INTISARI
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) merupakan prevalensi dominan pada penyakit gangguan pernafasan.
Penyandang gangguan pernafasan merupakan kelompok terbesar yang memperoleh
peresepan antibiotik. Mayoritas populasi tersebut memperoleh antibiotik sebagai terapi
utama. Publikasi terkait profil interaksi obat yang melibatkan antibiotik pada populasi
infeksi pernafasan tersedia secara terbatas. Penelitian inimengidentifikasi potensi
kejadian interaksi antibiotik dengan obat penyerta pada penderita infeksi pernafasan.
Pengumpulan data secara retrospektif terhadaplembar resep penderita infeksi
pernafasan yang menerima pelayanan di poliklinik rawat jalan Balai Kesehatan
Masyarakat Wilayah Magelang. Pemilihan sampel secara interval terhadap resep selama
bulan Januari hingga Desember 2017. Analisis interaksi obat menggunakan aplikasi
yang tersedia secara online melalui alamathttp://www.drugs.com/druginteractions.html.
Instrumen tersebut mengelompokkaninteraksi obat berdasarkan 3 kategori; major,
moderate, dan minor.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 80,8% resep melibatkan antibiotik
dalam terapi. Peresepan antibiotik yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak
2,7%. Potensi interaksi obat kategori major terjadi pada peresepan levofloksasin yang
disertai obat deksametason (0,4%) dan metilprednisolon (0,2%). Interaksi obat kategori
moderate terjadi pada peresepan; eritromisin yang disertai deksametason (1,3%),
azitromisin yang disertai terfenadine (0,2%) atau salbutamol (0,6%). Hasil penelitian ini
akan menambah referensi bagi klinisi dalam upaya pengendalian resistensi mikroba
terhadap antibiotik.
ABSTRACT
Acute respiratory infection (ARI) and chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) is the dominant prevalence in respiratory diseases. People with respiratory
diseases are the largest group who receive antibiotic prescriptions. The majority of
these populations receive antibiotics as the main therapy. Publications regarding the
profile of drug interactions involving antibiotics in the respiratory diseases population
are limited. This study identified potential occurrences of antibiotic interactions with
concomitant drugs in patients with respiratory infections.
Retrospective data collection on the outpatientprescription of the regional
health centers in Magelang. Prescription during January to December 2017 were
obtained by systematic random sampling. Analysis of drug interactions using the
57 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
application is available on http://www.drugs.com/druginteractions.html. The instrument
groups drug interactions based on 3 categories; major, moderate, and minor.
The results showed that 80.8% of prescriptions involved antibiotics in therapy.
Prescribing antibiotics that have the potential to experience drug interactions is 2.7%.
Potential major category drug interactions occur at prescribing levofloxacin
accompanied by dexamethasone (0.4%) and methylprednisolone (0.2%). Moderate
category drug interactions occur at prescription; erythromycin with dexamethasone
(1.3%), azithromycin accompanied by terfenadine (0.2%) or salbutamol (0.6%). The
results of this study will add references to clinicians in efforts to control microbial
resistance to antibiotics.
PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)(25%), penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) (3,7%) dan pneumonia (1,8%) menempati tiga besar prevalensi penyakit
saluran nafas (Kemenkes RI, 2013). Mayoritas penderita infeksi pernafasan
memperoleh peresepan antibiotik (97%). Populasi tersebut merupakan kelompok
pengguna antibiotik terbesar (71%)(Kusumananta & Endrawati, 2014; Andrajati,
Tilaqza, & Supardi, 2017)
58 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan melalui observasi secara retrospektif. Populasi
penelitian adalah lembar resep penderita infeksi pernafasan yang menerima pelayanan
di poliklinik rawat jalan Balai Kesehatan Masyarakat. Kriteria inklusi penelitian adalah
resep selama bulan Januari hingga Desember 2017. Pemilihan sampel secara interval
menggunakan teknik systematic random sampling.
Peneliti menggunakan instrumen statistical package for the social science
(SPSS) versi 21 dalam menganalisis distribusi obat dalam peresepan. Teknik deskripsi
cross tabulation digunakan untuk menunjukkan proporsi peresepan obat penyerta pada
masing-masing antibiotik.
Analisis interaksi obat menggunakansoftware interactions checker yang tersedia
secara online melalui alamat http://www.drugs.com/druginteractions.html. Software
tersebut akan mengidentifikasi interaksi antar obat maupun obat dengan makanan.
Interaksi akan ditunjukkan menurut 3 kategori; major, moderate, dan minor.
59 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Tabel 3 menunjukkan sebanyak 1,6% pasien memperoleh peresepan antibiotik
secara kombinasi. Mayoritas distribusi obat penyerta pada tabel tersebut adalah
geksametason (0,7%) pada golongan kortikosteroid, gliseril guaikolat (0,5%) sebagai
mukolitik, klorfeniramin dan setirizin (0,2%) sebagai antihistamin, kombinasi
salbutamol-salmeterol (0,2%) sebagai bronkodilator, parasetamol dan ibuprofen (0,2%)
sebagai analgesik, dan ranitidin (0,6%) sebagai terapi gastrointestinal.
Tabel 2. Profil interaksi antibiotik obat penyerta pada peresepan antibiotik tunggal
Peresepan Antibiotik Tunggal (%) Jumlah(%)
Karakteristik
Sfa Sfi Amo Eri Azi Lev (n=564)
Kortikosteroid
Tanpa Kortikosteroid 19,5 2,8 5,3 0 0,9 0 28,5
Deksametason 23 2,0 3,2 0,9* 0,2 0,2** 29,4
Metil Prednisolon (MP) 27,1 6,6 1,2 0 1,6 0,2** 36,7
Prednison 0,2 0 0 0 0 0 0,2
Flutikason Propionat (FP) 0,9 0,7 0 0 0 0 1,6
Deksametason – MP 0,4 0,2 0 0 0 0 0,5
Deksametason – FP 0,2 0 0 0 0 0 0,2
MP – FP 1,2 0 0 0 0 0 1,2
Mukolitik/Ekspektoran
Tanpa Muko-Ekspek 17,7 3,2 1,8 0,7 1,1 0,2 24,6
Obat Batuk Hitam (OBH) 4,1 0,4 0,4 0 0 0 4,8
Ambroksol 8,9 1,6 4,3 0 0,7 0 15,4
Gliseril Guaicolat (GG) 21,6 1,1 3,4 0 0 0 26,1
N-Asetil Sistein (NAC) 20,2 6,0 0 0,2 0,9 0,2 27,5
Antihistamin
Tanpa Antihistamin 58,2 11,7 6,9 0,9 2,1 0,4 80,1
Klorfeniramin Maleat 5,9 0,2 0,2 0 0,4 0 6,6
Setirizin 8,5 0,4 2,7 0 0 0 11,5
Terfenadin 0 0 0 0 0,2* 0 0,2
Bronkodilator
Tanpa Bronkodilator 60,5 10,1 7,6 0,9 2,3 0,4 81,7
Salbutamol 9,0 0,9 2,1 0 0,4* 0 12,4
Salmeterol 2,7 0,9 0 0 0 0 3,5
Salbutamol – Salmeterol 0,4 0 0 0 0 0 0,4
Salbutamol – Aminofilin 0 0,4 0 0 0 0 0,4
Analgesik
Tanpa Analgesik 53,5 10,8 7,4 0,9 2,5 0,4 75,5
Parasetamol 18,3 1,4 2,0 0 0 0 21,6
Ibuprofen 0,4 0 0 0 0 0 0,4
Asam mefenamat 0,2 0 0 0 0 0 0,2
Meloksikam 0 0 0,4 0 0 0 0,4
Natrium Diklofenak 0,2 0 0 0 0,2 0 0,4
Terapi Gastrointestinal
Tanpa Terapi 67,4 10,6 9,6 0,7 2,5 0,4 91,1
Antasida 2,5 0,9 0 0 0 0 3,4
Ranitidin 2,7 0,7 0,2 0,2 0,2 0 3,9
Jumlah Subyek 72,5 12,2 9,8 0,9 2,7 0,4 98,4
60 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Tabel 3. Profil interaksi antibiotik obat penyerta pada peresepan antibiotik
kombinasi
Peresepan Antibiotik Kombinasi (%) Jumlah
(%)
Karakteristik (n=564)
Sfa- Sfa- Sfa- Sfa- Sfi- Amo-
Eri Azi Lev Sip Azi Eri
Kortikosteroid
Tanpa Kortikosteroid 0 0,4 0 0,2 0 0 0,5
Deksametason 0,2* 0,2 0,2** 0 0 0,2* 0,7
Metil Prednisolon (MP) 0 0 0 0 0,2 0 0,2
Flutikason Propionat (FP) 0 0 0 0 0,2 0 0,2
Mukolitik/Ekspektoran
Tanpa Mukolitik/Ekspektoran 0 0,4 0 0,2 0 0,2 0,7
Gliseril Guaicolat (GG) 0,2 0,2 0,2 0 0 0 0,5
N-Asetil Sistein (NAC) 0 0 0 0 0,2 0 0,2
Ambroksol – NAC 0 0 0 0 0,2 0 0,2
Antihistamin
Tanpa Antihistamin 0,2 0,5 0,2 0 0,4 0 1,2
Klorfeniramin Maleat (CTM) 0 0 0 0,2 0 0 0,2
Setirizin 0 0 0 0 0 0,2 0,2
Bronkodilator
Tanpa Bronkodilator 0,2 0,5 0,2 0,2 0,2 0,2 1,4
Salbutamol – Salmeterol 0 0 0 0 0,2* 0 0,2
Analgesik
Tanpa Analgesik 0,2 0,5 0,2 0 0,4 0 1,2
Parasetamol 0 0 0 0,2 0 0 0,2
Ibuprofen 0 0 0 0 0 0,2 0,2
Terapi Gastrointestinal
Tanpa Terapi Gastrointestinal 0 0,5 0,2 0,2 0,4 0,2 1,4
Ranitidin 0,2 0 0 0 0 0 0,2
Jumlah Subyek 0,2 0,5 0,2 0,2 0,4 0,2 1,6
Pasien lanjut usia (>60 tahun), dan populasi yang mengalami gagal ginjal,
jantung dan paru lebih beresiko mengalami kejadian rupture tendon. Selain pada lansia
lansia, frekuensi kasus kerusakan tendon meningkat pada pasien dengan massa tubuh
kecil, penggunaan kortikosteroid kombinasi, dan kelompok perempuan (Anderson dkk.,
2018; Wise, Peloquin, Choi, Lane, & Zhang, 2012)
61 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Mekanisme efek sinergis antara kortikosteroid dengan kuinolon belum diketahui
secara pasti. Kedua obat ini dimetabolisme oleh sitokrom P4503A4. Pertemuan kedua
obat tersebut saling meningkatkan konsentrasi keduanya dalam darah (Schaefer dkk.,
2018).
Pemberian kuinolon secara tunggal tidak memberikan dampak signifikan
terhadap jaringan yang menyusun tendon. Kerusakan tendon lebih dipengaruhi oleh
kortikosteroid. Deksametason terbukti berperan langsung terhadap proliferasi sel
tendon. Peningkatan dosis deksametason terbukti memecah kolagen penyusun tendon
(Sendzik, Shakibaei, Schäfer-Korting, Lode, & Stahlmann, 2010).
Eritromisin meningkatkan kadar deksametason dalam sirkulasi darah. Pasien
dapat mengalami efek samping berupa peningkatan berat badan, pembengkakan,
peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa, kelemahan otot, penurunan
kepadatan tulang, gangguan menstruasi. Anak-anak dengan efek deksametason yang
berlebihan akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik (Anderson dkk., 2018).
Pendekatan farmakokinetik menunjukkan deksametason menginduksi enzim
CYP3A4 berperan penting dalam metabolism eritromisin. Mekanisme tersbut
menyebabkan penurunan kadar eritromisin dalam darah. Penggunaan keduanya secara
bersama-sama berpotensi memicu resistensi bakteri terhadap eritromisin (Faizah,
Hardyono, & Najih, 2018).
Laporan lain justru menunjukkan pendekatan yang berbeda. Pada pasien PPOK
pemberian eritromisin justru meningkatkan kepekaan kortikosteroid sebagai
antiinflamasi. Kesimpulan tersebut dibuktikan melalui peningkatan ekspresi reseptor
glukokortikoidα pada kombinasi eritromisin dan kortikosteroid (Sun dkk., 2015).
Penggunaan azitromisin dengan terfenadine atau salbutamol meningkatkan
resiko irama jantung yang tidak teratur. Meskipun jarang terjadi, namun kejadian
tersebut berpotensi mengancam jiwa pasien. Pasien dengan riwayat penyakit jantung
rentang mengalami resiko tersebut. Pasien yang menggunakan salbutamol dengan
frekuensi yang tinggi dan rute inhalasi memiliki resiko lebih tinggi. Pasien perlu
memperoleh penanganan apabila mendadak pusing, sakit kepala ringan, pingsan, sesak
nafas, atau peningkatan detak jantung (Anderson dkk., 2018).
Azitromisin merupakan antibiotik yang terbukti memicu gangguan long QT
syndrome (LQTS). Gangguan ini ditunjukkan oleh interval QT yang memanjang,
ditandai oleh gejala peningkatan denyut jantung, hingga jantung berhenti mendadak
(Galetin, Burt, Gibbons, & Houston, 2006). Salbutamol merupakan agonis β-2
adrenergik dengan durasi kerja yang lama. Obat ini juga berikatan dengan reseptor β-1
secara adekuat. Salbutamol menginduksi ekrja jantung menjadi lebih cepat
(Kusumahati, Nurhasanah, & Elvano, 2017).
KESIMPULAN
1. Peresepan antibiotik yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 2,7%. Potensi interaksi obat
kategori major terjadi pada peresepan levofloksasin yang disertai obat deksametason (0,4%) dan
metilprednisolon (0,2%).
2. Interaksi obat kategori moderate terjadi pada peresepan; eritromisin yang disertai deksametason
(1,3%), azitromisin yang disertai terfenadine (0,2%) atau salbutamol (0,6%).
62 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. A., Sinha, S., Durbin, K., Entringer, S., Stewart, J., Thornton, P., Puckey, M. (Editor).
(2018). Drug Interaction Report. Diambil dari https://www.drugs.com/drug_interactions.php
Andrajati, R., Tilaqza, A., & Supardi, S. (2017). Factors Related to Rational Antibiotic Prescriptions in
Community Health Centers in Depok City, Indonesia. Journal of Infection and Public Health,
10(1), 41–48. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2016.01.012
Faizah, A. K., Hardyono, & Najih, Y. A. (2018). Analisis Keparahan Interaksi Obat-Obat Potensial di
Apotek Daerah Pesisir Pantai Surabaya. Journal Of Pharmacy Science And Technology, 1(1), 1–
7.
Galetin, A., Burt, H., Gibbons, L., & Houston, J. B. (2006). Prediction of Time-Dependent Cyp3a4 Drug-
Drug Interactions: Impact of Enzyme Degradation, Parallel Elimination Pathways, and Intestinal
Inhibition. Drug Metabolism and Disposition, 34(1), 166–175.
https://doi.org/10.1124/dmd.105.006874
Gatera, V., Muhtadi, A., Halimah, E., & Prasetyo, D. (2014). Hubungan Pola Sensitivitas Bakteri pada
Penggunaan Antibiotik Empirik terhadap Pencapaian Clinical Outcome Pasien Pneumonia Anak.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 3(4), 127–134.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2014.3.4.127
Kardela, W., Andrajati, R., & Supardi, S. (2014). Perbandingan Penggunaan Obat Rasional Berdasarkan
Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal
Kefarmasian Indonesia, 4(2), 91–102.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kusumahati, E., Nurhasanah, S., & Elvano, D. R. (2017). Kajian Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Asma Rawat Jalan Di RSAU Dr. M. Salamun Bandung. Galenika, 4(3), 62–71.
Kusumananta, M., & Endrawati, S. (2014). Pola Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Pasien Pediatrik Rawat Inap Di RSUD Karanganyar Bulan November 2013-Maret 2014.
Indonesian Journal on Medical Science, 1(2), 41–46.
Muharni, S., Susanty, A., & Tarigan, E. R. (2014). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien ISPA
Pada Salah Satu Puskesmas di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Farmasi Indoneisa,
3(September), 10–15.
Pertiwi, G. A. E., Niruri, R., Tanasale, J. D., & Erlangga, I. B. E. (2014). Potensi Interaksi Obat pada
Penggunaan Antibiotika Golongan Fluorokuinolon dari Pasien Dewasa dengan Demam Tifoid.
Jurnal Farmasi Udayana, 3(3), 17–21. https://doi.org/10.1111/j.1574-6968.2010.02140.x
Putri, O. Y. K., Abrori, C., & Astuti, I. S. W. (2015). Uji Sensitivitas Amoksisilin dan Eritromisin
terhadap Infeksi Sekunder dari Spesimen Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut. e-Jurnal
Pustaka Kesehatan, 3(1), 18–23.
Schaefer, L., Keinki, C., Baron von Osthoff, M., & Huebner, J. (2018). Potential Interactions of
Medication Prescribed in Discharge Letters from a Clinic for Hematology and Oncology.
Oncology Research and Treatment, 41(4), 200–205. https://doi.org/10.1159/000486161
63 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Sendzik, J., Shakibaei, M., Schäfer-Korting, M., Lode, H., & Stahlmann, R. (2010). Synergistic effects of
dexamethasone and quinolones on human-derived tendon cells. International Journal of
Antimicrobial Agents, 35(4), 366–374. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2009.10.009
Sun, X.-J., Li, Z.-H., Zhang, Y., Zhou, G., Zhang, J.-Q., Deng, J.-M., … He, Z.-Y. (2015). Combination
of erythromycin and dexamethasone improves corticosteroid sensitivity induced by CSE through
inhibiting PI3K-δ/Akt pathway and increasing GR expression. American Journal of Physiology-
Lung Cellular and Molecular Physiology, 309(2), L139–L146.
https://doi.org/10.1152/ajplung.00292.2014
Wise, B. L., Peloquin, C., Choi, H., Lane, N. E., & Zhang, Y. (2012). Impact of Age, Sex, Obesity, and
Steroid Use on Quinolone-associated Tendon Disorders. The American Journal of Medicine,
125(12), 1228.e23-1228.e28. https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2012.05.027
64 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)