukum-hukum (Islam), bukan dalam pembuatannya.
Seruan kepada tadarruj telah memberikan kepada seorang da’i metoda berpikir yang rusak.
Dengan acuan yang rusak tersebut da’i tadi menyeru manusia. Jika metoda ini dibawa dan
ditularkan kepada yang lain, dan pada saat yang sama obyek dakwah juga terpengaruh, maka hal
itu akan merusak metoda berpikir yang dimilikinya. Hal ini perlu diganti, sebagaimana halnya
merubah pemikiran yang salah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa metoda berpikir itu
datangnya diawal proses perubahan. Oleh karena itu perubahan metoda berpikir jauh lebih penting
daripada perubahan pemikiran yang lain. Kami –dalam hal ini- tidak bisa menjamin perubahan
umat yang signifikan sebelum kita merubah metoda berpikirnya, meskipun secara umum. Metoda
berpikir yang rusak ini, yang menjadi acuan manusia berpikir dan berdakwah harus diganti dengan
metoda berpikir yang benar.

Tadarruj dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah

Di tengah-tengah kaum Muslim saat ini, termasuk kalangan aktivis gerakan Islam, terdapat
pandangan yang membolehkan diterapkannya hukum Islam secara gradual atau bertahap
(tadarruj). Menurut mereka, penerapan sistem hukum Islam secara total dan serentak adalah
sesuatu yang amat sulit dilakukan, jika tidak dikatakan mustahil. Oleh karena itu, daripada hukum
Islam tidak diterapkan sama sekali, lebih baik ia diterapkan sedikit demi sedikit. Pandangan
mereka dirujukkan pada beberapa argumen berikut:
Pertama, adanya pentahapan tatkala diharamkannya khamar (minuman keras) pada masa
Rasulullah saw. Kedua, adanya anggapan bahwa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. telah
meninggalkan (tidak menerapkan) sebagian hukum Islam. Ia, misalnya, tidak memberikan zakat
kepada para muallaf. Ketiga, kenyataan bahwa Republik Islam Iran tidak memiliki kemampuan
untuk menerapkan sistem hukum Islam secara total. Iran, misalnya, tidak mampu menghapuskan
riba dari bank-bank yang ada di negerinya. Begitu pula ketidakmampuan pemerintah Sudan untuk
memasukkan ke dalam UUD-nya sebuah ketentuan bahwa, agama negara adalah Islam atau
kepala negaranya harus beragama Islam.
Yang kemudian terjadi, banyak kaum Muslim akhirnya menerima sinkretisme/eklektisisme
(pencampuran) hukum Islam dengan hukum kafir. Mereka berharap bahwa, porsi hukum Islam
makin lama semakin besar dalam mengarahkan masyarakat. Untuk itu, mereka menerima konsep
bergabung dan bekerjasama dalam sistem pemerintahan yang menerapkan sistem hukum kufur.
Pandangan tersebut adalah salah satu dari berbagai macam pandangan baru yang muncul
setelah penerapan sistem hukum Islam dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah selama lebih dari
1000 tahun hingga berakhir seiring dengan runtuhnya Daulah Islamiyah. Sejak saat itu,
masyarakat Muslim tidak bisa lagi menyaksikan kesempurnaan penerapan sistem hukum Islam.
Bahkan, membayangkannya saja sudah sangat sulit. Ditambah lagi ada upaya orang-orang kafir
untuk mengikis habis seluruh sistem hukum Islam hingga ke simbol-simbolnya. Semua ini
mengakibatkan sebagian besar masyarakat benar-benar ‘buta’ terhadap hukum-hukum Islam yang
seharusnya menjadi keyakinan dan tolok-ukur mereka. Padahal, setelah al-Quran sempurna
diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui Rasulullah saw., tidak ada lagi alasan
bagi siapa pun untuk tidak menerima dan tidak menerapkan seluruh hukum Islam. Hukum Islam
wajib diterapkan secara total dan sekaligus. Kewajiban ini ditujukan baik kepada individu, jamaah,
maupun negara.
Beberapa argumen yang mengharuskan kita, kaum Muslim—baik sebagai individu, jamaah,
maupun negara—menerapkan sistem hukum Islam secara total dan sekaligus, antara lain terdapat
di dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi saw.
Dalil-dalil yang berasal dari al-Quran antara lain adalah sebagai berikut
Pertama, firman Allah Swt. yang bebrunyi demikian:
ِْ ‫ش ْ ؤِ تَ ْ َس‬
‫ب‬ َ َ‫ِهللاِ ْيو‬
َ ِ‫ِهللا‬ َ ‫ع تنؤؤِفَس تن َهؤى‬
َ ‫ِى َ ؤى‬ َ ‫َْ ؤىلؤِفَ ؤ ؤى ؤه‬
َ ِ‫ِى َمسِنَهَس ؤَ تم‬ َ ِ‫ َى َمسِ َء َس ؤَ ؤم‬
Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas
kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Kata mâ yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk
perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah Swt. tersebut
dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang dibawa
oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi
saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim. Sebaliknya, apa saja yang dilarang
Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi
saw.—harus ditinggalkan oleh kaum Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah
individu, jamaah, dan negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni
ditujukan kepada seluruh orang Mukmin.
Meskipun ayat ini menjelaskan tentang masalah hatra fa’i Bani Nadhir, tetapi yang paling
penting (‘ibrah) adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:

Faktor utamanya (‘ibrah) adalah keumuman kalimat, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).

Kedua, firman Allah Swt. berikut:


‫ضالَالًِ ؤِممْ نًس‬ َ ِ‫ِى َْ ؤىََؤؤِفَ َ ت‬
َ َِ‫ضل‬ ْ ‫ِى َْ ؤىَؤؤؤِا َ تم ًْ ِا َ توِ ََؤىوَ ََِ ؤه ؤمِ تَ ْ ََْ ؤِمْ توِا َ تم ْْ ْه تِمِ َى َم توِ َ ت‬
َ َ‫صِهللا‬ َ َ‫ِىالَِ ؤم ت مْ نَيٍِيْ َ ِق‬
َ ‫ض ِهللاؤ‬ َ ‫ َى َمسََِسوَ ِ َْ ؤم ت مْ ٍو‬
Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (QS al- Ahzâb
[33]: 36).

Allah Swt. telah menyempurnakan agama-Nya. Tidak ada lagi pilihan bagi kita selain
menaati dan menjalankan apa yang telah dibebankan atas kita, yaitu seluruh perintah dan
larangan Allah Swt. Orang yang menghendaki penerapan hukum Islam secara gradual (tadarruj),
sama artinya dengan mencari pilihan lain. Sebab, hakikat tadarruj (pentahapan) adalah pilihan
antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Tidak mengerjakan sesuatu, yakni perintah
dan larangan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Sikap demikian adalah
haram.
Ketiga, firman Allah Swt. berikut:
َِ ‫سِا َ تن َزلَِهللاؤِيََْ ت‬ ْ ‫ِى حت َ تْ ؤه تمِا َ توِ َ تُ ْنؤى َ ِع تَوِمَ ت‬
ِ ‫ضِ َم‬ َ ‫ِىالَِ َ َمْ تعِا َ ته َى َء ؤه تم‬
َ ‫ َىا َ ْوِ حت ؤَ تمِمَ تنَ ؤه تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤ‬
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah.
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu.
(QS al-Mâidah [5]: 49).

Ayat ini berisi tuntutan Allah Swt. yang bersifat pasti kepada Rasulullah saw. dan para
penguasa setelah beliau, supaya mereka memerintah (menjalankan sistem) sesuai dengan apa
yang diturunkan oleh Allah (yaitu sistem Islam). Pada saat yang sama, ayat tersebut juga
memperingatkan Rasulullah saw. dan para penguasa supaya waspada, tidak berpaling dari al-
Quran dengan hanya melakukan penerapan sebagian hukum Allah dan tidak menerapkan
sebagian lainnya (tadarruj).
Keempat, firman Allah Swt. berikut:
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَََسف ؤْْىو‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut hukum yang diturunkan Allah, mereka
adalah orang-orang kafir. (QS al-Mâidah [5]: 44).
َ َ ِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِ ْم َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤم‬
َِ‫ظس َْ ؤمىو‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut hukum yang diturunkan Allah, mereka
adalah orang-orang zalim. (QS al-Mâidah [5]: 45).
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تََُس ْ ؤىو‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut hukum yang diturunkan Allah, mereka
adalah orang-orang fasik. (QS al-Mâidah [5]: 47).

Kata mâ dalam ketiga ayat tersebut berbentuk umum, artinya mencakup seluruh hukum yang
diturunkan Allah Swt. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut menyerukan kepada kita, terutama
para penguasa, untuk menerapkan seluruh hukum yang berasal dari Allah Swt. Tadarruj, yakni
upaya menerapkan sebagian hukum dan tidak menerapkan sebagian lainnya—dengan berbagai
dalih—adalah bentuk pengingkaran terhadap seruan Allah Swt.
Sementara itu, dalil-dalil dari Sunnah Nabi saw. yang mengharuskan penerapan hukum secara
total adalah sebagai berikut:
Pertama, hadis riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. melalui jalur para perawi yang terpercaya
(tsiqah). Ia bertutur demikian:

Rasulullah saw. pernah menjumpai kami, lalu beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima
perkara yang jika kalian diuji dengan kelima perkara tersebut—aku berlindung kepada Allah
terhadap perjumpaan dengannya….., dan ketika pemimpin-pemimpin mereka tidak bertahkim
(merujuk) pada Kitab Allah karena memiliki pilihan lain selain yang diturunkan oleh Allah; niscaya
Allah akan menimpakan azab kepada mereka.” (HR Ibn Majah).
Hadis Rasulullah saw. ini merupakan petunjuk yang pasti mengenai larangan terhadap
tadarruj, yaitu mencari alternatif selain hukum Islam, sehingga hukum Islam diterapkan sebagian
dan sebagian lainnya diterapkan hukum lain. (Dalam hadis di atas disebut pilihan lain, pen.).
Larangan secara qath‘î (pasti) tampak dari celaan yang diindikasikan dengan adanya azab Allah
Swt. Maksudnya, setiap perbuatan yang mengakibatkan datangnya azab Allah Swt. adalah tercela
dan diharamkan secara pasti.
Kedua, hadis riwayat Imam Ahmad melalui jalan as-Sudaysi, yakni Ibn al-Khashasiyah, yang
bertutur demikian:

Aku pernah datang kepada Nabi saw. untuk berbaiat. Rasulullah saw. lalu mensyaratkan
kepadaku agar bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba
sekaligus dan Rasul-Nya; juga agar aku menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji,
menjalankan shaum di bulan Ramadhan, dan berjihad fi sabilillah. Aku pun berkata, “Demi Allah,
mengenai dua perkara itu, aku tidak mampu menjalankannya, yaitu jihad dan sedekah.
Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa, orang yang lari dari medan perang akan memperoleh
kemurkaan Allah. Oleh karena itu, aku khawatir kalau aku turut berperang, aku sangat mencintai
diriku dan takut mati. Sedangkan sedekah, aku tidak memiliki apa pun kecuali ghanîmah dan
sepuluh orang tanggungan keluarga. Semua hartaku untuk adalah keluargaku, memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka.”
Kemudian, Rasulullah saw. menarik tangannya sendiri seraya menggerak-gerakkannya, lalu
bersabda, “Jika tidak dengan berjihad dan sedekah (maksudnya zakat, pen.), maka dengan apa
engkau masuk surga?” Aku pun menjawab, “Aku membaiatmu.” Aku lalu membaiat beliau dengan
seluruh syarat-syarat tadi.

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak menerima alasan Ibnu Khashasiyah yang
meminta untuk meninggalkan jihad dan tidak menunaikan zakat. Padahal, dua perkara itu jelas-
jelas hukumnya wajib. Namun demikian, pada akhirnya Ibn Khashasiyah menyetujui syarat-syarat
yang diminta Rasulullah saw. kepadanya, yaitu menunaikan seluruh kewajiban-kewajiban Islam,
termasuk berjihad dan menunaikan zakat.
Ketiga, hadis yang dititurkan dari ‘Ubadah ibn ash-Shamit yang berbunyi demikian:

….dan kami tidak akan merebut kekuasaan (dari yang berhak), kecuali kalian melihat kekufuran
secara terang-terangan (yang memiliki bukti-bukti di hadapan Allah). (HR Muslim).

Maksudnya, kami akan merebut kekuasaan (dari yang berhak) dan akan mengangkat senjata
jika kami melihat kekufuran (sesudah diterapkan) secara terang-terangan (dan memiliki bukti-bukti
di hadapan Allah).
Orang yang menerapkan tadarruj berarti mengajak untuk mencampuradukkan antara
penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum kufur. Artinya, jika terdapat seorang penguasa
Muslim yang menjalankan secara total sistem hukum Islam, kemudian mencampuradukkan
dengan hukum kufur secara terang-terangan, boleh kita memeranginya hingga hukum Islam dapat
diterapkan lagi secara total.
Keempat, Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Zâd al-Ma‘ad, menuturkan riwayat sebagai berikut:
Kinanah ibn ‘Abdi Yalil berkata, “Apakah engkau akan menuntut kami (untuk taat kepadamu)
meskipun kami telah kembali kepada kaum kami?” Rasulullah saw. bersabda, “Ya, jika kalian
memang memutuskan untuk masuk Islam, aku menuntut kalian. Namun, jika tidak, tidak akan ada
tuntutan atas kalian, dan tidak ada perdamaian dengan kalian.” Kinanah berkata lagi, “Bagaimana
pendapatmu tentang zina? Sesungguhnya kami adalah kaum yang senang membujang,
sementara kami harus melakukan hal itu.”Rasulullah menjawab, “Zina itu haram atas kalian,
karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman yakng maknanya: Janganlah kalian mendekati
zina. Sesungguhnya ia adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” Kinanah berkata lagi,
“Bagaimana pendapatmu tentang riba? Sesungguhnya ia adalah harta milik kami semuanya.”
Rasulullah menjawab, “Bagi kalian berhak atas modal pokok kalian. Sesungguhnya Allah
berfirman yang maknanya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah,
dan tinggalkanlah riba yang masih ada jika kalian benar-benar beriman.”
Mereka berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang khamar? Sesungguhnya khamar itu adalah
perasan hasil bumi kami, sementara kami biasa meminumnya.” Rasulullah kemudian menjawab
lagi: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya.” Mereka, lalu saling berdiri dan saling
berbisik-bisik, kemudian berkata, “Celaka kita, sesungguhnya kita khawatir bila menentangnya,
kita akan menemui nasib seperti Fathu Makkah (penaklukkan kota Mekah). Pergilah kalian, kita
menyetujui atas apa yang kita tanyakan.” Mereka kemudian mendatangi Rasulullah saw. seraya
berkata, “Ya, kami setuju atas apa yang engkau minta. Akan tetapi, bagaimana pendapatmu
mengenai sesembahan kami? Apa yang harus kami lakukan terhadapnya?” Rasulullah menjawab,
“Hancurkanlah!” Mereka berkata, “Itu sesuatu yang tidak mungkin. Seandainya berhala itu
mengetahui bahwa engkau akan menghancurkannya, pasti ia akan membunuh pemiliknya.”
Tiba-tiba, ‘Umar ibn al-Khaththab berkata, “Celaka kamu, hai Ibn Abdi Yalil. Betapa bodohnya
kamu. Sesungguhnya berhala itu cuma seonggok batu!” Mereka pun berkata, “Sesungguhnya
kami tidak datang kepadamu, Ibn al-Khaththab.” Mereka kemudian melanjutkan perkataannya
kepada Rasulullah saw., “Tunjuklah orang lain untuk menghancurkannya, sebab kami tidak akan
menghancurkannya.” Rasulullah menjawab, “Aku akan mengirimkan kepada kalian orang yang
akan menghancurkannya.” Setelah itu mereka pun memeluk Islam.

Hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa, kaum Muslim—siapa pun, termasuk jamaah
maupun penguasa—wajib menerapkan sistem hukum Islam secara total dan serentak. Rasulullah
saw. telah menolak secara tegas berbagai persyaratan yang diminta oleh beberapa kabilah untuk
menangguhkan atau mengecualikan diterapkannya beberapa hukum Islam (baik itu hukum zina,
khamar, zakat, riba dll). Penangguhan penerapan sebagian hukum Islam—karena dalih tertentu—
tergolong tadarruj. Tindakan demikian telah ditolak oleh Rasulullah saw, meskipun terhadap
kabilah-kabilah yang baru memeluk Islam.
Kelima, hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad melalui ‘Utsman ibn Abi al-‘Ash yang
menyebutkan bahwa, utusan yang berasal dari kabilah Tsaqif pernah menghadap Rasulullah saw.
Beliau menerima utusan tersebut di masjid dengan maksud supaya bisa melembutkan hati
mereka. Pada saat yang sama, mereka meminta syarat agar kabilahnya tidak dilibatkan dalam
peperangan atau diwajibkan menyerahkan zakat. Mereka pun meminta Rasululah agar tidak
menugaskan orang-orang yang bukan berasal dari kabilah mereka. Mendengar syarat-syarat itu,
Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya kalian tidak dilibatkan (ke medan) perang, tidak
menyerahkan (zakat), dan tidak akan ditugaskan melainkan orang yang berasal dari kalangan
kalian sendiri.”
Beliau melanjutkan sabdanya, “Tidak ada kebaikan dalam agama ini tanpa ketundukan.”
Dalam Sirah Ibn Hisyam terdapat tambahan penjelasan dari Rasulullah, “Mengenai
penghancuran berhala-berhala kalian yang (kami minta) dilakukan oleh tangan-tangan kalian, kami
menarik keputusan itu. Mengenai shalat, maka tidak ada kebaikan dalam agama ini tanpa shalat.”
Mereka lalu berkata, “Muhammad, kami akan membawanya kepadamu meskipun dia itu
sesuatu yang tidak berarti.”
Hadis ini menunjukkan pula kepada kita bahwa, Rasulullah saw. menolak permintaan mereka
(jika menerima Islam) yang tidak mau menjalankan shalat. Memang, Rasulullah saw. menerima
syarat mereka yang tidak mau menyerahkan zakat, namun pengertian lafal hadisnya menunjukkan
bahwa, yang terjadi adalah mereka didatangi oleh amil zakat untuk diambil zakatnya, bukan
menyerahkan sendiri zakatnya. Hal ini mempertegas pula bahwa, tadarruj dalam penerapan
sistem hukum Islam sama sekali diharamkan. Sebab, Rasulullah saw. secara tegas menolak
berbagai persyaratan ataupun pengecualian yang berasal dari beberapa kabilah yang baru
memeluk agama Islam.
Di samping hadis-hadis di atas, terdapat beberapa hadis yang menunjukkan secara tegas
bahwa penerapan suatu hukum tidak bisa ditunda-tunda lagi dengan alasan apa pun, antara lain:
Pertama, Imam Ibn Majah menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Athiyah ibn Sufyan ibn
Abdillah ibn Rabi‘ah. Ia bertutur demikian:

Utusan kami telah bercerita setelah datang menghadap Rasulullah pada saat masuk Islamnya
Bani Tsaqif yang berkata, “Para utusan itu datang menghadap Rasulullah saw. di bulan
Ramadhan.” Rasulullah saw. lalu memerintahkan mereka untuk membuat kubah di masjid. Tatkala
mereka masuk Islam, mereka langsung menjalani shaum pada hari-hari Ramadhan yang tersisa.”

Kedua, Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari al-Barra’. Disebutkan bahwa ia bertutur
demikian:

Tatkala Rasulullah saw. datang ke kota Madinah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis
selama 16 atau 17 bulan. Meskipun beliau lebih menyukai untuk berkiblat ke Makkah. Kemudian,
turunlah ayat yang artinya: Sesungguhnya Kami sering (melihat) mukamu menengadah ke langit,
maka Kami memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai (Makkah).”
Setelah itu, Rasulullah mengalihkan kiblatnya ke arah Ka‘bah. Saat itu, bersama beliau ada
seorang laki-laki yang turut shalat ashar. Selanjutnya, dia pergi dan melewati suatu kaum dari
kalangan Anshar. Dia lantas bersaksi bahwa dia shalat bersama dengan Rasulullah, sementara
beliau shalat menghadap ke Ka‘bah. (Ketika diturunkannya ayat tersebut) mereka pun segera
mengalihkan (arah kiblatnya), padahal mereka dalam keadaan rukuk shalat ashar.”

Ketiga, Imam al-Bukhari, an-Nasa‘i, Muslim, Ibn Majah, dan Imam Ahmad menuturkan riwayat
yang bersumber dari Ahmad ibn Abdillah ibn Abi Awfa. Disebutkan bahwa ia bertutur, “Kami
pernah menjumpai seekor keledai di luar desa. Rasulullah saw. lantas bersabda, ‘Buanglah
seluruh isi panci (yang berisi daging keledai, pen.).’”
Menurut riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Shalit al-Anshari, ia adalah seorang Badwi.
Ia berkata, “Rasulullah melarang kami memakan daging keledai tatkala kami (berada) di Khaibar,
lalu kami pun membuangnya, padahal kami dalam keadaan lapar.”
Keempat, Abu Ya‘la juga menuturkan riwayat dari Jabir. Disebutkan bahwa ia pernah bertutur
sebagai berikut:

Seorang laki-laki tengah memikul khamar dari Khaibar menuju kota Madinah. Dia menjualnya
kepada kaum Muslim (sementara khamar belum diharamkan, pen.), dan dia memperoleh uang
hasil penjualannya. Pada suatu hari, dia datang lagi ke kota Madinah, namun berjumpa dengan
seorang laki-laki Muslim yang berkata kepadanya, “Fulan, sesungguhnya khamar telah
diharamkan.” Orang tersebut lantas meletakkan khamar di suatu tempat (yang tinggi) dan
menutupinya dengan kain. Ia kemudian mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Telah sampai
kepadaku berita bahwa khamar telah diharamkan.” Rasulullah menjawab, “Memang.” Laki-laki itu
berkata lagi, “Apakah boleh aku mengembalikan khamar kepada orang tempat aku membelinya?”
Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah boleh aku menghadiahkan
khamar ini kepada orang yang akan memberikan balasan kepadaku?” Rasulullah menjawab,
“Tidak.” Laki-laki itu melanjutkan, “Sesungguhnya di dalamnya terdapat harta anak-anak yatim
yang berada dalam asuhanku.” Rasulullah bersabda, “ Jika datang harta dari daerah Bahrain
(kepada kami), maka datanglah engkau kepada kami. Kami akan mengganti harta anak-anak
yatimmu.”
Kemudian disebarkanlah berita tentang perkara ini ke seluruh kota. Berkatalah laki-laki itu,
“Wahai Rasulullah, bolehkah bejana-bejana itu kami manfaatkan?” Beliau bersabda, “Biarkanlah
aku yang membuka tutup bejana itu.” Dituangkanlah khamar itu hingga merembes ke dalam tanah.

Keempat, Imam Al-Bukhari juga menuturkan riwayat dari Anas ibn Malik. Disebutkan bahwa ia
pernah berkata sebagai berikut:

Ketika itu aku sedang memberi minum kepada Thalhah al-Anshari, Abu Ubaydah ibn Jarrah, dan
Ubay ibn Ka‘ab minuman fudhaij, yaitu minuman yang berasal dari perasan kurma. Namun, saat
itu datang seseorang kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya khamar telah diharamkan.”
Berkata Abu Thalhah, “Anas, pergilah ke tempat penyimpanan khamar, dan hancurkanlah.”
Mendengar itu, aku pun pergi ke tempat yang dimaksud, lalu kupukul bagian bawah (tempat
penyimpanan khamar) hingga pecah.

Hadis-hadis di atas secara tegas menunjukkan ketaatan kaum Muslim yang luar biasa di
masa Rasulullah. Padahal, saat itu mereka tengah menjalankan aktivitas tertentu. Namun, tatkala
mereka mendengar hukum atas perkara itu secara tegas ditentukan oleh Rasulullah saw, seketika
itu juga mereka mendengar dan menaatinya, meskipun mereka tengah menjalani perbuatan
sebaliknya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, tadarruj tidak dibolehkan dalam pelaksanaan
sistem hukum Islam.
Dengan demikian, tatkala Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, ia tidak boleh menerapkan sistem
hukum Islam berdasarkan prinsip tadarruj, karena al-Quran dan Sunnah Nabi saw. telah sempurna
diturunkan. Kita diwajibkan oleh Allah Swt. untuk menjalankan seluruh sistem hukum Islam secara
total dan seketika, tidak dengan cara gradual (bertahap) atau menunda-nunda. []

Konsisten Dengan Mabda, Baik Fikrah Maupun Thariqah


Hegemoni Barat yang kafir mampu menjadikan metoda hidupnya sebagai model yang
diikuti seluruh umat manusia. Bersamaan dengan itu kaum Muslim hidup dalam kondisi pemikiran,
sosial, ekonomi, politik yang tidak menyenangkan. Mereka hidup di tengah-tengah pemikiran yang
bertentangan dengan akidah mereka. Mereka telah kehilangan jejak yang lurus dan kepribadian
mereka tatkala berusaha mengumpulkan kembali pemikiran yang terpancar dari akidah mereka.
Pemikiran tentang hidup yang mereka anut sekarang ini terpancar dari pemikiran yang berasal dari
luar Islam, yang tidak diakui oleh umat ini. Kesamaran ini muncul disebabkan karena kebodohan
mereka dan karena kaum Muslim tidak mengambil segala sesuatu dari asalnya. Akibatnya, umat
lalu mengkompromikan antara Islam dengan selain Islam, dalam bentuk kompromi yang tidak
sesuai. Pendapat mereka yang berdasarkan kepada hawa nafsu dijadikan sebagai maksud
syari’at. Mereka menerima segala bentuk penakwilan dan mencari-cari justifikasi terhadap
berbagai penyimpangan. Ujung-ujungnya, seluruh kehidupan sosial maupun ekonomi manusia
penuh kontradiksi. Kehidupan politik diarahkan untuk menempatkan pemikiran-pemikiran yang
berasal dari luar Islam pada posisi pemikiran umat yang asli.
Dalam kondisi yang sangat buruk ini muncullah gerakan-gerakan dan partai-partai untuk
menghadapi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman-pemahaman yang keliru, perasaan-
perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang diperbudak oleh pihak (kekuatan) asing.
Seharusnya gerakan-gerakan dan partai-partai itu memiliki obat penawar dan solusi yang
menyembuhkan; memiliki jalan lurus yang bisa dilewati manusia, bukan jalan berliku yang bisa
menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Hendaknya mereka mengatakan kepada manusia:
ِ ِ‫ننننننننننننننننننننننْ َ ِمْ ؤَننننننننننننننننننننننن تم‬
َ ‫ِىالَِ َ َ ْم ؤنننننننننننننننننننننننى ِ َ ُّنننننننننننننننننننننننمؤلَِفَ ََُن‬
َ ‫ننننننننننننننننننننننْ كْ يِ ؤم ت ننننننننننننننننننننننن َ ْ ًمسِفَنننننننننننننننننننننننس َمْ ؤىهؤ‬
َ ْ َ ‫ َىاَوَ ِ َهننننننننننننننننننننننن‬
‫ِصن‬
‫ع تَوِ َمْ ْل ِْؤ‬
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu
dari jalan-Nya. (QS. al-An’aam [6]: 153)

Jama’ah atau partai harus memiliki sifat-sifat yang menjadikannya mampu mencapai
tujuan; berupa kejelasan pemikiran dan semangat untuk mencapai tujuan; mempersiapkan
kelompok yang sadar; mempersiapkan umat; dan konsisten dengan hukum-hukum thariqah.
Aspek fikrah (pemikiran) harus mendapatkan perhatian utama dari jama’ah. Pemikiran itu
adalah pandangan jama’ah yang benar dan wajib dipercaya oleh setiap manusia. Pemikiran itu
juga adalah petunjuk yang menyinari seluruh manusia, sekaligus sebagai rahmat yang diberikan
oleh Allah ‘azza wa jalla kepada hamba-Nya. Pemikiran tersebut adalah cahaya yang
mengeluarkan manusia seluruhnya dari kegelapan (dan) hawa nafsu. Pemikiran itu amat layak
untuk manusia, sangat sesuai dengan fithrahnya, memuaskan akal dan menenangkan hatinya.
Pemikiran itu pula yang mampu membahagiakan kehidupan dan menghidupkan harapan.
Didalamnya terdapat kesempurnaan dan rincian yang menjadikannya mampu untuk menjawab
setiap pertanyaan (problematika) manusia tentang kehidupan yang dihadapinya; yang menjalin
manusia dengan hubungan yang benar, baik dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan
sesudah dunia; yang mengikat manusia dengan Penciptanya dengan ikatan yang benar, sehingga
manusia mengetahui tujuan hidupnya dan menjadikannya memperoleh kebahagiaan sampai akhir.
Dengan pemikiran ini jama’ah atau partai meyakini pula bahwa jika bukan pemikiran ini
yang dianut secara umum dimasyarakat maka pemikiran yang bathil akan dominan, kemunkaran
akan merajalela, hawa nafsu menjadi acuan, kedzaliman akan menyebar luas, kegelapan akan
merata, dan kehidupan yang sempit mengakibatkan manusia tidak bisa tidur sehingga tidak akan
tenang jiwa-jiwa mereka, fithrahnya tidak akan senang, serta akal-akal mereka tidak akan
berkembang.
Topik utama yang harus diperhatikan dengan cermat oleh setiap jama’ah adalah mencari
pemikiran yang mampu menggambarkan ruh jama’ah dan sebagai legalitas dari keberadaannya,
sehingga jama’ah tersebut akan konsisten memegangnya dan akan selalu menjaga kejernihannya.
Jama’ah itu akan menjauhkan segala perkara yang bukan berasal darinya, mencegahnya
bercampur dengan pemikiran-pemikiran yang bukan berasal dari Islam sekaligus menentukan
sikapnya terhadap dakwah-dakwah lain maupun pemikiran yang dilontarkan yang mengacu
terhadap asas ini. Jernihnya pemikiran amat mempengaruhi kecemerlangan pandangan-
pandangan yang dimiliki oleh jama’ah. Kecemerlangan pandangan diperoleh dengan pemahaman
terhadap hukum syara melalui cara istidlâl yan benar. Dan hendaknya hukum ini bersandar
kepada akidah Islam.
Tatkala pemikiran yang jernih, cemerlang, jelas dan mengkristal itu hilang maka akan
hilang pula keistimewaannya. Cahayanya tidak akan kembali, bersamaan dengan sirnanya
petunjuk dan rahmat. Hilang pula dasar yang menjadi alasan keberadaannya, sehingga jama’ah
(partai tersebut) menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya, yang menyerah pasrah dihadapan
realita yang berhasil mempengaruhinya. Jadi, bukan gerakan itu yang berhasil merubahnya,
melainkan realita yang berhasil membentuknya. Bukan yang sebaliknya, (yaitu) gerakan tersebut
yang mampu membentuk realita sesuai dengan perkara yang diwajibkannya.
Banyaknya kristalisasi pemikiran (fikrah) pada anggota-anggota gerakan itu berbanding
lurus dengan kristalisasi metoda (tharîqah) yang menghantarkannya kepada realita praktis.
Kejelasan tujuan (ghâyah) adalah bagian dari kejelasan pemikiran. Dan jalan untuk mencapai
tujuan adalah hukum-hukum syara tertentu sebagaimana hukum-hukum syara’ yang lain.
Jama’ah yang mengemban mabda atau partai politik ideologis adalah jama’ah atau partai
yang terikat dengan mabda didalam setiap gerak maupun diamnya. Hal itu karena pemikiran yang
berasal dari mabda telah melarang penganutnya maupun orang yang mendakwahkannya untuk
mengambil selain mabda Islam, kecuali jika pemikiran tersebut membolehkannya. Mabda adalah
pemikiran pokok yang membahas tentang segala perkara dari dasarnya, dan memberikan jawaban
yang khas mengenai hakekat keberadaan manusia di alam ini. Setiap pemikiran cabang lahir dan
terpancar dari pemikiran pokok ini. Seluruh pemikirannya tentang hidup, pemahaman-
pemahamannya tentang segala sesuatu dan hukum-hukumnya yang menyangkut seluruh
perbuatan, semuanya berasal dari pemikiran pokok ini.
Dengan demikian Islam merupakan bangunan yang lengkap. Tidak ada sedikitpun
kekurangannya, meskipun hanya satu topik. Apa pun yang ada di dalam Islam sangat harmonis
satu sama lainnya, karena terpancar dari kaedah berpikir yang satu dan telah baku, menyatu
dengan aturan kehidupan dan tabiat penciptaan.
Siapapun yang beriman dengan Islam, halal dan haram menjadi tolok ukur setiap
perbuatannya, dan menjadi standar bagi setiap pandangannya terhadap segala sesuatu. Bukan
mengacu kepada manfaat. Tolok ukur manfaat selaras dengan pemikiran bahwa manusialah yang
membuat hukum, bukan Allah Swt. Kebahagiaan seorang muslim adalah memperoleh ridha Allah,
bukan didapatkannya kelezatan secara berlimpah. Dengan demikian, kehidupan seorang muslim
adalah kehidupan ibadah kepada Allah, dan mengikuti perintah-Nya; bukan hidup yang
berdasarkan pada ide kebebasan yang menjadikannya terlepas dari segala ikatan. Siapa saja
yang menerima suatu asas, dengan sendirinya ia akan menerima apa pun yang lahir dari asas
tersebut. Dan siapa saja yang ingin melakukan perubahan, maka rubahlah dari asasnya dahulu.
Setelah itu baru memperhatikan kesesuaian antara cabang dengan asas. Ini adalah pemikiran dan
dakwah yang bersifat ideologis, yang harus menjadi titik tolak sebuah jama’ah. Berdasarkan hal ini
tidak bisa diterima adanya pencampuradukkan antara Islam dengan selain Islam pada diri kaum
Muslim, sistemnya maupun jama’ah-jama’ahnya. Implikasinya adalah bahwa sistem pemerintahan
sekarang ini tidak dapat diterima. Sistem tersebut telah menjadikan Islam sebagai salah satu
sumber dari berbagai sumber lain perundang-undangannya, seperti adat istiadat; atau Islam
dijadikan sebagai sumber utama perundang-undangannya (dan menerima sumber-sumber lain
sebagai pelengkap, pen). Sikap yang sama, yaitu tidak dapat diterima adalah, manakalah jama’ah-
jama’ah Islam melakukan proses pencampuran tersebut, seperti melaksanakan hukum-hukum
Islam dan sebagian hukum-hukum Barat yang bertentangan dengan Islam. Ini adalah langkah
mundur yang tidak diterima oleh Allah Swt maupun hamba-hambanya yang beriman.
Oleh karena itu, seluruh jama’ah Islam yang berdiri diatas asas lâ ilâha illa Allah
Muhammad Rasulullâh (yang berarti tidak ada yang benar-benar berhak disembah dan dita’ati
kecuali Allah) tidak dibolehkan condong ke Barat ataupun ke Timur dalam proses pengambilan
hukum-hukum tentang kehidupan. Artinya, setiap pemikiran harus terpancar dari akidah dan harus
diambil dari sumber-sumber syara yang terpercaya dengan dalil-dalil yang terperinci.
Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah sejalan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa sosialis -yang asasnya adalah pemikiran lâ ilâha wa al-hayâtu mâddah (tidak ada tuhan,
dan kehidupan ini hanya sekedar materi)- adalah berasal dari Islam. Begitu pula, bagaimana
mungkin kalimat syahadat selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi -yang
berdiri atas ide pemisahan agama dari kehidupan- itu berasal dari Islam. Dan bagaimana bisa
selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa qaumiyah (kesukuan) dan wathaniyah
(nasionalisme) yang berpijak pada ashâbiyah (fanatisme) -yang telah dihinakan oleh Islam-
berasal dari Islam.
Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh -yang berarti hanya
Allah yang berhak dalam tasyri’ (pembuatan undang-undang)- bisa sesuai dengan pendapat yang
mengatakan bahwa kita (manusia) juga bisa ikut serta dalam pembuatan undang-undang?
Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh -yang tegak diatas
landasan merendahkan diri, ketundukan dan ibadah kepada Rabb semesta alam- akan selaras
dengan kebebasan yang ada di dalam sistem Barat, dimana manusia menjadi tuan bagi dirinya
sendiri dalam segala hal. Dan mereka tidak mau tunduk kepada Tuhan kecuali jika ketundukannya
itu sesuai dengan syahwatnya, keinginannya dan kepentingannya?
Berpegang teguh kepada akidah Islam berimplikasi untuk tetap berpegang teguh kepada
apa pun yang terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak, maka kepribadian jama’ah akan hilang
digilas oleh serangan kompromi, yang tidak akan pernah diridhai Allah dan hamba-hambanya yang
beriman.
Untuk memelihara pemikiran agar tetap jernih dan cemerlang, jelas dan terkristal, wajib
menjauhkannya dari arus realita (yang ada) yang menghanyutkan, dan menyerah pada situasi dan
kondisi; menjauhkan pula dari penyimpangan, penggantian dan proses tawar menawar.
Sama halnya dengan kondisi para pengemban dakwah yang ingin merubah masyarakat
sesuai dengan pemahamannya, maka demikian pula masyarakat, dengan pemahaman dan
pemikirannya yang salah, kondisi politik dan sosial yang ada juga akan menggerus para
pengemban dakwah dan menekan jama’ah yang berusaha melakukan perubahan.

Waspada Terhadap Penyimpangan dan Kompromi


Sebuah jama’ah yang berlandaskan pemikiran yang bersifat ideologis, yang terjun kedalam
realitas, maka pasti akan diterpa angin ribut yang berusaha untuk mencerabutnya dari akarnya.
Sikap penguasa terhadap jama’ah ini akan berbeda dengan sikap mereka terhadap gerakan-
gerakan lainnya. Hal itu terjadi karena jama’ah lain hanya melontarkan pemikiran yang bersifat
parsial sehingga tidak secara langsung berbenturan dengan (menyakiti) sistem yang ada. Malahan
kadang kala jama’ah-jama’ah itu berfungsi sebagai penutup (tameng) dari kelemahan-kelemahan
yang dihasilkan oleh sistem mereka. Kondisi tersebut berbeda dengan dakwah yang mengakar
dan berlandaskan pada pemkiran yang bersifat ideologis; yang menyelesaikan problematika dari
akarnya; yang tidak ridha dengan penyelesaian tambal sulam atau pun dengan kompromi; juga
tidak mengambil jalan tengah; tidak pula menerima penyelesian yang ditawarkan oleh sistem yang
ada; tidak mencampakkan dakwah (sebagai kompensasi) adanya perubahan yang komprehensif;
dan tidak mau menerima hal-hal cabang dengan meninggalkan asas yang menjadi dasar
berpijaknya cabang tersebut. Wajar, jika penguasa atau sistem yang ada akan menghadapi
jama’ah atau partai yang seperti ini. Permusuhan penguasa dan kuat lemahnya perlawanan
mereka terhadap jama’ah tersebut sebanding dengan kadar konsistensi jama’ah terhadap
perubahan yang mengakar.
Terkadang, kerasnya perlawanan penguasa ditujukan kepada diri pengemban dakwah, dan
jika dia tidak mampu untuk menanggungnya, maka dia akan menekan jama’ahnya untuk lebih
meringankan lontaran-lontarannya. Terkadang jama’ah itu merasa sempit dan merasa lemah
keinginannya ketika menyadari bahwa mereka diasingkan oleh manusia (masyarakat) dan terisolir
kondisinya seperti orang yang terkena penyakit lepra. Terkadang pengemban dakwah merasa
waswas terhadap dirinya dan berpikir untuk mengundurkan diri dari aktivitas dakwah, terutama
ketika kepentingan dunianya berbenturan dengan situasi yang berkembang dalam menjalankan
aktivitas bersama jama’ahnya. Akhirnya dia mulai menekan jama’ahnya dan mengajaknya untuk
mengganti tuntutan dari taghyîr (perubahan secara total) kepada ishlâh (perbaikan sedikit demi
sedikit). Apabila jama’ah mengabulkan (toleran dengan) permintaan orang-orang yang
menyarankan hal ini, maka mereka akan tetap bersama-sama dengan jama’ah tersebut. Dengan
demikian pengemban dakwah itu tetap berusaha (berjuang) bagi dunia dan bagi agamanya. Dia
memperoleh ridha Rabbnya, sekaligus ridha terhadap keinginannya -menurut sangkaannya.
Namun, jika jama’ahnya menolak usulan tersebut dan tetap bersikeras untuk melakukan
perubahan secara mendasar dan revolusioner, maka dapat dipastikan orang-orang itu akan
berpaling dari jama’ah. Dalam kondisi semacam ini, jama’ah bagaikan memakan buah
simalakama. Jama’ah harus menghadapi dua bahaya: pertama, adanya bahaya internal di dalam
jama’ah karena lemahnya cita-cita dan semangat para anggotanya disebabkan kerasnya pukulan
terhadap mereka; dan yang kedua, adanya bahaya eksternal yang berasal dari penguasa yang
tidak memiliki belas kasihan kepada orang-orang yang melontarkan ide-ide perubahan secara
total.
Sejak itu, perundingan dan tawar menawar mulai berlangsung antara jama’ah dengan
penguasa. Sejak itu pula berbagai tawaran pun mulai diberikan kepada jama’ah, disamping juga
mulai berjalannya cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Wajar saja jika proses tawar menawar
(seperti yang) terdapat dalam transaksi jual beli berjalan, maka saat itu jama’ah telah melakukan
aktivitas tawar menawar. Artinya, jama’ah telah beralih menjual kendali umat dan menghinakan
dirinya. Jika hal itu tidak dilakukan maka jama’ah tersebut akan memicu kemarahan penguasa dan
akan masuk kedalam nerakanya.
Berdasarkan pembahasan ini dapat dipahami bahwa pemikiran yang bersifat ideologis dan
benar membutuhkan jama’ah atau partai yang bersifat ideologis pula. Para pemimpin dan para
anggotanya harus memiliki keterikatan yang kuat berdasarkan syara’, sehingga menjadikannya
sebagai yang tertinggi. Selalu berusaha keras untuk memelihara kejernihan, kecemerlangan ,
kesucian dan kesabaran, siap berkorban dan mementingkan kepentingan jama’ah, melawan
keinginan diri sendiri, mengosongkan diri dari mementingkan diri sendiri. Semua itu bertujuan agar
penyelewengan tidak berkembang dan cita-cita tidak melemah. Agar jama’ah tetap bisa berjalan
dengan tetap memelihara aktivitasnya serta terjauh dari perubahan dan permainan, maka wajib
baginya untuk mengikatkan dengan kuat setiap simpul pemikiran dan setiap hukum syara’ dengan
akidah Islam. Apabila terjadi benturan antara kepentingan pribadi pengemban dakwah (yang
bersifat temporer) dengan ketegaran dan kesabaran dalam mengemban dakwah untuk mencapai
tujuannya yang syar’iy, maka yang dimenangkan adalah kepentingan dakwah. Ikatan ini
merupakan penghalang yang sangat kuat terhadap bisikan setan dan kata hati yang
memerintahkan kepada keburukan.
Agar perahu jama’ah atau partai selamat dari bahaya karam dan tenggelam di tengah-
tengah lumpur realitas yang buruk, maka harus ada dasar-dasar yang bersifat baku yang
membatasi pemikiran dan metoda berpikirnya. Hal ini yang akan mengikat jama’ah, karena tidak
boleh bagi jama’ah untuk keluar dari ushûlnya berdasarkan takwil dan justifikasi meskipun sekejap.
Visi yang bagus, keteladanan yang baik, dan pemahaman yang sempurna akan
membersihkan jama’ah dari segala kotoran yang seringkali melekat. Dengan demikian mereka
mampu mensucikan jiwa dan memperkuat iman.
Tidak ada yang mampu bersabar menghadapi jalan yang sulit ini kecuali orang-orang
beriman yang memiliki ‘azam yang kuat. Fitnah yang mereka hadapi dengan kesabaran justru
akan semakin mensucikan mereka, layaknya api yang bisa membersihkan emas dari kotoran-
kotorannya.
Sebaliknya, jika dasar-dasar yang menjadi pengikatnya telah hilang dari sebuah jama’ah,
maka kemunduran, penggantian dan pengaruhlah yang akan mewarnai dan mengarahkan
jama’ah. Jalan yang akan ditempuh diliputi kesamaran, tujuannya tidak jelas, dan tidak
terkristalnya pemikiran-pemikiran yang ada pada jama’ah bisa menyeret jama’ah untuk
menggantinya tatkala berhadapan dengan kesulitan. Kemudian dia akan memaksakan diri dengan
menta’wilkan dan mencari-cari justifikasi tatkala dituntut menyebutkan dalilnya.
Tatkala sebuah jama’ah menerima kompromi, atau menerima kebenaran secara parsial,
lalu berlepas diri dari dakwahnya yang mengakar maka kekuatan satu-satunya yang dimiliki
jama’ah akan hilang. Jama’ah tersebut akan kehilangan sifat istimewanya dan tidak lagi menarik
perhatian manusia secara khusus. Pada akhirnya jama’ah tersebut jatuh tersungkur di medan
pergulatan pemikiran. Kemenanganpun diraih musuh-musuhnya, meskipun dia masih menyerukan
dan melontarkan (pemikiran) Islam. Sebab, lontarannya telah terdistorsi dan beralih fungsi untuk
mendukung kepentingan sistem yang sedang berkuasa. Jika demikian keadaannya maka jama’ah
itu terkadang menjadi batu penghalang (proses) perubahan yang sebenarnya, bukan sebaliknya.
Hal ini telah diperingatkan Allah Swt ketika berfirman kepada Rasul-Nya dan kepada umatnya:
َِ ‫ضِ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِيََْ ت‬
ْ ‫ َى حت َ تْ ؤه تمِا َ توِ َ تُ ْنؤى َ ِع تَوِمَ ت‬
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Juga seperti perkataan Umar ra kepada qâdhi Syuraih: ‘Jangan sampai orang-orang
memalingkanmu dari (syari’at Allah)’
Senjata paling ampuh yang dimiliki oleh sebuah jama’ah adalah pemikirannya. Apabila
jama’ah itu mampu menjaganya dan mengeluarkannya dari lingkaran kompromi, kemudian mampu
bersabar bagaimanapun situasi yang mengungkungnya dan tetap berjalan di jalan yang pernah
dilewati oleh Rasulullah saw, maka jama’ah itu akan mampu -setelah beberapa waktu- untuk
mempersiapkan perkara yang pernah Rasulullah saw persiapkan; yaitu berupa sekelompok orang-
orang yang beriman, dan mempersiapkan umat untuk menerima (sistem) pemerintahan yang akan
menerapkan seluruh perkara (hukum) yang Allah turunkan. Setelah itu akan mampu membalikkan
keadaan untuk kepentingan dakwah dan mendirikan daulah.
Pengemban dakwah yang benar dengan berhiaskan pemikiran Islam menuntut mereka
untuk selalu siap menghadapi berbagai tekanan terhadap pemikiran Islam yang sejalan dengan
pemikiran yang pokok dan asasi. Berdasarkan hal ini tidak layak jika jama’ah itu menghadapinya
dengan logika khudz wa thâlib (ambil -yang ada- dan tuntut lagi –yang lainnya-, pen) atau logika
‘lontarkan perkara yang sesuai dengan realita’ atau logika ‘lontarkan sebagian tuntutan’ atau logika
‘menerima win-win solution’. Pemikiran-pemikiran seperti ini justru yang harus dirubah oleh
jama’ah, bukan malah mempraktekannya. Itu adalah berbagai bentuk pemikiran Barat yang telah
menyerang akal pikiran kita. Pemikiran-pemikiran tersebut berbeda secara mendasar dengan
tabi’at Islam yang menolak semua penyataan itu. Bahkan kewajiban jama’ah itu untuk berusaha
mencopotnya, lalu berusaha untuk mengokohkan Islam maupun metoda berpikirnya. Siapapun
yang ingin melibatkan diri dalam aktivitas perubahan, wajib memulainya dari dirinya sendiri.
Berdasarkan pemaparan diatas yang menjelaskan tentang wajibnya sebuah jama’ah
membekali diri dengan menjaga pemikiran dan kejelasannya, maka kami akan memaparkan dua
pemikiran yang telah dilontarkan oleh Barat kafir dan sistem yang sedang berkuasa, dalam rangka
menjaga kaum Muslim terikat kepadanya. Patut disayangkan jika sebagian jama’ah yang
beraktivitas memperjuangkan Islam mengambil ide-ide ini, termasuk pula sebagian penulis muslim
yang menjadi tenaga pemasaran ide-ide Barat, kemudian mempropagandakannya secara teratur.
Kedua pemikiran itu adalah ide bahwa demokrasi berasal dari Islam, dan anggapan bahwa
demokrasi itu sebenarnya adalah syura. Salah seorang penulis malah menyebutkannya dengan
cara mengkompromikan lafadz dan talfîq pemikiran (syûra wa qrâthiyyah). Sedangkan ide kedua
adalah bolehnya bergabung dengan (sistem) pemerintahan kufur. Ide ini merupakan pendapat
yang diungkapkan oleh sebagian kaum Muslim dan sebagian gerakan Islam. Kita akan membahas
perkara ini sesuai dengan pokok-pokok yang telah kami sebutkan pada awal tulisan agar kita
mempelajari realita tentang penerapan demokrasi maupun fakta tentang demokrasi itu sendiri, lalu
membandingkannya, apakah di dalam syara’ terdapat realita yang serupa dengan demokrasi
sehingga kita boleh mengambilnya, atau tidak

Demokrasi
Barat dibangun diatas ide sekularisme. Dengan pemikiran dasar ini segala bentuk
pengaruh agama dijauhkan dalam kehidupan manusia. Pemahaman-pemahaman manusia
tentang hidup diatur dengan bertumpu pada asas ini. Implikasinya, di Barat muncul ide sejenis
yangmerupakan turunannya, dengan mengacu pada pemikiran pokok tersebut. Ide itu adalah
demokrasi, yang memproklamirkan bahwa manusia adalah pengatur bagi dirinya sendiri, bukan
Allah. Maslahat menjadi tolok ukur atas seluruh perbuatan manusianya. Selain itu, kebahagiaan
menurut mereka adalah memperoleh sebesar mungkin kenikmatan. Turunan lainnya adalag ide
yang mengagungkan individu, yang berdampak pada mengagungkan kebebasan. Masyarakat
(Barat) dibangun berdasarkan ide-ide ini dan menafikan seluruh pemikiran yang bertolak belakang
dengannya. Akibat dari adanya pemikiran-pemikiran semacam ini adalah kesengsaraan hidup
manusia (pada msayarakat Barat), bukan kebahagiaan. Kondisi tersebut dimaklumi, karena
manusia yang lemah dan terbatas kemampuannya tidak akan mampu membuat syari’at (hukum),
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Masyarakat yang dikuasai oleh egoisme dan
kebebasan yang membudaya di dalamnya tidak lain akan memunculkan masyarakat binatang,
yang di dalamnya berlaku hukum rimba.
Barat juga memberikan kebebasan didalam berpikir. Sejak saat itu, Barat memasuki masa
penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang mencengangkan, sehingga Barat mampu meraih
sebab-sebab kekuatan yang memungkinkannya menguasai dunia, dengan berlandaskan pada
logika kekuatan bukan dengan logika kebenaran. Kemudian Barat mulai mendominasi dunia
secara materi, lalu merambah ke pemikiran. Barat menguasai banyak negeri, seraya mengangkat
orang-orang yang dapat melayani kepentingannya sebagai penguasa (boneka) dan mampu
menerapkan sistem yang sesuai dengan Barat. Setelah itu, media massa dan kurikulum
pendidikan berperan untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran Barat dan metoda
kehidupannya. Barat berusaha meyakinkan kaum Muslim bahwa sebab-sebab kekuatan Barat
adalah pemikirannya tentang hidup dan kehidupan.
Barat membagi-bagi dunia dengan bentuk pembagian yang sesuai dengan
kepentingannya. Ada negara yang disebut dengan negara industri (industrial countries); sebagai
produsen, kaya, kuat, berkuasa. Barat menyebutnya sebagai negara-negara yang maju dan
moderen. Ada pula negara-negara miskin; sebagai konsumen, lemah, selalu terkalahkan dalam
setiap perkara. Barat mengelompokannya sebagai negara-negara terbelakang (undeveloped
countries). Barat berusaha melestarikan pembagian ini dan mencegah adanya perubahan-
perubahan situasi di negara-negara miskin ini, dan akan mencegah usaha-usaha untuk merubah
realita ini.
Disamping itu, Barat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya di dalam negerinya;
manusia menikmati kestabilan politik; terjamin kebutuhan pokok dan sebagian kebutuhan
sekunder setiap individu rakyatnya dengan berbagai cara. Di saat yang sama, Barat
mengharaman kemajuan bagi negara-negara miskin; mengisolasi mereka dari ilmu (sains dan
teknologi) yang memungkinkan mereka memiliki kekuatan materi, serta melarang meraka
membangun industri-industri berat agar negara-negara itu tetap tergantung kepada Barat. Selain
memiskinkan negara lain, Barat juga menciptakan mereka sebagai pasar bagi berbagai
komoditasnya dan menghalangi bangsanya untuk memperoleh stabilitas politik dan keamanan.
Semua itu disebabkan karena negara-negara industri kaya saling bersaing diantara mereka untuk
menjajah negara-negara miskin. Persaingan itu bukanlah pertarungan kasat mata yang memicu
peperangan fisik diantara mereka. Barat sengaja menjadikan bangsa-bangsa (miskin) berperang
satu sama lain, kadangkala dengan menciptakan kegoncangan dan pemberontakan di negeri-
negeri yang dikuasainya. Kondisi tersebut memunculkan instabilitas keamanan. Rasa dengki
menyala diantara manusia. Akibatnya muncul rasialisme dan fanatisme, serta merangsang
munculnya kesukuan diantara rakyat negeri itu sendiri.
Di satu sisi, Barat memberikan jaminan sosial bagi rakyatnya berupa jaminan kesehatan,
pendidikan, subsidi bagi penganggur dan bagi orang tua. Sementara, dinegara-negara lain tidak
ada bentuk jaminan seperti itu.
Barat juga mendiversifikasi cara-cara penjajahannya dengan mendirikan lembaga
internasional seperti PBB, Mahkamah Internasional, Dewan Keamanan PBB, Bank Dunia maupun
Amnesti Internasional. Didirikan pula pasukan multinasional untuk turut campur menyelesaikan
persengketaan antar negara atau untuk melindungi program bantuan bagi negara-negara miskin.
Selain itu juga didirikan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga lain agar dapat
mengintervensi urusan negara-negara miskin secara tersamar, tidak secara terang-terangan.
Bahkan mereka juga membeli keputusan (yang dikeluarkan) lembaga-lembaga internasional,
seperti lembaga (program) bantuan untuk anak, atau kedokteran, dan sebagainya.
Pemikiran sekularisme dan berbagai ide yang dilahirkannya, seperti asas manfaat,
berhubungan dengan ide penjajahan. Penjajahan –saat ini- tidak mengambil bentuk konvensional
seperti yang terjadi pada masa lalu. Pemikiran, sarana-sarana dan cara-cara yang dipakai mereka
telah berubah menjadi penjajahan terselubung. Di luar menggunakan baju rahmat, tetapi
didalamnya menyimpan azab. Barat berusaha menutupi hakekat mereka yang sebenarnya, dan
menampakkan dirinya solah-olah adalah teladan. Dan bangsa-bangsa lain wajib mencontohnya.
Barat juga menjadikan dirinya sebagai kiblat, tempat kaum Muslim mengarahkan pandangan
kepadanya. Barat menampakkan dirinya dengan cara dusta dan munafik. Seakan-akan yang ada
padanya hanyalah kesenangan, seperti tampak pada ide demokrasi dan kebebasan yang menjadi
alat bantu kehidupan mereka. Padahal Barat menyembunyikan hakekat penjajahan, dan
mengeksploitasi kekayaan kaum Muslim. Barat juga memiskinkan manusia dan membiarkan
mereka dalam ketertinggalan di bidang ekonomi; menjadikan mereka sebagai pasar permanen
bagi industri dan perdagangannya. Semua itu menjadi sebab-sebab hegemoninya terhadap dunia.
Cerita tentang Barat dan penjajahan yang dilakukannya sangatlah panjang. Kami hanya
menyebutkan sebagian saja secara ringkas yang ada hubungannya dengan topik pembahasan
kita.
Memang benar, Barat telah memutarbalikkan informasi dan data; memutarbalikkan seluruh
perkara manusia; serta menutupi pandangan mereka yang benar. Ini dimaksudkan agar manusia
melihat dengan cara pandang mereka (Barat). Implikasinya tentu saja lahir didalam kehidupan
yang dikuasai pemikiran umum yang batil adanya logika kekuatan. Seluruh propagandanya
disasarkan pada: Sesungguhnya yang kuat itulah yang menang dan yang lemah itulah yang kalah.
Disinilah dibutuhkan adanya peran jama’ah atau partai politik ideologis untuk mengembalikan
segala perkara kepada asalnya, dan memperbaiki cara pandang serta mencegah kerancuan.
Kenyataan tadi jika berpengaruh kepada jama’ah bisa menyebabkan kehilangan gambaran yang
benar. Akibatnya, jama’ah tersebut akan melontarkan apa pun yang dilontarkan oleh musuh-
musuhnya, yang dijadikan solusi untuknya. Apabila jama’ah memahami hakekat perkara ini, maka
ia akan kembali kepada syara’ untuk mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah, sehingga
jama’ah itu akan tampil laksana dokter yang membawa obat, mampu mengeluarkan mereka dari
kedzaliman pemikiran Barat kepada keadilan Islam.
Dari paparan ini kami melihat bahwa dominasi kekuatan Barat disebabkan karena Barat
membebaskan akalnya di bidang ilmu dan teknologi; dan mencegah bangsa-bangsa lain untuk
memiliki sebab-sebab kekuatan dibidang materi. Kekayaan Barat yang luarbiasa diperoleh melalui
penjajahan, menghisap darah bangsa-bangsa lain serta merampas kekayaan bangsa-bangsa itu.
Jadi, bukan disebabkan oleh demokrasi.
Lalu, apa sebenarnya demokrasi itu? Apa yang dihasilkannya ketika diterapkan? Keterangan
berikut ini akan menjelaskannya.
Ide pemisahan agama dari kehidupan lahir di Barat setelah orang-orang disana terbakar
dengan kemarahan campur tangan gereja dalam urusan manusia. Saat itu gereja turut campur
dengan mengatasnamakan agama, padahal agama mereka tidak menyinggung-nyinggung urusan
manusia. Sebab, dalam agama Nasrani tidak ada (sistem) perundang-undangan yang mengatur
kehidupan. Kalangan agamawan (rijaluddin) tampil membuat undang-undang dzalim dengan
mengatasnamakan agama, Hal ini memicu dua reaksi: Pertama, yang menyuarakan penolakan
terhadap agama secara mutlak. Kedua, yang menyuarakan pengakuan terhadap agama akan
tetapi harus dipisahkan dari kehidupan. Di atas ide yang pertama lahir pemikiran-pemkiran sosialis
tentang kehidupan, yang runtuh setelah beberapa dasawarsa. Itu pun setelah menyengsarakan
manusia melalui penerapannya. Sedangkan diatas ide yang kedua, lahir pemikiran tentang hidup
yang diadopsi oleh negara-negara kapitalis. Sistem ini pun sedang melangkah menuju
kehancurannya. Itu dibuktikan berdasarkan pemikiran maupun realita.
Ide pemisahan agama dari kehidupan telah memberikan kepada manusia hak untuk membuat
undang-undang dan menghalang-halangi agama untuk membuatnya. Mereka mengakui
keberadaan Tuhan, akan tetapi menjadikannya pemikiran yang bersifat individual (pribadi), tidak
ada hubungannya dengan masyarakat dan tidak ada pengaruh agama di dalamnya. Ide ini tidak
melarang apakah Tuhan itu Allah, al-Masih, Budha atau pribadi tertentu. Tidak juga melarang
adanya keimanan tanpa agama (atheis). Yang penting, dalam kondisi apapun manusia sajalah
yang berhak mengatur. Ide ini menurut mereka tidak ada jalan tengahnya, dan tidak ada
interpretasi lainnya. Manusia menurut mereka adalah pengatur segala urusannya, dan mengurusi
segala kepentingannya. Bahkan mengatur pula pemuasan atas seluruh nalurinya. Dari sinilah lahir
ide demokrasi, yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat, berarti rakyatlah yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Artinya,
dialah yang berhak membuat undang-undang. Dengan kata lain rakyatlah yang membuat undang-
undang.
Pemerintahan oleh rakyat, berarti rakyatlah yang menjalankan pemerintahan dengan
menerapkan undang-undang yang telah dibuatnya.
Pemerintahan untuk rakyat, berarti rakyatlah yang diperintah dengan apa yang telah
diundangkannya.
Ketiga point diatas diterjemahkan dengan bentuk tiga kekuasaan:
1. Kekuasaan Legislatif, yang membuat undang-undang dan hukum-hukum, berhak merubahnya,
menghapusnya serta mengawasi penerapannya.
2. Kekuasaan Eksekutif, yang menerapkan undang-undang secara umum, atau kehendak rakyat
secara umum, atau menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum yang yang telah dibuat
oleh pihak Legislatif.
3. Kekuasaan Yudikatif, yang mengadili setiap kasus yang dihadapkan kepadanya berdasarkan
hukum-hukum dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pihak Legislatif.
Itulah sifat-sifat demokrasi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap sistem yang memiliki
spesifikasi seperti tersebut di atas tergolong sebagai sistem demokrasi. Sistem yang tidak
memenuhi satu point saja dari apa yang telah disebutkan tadi tidak bisa dikatakan sebagai sistem
demokrasi, karena spesifikasi yang paling menonjol dari semuanya adalah kedaulatan berada di
tangan rakyat atau umat. Dan hal ini dianggap sebagai pilar utama dari pemikiran demokrasi
sekaligus menjadi tulang punggung sistem demokrasi.
Lalu, apakah ada pemahaman demokrasi di dalam Islam? Dan apakah realita demokrasi ada
di dalam Islam? Kami berpendapat, seandainya fakta demokrasi itu ada di dalam Islam maka
maka kita dengan yakin bisa mengatakan bahwa bahwa ‘demokrasi berasal dari Islam’, dan bahwa
‘Khulafa ar-Râsyidîn adalah orang-orang yang pertama kali menerapkan demokrasi’, atau
‘demokrasi adalah barang dagangan kita yang dikembalikan kepada kita’. Akan tetapi, jika
realitanya tidak ada maka demokrasi bukan berasal dari Islam. Selanjutnya wajib bagi kita untuk
mengetahui hukum Islam tentang masalah demokrasi.
Kami berpendapat bahwa ide demokrasi adalah selaras dengan ide yang menjadi asasnya,
yaitu ide pemisahan agama dari kehidupan,. Ide ini merupakan induk demokrasi. Dan demokrasi
mempunyai hukum yang selaras dengan ide sekularisme. Karena demokrasi merupakan ide
cabang dari ide dasar yang telah tertolak, maka penganutnya dianggap kafir. Termasuk
pengetahuan umum, bahwa ide pemisahan agama dari kehidupan bertentangan dengan pemikiran
pokok kaum Muslim, yaitu fikrah lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh, maupun fikrah lain yang
muncul dan selaras dengan akidah kaum Muslim, yaitu firman Allah Swt:
ْ َ‫ِىََ َْوَ ِا َ تَ َ َِْ َن‬
َِ‫سسِالَِ َ تلَ ؤمىو‬ َ ‫يْ ْوِ تَ ؤح تَ ؤمِيْالَِْ ِْا َ َم َِْاَالَِ َ تمؤ ؤى ِيْالَِيْ َسهؤِ َ َْ َ ِ َ ْ وؤ ِ تَ َ ْ ؤم‬
Keputusan (hukum) itu hanya kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Yusuf [12]: 40)
‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’ memiliki pengertian bahwa suara mayoritas
tidak ada nilainya atau tidak berarti kalau dibandingkan dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Rabb semesta alam, bahwa yang berhak membuat hukum adalah Allah saja. Di dalam sistem
yang Islami keputusan yang tertinggi hanya di tangan Allah Swt. Perintah, larangan, pengharaman
dan penghalalan hanyalah milik Yang Maha Tinggi dan Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bukan
ditangan makhluk selain-Nya. Tidak ada satu individu pun atau jama’ah yang memiliki kontribusi
dalam perkara ini, meskipun sedikit.
Allah lah yang berhak membuat hukum. Firman-Nya:
ِْ ِْ َ‫ ْي ْوِ تَ ؤح تَ ؤمِ ْيال‬
Keputusan (hukum) itu hanya kepunyaan Allah. (QS. Yusuf [12]: 40)

Tidak ada seorangpun yang dapat merubah ketetapan-Nya. Firman Allah Swt:
‫ْبِ َْ ؤح تَمْ ِْؤ‬
َ َ ِ‫الَِ ؤم‬
Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (QS. ar-Ra’d [13]: 41)

Jadi, bagaimana mungkin gelap-gulitanya demokrasi bisa bertemu dengan terang


benderangnya Islam? Allah Swt telah menjelaskan di dalam ayat-Nya yang amat gamblang:
‫هللا‬ ْ ْ‫ َىيِْ توِ ؤكْ تعِا َ تَ َ َِْ َم توِفْيِ تأل َ ت‬
ِْ ِ‫ضِ ؤ ْضلُّى َ ِع تَوِ َمْ ْل‬
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka kan
menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS. al-An’aam [6]: 116)

Allah Swt berfirman:


َِ‫ِىا َ تن ؤ تمِالَِِ َ تلَ ؤمىو‬
َ ‫ِىهللاؤِ َ تلَ ؤم‬
َ ‫ًسِىه َؤىِش ٌَََِّْ ؤَ تم‬ َ ِ ‫ع َ ِا َ توِ ؤحْ مُّى‬
َ ‫ش تئ‬ َ ‫ًسِىه َؤىِ َ ٌتََِْ ؤَ تم‬
َ ‫ِى‬ َ ِ ‫ع َ ِا َ توِ ََ َتْهؤى‬
َ ‫ش تئ‬ َ ‫ َى‬
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)

Definisi Thaghut
Islam telah menetapkan bahwa setiap hukum yang merujuk kepada selain Allah berarti sama
saja dengan tahâkum kepada thaghut. Allah Swt berfirman:
‫ِى َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
ِ َِ‫نننننننننننننننزل‬
ْ ْ ‫ع ؤمننننننننننننننننىوَ ِاَنَ ؤهنننننننننننننننن تمِ َء َمنؤننننننننننننننننى ِمْ َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
َ َ ‫نننننننننننننننزلَِيََْ تنننننننننننننننن‬ ‫اَََنننننننننننننننن تمِ َن‬
‫نننننننننننننننِْيََْنننننننننننننننن ِ ََنننننننننننننننن ْ وَ ِ تَز ؤ‬
َ
 ً ْ َ‫ضالَالًِم‬ ِ‫كسوؤ ِا َ ت‬
َ ِ‫وِ ؤ ْضلَ ؤه تم‬ َ ‫شت‬ َ ‫ِْىقَ تِاؤمْ ؤْى ِا َ توِ َ تَُؤ ؤْى ِمْؤ‬
َ َ ِ‫ِْى ؤ ْْ ؤ‬ َ ‫قى‬ َ َ ِ ََْ‫مْ توِقَ تم ْل َ ِ ؤ ْْ ؤىوَ ِا َ توِ َ َحَس ََ ؤمى ِي‬
‫كس ؤ‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu.Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan
penyesesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. an-Nisa [4]: 60)

Berhukum kepada thaghut sama artinya berhukum dengan hukum jahiliyyah, yaitu hukum
yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Ibnu al-Qayyim berkata di dalam bukunya
I’lâmul al-Muwaqqi’în bahwa thaghut adalah suatu perkara dimana seorang hamba telah
melampaui batas terhadapnya sehingga menyembahnya, mengikutinya dan mentaatinya. Dengan
kata lain, thaghut pada suatu kaum bisa berrarti orang yang menetapkan hukum selain Allah dan
Rasul-Nya, atau orang yang disembah selain Allah, atau orang yang diikuti bukan karena petunjuk
Allah, atau seseorang yang ditaati padahal tidak termasuk di dalam ketaatan kepada Allah.
Al-Qur’an menganggap bahwa orang berhukum kepada thaghut itu imannya hanya sekedar
dimulut saja, tidak hakiki. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thaghut merupakan lawan dari iman.
Firman Allah Swt:
 َ ‫ِْى ؤ ت مْ توِ ْمس ِْفَ َ ِْ ت َ تم َ َ ِ ْمس تَ ؤ تْ َى ِْ تَ ؤى ت‬
َ ‫قى‬ َ َ‫فَ َم توِ َ تَُؤ تِْ ْمس‬
‫كس ؤ‬
Barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. (QS. al-Baqarah [2]: 256)

Umat Islam –dalam perkara ini- wajib menjadi saksi bagi seluruh manusia sepeninggal
Rasulullah saw hingga hari kiamat nanti, untuk mengatakan kepada manusia seperti apa yang al-
Qur’an katakan:
‫كس ؤ‬
َِ ‫قى‬ َ َ‫ا َ ْوِ ؤ تعمؤ ؤى ِهللا‬
َ َ ِ ‫ِى جت َنْمؤى‬
Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu. (QS. an-Nahl [16]: 36)

Berdasarkan hal ini, maka ide pemisahan agama dari kehidupan beserta seluruh pemikiran
cabangnya, seperti pemikiran demokrasi, merupakan pemikiran-pemikiran thaghut. Islam
mengharuskan pemeluknya untuk meninggalkannya dan mencampakkannya.
Itulah ide demokrasi. Begitu pula hukum Islam terhadapnya. Sedangkan realita yang telah
dihasilkan oleh penerapannya diatas muka bumi bukanlah realita yang yang penuh dengan
kemuliaan dan indah sehingga kita ingin hidup di dalamnya, melainkan realita hina yang
penganutnya akan terbakar olehnya dan hidup penuh dengan kekosongan dan kesia-siaan
sebagai akibat dari penerapannya.

Kebebasan Menurut Barat


Tatkala Barat berlindung di belakang tameng ide pemisahan agama dari kehidupan, maka
pada saat itu Barat telah memberikan kepada dirinya hak untuk membuat undang-undang. Mereka
berpandangan bahwa manusia wajib menjalani kehidupannya menurut pendapatnya sendiri,
bukan menurut pendapat orang lain; dan berjalan sesuai dengan keinginanya sendiri, bukan
berdasarkan keinginan orang lain. Barat juga memandang bahwa hal itu tidak mungkin bisa
terlaksana kecuali jika manusia diberikan kebebasan. Kebebasan tersebut tergambar dalam
kebebasan berakidah, kebebasan memiliki, kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan
pribadi (bertingkah laku). Mereka juga beranggapan bahwa pemikiran tentang kebebasan adalah
perkara yang sakral, yang tidak mungkin disentuh (dirubah-rubah). Setiap bentuk kebebasan itu
memiliki ciri-ciri tertentu.
Kebebasan berakidah, membolehkan setiap individu untuk menganut agama berdasarkan
pilihannya sendiri, dan boleh berpindah dari satu agama kepada agama yang lain, meskipun hal itu
dilakukannya setiap hari. Kebebasan ini juga membolehkan individu untuk menjadi seorang atheis.
Kebebasan memiliki, membolehkan setiap individu untuk memiliki apa saja yang disukainya
dengan segala cara yang dikehendakinya; membolehkannya untuk membelanjakan hartanya
sekehendak hatinya. Seandainya seseorang ingin memberikan hartanya kepada anjingnya dan
tidak mewariskannya kepada ahli warisnya, maka terhadap perkara semacam ini tidak boleh ada
seorangpun yang berhak melarangnya.
Kebebasan berpendapat, membiarkan individu untuk mengatakan apa saja yang dia sukai,
baik benar atau pun salah, tanpa ada sanksi atau pengawasan. Setiap individu berhak
mengoreksi, mengkritik pendapat apa saja yang bertentangan dengan akal atau pun hawa
nafsunya, dan tidak ada seorangpun yang berhak untuk melarangnya.
Sedangkan kebebasan bertingkah laku, membolehkan setiap ndividu untuk melakukan apa
saja urusan pribadinya tanpa memperdulikan nilai-nilai dan ikatan akhlak atau pun larangan
agama.
Ide tentang kebebasan yang merupakan kebutuhan dalam sistem demokrasi menuntut
para pengikutnya untuk menanggalkan nilai-nilai, sehingga menjadikan para penganutnya
terperosok pada derajat yang lebih rendah dari hewan.
Kebebasan beragama, telah menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bernilai di
dalam masyarakat kapitalis. Mereka meremehkan agama dengan memberikan keleluasaan
kepada siapapun untuk menukar agamanya semudah mengganti bajunya. Dengan menyebarnya
pemikiran materialistik sementara pemikiran yang bersifat agamis menghilang maka lenyap
pulalah nilai-nilai akhlak, kemanusiaan dan kerohanian. Akibatnya banyak jiwa yang kehilangan
rasa kasih sayangnya, sehingga manusia hidup bagaikan serigala-serigala, yang kuat menguasai
yang lemah.
Kebebasan mengeluarkan pendapat, yang membolehkan individu manusia untuk
mengatakan apa saja yang mereka sukai dan mengajak kepada apa pun yang mereka inginkan.
Akibatnya, muncul ide-ide yang menyimpang, aneh, dan batil di tengah-tengah masyarakat
mereka, yang terlepas dari kebenaran dan dari tolok ukur kebenaran. Bukanlah sesuatu yang
mengherankan jika anda mendengar pernyataan seperti yang dilontarkan Salman Rusydi. Dengan
dalih kebebasan berakidah dan dikemas dengan kebebasan berpendapat, dia leluasa menghujat
Rasulullah saw. Tragisnya, tidak ada satupun undang-undang yang melarangnya.
Kebebasan memiliki yang mengacu kepada tolok ukur berlandaskan asas manfaat, telah
melahirkan raksasa kapitalisme. Penjajahan dijadikan sebagai metoda baginya untuk menguasai
bangsa-bangsa lain, merampas kekayaan mereka dan memonopoli kekayaan mereka serta
mengisap darah rakyatnya. Selain itu diantara mereka sama-sama bersaing dan berebut untuk
mendapatkan yang bagiannya. Itu sama saja dengan memperjualbelikan darah bangsa-bangsa,
menyalakan fitnah dan perang diantara negara-negara. Hal itu dilakukan agar mereka bisa
menjual komoditas yang dihasilkan industri perang mereka yang akan mengucurkan keuntungan
besar bagi mereka. Negara-negara kapitalis ini telah terlepas dari nilai-nilai agama, akhlak dan
rasa kemanusiaan. Bahkan memperalat agama jika kondisinya tersudut, sebagai kuda tunggangan
yang digunakan untuk kepentingan mereka, seraya berpura-pura menyerukan akhlak dan
kemanusiaan, untuk menutupi wajahnya yang buruk dan baunya yang sangat busuk.
Kebebasan bertingkah laku, telah merubah masyarakat di negara-negara demokratis
menjadi masyarakat binatang. Menempatkan mereka kepada sikap permisivisme yang tidak
pernah dicapai oleh hewan sekalipun. Perundang-undangan mereka telah membolehkan
hubungan seksual yang menyimpang. Tidaklah mengherankan jika anda dapat melihat di dalam
masyarakat mereka apa yang tidak pernah terlihat di kalangan hewan sekalipun, yaitu hubungan
seksual dilakukan secara terang-terangan. Tanpa rasa malu mereka melakukan hubungan seksual
secara massal, tidak jarang juga dilakukan dengan anggota keluarga mereka, seperti dengan ibu-
ibu mereka, saudara-saudara perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka. Malahan
mereka melakukannya dengan hewan. Akibatnya muncul di tengah-tengah mereka berbagai
penyakit yang belum pernal dikenal sebelumnya. Institusi keluarga pun hancur di dalam
masyarakat mereka, dan kasih sayang lenyap diantara anggota keluarga. Kebebasan bertingkah
laku adalah kebebasan yang lepas dari semua ikatan, dan bebas dari setiap nilai. Kebebasan yang
menghancurkan institusi keluarga. Kebebasanlah yang menjadi sebab terjadinya seluruh
malapetaka dan dilanggarnya segala sesuatu yang jelas-jelas diharamkan.
Mereka bebas melakukan zina, homoseks, lesbian, nudis, minum minuman keras dan
melakukan seluruh aktivitas bagaimanpun kejinya dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada
tekanan dan paksaan.
Semua itu adalah trade mark demokrasi, yang merupakan produk hawa nafsu manusia
yang bukan berasal dari Allah Swt dan tidak bersandar pada wahyu yang turun dari langit.
Demokrasi juga tidak ada kaitannya dengan satu agamapun. Seandainya kita merujuk kepada asal
usul lahirnya, sebagaimana yang ada dibenak para pencetusnya, yaitu para pemikir, kemudian
memperhatikan juga situasi dan kondisi lahirnya, maka akan tampak jelas bagi kita bahwa
demokrasi berdiri diatas asas yang kufur. Amat jelas pula bahwa demokrasi merupakan reaksi
terhadap perkataan Louis XIV yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kekuasaan para raja
berdasarkan pada perwakilan Pencipta dan sumbernya adalah Tuhan semata bukan rakyat, dan
para raja tidak bertanggung jawab tentang cara-cara pelaksanaan kekuasaan, kecuali kepada
Tuhan’. Selain itu, para pemikir melukiskan teori tentang kontrak sosialnya John Jacques
Roussou, bahwa teori ini merupakan Injil Revolusi Perancis yang sekuler.
Dari seluruh paparan diatas, jelas bagi kita adanya kontradiksi antara Islam dengan
demokrasi yang sangat menyeluruh; meliputi sumber datangnya, akidah yang memancar darinya,
asas tempat berdirinya, pemikiran-pemikirannya dan sistem yang dibawanya.
Yang menjadi sumber datangnya demokrasi adalah manusia. Dan hakim di dalam sistem
demokrasi, yaitu tempat dikembalikannya seluruh penetapan hukum tentang perbuatan maupun
hukum tentang segala sesuatu, termasuk standarisasi baik dan buruknya adalah hawa nafsu dan
kebutuhan yang bersifat situasional. Demokrasi adalah rekaan para filosof Eropa.
Islam sendiri sangat kontradiktif dengan apa yang disebutkan di atas. Islam berasal dari
Allah Swt, yang mewahyukannya kepada Nabi-Nya Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nya saw.
sedangkan hakim di dalam Islam, yaitu tempat dikembalikannya pembuatan hukum, adalah syara’
bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya di dalam memahami nash-nash (teks-teks) syara’.
Akidah yang melahirkan demokrasi adalah akidah pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme), yaitu akidah yang berlandaskan pada jalan tengah (kompromi). Akidah ini mengakui
keberadaan agama akan tetapi menghapus peranannya di dalam kehidupan dan didalam negara.
Selanjutnya menetapkan bahwa manusialah yang berhak membuat peraturan hidupnya.
Berdasarkan akidah inilah dibangun peradaban demokrasi dan ditetapkan arah pemikiran
demokrasi.
Islam sangat bertentangan dengan hal itu. Islam berlandaskan kepada akidah Islam, yang
mewajibkan berjalannya seluruh urusan kehidupan dan negara berdasarkan perintah-perintah
Allah dan larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, harus sesuai dengan hukum-hukum syara’
yang terpancar dari akidah Islam. Diatas akidah inilah dibangun peradaban Islam dan ditetapkan
arah pemikiran Islam.
Adapun asas tempat berdirinya demokrasi adalah kedaulatan yang berada di tangan
rakyat. Dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Berdasarkan atas kedaulatan rakyat itu sistem
demokrasi melahirkan tiga bentuk kekuasaan: Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang
menterjemahkan secara praktis bentuk kedaulatan dan kekuasaan rakyat.
Sedangkan di dalam Islam, kedaulatan itu berada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak
untuk membuat undang-undang. Meskipun demikian, Islam menyerahkan penerapan perintah-
perintah Allah dan larangan-larangan-Nya kepada kaum Muslim. Dan semua itu ditampakkan
dengan berdirinya Daulah Khilafah, yang dibatasi oleh nash-nash syara’.
Demokrasi datang dengan sistem dan pemikiran yang berdiri berdasarkan kemaslahatan
(manfaat) dan hawa nafsu. Sementara, perundang-undangan Islam tegak berdasarkan pada teks-
teks (nash) dan istinbath hukum-hukum syara’ yang berasal dari teks-teks tersebut. Islam berdiri
diatas keterikatan terhadap syara’ dan senantiasa mengikuti petunjuk.
Perkataan yang menyebutkan bahwa di dalam demokrasi ada sebagian unsur-unsur
kebaikan yang dapat dimanfaatkan oleh Islam adalah pernyataan yang tertolak dan tidak
mempunyai dalil. Setelah pemaparan tentang demokrasi tadi dan segala hal yang dilahirkannya
berupa realita yang amat buruk, maka kita melihat bahwa tidak ada sedikit kebaikanpun yang
dibutuhkan oleh umat terbaik ini (yaitu umat Islam). Apakah Islam yang kita yakini memiliki
kekurangan yang harus ditutupi oleh slogan-slogan seperti ini?

Ilmu dan Teknologi Bukan Produk Peradaban Barat


Pendapat yang menyebutkan bahwa kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang terdapat
di dunia Barat merupakan buah dari demokrasi adalah perkataan yang dilontarkan oleh orang
yang tidak mengetahui fakta dan realita. Alasannya, karena berbagai bentuk penemuan itu lahir
berdasarkan proses penelitian ilmiah yang merupakan perkara-perkara yang bisa dicapai oleh akal
manusia manapun yang telah diberikan Allah. Jadi, hal itu tidak berkaitan dengan pandangan
hidup (ideologi). Fenomena tentang ilmu dan teknologi bisa kita saksikan ada di kalangan orang-
orang kapitalis, sosialis, atau pun muslim. Sebab, Allah telah memberikan kepada manusia
kemampuan akal seperti itu. Artinya, agama atau mabda tidak berimplikasi apapun terhadap
kemajuan yang diraih sains dan teknologi. Meskipun demikian kita perlu membahas, apakah
agama atau mabda membolehkan ilmu pengetahuan, dan membolehkan penggunaan akal? Atau
malah memberangusnya seperti yang dilakukan gereja pada masa lalu?
Mabda Islam tidak hanya membolehkan penggunaan pandangan dan akal didalam segala
perkara, bahkan Islam mewajibkannya dalam rangka mempersiapkan kekuatan yang wajib dimiliki
untuk menegakkan kedaulatan mabda.
Barat telah menawarkan kepada kita komoditasnya yang rusak, seperti demokrasi, padahal
syara telah melarang kita untuk mengambilnya. Sementara, pada saat yang sama Barat
menghalang-halangi kita untuk memperoleh komoditasnya yang lain, yaitu ilmu dan penemuan-
penemuannya, karena hal itu akan memberikan bagi kita jalan untuk memiliki sebab-sebab
kekuatan yang kita butuhkan. Untuk perkara ini syara’ tidak melarang kita untuk mengambilnya. Itu
menunjukkan bahwa Barat menyadari apa yang dilakukannya. Masalahnya, apakah jama’ah-
jama’ah Islam masih menutup mata tentang perkara ini?
Pemaparan diatas menunjukan bahwa orang yang mengatakan demokrasi itu berasal dari
Islam adalah orang yang tidak memahami Islam dan tidak memaham demokrasi.
Demokrasi Tidak Sama dengan Syura’
Salah satu lelucon yang menyedihkan adalah perkataan salah seorang yang
mempropagandakan demokrasi: ‘Islam itu diawali dengan demokrasi dan diakhiri dengan
kediktatoran’. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:
َ ِ‫ َىشَس ْى تْ ؤه تمِفْيِ تأل َ تم ِْْفَ ْإ َ ِع ََز تم َ ِفَ َ َى ََلت‬
ِْ ِ َ‫عل‬
‫هللا‬
Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 159)

Tinggal satu ide yang berhubungan denga topik pembicaraan kita (yang dilontarkan oleh
mereka), yaitu Islam telah menyetujui demokrasi tatkala al-Qur’an mengisyaratkan maupun as-
Sunnah (baik perkataan maupun perbuatan) yang menyebutkan tentang syura. Demokrasi itu –
menurut mereka- tidak lain adalah syura itu sendiri. Karena syura tegak berdasarkan pengambilan
pendapat manusia, demikian juga halnya dengan Islam yang memerintahkan untuk mengambil
pendapat manusia, sesuai dengan firman Allah Swt:
ِْْ ‫ َىشَس ْى تْ ؤه تمِفْيِ تأل َ تم‬
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)

Allah juga berfirman:


َ ‫ َىا َ تم ؤْ ؤه تمِش‬
‫ؤىْىِمَ تنَ ؤه تِم‬
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. (QS. asy-Syuura
[42]: 38)

Selain itu, Rasulullah saw di dalam kehidupan praktisnya dibidang politik dan militer selalu
bermusyawarah dengan para sahabatnya dan mengambil pendapat mereka. Jika demikian
perintah al-Qur’an dan realita perbuatan Rasulullah saw, maka tidak ada jalan lain bagi kaum
Muslim kecuali meneladaninya. Mereka juga mengatakan bahwa perbedaan antara syura dengan
demokrasi adalah perbedaan lafadz saja. Lagi pula perbedaan penyebutan tidak krusial selama
isinya sama.
Kami mengetahui bahwa orang-orang yang menyerukan demokrasi terdiri dari beberapa
golongan. Diantara mereka ada yang busuk dan penipu, tetapi ada juga orang yang ikhlas hanya
tidak mengetahui hakekat demokrasi. Tidak ada jalan lain bagi kelompok yang ikhlas itu kecuali
harus menjauhkan dirinya dari lontaran perkataan seperti ini. Jika tidak, maka keadaannya sama
saja dengan orang yang menyembah Allah dalam kondisi jahil, yang bisa menyebabkannya jatuh
dalam ma’siyat. Tabi’at orang yang ikhlas adalah mudahnya untuk kembali dari kesalahan dan
cepat mengambil pelajaran.
Kelompok ini juga pernah mengatakan bahwa sosialisme berasal dari Islam dan Rasulullah
saw adalah imam mereka. Tatkala kebusukan sosialis tersingkap, maka dengan apa mereka
memberikan jawaban?. Demikian juga halnya dengan demokrasi, yang sekarang ini sedang
menghadapi sakaratul maut dan menunggu detik-detik kematiannya. Jadi, apa yang sebetulnya
diharapkan oleh para penganjur ide ini? Sesungguhnya propaganda seperti ini tidak berpihak pada
kepentingan Islam melainkan demi kebaikan demokrasi. Mereka menempatkannya sebagai
pemikiran yang agung ketimbang menjelaskan kepalsuannya. Mereka mengembannya, bukan
malah menginjak-nginjaknya.
Pelaksanaan perintah Allah merupakan proses menjadikan kalimat Allah yang tertinggi, dan
agama yang tampil ke puncak hanyalah agama Allah semata. Hal itu tidak akan bisa dicapai
kecuali dengan adanya jama’ah yang mendapatkan petunjuk dalam memahami perintah-perintah
tersebut dan memiliki perspektif ketika didirikannya, cemerlang akidahnya, pemahamannya
terhadap hukum-hukum Islam sangat mendalam, menyuarakan ide-ide yang bersifat pokok dan
istilah-istilah yang orisinil (dari Islam), tidak mau tunduk kepada realita (yang rusak) dan tidak
diwarnai oleh situasi maupun kondisi.

Bab 12
Bergabung Dengan Sistem Pemerintahan Kufur

Agama ini telah sempurna, dan nikmat juga telah disempurnakan. Tidak ada
penggantian/perubahan terhadap kalimat-kalimat Allah Swt. Allah berfirman:
‫ِْىه َؤىِ َ َمْ ؤعِ تَ َ ْل ؤِم‬
َ ‫ع ت الًِالَِ ؤممَ ْ لَِ َْ ََ ْل َمس ْؤ‬ َ ً‫ِص ت ق‬
َ ‫سِى‬ َ ‫ َى َ َم ت ِ ََ ْل َميؤ‬
ْ َ ‫ِْ ْم‬
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada
yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. al-An’aam [6]: 115)

Diantara karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah disempurnakannya bagi mereka agama
mereka, begitu pula disempurnakannya nikmat bagi mereka. Allah Swt juga menjaga al-Qur’an
dan memeliharanya dari tangan-tangan yang ingin merubah dan menggantinya. Firman Allah Swt:
ِ‫ِىيْنَسََِؤؤََِحَسفْ ؤ‬
َِ‫ظىو‬ َ ْ‫يْنَسِنَحت وؤ ِنَ َز تَنَسِ َ ْ َ َت‬
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. al-Hijir [15]: 9)

Sungguh, Allah telah mejaga al-Qur’an agar menjadi hujjah bagi manusia sampai hari kiamat.
Tatkala Rasulullah saw menerima risalah dari langit maka sejak saat itu kaum Muslim wajib
mewarisi (tugas) ke-Nabian dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan berpegang teguh kepada al-
Qur’an, menggamit dengan kuat kepada as-Sunnah sebagaimana yang diperintahkan. Jika hal ini
dilakukan, maka keadaan mereka sama seperti keadaan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalil-
dalil yang menjelaskan hal itu sangat banyak.
Tatkala kaum Muslim berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat-umat lain,
menawarkan kepada mereka agama yang lurus, agama yang berlandaskan pada akal dan fitrah,
maka pada saat yang sama umat-umat lain itu juga menawarkan agama mereka kepada kaum
Muslim, meskipun dalam rangka untuk mempertahankan diri. Sejak itu sebagian kaum Muslim
terpengaruh dengan apa yang dijajakan oleh umat-umat lain itu tanpa mereka sadari. Hal ini
membawa pengaruh negatif pada pemahaman kaum Muslim terhadap Islam dan terhadap
dakwah. Namun, kondisi tersebut tidak memakan waktu lama. Ulama kaum Muslim menyadari hal
itu. Para ulama ini merupakan menara-menara dan rambu penunjuk jalan yang akan
memberitahukan kepada kaum Muslim kebenaran sehingga mampu menghilangkan campuran
asing yang melekat pada agama. Para ulama itu dengan gigih mencegah penyimpangan dan
menggagalkan pemalsuan sehingga agama kembali bersinar.
Kaum Muslim selalu berada antara dua kondisi, baik dan buruk. Datanglah masanya kepada
kita keburukan, dan kita terjebak berada di dalamnya. Lalu bagaimana caranya melepaskan diri
dari keburukan itu?
Kondisi kita sekarang ini menuntut kita untuk kembali kepada sebab-sebab perbaikan
sebagaimana yang pernah dilakukan pada mula pertama, agar kita kembali kepada Islam
sebagaimana pertama kalinya dahulu.
Untuk membersihkan Islam dari segala kotoran dan menghilangkan seluruh penyimpangan
serta mengubur setiap pemalsuan, kita wajib keluar dari cara berpikir yang rusak, yang kita warisi
dari Barat. Cara berpikir yang telah menjadikan kita selalu menganalogkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan dakwah dengan tolok ukur yang berasaskan manfaat dan menuruti hawa nafsu.
Apa saja yang sesuai dengan hawa nafsu kita ambil, dan yang bertentangan dengannya kita
tinggalkan. Dari sini kita mentakwilkan teks-teks syara’ agar sesuai dengan pandangan kita. Lalu
kita hadirkan teks-teks itu untuk memberikan pembenaran terhadap kebenaran pendapat kita.
Sementara itu, cara berpikir Islam yang benar adalah bertumpu pada anggapan bahwa segala
perkara ada di tangan Allah semata. Artinya, tidak boleh kita memasukkan pemahaman kita
terhadap hukum-hukum Allah, juga hasil pikiran kita dan kecenderungan-kecenderunga kita. Tidak
boleh kita jadikan hawa nafsu sebagai pemutus perkara. Tidak boleh bagi kita menjadikan
ketakutan kepada musuh atau respon negatif manusia, atau tidak adanya interest penguasa
terhadap agama, atau keadaan dan situasi yang menyelimuti kita, atau tidak adanya maslahat,
sebagai alasan bagi pengemban dakwah untuk meringankan beban dan mempermudah kaum
Muslim. Sebab, Allah Swt bersifat ‘Alîm dan Khabîr (Maha Mengetahui) hakekat tabiat manusia,
mengetahui apa yang dibutuhkannya dan apa yang dapat dilaksanakannya. Allah mengetahui
realita dan fakta tempat manusia hidup didalamnya, mengetahui pula siapa musuh-musuh kaum
Muslim, dan bagaimana cara-cara berinteraksi dengan mereka dan seterusnya.
Satu-satunya metoda ijtihad yang benar, yang telah kami jelaskan sebelumnya, didasarkan
terlebih dahulu kepada pemahaman atas realita yang ingin dicari hukum syaranya, kemudian
dilanjutkan dengan mencari hukum syara’nya dengan menggunakan teks-teks syara’ sesuai
dengan dalalahnya. Barulah diketahui hukum Allah dalam perkara tersebut. Seakan-akan kami
ingin mengatakan tatkala menjalankan thariqah ini: ‘Sesungguhnya realita dimana kita hidup
dengan berbagai situasi dan kondisi yang ada, kekerasan dan dehumanisasi didalamnya,
termasuk maslahat yang dituntut, merupakan hukum Allah dalam perkara tersebut. Terkait dengan
hal itu Allah berfirman:
َ ِ‫ِْى َ ؤى ِهللاَِيْوَ ِهللاَِ َمْ ٌع‬
‫ع ْل ٌِم‬ َ ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِالَِ ؤ َ ْ ؤمى ِمَ توَ ِ َ َ يِْهللا‬
َ ‫ِْى َْ ؤى َْؤ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hujurat [49]:
1)

Allah Swt berfirman:


‫ضالَالًِ ؤم ْم نًس‬ َ ِ‫ِى َْ ؤىََؤؤِفَ َ ت‬
َ َِ‫ضل‬ َ ‫ِهللا‬
َ ‫ص‬ َ ‫ِى َْ ؤىَؤؤؤِا َ تم ًْ ِا َ توِ ََؤىوَ ََِ ؤه ؤمِ تَ ْ ََْ ؤِمْ توِا َ تم ْْ ْه تم‬
ْ ‫ِى َم توِ َ ت‬ َ َ‫ِىالَِ ؤم ت مْ نَيٍِ ْي َ ِق‬
َ ‫ض ِهللاؤ‬ َ ‫ َى َمسََِسوَ ِ َْ ؤم ت مْ ٍو‬
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36)

Perbedaan antara dua cara berpikir itulah yang menyebabkan adanya perbedaan dalam
memahami hukum-hukum, yang digunakan untuk memperbaiki kondisi kaum Muslim.
Cara berpikir yang dipengaruhi Barat telah mengakibatkan ditinggalkannya sebagian teks-
teks syara’ yang bersifat qath’i dan menempatkan masalah pada posisi dipaksakan untuk memiliki
dalil yang dapat menjelaskannya, dengan alasan situasi dan kondisi menuntutnya, atau karena
adanya maslahat dan proteksi. Hukum riba misalnya, diharamkan secara qath’i dengan lafadz
yang jelas, tidak mengandung pengertian lain dan tidak bisa ditakwilkan. Namun, ketika
bersentuhan dengan realita, situasi dan kondisi, apalagi mendatangkan manfaat dan bisa menolak
mafsadat yang sangat berpengaruh pada kehidupan mereka, maka mereka mengeluarkan hukum
lain, yang membolehkan bermuamalah dengan cara riba.
Ada beberapa jama’ah yang menggunakan cara berpikir seperti ini dan mengeluarkan
hukum-hukum yang tidak ada sandarannya sama sekali di dalam syara’, bahkan bertentangan
dengan syara’ sama sekali. Contoh yang sama adalah tatkala jama’ah itu menyerukan bahwa
demokrasi berasal dari Islam, padahal demokrasi bertentangan dengan Islam -seperti yang telah
kami terangkan sebelumnya-. Mereka juga menyerukan bolehnya bergabung dengan sistem
pemerintahan jahiliyah dan mereka menyebutkan bahwa hal itu merupakan satu-satunya cara
yang sesuai, aman dan cepat dimasa sekarang dalam rangka berupaya untuk mencapai
pemerintahan yang menerapkan apa yang diturunkan Allah. Sementara hal itu bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw secara diametral.
Kami telah menjelaskan rusaknya ide tadarruj dalam penerapan (hukum) Islam termasuk
mempropagandakannya. Kami juga telah menjelaskan pada waktu yang sama rusaknya segala
perkara yang berhubungan dengan tadarruj, seperti pemikiran bolehnya bergabung dengan sistem
pemerintahan kufur. Dalam pembahasan ini kami terpaksa berhenti sejenak untuk merenungkan
ide ini, untuk menolak berbagai syubhat yang dilekatkan kepadanya, dan supaya tidak ada lagi
halangan bagi orang yang membuat-buat alasan untuk menerima perkara itu.
Kami pun telah menyampaikan bahwa selama cara berpikir jama’ah-jama’ah itu belum benar
dalam memahami syara’, maka tidak akan berguna nasehat apapun bagi mereka. Jika kami
mampu meyakinkan mereka tentang rusaknya ide bergabung dengan penguasa kufur, sementara
mereka masih berpola pikir seperti ini, maka kita akan melihat bahwa mereka akan mencari-cari
alternatif hukum pengganti lain dengan cara berpikir yang sama. Jadi, kita harus benar-benar
waspada terhadap pola pikir seperti ini yang tidak diakui oleh syara’ dan menjadi tempat lahirnya
berbagai pemikiran yang menyimpang.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan musyarakah (bergabung) dengan penguasa kufur?
Apa alasan-alasan orang yang membolehkannya?
Musyarakah berarti kaum Muslim turut serta di dalam pemerintahan yang berdiri bukan
dengan asas Islam dan memerintah tidak dengan hukum-hukum Islam. Musyarakah dilakukan
dengan mengikuti permainan demokrasi dan masuk ke dalam parlemen dengan tujuan untuk
menyampaikan pendapat dan mengembannya kepada penguasa. Dan dengan berlalunya waktu
akan sampai pada kursi kekuasaan. Hal itu dilakukan dengan cara tadarruj atau bertahap, yang –
menurut mereka- diakui oleh Islam.
Adapun alasan-alasan orang yang membolehkan bergabung dengan penguasa yang
menerapkan sistem kufur, ada yang secara aqliyah ada pula secara syar’iyah. Alasan-alasan
aqliyah dapat disimpulkan dalam poin-poin berikut ini:
* Adanya gambaran sejarah bahwa untuk menyampaikan Islam hingga pada level kekuasaan pada
masa sekarang ini sangat tidak mungkin dilaksanakan. Sebab, wilayah negeri-negeri Islam
seluruhnya tunduk di bawah sentralisasi kekuasaan yang amat kuat, yang didukung oleh kekuatan
internasional yang bermacam-macam dan mempunyai kekuatan fisik (ekonomi, politik dan militer)
dan maknawi (ideologi) yang dahsyat. Kekuatan ini mengawasi setiap gerakan yang
mendakwahkan Islam, mengepung mereka dan menghalangi-halangi keberhasilannya. Sementara
itu, analogi terhadap kenyataan semacam ini di masa lalu tidak ada.
*Dakwah Islam pada masa lalu merupakan aktivitas terstruktur yang melibatkan seluruh kaum
Muslim. Saat itu ada jama’atul muslimîn (yaitu Daulah Islamiyah). Sementara jama’ah di masa
sekarang ini hanya berupa komunitas kaum Muslim. Ini yang menyebabkan jama’ah-jama’ah
sekarang ini mengalami kesulitan karena terdapat sekelompok besar kaum Muslim yang tidak
tunduk pada kepemimpinan jama’ah-jama’ah tersebut. Dalam keadaan seperti ini jama’ah-jama’ah
tersebut memperoleh manfaat yang sangat banyak dari sistem jahiliyah. Gerakan Islam moderen
telah menetapkan dirinya sebagai partai yang mengikuti jalan partai-partai moderen, jika ingin
mencapai tampuk kekuasaan.
Partai-partai politik modern melakukan berbagai cara untuk sampai pada tampuk kekuasaan.
Cara-cara itu bisa berupa terlibat dengan permainan demokrasi atau dengan jalan revolusi militer
atau dengan pemberontakan bersenjata dari rakyat.
Upaya untuk menggalang kekuatan militer di dalam angkatan bersenjata sehingga mereka
mampu melakukan kudeta militer telah ditutup pintu-pintunya bagi gerakan Islam moderen. Begitu
pula pemberontakan bersenjata yang dilakukan rakyat telah dikunci rapat-rapat oleh pemerintahan
diktator yang ada. Maka tidak ada alternatif lain bagi gerakan Islam modern kecuali menjalani
pilihan terakhir yaitu melalui aktivitas partai politik yang mengharuskan mereka bergabung dengan
sistem pemerintahan yang tidak menerapkan Islam.
Mereka menambahkan bahwa di hadapan tujuan yang besar yang ingin dicapai oleh
gerakan Islam tidak mungkin berhujjah dengan menggunakan perkara-perkara cabang yang
bertentangan dengan perkara pokok. Jika terjadi kontradiksi antara perkara yang bersifat cabang
dengan yang bersifat pokok maka yang dimenangkan adalah yang bersifat pokok. Syari’at Islam
bersifat elastis (luwes) dan kerealistisannya tidak mungkin menghalangi tujuan-tujuan besar hanya
karena adanya pertentangan yang bersifat parsial. Lagi pula tidak mungkin syari’at Islam yang
luwes itu berdiri memojokkan kaum Muslim pada situasi sulit dan membatasi mereka hanya pada
satu cara untuk sampai pada tampuk kekuasaan, meskipun pada beberapa kondisi dan keadaan
mustahil dilakukan. Jadi, jika cara yang pertama terhalang, maka dapat digunakan cara yang
kedua, atau ketiga, atau keempat, dan seterusnya. Bahkan bisa jadi merupakan suatu
kemaslahatan dalam beberapa kondisi untuk menjalankan keempat cara dengan langkah
(tahapan) yang serasi, yang pada akhirnya akan menunjukkan cara mana yang layak dijalankan.

Diskusi tentang alasan-alasan aqliyah yang disampaikan dan jawaban terhadapnya


Alasan-alasan (justifikasi) aqliyah yang dipaparkan mereka yang membolehkan berlepas diri
dari hukum syara’ tatkala melakukan dakwah menunjukkan kepada kita bahwa tsaqafah orang-
orang yang mengatakannya bukanlah tsaqafah Islam, meskipun mereka menggunakan beberapa
lafadz ushul fiqih dan teks-teks syara’. Mereka tidak memiliki metoda yang benar dalam berpikir,
terutama dari segi cara pandangnya terahadap realita dan dalam melakukan istinbath hukum-
hukum syara’. Bahkan mereka tidak memiliki cara pandang yang benar terhadap hukum syara itu
sendiri. Mereka tidak bisa membedakan antara thariqah (metoda) dan uslub (cara) di dalam
dakwah. Ini dimungkinkan karena kuatnya pengaruh pemikiran tentang elastisnya syari’at,
sehingga mereka menganggap remeh hukum-hukum syara’, lalu menggantinya dengan hukum-
hukum yang tidak syar’i dengan dalih bahwa hal itu sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendapat yang menyebutkan bahwa kita tidak perlu mengambil (mengikuti) thariqah
Rasulullah saw dan mengambil hukum-hukum syara’, meskpun keadaan sudah banyak berubah,
adalah pendapat yang tidak benar dan tidak menunjukkan pada adanya penelitian yang mendalam
terhadap realita yang ingin dirubah. Yang harus diamati secara seksama atas realita adalah ciri-ciri
dasar yang ada, bukan pada bentuknya yang berubah-ubah. Masyarakat misalnya, memiliki unsur-
unsur utama (yang bersifat baku dan tidak berubah) berupa manusia, pemikiran, perasaan dan
sistem (peraturan). unsur-unsur itu tidak akan berubah meskipun tampak dalam bentuk yang
bermacam-macam. Bisa berbentuk kabilah, negara kecil, atau negara yang amat kompleks. bisa
juga berupa negara yang demokratis atau bahkan diktator. Jadi, yang dilihat adalah ciri-ciri
dasarnya. Dengan demikian, bentuk-bentuk yang berbeda-beda tidak mempengaruhi thariqah
dakwah. Contoh dalam masalah ini adalah, bahwa untuk merubah pemikiran-pemikiran yang salah
dan pemahaman-pemahaman yang keliru, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk di
dalam masyarakat, adalah dengan sistem syariat yang pernah dijalankan oleh Rasulullah saw. Ini
merupakan aktivitas yang tidak pernah berubah. Yang berbeda dalam masalah ini adalah,
mungkin pemikiran masyarakat itu berbentuk nasionalisme yang mundur, atau kesukuan yang
sempit, atau ideologi sosialis, atau ideologi kapitalis. Pemikiran yang bersifat ideologis lebih kuat
dari pada pemikiran-pemikiran lain sehingga untuk membongkarnya memerlukan usaha yang
sangat besar. Tambahan lagi, bermacam-macamnya pemikiran terkadang bisa mempersulit atau
mempermudah aktivitas. Namun, tidak merubah jalan yang harus ditempuh. Bentuk pemerintahan,
meskipun hanya sistem kabilah, seperti yang ada pada masa Rasulullah saw, atau berbentuk
negara kecil, atau negara yang amat kompleks seperti pada masa sekarang ini, tidak akan
merubah hukum-hukum thariqah. Pengaruhnya hanya mempersulit atau mempermudah aktivitas
dakwah. Begitu pula kondisi dari sistem yang ingin dirubah itu bisa bersandar kepada militer yang
menjamin perlindungan dan memperkuat dirinya, bisa juga bersandar kepada kabilah-kabilah
bersenjata. Yang penting memiliki kekuatan yang menyokongnya. Usaha yang dilakukan
Rasulullah saw ditujukan untuk memperoleh pertolongan (nushrah) dari kekuatan-kekuatan
tersebut untuk mendirikan Daulah Islamiyah. Ketika Rasulullah saw berusaha untuk mewujudkan
masyarakat, beliau bertumpu kepada pembentukan asas-asas berdirinya masyarakat. Rasulullaah
saw membentuk individu-individu yang kuat dengan keimanan, yang dipersiapkan agar mampu
menanggung beban dakwah dan mendirikan negara (saat itu adalah orang-orang Muhajirin).
Rasulullah juga membentuk basis massa yang akan mengasuh dakwah beserta para
pengembannya. Basis massa ini siap menerima apabila negara didirikan ditengah-tengah mereka
(saat itu adalah orang-orang Anshar). Thalab an-nushrah merupakan metoda beliau untuk meraih
kekuasaan. Rasululllah saw tetap menjalankan aktivitas thalab an-nushrah meskipun menghadapi
banyak tantangan dan kesulitan.
Orang yang mencermati aktivitas beliau saw ketika berada di Makkah akan menjumpai
bahwa metoda perubahan itu memiliki unsur-unsur pokok. Dia juga akan menemukan bahwa
thariqah beliau tidak pernah berubah dengan berubahnya waktu dan tempat, dan tidak berbeda di
satu tempat dengan tempat lainnya. Sebab, yang berbeda dari masyarakat dan wilayah hanya
yang berkaitan dengan bentuk, bukan esensinya. Tabi’at perubahan ini hanya mempengaruhi
tingkat kesulitan usaha yang dilakukan.
Pendapat yang menyebutkan tentang keelastisan syari’at tidak boleh menjadikan akal dan
hawa nafsu kaum Muslim sebagai sandaran untuk melakukan perubahan, dengan dalih elastisitas
syari’at. memang mbenar bahwa syari’at Islam telah disempurnakan oleh Allah. Syari’at Islam juga
bersifat integral (luas) sehingga sanggup memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia,
baik yang lama maupun yang baru. namun, pemecahannya itu berada di dalam batas-batas ushul
yang mengikat, yang bertolak dari suatu titik bahwa hukum hanya milik Allah semata.
Dengan demikian kita tidak boleh menjadikan pendapat yang menyebutkan tentang keluasan
syari’at sebagai sebab ditinggalkannya teks-teks syara’, atau berakibat pada mekin meluasnya
cakupan sampai-sampai meliputi perkara yang bukan berasal dari Islam. Beberapa ulama kaum
Muslim telah meninggalkan sistem sanksi yang syar’i, dengan menggunakan alasan ini. Mereka
mengatakan: ‘Selama tujuan syari’at dari adanya (hukum) sanksi itu adalah zajr (tindakan
pencegahan), maka setiap perkara yang bisa mencegah terjadinya tindak kejahatan bisa dianggap
sesuai dengan (hukum) syara’. Menurut mereka, ketika sanksi-sanksi syar’iat dianggap tidak cocok
lagi dengan perkembangan zaman; jiwa dan akal manusia juga menolaknya; maka dapat
digunakan sanksi-sanksi lainnya selama hal itu bisa mencapai tujuan yang dimaksud. Seandainya
syari’at itu tidak bersifat elastis dan bisa berkembang (sesuai tuntutan zaman) maka hal itu tidak
akan bisa kita lakukan.
Mereka juga menyebutkan bahwa jihad fi sabîlillâh adalah untuk menyebarluaskan dakwah.
Maka jika dakwah bisa dilakukan dengan selain jihad, dengan menggunakan sarana-sarana baru
dan moderen, seperti radio, TV dan media massa lainnya, maka mungkin saja jihad digantikan
dengan media-media tersebut. Seandainya syari’at tidak elastis dan berkembang (sesuai tuntutan
zaman) maka kita tidak mungkin bisa melakukannya.
Mereka juga berpendapat dengan cara yang sama tentang metoda untuk meraih kekuasaan
yang Islami. Yaitu menggunakan metode apa pun yang bisa menghantarkannya ke tampuk
kekuasaan dapat kita ambil. Jadi, menurut mereka, bukan perkara penting untuk terikat dengan
satu bentuk dimana kita tidak boleh melampauinya. Justru hal itu adalah kejumudan dan kebekuan
yang bertentangan dengan tabi’at Islam yang luas, elastis dan berkembang. Lagi pula Allah telah
menjadikan Islam itu tidak menyulitkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka perkataan yang menyebutkan tentang keelastisan
syari’at dengan makna yang seperti ini, adalah haram. Karena menyebabkan ditinggalkannya
hukum-hukum agama dan bertentangan dengan tabi’at Islam. Terlebih lagi cara berpikir seperti itu
akibat pengaruh dan terhanyut oleh pelukan pemikiran Barat.
Adapun pendapat yang menyebutkan bahwa sesuatu yang bersifat juz’i (cabang) apabila
bertentangan dengan sesuatu yang bersifat kulliy (pokok), maka perkataan itu memerlukan
penjelasan. Karena kalimat-kalimat yang digunakan oleh mereka mirip dengan kalimat-kalimat
yang digunakan para ulama ushul yang mengandung arti yang tidak sama dengan arti yang
mereka maksudkan. Disini tampak adanya tamayyu’ di dalam berbagai pemahaman dan tolok ukur
yang mereka gunakan. Mereka berpendapat jika syari’at telah membolehkan dan mempermudah
satu perkara, maka untuk seluruh perkara dan seluruh topik diperlakukan sama (secara general).
Tinggal satu masalah dalam pembahasan topik ini. Yaitu bahwa alasan-alasan aqliyah tidak
boleh mempengaruhi penetapan hukum syara’. Para ulama ushul telah menetapkan bahwa fakta
atau realita itu adalah manath (tempat dilekatkannya atau obyek) hukum. Fakta atau realita tidak
memaksa, melainkan untuk dipahami apa adanya. Kemudian datang dalil-dalil syara’ yang
menetapkan hukum-hukum syara’. Jadi, apa yang telah disebutkan tadi sebenarnya tidak ada
pengaruhnya sama sekali.
Adapun alasan-alasan yang dikatakan berasal dari syara’ -menurut mereka- berlandaskan
pada (hukum) asal, yaitu tidak bolehnya bergabung di dalam parlemen yang memberlakukan
hukum selain syari’at Allah Swt. Ketidakbolehannya itu berdasarkan pada:
*Keumuman teks-teks yang menyebutkan bahwa siapa yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah disifati dengan kafir, dzalim atau fasik. Allah Swt berfirman:
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَََسف ؤْْىو‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
َ َ ِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤم‬
َِ‫ظس َْ ؤمىو‬
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang dzalim. (QS. al-Maidah [5]: 45)
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِ ْم َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تََُس ْ ؤىو‬
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Maidah [5]: 47)

*Al-Hâkimiyah (pembuat hukum) wajib hanya ditangan Allah semata. Allah Swt berfirman:
ِ‫ ْي ْوِ تَ ؤح تَ ؤمِ ْيالَ ِْ ِْا َ َم َِْاَالَِ َ تمؤ ؤى ِ ْيالَِ ْي َسهؤ‬
Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. (QS. Yusuf [12]: 40)

* Allah juga melarang orang-orang mukmin untuk berhukum dengan hukum selain syari’at Allah.
Jika itu dilakukan, maka Allah akan menghapus keimanannya, seperti yang disebutkan-Nya dalam
firman:
‫ِى ؤ َ ْل ؤمى ِ َ ت ْل ًمس‬ َ َ‫شج ََِْمَ تنَ ؤه تمِ ؤ َمِالَِ َْج ؤى ِفْيِا َ تنُؤ ْْه تمِح ََْجًسِمْ َمسِق‬
َ َ ‫ضت‬ َ َ‫فَال‬
َِ ‫ِى َْمْ َ ِالَِ ؤ ت مْ نؤىوَ ِ َح َ ِ ؤ‬
َ ِ‫ح َْ ؤمى َ ِفْ َمس‬
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. an-Nisa [4]: 65)

* Allah juga mengabarkan kepada orang-orang munafik tentang keadaan mereka ketika mereka
berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan. Allah berfirman:
‫ِى َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
ِ َِ‫نننننننننننننننزل‬
ْ ْ ‫ع ؤمننننننننننننننننىوَ ِاَنَ ؤهنننننننننننننننن تمِ َء َمنؤننننننننننننننننى ِمْ َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
َ َ ‫نننننننننننننننزلَِيََْ تنننننننننننننننن‬ ‫اَََنننننننننننننننن تمِ َن‬
‫نننننننننننننننِْيََْنننننننننننننننن ِ ََنننننننننننننننن ْ وَ ِ تَز ؤ‬
َ
َ ِ‫كسوؤ ِا َ توِ ؤ ْضلَ ؤه تم‬
 ً ْ َ‫ضالَالًِم‬ َ ‫شت‬ َِ ‫ِْىقَ تِاؤمْ ؤْى ِا َ توِ َ تَُؤ ؤْى ِمْؤ‬
َ َ ِ‫ِْى ؤ ْْ ؤ‬ َ ‫قى‬ َ َ ِ ََْ‫مْ توِقَ تم ْل َ ِ ؤ ْْ ؤىوَ ِا َ توِ َ َحَس ََ ؤمى ِي‬
‫كس ؤ‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orng yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud untuk menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS.
an-Nisa [4]: 60)

*Tidak boleh meninggalkan hukum Allah untuk mengambil hukum selainnya. Siapa saja yang
melakukan hal itu berarti dia lebih mementingkan hukum jahiliyah daripada hukum Allah. Allah
berfirman:
َِ‫ِى َم توِاَحت َوؤ ِمْ وَ ِهللاِْ ؤح تَ ًمسِ َْ َ تى ٍمِ ؤىقْنؤىو‬
َ َ‫اَفَ ؤح تَ َمِ تَجَس ْه ْل َيِْ َ تم ؤىو‬
Apakah (sistem) hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (sistem hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (sistem hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?. (QS. al-Maidah [5]: 50)

Semua ini adalah hukum asal (perkara pokok). Menurut mereka dibolehkannya turut serta
di dalam parlemen merupakan pengecualian dari hukum asal, dengan menggunakan dalil-dalil
berikut ini:
1. Keterlibatan Yusuf as di dalam pemerintahan.
2. Keadan Raja Najasy.
3. Dalil Maslahat.

Bab13
Sayidina Yusuf AS dan Sistem Pemerintahan Kufur

Berkaitan dengan sayidina Yusuf as, mereka mengatakan bahwa masyarakat tempat beliau
hidup adalah masyarakat jahiliyah. Saat itu yang dominan adalah akidah syirik. Kerusakan dalam
bidang akhlak juga tersebar luas didalamnya. Sayidina Yusuf as berhadapan dengan kesesatan
dan kedzaliman sampai pada tingkat hingga sayidina Yusuf dijebloskan ke dalam penjara, setelah
mereka melihat bukti-buktinya. Raja yang ada ketika itu kemudian mengeluarkannya dari penjara
setelah kagum dengan kemampuan Yusuf as mentakwilkan mimpi, disamping setelah
membuktikan kebersihannya. Raja pun kemudian membebaskan dirinya sekaligus menempatkan
beliau sebagai orang kepercayaannya. Sayidina Yusuf as meminta kepada Raja agar diberi
jabatan sebagai menteri perbendaharaan negara. Permintaan itu dikabulkan. Dengan diterimanya
sayidina Yusuf as sebagai menteri, beliau mulai menjalankan tugas kementrian dalam sistem
pemerintahan jahiliyah. Hal ini bertentangan dengan sistem yang ketika itu dikenal sebagai syari’at
bani Israil. Sayidina Yusuf as menjalankan sistem kekuasaan dan pemerintahan Raja waktu itu.
Sampai akhirnya suatu ketika Yusuf as merekayasa kejadian agar bisa berhukum kepada syari’at
Nabi Ya’qub, supaya saudaranya bisa tinggal bersamanya. Itu terjadi ketika beliau merekayasa
tipudaya terhadap saudaranya dengan menuduhnya melakukan pecurian. Menurut syari’at
NabiYa’qub, seorang pencuri dihukum dengan dijadikannya sebagai budak.
Dalam kasus ini, mereka menambahkan bahwa kejadian itu berlaku khusus bagi sayidina
Yusuf as, karena adanya takhshish (pengkhususan). Dan takhshish berlaku jika ada dalil. Sebab,
pada dasarnya setiap yang disebutkan di dalam sirah para Nabi, termasuk petunjuk mereka,
semua itu adalah untuk diteladani dan dicontoh.
Mereka menambahkan: Tidak bisa dikatakan bahwa masalah ini merupakan syari’at
sebelum kita (syar’un man qablanâ) karena masalah pemerintahan tidak termasuk cabang syari’at,
sehingga boleh berbeda diantara berbagai syari’at. Perkara ini termasuk kedalam masalah ushul
yang disepakati. Lagi pula sayidina Yusuf as tetap mengakui bahwa (menetapkan hukum hanya
milik Allah) dan beliau tetap turut serta di dalam sistem pemerintahan.
Orang yang benar-benar mencermati ayat-ayat yang berkaitan dengan topik pembahasan
kita –yaitu di dalam surat Yusuf- akan melihat bahwa pendapat yang membolehkan turut serta di
dalam sistem pemerintahan kufur dibangun berdasarkan pada dua ayat, yaitu:
ِْ ‫ َمسََِسوَ ِ َْ َ ت ؤ َِا َ َ س ؤهِفْيِ ْ ْوِ تَ َم ْل‬
Tiadalah patut bagi Yusuf untuk menghukum saudaranya menurut undang-undang raja. (QS.
Yusuf [12]: 76)
‫ع ْل ٌِم‬ ْ ْ‫علَ ِ َ َز ئ ْْوِ تأل َ ت‬
ٌ ُْ ‫ضِيْنْيِ َح‬
َ ِ‫ظ‬ َ ِ‫قَسلَِ جت َ تلنْي‬
Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga lagi berpengetahuan’. (QS. Yusuf [12]: 55)

Mereka menafsirkan kedua ayat itu dengan penafsiran yang sesuai dengan pendapat yang telah
mereka pilih, dengan berpura-pura lupa terhadap setiap perkara ushul yang kontradiktif dengan
penafsirannya. Padahal perkara-perkara ushul itu merupakan pilar-pilar Islam. Mereka berpura-
pura lengah dengan setiap ayat yang bertentangan dengan pemahamannya itu serta
mengesampingkan kema’shuman para Nabi. Tatkala pemahaman mereka terhadap kedua ayat itu
runtuh (tertolak), maka tertolak pula setiap hal yang mereka bangun di dalam perkara sayidina
Yusuf as.
Para Nabi adalah utusan-utusan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Mereka adalah orang-
orang pilihan-Nya. Allah memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya. Mereka merupakan
contoh dan teladan bagi kaumnya. Mereka merupakan contih yang benar di dalam ibadah dan
bersikap konsisten. Mereka melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Dan Allah
memelihara mereka dari perbuatan-perbiatan maksiat, memelihara mereka dari fitnah,
menetapkan mereka di dalam kebenaran dan membantu mereka agar selalu berada di atas
kebenaran. Sayidina Yusuf as termasuk di dalam kelompok yang terpilih ini. Allah Swt telah
memujinya dengan pujian yang tinggi, bukan hanya dalam satu ayat saja. Allah Swt berfirman:
َِ ‫علَ ت‬ َ ‫ِى ؤ َ ْل ؤم َ ِمْ توِ َ ت ْى ْلِ ت ِأل َحَس ْ ث‬
َ ِ‫ِْى ؤ ْ ُّمِ ْن ت َم َؤؤ‬ َ َ ‫ َى ََ َ َْ َ ِ َجت َ ْم‬
َ َ ‫ِْ ُّم‬
Dan demikianlah Tuhanmu memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu
sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu. (QS. Yusuf
[12]: 6)
َِ‫سِى ََ َ َْ َ ِنَجت ْزيِ تَ ؤمحت ْ نْ و‬
َ ‫سِى ْع تل ًم‬ ‫ َىََ َمسِمَلَ َغِا َ ؤ‬
َ ‫ش َ هؤِ َء َ تنَسهؤِ ؤح تَ ًم‬
Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami
memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf [12]: 22)
َِ‫ِى تََُحت شَس َءِ ْينَؤؤِمْ توِ ْعمَس ْ نَسِ تَ ؤم ت لَ ْص و‬ َ ِ َ ْ‫ ََ َ َْ َ ِ َْنَص ْت‬
َ ‫عتِنؤؤِ َ ُّى َء‬
Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya
Yusuf itu termasuk hamba-hamba yang Kami pilih. (QS. Yusuf [12]: 24)
َِ‫ِىالَِنؤ ْض ؤعِاَجت َِْ تَ ؤمحت ْ نْ و‬
َ ‫بِمْ َْحت َم ْنَسِ َم توِنَشَس ؤء‬ ‫ضِ َ َم ََىاؤِمْ تنهَسِ َح ؤ‬
‫تثِ َشَس ؤءِنؤ ْص ؤ‬ ْ ْ‫ َى ََ َ َْ َ ِ َم ََنَسِ َْ ؤى ؤ َ ِفِْيِ تأل َ ت‬
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir (dia berkuasa penuh)
pergi menuju kemana saja ia kehendaki dibumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada
siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
baik. (QS. Yusuf [12]: 56)

Yusuf as juga seorang da’i, yang menyeru kepada Allah dalam bentuknya yang paling tinggi.
Al-Qur’an telah menyebutkan, tatkala beliau mengatakan kepada kedua temannya di dalam
penjara, saat keduanya bertanya kepada beliau tentang ta’wil mimpinya.
ِ ِِْ‫نننننننننننننننننننننننننس‬
‫ؤ‬ ‫نننننننننننننننننننننننننِْا َ ْمِهللاؤِ تَ َى حْ نننننننننننننننننننننننننن ؤِ تَ َ َهن‬
ٌ ‫نننننننننننننننننننننننننسبِ ؤم ََُ ْْقؤننننننننننننننننننننننننننىوَ ِ َ تن‬
ٌ ‫صننننننننننننننننننننننننننسحْ مَيِْ َ ْ ننننننننننننننننننننننننننجت ْوِ َءا َ تْمَن‬
َ ‫ َس‬
ِ‫وِ تَ ؤح تَ ؤمِيْالَِْ ِْا َ َم َِْاَالَِ َ تمؤن ؤى ِيْالَِيْ َنسهؤِ ََْن َ ِ َن ْ وؤ ِ تَ َن ْ ؤم‬
ِْ ْ‫سوِي‬
ٍ ‫ك‬َ ‫ِى َء مَس ؤ ؤَ تمِ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِمْهَسِمْ توِ ؤ تل‬
َ ‫َمسِ َ تمؤ ؤىوَ ِمْ توِ ؤىنْؤِْيْالَِا َ ت َمس ًءِ َ َم ت ؤ ؤمى َهسِا َ تن ؤ تم‬
ْ َ‫َىََ َْوَ ِا َ تَ َ َِْ َن‬
َِ‫سسِالَِ َ تِلَ ؤمىو‬
Tuhan-tuhan yng bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan
nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-
nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Yusuf [12]: 39-40)

Beliau adalah orang yang bisa menjaga diri, selalu berhubungan dengan Allah dan meminta
perlindungan kepada-Nya. Firman Allah Swt:
ِ ‫بِ َ ْجت وؤ‬ َ ‫ِقَسل‬ِ َ‫صسق ْْْ و‬
ْ َِْ َ َ‫ِىََئ تْوََِ تمِ َ تُ َلتِ َمسِ َِء ؤم ؤْ ؤهِ ََ ؤ ت َجنَو‬
َِ َ ِ َ‫ِىََ ََؤىنَ توِمْ و‬ َ ‫تِْ َى ت ؤؤؤِع تَوِنَ تُ ْ ؤِْفَس ت َ ت‬
َ ‫ص َم‬ َ ‫قَسََ ت ِفَ َ ََْؤوَ ِ ََ ْيَِؤ تم ؤنَنْيِ ْف ؤ‬
َ َ ََ ‫ِْى‬
ِ‫ع تننؤؤِ ََ تن َ هؤوَ ِيْنَنؤؤِه َؤنى‬ َ ‫ِْمُّنؤؤِفَص‬
َ ِ َ ْ‫َن‬ َ ‫َسبََِنؤؤ‬ ‫ِىاََ ت‬
َ ‫ِفَس ت ن َج‬ِ َ‫ؤنوِمْ نوَ ِ تَجَنس ْهِْل و‬ ‫ِْىيْالَِ َص ْتْ ت ِعَنْيِ ََ تن َ هؤوَ ِاَص ؤ‬
َ َ‫تنبِيََْن ْتهو‬ َ ‫يِمْ َمسِ َ ت عؤىنَنْيِيََْ تؤ‬ ُّ ‫اَح‬
َ ََْ‫َبِي‬
‫َ َمْ ؤعِ تَ َ ْل ؤِم‬
Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi
dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina. Yusuf
berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku’.
Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipudaya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh. Maka
Tuhannya memperkenankan do’a Yusuf. Dia menghindarkan Yusuf dari tipudaya mereka.
Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 32-34)

Umat manusia telah bersaksi bahwa beliau adalah orang yang memiliki sifat ‘iffah, ihsan dan
benar. Dua orang teman beliau di dalam dipenjara telah mengatakan:
َِ‫نَمْئتنَسِمْ َ ت ْى ْلؤِْيْنَسِنَ َْ َ ِمْ وَ ِ تَ ؤمحت ْ نْ و‬
Berikan kepada kami ta’birnya. Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang
yang pandai (menta’birkan mimpi). (QS. Yusuf [12]: 36)

Kemudian, salah seorang dari kedua orang itu –yaitu yang selamat setelah sang raja memperoleh
penjelasan mimpinya- berkata kepada Nabi Yusuf:
‫قِا َ تف ْنَس‬ ْ ِ‫ ؤى ؤ ؤ ِا َ ُّهَس‬
‫َص ْ ؤ‬
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): ‘Yusuf , hai orang yang amat dipercaya,
terangkanlah kepada kami... (QS. Yusuf [12]: 46)

Para wanita itu berkata setelah Yusuf as menolak keluar dari penjara kecuali setelah namanya
dibersihkan:
َِ‫ِْى ْينَؤؤََِمْ وَِِ َصَس ْ قْ و‬ َ َ‫َصِ تَحَقُّ ِاَن‬
َ ‫سِْ َى ت ؤؤؤِع تَوِنَ تُ ْ ؤ‬ ‫علَ تؤِْمْ توِ ؤىءٍ ِقَسََ ِْ تم َْا َ ؤِ تَ َ ْز ْزِ تآلوَ ِ َح ت‬
َ ‫صح‬ َ ِ‫ع ْل تِمنَس‬ َ ‫قؤ تلوَ ِح‬
َ ِ‫َسشِْ ِْ َمس‬
Maha Sempurnah Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya. Berkata isteri al-
Aziz: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya
(kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar’. (QS. Yusuf [12]: 51)

Lalu sang raja berkata setelah mengagumi Yusuf as:


‫ ئت ؤىنْيِمْؤِْا َ ت َ ت ْل ت‬
‫صؤؤِ َْنَ تُ ْي‬
Bawalah Yusuf kepadaku agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku. (QS. Yusuf
[12]: 54)

Begitu juga saudara-saudara Yusuf as berkata setelah beliau memutuskan untuk menahan salah
seorang saudaranya:
َِ‫فَ ؤ تِا َ َح َ نَسِ َمََسنَؤؤِيْنَسِنَ َْ َ ِمْ وَ ِ تَ ؤمحت ْ نْ و‬
Ambillah salah seorang diantara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat kamu
termasuk orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf [12]: 78)

Apa yang dianugerahkan Allah kepada Yusuf as adalah karena ketakwaan dan kesabaran beliau
di dalam keta’atan; juga karena beliau menjauhi maksiat sebagaimana yang dikatakan di dalam al-
Quran:
َِ‫ض ؤعِاَجت َِْ تَ ؤمحت ْ نْ و‬ َ َ‫صِْم تِْفَ ْإو‬
ِْ ‫ِهللاِالَِ ؤ‬ ‫ِى َ ت‬ َ ِ‫ِى َه َ ِا َ ْ يِقَ تِ َموَ ِهللاؤ‬
ْ َ ِ‫علَ تنَسِ ْينَؤؤِ َم تو‬
َ ‫َق‬ َ ‫قَسَؤى ِاَئْنَ َ َِأل َ تن َ ِ ؤى ؤ ؤ ِقَسلَِاَنَسِ ؤى ؤ ؤ‬
Yusuf berkata: ‘Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan
karunianya kepada kami. Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka
sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik’. (QS. Yusuf
[12]: 90)

Apakah masuk akal bahwa orang yang kondisinya seperti itu, dimana Allah bersaksi
untuknya, dan belum pernah menjadi tertuduh bagi siapapun yang pernah menjumpainya, akan
menjadi tertuduh dihadapan sebagian kaum Muslim saat ini? Sesungguhnya tidak dijumpai satu
teks pun di dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara langsung atau pun hanya berupa isyarat,
yang menunjukkan bahwa beliau (Yusuf as) telah memerintah dengan syari’at raja. Yang
tercantum hanya satu hukum yang telah diputuskannya, yaitu:
‫ْيِْحت ْلؤِْفَه َؤىِج ََز ؤ ؤِه‬ ‫قَسَؤى ِج ََز ؤ ؤهِ َم تو ؤ‬
َ ‫ِى ْج َِف‬
Balasannya ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia
sendirilah balasannya (tebusannya). (QS. Yusuf [12]: 75)
Hukum ini sesuai dengan syari’at Nabi Ya’qub as. Disamping itu tidak terdapat satu isyarat pun
bahwa Nabi Yusuf as telah memerintah dengan (hukum) selain apa yang diturunkan Allah. Dan
syubhat (keraguan) yang ada pada mereka ditangkis dengan firman Allah Swt:
ِ ‫ َمسََِسوَ ِ َْ َ ت ؤ َِا َ َ سهؤِفْيِ ْ ْوِ تَ َم ْل ْ ِيْالَِا َ توِ َشَس َء‬
‫ِهللاؤ‬
Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja kecuali Allah
menghendakinya. (QS. Yusuf [12]: 76)

Ayat ini jika ditafsirkan dengan benar akan menghapuskan syubhat tersebut serta merta tuduhan
pun akan gugur.
Ayat tersebut memiliki makna ganda bagi orang yang berpendapat seperti di atas. Mereka
menafsirkannya sesuai dengan sikap mereka. Lalu mereka mengatakan:
Ketika datang tahun-tahun kelaparan, orang-orang datang dari berbagai penjuru kepada
Nabi Yusuf as agar beliau memberikan kepada mereka hasil panen yang telah disimpannya,
dengan didasarkan pada pengaturannya. Raja sendiri telah mewakilkan kepada beliau untuk
mendistribusikannya. Saudara-saudara yusuf pun datang. Beliau mengenali mereka sementara
mereka tidak mengingat beliau. Beliau memberitahu adiknya bahwa beliau adalah saudaranya
seraya menyuruhnya agar tidak merasa sedih. Lalu Yusuf membuat rekayasa atas saudara-
saudaranya dengan meletakkan bejana di dalam kendaraan adiknya. Saudara-saudaranya yang
lain tidak mengetahui perkara itu. Beliau berpura-pura merasa kehilangan bejana tersebut.
Seorang pemanggil mengumumkan bahwa kafilah tersebut telah mencuri dan menjanjikan hadiah
bagi orang yang bisa membawa kembali kafilah itu kepadanya. Saudara-saudara Yusuf pun
menolak segala tuduhan dengan yakin. Saat itu para petugas yang melakukan pembagian jatah
makanan yang juga teman-teman Yusuf berkata:
َِ‫فَ َمسِج ََز ؤ هؤِيْ توِ ؤَ تن ؤ تمََِس ْ مْ و‬
Tetapi apa balasannya jikalau kamu betul-betul pendusta. (QS. Yusuf [12]: 74)

Berkata saudara-saudara Yusuf:


ِ‫ْيِْحت ْلؤِْفَه َؤىِج ََز ؤ هؤ‬ ‫قَسَؤى ِج ََز ؤ هؤِ َم تو ؤ‬
َ ‫ِى ْج َِف‬
Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia
sendirilah balasannya (tebusannya). (QS. Yusuf [12]: 75)

Maknanya adalah bahwa pencuri dihukum dengan menjadi budak, dan hal ini merupakan syari’at
Nabi Ya’qub as. Maka, tempat-tempat milik mereka diperiksa lebih dahulu sebelum tempat
(karung) adiknya. Kemudian dari dalam karung adiknya ditemukan bejana. Saat itu, balasan bagi
orang yang mencuri adalah menjadi budak (dijadikan hamba sahaya). Setelah itu datang ayat
yang menyebutkan tentang Nabi Yusuf as:
ِْ ‫ َمسََِسوَ ِ َْ َ ت ؤ َِا َ َ سهؤِفْيِ ْ ْوِ تَ َم ْل‬
Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut unang-undang raja. (QS. Yusuf [12]: 76)

Sebagian ulama menafsirkan dengan syari’at dan sistem raja. Artinya, raja di Mesir pada waktu itu
mempunyai syari’at dan sistem pemerintahan tersendiri. Dan sayidina Yusuf as memerintah
dengan syari’at dan sistem pemerintahan milik raja. Memang benar bahwa Nabi Yusuf as telah
merekayasa agar saudaranya tetap tinggal disampingnya. Beliau menggunakan rekayasa halus
agar mereka mengatakan tentang sanksi bagi pencuri sehingga mereka diadili dengan dasar
pernyataannya itu. Yusuf tidak mengatakan kepada mereka bahwa hukuman bagi seorang pencuri
menurut syari’at raja adalah demikian dan demikian, akan tetapi beliau memperlakukan mereka
hingga mereka mengucapkan hukum berdasarkan syari’at Nabi Ya’qub as, dengan tujuan agar
adiknya tetap (dapat) tinggal bersamanya.
Begitulah tafsir ayat yang menyebabkan mereka memiliki pemahaman seperti itu.
Apabila kita meneliti kata dîn di dalam bahasa Arab, kita akan menemukan bahwa kata itu
berbentuk musytarak (mengandung lebih dari satu arti). Di dalam kamus Lisanul Arab tercantum:
‘Dîn berarti al-qahr (paksaan) dan ath-thaa’ah (taat), terdapat dalam perkataan dantahum fadânû
ai qahartahum fa’athâ’û. Dîn juga berarti jazâ wa al-mukâfaah (balasan dan hadiah). Jadi, engkau
akan mengatakan dantahum bi fi’lihi dînan yang artinya jazaitahu. Sedangkan yaumuddîn berarti
juga yaumuljazâ. Dîn juga bisa berarti hisâb (perhitungan). Diantaranya adalah firman Allah Swt:
‫و‬
ِْ ْ َ ِ‫ َمس َْ ْ ِ تَى ْم‬
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. al-Fatihah [1]: 4)

Dîn bisa juga berarti syari’at dan kekuasaan. Diantaranya adalah firman Allah Swt:
َ ٌ‫ َىقَس ْلؤى ؤه تمِ َح َ ِالَِ ََؤىوَ ِفْ تنَي‬
ِْ ِ ‫ِى ََؤىوَ ِ َ ْ وؤ‬
*********
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah, dan (sehingga) kekuasaan itu semata-
mata untuk Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 193) *******

Dîn juga berarti kehinaan dan perbudakan. Madîn berarti hamba, dan madînah artinya hamba
perempuan. Penjelasannya berdasarkan firman Allah Swt:
َِ‫اَئْنَسََِ َم ْ نؤىو‬
Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan? (QS. ash-
Shaaffaat [37]: 53)

Makna dîn juga berarti mamlûkûn (diperbudak), berdasarkan firman Allah Swt:
‫ َىنَحت وؤ ِا َ تق َْ ؤ‬
ْ ‫بِ ْيََ تؤِْمْ تن ؤَ تمِ َىَََ تْوِالَِ ؤم‬
َِ‫تص ؤْىو‬
Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah), kamu tidak mengembalikan nyawa itu
(kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar. (QS. al-Waaqi’ah [56]: 85)

Artinya ghairu mamlûkûn (tidak diperbudak).


Lalu, apa makna yang dimaksudkan oleh Allah Swt dari kata dîn pada ayat tersebut? Untuk
memilih satu dari beberapa makna yang ada harus ada qarînah (indikasi) sehingga kita bisa
mengambil satu makna saja, bukan yang lainnya. Berdasarkan hal ini tampak jelas bahwa siapa
saja yang memilih makna sesuai dengan kepentingannya dan sesuai dengan arahan yang ingin
dicapainya berarti dia telah menjadikan hawa nafsunya menguasai syara’. Dan siapapun yang
mengambil makna yang telah ditetapkan dan terikat dengan indikasi-indikasi yang sesuai dengan
syara’, berarti dia berhukum dengan syara’, dan konsisten dengan perintah Rabbnya. Jadi, makna
yang mana yang dimaksudkan (oleh mereka)?
Apabila makna yang dimaksud dengan kata dîn adalah syari’at, maka kami menjumpai
adanya indikasi-indikasi yang menghalangi pemahaman ini. Lagi pula pengertian ini memunculkan
satu pengertian bahwa Nabi Yusuf telah melakukan musyarakah. Padahal perkara tersebut
diharamkan atas para Nabi maupun orang-orang yang beriman, dan bertentangan dengan tabi’at
risalah yang tegak di atas ke-Esaan Allah dalam penyembahan maupun tasyri’. Allah Swt
berfirman:
ِْ ‫ِْ ؤى ٍلِ ْيالَِنؤىحْ يِ ْيََ تؤِْاَنَؤؤِالَِ ْيََؤَِ ْيالَِاَنَسِفَس تعمؤ‬
‫ؤىو‬ َ ‫ َى َمسِا َ تْ َ تلنَسِمْ توِقَ تم ْل َ ِمْ تو‬
Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami mewahyukan
kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah oleh
kalian akan Aku’. (QS. al-Anbiyaa [21]: 25)

Dalam perkara ini justru Nabi Yusuf as yang mengatakan kepada manusia:
ْ َ‫ِىََ َْوَ ِا َ تَ َ َِْ َن‬
َِ‫سسِالَِ َ تلَ ؤمىو‬ َ ‫ ْي ْوِ تَ ؤح تَ ؤِمِ ْيالَِ ِْا َ َم َِْاَالَِ َ تمؤ ؤى ِ ْيالَِ ْي َسهؤِ َ َْ َ ِ َ ْ وؤ ِ تَ َ ْ ؤم‬
Keputusan itu hanya milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 40)

Tidak mungkin Yusuf as melanggarnya dengan menerima hukum tuhan-tuhan lain yang
bermacam-macam. Nabi Syu’aib as juga kepada kaumnya:
َ ِ‫ َى َمنننننننننننننننننننننسِا ؤ ْْ ننننننننننننننننننننن ؤِا َ توِا ؤ َ نننننننننننننننننننننس ََُْ ؤَ تمِيََْننننننننننننننننننننن ِ َمنننننننننننننننننننننسِا َ تنهَنننننننننننننننننننننس ؤَ تم‬
ِ َِ َ‫ع تننننننننننننننننننننننؤؤِيِْ توِا ؤ ْْ ننننننننننننننننننننن ؤِيْالَِ ت ْإلصتنننننننننننننننننننننال‬
ِ‫ِىيََْ تؤِْاؤنْ ؤ‬
‫ب‬ َ ‫علَ تؤِْ َ َى ََ تل ؤ‬
َ ِْ ‫ِى َمسِ َ تىفْ ْيِيْالَِمْس‬ َ َ ‫َمسِ ت‬
َ ‫كت ؤ‬
Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang . Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan
hanya kepada Allah aku kembali. (QS. Huud [11]: 88)

Menurut al-Qurthubi tafsirnya adalah: ‘Tidak mungkin aku melarang kalian terhadap sesuatu
sementara aku melakukannya, sama halnya aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku
sendiri perintahkan kepada kalian’.
Apabila arti yang dimaksud dari kata dîn adalah perbudakan, maka ayat itu berarti bahwa
adiknya menjadi madîn, yaitu menjadi mamlûk (budak). Makna ini sangat sesuai dengan makna
yang terkandung sebelumnya, yaitu perkataan saudara-saudara Yusuf bahwa (hukuman bagi)
pencuri adalah menjadi budak. Jadi, arti ayat tersebut adalah: ‘Tidaklah Yusuf mengambil adiknya
sebagai budak bagi raja, dan menjadikannya madîn atau budak yang dimilikinya, kecuali atas
kehendak Allah’. Inilah makna yang lebih mendekati kebenaran, dan tidak ada makna syar’i yang
mencegah makna tersebut. Bahkan sangat sesuai dengan makna sebelumnya dan selaras
dengan apa yang dikatakan Allah tatkala menyebutkan bahwa Nabi Yusuf as adalah termasuk
orang-orang yang berbuat ihsan dan ikhlas, dan sesuai pula dengan kesaksian manusia terhadap
beliau.
Dengan demikian penafsiran yang bertentangan dengan kema’shuman para Nabi tertolak
dan mereka tidak akan terjatuh dalam maksiat serta tidak akan mengatakan apa yang tidak
mereka lakukan.
Adapun tafsir tentang perkataan sayidina Yusuf as kepada raja Mesir:
‫ع ْل ٌِم‬
َ ِ‫ظ‬ ْ ْ‫علَ ِ َ َز ئ ْْوِ تأل َ ت‬
ٌ ُْ ‫ضِ ْينْيِ َح‬ َ ِ‫ جت َ تلنْي‬
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan. (QS. Yusuf [12]: 55)
Orang yang mengatakan bahwa Nabi Yusuf telah meminta jabatan sebagai menteri
perbendaharaan negara lalu ketika menjabatnya tidak menerapkan syari’at Nabi Ya’qub as
melainkan menerapkan sistem milik raja, merupakan pernyataan yang tidak berdasar dan tidak
proporsional. Penafsiran seperti itu salah besar dan bias dari mazhab yang benar. Kita wajib
mencermati beberapa poin untuk memperjelas masalah ini:
Pertama, sesungguhnya fakta pemerintahan pada masa itu adalah sistem kerajaan. Sistem
pemerintahan di dalam sejarah memiliki dua bentuk. Yang pertama adalah monarki absolut,
dimana seorang raja adalah penguasa mutlakatas seluruh perintahnya, pendapatnya bersifat
memaksa. Jadi, pendapatnya wajib dijalankan. Raja tidak taat kepada siapapun dalam
pemerintahannya. Ditangannya terkumpul tiga kekuasaan: yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Raja berhak mengangkat dan memberhentikan pembantu-pembantunya sesuka hatinya.
Kadang-kadang raja memilih mereka karena kesetiaannya, atau karena bermanis muka dihadapan
raja, atau karena hikmah dan kebijaksanaan mereka serta kemampuan mereka dalam mengatur
sesuatu. Para pembantu raja itu hanya perlu taat dan setia kepada raja agar mereka diberikan
kebebasan untuk menghukum dengan pendapat mereka. Artinya, mereka menjadi tiran dengan
pendapat-pendapat mereka sehingga mereka sama seperti penjelmaan dari raja.
Kedua, sistem monarki parlementer. Raja di dalam sistem ini tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak.
Kedaulatan berada ditangan UUD dan undang-undang, bukan lagi ditangan raja. Lembaga
legislatif didirikan untuk menyusun undang-undang yang menggantikan raja. Diadakan juga
lembaga eksekutif yang menjalankan undang-undang, menggantikan posisi raja. Termasuk
lembaga yudikatif yang memutuskan perkara dan persengketaan yang terjadi di masyarakat,
menggantikan posisi raja. Bentuk seperti ini mulai dikenal setelah tersebarnya ide demokrasi. Oleh
karena itu dinamakan sistem monarki parlementer. Lalu, bentuk yang mana dari dua bentuk
kerajaan ini yang menjadi sistem kerajaan di Mesir pada zaman Nabi Yusuf as?
Tidak mungkin kalau raja Mesir dimasa sayidina Yusuf as menjalankan sistem monarki
parlementer yang dibatasi oleh UUD dan peraturan. Lagi pula yang dimaksud dengan kata dînul
malik tidak sama seperti makna yang mereka lontarkan, yaitu syari’at raja. Menganalogkan sistem
pemerintahan pada masa Nabi Yusuf as dengan sistem-sistem yang ada sekarang ini, yang
mengatur tingkah laku para penguasa, merupakan pendapat yang mendekati kebenaran tetapi
analoginya salah.
Permintaan Nabi Yusuf as kepada raja agar dijadikan sebagai menteri perbendaharaan
negara lalu raja mengabulkan permintaannya itu, tidak berarti bahwa permintaannya itu terkait
dengan sistem pemerintahan. Topik pembahasan di dalam al-Qur’an terbatas tentang mimpi dan
tidak mencakup perkara di luar itu. Yaitu berkaitan dengan panen gandum dan tahun-tahun yang
subur dan berganti dengan tahun-tahun kering; dan apa yang harus dilakukan dalam kondisi itu.
Nabi Yusuf as meminta agar diberikan kepadanya urusan tentang penyimpanan gandum dan
pengaturan distribusinya pada tahun-tahun yang subur dengan tidak melalaikan tugasnya dan
tidak akan berkhianat. Tugas ini sangat sulit sehingga tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-
orang yang kuat, terpercaya, penjaga dan berilmu, seperti Yusuf as. Peristiwa yang terjadi antara
Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya benar-benar hanya terkait dengan perkara ini. Kita tidak
bisa melampaui format tersebut dan memperluas wilayah tugas Nabi Yusuf menurut kehendak
kita. Kita tidak berhak mengatakan bahwa tugas Nabi Yusuf ini berkaitan dengan tahun-tahun
pemungutan harta dan dibelanjakan untuk pembantu-pembantu raja, keluarganya, tentaranya dan
rakyatnya. Jika demikian tentu akan berjalan sesuai dengan aturan raja, dan bukan dengan
syari’at Nabi Ya’qub. Perluasan (penafsiran seperti) ini membutuhkan dalil.
Dapat disimpulkan bahwa ketika raja terkagum-kagum dengan kebijakan Nabi Yusuf,
dengan kekuatan akal dan kecerdikannya, maka raja menjadikannya sebagai orang
kepercayaannya, dan memberikan kepadanya wewenang untuk mengatur masalah yang penting
ini. Jabatan ini membuat Nabi Yusuf as amat sibuk sejak pengungkapan ta’bir mimpi sang raja.
Tentu saja raja telah memberikan kebebasan baginya dalam perkara itu agar tidak ada
seoarangpun yang turut campur.
Dengan demikian sayidina Yusuf tidak hanya sekedar menafsirkan mimpi semata, melainkan
juga memberikan kepada raja solusi dan pengaturan yang sesuai. Hal itu menyebabkan raja
merasa tenang dengan permintaan Nabi Yusuf as agar menjadikannya sebagai orang yang
mengatur perbendaharaan negara dan memberikannya kebebasan dalam mengatur. Raja tidak
mengatakan: ‘Saya memiliki syari’at (aturan) dan anda wajib mengikutinya’. Tetapi, yang terjadi
justru raja merasa ridha dengan tafsir mimpinya itu, lalu dijadikan sebagai solusi. Maka raja
mengangkatnya sebagai petugas penyimpanan dan distribusi, menurut pendapatnya.
Setelah tahun-tahun kekeringan datang, Nabi Yusuf menjadi tumpuan harapan manusia
untuk menyelamatkan diri mereka dari kelaparan. Dan tentu saja beliau menjadi bahan
pembicaraan para kafilah karena keadilan dan pengaturannya. Hal ini dengan sendirinya akan
memperkuat kedudukannya disisi raja dan beliau semakin dekat kepadanya. Diduga hal inilah
yang menjadikannya menempati posisi al-aziz sebagaimana saudara-saudaranya yang menyebut
beliau:
‫ َسا َ ُّهَسِ تَ َ ْز ؤِز‬
Wahai al-aziz. (QS. Yusuf [12]: 78)

Hingga akhirnya beliau diberikan kerajaan setelah kedatangan kedua orang tuanya dari desa.
Beliau berdoa kepada Rabbnya:
ِْ ‫بِقَ تِ َء َ ت َنْيِمْ وَ ِ تَ ؤم تل‬
ْ َْ 
Ya Tuhanku, sesugguhnya engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan. (QS.
Yusuf [12]: 101)

Dari sinilah firman Allah tentang beliau:


َ ِْ‫ َى َْفَ َعِاَم ََى تؤ‬
ِ ْ ْ‫علَ ِ تَ َ ت‬
‫ش‬
Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya keatas singgasana. (QS. Yusuf [12]: 100)

Ini menunjukkan bahwa kekuasaan pada akhirnya berpindah kepada beliau.


Sesungguhnya satu-satunya hukum yang disebutkan al-Qur’an dan Nabi Yusuf telah
menerapkannya adalah saudaranya dijadikan sebagai budak, berdasarkan syari’at Nabi Ya’qub.
Jadi, mengapa hal ini tidak dianggap sebagai penentangannya terhadap aturan raja, seandainya
raja memiliki peraturan yang bersifat tetap dan khusus.
Tidak mungkin Nabi Yusuf melakukan pelanggaran syara’, karena beliau adalah seorang
Nabi yang bersifat ma’shum. Allah Swt telah menyebutnya sebagai muhsin, mukhlis dan bertakwa.
Beliau lebih mengutamakan penjara dari kesesatan. Beliau sendiri yang meminta dimasukkan ke
dalam penjara. Beliau pula yang menolak untuk keluar dari penjara kecuali nama baiknya
dibersihkan. Beliau adalah orang yang sifat ‘iffah dan kesuciannya membuat kagum orang-orang
kafir yang mengenalnya, mulai dari istri al-azîz sampai para wanita yang ada di kota itu, termasuk
dua orang temannya di dalam penjara. Begitu juga raja dan saudara-saudaranya, setelah mereka
mengetahui siapa beliau yang sebenarnya.
Perlu diketahui bahwa penafsiran atas realita yang terkait dengan sayidina Yusuf dan
keadaan raja saat itu, apakah raja masuk Islam atau tetap di dalam kekufuran; atau penafsiran
bahwa kerajaan telah berpindah ke tangan Nabi Yusuf disebabkan karena kematian raja, atau
mungkin diserahkan kepada belaiu, atau mungkin juga mengundurkan diri, atau meninggalnya raja
sebelumnya adalah penafsiran yang bersifat dugaan (tidak pasti). Allah Swt berfirman:
ِ ‫ َمسََِسوَ ِ َْ َ ت ؤ َِا َ َ سهؤِفْيِ ْ ْوِ تَِ َم ْل ْ ِيْالَِا َ توِ َشَس َء‬
‫ِهللاؤ‬
Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendakinya. (QS. Yusuf [12]: 76)
ِ ْ ْ‫علَ ِ َ َز ئ ْْوِ تأل َ ت‬
‫ض‬ َ ِ‫ جت َ تلنْي‬
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). (QS. Yusuf [12]: 55)

Setiap penafsiran diatas merupakan penafsiran yang bersufat dzanni dilihat dari aspek manapun.
Alasannya, karena al-Qur’an tidak membekali kita dengan rincian yang dibutuhkan. Lagi pula
rinciannya bukanlah sesuatu yang kita perlukan. Walau hal ini tidak memalingkan perhatian kita
terhadap apa yang telah kami sebutkan, yaitu bahwa syari’at tersebut bersifat dzanni sebagaimana
yang lainnya. Namun demikian, perbedaan antara syari’at yang harus kita jalankan dengan syari’at
lainnya adalah bahwa sesungguhnya syari’at yang harus kita jalankan sesuai dengan apa yang
seharusnya ada pada para Nabi, yaitu ketakwaan dan keimanan; juga tidak bertentangan dengan
kema’shuman mereka yang telah ditetapkan di dalam pokok-pokok agama. Pemahaman tersebut
diatas amat jauh dari kebenaran tatkala bertentangan dengan ucapan yang bersifat pasti, yang
diutarakan sendiri oleh Nabi Yusuf tatkala beliau mengingkari orang-orang yang menganut akidah
syirik seraya meninggalkan tahkim kepada Allah sebagaimana yang telah diperintahkan kepada
kita. Dalam menjelaskan kejadian yang menimpa Nabi Yusuf as kita tidak ingin menelaah
pendapat lain yang mendukung pendapat kami tentang tidak bolehnya bergabung dalam sistem
pemerintahan (kufur). Cuku[lah dikatakan bahwa pendapat kami adalah hukum syara’, bukan
hukum syara’ yang dzanni, melainkan qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dilalah (pasti
penunjukkan).
Ada orang yang mengatakan bahwa Nabi Yusuf as telah memerintah
berdasarkan syariat raja dengan izin Allah. Dan hal itu bukan merupakan penentangan terhadap
Rabbnya. Untuk menjawab masalah ini ada dua kemungkinan. Mungkin izin itu hanya diberikan
pada Nabi Yusuf, atau izin itu bersifat umun berlaku untuk semua, dengan kata lain berhukum
dengan syariat kafir ketika itu disyariatkan.
Pada kondisi pertama, yaitu jika izin itu hanya untuk Nabi Yusuf as, maka manusia lainnya
tidak boleh melakukannya. Dan kita sekarang ini tidak boleh meneladaninya ataupun berhujjah
dengannya.
Sedangkan pada kondisi kedua, yaitu jika memang disyari’atkan di zaman mereka, maka hal
itu berarti merupakan syari’at sebelum kita (syar’un man qablana). Lalu, apakah syari’at yang telah
diturunkan sebelum kita merupakan syari’at juga bagi kita? Sekelompok ulama fiqih maupun ushul
fiqih telah meletakkan kaedah: Syar’un man qablana laisa syar’an lana (syariat orang-orang
sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita). Mereka menggunakan banyak sekali nash-nash sebagai
dalil yang menunjukkan bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw telah menasakh
(menghapus) syari’at sebelumnya secara umum, dan menasakh bagian-bagiannya, untuk
memperkuat penghapusan itu. Apabila kita mengambil pendapat ini maka kita tidak boleh
meneladani apa pun yang telah dilakukan Nabi Yusuf atau Nabi-Nabi lain yang terdahulu. Akan
tetapi sekelompok ulama fiqih dan ushul fiqih lain membuat kaedah yang berbeda: Syar’un man
qablana syar’un lana ma lam yunsakh (syari’at orang sebelum kita merupakan syari’at bagi kita
selama belum dinasakh). Mereka juga memiliki dalil-dalil. Sebab, menurut mereka, jika di dalam
syari’at-syari’at sebelumnya itu tidak ada satu manfatpun bagi kita maka tidak mungkn al-Qur’an
menyebutkannya untuk kita. Mereka ini tidak berpendapat (sebagaimana yang dikatakan kelompok
sebelumnya) bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw telah menasakh syari’at para
Nabi terdahulu secara keseluruhan. Mereka justru berpendapat bahwa apa yang disebutkan di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tentang syari’at-syari’at para Nabi terdahulu, hal itu dianggap
sebagai syari’at bagi kita, kecuali yang telah dinasakh al-Qur’an, kemudian menggantikannya bagi
kita dengan hukum-hukum yang baru.
Apabila kita gunakan kaedah ini terhadap perkara yang sedang kita bahas, maka apa yang
akan kita dapatkan? Apakah ada di dalam syari’at kita nash-nash yang mengharamkan berhukum
dengan selain apa yang diturunkan Allah? Apakah didalam syari’at Muhammad saw ada
peringatan keras terhadap penyelewengan (meskipun hanya sedikit) terhadap syari’at Muhammad
ini?
Benar, syari’at Nabi Muhammad saw telah melarang untuk berhukum kepada selainnya,
dan mengharamkam secara qath’i untuk mengambil hukum-hukum kafir dan hukum jahiliyyah
apapun bentuknya. Apabila ada yang mengatakan bahwa hal itu telah disyari’atkan pada masa
Nabi Yusuf, maka kami mengatakan kepadanya: meskipun hal itu disyari’atkan, akan tetapi telah
diharamkan (dinasakh) oleh syari’at al-Qur’an.
Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan
oleh Allah merupakan ushul (pokok) bukan termasuk furu’ (cabang), adalah perkataan yang tidak
pada tempatnya. Sebab, masalah aqâ’id tempatnya adalah di dalam hati, dan masalah-masalah
hukum tempatnya pada anggota tubuh. Akidah merupakan asas bagi hukum-hukum syara’,
sementara hukum-hukum adalah buah dari akidah.
Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba mengandung dua aspek:
Pertama: Nadhariy I’tiqâdîy (bersifat teori dan keyakinan) yang wajib diyakini. Aspek ini berkaitan
dengan masalah akidah. Jika seseorang tidak mengakui perkara itu sebagai suatu kewajiban
maka dapat menyebabkannya terjatuh ke dalam kekufuran atau maksiat, tergantung pada
faktanya, apakah perkara qath’i atau dzanni.
Kedua: Amaliy (bersifat praktis) yang berkaitan dengan penerapannya.
Shalat adalah fardlu. Wajib untuk mengakuinya sebagai fardlu.
Tidak adanya pengakuan bahwa perkara ini adalah fardlu akan menjatuhkan seseorang pada
kekufuran
Shalat juga adalah fardlu yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah fardlu. Tidak
dijalankannya shalat sebagai sebuah fardlu akan menjatuhkan seseorang kepada perbuatan
maksiat.
Begitu pula dengan khamar yang diharamkan. Wajib mengakui keharamannya. Jika
seseorang mengatakannya boleh akan menjatuhkannya kepada kekufuran.
Khamar adalah haram. Dan diharamkan untuk meminumnya. Meminum khamar dapat
menjatuhkan seseorang kepada maksiat.
Demikian juga berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah adalah fardlu.
Pengakuan terhadap perkara ini berkaitan dengan keimanan kepada nash qath’i yang
menyebutkannya. Adapun penerapannya merupakan ketaatan, dan tidak menerapkannya berarti
maksiat. Orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah menjadi kafir jika tidak
mengakuinya, atau mengingkarinya. Orang itu maksiat (tidak kafir) apabila dia mengakuinya, akan
tetapi dia tidak menerapkannya.
Oleh karena itu perkataan yang menyebutkan bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan
oleh Allah adalah termasuk perkara ushul (pokok) yang telah disepakati, maka hal itu merupakan
aspek pertama, dan (pernyataan) ini benar. Adapun aspek yang kedua, terkait dengan aspek
amaliy (praktis). Artinya berhubungan dengan syari’at dan penerapannya. Dengan kata lain
berhubungan dengan perkara furu’ (cabang) bukan dengan ushul (pokok). Dalam pembahasan ini
termasuk ke dalam topik: Apakah hal itu termasuk didalam syari’at orang-orang sebelum kita atau
bukan?
Dalam pembahasan ini kami telah menetapkan bahwa sayidina Yusuf as tidak bergabung di
dalam sistem pemerintahan (kufur) dan penafsiran (yang membolehkannya) tidak patut dijadikan
sebagai penafsiran. Pembicaraan orang-orang yang disebut sebagai pakar itu sesungguhnya
tertolak dengan bahasa mereka sendiri. Karena syari’at orang-orang sebelum kita -menurut para
ulama- ada dua pendapat. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa syari’at orang-orang
sebelum kita bukan merupakan syari’at bagi kita. Pendapat ini menegasikan bolehnya bergabung
dengan sistem pemerintahan jahiliyah. Pendapat yang membolehkannya (bergabung) dengan
sendirinya tertolak. Sedangkan pendapat yang kedua menyebutkan bahwa syari’at orang-orang
sebelum kita merupakan syari’at bagi kita selama belum dinasakh. Dalam perkara ini perlu diingat
bahwa banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun kenyataan (perilaku) Rasulullah saw, terutama
ketika beliau berupaya mendirikan pemerintahan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah; begitu
juga akidah maupun hukum-hukum yang pokok, seluruhnya telah menunjukkan tentang tidak
bolehnya bergabung dengan sistem pemerintahan kufur. Islam secara keseluruhan menolak
pemahaman seperti ini. Seandainya bergabung di dalam sistem pemerintahan kufur merupakan
sesuatu yang disyari’atkan di dalam syari’at orang-orang sebelum kita, maka hal itu merupakan
salah satu yang dinasakh oleh syari’at kita, berdasarkan kepada dalil-dalil (yang
mengharamkannya) dan amat banyak jumlahnya.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa setiap perkara yang disebutkan oleh sirah para
Nabi dan petunjuk mereka, tidak lain untuk diteladani dan diikuti. Maka pendapat ini memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Seluruh Nabi-Nabi memiliki kesamaan di dalam perkara akidah. Mereka mengajak untuk
beriman kepada Allah yang Maha Esa, Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Mereka juga
mengajak untuk beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari
akhir. Allah Swt berfirman:
ِْ ‫ِْ ؤى ٍلِيْالَِنؤىحْ يِيََْ تؤِْاَنَؤؤِالَِيََْؤَِيْالَِاَنَسِفَس تعمؤ‬
‫ؤىو‬ َ ‫ َى َمسِا َ تْ َ تلنَسِمْ توِقَ تم ْل َ ِمْ تو‬
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh
kamu sekalian’. (QS. al-Anbiya [21]: 25)
Para Nabi memiliki kesamaan dalam hal kewajiban untuk tabligh (menyampaikan wahyu),
menanggung risiko dan kesulitan-kesulitannya, bersabar melaksanakan perintah Allah dan
berkorban di dalam melaksanakan perintah Allah.
َِ‫ِْىََ َ تِجَس َء َ ِمْ توِنَمَ ْإِ تَ ؤم تْ َ ْل و‬ َ َ‫ِىاؤى ؤى ِ َح َ ِا َ َس ؤه تِمِنَص ؤتْن‬
َ ‫سِىالَِ ؤممَ ْ لَِ َْ ََ ْل َمس ِْهللا‬ َ ‫علَ ِ َمسِ ؤَ ْ مؤى‬ َ َ‫ِْ ؤلٌِمْ توِقَ تم ْل َ ِف‬
َ ِ ‫صم ؤَْى‬ ‫ َىََ َ تِ ؤَ ْ مَ ت ؤ‬
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar
terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang
pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul
itu. (QS. al-An’aam [6]: 34)

Para Nabi juga memiliki kesamaan di dalam hal menyeru kaumnya agar bersikap konsisten
dan taat. Allah Swt berfirman:
ِْ ِ‫كسعَِمْ ْإ ت ْو‬
‫هللا‬ َ ‫ َى َمسِا َ تْ َ تلنَسِمْ تو‬
َ ‫ِْ ؤى ٍلِيْالَِ َْ ؤ‬
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (QS. an-
Nisa [4]: 64)

Mereka pun memiliki kesamaan, yaitu didustakan oleh kaum mereka dan dakwah mereka
diolok-olok. Allah Swt berfirman:
َ ‫علَ ِ تَ ْ مَس ِْ َمسِ َ ت ْ ْه تمِمْ تو‬
َِ‫ِْ ؤى ٍلِيْالَََِسنؤى ِمْؤِْ َ ت َه ْتزئ ؤىو‬ َ ًِ َْ ‫ َس َح ت‬
Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasul pun
kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya. (QS. Yasin [36]: 30)

Allah Swt juga berfirman:


َ ْ‫ِ َىََنؤ ت ن َْنَنَ ؤَ ؤمِ تأل َ ت‬ِ َ‫ظسَْمْ و‬
‫ضِمْ ت‬
ِ‫نوِمَ تن ْ ْه تم‬ َ ‫ َىقَسلَِ ََ ْ وَ ِ َََُ ؤْى َِ ؤْْ ؤل ْْه تمََِنؤ ت ْْ َجنَ ؤَ تمِمْ توِا َ تْ ْضنَسِا َ تىََِ َ ؤى ؤوَ ِفْيِمْ لَ ْنَسِفَ َ تى َح ِيََْ ْته تِم‬
َ َ ِ َ‫ِْمُّ ؤه تمََِنؤ ته ْلََو‬
ِْ ‫ِى ْع‬ َ ْ‫َ َْ َ ِ َْ َم توِ َ س َ ِ َم َسم‬
َ َ ‫يِى َ س‬
Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir
kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami’. Maka Tuhan mewahyukan
kepada mereka: ‘Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang dzalim itu dan Kami pasti
akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka, yang demikian itu (adalah untuk)
orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan takut kepada ancamanku’. (QS.
Ibrahim [14]: 13-14)

Mereka juga memiliki kesamaan di dalam hal pertolongan Allah yang selalu datang di bagian
akhir. Allah Swt berfirman:
َِ‫ِىالَِ ؤ َْ ُِِّ َم ت ؤنَسِع َْوِ تَ َ تى ْمِ تَ ؤمجت ْْمْ و‬ َ ‫ظنُّى ِاَنَ ؤه تمِقَ تِ ؤَ ْ مؤى ِجَس َء ؤه تمِنَص ؤتْنَسِفَنؤ ْج‬
َ ‫يِ َم توِنَشَس ؤء‬ َ ‫ؤِى‬
َ ‫َْ ؤل‬ َ ‫ َح َ ِ ْي َ ِ ت َ تئ‬
ُّ ِ‫َس‬
Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah
meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu
diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada
orang-orang yang berdosa. (QS. Yusuf [12]: 110)
Demikianlah dakwah para Nabi itu seluruhnya memiliki kesamaan dalam banyak aspek yang
telah kami sebutkan sebagiannya. Dan bagi orang-orang yang terdahulu terdapat kondisi-kondisi
yang perlu untuk diingat. Allah Swt telah menyebutkannya untuk kita agar kita bisa mengambil
pelajaran, mengambil ibrah, memperoleh nasehat dan petunjuk untuk menetapkan iman,
memperkuat azam (niat) dan menambah kesabaran. Selain itu juga untuk memastikan bahwa
untaian dakwah itu satu simpul dalam aspek akidahnya, dan aspek dakwahnya konsisten dengan
metode Yang Maha Mengetahui, termasuk dari segi resikonya. Ayat-ayat itu datang untuk
menerangi setiap muslim tentang sifat-sifat dakwah dan tabi’at manusia dalam menghadapinya.
Hal itu juga sama dengan menyodorkan kepada musuh agar memilih antara kufur atau iman.
Bahwa pertarungan diantara keduanya tidak akan pernah berhenti. Juga agar loyalitas kita hanya
ditujukan kepada Allah, terbebas dari syirik, dan adanya campur tangan Rabb setelah kita memilih
keimanan dan menguji niat kita.
Sirah para Nabi dijadikan suri tauladan dari segi sikap-sikapnya, bukan dari aspek syari’at
yang mereka bawa. Sebab, Allah Swt telah memberikan kepada setiap Nabi itu aturan-aturan yang
berbeda. Allah berfirman:
َِ ً‫ ََْ ٍؤلِ َج َ تلنَسِمْ تن ؤَ تمِش تْْعَي‬
‫ِىمْ تنهَس ًجس‬
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan manhaj (jalan) yang terang.
(QS. al-Maidah [5]: 48)

Setiap Nabi diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan Rasulullah saw diutus kepada
seluruh umat manusia. Risalah beliau adalah risalah penutup. Allah telah memerintahkan seluruh
pemeluk agama-agama lain untuk mengikuti risalah ini dan meninggalkan syari’at mereka. Allah
Swt berfirman:
‫يْوَ ِ َ ْ وَ ِ ْع تن َِهللاِْ ت ْإل ت الَ ؤِم‬
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19)
َ ‫ق َتِْ ت ْإل ت الَ ْمِ ْ نًسِفَلَ توِ ؤ تمَلَِمْ تنؤؤ‬
َِ‫ِىه َؤىِفْيِ تآل ْ َْ ِْمْ وَ ِ تَ َ س ْْْ و‬ َ ِْ‫ َى َم توِ َ تم َغ‬
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85)
‫علَ ت ِْؤ‬
َ ِ‫ِى ؤم َه تمْ نًس‬
َ ‫ب‬ْ ‫ص ْ قًسِ َْ َمسِمَ توَ ِ َ َ تؤِْمْ وَ ِ تَ َْ َس‬
َ ‫َقِ ؤم‬ َ َ َْ َ‫ َىا َ تن َز تَنَسِ ْيََ ت َ ِ ت‬
ْ ‫سبِ ْمس تَح‬
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu. (QS. al-Maidah [5]: 48)

Tabiat risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berbeda dengan tabi’at risalah
lainnya dari segi keadaannya sebagai risalah penutup yang sempurna. Dan eksistensi Daulah
Islamiyah merupakan aspek penting dari risalah ini. Daulah Islamiyah dianggap sebagai metode
yang syar’iy untuk memelihara Islam, menerapkan dan menyebarkannya. Sedangkan kita telah
menemukan pada para Nabi terdahulu kekhususan di dalam dakwah. Mereka diutus kepada
kaumnya, bukan kaum yang lain. Ini berarti bahwa risalah itu terbatas hanya untuk waktu dan
tempat tertentu. Berbeda dengan Islam, yang hukum-hukumnya bersifat tetap, dan layak untuk
setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu risalah Islam tidak boleh dianalogkan dengan yang
lainnya. Kaum Muslim harus mengambil hanya dari syariat Islam saja, bukan dari syariat lainnya.
Hukum-hukum syariat Islam saling berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sesuai dengan
tabiat risalah itu. Dan hendaklah kita mengambil sebagai contoh (bukan membatasi) risalah Nabi
Isa as. Risalah Nabi Isa sangat berbeda dengan risalah Nabi Muhammad saw. Begitu pula dengan
risalah Nabi Musa. Baik risalah Nabi Isa maupun Nabi Musa as berkaitan dengan akhlak dan
peribadatan. Tidak ada di dalamnya dakwah untuk mendirikan negara. Risalah itu khusus untuk
bani Israil. Jadi, bagaimana mungkin bisa disamakan hukum-hukum syara’ di antara keduanya?
Sungguh kami sangat menyayangkan jika salah seorang dari kita membahas perkara-
perkara agama yang sudah jelas di berbagai kesempatan. Itu menunjukkan sampai derajat mana
kemunduran para da’i sekarang ini. Tidak ada yang bisa kami katakan dalam perkara ini kecuali
apa yang dikatakan al-Qur’an kepada sayidina Muhammad saw:
َِ‫ِْى َِمسِاَنَسِمْ وَ ِ تَ ؤمش ْتْ َْ و‬
َ ‫ْيِى ؤ تم َحسوَ ِهللا‬ َ َ‫علَ ِم َْص َْ ٍِاَن‬
َ ‫سِى َم ْوِ َمَ َن‬ َ ِْ‫قؤلتِ َه ْ هِْ َ ْم لْيِا َ ت عؤىِيََْ ِهللا‬
Katakanlah, inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik. (QS. Yusuf [12]: 108)

Bab 14
Menghalalkan Sesuatu yang Haram Dengan Alasan Maslahat

Syariat Islam telah mewajibkan sebagian perkara dan mengharamkan perkara lainnya.
Syara’ tidak mengizinkan manusia untuk merubah, mengganti dan menyelewengkannya. Allah Swt
sebagai Pembuat hukum yang Maha Bijaksana telah memberikan keringanan karena mengetahui
bahwa manusia kadang-kadang membutuhkannya. Namun, apabila syara’ tidak memberikan
keringanan maka manusia tidak boleh berpaling dari hukum itu, meskipun hawa nafsu dan bisikan
setan menyenanginya dengan dalih maslahat. Siapa pun yang membolehkan perkara yang jelas-
jelas haram, atau mengharamkan perkara yang nyata-nyata halal, padahal Allah tidak memberikan
kepadanya keringanan dalam masalah itu, maka dia terjerumus dalam kekafiran atau orang bodoh
yang fasik.
Banyak orang yang menjadikan maslahat sebagai dalil bolehnya bergabung dengan sistem
pemerintahan yang menerapkan sistem jahiliah.
Mereka mengutip definisi maslahat, yang berarti gambaran tentang suatu perbuatan yang
menghasilkan kemaslahatan atau manfaat yang terus menerus, baik kepada khalayak atau pun
terhadap individu-individu. Mereka juga mengatakan bahwa para ulama telah meneliti syari’at dan
penelitian itu telah memberikan petunjuk kepada mereka bahwa syari’at itu dibuat untuk
kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.
Mereka menyebutkan tentang mashalih al-mursalah dan segala perkara yang bersandar
kepada kaedah tersebut. Namun, mereka mengatakan bahwa (bolehnya) bergabung dengan
sistem pemerintahan yang menjalankan sistem jahiliah, tidak didasarkan kepada mashalih al-
mursalah, karena banyak nash yang secara jelas menyebutkan dengan pasti berdosanya
bergabungnya di dalam sistem pemerintahan yang menerapkan sistem jahiliah. Mereka
mengambalikan istidlalnya kepada tarjih perkara yang lebih baik dari dua kebaikan (khair al-
khairaian), atau yang lebih ringan dari dua keburukan (syarru asy-syarrain), dan dalam rangka
memperoleh kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih
rendah atau menolak kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan.
Mereka mengatakan: Ini adalah jalan di dalam syari’at yang telah jelas rambu-rambunya.
Islam telah mengharamkan khamar dan perjudian dengan menyebutkan bahwa keduanya
memberikan manfaat bagi hamba, akan tetapi manfaat keduanya amat sedikit yang dikalahkan
oleh kerusakan yang lebih besar, yang ada pada khamar dan perjudian.
Syara’ juga telah mewajibkan peperangan meskipun peperangan itu berakibat hilangnya
banyak jiwa orang-orang yang beriman dan menghabiskan harta-harta mereka. Itu disebabkan -
kata mereka- karena perang memberikan maslahat besar yang dsukai oleh Rabb tabâraka wa
ta’âla. Lagi pula di dalamnya ada maslahat yang amat besar bagi hamba.
Di dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama maupun penguasa sangat memperhatikan
metode ini ketika mereka berjalan dengan (sistem hukum) Islam. Rasulullah saw meninggalkan
aktivitas meruntuhkan Ka’bah, malah membangunnya kembali dengan fondasi Nabi Ibrahim. Hal
itu memberikan maslahat yang amat banyak bagi agama. Justru kerusakan yang ditimbulkan –jika
Ka’bah dihancurkan- jauh lebih besar dibandingkan dengan merekonstruksiknya.. Rasulullah saw
berkata kepada isterinya, ‘Aisyah:

Seandainya bukan karena kaummu adalah orang-orang yang baru masuk Islam, pasti aku akan
menghancurkan Ka’bah, dan aku akan membuat pintunya menjadi dua. (HR. Tirmidzi dan
Nasa’i).

Begitulah seterusnya.
Berdasarkan pada pandangan ini mereka mengatakan: ‘Tidak ada keraguan lagi bahwa
bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem jahiliah mengakibatkan
kerusakan besar. Para penguasa di dalam sistem ini menerapkan sistem thaghut (selain hukum
Allah), menentang perintah Allah serta melanggar hukum-hukum-Nya. Firman Allah Swt:
ِْ ِْ َ‫ ْي ْوِ تَ ؤح تَ ؤمِ ْيال‬
Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS. Yusuf [12]: 40)
 ً ‫ِىالَِ ؤش ْتْ ؤ ِفْيِ ؤح تَمْ ؤِْا َ َح‬ َ ‫مْ تو‬
َ ٍ ‫ِىَْي‬
Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (hukum).
(QS. al-Kahfi [18]: 26)

Meskipun demikian mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya banyak gerakan-gerakan (Islam) pada


sebagian kondisi melihat bahwa bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan
sistem jahiliah dapat memberikan kepada Islam, kaum Muslim dan gerakan Islam manfaat yang
amat besar. Malah kadangkala dapat menjatuhkan thaghut dan menaikkan yang hak’. Kami ingin
mengutip sebagian perkataan mereka dalam masalah ini agar kita dapat memahami pendapat
mereka secara benar, juga agar kita memahami betapa jauhnya pendapat mereka dari metode
berpikir yang syar’i pada saat metode berpikir mereka digugat. Selanjutnya akan membawa
implikasi ditolaknya pendapat mereka. Mereka mengatakan:
-Bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah akan menjatuhkan seorang muslim pada
keadaan yang amat kontradiktif. Seorang muslim dituntut untuk memerangi negeri-negeri yang
menerapkan hukum thaghut, maka bagaimana mungkin dia turut serta menjadi orang yang
mendukung sistem itu? Allah merasa heran dengan orang-orang yang menyatakan bahwa mereka
telah beriman, setelah itu ia menerapkan hukum thaghut.
‫ِى َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
ِ َِ‫نننننننننننننننزل‬
ْ ْ ‫ع ؤمننننننننننننننننىوَ ِاَنَ ؤهنننننننننننننننن تمِ َء َمنؤننننننننننننننننى ِ ْم َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
َ َ ‫نننننننننننننننزلَِ ْي ََ تنننننننننننننننن‬ ‫اَََنننننننننننننننن تمِ َن‬
‫نننننننننننننننِْ ْيََنننننننننننننننن ِ ََنننننننننننننننن ْ وَ ِ تَز ؤ‬
َ
 ً ْ ‫ضالَالًِ َم‬ َ ِ‫كسوؤ ِا َ توِ ؤ ْضلَ ؤه تم‬ َ ‫شت‬ َ َ ِ‫ِْىِؤ ْْ ؤ‬ َ ‫ِْىقَ تِاؤمْ ؤْى ِا َ توِ َ تَُؤ ؤْى ِ ْمؤ‬ َ ‫قى‬ ‫كس ؤ‬ َ َ ِ ََ‫مْ توِقَ تم ْل َ ِ ؤ ْْ ؤىوَ ِا َ توِ َ َحَس ََ ؤمى ِ ْي‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang telah mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. an-
Nisa [4]: 60)

-Tatkala mereka mentaati perkara yang ditetapkan oleh para thaghut itu, mereka telah
melanggar perintah Allah. Mereka menjadikannya tuhan-tuhan selain Allah seperti yang Allah
sebutkan terhadap keadaan ahlul kitab.
‫ِْى تَ َم ْ ننننننننننننننننننننننن َِ تمنننننننننننننننننننننننوَ ِ َمن‬
ِ ِ‫ننننننننننننننننننننننْ َ َم‬
‫ت‬ َ ‫ؤىوِهللا‬ ‫ت‬ ‫ِى ؤْ تهمَنننننننننننننننننننننننسنَ ؤه تمِا َ تْمَسمًنننننننننننننننننننننننسِمْ ن‬
ْ ِ‫ننننننننننننننننننننننو‬ َ ‫ َ َ ننننننننننننننننننننننن ؤى ِاَحت مَن‬
َ ‫ننننننننننننننننننننننسْ ؤه تم‬
َ ‫َى َمسِاؤمْ ؤْى ِ ْيالَِ َْ َ تمؤ ؤى ِ ْيََ ًه‬
 ً ْ‫سِى ح‬
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan
juga mereka mempertuhankan al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa. (QS. at-Taubah [9]: 31)

Rasulullah saw telah menjelaskan kepada Hathim bin ‘Adi makna (ayat) dari ‘mengambil tuhan-
tuhan selain Allah’ yang artinya mentaati mereka pada saat mereka menghalalkan apa yang Allah
haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan..
-Kami telah mengetahui bahwa para penguasa yang ada sekarang ini telah menggunakan
orang-orang muslim yang saleh, yang diminta untuk menjadi menteri, sebagai ornamen yang
menghiasi pemerintahan mereka yang buruk. Hal itu mereka gunakan untuk menipu orang-orang-
orang awam dan bodoh. Mereka berkilah: ‘Seandainya kami berada di dalam kebatilan maka si
fulan pasti tidak akan mau bergabung dengan kami di dalam pemerintahan’.
-Yang memperparah keadaan adalah ketika para menteri muslim itu dijadikan sebagai batu
loncatan dikeluarkannya undang-undang yang dzalim. Itu dilakukan setelah mereka memperoleh
apa yang mereka inginkan. Kemudian sang menteri itu pun disingkirkan.
-Bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah sama artinya dengan memberikan
kepercayaan kepada orang-orang yang dzalim. Allah Swt memperingatkan kita terhadap hal itu.
ِ‫ظلَ ؤمى ِفَ َ َم َ ؤَ ؤمِ َنَ ؤ‬
ْ‫س‬ َ ِ َ‫ َىالَِ َ تْ ََنؤى ِيََْ ِ ََ ْ و‬
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka. (QS. Hud [11]: 113)
-Bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah berarti memperpanjang umur kebatilan.
-Kami berpendapat bahwa orang yang bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah
termasuk kedalam golongan yang disebut Allah di dalam al-Qur’an:
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تَََسف ؤْْىو‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (perkara hukum) menurut apa yang diturunkan oleh Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
َ َ ِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِ ْم َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤم‬
َِ‫ظس َْ ؤمىو‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah [5]: 45)
َِ‫ َى َم توََِ تمِ َحت ؤَ تمِمْ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِفَ ؤىََئْ َ ِ ؤه ؤمِ تََُس ْ ِؤىو‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS. al-Maidah [5]: 47)

Semua yang disebutkan tadi bukan perkara yang tersembunyi dihadapan para pemimpin
gerakan (Islam) dan para da’inya. Kejelasan ayat dan penunjukkan dalilnya juga tidak tersembunyi
bagi orang yang memperhatikan.
Namun mereka berkilah: ‘Meskipun demikian kami berpendapat bahwa gerakan-gerakan
(Islam) kadang-kadang melihat bahwa pada sebagian kondisi bergabung dengan sistem
pemerintahan jahiliah akan memberikan manfaat yang banyak bagi Islam, gerakan dan kaum
Muslim. Bahkan dapat meruntuhkan para thaghut dan menaikkan yang haq’. Kami membuat
ringkasan kemaslahatan-kemaslahatan yang bisa diperoleh gerakan Islam jika bergabung di dalam
sistem pemerintahan jahiliah dalam poin-poin berikut ini:
1. Menolak berbagai konspirasi jahat yang ditujukan kepada gerakan Islam dengan mengamati apa
yang sedang berlangsung dibalik apa yang nampak dan berusaha untuk menggagalkannya.
2. Memberikan contoh bahwa jamaah mampu untuk menjadi pemimpin manusia, dan bukan
sekumpulan orang-orang bodoh.
3. Mengembalikan kepercayaan kepada Islam, bahwa Islam mampu mengatur seluruh urusan
kehidupan, baik yang umum maupun yang khusus.
4. Menambah kemampuan jamaah dalam menangani administrasi pemerintahan
5. Pengenalan jamaah terhadap sistem yang sedang berlaku agar bisa menghindari kejahatannya.
6. Melatih dan mendidik kader-kader Islam yang istimewa melalui pengiriman untuk belajar ke luar
negeri yang diatur oleh kementrian.
7. Menciptakan sekelompok orang dari jamaah yang termasuk dalam golongan publik figur.
Kelompok semacam ini dapat menyelesaikan banyak persoalan jamaah dan anggota-anggotanya.
8. Memperkuat posisi orang-orang Islam dan melemahkan posisi orang-orang kafir.
9. Melatih kader-kader Islam dalam berpolitik serta menolak permainan (politik).
10. Memanfaatkan kedudukan penguasa untuk kepentingan jamaah.
11. Jika gerakan-gerakan Islam menolak untuk menjadi bagian dari sistem maka mungkin orang yang
menggantikan posisi mereka adalah musuh-musuh Islam yang akan menggunakan segala
kekuatannya untuk memerangi gerakan Islam atau memusnahkan Islam dan kaum Muslim.
Kami telah mengungkap pendapat mereka secara terperinci. Dan kami menolak pendapat
mereka bukan sekedar mengutip saja. Hal itu dimaksudkan agar hakekat permasalahannya dapat
difahami dengan jelas, dan juga untuk menunjukkan sejauh mana kelancangan mereka terhadap
agama Allah dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang membuat marahnya Pencipta langit dan
bumi serta menyakiti orang-orang yang beriman; tidak memberikan hak Allah Swt dan tidak terikat
dengan perintah-Nya. Disamping itu juga agar seorang muslim mengetahui sejauh mana
pertentangan fatwa-fatwa itu dengan hukum-hukum syara’ yang qath’i yang tidak boleh dihilangkan
dalam keadaan apapun. Juga agar seorang muslim dapat menyaksikan sendiri betapa jauhnya
mereka dari keterikatan dengan metode Islam yang benar dalam beristinbath, bahkan membuat-
buat metode baru yang mulai muncul dimasa-masa kemunduran kaum Muslim dan
terpengaruhnya mereka dengan metode pemikiran Barat. Juga agar dapat mengikuti pemikiran-
pemikiran mereka secara lengkap dan detail, sekaligus menjawab kesalahan-kesalahannya,
menolak metode berpikirnya dan menggugurkan hujjah-hujjah mereka.
Salah satu contoh hukum syara yang jelas dan qath’i –yang tidak boleh ada ijtihad
didalamnya- adalah tidak bolehnya melakukan transaksi dengan cara riba. Allah telah
mengharamkannya dengan tegas berdasarkan firman-Nya:
َ ‫ َىا َ َحلَِهللاؤِ تَمَ ت َع‬
‫ِىح ََْ َِمِ َْْمَس‬
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Terdapat juga qarinah-qarinah (indikasi) yang sesuai dengan hukum syara’ yang qath’i dan
memperkuat pendapat. Allah berfirman:
ِْ ‫ص َ قَس‬ ‫ َ تم َح ؤ‬
َ َ ِ‫قِهللاؤِ َْْمَسِ َى ؤ تْمْي‬
Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. (QS. al-Baqarah [2]: 276)

Allah juga telah memperingatkan orang-orang yang melakukan transaksi dengan cara riba dan
memberikan kepada mereka peringatan berupa (sikap) perang.
َ َ‫ َسا َ ُّ َهنننننننننننننننننننننسِ ََننننننننننننننننننننن ْ وَ ِ َء َمنؤنننننننننننننننننننننى ِ َ ؤنننننننننننننننننننننى ِهللا‬
َ ‫ِى َ ؤْى ِ َمنننننننننننننننننننننسِمَ ْننننننننننننننننننننن‬
ِ ِ‫يِمْ نننننننننننننننننننننوَ ِ َْْمَنننننننننننننننننننننسِيْ توِ ؤَ تنننننننننننننننننننننن ؤ تم‬
‫ِْى َْ ؤى َْ ِْؤ‬ ٍ َْ‫ِفَ ْإ توََِ تمِ َ تُ َلؤى ِفَ ت َنؤى ِمْح ت‬ِ َ‫ؤم ت مْ نْ و‬
َ ‫بِمْ وَ ِهللا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di
pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. al-Baqarah [2]:
278-279)

Allah menggambarkan orang yang memakan riba dengan:


َ ‫شت‬
ِ ْ ‫كسوؤ ِمْ وَ ِ تَ َم‬
‫س‬ ‫ ََ ْ وَ ِ َ ت ؤَلؤىوَ ِ َْْمَسِالَِ َ ؤى ؤمىوَ ِ ْيالَِ ََ َمسِ َ ؤى ؤمِ ََ ْيِ َ َ َ مَ ؤ‬
َ َ ِ‫كؤؤ‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Rasulullah saw menggolongkan riba ke dalam kelompok dosa besar dan mensejajarkannya
dengan perbuatan syirik kepada Allah. Beliau bersabda:

‘Jauhilah tujuh dosa besar’. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Apakah itu wahai Rasulullah? Rasul
berkata: ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya
kecuali karena menegakkan kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri
dari peperangan, menuduh perempuan baik-baik dan beriman melakukan zina’. (HR. Muttafaq
‘alaih).
Meskipun demikian kami telah melihat mereka menelaahnya berdasarkan metode ini, yaitu
bahwa transaksi riba itu boleh! Kemana perginya pengharaman yang bersifat qath’i dan jelas? Dan
kemana hilangnya peringatan dan ancaman? Dengan metode berpikir seperti itu mereka
mengganti hukum-hukum Allah, merubahnya dan menjadikan hukum syara’ itu bersifat fleksibel.
Metode itu dengan sendirinya akan meremehkan perkara-perkara agama dan identitas seorang
muslim.
Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah fardlu. Wajib mengesakan Allah dan
hal ini terdapat dalam syahadat mereka. Meskipun demikian mereka telah menelaah –berdasarkan
metode berpikirnya tadi- bahwa boleh bagi seorang muslim untuk bergabung dalam sistem
pemerintahan thaghut. Perhatikanlah apa yang telah dikutip mereka dalam pembahasan kita kali
ini. Kami menjelaskan betapa mereka yang menyebut dirinya sebagai para pemimpin gerakan
Islam dan ulamanya telah menyimpang jauh dari kebenaran, padahal seorang pemimpin tidak
boleh membohongi para pengikutnya. Mereka juga mengatakan:
-Tidak diragukan lagi bahwa bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah menimbulkan
kerusakan yang besar. Para penguasa itu menerapkan sistem thaghut, menyimpang dari perintah
Allah dan menentang hukum-hukum-Nya.
-Bergabungnya seorang muslim dengan sistem pemerintahan jahiliah akan
menjerumuskan dirinya dalam keadaan yang amat kontradiktif. Seorang muslim dituntut untuk
memerangi negeri-negeri thaghut itu. Jadi, bagaimana mungkin dia menjadi orang yang
menegakkannya?
-Mentaati para thaghut menempatkan mereka pada pelanggaran perintah Allah. Tindakan
mereka ini sama saja dengan mengambil tuhan-tuhan selain Allah.
-Para penguasa sekarang ini menggunakan menteri-menteri dari kalangan muslim yang
saleh sebagai ornamen sistem pemerintahan mereka yang rusak.
-Penguasa yang ada saat ini mengeluarkan undang-undang thaghut melalui tangan-tangan
para menteri-menteri muslim itu.
-Bergabung dalam sistem pemerintahan jahiliah berarti telah memberikan kepercayaannya
kepada orang-orang yang dzalim.
-Bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah justru akan memperpanjang umur
kebatilan.
-Orang yang turut serta bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang disebutkan Allah sebagai kâfirûn, dzâlimûn atau fâsiqûn. Maka
kelancangan apa yang telah mereka lakukan terhadap agama Allah?! Yang memperparah adalah
bahwa kelancangan tersebut bukan hanya dengan melanggar perintah Allah, tetapi juga mengajak
orang lain untuk melanggar perintah Allah. Sungguh hal ini adalah dosa yang amat besar.
Setelah kami paparkan setiap pelanggaran syara’ ini, kami bertanya (kepada mereka). Apa
yang dapat mereka raih jika mereka bergabung dengan penguasa? Kami sudah menduga
sebelumnya, bahwa setelah mereka memaparkan bahayanya seruan untuk bergabung dengan
penguasa jahiliah, mereka akan menyebutkan kemaslahatan-kemaslahatan yang amat besar,
dengan menganggap bahwa syara’ tidak mengetahui hal itu, dan kecerdikan mereka dapat
menemukannya, sehingga menurut logika dan metode berpikir yang keliru itu seluruh
kemaslahatan tersebut membolehkan pelanggaran terhadap syara dan akan menolong musuh-
musuh Allah. Pemikiran mereka telah melahirkan perkara yang ganjil (yaitu) menempati posisi
sebagai pembuat syara’ (hukum). Mereka mengeluarkan produk-produk yang tidak berguna untuk
dakwah, tidak mendekatkan kaum Muslim pada kebenaran atau pun kemenangan, dan tidak pula
bisa merubah realita yang ada. Justru reaksi negatif yang akan muncul, dan hal ini telah dibuktikan
berdasarkan realita.
Mereka telah menyebutkan sebelas poin, yang mereka katakan sebagai kemaslahatan
yang amat besar yang akan diperoleh dengan bergabung di dalam sistem pemerintahan jahiliah.
Demi Allah, kalian wajib memperhatikan poin-poin itu dan merenungkan betapa semua itu
hanyalah hasil-hasil yang remeh (tidak ada artinya) dibandingkan dengan maksiat besar yang
mereka lakukan. Kami akan memaparkan poin-poin tersebut disertai dengan komentar.
-Menambah kemampuan jamaah dalam mengurusi administrasi negara
-Melatih kader-kader Islam dibidang politik dan permainan-permainannya.
-Melatih dan mendidik kader Islam yang istimewa melalui pengiriman pelajar ke luar negeri
yang diatur oleh kementrian.
Tiga poin itu berkaitan dengan satu topik. Seharusnya digabungkan dalam satu poin saja,
kecuali jika memperbanyak poin itu akan menunjukkan banyaknya faktor yang mendukung
pembicaraan mereka.
Masalah ini tidak berkaitan dengan banyaknya pembicaraan tetapi berhubungan dengan
kebenarannya. Apakah layak untuk mendapatkan poin-poin yang seperti itu menjadikan seorang
muslim berhak melanggar perintah Rabbnya? Apakah tidak ada jalan lain, jalan yang tidak
mengundang kemurkaan Allah, yang bisa digunakan oleh gerakan-gerakan Islam untuk melatih
anggota-anggotanya dan menambah kemampuan mereka? Apakah jalan yang sesuai dengan
syara’ membutuhkan persiapan yang seperti itu?
Sesungguhnya gerakan-gerakan Islam ketika terjun dibidang politik harus berjalan sesuai
dengan hukum syara’ dan terikat dengan metode Rasulullah saw. Tindakan mereka akan
menambah pengalaman dan pemahaman terhadap realita para penguasa dan sejau mana
keterikatan mereka dengan negara-negara kafir, menambah pemahaman terhadap permainan
(politik) dan cara-cara mereka yang penuh tipu daya. Apakah tidak ada jalan bagi seorang da’i
untuk menyeru peminum khamar meninggalkan kebiasaannya itu selain dengan masuk ke bar,
kemudian turut minum khamar bersamanya. Kemudian meninggalkan perbuatan itu untuk
meyakinkan peminum khamar bahwa dia mampu meninggalkannya. Demi Allah, betapa lemahnya
akal yang melahirkan pemikiran seperti ini! Bagaimana mungkin dia mengizinkan dirinya
mengganti syari’at Allah!
Mereka juga telah menyebutkan poin-poin berikut ini:
-Pengenalan gerakan Islam terhadap sistem yang sedang berlaku agar bisa menghindari
kejahatannya
-Menolak konspirasi dan tipudaya terhadap gerakan Islam dengan menelaah apa yang
terjadi dibalik apa yang tampak dan berusaha untuk menggagalkannya.
-Apabila jamaah menolak untuk bergabung dengan sistem pemerintahan yang ada maka
yang akan menggantikan posisi mereka adalah musuh-musuh yang akan menggunakan seluruh
kekuatannya untuk memerangi gerakan Islam dan memusnahkan Islam dan kaum Muslim.
Tiga poin itu sebenarnya membahas topik yang sama, yaitu menghindari kejahatan
penguasa dan menolak tipudaya mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Berdasarkan
kenyataan yang kita alami –tanpa disengaja- maka kami ingin mereka membuktikan sendiri,
apakah benar mereka dapat menghindarkan bahaya dari umat dan dari diri mereka sendiri dengan
jalan bergabung di dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan apa Allah turunkan?
Mereka telah mengatakan sendiri dengan lidah-lidah mereka bahwa para penguasa tidak
mengangkat seorang muslim menjadi menteri kecuali untuk memperpanjang kekuasaannya; juga
agar dapat mengeluarkan undang-undang dzalim melalui tangan mereka; dan untuk memperbaiki
opini publik terhadap mereka. Setelah mereka memperoleh apa yang dibutuhkannya maka para
menteri muslim itu dicampakkan. Maka, dimana potensi dari kejahatan mereka dan dimana pula
penolakan terhadap tipudaya mereka? Sistem yang dimasuki oleh (kader-kader) muslim itu tidak
akan menjadi lebih baik dengan kehadiran mereka, bahkan justru memperburuk citra mereka
dihadapan masyarakat, karena masyarakat akan menempatkan sikap yang sama terhadap sistem
maupun orang-orang yang bergabung di dalamnya.
Mereka juga telah menyebutkan dua poin yang lebih utama kalau dijadikan satu poin saja.

-Memberikan contoh bahwa jamaah mampu untuk memimpin manusia


-Memberikan kepercayaan kepada Islam bahwa Islam mampu untuk mengatur seluruh
urusan kehidupan, baik umum maupun khusus.
Sesungguhnya jamaah tidak akan mampu memberikan image seperti itu. Sebaliknya, justru
jamaah akan memberikan contoh yang buruk dan teladan yang tidak layak untuk ditiru. Hal itu
telah dibuktikan berdasarkan kenyataan. Kalau bukan karena adanya gerakan Islam yang ikhlas
dan sadar yang tampil menghadapi seruan-seruan ini, dan ulama kaum Muslim yang pemberani
maka Islam pasti akan hilang dari jiwa-jiwa manusia (seperti mereka) akibat keterangan-
keterangan yang telah diberikan dan sikap-sikap para pencetus ide-ide ini yang tekun memperkuat
dan membelanya. Demi Allah, betapa jauhnya perbedaan di hadapan Allah dan dihadapan hamba,
antara gerakan-gerakan Islam atau ulama yang berada dalam kubangan sistem (jahiliah) itu yang
menyesaki dadanya dengansistem yang rusak, dengan gerakan-gerakan Islam dan ulama yang
mengatakan yang hak dan menegakkannya, yang tidak takut celaan orang-orang yang mencela,
meskipun dijebloskan kedalam penjara para penguasa muslim yang menjadi tempat
bergabungnya orang-orang itu. Ingatlah dengan firman Allah Swt:
ُّ ِ َ‫صم ََِْاؤىَؤىِ تَ َ تز ْمِمْ و‬
‫َْ ؤ ِْل‬ ‫فَس ت‬
َ ِ‫صمْ تِْ ََ َمس‬
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul
telah bersabar. (QS. al-Ahqaf [46]: 35)
‫ق‬ ‫فَس ت‬
َ َ‫صمْ تِْيْو‬
ٌِّ ‫ِى تع َِهللاِْ َح‬
Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar. (QS. ar-Ruum [30]: 60).

Maka, apakah sama dua permisalan itu?


Demikian juga mereka telah menyebutkan tiga poin lain yang dapat digabung menjadi satu
poin. Mereka telah menyebutkan:
-Menciptakan kelompok yang berasal dari jamaah yang mempunyai pengaruh (public
figure) di masyarakat. Dan orang-orang ini dapat menyelesaikan banyak sekali problema jamaah
dan para pengikutnya.
-Memperkuat posisi orang-orang Islam dan melemahkan posisi orang-orang kafir
-Memanfaatkan kedudukan penguasa untuk kepentingan jamaah.
Poin-poin seperti ini menunjukkan sesatnya angan-angan orang yang mengatakannya.
Apakah akibat-akibat yang berbahaya ini berhak mendapatkan ridha Allah, atau termasuk dalam
golongan yang disebutkan Allah bahwa mereka adalah orang-orang yang dzalim, fasik dan
membela kedzaliman? Selayaknya gerakan Islam itu mendapatkan apa yang bisa dicapainya
tanpa harus terjerumus pada perkara semacam ini. Kami tidak sepakat dengan mereka, bahwa
setiap poin tadi akan tercapai apabila gerakan Islam melakukan maksiat kepada Allah dan turut
serta dalam sistem pemerintahan yang jahiliah. Sebaliknya, justru akan berakibat negatif bagi
gerakan, dakwah dan Islam.
Para pencetus ide ini telah menyebutkan sebelas poin atau sebab-sebab yang mendorong
mereka melakukan hal itu. Dengan menggunakan metode berpikir mereka -yang tidak dibolehkan-
kami dapat menyebutkan lebih banyak lagi poin-poin yang merupakan bahaya-bahaya dan akibat-
akibat dari perbuatan seperti ini, diantaranya:
-Dengan metode seperti ini para pemimpin gerakan dan para anggotanya belajar untuk
bersikap munafik. Apabila mereka berkumpul dengan penguasa tempat mereka bergabung di
dalam sistem pemerintahan, maka mereka akan mengatakan apa yang disukai penguasa. Dan jika
mereka berkumpul dengan manusia, maka mereka mengatakan perkataan yang lain. Mereka
berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa tindakan mereka dengan mendekatkan diri
kepada penguasa dan sistem pemerintahannya itu tidak lain agar mereka mampu untuk meraih
kekuasaan dan memegang kendali sistem.
-Pernyataan-pernyataan jamaah menjadi berubah-rubah, terlalu sepele dan tidak ada
artinya.
-Sistem pemerintahan yang ada dapat menghitung (kekuatan) gerakan dan para
pengikutnya, menyingkap apa yang ada didalamnya dan membuka rahasia-rahasianya. Terkadang
jika terjadi perselisihan diantara anggota-anggota gerakan, penguasa berusaha untuk
memprovokasi dan menambah-nambah bumbunya agar terbuka kesempatan baginya untuk
memegang kendali gerakan dan memecah belahnya jika diperlukan.
-Dakwah bagi jamaah ini akhirnya hanya terbatas pada hukum-hukum yang tidak
membahayakan sistem, seraya berdiam diri terhadap hukum-hukum prinsipil yang pada gilirannya
akan memberikan gambaran yang tidak benar tentang dakwah dan Islam.
-Ketika gerakan Islam yang bekerja dengan penguasa diizinkan untuk mendirikan lembaga-
lembaga tempat mereka menjalankan aktivitas di dalamnya, mereka akan menempatkan
penguasa pada posisi yang mengarahkan lembaga-lembaga itu. Itu memunculkan rasa takut
terhadap campur tangan penguasa di dalamnya, yang pada akhirnya akan membubarkannya.
Akibatnya, mereka tidak melontarkan hukum-hukum yang membuat sistem gelisah dan
selanjutnya tidak pernah berpikir untuk keluar dari situasi itu.
-Gerakan Islam yang menerima bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan
hukum jahiliah akan memberikan justifikasi kepada sistem tersebut untuk memukul gerakan-
gerakan Islam lainnya yang berusaha melakukan perubahan sesuai dengan metode Rasulullah
saw, dengan mencap siapa saja yang melawan penguasa adalah fundamentalis-ekstrimis.
sementara orang yang bergabung dengan penguasa disebut moderat dan tercerahkan. Sungguh
amat mengherankan apa yang dilakukan para pencetus ide yang bernuansa toleransi dan
opportunis dengan membuat berbagai tulisan yang mengisyaratkan bahwa mereka -dengan
metodenya itu- adalah orang-orang yang moderat, sehingga penguasa dapat bekerjasama dengan
mereka. Dan selain mereka adalah para ekstrimis.
-Pemahaman jamaah Islam akan berubah sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya
adalah dibolehkannya tidak mengambil jizyah dari kafir dzimmi dan bolehnya tidak menamakan
mereka dengan ahlu dzimmah sehingga tidak membangkitkan kemarahan mereka. Contoh lainnya
seperti pendapat mereka bahwa demokrasi adalah milik mereka yang telah dikembalikan kepada
mereka. Begitu pula pendapat mereka yang mengatakan dibolehkannya transaksi dengan cara
riba, dan pendapat yang mengatakan bolehnya bergabung dengan sistem pemerintahan yang
tidak menerapkan hukum Allah. Hal ini berakibat:
-Memperpanjang umur sistem yang batil
-Memperindah image sistem yang ada.
-Menjatuhkan Islam dari jiwa manusia, karena manusia melihat bahwa Islam tidak
memberikan apapun kepada mereka melalui sistem ini, terutama setelah para pencetus ide-ide ini
menjanjikan kepada mereka manna wa salwa (nikmatnya kursi kekuasaan). Selain itu gerakan-
gerakan tersebut menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia seperti juga yang lainnya tidak
mampu menyelesaikan permasalahan mereka secara tuntas. gerakan-gerakan itu tidak mampu
menjadikan dirinya sebagai contoh yang perlu diteladani. Sebaliknya justru memberikan teladan
yang buruk.
-Gerakan telah merusak para anggotanya tatkala seluruh semangat mereka dicurahkan
untuk membela sepak terjang jamaahnya atau membela semua yang dikerjakan oleh penguasa
dan memberinya justifikasi.
-Gerakan akan berdiam diri ketika penguasa memukul dan menangkap para pengemban
dakwah dari gerakan-gerakan lain. Bahkan kalau perlu menyerang mereka agar memperoleh
keridhaan penguasa atau bertindak berdasarkan permintaan penguasa. Contoh untuk kasus ini
seperti yang terjadi di Mesir akhir-akhir ini.
-Orientasi ini menjadikan maslahat sebagai standar (tolok ukur) perbuatan bagi jamaah,
bukan keterikatan dengan hukum syara’. Apa yang bisa mendatangkan maslahat, mereka
kerjakan, meskipun melanggar syara’. Jadi, kemaslahatan itu menurut pandangan mereka lebih
bernilai dari pada syara’. Demikianlah ...dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya yang bisa
dilekatkan kepada agama dan dakwah.
Kita telah ungkapkan seluruh poin diatas berdasarkan fakta, bukan berdasarkan dalil-dalil
syara’, agar kami bisa mengatakan kepada mereka bahwa metode berpikir mereka itu -meskipun
berdasarkan mazhab mereka- tidak memberikan apapun kecuali implikasi yang buruk kepada
Islam dan dakwah, serta metode berpikir yang rusak yang tidak diakui oleh syara’.
Tidak seperti biasanya, seperti yang biasa kami pelajari dari syara’, bahwa kami –dalam
perkara ini- menggunakan fakta sebagai dalil untuk menunjukkan rusaknya sebuah fikrah, menolak
hukum syara’ secara aqli. Jika kami memulai pembicaraan ini berdasarkan metode mereka adalah
dalam rangka menasehati mereka dengan perkatan mereka sendiri, dan menjatuhkan argumentasi
mereka dengan hujjah mereka sendiri. Meskipun demikian kami memahami, sebagaimana setiap
muslim yang sadar dan ikhlas dalam berdakwah, bahwa satu-satunya tolok ukur dalam menilai
suatu perbuatan atau perkataan termasuk menolaknya, adalah syara’ semata. Jika demikian
halnya, maka dalil-dalil syara’ yang mereka sebutkan dan mereka katakan memahaminya, maka
orang-orang yang memperhatikan akan memahaminya, bahwa hal itu cukup untuk menolak
pendapat dan pemahaman mereka. Mungkin mereka memiliki lebih banyak lagi dalil-dalil. Akan
tetapi dalam kasus ini tidak berkaitan dengan banyaknya contoh atau dalil, melainkan terkait
dengan metode berpikir.
Kita tidak akan pernah mendengar bahwa mereka mengetahui metode berpikir mereka
sendiri. Oleh karena itu tidak perlu mengingatkan mereka akan hal itu. Meskpun mereka
mengetahui metode berpikir mereka, tetapi mereka tidak akan menggunakannya dikarenakan
sebab-sebab yang telah mereka sebutkan. Di dalam metoda berpikir mereka terdapat kelancangan
terhadap agama dan menginjak-injak hukum yang shahih dan qath’i. Adapun apa yang mereka
contohkan dengan mengutip pendapat sebagian ulama untuk memperkuat pemikiran mereka,
disamping contoh-contoh itu tidak sesuai dengan fakta yang mereka serukan, maka pendapat
manusia bukanlah hujjah yang bernilai di hadapan syara’, tidak termasuk sebagai dalil dan tidak
layak digunakan sebagai hujjah. Apabila mereka mengatakan: bahwa si fulan berpendapat
demikian, demikian, maka kami mengatakan kepada mereka, Allah dan Rasul-Nya berkata dengan
perkataan yang benar, qath’i dan kuat. Apakah dibenarkan kita menghapus perkataan Allah dan
Rasul-Nya dengan perkataan manusia, siapapun dia?! Pemikiran maslahat telah menguasai para
pencetus ide ini sehingga mereka layak disebut sebagai pedagang dakwah. Akan tetapi
pengemban dakwah adalah pedagang yang berjual beli untuk memperoleh keuntungan, bukan
kerugian.
Rusaknya pemikiran mereka juga tampak dalam aspek lain, yaitu digunakannya metode
dalam qiyas (analogi) yang tidak diakui oleh syara’. Metoda qiyas mereka bertumpu pada filosofi
nash-nash syara’ yang bersifat aqli dalam melakukan tarjih yang mengedepankan maslahat.
Metoda istinbat seperti itu tergolong baru dan tidak dikenal oleh umat Islam, sampai-sampai
kalangan ulama tidak mengenal sebelumnya. Mereka mencampakkan istinbat yang benar yang
ditunjukkan Rasulullah saw dan dipraktekkan oleh seluruh ulama salafus shâleh dan orang-orang
yang mengikuti mereka. Metoda istinbath syar’i yang benar justru tidak terlihat mempengaruhi
tulisan-tulisan mereka. Mereka menggunakan metode yang berasal dari Barat, berupa qiyas aqli
dan menggunakan (kaedah) maslahat. Benarlah kiranya hadist Rasulullah saw:

Barangsiapa diantara kalian berumur panjang maka dia akan melihat perbedaan yang banyak.
Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (syariat). Sesungguhnya setiap
perkara (hukum) yang baru adalah bid’ah, dan setiap bidah itu (tempatnya di) neraka. (HR.
Tirmidzi dan Abu Daud)

Mereka mengatakan bahwa Islam mengharamkan khamar dan perjudian dan didalamnya
disebutkan adanya manfaat bagi hamba (manusia), akan tetapi manfaatnya sangat kecil. Maka –
menurut mereka- yang ditarjih adalah kerusakan besar yang terdapat di dalam khamar dan
perjudian.
Syariat Islam juga mewajibkan perang meskipun perang itu akan membunuh banyak jiwa
orang-orang mukmin dan memusnahkan harta benda mereka. Sebab, didalam perang terdapat
kemaslahatan besar yang dicintai Allah tabâraka wa ta’âla, dan didalamnya juga dijumpai
kemaslahatahn besar yang akan diperoleh manusia.
Rasulullah saw tidak jadi meruntuhkan Ka’bah, malah membangun kembali dengan fondasi
Nabi Ibrahim, karena hal itu mengandung kemaslahatan bagi agama. Kerusakan yang akan
muncul dari meruntuhkan Ka’bah jauh lebih besar dari pada kemaslahatan yang akan diperoleh
jika bangunan Ka’bah diperbaiki.
Berdasarkan hal itu mereka berpendapat: Tidak ada keraguan lagi bahwa bergabung
dengan sistem pemerintahan jahiliah juga terdapat kerusakan besar. Akan tetapi banyak gerakan
Islam melihat bahwa di sebagian kondisi bergabung dengan sistem pemerintahan seperti itu justru
dapat memberikan manfaat yang besar bagi gerakan, Islam dan kaum Muslim. Malah, bisa jadi
mampu menurunkan thaghut dan mengangkat yang haq.
Mereka telah melontarkan pemikiran-pemikirannya dari tinjauan lain yang menunjukkan
bahwa metode berpikir mereka telah menyatu dan mendarah daging di dalam diri mereka.
Memahami nash dengan cara seperti itu, lalu mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang
bertentangan dengan Islam adalah perkara yang amat menyakitkan. Kami melihat tren-nya
semakin santer dimasa sekarang ini, terpengaruh oleh peradaban Barat yang memuja qiyas
maslahiy (qiyas aqli). Padahal, ulama-ulama kita terdahulu berjalan sesuai dengan pokok-pokok
Islam, terikat dengan syariat yang diwajibkan oleh tabi’at Islam itu sendiri, terikat dengan syari’at
Allah dalam setiap perkara dan tidak membolehkan manusia turut campur dalam perkara tasyri’
(pembuatan hukum). Hal ini akan kami jelaskan insya Allah.
Kami melihat, jika kaum Muslim menggunakan metode berpikir bid’ah ini, berarti mereka
telah membuka peluang bagi diri mereka sendiri untuk membuat hukum, dan membolehkan hawa
nafsu mereka untuk menilai mana yang manfaatdan mana yang mudharat yang terkait dengan
setiap perbuatan yang ingin mereka tegakkan. Apabila menurut akal mereka manfaat suatu
perbuatan jauh lebih besar dari mudharatnya, maka perbuatan itu harus dikerjakan. Dan jika
mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya -menurut akal manusia- maka sudah seharusnya
perbuatan itu ditinggalkan. Dengan metode berpikir bid’ah itu seorang muslim memposisikan
dirinya sebagai musyarri’ karena dia mengukur maslahat dengan akal dan hawa nafsunya.
Mereka bersandar kepada filosofi nash-nash dengan gambaran yang telah disebutkan tadi.
Hal itu dapat menghantarkan mereka kepada pengetahuan terhadap hukum suatu perbuatan.
Metode seperti ini dipraktekkan di Barat. Dan Barat menjadikan cara berfikir seperti ini sebagai
sandarannya.
Metode ini menempatkan maslahat sebagai sesuatu yang disembah oleh seorang muslim,
bukan perintah Allah. Alasannya, jika kemaslahatan berbenturan dengan hukum syara’ yang jelas
penunjukkan dalilnya, maka justru hukum syara’ yang ditinggalkan, dan kedudukannya digantikan
dengan hukum yang dibangun berdasarkan maslahat.
Interaksi dengan nash-nash memerlukan prinsip-prinsip pokok yang khas. Hal itu
menjadikan seorang muslim yang berjalan dengan Islam tetap (posisinya) sebagai hamba Allah
dan mentaati perintah-Nya. Hukum yang diistinbath berdasarkan metode yang benar merupakan
hukum Allah Swt. Itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan adanya ‘illat yang terkandung di dalam
nash syara’.
Penetapan (tolok ukur) khair (baik) dan syar (buruk), hasan (terpuji) dan qabih (tercela),
halal dan haram ada ditangan Allah semata. Tidak ada hak dan campur tangan manusia di dalam
perkara ini selamanya. Seandainya manusia berhak, maka pasti Allah akan memberikan hak itu
sejak mula pertama, dan syari’at tidak mungkin turut campur menetapkan hukum-hukum yang
rinci. Implikasinya tentu saja seorang muslim hanya dituntut untuk beriman kepada Allah Maha
Pencipta saja, tetapi tidak dituntut untuk beriman kepada Allah sebagai Pengatur bagi segala
urusan manusia dan Pengatur bagi hidupnya.
Ribuan buku yang telah dikarang oleh kaum Muslim pada masa lalu menggunakan metode
yang syar’i dalam istinbath. Para fuqaha terdahulu mampu menjawab setiap permasalahan
berdasarkan metode tersebut. Metode tersebut merupakan metode praktis yang mudah bagi orang
yang telah memiliki ilmunya dan terikat dengan kaidah-kaidahnya.
Cukuplah kiranya melontarkan satu bukti untuk menunjukkan rusaknya metode diatas,
yaitu menghasilkan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum syara’ yang jelas.
Jika metode itu memang benar maka hukum yang dihasilkannya pasti akan sesuai dengan hukum
syara’. Ini merupakan argumentasi yang menunjukkan bahwa metode itu salah dari sisi dzatnya,
dan keliru apabila ditinjau dari produk yang dihasilkannya. Mungkin beberapa contoh berikut ini
bisa memperjelas perkara ini:
-Seorang pengemban dakwah menurut syara’ dituntut bersikap terus terang dan berani,
kuat dalam pemikiran, menantang apa pun yang bertentangan dengan Islam serta berjuang untuk
menjelaskan kepalsuannya, tanpa memperhatikan resiko dan tidak lagi mempedulikan situasi.
Syara’ menuntut agar kedaulatan mutlak berada di tangan mabda (ideologi) Islam, tanpa
memperhatikan lagi apakah sesuai dengan mayoritas manusia atau bertentangan dengan mereka,
sejalan dengan adat istoadat mereka atau tidak, apakah manusia menerima atau menolak, atau
mungkin melawannya. Pengemban dakwah tidak berbasa-basi dengan manusia dan tidak
bermanis muka dengan para penguasa. Demikianlah keadaan Rasulullah saw di dalam
dakwahnya. Beliau beriman dengan kebenaran yang beliau serukan, menantang dunia
seluruhnya, tidak memandang -walau sebelah mata- pada kebiasaan, adat istiadat, akidah,
agama, penguasa atau rakyat, dan tidak berpaling sedikitpun kecuali kepada dakwah dan risalah
Islam. Ibnu Hisyam telah menyebutkan tindakan Rasulullah saw tatkala menjumpai orang-orang
Quraisy dengan menyebut tuhan-tuhan mereka dan mencelanya, kemudian menganggap bodoh
akal-akal mereka dan menganggap bapak-bapak (nenek moyang) mereka telah sesat. Akibatnya
mereka membalas beliau dan sepakat untuk menentang dan memusuhinya. Demikian kiranya
dakwah kaum Muslim saat ini. Hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang meneladani sikap
Rasulullah saw dan mengikuti firman Allah Swt:
َ ِْ‫قؤلتِ َه ْ هِْ َمْ لْيِا َ ت عؤىِيََْ ِهللا‬
ٍِ َْ ‫علَ ِم َْص‬
Katakanlah: ‘Inilah jalan (dakwah)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu
kepada Allah dengan hujjah yang nyata’. (QS. Yusuf [12]: 108)

Begitu juga dengan memperhatikan sabda Nabi saw:

Telah aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepada
(kedua)nya, maka tidak akan tersesat selamanya. Perkara yang jelas, yaitu kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. (Sirah Ibnu Hisyam)

Juga dengan mencontoh salafush shaleh dan perkataan mereka:

Tidak akan baik akhir perkara ini, kecuali dengan apa yang membuat awalnya baik.
Adapun sekarang, berdasarkan metode berpikir yang bid’ah itu, yang tidak diakui Islam,
maka kami melihat ada orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya maslahat yang rajih telah
menunjukkan bahwa lebih cocok dan lebih baik apabila kita menyelesaikan seluruh perkara
dengan hikmah, dan berdakwah dengan cara yang baik’. Hal itu dilakukan sesuai dengan metode
mereka bukan dengan metode yang syar’i. Mereka mengatakan juga: ‘Maka apa gunanya dakwah
kalau kita menantang setiap hal yang bertentangan dengan kita? Apakah kita akan membuka hati
orang lain dengan cara seperti itu, ataukah kita malah menutupnya? lalu mengapa kita
menunjukkan bahwa apa yang ada pada diri kita bertentangan secara diametral dengan apa yang
ada pada orang lain? Bukankan lebih sesuai kalau kita memperlihatkan bahwa kita memiliki
persamaan dengan selain kita dalam beberapa perkara yang akan menjadi kunci untuk masuk
kedalam akal-akal dan hati-hati mereka? Terutama dalam perkara-perkara yang tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang besar antara kita dengan mereka. Apakah merupakan
kemaslahatan bagi dakwah kalau kita menghadapi penguasa dan mengungkap persekongkolan
mereka melawan umat dan menyingkapkan seluruh rencana jahat mereka? Bukankah itu berarti
kita akan meminta mereka menjadi musuh dan membangkitkan kemarahan mereka kita? Atau kita
lebih baik berusaha mendekati dan menyayangi mereka?
Dari sinilah dimulai perjalanan .... dan penjelasan yang panjang tentang metode yang
benar dan sikap-sikap yang bisa maraih keridhaan penguasa dan kesaksian palsu terhadap
perbuatannya, berdiam diri dari kebatilan, dan sibuk dengan perkara-perkara remeh yang tidak
terbersit dalam diri penguasa untuk membicarakannya. Mereka mendiamkan perkara-perkara
penting yang wajib diperhatikan oleh umat. Dan masih banyak lagi perkataan dan perbuatan yang
menjauhkan mereka dari kebenaran. Setiap perubahan ini membutuhkan perubahan atas metode
berpikirnya.
- Merupakan hak Allah atas ulama yang mewarisi (perjuangan) Nabi Muhammad saw agar
menunaikan hak Allah dan selalu berada di barisan paling depan para mujahid yang menjelaskan
kebenaran, menegakkannya, menentang penguasa, menyingkap segala rencana jahat mereka.
Dengan kata lain dia wajib menjadi imam dari ilmu, mihrab dan hirab. Inilah yang dilakukan oleh
generasi salafush shâleh. Kami melihat bahwa metode berpikir yang bid’ah itu telah melahirkan
pemahaman yang mengandung bid’ah dan bertentangan dengan apa yang diberikan oleh para
ulama kita terdahulu. Pemahaman mereka terlukiskan di dalam perkataannya: ‘Sesungguhnya
apabila seorang ‘alim mengucapkan kalimat yang haq, lalu dia ditangkap atau dibunuh. Maka
siapa yang akan menggantikan posisinya? Menurut mereka, kerugian yang diderita umat dari
penangkapan sang ‘alim atau pembunuhannya, jauh lebih besar daripada manfaat yang akan
diperoleh dengan sikapnya itu. jadi, mengapa kita menghalangi umat dari kebaikan ‘alim ini?
-Demikian pula pernyataan mereka dengan turut serta di dalam pemilu. Memang hal itu
dibolehkan, akan tetapi dengan syarat: calon yang dipilih adalah seorang muslim, konsisten
dengan hukum-hukum Islam, tidak menerima syari’at kufur bahkan menolaknya, seraya
menawarkan alternatif baginya yaitu hukum-hukum syar’i, tidak boleh memilih penguasa yang
bukan muslim, atau memilih penguasa yang kekuasaannya berdiri di atas dasar selain Islam.
Tidak boleh baginya memberikan mandat kepada orang yang dipilihnya, bahkan wajib menarik
mandatnya itu atau memberikan mosi tidak percaya, karena pemerintahannya tidak berdiri diatas
asas Islam. Ini adalah hukum syara’ yang amat jelas.
Sayangnya, kami melihat bahwa mereka menggunakan metode berpikir yang bid’ah ini dan
melontarkan pendapat yang membolehkan seorang muslim untuk mencalonkan orang non muslim
yang tidak konsisten dengan syara’ didalam tasyri’ atau pun di dalam muhasabah atau memilih
penguasa. Mereka membolehkan mencalonkan seorang nasrani dan bergabung bersamanya di
dalam papan pemilu, dengan alasan bahwa undang-undang membatasi jumlah dan kelompok
wakil disetiap daerah. Calon yang nasrani itu toh akan berhasil, apakah dipilih oleh kaum Muslim
atau tidak. Jadi, lebih baik dalam masalah ini untuk memilih orang yang menurut pandangan kita
lebih bermanfaat bagi kaum Muslim dari pada calon itu dipilih oleh kaumnya sendiri dan kita
berada dipihak oposisi.
Demikianlah para penganjur metode berpikir ini melontarkan pemikiran-pemikiran mereka
yang semakin lama semakin jauh dari kebenaran.
Maka hendaklah para penganjur metode berpikir bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang jauh
dari pemahaman Islam ini sadar, bahwa metode berpikir dan pemikiran-pemikiran yang mereka
lontarkan itu tidak berasal dari Islam. Apa yang telah mereka lakukan mengharuskan mereka untuk
taubat sebenar-benarnya. Dakwah kepada Islam membutuhkan mereka, akan tetapi bukan
dengan metode berpikir dan lontaran pemikiran-pemikiran seperti itu. Mereka harus menjadi para
pembela Islam, bukan pembela sistem yang memerintah dengan apa yang tidak diturunkan Allah.
Penetapan mana yang manfaat dan mana yang mafsadat, secara qath’i adalah hanya milik
Allah, Rabb semesta alam. Apa yang bermanfaat bagi kita dan apa yang berbahaya bagi kita, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Seandainya hal itu merupakan suatu perkara yang
manusia mampu melakukannya, maka pastilah manusia akan menjadi musyarri’ (pembuat
hukum). Dan pasti manusia tidak membutuhkan lagi agama dari sisi Allah, yang mengatur seluruh
urusan hidup manusia. Oleh karena itu Islam menganggap bahwa seorang muslim wajib terikat
dengan syari’at Rabbnya. Apa yang dituntut oleh syara’ kepada kita untuk mengerjakannya adalah
maslahat bagi kita. Dan apa yang diperintahkan syara untuk meninggalkannya maka itu adalah
mafsadat. Kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu maslahat atau mafsadat kecuali setelah turun
(penjelasan) syara’ dalam masalah itu. Sebelum itu, kita tidak mampu untuk menetapkannya.
Sebab, akal telah memiliki patokan yang menjadi dasar untuk membedakan khair (kebaikan) dan
syar (keburukan), hasan (terpui) dan qabih (tercela). Dari sinilah kaidah syara’ menyebutkan:

Dimana ada hukum syara’ disana pasti ada maslahat.

Ada juga kaidah salah yang mereka lontarkan:

Dimana ada kemaslahatan disitulah ada hukum syara’.

Itulah yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia:


َِ‫ِىا َ تن ؤ تمِالَِ َ تلَ ؤمىو‬
َ ‫ِىهللاؤِ َ تلَ ؤم‬
َ ‫ًسِىه َؤىِش ٌَََِّْ ؤَ تم‬ َ ِ ‫ع َ ِا َ توِ ؤحْ مُّى‬
َ ‫ش تئ‬ َ ‫ًسِىه َؤىِ َ ٌتََِْ ؤَ تم‬
َ ‫ِى‬ َ ِ ‫ع َ ِا َ توِ ََ َتْهؤى‬
َ ‫ش تئ‬ َ ‫علَ ت ؤَ ؤمِ تَ ْ َسل‬
َ ‫ؤِىه َؤىَِ تؤْهٌََِ ؤَ تم‬
َ ‫ِى‬ َ َ‫ ؤ‬
َ ِ‫ْب‬
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-
Baqarah [2]: 216)

Berdasarkan titik tolak ini kami dapat memahami firman Allah Swt:
َِ ‫علَ ْته ؤمِ تَ َ مَسئ‬
‫ْث‬ َ ِ‫ِْى ؤح َْْ ؤم‬ َ َ ِ‫ َى ؤحْ لََُِّ ؤه ؤم‬
َ ‫ك ْمَس‬
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk. (QS. al-A’raaf [7}: 157)

Artinya, thayyib (baik) adalah apa yang dihalalkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa
sesuatu itu adalah thayyib sampai Allah menghalalkannya. Khabits (buruk) adalah apa yang
diharamkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu dikatakan khabits kecuali
setelah Allah mengharamkannya. Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa akal kita mampu menentukan
sesuatu itu thayyib kemudian menghalalkannya, atau menetapkan sesuatu itu khabits kemudian
mengharamkannya.
Inilah yang mereka maksudkan dengan perkataan memilih yang lebih baik dari dua
kebaikan; memlih yang lebih baik dari dua keburukan; menghasilkan kemasalahatan yang lebih
besar dari dua kemaslahatan dengan meninggalkan yang lebih rendah; dan menolak kerusakan
yang lebih besar dari dua kerusakan. Ini merupakan perkataan yang keliru dan didalamnya
mengandung bahaya bagi syari’at. Perkataan tersebut jauh lebih berbahaya dari pendapat yang
membolehkan mashalih al-mursalah. Itu terjadi karena jika suatu fakta tidak ada nash syar’i-nya
maka mereka harus merujuk kepada maslahat. Sementara kami melihat bahwa dengan pendapat
mereka ini telah memberikan izin bagi diri mereka sendiri untuk mengganti hukum-hukum Allah,
dan memberikan hak kepada akal-akal mereka untuk menasakhnya. Dengan perkataan mereka itu
sama artinya dengan menghalakan yang haram dan mengharamkan yang halal, jika hal ini
dikaitkan dengan agama. Ini merupakan metode yang sangat berbahaya. Itulah yang menjadi
penyebab jauhnya pendapat-pendapat dan sikap-sikap mereka dari kebenaran.
Sesungguhnya dengan memperhatikan apa yang telah kami paparkan kami berpendapat
bahwa kaidah-kaidah mereka itu sesuai satu sama lain dan berkomitmen untuk turut campur
kedalam masalah tasyri’ yang merupakan hak Allah. Kaidah-kaidah itu membolehkan akal dan
hawa nafsu mereka untuk membuat kaidah-kaidah aqliyah yang tidak sesuai dengan syara’ dalam
rangka meraih apa yang mereka inginkan, bukan apa yang syara’ inginkan. Dengan demikian
qiyas aqli yang dibangun diatas asas maslahat merupakan pemimpin mereka dalam setiap tulisan
dan tindakan. Padahal qiyas aqli adalah perkara penting yang ditolak oleh syara’ atas kaum
Muslim, karena di dalamnya terdapat penentangan kepada Allah dan berserikat terhadap-Nya
untuk membuat (hukum) syara’. Metoda itu juga menjauhkan mereka dari kebenaran, mengikuti
hawa nafsu dan kecenderungan manusia. Pembahasan mereka berdiri diatas landasan mencari-
cari hukum thaghut. Padahal mereka diperintahkan untuk kafir kepada (hukum) thaghut. Sebab,
thaghut adalah mencari-cari hukum selain dari apa yang diturunkan Allah.
Diakhir pembahasan ini dijelaskan perbedaan antara qiyas aqli dengan qiyas syar’i untuk
menjelaskan kerusakan qiyas aqli dan perlunya kembali pada qiyas syar’i agar kita selamat, dan
agar kita dapat menyelamatkan umat kita dan manusia seluruhnya.
Kaum Muslim telah mempraktekkan metode tarjih aqli bagi maslahat di dalam hukum
syara’. Mereka mulai membandingkan kemaslahatan-kemaslahatan yang diakui oleh hukum syara’
dengan mafsadat yang mengikutinya, menurut pandangan akal. Apabila menurut mereka
mafsadatnya lebih banyak, maka mereka pun meninggalkan hukum syara’ yang merupakan
hukum Allah dalam masalah itu, dan mengambil hukum alternatif (lain) yang diambil berdasarkan
akal yang –menurut mereka- maslahatnya jauh lebih banyak. Apabila maslahat pada suatu hukum
syara’ lebih banyak maka hukum syara’ itu dilaksanakan. Namun, hal itu bukan karena Allah telah
memerintahkannya, melainkan akal mereka telah menyetujuinya. Ini adalah metode yang salah
dan tidak boleh dibiarkan. Metode ini meletakkan akal dan hawa nafsu sebagai sandaran, bukan
syara’. Metode ini memberikan kepada akal peran menghukumi syari’at Allah, sehingga
menempatkan akal diatas syara’. Hal ini adalah penetapan hukum wadh’i diluar syara’. Faktor itu
juga yang menyebabkan mereka berani mengeluarkan pendapat-pendapat yang bertentangan
dengan hukum-hukum syara’, terutama pendapat yang sedang kita bahas ini. Jadi, tidak akan
mungkin ada perbedaan pendapat dalam hal, apakah boleh bergabung dengan sistem
pemerintahan yang menerapkan hukum jahiliah atau tidak? Perbedaan itu sendiri terdapat di
dalam metode berpikir yang dipakai mereka untuk menghasilkan hukum yang tidak sesuai dengan
syara’, hukum yang berdasarkan akal, hukum yang tidak diturunkan Allah, hukum thaghut yang
justru mereka diperintahkan untuk berpaling.
Berdasarkan hal ini kami berpendapat bahwa metode mereka bertentangan dengan
pemahaman yang benar. Dan fakta telah menunjukkan kerusakannya. Tidak dibolehkan kaum
Muslim bersandar kepada metode semacam itu atau mengambil hukum berdasarkan metode
tersebut. Sebab, penentuan manfaat dan mafsadat secara qath’i adalah hak Allah, Rabb semesta
alam. Tidak ada yang mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya bagi kita kecuali
Allah. Apabila manusia memiliki hak itu, berarti dialah yang menjadi musyarri’ (pembuat hukum).
Implikasinya adalah manusia tidak lagi membutuhkan agama dari Ilahi untuk mengatur
kehidupannya. Islam menganggap bahwa seorang muslim wajib terikat dengan syari’at Rabbnya.
Apa yang dituntut syara’ untuk dikerjakan, maka hal itu adalah maslahat bagi kita, dan apa pun
yang dituntut untuk meninggalkannya berarti ada mafsadat bagi kita. Dan kita tidak mengetahui
bahwa didalam suatu perkara terdapat maslahat atau pun mafsadatnya kecuali setelah syari’at
turun menjelaskannya. Akan tetapi, sebelum itu terjadi, akal kita tidak mampu untuk
menetapkannya.
Tatkala manusia membuat syari’at, dapat dipastikan akan menggunakan metode qiyas aqli
yang mengharuskannya untuk menyamakan hal-hal yang mirip dan memberinya hukum yang
sama pula. Kemudian membedakan hal-hal yang berbeda dan memberinya hukum yang berbeda
pula.
Apabila kita memperhatikan syari’at Islam yang telah dibuat oleh Yang Maha Mengetahui,
maka kita menyaksikan bahwa kadang-kadang syara’ telah memberikan hukum yang berbeda
terhadap persoalan-persoalan yang mirip, dan memberikan hukum yang sama terhadap banyak
perkara-perkara yang berbeda. Fenomena ini tentu bertentangan dengan qiyas aqli. Terkadang
syara’ memberikan hukum yang tidak bisa dipahami oleh akal manusia. Ini saja cukup untuk
menggugurkan metode berpikir bid’ah ini, yang telah dicetuskan oleh sebagian orang-orang itu.

Bab 15
Tujuan Tidak Menghalalkan Segala Cara

Sebagian kaum Muslim telah terseret oleh metode analogi akal (qiyâs aqlî) yang tidak
didasarkan pada ammârah (indikasi-indikasi) syariat atau ‘illat syar‘iyyah yang terkandung di dalam
nash. Menurut mereka, analogi akal (qiyâs ‘aqlî) dapat dipahami dari seluruh nash syariat, tanpa
harus ada nash-nash lain yang menunjukkannya. Analogi suatu hukum terhadap hukum yang lain
semata-mata ditetapkan karena adanya kesejalanan dengan akal, tanpa harus ada ‘illat hukum
yang disebutkan oleh syariat, sekaligus berasal dari proses analisis akal (tarjih) terhadap
kemaslahatan yang terdapat dalam hukum syariat itu sendiri.
Semua pandangan tadi tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Dalam pandangan
mereka, syariat Islam seluruhnya bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Oleh karena itu, apa saja yang bisa menjaga lima hal di atas, menurut pandangan mereka,
merupakan kewajiban yang telah dituntut oleh syariat—kendati tidak secara langsung didasarkan
pada hukum syariat itu sendiri, atau tidak digali dari ‘illat syar‘iyyah—karena adanya kemiripan
pada dua perkara di atas. Karena adanya faktor kemiripan pula, menurut mereka, ketika syariat
Islam membolehkan seorang muslim yang berada dalam kondisi darurat memakan makanan yang
haram atau meminum khamar, maka ia pun dibolehkan untuk mengambil riba (bunga
uang/barang) jika ia berada dalam kondisi yang sama.
Cara berpikir semacam ini jauh dari -bahkan bertentangan dengan- pemahaman yang
benar. Pada kenyataannya, cara berpikir demikian adalah rusak, dan tidak layak untuk dijadikan
sandaran ataupun diambil sebagai acuan dasar. Sebab, analogi akal (qiyâs ‘aqlî) menetapkan
adanya keharusan penyamaan dua kasus yang serupa atau keharusan pembedaan dua kasus
yang saling berlawanan. Padahal, pada banyak kasus, kita sering menyaksikan bahwa, syariat
acapkali membedakan dua perkara meskipun perkara tersebut serupa, atau menyamakan dua
perkara meskipun dua perkara tersebut tampak bertentangan. Lebih dari itu, syariat juga sering
memberikan ketetapan-ketetapan hukum yang tidak selamanya dapat dipahami oleh akal.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan paradigma dasar metode berpikir yang
mengagung-agungkan akal pikiran dalam menetapkan sesuatu, tanpa merujuk kepada bentuk
tekstual nash, atau tanpa bersandar pada kaidah-kaidah ijtihad syar‘î.

Pembedaan Dua Perkara yang Serupa


Dalam syariat Islam, banyak hal yang tampak serupa menurut pandangan akal namun
hukumnya berbeda. Misalnya, keutamaan waktu bagi kaum Muslim. Syariat Islam telah
memuliakan salah satu malam di bulan Ramadhan, yaitu Lailatul Qadar dibandingkan dengan
malam-malam yang lain. Padahal, menurut akal manusia, malam satu dengan malam yang lain,
tidak ada bedanya, sehingga mengharuskan hukum yang sama. Syariat Islam juga telah
membedakan keutamaan tempat seperti mengutamakan Makkah dibandingkan dengan Madinah
atau mengutamakan Makkah dan Madinah ketimbang tempat-tempat yang lain. Padahal, menurut
akal manusia, tempat satu dengan tempat yang lain di atas muka bumi itu, tidak ada
keistimewaannya. Syariat Islam juga telah membedakan shalat-shalat yang boleh di-qashr
(disingkat). Syariat memberikan keringanan (rukhshah) pada shalat yang berjumlah empat rakaat
tetapi tidak memberikan keringanan pada shalat yang jumlah rakaatnya tiga atau dua. Syariat telah
membedakan antara manî dengan madzî (cairan alamiah -selain air seni- yang keluar dari alat
kelamin laki-laki pada saat-saat tertentu). Syariat menetapkan bahwa manî adalah suci sedangkan
madzî adalah najis, padahal keduanya keluar dari tempat yang sama. Syariat Islam telah
menetapkan kewajiban mandi karena keluarnya manî, dan menetapkan batalnya puasa jika manî
dikeluarkan dengan sengaja, tetapi hal ini tidak berlaku untuk madzî, meskipun keduanya keluar
dari tempat yang sama. Padahal, menurut akal manusia, jika sama-sama keluar dari tempat yang
sama, maka hukumnya juga harus sama. Syariat telah menetapkan kewajikan untuk membasuh
pakaian bila terkena air kencing bayi perempuan dan cukup memercikan air bila terkena air
kencing bayi laki-laki. Padahal, menurut akal manusia pula, air kencing bayi, baik laki-laki ataupun
perempuan sama saja. Syariat Islam juga telah menetapkan kewajiban untuk meng-qadhâ’ puasa
bagi wanita haid, tetapi tidak menetapkan kewajiban bagi mereka untuk meng-qadhâ’ shalat.
Syariat telah menetapkan hukum potong tangan bagi orang yang mencuri harta senilai tiga dirham,
tetapi tidak memberlakukan hukuman yang sama bagi orang yang meng-ghasab (merampas)
harta senilai jutaan dirham. Syariat Islam juga telah menetapkan adanya ‘iddah bagi wanita yang
ditalak selama tiga kali suci, sedangkan ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4
bulan 10 hari, padahal ada unsur kesamaan dalam dua kasus tersebut.
Semua contoh-contoh diatas mengandung unsur keserupaan, yang -menurut akal
manusia- mengharuskan ketetapan hukum yang sama. Kenyataannya, Allah Swt. malah
membedakan hukum satu perkara dengan perkara lainnya. Ini adalah bukti, bahwa akal manusia
tidak bisa dijadikan rujukan, sekaligus menunjukkan kelemahan akal, karena tidak mengetahui
hakekat atas suatu perkara.
Seandainya akal dibiarkan untuk menetapkan hukum pada masalah-masalah seperti di
atas, tentu akan terjadi kesalahan, dan penetapan hukumnya pun akan bertentangan dengan
hukum yang ditetapkan oleh syariat. Syariat, telah menetapkan hukum yang berbeda dengan
hukum yang ditetapkan oleh akal. Dengan demikian, semua hal di atas menunjukkan bahwa
metode analogi semacam ini adalah keliru.

Menyamakan Dua Perkara yang Berbeda


Sebaliknya, syariat Islam, dalam banyak hal, juga telah menyamakan hukum atas dua
perkara, yang -menurut akal manusia tampaknya- kedua perkara itu berbeda. Meskipun hal ini
tidak sejalan dengan metode analogi akal, namun Allah Swt yang Maha Mengetahui hakekat
segala sesuatu telah menyamakan hukum keduanya. Misalnya, syariat Islam telah menetapkan
bahwa air dan tanah, sama-sama boleh digunakan untuk bersuci, meskipun, secara lahiriah
ataupun zatnya, kedua jenis benda itu berbeda, malah saling bertentangan sifatnya. Air, misalnya,
memiliki sifat membersihkan, sedangkan tanah (debu) memiliki sifat mengotori. Syariat Islam juga
telah mengharamkan riba fadhal pada emas (contohnya pertukaran 1 kg emas 24 karat dengan 1
kg emas 22 karat) dan gandum (seperti antara 1 kg gandum yang berasal dari Syam dengan 1 kg
gandum Yaman yang berbeda jenisnya), padahal fakta keduanya (yaitu emas dan gandum) itu
berbeda. Syariat telah menetapkan sanksi yang sama (meskipun cara pelaksanaan sanksinya
berbeda), yakni hukuman bunuh, bagi orang yang murtad dan pezina muhshan. Padahal murtad
itu hakikatnya berbeda dengan zina. Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang Muslim dan
kafir dzimmî sama-sama terjaga darahnya, meskipun keduanya berbeda agama. Syariat Islam
juga telah mewajibkan hukuman cambuk, masing-masing 80 kali, bagi orang yang menuduh zina
dan peminum khamar, padahal antara minum khamar dengan menuduh orang lain berzina,
keduanya berbeda.
Demikianlah, banyak fakta yang berbeda satu sama lain, tidak memiliki kesamaan sama
sekali, tetapi telah diberikan ketetapan hukum yang sama oleh syariat Islam. Seandainya akal
manusia dibiarkan melakukan analogi terhadap kasus-kasus tersebut, tentu ia akan menetapkan
hukum yang berlawanan dengan ketetapan syariat Islam. Kenyataan ini, sekali lagi, menunjukkan
bahwa metode analogi semacam ini -yang mangagung-agungkan akal manusia- adalah keliru.
Di luar contoh-contoh tersebut diatas, syariat Islam telah menetapkan sejumlah hukum yang
acapkali tidak bisa dipahami oleh akal. Misalnya, syariat telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba, padahal keduanya mirip. Syariat Islam telah mensyaratkan persaksian dalam
kasus perzinaan adalah empat orang laki-laki, sedangkan dalam kasus pembunuhan cukup dua
orang laki-laki, padahal pembunuhan itu kualitas perkaranya jauh lebih berat dibandingkan dengan
zina. Dalam persaksian kasus rujuk, saksi harus muslim, sedangkan dalam persaksian wasiat,
saksi boleh dari orang kafir. Syariat Islam juga telah mewajibkan seorang laki-laki untuk berlaku
‘iffah (menjaga kehormatan) atau menundukkan pandangannya terhadap wanita merdeka,
meskipun buruk rupa; baik terhadap rambut ataupun kulitnya. Padahal biasanya, seorang laki-laki
tidak akan tertarik kepada wanita semacam ini. Akan tetapi sebaliknya, ia tidak diwajibkan untuk
menundukkan pandangan terhadap seorang budak wanita, meskipun budak tersebut cantik dan
menarik hatinya. Syariat Islam telah mewajibkan seseorang untuk mengusap punggung sepatu
(khuf), bukan pada bagian alasnya. Padahal membersihkan alas sepatu lebih utama (menurut akal
manusia, karena itulah yang terkena kotoran/tanah) Dalam konteks ini, sayyidina ‘Alî ra pernah
berkata:

Seandainya agama ini ditetapkan dengan qiyas (analogi akal), sungguh mengusap alas sepatu
(khuf) adalah lebih utama ketimbang mengusap punggungnya.

Pernyataan sayyidina ‘Ali di atas telah cukup untuk membantah bait syair, yang melecehkan
ketetapan syariat Islam, yang dituturkan oleh seorang penyair terkenal, Abû al-‘Alâ’ al-Ma‘arî, yang
berbunyi demikian:

Tangan cukup didenda dengan lima ratus dinar


tetapi dipotong hanya karena seperempat dinar

Maksudnya, tangan yang diciderai oleh seseorang, didenda dengan lima ratus dinar bagi
penganiayanya. Lalu, bagaimana mungkin pencuri dipotong tangannya hanya karena mengutil
seperempat dinar? Dengan kata lain, jika didasarkan pada ketetapan akal, hukum potong tangan
yang ditetapkan oleh syariat pada kasus pencurian seperempat dinar adalah tindakan kejam.
Oleh karena itu, seandainya akal diberi kewenangan untuk menetapkan ‘illat dari
keseluruhan hukum syariat, dari teks nash, atau dari adanya kesesuaian pada dua buah hukum
sehingga qiyâs (analogi) bisa dilakukan, maka sesungguhnya akal akan mengharamkan banyak
hal yang telah dibolehkan Allah Swt dan menghalalkan banyak hal yang telah diharamkan Allah
Swt. Oleh karena itu, qiyâs tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan metode yang telah
ditetapkan oleh syariat. Dengan kata lain, qiyâs syar‘î tidak akan terjadi kecuali pada nash yang di
dalamnya mengandung ‘illat. Qiyâs tidak boleh dilakukan pada nash yang tidak mengandung ‘illat
syar‘iyyah; qiyâs tidak boleh didasarkan pada ‘illat ‘aqliyyah (‘illat yang ditetapkan oleh akal); dan
qiyâs pun tidak boleh ditentukan dengan didasarkan pada ‘illat syar‘iyyah yang tidak disebutkan
atau tidak ditentukan. Oleh karena itu pula, para fuqaha membatasi ‘illat hanya pada ‘illat yang
digali dari nash-nash syariat. Mereka menyatakan bahwa ‘illat kadang-kadang dipahami dari nash
secara jelas (sharâhah), melalui penunjukkan (dilâlah), lewat penggalian (istinbâth), atau dengan
analogi (qiyâs). (Dalam konteks ini, anda bisa merujuk pada berbagai kitab ushul fiqih).
Ketika menetapkan qiyâs, Rasulullah saw. juga menentukan jenisnya. ‘Abdullah ibn Zubair
pernah menuturkan riwayat demikian:

Seseorang dari suku Khats’am pernah mendatangi Rasulullah saw dan berkata, ‘Bapakku masuk
Islam, sedangkan dia sangat tua dan tidak dapat berjalan. Padahal haji telah diwajibkan
kepadanya. Apakah aku harus menghajikannya?’
Rasulullah bertanya, ‘Apakah kamu anak laki-lakinya yang tertua?’
Orang itu menjawab, ‘Benar’.
Rasulullah saw bersabda: ‘Ketahuilah, jika bapakmu memiliki utang kemudian engkau
melunasinya, tentu ia tidak akan memiliki utang lagi’.
Orang itu menjawab, ‘Benar’.
Rasulullah saw bersabda: ‘Oleh karena itu, berhajilah untuknya’. (HR Imam Ahmad dan Nasâ’î).

Haji adalah ibadah, sedangkan meminjam uang termasuk muamalat. Keduanya berbeda.
Akan tetapi, mengerjakan kewajiban haji dipandang sama dengan melunasi utang, yakni keduanya
sama-sama harus ditunaikan. ‘Illat tentang kebolehan seorang anak berhaji untuk bapaknya dalam
keadaan semacam ini esensinya adalah melunasi utang. Rasulullah saw mengidentikkan utang
kepada Allah sebagaimana halnya utang kepada seorang hamba. Keduanya wajib untuk dilunasi.
Seandainya Rasulullah saw tidak mensyariatkan hukum seperti ini, tentu akal kita tidak akan
berpendapat semacam itu.
Penetapan ‘illat suatu hukum merupakan petunjuk yang menjelaskan sebab dasar
disyariatkannya hukum tersebut. ‘Illat harus diikuti manakala sudah ditemukan. Inilah yang disebut
dengan qiyâs (analogi). Rasulullah saw sendiri, ketika berkomentar tentang kucing dengan
sabdanya:

Sesungguhnya kucing bukan najis.

Beliau menjelaskan ‘illat (alasan penetapan hukum)-nya, dengan sabdanya:

Sesungguhnya kucing biasa bergaul dengan kalian. (HR. Bukhari dan Turmudzi).

Oleh karena itu, semua yang biasa bergaul dengan manusia tidak dikategorikan sebagai
najis, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Rasulullah saw juga bersabda:

Sesungguhnya izin itu ditetapkannya demi menjaga pandangan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, seorang Muslim wajib meminta izin sebelum ia masuk ke rumah orang lain.
Sebab, rumah memiliki kehormatan dan dianggap sebagai aurat. Sabda beliau ‘demi menjaga
pandangan’ adalah ‘illat disyariatkannya izin. Berdasarkan hal ini, seorang Muslim yang masuk ke
dalam rumahnya sendiri tidak perlu meminta izin. Sebab, jika ‘illat tidak ada, hukum pun tidak ada;
kecuali jika ada tamu atau ada sebab yang lain. Sebaliknya, ketika ‘illat ada, hukum pun berlaku.
Dengan demikian, hukum bergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat.
Jadi, qiyâs sebetulnya merupakan perkara yang cukup rumit. Harus diketahui bahwa qiyâs
hanya merupakan kewenangan bagi orang yang telah sangat memahami nash-nash yang ada,
hukum-hukum syariat, dan berbagai fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak dan bisa
melakukan qiyâs sesuka hatinya sendiri. Qiyâs hanya merupakan hak bagi orang yang diberi oleh
Allah Swt kecerdasan pemahaman. Jika tidak demikian, qiyâs hanya akan merupakan salah satu
sarana untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan hakekat hukum Allah Swt.
Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i pernah berkata: ‘Seseorang tidak boleh melakukan qiyâs
sampai ia memahami Sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf, dan bahasa Arab; memiliki
kecerdasan sehingga ia bisa membedakan hal-hal yang syubhat; tidak tergesa-gesa
menyimpulkan pendapat; tidak mengabaikan pendapat orang yang mengkritiknya, sebab kritik
akan membuatnya waspada dari keteledoran, dan waspada dari kesalahan yang diyakininya
sebagai kebenaran’. Praktek qiyas memerlukan pemahaman yang amat cermat dan teliti. Jadi,
tidak sah qiyas untuk menggali hukum kecuali dilakukan oleh seorang mujtahid.
Apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tidak kami ungkapkan kecuali mengutip dalil-
dalil mereka yang membolehkan bergabung dengan sistem pemerintahan kufur, sekaligus
dipaparkan argumentasi penolakan terhadap dalil-dalil tersebut. Kami juga memaparkan bahwa
dalil-dalil itu tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara yang sedang dibahas. Kita akan membahas
bagaimana pendapat Islam yang qath’i yang tidak menerima ijtihad dalam topik ini?
Syariat dengan akidahnya ditegakkan di atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan
wajib meng-Esakannya di dalam ibadah. Ucapan (lâ ilâha) berarti menafikan ketuhanan, ibadah
dan tasyri’ kepada selain Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat (penetapan) semua itu hanya
untuk Allah. Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan layak untuk membuat hukum. Ini
mengharuskan juga beribadah dan tunduk kepada-Nya, serta mengetahui syari’at-Nya melalui
Rasulullah saw. Inilah yang dikandung oleh bagian kedua dari ucapan syahadat, yaitu perkataan
(Muhammad Rasulullah). Artinya, wajib menjadikan Rasulullah saw sebagai satu-satunya figur
yang diikuti dan diteladani dalam perkara tasyri’.
Ushul fiqih telah membatasi sumber wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari wahyu.
Ushul fiqih juga membatasi kaedah-kaedah istinbath agar tidak ada unsur yang masuk ke dalam
syara’, berupa sesuatu yang bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan pertama di dalam ushul
fiqih adalah bahwa Hâkim (pembuat hukum) adalah Allah Swt, dan bahwa hukum itu hanya hak
Allah saja. Tidak ada hukum kecuali syara’ telah menjelaskannya.
Kemudian datang fiqih yang merupakan terjemahan praktis untuk beribadah kepada Allah
semata dan tunduk kepada-Nya. Tidak menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya berhukum kepada
syari’at-Nya semata.
Dan bergabung dengan sistem pemerintahan yang kufur berarti mengajak untuk menerima
undang-undang buatan manusia disamping hukum ilahi; menerima musyarri’ selain Allah, sejajar
dengan Allah; menerima berbilangnya sumber tasyri’... Lalu, dimana ke-Esaan Yang Disembah,
yang menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik dzahir maupun batin?
Tidak dibolehkannya mensyarikatkan Allah mengharuskan pula tidak boleh turut serta
didalam penetapan hukum-Nya.
Dari pembahasan ini tampak bahwa syara’ secara keseluruhan mengarahkan tidak
bolehnya bergabung dalam sistem pemerintahan yang menerapkan aturan jahiliah.
Sirah dakwah Rasulullah saw menunjukkan tidak disisakannya satu keraguan pun terhadap
fundamentalnya pemikiran dan menjauhkannya dari realita yang mungkin bisa mempengaruhinya.
Bahkan, berusaha untuk mewarnai realita dan memunculkan perubahan. Dakwah Rasulullah saw
tidak mempedulikan fakta-fakta syirik yang ada di tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak
memperhatikan lagi adat kebiasaan mereka, tidak memperhitungkan apakah manusia akan
menerima atau menolak dakwahnya, dan tidak bermanis muka kepada penguasa. Padahal kondisi
Rasulullah saw dan kondisi dakwah di kota Makkah ketika itu sangat keras. Rasulullah saw
menyerukan (lâ ilaâha illa Allah) yang merupakan inti Islam secara keseluruhan, dan penolakan
secara total terhadap selain Islam, baik akidah maupun syari’at. Berdasar asas ini pula Abu Jahal
bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya melakukan penolakan. Dengan bertumpu kepada asas ini
Rasulullah saw menjalankan dakwah kepada umat manusia seluruhnya, baik yang berkulit putih
maupun yang berkulit hitam, hamba sahaya atau pun orang merdeka, kaya maupun miskin, orang
Arab atau selain Arab, penyembah berhala atau pun ahli kitab. Rasulullah saw menghadapi
mereka dan berjuang untuk menyampaikannya. Beliau memulai dengan menyebut tuhan-tuhan
mereka. Mereka membalasnya dengan pemusuhan. Kemudian mereka menawarkan kompromi,
dan meminta beliau agar tidak mengganggu mereka. Jika hal ini diterima, maka mereka juga tidak
akan mengganggu beliau. Mereka menginginkan andai saja Rasulullah saw bermanis muka
kepada mereka, maka mereka akan melakukan hal yang sama. Kenyataannya, Rasulullah saw
tidak menuruti keinginan mereka dan memilih bersikap sabar terhadap penolakan mereka
terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya maupun orang-orang
mukmin lain yang beriman terhadapnya. Kesabaran merupakan bukti kebenaran dakwah dan
ucapannya. Beliau saw juga menolak (dengan tegas) syarat yang diajukan bani Sha’sha’ah tatkala
beliau mendatangi mereka untuk mendapatkan pertolongan mereka terhadap agamanya disaat-
saat dakwah beliau dalam kondisi kritis. Tidak seorang pun yang menolong. Mereka bersedia
untuk menolong beliau akan tetapi dengan mengajukan persyaratan, (yaitu) jika beliau wafat,
maka kekuasaan harus diserahkan kepada mereka. Saat itu beliau tidak mengatakan adanya
celah (peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan, setelah setiap jalan yang ada di hadapan beliau
tertutup rapat. Beliau malah mengatakan kepada mereka -dan kepada kita juga untuk
mengajarkan, memberi petunjuk dan mengajak-:

‘Perkara (kekuasaan) itu adalah urusan Allah. Dialah yang memberikannya kepada siapa saja
yang Dia kehendaki’.

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa yang memiliki hak untuk menetapkan hal itu
hanya Allah semata. Dia memberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Tidak ada seorang
pun yang boleh berserikat dengan-Nya dalam perkara ini. Jadi, hanya Allah saja yang berhak
menyerahkannya kepada orang yang Dia kehendaki. Manusia dalam hal ini tidak memiliki hak
sedikitpun. Dakwah Rasulullah saw berjalan hanya bersandar kepada pemikiran dan taufiq Allah
Swt. bahkan dakwah beliau juga sampai pada tercapainya tujuan dengan berdirinya Darul Islam di
kota Madinah setelah Allah Swt membuka hati dan akal orang-orang yang menolong dan
mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari Allah Swt yang akan diperoleh juga oleh orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya, meminta pertolongan-Nya, memelihara kejernihan pemikiran dan
kecemerlangan pemahaman, istiqamah dalam perjalanan (dakwahnya) dan menjaga kebenaran
tingkah lakunya.
Di akhir pembahasan masalah tentang (larangan) bergabung dengan sistem pemerintahan
yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, maka kami ingin
memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan dilwatinya jalan ini; dan menolak
setiap alasan atau penakwilan, karena ayat-ayat tersebut qath’i dilalah (penunjukkannya bersifat
pasti).
Sesungguhnya Undang-undang Dasar dinegara manapun di dunia, harus berdiri di atas
asas pemikiran tertentu. Kadang-kadang asasnya demokrasi, bisa juga asas Islam. Artinya, tidak
lahir hukum apapun kecuali berasal dari akidah dan dasar negaranya.
Didalam sistem demokrasi, hukum-hukum yang terdapat didalam UUD harus sesuai
dengan asas demokrasi. Bahwasanya kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Maknanya,
rakyatlah yang menyusun perundang-undangan melalui majelis (parlemen) yang dipilih rakyat
untuk menjalankan tugas ini, dan disebut dengan majelis perwakilan. Ada pula kekuasaan
eksekutif yang berfungsi menjalankan pemerintahan. Lembaga ini menerapkan apa yang
dihasilkan badan legislatif, yang mewakili rakyat. Untuk menjaga agar penguasa tetap terikat
dengan ketetapan rakyat, maka majelis perwakilan memiliki wewenang untuk memberikan mandat
kepada pemerintah. Pemerintahan belum sah kecuali setelah majelis perwakilan memberikan
mandat kepadanya. Majelis perwakilan juga memiliki wewenang untuk mengawasi jalannya
pemerintahan, mengkritisinya dan meminta penjelasan kepadanya. Majelis perwakilan juga berhak
untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet, baik secara keseluruhan atau kepada
salah satu menteri apabila terlepas atau tidak terikat dengan UUD.
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan semacam itu, asasnya adalah demokrasi bukan
Islam. Islam -sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya- tidak menerima perbuatan
apapun yang tidak berdiri diatas asas ruhiyah, yaitu iman kepada Allah Swt.
Sebuah sistem juga memiliki asas yang satu. Bangunannya merupakan satu kesatuan.
Politik yang ingin diterapkan juga satu. Pemerintah menerapkannya melalui keberadaan kabinet.
Kebijakan politik setiap departemen harus selaras dengan departemen-departemen lainnya. Pihak
yang merancang (visi) politik ini adalah pemerintah secara keseluruhan. Jadi, suara seorang
menteri muslim hanyalah satu diantara suara-suara lainnya, yang bersama Perdana Menteri
menyusun (sistem) politik yang sesuai dengan UUD dan asasnya. Ini ditinjau dari segi perundang-
undangan. Dari sisi pelaksanaannya, maka kenyataannya menunjukkan jbagaikan auhnya langit
dengan bumi. Seorang menteri yang diangkat untuk memimpin departemen, tidak akan mampu
keluar dari kungkungan politik pemerintah yang telah ditetapkan oleh pemimpin negeri dan
kroninya. Tidak ada pilihan lain bagi sang menteri kecuali menerima jabatan tersebut dan
menjalankan politik yang sudah digariskan; atau menolak jabatan itu dan dia tidak memiliki hak
untuk menetapkan (kebijakan) politik departemennya.
Lebih dari itu, tanggungjawab kabinet adalah tanggung jawab bersama. Artinya, jika
pemerintah ingin menerapkan kebijakan politik yang akan dijalankannya atau mengambil
keputusan-keputusan yang diperlukan, maka keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan suara
mayoritas. Dengan kata lain, seorang menteri turut campur ke dalam urusan departemen lainnya,
dan memberikan pendapatnya dalam keputusan-keputusannya. Kenyataan ini menempatkan
setiap menteri bertanggung jawab terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
departemennya atau departemen lainnya. Dalam kondisi semacam itu dia wajib membela politik
pemerintah dan seluruh kebijakan lainnya dihadapan publik, meskipun dia menentang kebijakan
itu ketika berada di dalam sidang kabinet. Dari sini tampak jelas bahwa seorang menteri muslim
akan menjadi penentang setiap kebijakan yang bertentangan dengan Islam, dan pembicaraan
seperti ini menunjukkan kedangkalan berpikir. Seorang menteri tentu saja berbeda faktanya
dengan seorang anggota Dewan Perwakilan. Dari sisi undang-undang, bukan dari aspek
penerapan, seorang wakil rakyat mewakili orang-orang yang memilihnya. Kadang-kadang dia
mewakili kaum Muslim dalam sistem demokrasi. Kadang-kadang mewakili golongan radikal kiri di
dalam sistem kapitalis. Lain halnya dengan menteri, dia tidak diangkat untuk menjadi seorang
oposan didalam pemerintah. Jika tidak maka ia akan tetap berada diluar untuk berhadap-hadapan
sebagai oposan. Di dalam sistem demokrasi orang yang menentang kebijakan pemerintah akan
berada diluar sistem. Dia tidak boleh masuk di dalamnya. Apabila dia mesuk secara tidak sengaja,
maka dia akan dikeluarkan dengan cara paksa. Sebab, tugas pemerintah itu adalah memerintah
dan menerapkan. Pemerintah tidak menerima adanya kontradiksi di dalam sistem. Jadi, siapa pun
yang menentang kebijakan politiknya maka dia akan dikeluarkan oleh Perdana Menteri, atau
kabinet secara keseluruhan; atau terhadapnya disampaikan mosi tidak percaya dari para wakil
rakyat, walaupun itu ditujukan untuknya seorang. Pemerintahan harus tetap berjalan.
Perlu diperhatikan bahwa dengan diangkatnya seorang muslim menjadi menteri di dalam
pemerintahan, berarti dia menerima UUD yang ada dinegara itu dan asas dari UUD tersebut. Yang
kami maksud oposisi disini bukan oposan (berlawanan) dengan asas dari sistem, melainkan
oposisi di dalam sistem itu sendiri, yakni oposisi yang menentang masalah-masalah cabang, tetapi
mengakui pokoknya.
Lagi pula setiap kebijakan yang telah diambil dan berkaitan dengan salah satu departemen
yang ada di dalam kabinet, tidak boleh dijalankan kecuali setelah memperoleh kesepakatan dan
persetujuan yang ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Presiden, Perdana Menteri dan Menteri
yang bersangkutan. Ini menunjukkan bahwa seorang menteri muslim tidak bebas (otonom)
mengelola departemennya, termasuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan praktis sendiri.
Berdasarkan penjelasan ini tampak bahwa:
-Hukum-hukum yang diterapkan oleh pemerintah tidak berdasarkan asas ruhiyah, yaitu
iman kepada Allah, akan tetapi berdasarkan asas demokrasi, dimana penetapan tasyri’ berada di
tangan rakyat, bukan Allah.
-Sesungguhnya pemerintah itu adalah kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk
menerapkan undang-undang. Pemerintah, mulai dari Presiden, dan setiap menteri yang ada di
dalam kabinet, tidak boleh keluar dari UUD. Jika tidak maka dituduh sebagai penentang.
-Setiap menteri, termasuk menteri muslim, tidak membuat kebijakan departemennya
sendiri, akan tetapi menjalankan politik yang sudah digariskan oleh negara sebagai satu kesatuan,
termasuk Presidennya.
-Setiap menteri bertanggungjawab terhadap seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, karena UUD telah menyebutkan bahwa kabinet bertanggungjawab secara bersama-
sama.
Walhasil, masalah ini telah diatur oleh sistemnya, yang menghalang-halangi siapa pun
yang bersuara sumbang. Tidak dibenarkan seseorang menyanyi dengan gayanya sendiri.
Inilah fakta yang dipaparkan oleh para penguasa itu. Banyak sekali ayat yang
menyebutkan tentang haramnya seorang muslim bergabung didalamnya.
-Allah Swt mewajibkan bahwa hukum berada ditangan Allah, sebagai asas dari perundang-
undangan. Allah Swt berfirman:
‫ِى ؤ َ ْل ؤمى ِ َ ت ْل ًمس‬ َ َ‫شج ََِْمَ تنَ ؤه تمِ ؤ َمِالَِ َْج ؤى ِفْيِا َ تنُؤ ْْه تمِح ََْجًسِمْ َِمسِق‬
َ َ ‫ضت‬ َ َ‫فَال‬
َ ِ‫ِى َْمْ َ ِالَِ ؤ ت مْ نؤىوَ ِ َح َ ِ ؤح ََْ ؤمى َ ِفْ َمس‬
Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisikan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (QS. an-Nisa [4]: 65)
ِ ِ َ‫ننننننننننننننننننننننْ ِا َ توِ َ ؤَنننننننننننننننننننننننىو‬
ً ‫ِى َْ ؤنننننننننننننننننننننننىَؤؤؤِا َ تمن‬ َ َ‫ِىالَِ ؤم ت مْ نَنننننننننننننننننننننننيٍِيْ َ ِق‬
َ ‫ضننننننننننننننننننننننن ِهللاؤ‬ َ ‫ َى َمنننننننننننننننننننننننسِ ََنننننننننننننننننننننننسوَ ِ َْ ؤمننننننننننننننننننننننن ت مْ ٍو‬
‫ََ ؤه ؤمِ تَ ْ ََْ ؤِمْ توِا َ تم ْْ ْه تِم‬
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasu-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan (hukum) akan ada bagi mereka
pilihan (hukum) yang lain tentang urusan mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 36)
-Allah Swt mewajibkan seorang penguasa itu muslim.
‫َِىاؤىَْيِ تأل َ تم ِْْمْ تن ؤَ تِم‬ َ ِ ‫ِىاَكْ ؤى‬
َ ‫َْ ؤىل‬ َ ‫اَكْ ؤى‬
َ ‫ِهللا‬
Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. (QS. an-Nisa [4]: 59)
-Allah mewajibkan penguasa muslim untuk memerintah dengan (sistem hukum) Islam.
ِ ‫ َىا َ ْوِ حت ؤَ تمِمَ تنَ ؤه تمِمْ َمسِا َ تن َزل‬
‫َِهللاؤ‬
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara (hukum) di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Allah Swt memperingatkan penguasa muslim agar tidak berpaling dari penerapan sebagian hukum
Islam, meskipun hanya satu hukum. Allah Swt berfirman:
َِ ‫ضِ َمسِا َ تن َزلَِهللاؤِيََْ ت‬ َِ ِ َ ‫ َى حت َ تْ ؤه تمِا َ توِ َ تُ ْنؤى‬
ْ ‫ع توِمَ ت‬
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Di sisi lain Allah Swt memerintahkan kaum Muslim untuk mengangkat senjata melawan penguasa
yang memerintah dengan kekufuran (yang nyata), melalui sabda Rasulullah saw, ketika ditanya
tentang penguasa yang dzalim:

Apakah kami harus mengangkat senjata, wahai Rasulullah? Beliau menjawan: ‘Kecuali kalian
melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki buktinya dihadapan Allah’. (HR. Muslim)

-Allah telah mengharamkan berteman dekat dengan kroni penguasa dari selain Islam. Allah
Swt berfirman:
‫كسنَيًِمْ توِ ؤىنْ ؤَ تِم‬
َ ْ‫الَِ َ َ ْ ؤى ِم‬
Janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang diluar kalanganmu. (QS. Ali
Imran [3]: 118)

-Allah Swt memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berhukum dengan sistem hukum
Islam dan mengharamkan mereka untuk berhukum kepada thaghut. Allah menjelaskan bahwa
barangsiapa yang melakukannya maka imannya hanyalah perkataan, bukan iman yang
sebenarnya.
‫ِى َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
ِ َِ‫نننننننننننننننزل‬
ْ ْ ‫ع ؤمننننننننننننننننىوَ ِاَنَ ؤهنننننننننننننننن تمِ َء َمنؤننننننننننننننننى ِمْ َمننننننننننننننننسِا ؤ تنن‬
َ َ ‫نننننننننننننننزلَِيََْ تنننننننننننننننن‬ ‫اَََنننننننننننننننن تمِ َن‬
‫نننننننننننننننِْيََْنننننننننننننننن ِ ََنننننننننننننننن ْ وَ ِ تَز ؤ‬
َ
َ ِ‫كسوؤ ِا َ توِ ؤ ْضلَ ؤه تِم‬
 ً ْ َ‫ضالَالًِم‬ َ ‫شت‬ َ ‫ِْىقَ تِاؤمْ ؤْى ِا َ توِ َ تَُؤ ؤْى ِمْؤ‬
َ َ ِ‫ِْى ؤ ْْ ؤ‬ َ ‫قى‬ َ َ ِ ََْ‫مْ توِقَ تم ْل َِِ ؤ ْْ ؤىوَ ِا َ توِ َ َحَس ََ ؤمى ِي‬
‫كس ؤ‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang telah mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. an-
Nisa [4]: 60)

-Allah Swt mengharamkan kaum Muslim untuk mengangkat pemimpin dari selain mereka.
ِ ِ ‫علَننننننننننننننننننننن ْته تمِقَننننننننننننننننننننن تِ َ ْئ ؤنننننننننننننننننننننى‬
َ ِ‫ننننننننننننننننننننبِهللاؤ‬
َ َ ِ‫ننننننننننننننننننننى ِقَ تى ًمنننننننننننننننننننننس‬
‫ق ْضن‬ ‫ت‬ ‫ َسا َ ُّ َهنننننننننننننننننننننسِ ََننننننننننننننننننننن ْ وَ ِ َء َمنؤنننننننننننننننننننننى ِالَِ َ َ َىََن‬
ِْ ‫بِ تَ ؤمؤ‬
ْ‫ى‬ ‫سِْمْ توِا َ ت‬
ْ ‫صحَس‬ ‫ْسِ تَ ؤََُ ؤ‬
َ ‫مْ وَ ِ تآل ْ َْ ِْ ََ َمسِ َئ‬
Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai oleh
Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang
kafir yang berada dalam kubur berputus asa. (QS. al-Mumtahanah [60]: 13)
ِِ َ‫ظسَْمْ و‬َ َ ِ‫ِى َم توِ َِ َ َىََ ؤه تمِمْ تن ؤَ تمِفَ ْإنَؤؤِمْ تن ؤه تمِيْوَ ِهللاَِالَِ َ ته ْيِ تَ َ تى َم‬
َ ‫ض‬ٍ ‫ض ؤه تمِا َ تى َْ َس ؤءِمَ ت‬
‫َسْىِا َ تى َْ َس َءِمَ ت ؤ‬ َ ‫ َسا َ ُّهَسِ ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِالَِ َ َ ْ ؤى ِ تَ َهؤى‬
َ ‫َِى َنَص‬
ِ‫علَ ِ َمس‬
َ ِ ‫صمْحؤى‬ َ ْ ‫ش ِا َ توِ ْؤص مَنَسِ َ ئ َْْ ٌِفَ َ َ ِهللاؤِا َ توِ َ ت‬
‫يِمْس تََُ ت ِْا َ تىِا َ تم ٍِْمْ توِ ْعتِن ْ هِْفَ ؤ ت‬ ‫فَ َ َْىِ ََ ْ وَ ِفْيِقؤلؤىمْ ْه تمِ َم َْضٌ ِِؤ َ ْسْ ؤ‬
َ ‫عىوَ ِفْ ْه تمِ َ ؤىَؤىوَ ِنَ ت‬
َِ‫ا َ َ ُّْى ِفْيِا َ تنُؤ ْْه تمِنَس ْمْ و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang
munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan
mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-
Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap
apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. al-Maidah [5]: 51-52)

Dari sini dengan sendirinya gugur syubhat yang mengatakan bahwa para penguasa
(muslim yang ada) sekarang ini bukan dari kalangan yahudi atau nasrani. Yang benar adalah
bahwa mereka termasuk orang-orang yang mengikuti yahudi dan nasrani. Barangsiapa yang
mengikuti mereka, maka loyalitas mereka diberikan kepada orang yang diikuti oleh para penguasa
itu.
Allah Swt berfirman:
ٌِْ ْ‫ِىفَ َس ٌِ ََم‬
َ ‫ض‬ْ ْ‫ضِيْالَِ َ تُ َلؤىهؤِ ََ تؤوِفْ تنَيٌِفْيِ تأل َ ت‬
ٍ ‫ض ؤه تمِا َ تى َْ َس ؤءِمَ ت‬
‫ َى ََ ْ وَ ِ َََُ ؤْى ِمَ ت ؤ‬
Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung (penolong) bagi sebagian yang
lain. Jika kamu (hai kaum Muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,
niscaya akan terjadi kekacauan dimuka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. al-Anfal [8]: 73)

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan tidak bolehnya mengikuti yahudi dan
nasrani bukan berarti boleh mengikuti selain mereka. Yang dimaksudkan disini adalah haram
mengikuti apa dan siapa saja yang bertentangan dengan Islam. Haramnya mengangkat mereka
menjadi pemimpin mengharuskan pula bagi kita berlepas diri dari pemikiran dan tingkah laku
mereka, dan tidak mengikuti perintah mereka (penguasa) selama perintahnya dibangun di atas
asas kekufuran. Allah Swt berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim as:
َ ‫ِى تَمَ تضَس ؤءِاَمَ ً ِ َح َ ِ ؤ ت مِْنؤى ِمْس‬
ِ‫ِْىحت َ هؤ‬ َ ‫سِىمَ تنَ ؤَ ؤمِ تَ َ َ َى ؤ‬ َ ‫ؤىوِهللاِْ َََُ تْنَسِمْ ؤَ تم‬
َ َ‫ِىمَ َ ِمَ تنَن‬ َ ‫يْنَسِمؤ َْآءؤِمْ تن ؤَ تم‬
ْ ِ‫ِىمْ َمسِ َ تمؤ ؤىوَ ِمْ تو‬
Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu, dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)-mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. al-Mumtahanah [60]: 4)

Loyalitas itu hanya diberikan kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang
mukmin. Allah Swt berfirman:
َ ‫ِى ََ ْ وَ ِ َء َمنؤى ِفَ ْإوَ ِحْ تز‬
َِ‫بِهللاِْ ؤه ؤمِ تَ َس َْمؤىو‬ َ ‫ِى َْ ؤىََؤؤ‬
َ َ‫ َى َم توِ َ َ َىلَِهللا‬
Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS. al-
Maidah [5]: 56)

Disini juga gugur syubhat perkataan: ‘Sesungguhnya jika kami menerima bergabung
dengan penguasa, maka tidak berarti kami memberikan loyalitas kepada mereka. Akan tetapi kami
ingin menunjukkan loyalitas dengan metode (mengalah untuk menang). Hati kami masih
mengingkari apa yang mereka kerjakan’. Yang benar adalah, bahwa loyalitas itu sesuatu yang
dilakukan oleh anggota badan dan hati sekaligus. Apa yang dilakukan oleh penguasa harus
diingkari, tatkala menjalankan (sistem) hukum yang tidak diturunkan Allah, baik pengingkaran itu
dilakukan dengan hati, lisan ataupun tangan. Serendah-rendahnya derajat pengingkaran adalah
dengan hati. Lebih rendah dari itu tidak ada lagi iman, sebagaimana yang disebutkan oleh
Rasulullah saw. Orang yang mengambil pendapat selemah-lemahnya iman, tidak mungkin amal
dan perkataannya sesuai atau mendukung sistem hukum selain Islam. Dan barangsiapa yang
melakukan hal itu, maka dia telah berlaku maksiat, meskipun hatinya mengingkari. Dia bisa
menjadi kafir apabila hatinya ridha. Artinya, orang yang bergabung dengan sistem pemerintahan
yang menjalankan sistem hukum selain dengan yang diturunkan Allah, maka minimal dia disebut
fasik, dzalim dan maksiat kepada Allah Swt.

Bab 16
Perbaikan Parsial dan Perubahan Total

Di tengah-tengah kenyataan hidup kaum Muslim yang menyakitkan ini berdiri gerakan-
gerakan Islam yang melakukan aktitivitas untuk merubah kenyataan ini, memberikan alternatif
yang baik dan istimewa dengan pandangan menyeluruh, dengan Daulah Islamiyah. Di dalam
gerakan-gerakan Islam terdapat dua macam pemikiran: Pertama, yang menjalankan dakwah serta
menegakkan masyarakat Islam dengan menggunakan metode perbaikan parsial (ishlâh), dan
berusaha untuk mereformasi hal-hal yang sudah hancur serta memperbaiki perkara yang sudah
rusak. Kedua, yang menggunakan metode perubahan mendasar (taghyîr) dan menganggap
bahwa tidak ada gunanya memperbaiki realita yang kerusakannya ada pada pangkal (pokoknya).
Tidak ada gunanya proses tambal sulam maupun reformasi parsial.
Perbedaan antara dua kelompok ini mengakibatkan perbedaan dalam memandang realita
yang ada, dan upaya-upaya untuk mencari solusinya. Implikasi lainnya adalah munculnya
perbedaan dalam metode gerak dan jalan dakwah.
Bagaimana hukum syara’ dalam masalah ini?
Untuk mengetahui apa hukum syara’ dalam perkara ini, maka kita harus mengikuti metode
berpikir Islam, karena tidak mungkin sampai pada pengetahuan terhadap hukum syara’ tersebut,
kecuali dengan menggunakan asas ini.
Metode yang diakui syara’ mengharuskan kita untuk mengetahui realita yang menjadi tempat
aktivitas. Setelah itu baru memunculkan dalil-dalil syara’ yang berhubungan dengan fakta tersebut,
dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan syara’.
Islam adalah agama yang paripurna. Di dalam Islam dijumpai cara-cara ishlâh (perbaikan)
ketika faktanya memang membutuhkan ishlâh. Dijumpai pula cara-cara taghyîr (perubahan total)
apabila faktanya memang membutuhkan taghyîr. Melihat fakta yang ada sekarang ini, apa yang
dituntut syara’. Apakah ishlâh atau taghyîr .
Yang berhak menetapkan hukum atas dua keadaan ini hanyalah Allah Swt. Allah-lah yang
membuat dalil-dalil syara’. Meskipun demikian, yang menentukan jenis dakwah (apakah ishlâh
atau taghyîr) adalah realita yang ingin ditaghyîr atau diishlâh.
Taghyîr bisa dilakukan terhadap individu, bisa juga ditujukan untuk merubah keadaan
masyarakat atau merubah kondisi bangsa-bangsa dan umat. Taghyîr harus dimulai dengan
merubah asas, tempat manusia, masyarakat atau kondisi dibangun dengan asas tersebut. Sebab,
setiap pemikiran cabang berasal dari asasnya, termasuk pemahaman-pemahaman yang
membatasi/mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan ini. Dengan asas ini serta apa pun
yang berkaitan dengannya (baik berupa pemikiran cabang atau pun furu’), manusia bisa
berbahagia atau menderita; umat bisa bangkit bisa juga mundur.
Asas yang menjadi landasan seorang muslim atau masyarakat Islam adalah akidah Islam.
Setiap perbuatan seorang muslim tidak boleh menyimpang. Begitu pula aktivitas Daulah Islamiyah
satupun tidak boleh keluar dari akidah Islam dan segala konsekuensinya.
Adapun ishlâh, adalah perubahan menyangkut perkara cabang atau furu’, bukan asasnya.
Asas yang ada dibiarkan, tidak dirubah. Hanya dibersihkan saja. Eksistensi (dari asas itu sendiri)
tetap diakui.
Jika asasnya itu ada, akan tetapi muncul kotoran-kotoran yang menutupi sebagian ‘baju’nya,
berupa pemikiran-pemikiran yang mendominasinya, maka yang harus dilakukan dalam kondisi ini
adalah ishlâh bukan taghyîr. Yang dilakukan adalahnupaya untuk menjernihkan kembali asasnya,
lalu memperkuatnya agar kembali menyinari perkara-perkara cabang, terutama di dalam
penerapan praktis. Seorang muslim yang terpengaruh dengan tsaqafah Barat misalnya, yang
harus dilakukan terhadapnya adalah mensucikan kembali imannya dan menghilangkan segala
kotoran yang menempel, agar orientasinya jelas dan tingkah lakunya benar. Terhadap seorang
muslim yang terjerumus dalam perbuatan maksiat, yang harus dilakukan adalah memperkuat
iman, sehinggah terwujud dorongan yang memacunya untuk bertakwa, sekaligus berfungsi
sebagai pengendali yang bisa mencegah dan menjaganya dari tindakan maksiat. Apa yang dapat
diterapkan kepada individu muslim juga dapat diterapkan kepada Daulah Islamiyah.
Jika kita ingin mengajak orang kafir masuk Islam, maka dakwah kita kepadanya adalah
dakwah yang bersifat taghyîr. Karena asas yang dimilikinya, dan setiap perkara yang lahir dan
terpancar dari asas tersebut adalah batil. Wajib mengganti asasnya dengan asas yang benar. Oleh
karena itu kita tidak mengajak orang kafir untuk melakukan shalat sementara kita masih
membiarkan asas kafir yang dianutnya.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Ini juga yang ditunjukkan oleh realita. Allah Swt
memberitahukan kepada kita bahwa Dia tidak akan menerima amal orang-orang kafir meskipun
amal perbuatannya itu baik. Dan tidak ada seorang kafir pun yang masuk surga karena amalnya,
selama amal perbuatannya itu tidak dilakukan atas dasar iman yang dibawa oleh Islam. Allah Swt
berfirman:
ً ‫ع َم ٍلِفَ َج َ تلنَسهؤِ َهمَس ًءِ َم تن ؤ‬
 ْ‫ى‬ َ ِ‫ َىقَ ْ تمنَسِيََْ ِ َمسِعَمْ لؤى ِمْ تو‬
Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan. (QS. al-Furqan [25]: 23)

Begitu juga amal perbuatan seorang muslim akan gugur apabila dia murtad dan keluar dari
keimanan. Iman wajib menjadi asas setiap perbuatan/amal.
Apabila kita ingin mengajak seorang muslim maka dakwah kita kepadanya adalah dakwah
yang bersifat ishlâh, karena asas yang dimiliki muslim itu benar. Meskipun demikian kita wajib
menjauhkannya dari segala kotoran yang menempel, yang menyebabkan orientasi dan
konsistensinya melemah. Jadi, selama asas itu masih ada, maka dia hanya memerlukan perbaikan
yang bisa mengembangkan dan menguatkannya, menyuburkan dan mensucikannya. Jika hal itu
telah tercapai, dengan sendirinya dia akan memiliki orientasi yang benar dan konsistensi yang
lurus. Dengan demikian, seorang muslim yang meminum khamar, berzina, mencuri atau
melakukan transaksi yang mengandung riba, atau berdiam diri dari aktivitas dakwah untuk
melanjutkan kehidupan Islam, maka orang semacam ini memerlukan pengobatan atas imannya.
Dia harus diingatkan kepada Allah yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yang wajib disembah
dan ditaati. Wajib baginya untuk tidak melihat pada kecilnya dosa tetapi kepada keagungan
Pencipta. Ketika al-Khaliq memerintah dan melarang, maka perintah dan larangan-Nya itu untuk
kebauikan dirinya di dunia dan akhiratnya. Diingatkan pula bahwa balasan bagi tindakan maksiat
adalah dosa, yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Dan balasan bagi ketaatan
adalah pahala, yang akan diperolehnya nanti pada hari kiamat dan berhak memperoleh rahmat
Rabbnya. Ingatannya diarahkan pada dahsyatnya hari kiamat dan adzab jahanam, serta
nikmatnya surga. Dengan demikian, keimanannya akan memacunya untuk berbuat taat dan
meninggalkan maksiat. Dengan cara seperti ini tingkah laku seorang muslim bisa diluruskan
kembali. Oleh karena itu, kita sekarang ini tatkala berdakwah kepada kaum Muslim sebagai
individu-individu, wajib memperhatikan bahwa mereka itu adalah muslim yang harus diperbaiki
pemikiran dan tingkah lakunya.
Sistem pemerintahan suatu negara berdasarkan kepada UUD. Dan UUD-nya diambil dari
sumber-sumber tertentu yang dibangun di atas asas tertentu. Dalam perkara ini kita harus
mencermati, apakah asas negara itu akidah Islam sehingga al-Qur’an dan as-Sunnah serta apa
yang ditunjukkan oleh keduanya dijadikan sebagai sumber satu-satunya untuk membuat UUD?
Apakah hukum-hukum yang terdapat di dalam UUD tidak keluar sedikitpun dari wahyu? Jika
demikian kondisinya, maka negara itu dianggap Daulah Islamiyah.
Apabila di dalam Daulah Islamiyah banyak terjadi kerusakan atau dijumpai adanya
keburukan di dalam penerapan, maka terhadap negara seperti ini harus dilakukan upaya ishlâh
(perbaikan), bukan taghyîr. Kondisi semacam itu mirip dengan keadaan Daulah Islamiyah pada
masa Turki Utsmani. Daulah Utsmaniyah saat itu membutuhkan ishlâh. Artinya, tidak boleh kaum
Muslim melakukan khurûj (pembangkangan) dan bekerjasama dengan orang-orang Barat kafir
untuk menghancurkannya, seperti yang dilakukan oleh orang yang dijuluki dengan Syarif Hussein.
Namun, jika asas negara bukan akidah Islam, yang merupakan asas UUD, peraturan dan
perundang-undangan lainnya, maka yang dituntut disini adalah aktivitas taghyîr bukan ishlâh.
Contohnya adalah kondisi negara-negara tempat kaum Muslim hidup sekarang ini. Negara-negara
itu bukanlah Daulah Islamiyah, karena peraturan-peraturannya tidak berasal dari syari’at Islam
(meskipun mereka mengatakan bahwa agama negara adalah agama Islam). Sebab yang jadi
acuan adalah penerapan bukan sekedar perkataan (pengakuan).
Jadi, selama peraturan negara-negara yang memerintah kaum Muslim sekarang ini UUD-
nya tidak berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka realita ini memerlukan aktivitas yang
bersifat taghyîr, yaitu merubah secara fundamental pusat-pusat peraturan dan kaidah-kaidahnya.
Realita seperti ini tidak boleh diperlakukan dengan upaya ishlâh (perbaikan) yang bersifat tambal
sulam, melainkan dengan upaya taghyîr yang bersifat total. Perlakuan apapun terhadap realita
seperti ini harus didasarkan pada asas taghyîr. Selain dari perlakuan tersebut tidak boleh
dilakukan, karena (tindakan ishlâh) merupakan pengakuan secara tidak langsung terhadap
eksistensi sistem tersebut. Lagi pula hal itu bukan tuntutan syara’ yang harus dilakukan terhadap
realita tadi, karena di dalamnya terdapat penerapan hukum yang bukan berasal dari Allah.
Oleh karena itu, kami memandang bahwa jama’ah-jama’ah yang berorientasi memperbaiki
sistem dengan asas ishlâh, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan sistem tersebut, dan
berupaya untuk masuk menjadi bagiannya, sehingga pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh
gerakan-gerakan tadi bersifat parsial, selaras dengan realita yang ingin diperbaikinya. Bisa
dimengerti, karena targetnya parsial. Gerakan-gerakan seperti ini berusaha untuk menciptakan
jalur-jalur hubungan pemikiran yang sama, yang dianggap bisa dijadikan sebagai titik awal untuk
melakukan dialog antara gerakan-gerakan itu dengan pemerintah. Pemikiran-pemikiran yang
dilontarkan oleh gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan kondisi negara tempatnya beraktivitas.
Mereka berusaha mewarnainya dengan celupan Islam, meskipun hanya sebatas kulitnya saja.
Sedangkan substansinya tetap tidak Islami, agar tampil dengan baju Islam tanpa menyentuh
subtansinya.
Kami juga memandang bahwa para penganjur taghyîr mempunyai pemikiran-pemikiran yang
sangat berbeda atas realita yang mereka rubah. Sikap tersebut muncul karena mereka
mengikatkan pemikirannya dengan asas yang mereka imani, dan menolak fakta yang ada dari segi
asasnya. Selama asasnya berbeda, maka apa pun yang berasal dari asas tersebut tertolak,
karena gugurnya asas, meskipun terdapat kemiripan pada sebagian perakara (cabangnya).
Di dalam benak para pencetus ide taghyîr terdapat gambaran yang ingin disampaikan
kepada umat manusia. Gambaran ini membawa mereka kemasa Rasulullah saw. Mereka
mengkritik realita, tempat mereka hidup dengan kritikan yang menyentuh asasnya. Pemikiran yang
dilontarkan kelompok ini sama disetiap negeri, karena kondisi yang diciptakan oleh kafir penjajah
terhadap kaum Muslim sama dan seragam. Oleh karena itu, solusi terhadap kondisi tersebut juga
sama.
Pada fase pertama penjajahan Barat atas negeri-negeri kaum Muslim, mereka menjauhkan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber satu-satunya bagi perundang-undangan hidup kita. Itu
dilakukan Barat dengan melakukan pemisahan agama Islam dari kehidupan dan peraturan kita.
Perlakuan itu berhasil mereka jalankan. Dan hal itu merupakan bencana bagi kita. Dengan
demikian sangat mengherankan jika saat ini kita menyaksikan banyak gerakan Islam berinteraksi -
dengan sistem rekaan Barat yang dibuat didepan mata mereka- dengan asas ishlâh bukan taghyîr.
Sesungguhnya realita yang ada saat ini tidak akan bisa diperbaiki dengan cara tambal sulam,
meskipun amat banyak. Dan orang yang tidak memahami realita tentang sesuatu tidak akan
mungkin mengetahui hukumnya. Dia akan kehilangan kebenaran atas amal perbuatannya dan
ketepatan meneladani langkah Rasulullah saw.
Orang yang ingin menyeru kepada Allah sekarang ini tidak bisa mengabaikan hadits Nabi
saw:

Kemudian akan datang Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian. (HR Imam Ahmad).

Orang yang menginginkan hadirnya Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian
tidak akan memiliki alternatif lain kecuali meneladani sirah manusia terbaik (yaitu Muhammad
saw), yang usaha-usahanya menghasilkan buah. Dan dengan taufik Allah bisa menelurkan sebaik-
baik umat yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Sesungguhnya sirah itu adalah satu
untaian dengan sirah para Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Hanya kepada Allah kita
memohon agar kita termasuk di dalam salah satu mata rantainya. Maka kita juga harus
meneladani sirah Muhammad saw. Masyarakat lalu meneladani kita, dan bersatu dengan mereka
untuk melaksanakan amal perbuatan yang paling mulia dan ibadah yang paling benar (yaitu
dakwah Islam).

Bab 17
Apakah Rasulullah saw merestui Najasy (Setelah Masuk Islam) Menerapkan Sistem
Pemerintahan dengan Syari’at Kufur

Orang yang mengemban dakwah Islam secara benar dan berusaha mewujudkannya kembali
di dalam realita pemerintahan dan kehidupan secara ikhlas, baik individu atau pun partai, tidak
mungkin bergabung dengan sistem pemerintahan kufur. Karena saat yang sama dia berusaha
untuk menghancurkannya. Bergabung dengan sistem pemerintahan kufur yang menerapkan
peraturan (hukum) dan perundang-undangan kufur, sama saja dengan memperkokoh sistem kufur,
bukan menghancurkannya. Argumentasi apa pun yang dihadirkan untuk menjustifikasi
penyertaannya di dalam sistem pemerintahan kufur, tidak lain hanya untuk mengkhianati dirinya
sendiri, mengkhianati Allah dan orang-orang yang beriman. Apalagi setelah nyata bahwa dalil-dalil
itu bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah.
Sungguh, merupakan suatu bencana dan dosa besar apabila seorang pengemban dakwah
mengadopsi maslahat yang diukur dengan akalnya dan tidak diakui oleh syara’, sebagai dalil
baginya dengan melanggar nash yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah; atau menggunakan syubhat
dalil untuk menjustifikasi kesertaannya di dalam sistem pemerintahan kufur yang menjalankan
peraturan yang tidak diturunkan Allah. Padahal, bergabung di dalam sistem pemerintahan kufur
bertentangan dengan dalil-dalil yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah, yang jelas-jelas mewajibkan
kaum Muslim untuk berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, dan mengharamkan
berhukum dengan (hukum) selain yang diturunkan Allah.
Contohnya adalah mengadopsi kisah Najasy, yang diumumkan kematiannya oleh Rasulullah
saw kepada para sahabatnya. Waktu itu beliau saw melakukan shalat jenazah untuknya. Itu
dijadikan sebagai dalil yang dibuat mereka untuk menjustifikasi kesertaan mereka di dalam sistem
pemerintahan kufur yang menerapkan hukum selain dengan yang diturunkan Allah Swt. Mereka
mengatakan bahwa Najasy telah masuk Islam pada masa Rasulullah saw, dan tetap memerintah
dengan peraturan (kufur) sebelum dia masuk Islam, padahal aturan itu bukan aturan Islam.
Mereka melontarkan enam buah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari, berkaitan dengan
wafatnya, dan shalatnya Rasulullah atas kematiannya. Tiga hadits diantaranya diriwayatkan oleh
Jabir bin Abdullah al-Anshari, dan tiga lainnya diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Keenam hadits
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil yang membolehkan bergabung di dalam sistem
pemerintahan kufur, yang menerapkan peraturan (hukum) dan perundang-undangan kufur.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Imam Bukhari meriwayatkan haduts-hadits ini dengan memasukkan lima hadits di dalam
‘Bab Meninggalnya Najasy’. Hadits yang keenam dikeluarkan di dalam ‘Bab al-Jana’iz’. Keenam
hadits itu berkaitan dengan kematian Najasy, dan pemberitaan Rasulullah saw kepada para
sahabatnya tentang kematiannya. Beliau menyebut Najasy sebagai lelaki yang saleh, bahwa dia
adalah saudara mereka. Kemudian Rasulullah saw meminta kepada mereka (para sahabat) agar
memintakan ampun terhadapnya. Dan disebutkan juga tentang shalatnya beliau bersama para
sahabat. Ini menunjukkan bahwa Najasy adalah seorang muslim.
2.Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari, syarah Shahih Bukhari, mengomentari
hadits tersebut dengan judul ‘Mautu an-Najasy’. Beliau tidak menginterpretasikan ke-Islamannya
dengan perkataannya: ‘Tidak jelas, mengapa Bukhari tidak menjelaskan tentang ke-Islamannya
(Najasy) dan ini adalah topiknya, menjelaskan tentang kematiannya. Itu karena, kisah yang
menyebutkan ke-Islamannya tidak ada. Jadi perkara (ke-Islaman)nya tampak jelas dalam
kematiannya yang ditunjukkan karena mengambil pemahaman dari shalat (jenazah)nya Rasulullah
untuk Najasy, yakni Najasy ketika itu telah masuk Islam’.
3.Sighat hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari menunjukkan bahwa Rasulullah saw
mengetahui tentang kematian Najasy dan ke-Islamannya dihari kematiannya melalui wahyu.
Hadits itu menunjukkan bahwa para sahabat tidak mengetahui kematian dan ke-Islamannya,
kecuali setelah Rasulullah saw memberitahu mereka tentang hal itu. Di dalam hadits Jabir berkata,
bahwa Rasulullah bersabda ketika Najasy meninggal:

‘Hari ini telah meninggal seorang laki-laki saleh, maka berdirilah kalian dan shalatlah atas saudara
kalian Ashhimah’.

Di dalam hadits Abu Hurairah tertulis:

Sesungguhnya Rasulullah saw memberitahukan kematian Najasy kepada mereka, penguasa


Habsyah pada hari kematiannya.

Ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw mengetahui kematian dan ke-Islaman
Najasy pada hari meninggalnya, melalui wahyu. Ucapan Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Jabir bin Abdullah: ‘Hari ini telah meninggal seorang laki-laki saleh’. Dan sabda beliau: ‘Maka
berdirilah kalian dan shalatlah atas saudara kalian Ashhimah’, menunjukkan bahwa mereka
sebelumnya tidak mengetahui ke-Islaman Najasy. Seandainya mereka mengetahui hal itu maka
tidak mungkin Rasulullah saw mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti: ‘lelaki saleh’ dan
‘saudara kalian’, karena beliau tidak mengucapkan ungkapan seperti ini ketika mengajak mereka
untuk menshalatkan salah seorang sahabat yang meninggal.
4.Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Najasy telah masuk Islam menjelang kematiannya.
Namun, tidak menjelaskan kapan ke-Islamannya. Bentuk kalimatnya menunjukkan bahwa
Rasulullah saw mengetahui kematian dan ke-Islamannya pada hari kematiannya, melalui wahyu
sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Tidak terdapat berita (khabar) sah yang
menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah memberitakan ke-Islaman Najasy selain pada topik ini.
5.Keenam hadits ini tidak mengandung pengertian yang menunjukkan bahwa Najasy yang
telah diberitahukan kematiannya oleh Rasulullah saw kepada sahabat lalu beliau shalat bersama
para sahabat adalah Najasy yang berkuasa di Habsyah ketika kaum Muslim berhijrah ke sana.
Juga tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa dia adalah Najasy yang menerima surat
(dakwah) Rasulullah saw dan mengajaknya masuk Islam. Karena istilah an-Najasy, bukanlah
nama pribadi, melainkan gelar yang diberikan kepada penguasa yang memerintah Habsyah. Hal
ini disebutkan oleh an-Nawawi, pada jilid keduabelas dari kitabnya, Syarah Shahih Muslim; juga
disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam juz ketiga kitab al-Ishabah.
6.Di dalam juz keduabelas dari kitab Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, disebutkan bahwa
Najasy yang dikirimi surat oleh Raulullah saw dan diajaknya masuk Islam pada akhir tahun
keenam Hijriah, setelah beliau kembali dari Perang Hudaibiyah, bukanlah Najasy yang Rasulullah
saw menshalat jenazahkan. Teksnya berbunyi:

Dari Anas bahwa Nabi saw telah menulis surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy,
serta kepada setiap Jabbar (penguasa), mengajak mereka kepada Allah ta’ala, bukan Najasy yang
Nabi saw menshalat (jenazahkan) atasnya.

Dari hadits ini jelas bahwa Najasy yang Rasulullah saw menshalat jenazahkan atas kematiannya
bukanlah Najasy yang ada pada saat kaum Muslim berhijrah ke Habsyah, untuk hidup dibawah
lindungannya, dan bukan Najasy yang telah dikirimi surat oleh beliau, melainkan Najasy yang
berkuasa setelah Najasy yang dikirimi Rasulullah saw surat melalui Amru bin Umayyah adh-
Dhamiri, yang isinya mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia tidak menerima seruan Rasul dan
tidak masuk Islam. Karena, seandainya dia menerima seruan Rasul dan masuk Islam, pasti
Rasulullah saw akan mengabarkan hal itu kepada para sahabat agar melakukan shalat jenazah
atasnya. Lagi pula pasti Ja’far bin Abu Thalib dan orang-orang yang berhijrah bersamanya
mengetahui ke-Islamannya. Mereka kembali kepada Rasulullah saw pada tahun ketujuh, yaitu
setelah penaklukan Khaibar. Artinya, setelah Rasul mengirimkan surat kepada Najasy.
Seandainya dia masuk Islam pasti ke-Islamannya memperoleh sambutan dan kegembiraan dari
kaum Muslim, terutama setelah kemenangan Khaibar. Dan pasti Rasulullah saw menyampaikan
kabar gembira tentang ke-Islamannya. Sambutan beliau yang diucapkan kepada Ja’far tidak
hanya:

‘Aku tidak tahu, yang mana dari kedua perkara ini yang lebih aku senangi, apakah ditaklukannya
Khaibar ataukah kedatangan Ja’far’. (Sirah Ibnu Hisyam)

Pasti beliau akan menambahkan: ‘atau dengan masuk Islamnya Najasy’. Namun, beliau tidak
menyebutkan nama Najasy di dalam hadits itu, meskipun kondisinya menuntut demikian,
seandainya Najasy menerima dakwah beliau dan masuk Islam.
7.Orang-orang yang berpendapat bahwa Najasy yang Rasulullah saw menshalat jenazahkan
atas kematiannya, adalah Najasy yang sama ketika kaum Mulim berhijrah kesana dan masuk di
dalam perlindungannya, juga merupakan Najasy yang dikirimi Rasulullah saw surat dan
mengajaknya memeluk Islam pada akhir tahun keenam Hijriah, maka pendapat tersebut diliputi
wahm (kerancuan). Kerancuan itu muncul terhadap Najasy yang ada ketika kaum Muslim berhijrah
kesana karena Rasulullah saw telah memujinya dan menyebutkannya kepada orang yang akan
berhijrah:

‘Bahwa dia adalah raja yang tidak mendzalimi seorang pun, dan bahwa negerinya adalah negeri
yang benar’. (Sirah Ibnu Hisyam)

Keadaan disana ibarat menjadi tetangga yang baik bagi kaum Muslim yang berhijrah kesana.
Najasy pun menjamin keberadaan mereka. Kaum Muslim dengan aman menyembah Allah, tidak
takut kepada siapapun. Najash itu pula yang menolak untuk menyerahkan kaum Muslim kepada
dua orang utusan Quraisy yang memintanya. Najasy itu juga yang bertentangan dengan keinginan
para pembesar gereja dan melindungi mereka dari kedua utusan tersebut. Dia berkata
kepadakaum Muslim: ‘Kalian berada dalam keadaan aman dinegeriku. Barangsiapa yang mencela
kalian, maka akan dijatuhkan (hukuman) denda’. Dialah yang mengomentari jawaban Ja’far ketika
ditanyakan perkara yang dibawa oleh Rasulullah saw kepada mereka, dengan mengatakan:
‘Sesungguhnya perkara ini dan yang dibawa oleh Isa, berasal dari satu cahaya’. Begitu pula
menanggapi jawaban Ja’far pada hari berikutnya ketika dia bertanya kepada Ja’far tentang Nabi
Isa. Saat uitu dia mengambil sebatang kayu lalu mengatakan: ‘Demi Allah, tidak berbeda Isa bin
Maryam dengan apa yang telah engkau katakan, kecuali sebesar kayu kecil ini’. (Sirah Ibnu
Hisyam).

Paparan-paparan sepeerti itulah yang menuimbulkan wahm (kerancuan dan persangkaan) bahwa
dia telah masuk Islam. Rasulullah saw tidak memberitakannya bahwa dia telah masuk Islam. Hal
itu dituturkan oleh Ummu Salamah, isteri Rasulullah saw yang pada waktu itu termasuk salah satu
wanita yang turut berhijrah ke Habsyah. Ummu Salamah tidak menyebutkan bahwa dia telah
masuk Islam, tatkala menceritakan tentang Najasy dan kejadian yang mereka alami di negeri
Habsyah. Ummu Salamah berkata: ‘Ketika kami tiba di negeri Habsyah, dia (Najasy) menjadi
tetangga kami yang terbaik. Dia menjamin agama kami. Kami pun beribadah kepada Allah dan
kami tidak disakiti. Bahkan kami tidak mendengar sesuatu yang kami benci’. Ummu Salamah
berkata lagi: ‘Demi Allah, sesungguhnya kami dalam keadaan seperti itu ketika datang kepadanya
seorang laki-laki dari Habsyah yang ingin merebut kerajaannya’. Lebih lanjut Ummu Salamah
berkata: ‘Maka demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa kami pernah bersedih dengan satu
kesedihan yang begitu mendalam seperti kesedihan kami saat itu. Merasa takut kalau laki-laki itu
mengalahkan Najasy, maka akan digantikan oleh seorang laki-laki yang tidak mengetahui hak-hak
kami sebagaimana halnya yang diketahui Najasy’. Ummu Salamah melanjutkan lagi: ‘Setelah Allah
memenangkan Najasy atas musuhnya dan mengokohkan kekuasaannya dinegerinya, maka aku
tidak mengetahui lagi kegembiraan yang lebih besar dari pada itu’. Berkata Ummu Salamah:
‘Najasy telah kembali dan Allah telah menghancurkan musuhnya, mengokohkan kekuasaannya
dinegerinya, dan Habsyah menjadi teratur ditangannya. Kami disisinya tinggal dirumah yang
terbaik sampai kami datang kepada Rasulullah saw ketika beliau di Makkah’. (Sirah Ibnu
Hisyam).
Hadits Ummu Salamah ini tidak menunjukkan bahwa Najasy telah memeluk Islam.
Ini dari satu sisi, dari sisi lainnya, seolah-olah orang yang mengatakan bahwa Najasy yang
dishalatkan jenazahkan oleh Rasulullah saw adalah Najasy yang memerintah pada saat kaum
Muslim berhijrah kesana, dan merupakan Najasy yang dikirimi surat oleh beliau dan diajaknya
masuk Islam. Orang-orang itu seakan-akan belum membaca hadits Anas bin Malik, yang
diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya, yang menyebutkan:

Bahwa Nabi saw telah menulis surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy serta
kepada setiap penguasa untuk mengajak mereka kepada Allah ta’ala, dan bukan Najasy yang
Rasulullah saw menshalat jenazahkan atasnya.

Adapun dua buah surat yang disebutkan oleh Muhammad Hamidullah dalam kitabnya al-
Watsaa’iq as-Siyaasiyah fi ‘Ahdi an-Nabawi, yang menyebutkan bahwa Najasy telah menulis surat
kepada Rasulullah saw yang mejelaskan ke-Islamannya dan persiapan (kesediaan)nya untuk
datang menemui Rasulullah saw, jika beliau perintahkan. Bahwa dia telah mengirimkan anaknya
yang bernama Arha bin al-Ashham bin Abhar. Surat yang pertama itu datang ketika Rasulullah
berada di Makkah. Sedangkan surat yang kedua telah menyebutkan bahwa Najasy telah
mengirimkan kepada Rasulullah saw melalui orang-orang yang kembali dari Habsyah, yaitu para
sahabat Rasulullah saw, dan beliau waktu itu sudah ada di Madinah.
Kedua surat itu tidak disebutkan oleh kitab-kitab hadits yang shahih. Penulis buku al-
Watsaai‘iq as-Siyaasiyah fi ‘Ahdi an-Nabawi telah menyebutkan bahwa watsâ’iq itu diambil dari
kitab-kitab sejarah milik Thabari, al-Qalqasyandi, Ibnu Katsir dan lain-lain. Pengarangnya tidak
menyebutkan bahwa dia mengambil surat-surat tersebut dari salah satu kitab hadits. Tentu saja
kitab tarikh (sejarah) tidak bisa dipercaya (tidak dapat disejajarkan mutunya dengan kitab-kitab
hadits), karena tidak memperhatikan takhrij hadits-haditsnya sebagaimana yang dijumpai pada
kitab-kitab hadits. Ibaratnya seperti mengumpulkan berita-berita bagaikan pencari kayu dimalam
hari yang tidak mengetahui benda apa yang terjamah oleh tangannya, apakah tongkat atau ular
berbisa. Oleh karena itu, kedua surat tersebut tidak bisa diterima. Lagi pula kedua surat itu
bertentangan dengan hadits Anas, yang diriwayatkan oleh Muslim, dan bertentangan dengan
riwayat Ummu Salamah tentang Najasy, dan tentang orang-orang yang berhijrah ke Habsyah.
Bahkan tidak menyebut-nyebut orang-orang yang berhijrah ke Habsyah. Orang yang paling akhir
kembali kepada Rasulullah saw adalah Ja’far. Jadi, berita (khabar) yang mana yang menyebutkan
bahwa Najasy telah masuk Islam, sementara Ja’far kembali kepada Rasulullah saw pada tahun
ketujuh setelah penaklukan Khaibar, dan setelah Rasulullah saw mengirimkan surat-surat kepada
para Raja dan Amir. Dengan demikian, kedua surat ini tidak sah, dan tidak boleh digunakan untuk
beristidlal. Sebab, keduanya tertolak.
Berdasarkan penjelasan tadi, maka Najasy yang masuk Islam dan yang Rasulullah
menshalat jenazahkan, bukanlah Najasy yang ada pada saat kaum Muslim berhijrah kepadanya,
dan bukan Najasy yang beliau kirimi surat untuk mengajaknya masuk Islam pada akhir tahun ke
enam Hijriah dan awal tahun ketujuh Hijriah melalui Amru bin Umayyah adh-Dhamiri. Dia adalah
Najasy yang berkuasa setelah meninggalnya Najasy yang dikirimi oleh Rasulullah saw surat yang
berisi seruan untuk memeluk Islam.
Najasy yang telah masuk Islam ini telah menerima kekuasaan pada tahun ke tujuh Hijriah,
karena Rasulullah saw telah mengirimkan banyak utusannya kepada para Raja dan Amir. Diantara
mereka adalah Najasy. Hal itu beliau lakukan sekembalinya dari perang Hudaibiyah, yang terjadi
pada akhir tahun keenam Hijriah, bulan Dzulqa’idah. Mungkin Najasy ini telah meninggal pada
tahun ketujuh Hijriah, dan pada tahun itu pula Najasy yang masuk Islam telah menerima estafet
pemerintahan. Dialah yang Rasulullah saw melakukan shalat jenazah atasnya, yang waktu
kematiannya terjadi sebelum penaklukkan kota Makkah pada tahun kedelapan Hijriah,
sebagaimana yang disebutkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalâ’ilu an-Nubuwwah.
Dengan demikian, jarak antara pengangkatannya menjadi Raja dan ke-Islamannya, begitu
juga dengan kematiannya sangat singkat. Dia masuk Islam secara rahasia, dan tidak ada
seorangpun yang mengetahui ke-Islamannya, bahkan Rasulullah saw sendiri tidak
mengetahuinya. Rasulullah saw diberitahu melalui wahyu tentang kematiannya, juga ke-
Islamannya pada hari kematiannya itu, sebagaimana yang ditunjukkan oleh bentuk sighat keenam
hadits Bukhari yang meriwayatkan tentang kematiannya. Waktu yang singkat yang dilaluinya
sebagai seorang muslim sebelum dia meninggal tidak memungkinkannya untuk mengetahui
tentang hukum-hukum Islam. Dan ketidaktahuan Nabi saw terhadap hal itu menyebabkan beliau
tidak sempat mengirimkan kepadanya utusan yang akan menjelaskan apa yang harus dikerjakan.
Dengan demikian, hal ini tidak bisa dijadikan dalil bagi orang yang membolehkan dirinya
untuk bergabung di dalam sistem pemerintahan kufur yang menjalankan roda pemerintahan
dengan hukum selain yang diturunkan Allah. Berarti, gugurlah seruannya dalam perkara ini.

Bab 18
Moderat dan Ekstrem

Serangan Barat terhadap Islam memiliki beberapa wajah yang berbeda. Serangannya
menyusup ke berbagai bidang, akan tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu berusaha untuk
menjauhkan Islam dari kehidupan. Serangan Barat tidak hanya terbatas dengan memperburuk
citra Islam, meruntuhkan negara Khilafah, menikam hukum-hukum Islam, dan menyerukan bahwa
Islam hanyalah gambar yang akan hilang dengan berlalunya waktu, akan tetapi juga mencakup
seluruh perkara yang bisa menjauhkan Islam dari kepemimpinan dunia sekali lagi. Islam phobia
terus berlangsung. Makar terhadap Islam tidak akan pernah surut, agar orang-orang yang awam
tidak beranjak dari cengkeraman mereka, kecuali jika kaum Muslim kembali memimpin dunia.
Barat memandang bahwa kaum Muslim adalah umat yang hidup dengan Islam; agama
mereka adalah agama yang bersifat universal, yang layak bagi seluruh manusia dan mampu
memperbaiki kehidupan manusia. Seluruh jiwa kaum Muslim akan selalu mencari jalan untuk
bersatu. Barat amat memahami bahwa letak geografis dari negeri-negeri Islam yang banyak dan
tersebar akan menjadi negara yang strategis dan bersatu. Keberadaannya menempati pusat-pusat
benua dan terletak memanjang diatasnya. Negeri-negeri kaum Muslim memiliki sumberdaya alam
yang luar biasa, melebihi kebutuhan negara-negara besar, dan mampu mejadikannya sebagai
negara adidaya. Lebih dari itu jumlah kaum Muslim mencapai sepertiga penduduk dunia. Cita-cita
kaum Muslim, jika Allah memenangkan mereka, bukanlah untuk membunuh dan merampas
kekayaan negeri-negeri yang mereka taklukkan, melainkan akan membukanya secara hati-hati;
membebaskan manusia, dan seluruh umat manusia dari kebodohan dan kekufuran, kepada
hidayah Islam. Mengarahkan kepada suatu keyakinan bahwa memasukkan seseorang kedalam
Islam lebih dia cintai daripada dunia dan seisinya.
Islam menghadapi banyak sekali tipu daya dan makar keji terhadap hukum-hukumnya, dan
terhadap para pengemban dakwahnya yang ikhlas. Tujuan mereka untuk menjauhkan pengaruh
Islam kepada pengikutnya dan umat yang lain.
Kalau bukan karena Islam itu adalah agama Allah yang hak, pasti sudah terhapus dan hilang
dari pengaruhnya yang luar biasa. Dan kalau bukan karena kehendak Allah yang akan terus
berlaku, juga karena iradah-Nya yang pasti terjadi, maka kaum Muslim tidak mungkin tetap
memberikan loyalitasnya kepada agama mereka pada masa yang paling mundur. Barat telah
berhasil membengkokkan tolok ukur kaum Muslim menyimpang, pemahaman-pemahaman mereka
menjadi rancu dan pemikiran mereka menjadi rusak. Pada perang Salib yang pertama Barat
melihat bahwa Islam menancap kuat di dalam jiwa kaum Muslim, dan realitasnya jauh lebih kuat
dari berbagai usaha untuk melepaskannya. Oleh karena itu, Barat mengganti strateginya di dalam
perang Salib yang kedua, yang hingga saat ini kita masih merasakan bencananya. Pada perang
Salib kedua ini, Barat menjauhkan kaum Muslim dari agamanya, dan mencegah kaum Muslim
untuk menyebarkanluaskan pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya, dan
standar pemikirannya. Supaya Barat tetap mendominasi kaum Muslim secara fisik, maka Barat
pun menciptakan pemikiran-pemikiran palsu yang dibarengi dengan dominasi secara fisik. Setelah
itu, Barat menempatkan para peguasa yang telah dicuci dengan politik dan pemikiran yang rusak.
Lalu Barat mengikat erat eksistensi negeri-negeri Islam (yang dijajahnya) dengan mengarahkan
politik negara-negara tersebut berjalan dengan orientasi yang sama, yaitu merealisir kepentingan-
kepentingan Barat. Dunia dijadikan oleh Barat bagaikan perseroan terbatas, yang didalamnya
terdapat investor (pemilik modal) dan negara-negara lain sebagai buruh dan konsumennya. Barat
melengkapi hegemoninya atas dunia dengan penguasaan di bidang jaringan informasi (dan
komunikasi) raksasa, dan menempatkan jaringan- jaringan informasi negara lain berkiblat kepada
mereka. Hal itu dilakukan Barat agar kita tidak membaca melainkan apa yang mereka tulis, dan
tidak mendengar kecuali apa yang mereka siarkan, serta tidak menyaksikan kecuali apa yang
mereka tayangkan. Dan kita tidak membicarakan atau memahami perkara apapun kecuali menurut
perspektif yang mereka inginkan. Ini merupakan bentuk penjajahan baru yang amat progresif, lebih
berbahaya dan lebih licik dari penjajahan konvensional.
Penjajahan konvensional berbentuk penguasaan manusia oleh pihak luar (secara fisik),
sedangkan penjajahan model baru adalah penguasaan manusia, baik dari dalam (aspek
pemikiran, budaya, ideologi, dan lain-lain) maupun dari luar (aspek militer, ekonomi dan politis).
Kondisi tersebut menggiring kaum Muslim agar ketaatan dan loyalitasnya secara mutlak diberikan
hanya kepada (pemikiran dan peradaban) Barat, sehingga tidak akan ada satupun yang bisa
mengancam eksistensi penjajah.
Sampai-sampai terhadap agama kitapun, Barat menginginkan agar kita memahaminya
dengan cara dan metode berpikir mereka. Jika ada orang yang menyimpang dari cara pandang
mereka, maka mereka akan menggerakkan media masa untuk menyerang orang tersebut. Lalu
menggambarkan orang tadi dengan image negatif dan menganggap orang tadi menantang
kemapanan, keluar dari kelaziman, merusak ijma’, dan mendeskripsikannya sebagai ekstrimis,
teroris, fundamentalis dan radikal, bahkan menyebutnya sebagai musuh kemanusiaan dan orang-
orang bodoh yang tidak layak hidup kecuali di dalam (zaman) kegelapan dan permusuhan, karena
orang-orang itu melontarkan pemikiran yang menebarkan permusuhan dan provokasi. Setelah
image buruk direkayasa dan memanipulasi fakta, penguasa (yang menjadi anjing penjaga
kepentingan-kepentingan Barat) memberangus orang-orang tersebut karena –menurut mereka-
layak untuk dibungkam. Apa yang dilakukan mereka itu dengan memanfaatkan kebodohan
masyarakat terhadap berbagai hakekat. Diperkuat dengan bantuan para ulama (as-sû) yang
mendukung seluruh perilaku Barat.
Namun, apa yang kita saksikan sekarang ini adalah mulai berdenyutnya kebangkitan di
dalam diri umat. Umat melihat kepada Barat, penguasa dan ulama (as-sû) dengan pandangan
yang sama. Umat memandang Barat bagaikan melihat setan, sedangkan para penguasa itu
menjadi murid-muridnya. Para ulama (as-sû) tidak akan menduduki posisi kecuali jika mereka
melanggar kehormatan agama. Itulah kebanyakan ulama pada masa kemunduran, dan fungsi
mereka akan berakhir dengan berakhirnya masa kemunduran itu. Di era kebangkitan Islam yang
sebenarnya, akan muncul para ulama yag bersih, taqwa dan jujur.
Sesungguhnya kita sekarang ini berada pada taha dimana Barat dan para penguasa, hidup
dalam ketakutan yang amat sangat terhadap kembalinya Islam. Hal itu didasarkan pada kesaksian
kami dimana mereka menganggap setiap pemikiran Islami yang dilontarkan merupakan bahaya
yang mengancam kedudukan mereka, sehingga mereka berusaha untuk mengepungnya dan
menuduhnya dengan berbagai dakwaan. Mereka menggunakan corong media masa maupun
propaganda, bahkan acapkali menggunakan lidah-lidah para ulama untuk menyerangnya. Mereka
menggambarkan gerakan-gerakan Islam yang menuntut (penerapan sistem) Islam semata sebagai
ekstrimis dan teroris. Di lain pihak para ulama kaum Muslim, para penulis, baik lokal maupun
nasional, dengan rajin mengarang buku-buku dan memberikan ceramah-ceramah agar kaum
Muslim menjauhi sikap ekstrem dan menyerukan sikap moderat. Mereka semuanya bertolak dari
satu perspektif yaitu perspektif Barat. Seandainya ada ulama muslim yang terjun kedalam
persoalan ini, dan berusaha untuk menyampaikan kepada pemikiran Barat itu (pemahaman
tentang) syari’at (Islam yang sebenarnya), maka kami tidak akan membebani diri sendiri dengan
kesulitan (yakni menulis maupun menyampaikan ceramah) untuk mengcounter pemikiran tersebut.
Sayangnya, para ulama itu dipandang sebelah mata oleh umat dan posisi mereka sama seperti
penguasa, bahkan reaksinya mungkin akan bertentangan dengan apa yang mereka inginkan. Para
ulama itu sendiri dijauhi oleh umat dengan memunggunginya. Hal itu disebabkan banyaknya
justifikasi yang mereka lontarkan dan tidak mengandung kebenaran. Fatwa-fatwa mereka
menyimpang dari pokok-pokok syariat yang telah baku. Pada akhirnya bukan hanya bertentangan
dengan pemahaman yang Islami, malah bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah
disepakati umat validitas sumbernya dan kenyataan praktisnya. Sebagian fatwa itu bahkan
memerintahkan untuk mengerjakan yang munkar dan melarang yang ma’ruf. Semoga Allah Swt
melindungi kita dari semua itu. Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh para ulama dengan
melontarkan pemikiran-pemikiran yang pro Barat, yang nota benenya merupakan pemikiran asing
yang disusupkan ke dalam Islam, itu dilakukan bukan untuk mencari keridhaan Allah, melainkan
untuk menyenangkan para penguasa dan kroni-kroninya. Meskipun mereka berusaha
menunjukkan semangat untuk membela kaum Muslim dan kepentingan dakwah Islam akan tetapi
umat amat memahami kosongnya pemikiran mereka dan penyimpangan yang dilontarkan para
penggagasnya.
Setelah kami memaparkan realitas kaum Muslim, para penguasa dan ulamanya saat ini,
serta strategi Barat kafir untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim, maka kami perlu
menyampaikan hakekat tentang pemikiran tatharruf wa i’tidal (ekstrem dan moderat). Pemikiran
tersebut harus diungkap dengan cara pandang Islam, agar kaum Muslim mengetahui mana yang
benar tanpa ada keraguan lagi, karena perasaan saja tidak cukup untuk menentukan sikap. Dan
kami -seperti biasanya- akan memberikan solusi bagi permasalahan ini sesuai dengan pokok-
pokok syariat agar sesuai dengan asas Islam, yaitu akidah Islam.
Islam datang untuk menjawab seluruh problematika manusia sebagai satu kesatuan. Islam
menjawab tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri melalui aturan-aturan akhlak, (hukum
tentang) math’umât (tentang makanan dan minuman) dan malbûsât (tentang pakaian); dan
menjawab tentang hubungan manusia dengan sesamanya melalui aturan-aturan mu’amalât dan
uqûbât; juga menjawab tentang hubungan manusia dengan Rabbnya melalui aturan-aturan ibadah
dan akidah. Islam merupakan aturan yang integral (menyeluruh) dan menyelesaikan setiap
perbuatan manusia. Islam adalah pemikiran menyeluruh yang menjadikannya mampu untuk
menjawab setiap hal yang berkaitan dengan urusan hidup.
Disamping itu, bangunan Islam adalah bangunan yang paripurna, yang tegak diatas asas
yang memancarkan setiap penyelesaian. Di atasnyalah dibangun seluruh pemikiran. Oleh karena
itu, pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya dan tolok ukurnya, semuanya
berasal dari unsur pemikirannya yang asasi. Islam tegak diatas asas iman seorang muslim, bahwa
Allah adalah Pencipta dan Pengatur; bahwa manusia itu lemah, membutuhkan kepada yang lain,
serba kurang dan terbatas; bahwa manusia tidak mampu memberikan penyelesaian. Allah Swt
telah mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia siapakah Allah yang harus
disembah, bagaimana beribadah kepada-Nya, apa yang menjadi konsekuensinya apabila manusia
beribadah, atau konsekuensinya jika tidak melakukannya, yakni berupa pahala dan siksa di dalam
kehidupan akhirat. Semua ini menumbuhkan pada diri seorang muslim tolok ukur bagi setiap
perbuatannya, yaitu halal dan haram. Fungsi akal manusia bukan untuk menghukumi (menetapkan
hukum) syariat, tidak pula untuk membuat undang-undang (sejajar dengan nash), tetapi akal
manusia digunakan untuk memahami apa yang ditunjukkan oleh nash-nash. Nash-nash itulah
yang mampu memberikan solusi, yaitu nash-nash yang berasal dari Allah Swt. Tugas manusia
adalah untuk memahami nash-nash supaya mereka konsisten. Dalam memahami nash0nash
tersebut manusia bisa salah, bisa juga benar. Meskipun demikian, dalam dua kondisi itu tetap
diberikan pahala, asalkan tunduk kepada metode ijtihad yang syar’i. Berdasarkan hal ini kaum
Muslim sangat memperhatikan itsbat (penetapan) nash-nash. Dari sinilah lahir ilmu hadits. Mereka
juga sangat memperhatikan pemahaman nash-nash sehingga melahirkan ilmu ushul fiqih.
Diantara kaedah-kaedah ushul fiqih, antara lain:
-Sesungguhnya Allah itu adalah Hakim.
-Asal dari setiap perbuatan dan segala sesuatu terikat dengan dalil syara’.
-Sesungguhnya, khair (kebaikan) itu adalah apa yang membuat Allah ridha, dan syar
(buruk) adalah apa yang membuat Allah murka.
-Sesungguhnya, hasan (terpuji) itu adalah apa yang dianggap hasan (terpuji) oleh syara’,
dan qabîh (tercela) itu adalah apa yang dianggap qabîh (tercela) oleh syara.
Seorang muslim yang beriman menganggap bahwa kebahagiaannya adalah memperoleh
keridhan Allah Swt. Dan ketenangannya akan muncul apabila hajat udhuwiyah (kebutuhan fisik)
dan gharizah (naluri)nya dipenuhi berdasarkan imannya kepada Allah Swt dan keterikatannya
dengan syari’at-Nya. Begitulah, kami melihat bahwa bangunan Islam yang sempurna dan
paripurna, seluruh pemikirannya itu sejenis, dan berdiri di atas asas yang satu. Apa yang sesuai
dengan asas itu, diterima, dan apa yang tidak sesuai, ditolak.
Instrumen-instrumen yang diterapkan terhadap Islam sebagai sebuah mabda (ideologi),
juga bisa diterapkan terhadap ideologi kapitalis. Sebab, kapitalis juga adalah mabda (ideologi).
Bangunan pemikirannya satu sama lain memiliki jenis yang sama, yaitu bisa diambil seluruhnya
atau ditinggalkan seluruhnya. Pemikiran sekularisme merupakan asas atas seluruh penyelesaian
(masalah)nya, dan setiap pemikiran kapitalis tegak diatasnya. Pemikiran sekularisme dibangun
berasaskan ide kompromi, yang menganggap bahwa manusia itu adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Agar dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri maka manusia harus dijauhkan dari segala pengawasan
(kontrol). Dan itu tidak bisa direalisir kecuali jika dia menggunakan empat jenis kebebasan. dari
sinilah lahirnya ide tentang kebebasan. Ide tentang kebebasan di dalam ideologi kapitalis memiliki
pemahaman yang khas. Agar manusia itu menjadi tuan bagi dirinya sendiri berarti dalam
memenuhi kebutuhannya yang asasi harus sesuai dengan keinginannya (sendiri), yaitu tidak ada
peraturan yang mengaturnya, baik agama atau yang lain. Dari sini lahirlah ide tentang demokrasi.
Para penganut ide sekularisme menganggap bahwa kebahagiaan adalah apabila dia memperoleh
sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan. Dengan demikian apa yang dipandang oleh
akalnya (karena akalnya adalah musyarri’) adalah maslahat, itulah yang menjadi tujuan dari setiap
perbuatannya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu bersifat baku dan menyatu. Tidak menerima percampuran.
Adanya percampuran –menurut syariat- sama saja dengan syirik, baik syirik kufur atau syirik
maksiat.
Islam tidak menerima demokrasi, karena demokrasi berarti menempatkan rakyat sebagai
sumber hukum. Di dalam Islam, hukum berada di tangan syara’. Begitu juga halnya dengan
pemikiran kapitalis. Pemikiran itu akan memagari Islam agar tidak sampai pada jenjang
kekuasaan. Sebab, ketika Islam telah memperoleh kekuasaan, pasti akan menghapus demokrasi
dan seluruh pemahaman yang berasal daripadanya. Oleh karena itu, kami juga melihat, bahwa
Barat akan memerangi setiap pemikiran Islam yang bersifat mengakar (ideologis) dan akan
memerangi setiap gerakan-gerakan Islam yang berusaha untuk sampai pada jenjang kekuasaan.
Barat memandang bahwa gerakan-gerakan itu merupakan bahaya bagi eksistensi dan
kepentingannya dan akan memusnahkan (peradab) Barat langsung dari akarnya. Dari sini kita
amat memahami bahwa Barat akan memeranginya dan memusuhi Islam dan kaum Muslim, dan
memandangnya sebagai musuh laten. Berdasarkan realitas itu pula Barat kemudian menempelkan
sebutan dengan bermacam-macam stempel, seperti fundamentalis, karena gerakan-gerakan ini
bertolak dari perkara pokok (ushul) yang tidak diakui oleh Barat keberadaannya. Barat juga
menyebutnya sebagai teroris, karena gerakan-gerakan itu tidak mau berinteraksi dengan Barat,
disebabkan tidak ada perkara yang bisa mempersatukan keduanya. Barat menyebutnya juga
sebagai radikal, karena dia tidak bermanis muka terhadap seluruh bentuk pemikiran Barat dan
tidak menghormati eksistensinya. Jika kita benar-benar memperhatikan, maka kita akan
menyaksikan bahwa apa yang mereka tuduhkan kepada pihak lain itu sebenarnya merupakan
sifat-sifat diri mereka sendiri. Justru Baratlah yang fundamentalis, karena mereka bertolak dari
asas yang mereka yakini kebenarannya dan tidak mau menerima asas lain sebagai rivalnya. Hal
itu amat kontradiktif dengan pemikirannya yang menggembar-gemborkan demokrasi, yang
katanya membolehkan pihak-pihak lain sampai kepada jenjang kekuasaan, selama rakyat yang
memilihnya. Barat juga sebenarnya teroris, ekstremis dan fundamentalis, karena Barat tidak
menghormati eksistensi politik Islam dan tidak mau berurusan dengannya, malah tidak mau
bertemu dengannya. Jadi, betapa Barat telah melanggar mabda (ideologi)nya sendiri dan
menjerumuskan dirinya sendiri kepada apa yang mereka tuduhkan kepada orang lain. Maka,
demokrasi macam apa ini, yang bisa menggagalkan pemilu (sekehendaknya, seperti yang terjadi
terhadap FIS di Aljazair), padahal itu merupakan metode yang menurut pandangannya
menggambarkan kehendak rakyat. Kenyataannya, justru sikap diktator pemerintah yang tampak.
Apabila kita ingin menetapkan apakah suatu fikrah atau pemikiran itu benar atau salah,
maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus mengembalikan kepada asalnya. Setelah itu kita
mencari hukum baginya dan menghukuminya berdasarkan asal tadi. Kita tidak boleh mencari
hukum-hukum cabang melalui asal yang lain. Kita misalnya, tidak boleh mengatakan bahwa
kebahagiaan di dalam Islam berdasarkan perolehan kelezatan (kenikmatan). Kita juga tidak boleh
mengatakan bahwa seorang muslim beriman kepada (prinsip-prinsip) kebebasan yang diyakini
oleh Barat, karena Islam tidak mengakui hal itu dan sama sekali tidak menerimanya. Barangsiapa
menerima Islam sebagai asas baginya, maka pasti akan rela terhadap apa pun yang lahir dari
Islam. Dia harus mengambil Islam secara keseluruhan, karena meninggalkan sebagian dari Islam
sama saja dengan meninggalkan seluruhnya.
‫ب‬ َ َ ‫َسِى تَى َمِ تَ ْ َس َميِْ ؤ َْ ُّىوَ ِيََْ ِا‬
ِْ َ َ َ‫ش ِْ ت‬ َ ‫ح َس ِْ َ ُّ تن‬ ٌ ‫ضِفَ َمسِج ََز ؤءِ َم توِ َ تُ َلؤِ َ َْ َ ِمْ تن ؤَ تمِيْالَِ ْ تز‬
َِ َ‫يِفْيِ ت‬ ٍ ‫ِى َ تَُؤ ؤْىوَ ِمْمَ ت‬
َ ‫ب‬ ْ ‫اَفَ ؤ ت مْ نؤىوَ ِمْمَ ت‬
ْ ‫ضِ تَ َْ َس‬
Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar pada sebagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian dari padamu melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. (QS. al-Baqarah [2]: 85)
Berdasarkan hal ini kita menolak pernyataan yang berasal dari Barat, yang menyebutkan
bahwa Islam adalah agama moderat, dan bahwa Islam menjauhi kekerasan. Ini adalah perkataan
benar yang memiliki tujuan batil, karena berasal dari asas yang rusak.
Kata tatharruf, ghuluw, isrâf atau ifrâth, memiliki makna syar’i. Apabila seorang muslim
melanggarnya maka dia akan terjatuh kepada perbuatan haram. Demikian pula dengan kata i’tidal,
iqtishâd, istiqâmah atau wasathiyah, memiliki makna syar’i, dimana seorang muslim harus
konsisten terhadapnya. Begitu juga dengan istilah tafrîth dan tasâhul. Jika kita ingin mengetahui
hukum syara’ dalam masalah ini, tidak boleh menggunakan tolok ukur dan pemahaman kapitalis
untuk memberikan hukum padanya. Sikap seperti itu diharamkan, karena didalamnya
mengandung sikap mendukung Barat dan pemikirannya, dan di dalamya terdapat upaya pencarian
hukum selain Islam untuk menghukumi Islam dan pemahamannya.
Banyak hukum-hukum syara’ yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, dan berdosa
jika ditinggalkan. Sementara Barat memandangnya sebagai sesuatu yang ektrem, radikal dan
perbuatan teror. Contohnya adalah pemikiran tentang jihad fi sabilillah, pemikiran tentang upaya
mendirikan negara Khilafah, pemikiran tentang amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa,
menentang kekufuran dan menyebarkan dakwah, membuang demokrasi, haramnya transaksi riba,
pakaian wanita, dan banyak lagi yang lain. Semua itu mengharuskan seorang muslim bersikap
konsisten kepadanya. Apakah boleh bagi kita berhukum kepada demokrasi yang berlandaskan
pada pemikiran Barat yang rusak dan busuk, yang tidak menebarkan kebaikan bagi para
pengikutnya? Maka, bagaimana mungkin mereka mengembannya kepada selain mereka? Apakah
seorang muslim boleh mengatakan apa yang mereka katakan?
Kita wajib menolak pemikiran Barat tentang tatharruf (ekstrem) dan i’tidâl (moderat). Dan
kita wajib menolak campur tangan Barat terhadap agama kita. Pembahasan ini pada awalnya tidak
bertolak dari cara pandang syara ‘, akan tetapi kondisi politik yang berusaha untuk mengarahkan
perspektif umat agar sesuai dengan perspektif Barat. Pembahasan ini berkaitan dengan dominasi
dan penjajahan akal secara langgeng.
Sudah saatnya kita mengetahui pendapat dan perspektif Islam terhadap perkara ini, dalam
rangka pelayanan terhadap dakwah dan taqarrub kepada Allah Swt.
Al-Mughâlât atau al-ghuluw berarti az-ziyâdah dan mubâlaghah. Mubâlaghah dalam
beragama berarti tasyaddud dan tashallub, yakni melampaui batas yang dituntut dan yang telah
ditetapkan. Itu disebut juga dengan ifrâth. Lawan katanya adalah tafrîth, yang berasal dari fi’il
farratha fi al-amr farathan atau qashsharahu bihi wadhi’ahu wa qaddama al-‘ajza fîhi. Tafrîth dalam
agama berarti melalaikan hukum-hukumnya dan menyia-nyiakan haknya, menampakkan
kelemahan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dari sini lahir perkataan: lâ ifrâtha walâ
tafrîtha fi al-Islâm.
Adapun iqtishâd sama dengan tawassuth, i’tidâl, rusyd dan istiqâmah. Orang yang mu’tadil
(pertengahan, normal, proporsional) dalam agama adalah orang yang istiqâmah di dalam
mengerjakan perintah Allah, dan tidak menyimpang, baik kearah yang berlebihan atau lalai. Allah
Swt berfirman:
َ ٌ َ ‫مْ تن ؤه تمِا ؤ َميٌِ ؤم ت َ ْص‬
َِ‫ِى ََ ْ ٌِْمْ تن ؤه تمِ َس َءِ َمسِ َ ت َملؤىو‬
Diantara mereka ada golongan yang pertengahan (orang berlaku jujur dan lurus dan tidak
menyimpang dari kebenaran), dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan
mereka. (QS. al-Maidah [5]: 66).
ِ
Tafsirnya adalah, bahwa umat ini adalah umat yang mu’tadilah terhadap perintah Rabbnya,
artinya konsisten dengan batas-batas yang diperintahkan Allah kepadanya. Al-Fayyumi di dalam
kitabnya al-Misbakhul Munir: ‘Qashada fi al-amr qashdan ayi tawassatha, wa thalaba al-asadda wa
lam yujawizu al-hadda’.
Orang yang memperhatikan definisi-definisi ini memahami bahwa yang dituntut dari seorang
muslim adalah konsisten dengan batas-batas Allah, dan tidak boleh melampauinya. Seorang
muslim harus mu’tadil, yaitu lurus terhadap perintah-Nya. Rasulullah saw bersabda:

Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamalah. (HR Muslim)

Maksudnya, konsistenlah dengan apa yang Allah perintahkan kepadamu dan berhentilah dari apa
yang dilarang-Nya. Jadi, kata istiqamahlah disini berarti bertakwalah. Dari sini datanglah firman
Allah untuk menjelaskan makna tersebut:
َِ ْ‫ َى ت َ ْ تمِ ََ َمسِاؤمْ ت‬
Dan tetaplah segaimana diperintahkan kepadamu. (QS. asy-Syura [42]: 15)

Allah-lah yang memerintah, dan seorang muslim harus mentaati perintah-Nya. Seorang muslim
tidak akan mengetahui jalan takwa dan jalan yang lurus, sendirian. Seandainya dia mengikuti
dirinya sendiri, berarti dia telah mengikuti hawa nafsu. Dan barang siapa mengikuti hawa
nafsunya, berartti dia telah menyimpang. Oleh karena itu, istiqâmah itu tidak lain mengikuti apa
yang diperintahkan Allah semata, dan tidak melampauinya, baik dengan melebih-lebihkan atau
pun melalaikannya. Untuk memahami hal itu harus kembali kepada asasnya.
Seorang muslim yang beriman kepada Allah, akan beriman pula bahwa penyelesaian yang
dibawa Islam adalah sesuai dengan fithrahnya, yang telah Allah fithrahkan kepadanya. Sebab,
penyelesaian-penyelesaian itu berasal dari al-Khaliq, yang telah menciptakan fithrah itu sendiri dan
menetapkan khasiat-khasiatnya, serta menciptakan apa yang baik baginya. Pada waktu yang
sama, seorang muslim juga beriman bahwa solusi yang disodorkan agama-agama dan ideologi-
ideologi lain adalah dangkal, salah, menyimpang, menyengsarakan dan tidak membuat manusia
bahagia. Karena solusi-solusi tersebut adalah buatan manusia yang bersifat lemah, yang
membutuhkan kepada yang lain, dan penuh dengan keterbatasan. Akal manusia tidak mampu
mencakup seluruh fakta tentang dirinya sebagai manusia. Implikasinya, tidak mampu melahirkan
solusi. Agama (samawi) selain Islam berasal dari Allah, akan tetapi ditujukan khusus untuk satu
kaum, bukan untuk manusia seluruhnya. Lagi pula tangan-tangan manusia telah bercampur, untuk
merubah dan menggantinya.
Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan ideologi-ideologi dan agama-agama lain.
Islam adalah agama dari Allah, mencakup seluruh perbuatan manusia dan memberikan kepada
manusia solusi (jawaban) yang menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Allah Swt
berfirman:
ِ‫بَِْن َمِ َحش تَنْ َنْي‬ َ ‫ِقَنسل‬ِ ‫ًسِىنَحت ش ؤؤْهؤِ تَى َمِ تَ ْ َس َمنيِْا َ تع َمن‬
ْ َِْ َ ًِ‫ضِع تَوِ ْ َ ْتْيِفَ ْإوَ ََِؤؤِ َم ْ شَي‬
َ َ‫ض تن‬ َ ْ‫ِ َى َم توِاَع َت‬ِ َ ‫ش‬ َ ‫يِفَالَِ َْضل‬
‫ُِّىالَِ َ ت‬ َ َ ‫فَ َم ْوِ َمَ َعِ ؤه‬
َ ‫ِقَسلَِ ََ َ َْ َ ِا َ َ ت َ ِ َء َس ؤنَسِ َفنَ ْ َه‬ِ ًْ ‫ِىقَ تِ ؤَ تن ؤ ِم َْص‬
 َ ‫َسِى ََ َ َْ َ ِ تَ تَى َمِ ؤ تن‬ َ ‫ا َ تع َم‬
Lalu, barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan celaka. Dan
barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat pada keadaan buta. Berkatalah ia:
‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman: ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan’. Adapun
orang yang berjalan dimuka bumi ini bukan dengan petunjuk Allah maka dia adalah buta,
menyimpang dari kebenaran, menyimpang dari yang haq. (QS. Thahaa [20]: 123-126)

Allah telah memelihara untuk kita agama ini dari kemusnahan. Allah mencegah tangan-
tangan yang akan mengotori untuk merubah dan memalingkan nash-nash-Nya. Allah Swt
berfirman:
‫ِى ْينَسََِؤؤََِحَسفْ ؤ‬
َِ‫ظىو‬ َ ْ‫ ْينَسِنَحت وؤ ِنَ َز تَنَسِ َ ْ َ َت‬
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. al-Hijir [15]: 9)
Meskipun demikian, Allah Swt tidak menghalangi penyimpangan pemahaman manusia.
Adanya eksistensi nash dan terpeliharanya nash, mengandung arti terpeliharanya hujjah Allah atas
manusia. Sedangkan manusia itu sendiri, maka mungkin saja menyimpang atau tersesat, atau
mentakwilkan nash-nash dengan sesuatu yang tidak dikandungnya, menambahi atau mengurangi.
Namun, hal ini masih dalam batas-batas pemahaman, bukan nash-nash al-Qur’an. Oleh karena itu
wajib bagi seorang muslim beriman dengan benar, konsisten dan istiqâmah melaksanakan
perintah-perintah Allah yang Maha Mengetahui, juga berusaha agar tidak menyimpang darinya
seujung jaripun.
Inilah Islam yang telah baku. Seorang muslim yang beriman dengan apa yang telah
ditetapkan. Sementara, manusia itu, siapa pun, tidak akan mampu membuat hukum, meskipun
diberikan kepadanya kecerdasan berpikir, kedalaman pengalaman dan kekuatan iman. Dalam
proses pembuatan hukum, manusia harus tunduk kepada nash-nash yang ada, meskipun dia
adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Itulah yang beliau maksudkan dengan perkataannya pada
khutbahnya yang pertama setelah beliau menerima jabatan Khalifah: ‘Taatlah kalian kepadaku
selama aku mentaati Allah dalam urusan kalian. Seandainya aku berbuat maksiat, maka tidak ada
ketaatan kepadaku…aku ini tidak lain adalah pengikut, bukan orang yang membuat-buat (bid’ah)’.
Hal itu merupakan pencerminan dari sabda Rasulullah saw:

Ikutilah, dan janganlah membuat bid’ah. Sungguh telah dicukupkan untuk kalian.
Perkara ini kami temukan pada seorang muslim. Kami tidak menemukan hal seperti ini
pada pemikiran (yang berasal dari) orang lain yang berusaha menjawab persoalan manusia,
karena keduanya berbeda dengan perbedaan yang sangat mendasar.
Dengan demikian, kaum Muslim harus konsisten, tidak mudah menyerah, harus mengikuti,
dan tidak berbuat bid’ah.
Jika kita memperhatikan sikap kaum Muslim terhadap agama ini, sejak awal diturunkannya
kepada Rasulullah saw hingga sekarang ini, kami menemukan bahwa kecintaan kepada Islam
pada sebagian kaum Muslim telah menutupi sesuatu. Sebagian kaum Muslim memandang bahwa
dirinya mampu menyembah Allah lebih kuat. Lalu ia memandang remeh ibadah orang-orang lain
yang benar dan konsekwen. Dia melihat bahwa dalam dirinya terdapat kemampuan untuk
mengerjakan (amal ibadah) jauh lebih banyak dari apa yang dituntut oleh syara’. Ia berbendapat
agar kehidupannya di dunia diisi dengan ibadah secara maksimal (dari segi kuantitas), lalu dia
membuat-buat metode baru yang tidak ada dalilnya, mengikuti keinginan dan hawa nafsunya.
Orang semacam ini telah menyimpang dari perkara yang seharusnya, apalagi jika mengajak orang
lain untuk mengikutinya. Barang siapa yang tidak menyambut ajakannya akan dicap sebagai orang
yang melalaikan ibadah. Kami menjumpai apa yang dikerjakan atau dikatakannya itu bersandar
kepada dalil-dalil syara’, dengan pemahaman yang keras dan pendapat yang ekstrem. Sikap
seperti ini diharamkan, meskipun keluar dari mulut orang yang mencintai Allah dan agamanya,
karena hal ini merupakan perubahan dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh
syara’. Allah-lah yang menciptakan kita, dan kita tidak mampu mengetahui tentang Allah dan tidak
mengetahui hakekat zat-Nya. Kita pun tidak mengetahui apa yang wajib kita lakukan dalam
ibadah. Allah-lah yang Maha Meliputi segala sesuatu. Kita adalah orang-orang yang
mengharapkan keridhaan-Nya, maka tidak ada yang membuat Allah ridha kecuali kita bersikap
istiqâmah terhadap perintah-Nya. Allah Swt berfirman:
َ َ‫اَالَِ َ تلَ ؤمِ َم توِ َ لَق‬
ِْ‫ِىه َؤىِ َلَكْ ؤ ِ تَ َ ْم ؤ‬
Apakah Allah yang menciptakan itu tdak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu
rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Mulk [67]: 14)

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari ‘Aisyah: Rasululah telah melakukan sesuatu (amal
ibadah) dan beliau mengambil rukhshah di dalamnya. Berita itu sampai kepada sebagian sahabat,
maka seakan-akan mereka tidak senang. Hal itu sampai kepada Rasulullah, maka Rasulullah saw
marah (yang terlihat di wajahnya). Beliau memuji Allah, kemudian bersabda:

Mengapa suatu kaum tidak senang dengan apa yang aku perbuat (dengan mengambil
rukhshah), maka demi Allah aku akan mengajarkan kepada mereka tentang Allah dan sesuatu
yang lebih mendekatkan mereka kepada Allah. (HR Bukhari).

Ini merupakan peringatan agar tidak berlebih-lebihan dan perintah untuk bersikap hati-hati.
Imam Bukhari menyebutkan bahwa beliau saw telah bersabda:

Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak pernah ada seorangpun mendalami (amal-
amal) dalam agama (dan meninggalkan kelembutan) kecuali dia tidak mampu atau terputus,
kemudian kalah Maka konsistenlah (dengan kebenaran, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
melalaikan-pen), (dan apabila kalian tidak mampu untuk melakukan yang sempurna) maka
amalkanlah apa yang mendekatinya, dan bergembiralah (dengan pahala dari amal yang terus
menerus dilakukan meskipun sedikit). Maka meminta tolonglah (agar tetap konsisten dengan
ibadah) dengan waktu-waktu yang efektif (seperti pagi hari dan awal malam).

Dalam riwayat lain disebutkan:

Dan meminta tolonglah melalui waktu pagi dan awal malam. Lakukanlah sesuatu yang
pertengahan (tidak ifrath dan tidak tafrith-pen). (HR Bukhari)

Niat baik bisa menjadi pendorong untuk bersikap ekstrem dan berlebih-lebihan
sebagaimana yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. Ada sekelompok orang
yang memberitakan tentang ibadah Rasullah saw, maka seolah-olah mereka sangat sedikit
dibandingkan dengan apa yang dilakukan Rasulullah saw, lalu mereka berkata: ‘Dimana posisi kita
dibandingkan Nabi saw. Allah telah mengampui dosa beliau baik yang dahulu maupun yang
sesudahnya’. Lalu mereka berjanji untuk bangun pada malam hari (shalat malam) dan puasa pada
siang harinya serta menjauhi wanita. Maka Rasululah saw bersabda kepada mereka:

‘Apakah kalian kaum yang mengatakan begini dan begini? Sesungguhnya aku lebih takut
kepada Allah dari pada (rasa takut yang) kalian (miliki), dan lebih bertakwa kepada-Nya. namun
demikian aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku pun menikahi wanita’.

Dan Rasul mengakhiri sabdanya dengan:


Barangsiapa yang tidak senang kepada sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku.

Terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali apa
yang disyariatkan-Nya. Tidak termasuk taqarrub kepada-Nya apa pun yang menjadi tambahan dan
dibuat-buat oleh manusia. Abu Daud menyebutkan dalam sunannya, tentang seorang laki-laki
yang bertanya kepada Rasullah saw. Dia berkata: ‘Wahai Rasululah, bagaimana dengan orang
yang berpuasa seumur hidupnya? Rasulullah saw bersabda:

Tidak ada puasa yang tidak berbuka.

Imam Ahmad menyebutkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda kepada orang
yang memberitahukan kepada beliau bahwa ibunya telah bernadzar untuk pergi haji dengan
berjalan kaki:

Perintahkan dia untuk berhaji dengan berkendaraan. Sesungguhnya Allah tidak


membutuhkan pada jalan kakinya.

Imam Bukhari menyebutkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: Ketika Nabi berada diantara
kami, beliau berkhutbah, ketika itu seorang laki-laki bersikeras untuk tetap berdiri. Maka Rasulullah
saw menanyakan tentang sikapnya itu. Maka mereka mengatakan: ‘Abu Israil, dia telah bernadzar
untuk selalu berdiri dan tidak akan duduk, tidak akan berteduh, dan tidak akan berbicara
sedangkan dia shaum’. Maka Nabi saw bersabda:

Perintahkanlah kepadanya agar berbicara. Dan hendaklah dia berteduh dan duduk, serta
menyempurnakan shaumnya.

Terdapat juga dalil yang menunjukkan bahwa jalan yang berlebih-lebihan akan
mengakibatkan pada kehancuran. Imam Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw:

Celakalah orang yang berlebih-lebihan.

Hal itu dikatakannya tiga kali. Imam Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan
lafadz:

Wahai manusia, berhati-hatilah, jangan berlebih-lebihan di dalam agama. Sesungguhnya


orang-orang terdahulu itu hancur karena berlebih-lebihan dalam agama.

Hal itu ditujukan bagi orang yang berlebih-lebihan dalam agama. Terdapat juga kecaman
untuk orang-orang yang tasâhul (meremehkan) agama. Pada dasarnya orang seperti ini beriman
kepada agama, akan tetapi dia melalaikan berbagai kewajiban dan bersandar pada angan-angan.
Dia mengerjakan dosa besar, lalu berjanji pada dirinya akan bertaubat sebelum mati, seolah-olah
dia mengetahui kapan waktu kematiannya. Sikap seperti ini diharamkan. Seorang muslim wajib
mengambil Islam secara total, dan tidak besikap ridha kecuali dengan ketaatan. Inilah manhaj
Allah yang lurus.
Sikap ghuluw dan tafrîth telah Allah dan Rasul-Nya peringatkan, baik terhadap kaum
Muslim selaku individu, maupun terhadap jama’ah, negara atau pun terhadap ulama. Kami
menyaksikan saat ini banyak sekali para da’i dan ulama kaum Muslim yang bertolak dari kecintaan
kepada Islam, akan tetapi mereka ingin memberikan image bahwa agama ini agama toleran dan
mudah, jauh dari kharaj (kesulitan), lalu mereka berpendapat dengan perkara yang justru
menjauhkannya dari Islam. Mereka menyimpang dan keluar dari garis lurus yang Rasulullah telah
gariskan. Mereka meremehkan berbagai hukum. Mereka melontarkan pendapat-pendapat yang
tidak ada kaitannya dengan nash-nash Islam. Semua itu dilakukan untuk memberikan kepada
Barat deskripsi tentang Islam, bahwa Islam itu sesuai dengan waktu dan realita. Mereka
berpendapat perlunya meninggalkan nash-nash syara’ yang telah disepakati oleh umat untuk
diamalkan. Contoh tentang takwil mereka adalah, bahwa orang murtad tidak perlu dibunuh
meskipun Rasulullah telah bersabda:

Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia. (HR. Bukhari dan Ahmad)

Alasannya, bahwa situasi dan realitas ketika Rasullullah mengatakan hal itu amat berbeda
dengan situasi dan realitas kita sekarang ini. Itu dilakukan agar pemikiran ini sesuai dengan
pemikiran Barat yang terkait dengan kebebasan berakidah. Contoh lainnya adalah, bahwa wanita
menurut pandangan mereka boleh menjabat sebagai imam (kepala negara), walaupun Rasulullah
saw telah bersabda:

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka
kepada wanita. (HR..Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi)

Alasannya, bahwa hadist tersebut diucapkan dalam kesempatan tertentu, sehingga tidak
boleh dijadikan umum. Hal itu –menurut mereka- dilakukan untuk memberikan kepada Barat suatu
gambaran bahwa Islam menghormati kaum wanita, sesuai dengan pemahaman mereka. Contoh
lain lagi adalah, mereka membolehkan transaksi dengan cara riba. Alasannya, bahwa riba itu
merupakan transaksi internasional yang amat mendesak, yang tidak bisa ditinggalkan.
Pernyataan-pernyataan semacam itu berakibat pada sempitnya hak-hak Islam dan
menonjolkan kelemahannya dalam pelaksanaan urusan kehidupan. Kelemahan yang mereka
tonjolkan itu hakekatnya merupakan kelemahan mereka, bukan kelemahan Islam. Sikap yang ada
dibalik tafrîth sama dengan sikap yang ada dibalik ifrâth, yaitu kebodohan terhadap agama dan
kebodohan atas manusia. Dua jenis manusia ini sama-sama menghancurkan agama. Yang
pertama adalah orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), dan yang kedua adalah orang
yang meremehkan. Keduanya dikuasai oleh hawa nafsu. Yang pertama ingin mencari keridhaan
nafsunya yang menggebu-gebu, dan yang kedua menghantarkan dirinya untuk memperoleh
keridhaan manusia, yang jauh dari ridha Allah.
Kita dalam hal ini wajib bersikap konsisten dengan perintah Allah, kita tidak boleh berlebih-
lebihan dan tidak boleh pula meremehkan. Firman Allah Swt:
 ً ‫علَ ت ؤَ تمِش َْه‬ َ ِ َ‫ِى ََؤىو‬
َ ِ‫َْ ؤىلؤ‬ ْ َ‫علَ ِ َن‬
َ ‫سس‬ ‫كسِ َْ ََؤىنؤى ِ ؤ‬
َ ِ‫ش َه َ َء‬ َ ً‫ َى ََ َ َْ َ ِ َج َ تلنَس ؤَ تمِا ؤ َمي‬
ً َ ‫ِى‬
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan,
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas perbuatan kamu. (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Maknanya, Allah telah menetapkan umat ini sebagai saksi yang adil bagi umat manusia,
sebagaimana pada masa Rasulullah saw. Dengan fungsinya itu berarti umat ini menjadi umat
terbaik dan paling mulia. Kedudukan umat ini dihadapan manusia bagaikan puncak gunung yang
menempati posisi yang paling tinggi dan paling tengah. Kami tidak menafsirkannya seperti
penafsiran Barat, yang menafsirkannya dengan kompromi. Penafsiran seperti itu diharamkan,
seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Akidah tidak mungkin tegak diatas kompromi.
Kompromi (dalam perkara ini) merupakan kekufuran yang sebenarnya. Sebab, perkaranya adalah
antara kufur dan iman, antara cahaya dan kegelapan, antara petunjuk dan kesesatan. Lagi pula di
dalam topik hukum syara’ telah difahami dan ditetapkan sebelumnya bahwa tidak ada musyarri’
selain Allah, dan sesungguhnya tidak ada ganti (alternatif lain) bagi hukum-hukum Allah. Dan Allah
sebaik-baik yang menghukum.
Inilah persepsi Barat terhadap tatharruf dan i’tidal. Dan kami telah menjelaskan sikap Islam
terhadap keduanya. Maka, apakah keduanya dapat dipertemukan? Dibalik pemikiran yang
dilontarkan Barat tiada lain bermaksud ingin memusnahkan apa pun yang menjadi bahaya bagi
eksistensi dan penjajahannya. Maka, apakah kita akan turut menolongnya dan menjadikannya
hakim diantara kaum Muslim. Menolong Barat berarti menolongnya untuk menguasai kaum Muslim
seluruhnya. Allah Swt berfirman:
‫ِىالَِ َ َمْ تعِا َ ته َى َء ؤه تِم‬
َ َ ْ‫ؤِى ت َ ْ تمِ ََ َمسِاؤمْ ت‬
َ ‫فَ ْل َ َْ َ ِفَس ت ع‬
Maka karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. asy-Syura [42]: 15)
ِ ِ َ‫نننننننننننننننننننى ِيْنَننننننننننننننننننننؤؤِمْ َمننننننننننننننننننننسِ َ ت َملؤننننننننننننننننننننىو‬
‫ت‬ َ ‫ِىالَِ َ تك‬ ‫نننننننننننننننننننوِ َن‬
َ َ ‫نننننننننننننننننننسبِ َم َنننننننننننننننننننن‬
َ ‫ت‬ ‫ِى َم‬ ‫فَس ت ننننننننننننننننننن َ ْ تمِ ََ َمننننننننننننننننننننسِاؤمْ ن‬
َ َ ْ‫ننننننننننننننننننن‬
‫ت‬
َِ‫ؤىوِهللاِْمْ توِا َ تى َْ َس َءِ ؤ َمِالَِ ؤ تنص ؤَْىو‬
ْ ِ‫ِى َمسََِ ؤَ تمِمْ تو‬ ‫ظلَ ؤمى ِفَ َ َم َ ؤَ ؤمِ َنَ ؤ‬
َ ْ‫س‬ َ ِ َ‫ِ َىالَِ َ تْ ََنؤى ِيََْ ِ ََ ْ و‬ٌِْ ‫م َْص‬
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesngguhnya
Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang
yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai
seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberikan pertolongan.
(QS. Huud [11]: 112-113)

Sesungguhnya, jiwa kita mengemban kebaikan agama ini, dan sangat menginginkan sekali
untuk menjadikannya berkuasa. Dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya akan dibuka akal dan
hati, untuk menolong agama ini. Sesungguhnya kebaikan yang kita inginkan untuk diri kita, kami
sukai pula bagi selain kita, dan kami memohon kepada Allah agar menempatkan nasehat kami ini
seperti hujan yang akan menghidupkan jiwa-jiwa. Dan hanya kepada Allah-lah segala tujuan.

Anda mungkin juga menyukai