Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Agama, Budaya, Keyakinan

Terhadap Perilaku Sehat Sakit Masyarakat

Oleh:
1. Afna Hanung Azizah 19/439992/KU/21295
2. Alfina Fitri Purbasari 19/441962/KU/21508
3. Amara Tri Kurniasih 19/445256/KU/21683
4. Anisa Eka Banuwati 19/438972/KU/21233
5. Dwi Apriliana 19/441971/KU/21517
6. Estika Intan Nur Pratiwi 19/439993/KU/21296
7. Hasna Nur Nabila 19/441980/KU/21526
8. Hilda Haniifah 19/445265/KU/21692
9. Nani Kurniasih 19/445274/KU/21701
10. Ni Kadek Ari Astiti 19/438936/KU/21242
11. Nur Setyaning Saputri 19/441989/KU/21535

SUBDIREKTORAT PENGEMBANGAN KARAKTER MAHASISWA

DIREKTORAT KEMAHASISWAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kasus
Suku Muyu yang terdapat di Papua mendiami wilayah selatan dan telah terpapar
modernisasi. Namun, realitanya masyarakat Suku Muyu masih mempertahankan
kepercayaan daerahnya. Tenaga kesehatan yang berasal dari Suku Muyu masih membaur
bersama masyarakat Suku Muyu. Konsep teknis medis yang dipelajari sering
bertentangan dengan tradisi Suku Muyu, tetapi tetap dipraktikan keduanya. Seperti yang
dipaparkan oleh RM, 56 tahun yang termasuk bidan senior di Puskesmas Mindiptana.
Sejak tahun 1979, perempuan lulusan SPK Merauke tahun 1978 dengan empat anak ini
telah menjadi PNS dan bertugas di Puskesmas Mindiptana. Seperti halnya petugas
kesehatan lainnya, RM memiliki pengalaman saat menangani persalinan salah satu
penduduk Suku Muyu. Persalinan di Suku Muyu harus dilakukan di luar rumah karena
Suku Muyu meyakini bahwa darah perempuan yang keluar karena proses melahirkan
dianggap kotor dan dapat berpengaruh buruk bagi anggota keluarga lain. Pengaruh buruk
tersebut adalah sakit dan hilangnya pengaruh waruk. (Agung Dwi Laksono, 2015)
B. Langkah – Langkah Ritual
Selama melaksanakan proses bersalin ada beberapa tahapan yang harus dilalui perempuan
calon ibu dari Suku Muyu, yaitu:
1. Pada usia kehamilan sembilan bulan, suami akan mulai menghindari istrinya. Hal
ini dilakukan agar suami tetap sehat, dan waruk (kesaktian) yang dimilikinya tidak
hilang;
2. Suami juga berperan membuatkan gubuk atau rumah kecil, biasa disebut tana
barambon ambip (tempat persalinan), untuk pengasingan istrinya sesegara
mungkin agar pada saat perempuan Etnik Muyu hendak bersalin bisa segera
diungsikan di tempat tersebut.
3. Proses bersalin di dalam tana barambon ambip atau bévak dilakukan dengan cara
perempuan yang hendak bersalin mengambil posisi jongkok. Si Ibu berpegangan
pada tali besar yang diikatkan pada atap pondok. Proses persalinan biasanya
didampingi oleh ibu atau saudara perempuan ibu dari perempuan Muyu yang
hendak melahirkan. Si ibu pendamping berdiri di sebelah kiri atau kanan dari ibu
yang bersalin, sementara perempuan lainnya yang membantu proses persalinan
mengawasi dari depan.
4. Beberapa persalinan yang berlangsung di bévak juga ditolong oleh tenaga
kesehatan. Beberapa lainnya yang tidak berhasil menggunakan cara jongkok,
dibimbing oleh bidan untuk melahirkan dengan cara berbaring, seperti persalinan
modern di rumah sakit.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Agama
Dalam aspek ini dikaitkan dengan darah kotor yang keluar dari ibu setelah
melahirkan merupakan bagian dari roh jahat yang dalam pandangan agamanya dapat
membawa kesialan sehingga perlu dijauhkan dari rumah dan anggota keluarga lainnya.
B. Nilai
Dalam aspek nilai dikaitkan dengan nilai kemanusiaan. Bahwa secara medis, ibu
hamil memerlukan perhatian yang lebih karena keadaannya yang tidak stabil. Seharusnya
ibu hamil mendapatkan perhatian lebih dari keluarga, tenaga kesehatan maupun
masyarakat di lingkungan sekitar. Bukan malah diasingkan. Karena dalam dunia medis,
tidak ada yang namanya darah suci dan tidak suci sehingga perlakuan pengasingan
terhadap ibu hamil dan melahirkan tidak sesuai dengan prinsip – prinsip dunia medis.
C. Kepercayaan
Dalam aspek ini, masyarakat Muyu realitanya masih memegang teguh adat dan
keyakinan yaitu pandangan bahwa darah pada ibu melahirkan dianggap tidak suci sehinga
muncul kepercayaan bahwa seorang ibu yang melahirkan harus dijauhkan dari rumah.
Oleh karena itu apabila anggota dalam masyarakat tidak mengikuti kepercayaan tersebut
dianggap menyalahi adat.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Implikasi terhadap Keperawatan
Menghadapi perbedaan budaya dalam teori Transcultural Nursing menurut
Leininger, prinsip yang harus dipegang adalah meyakini bahwa perbedaan tidak
menyebabkan harmfull/dangerous. Ada 3 cara dalam menghadapi nya :
1. Deal with it(culture)
Diikuti / diperbolehkan melakukan kepercayaan/kebudayaan tersebut jika tidak
menyebabkan bahaya.
2. Modifying (membuat kesepakatan)
Jika berbahaya dibuat kesepakatan dengan pihak pasien
3. Power enprosment (Melarang)
Melarang kepercayaan tersebut jika dapat membahayakan pasien tapi dengan mengajak
orang lain yang lebih asli seperti kepala desa, lurah, dokter, dan lain-lain dengan cara
diberi hukuman berupa denda
Daftar Pustaka

Agung Dwi Laksono, K. F. (2015). Pengaruh Tradisi terhadap Pelayanan Kesehatan


(Studi Kasus Etnografis pada Tenaga Kesehatan Suku Muyu). Academia Edu.
Laksono, A.D., Faizin, K., Raunsay, E., Soerachman, R., 2014. Perempuan Muyu dalam
Pengasingan; Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: Pusat Humaniora,
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Rivaldi, R. (2016). Pengobatan Alternatif dengan Media Ayam (Studi Etnomedisin pada
Masyarakat Dusun Krajan Kecamatan Kradenan). lib.unnes.ac.id, 43-96.
Rumlus, Eric, 1980. Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja).
Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Turner, D. 2004. Tradition and Faith. International Journal of Systematic Theology, 6,
21–36. Available at: http://doi.org/10.1111/j.1468-2400.2004.00117.x

Anda mungkin juga menyukai