Anda di halaman 1dari 179

Penuntun

Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisis

Editor:
H.M.S. Markum
Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Editor: H.M.S. Markum

11,5cm x 18 cm
x + 168 halaman
ISBN 979-9401-01-1

Cetakan pertama, 2000


Cetakan kedua, Juni 2003
Cetakan ketiga, September 2005
Cetakan keempat, Juni 2011

Hask Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dengan cara atau bentuk apapun juga tanpa seizing penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali oleh:


InternaPublishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430

Editor Bahasa: Idrus Alwi, Siti Setiati


Redaktur Pelaksana: Arif Mansjoer, Zikri Anwar
Ilustrator: Usyinara
Penulis

Prof. Dr. Nurhay Abdurrahman, Sp.PD-KKV


Devisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Prof. DR. Dr. Daldiyono H., Sp.PD-KGEH


Devisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD-KGH


Devisi Ginjal-Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD-KP


Devisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Aziz Rani, Sp.PD-KGEH


Devisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD-KKV


Devisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Daulat Manurung, Sp,PD-KKV


Devisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Djoko Widodo, Sp.PD-KPTI


Devisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Asril Bahar, Sp.PD-KP, KGer


Devisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Hendarwanto, Sp.PD-KPTI


Devisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD-KE


Devisi Metabolik Edokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Dr. Dharmika Djojomimgrat, Sp.PD-KGEH


Devisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Kata Pengantar

Buku Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis ini dapat diterbitkan


karena kerja keras dari Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM.
Hasrat untuk selalu bergerak maju dari Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam
mendorong kami untuk berusaha menerbitkan edisi baru di Buku Penuntun
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis ini. Buku ini sangat diwarnai oleh buku edisi
sebelumnya, yaitu edisi Prof.Dr.Utoyo Sukaton dkk, yang telah dicetak tahun 1978
dan satu kali cetak ulang yaitu pada tahun 1986.
Terima kasih kami sampaikan kepada Prof.Dr. Nurhay Abdurrahman,
Prof.DR.Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Dr. Aryanto Suwondo, Dr. H.A. Aziz Rani,
Dr. Sjaharuddin Harun, Dr. Daulat Manurung, Dr. Djoko Widodo, Dr. Asril Bahar,
Dr.Hendarwanto, DR.Dr. Sarwono Waspadji, dan Dr. Dharmika Djojoningrat
Penerbitan buku ini juga dilakukan melalui mekanisme penerbitan yang telah
ada di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yaitu Pusat Informasi Penerbitan. Terima
kasih kepada Seluruh Staf Pusat Informasi Penerbitan atas segala jerih payahnya
untuk menerbitkan buku ini tepat pada waktunya.

Jakarta, September 2005


DAFTAR ISI

Kata pengantar…………………………………………………………………… v
Daftar isi………………………………………………………………………… vii
Daftar gambar……………………………………………………………………. ix

Bab I Hubungan Dokter Pasien dan Dasar Teknik Komunikasi….......……… 1


Bab II Anamnesis……………………………………......…………………... 11
Bab III Pemeriksaan Fisis Umum…………………………………………….. 47
Bab IV Pemeriksaan Fisis Kepala dan Leher……………………………...….. 63
Bab V Pemeriksaan Fisis Jantung………………………………………...….. 79
Bab VI Pemeriksaan Fisis Paru…………………………………………..…. 105
Bab VII Pemeriksaan Fisis Abdomen………………………………………... 127
Bab VIII Pemeriksaan Fisis Punggung, Anggota Gerak, dan Alat Kelamin … 155
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Anamnesis……………………………………………..… 11


Gambar 2.2. Skema Tujuan Anamnesis……………………………………..… 12
Gambar 2.3. Skema Keterampilan Anamnesis……………………………...… 13
Gambar 2.4. Skema Identitas dan Data Penting…………………………..…… 16
Gambar 2.5. Riwayat Penyakit Sekarang…………………………………...…. 18
Gambar 2.6. Skema Riwayat Penyakit Sekarang…………………………….... 18
Gambar 2.7. Skema Deskripsi Keluhan……………………………………….. 19
Gambar 2.8. Skema Riwayat Penyakit Dahulu……………………………...… 20
Gambar 2.9. Skema Riwayat Pribadi dan Sosial Budaya…………………….... 25
Gambar 2.10. Skema Analisis Data Anamnesis………………………………… 42
Gambar 2.11. Skema Analisis Deskripsi Keluhan……………………………… 42
Gambar 4.1. Tes Rinne……………………………………………………..…. 69
Gambar 4.2. Tes Weber……………………………………………………..… 70
Gambar 4.3. Pemeriksaan Kelenjar Gondok…………………………………... 74
Gambar 4.4. Pengukuran Tekanan Vena Jugularis……………………………. 77
Gambar 5.1. Proyeksi Jantung pada Dinding Toraks Depan………………….. 80
Gambar 5.2. Daerah Redup Jantung, Daerah Pekak Jantung, dan Daerah
Pekak Hati………………………………………………..……… 87
Gambar 5.3. Daerah Katup Jantung…………………………………………… 92
Gambar 5.4. Titik-titik Auskultasi Jantung……………………………………. 92
Gambar 5.5. Fase Sistolik dan Diastolik…………………………………….… 93
Gambar 5.6. Bising Sistolik………………………………………………...…. 99
Gambar 5.7. Bising Diastolik………………………………………………… 100
Gambar 6.1. Kelainan Frekuensi dan Kedalaman Napas…………………….. 106
Gambar 6.2. Berbagai Bentuk Dada…………………………………………. 111
Gambar 6.3. Berbagai Pola Pernapasan……………………………………… 113
Gambar 6.4. Perkusi Paru……………………………………………………. 115
Gambar 6.5. Segitiga Garland dan Segitiga Grocco………………………….. 117
Gambar 6.6. Garis Ellis Damoiseau………………………………………….. 117
Gambar 6.7. Bunyi Napas Pokok…………………………………………….. 119
Gambar 6.8. Bunyi Napas Tambahan……………………………………..…. 120
Gambar 7.1. Pembagian Daerah Abdomen (4 daerah)……………………….. 128
Gambar 7.2. Pembagian Daerah Abdomen (9 regio)……………………...…. 129
Gambar 7.3. Proyeksi Nyeri Organ pada Dinding depan Abdomen…….......... 131
Gambar 7.4. Penentuan titik Mc Burney (a) Penentuan garis Schuffner (b)
…………………………………………………………………. 132
Gambar 7.5. Pemeriksaan Arah Aliran Vena………………………………… 135
Gambar 7.6. Palpasi Superfisial…………………………………………….... 138
Gambar 7.7. Perkusi……………………………………………………….… 139
Gambar 7.8. Pemeriksaan Gelombang Cairan pada Asites………………...… 142
Gambar 7.9. Palpasi Hati…………………………………………………..… 144
Gambar 7.10. Palpasi Limpa…………………………………………………... 147
Gambar 7.11. Palpasi Ginjal Bimanual……………………………………...… 148
Gambar 7.12. Pemeriksaan Penineum……………………………………….... 150
Gambar 7.13. Pemeriksaan Colok Dubur……………………………………... 151
Gambar 7.14. Pemeriksaan Colok Dubur……………………………………... 152
Gambar 8.1. Pemeriksaan Gerakan Pasif…………………………………….. 158
Gambar 8.2. Pemeriksaan Refleks Tendon Biseps………………………....... 160
Gambar 8.3. Pemeriksaan Refleks Tendon Triseps…………………………... 161
Gambar 8.4. Pemeriksaan Refleks Tendon Lutut…………………………….. 162
Gambar 8.5. Pemeriksaan Refleks Tendon Achilles………………………..... 163
Gambar 8.6. Pemeriksaan Refleks Babinsky……………………………….... 163
Gambar 8.7. Pemeriksaan Liang Vagina…………………………………….. 166
BAB I

HUBUNGAN DOKTER PASIEN DAN


DASAR TEKNIK KOMUNIKASI
Sjaharuddin Harum, H.M.S. Markum

Hubungan dokter pasien merupakan azas yang melandasi semua


aspek praktek kedokteran untuk menetapkan diagnosis dan pengelolaan
pasien. Hubungan ini merupakan bagian dari etik kedokteran. Dasar
teknik komunikasi merupakan landasan melakukan wawancara medis
untuk mengumpulkan data anamnesis dari pasien atau keluarga, dan
memberikan penyuluhan pengelolaan pengetahuan dan keterampilan.
Kedua hal tersebut harus dikuasai dengan baik oleh mahasiswa yang
sedang enjalani praktek klinik dan akan berlanjut pada praktek sebagai
dokter di kemudain hari.

HUBUNGAN DOKTER PASIEN

Hubungan dokter pasien pada dasarnya merupakan hubungan


antara professional (dokter) dengan klien (pasien) yang mempunyai ciri
khas, bukan hanya sekedar hubungan formasi antara pemberi jasa
dengan penerima jasa. Bila pasien telah menetapkan untuk memilih
seorang dokter guna menangani masalah kesehatan dirinya, berarti
ia menyerahkan sepenuhnya pengelolaan penyakitnya dan yakin bahwa
dokter tersebut tidak akan bertindak tanpa persetujuannya.
Kepercayaan yang diberikan oleh seorang pasien adalah amanah ang
harus dipikul dan dilaksanakan dokter dalam melakukan penelolaan
pasien sesuai dengan ilmu dan kemampuannya yang terbaik, serta etik
kedokteran moral dan hukum.
Sering kali pasien tidak mau berganti dokter dan tidak jarang
hubungan dokter dengan pasien ini berakhir bila salah seorang dari
mereka meninggal dunia.
Dalam melaksanakan tugas, seorang dokter harus berlandaskan
sepuluh azas etis yang melandasi hubungan dokter pasien seperti
diusulkan oleh Kimball.

1. Dokter sadar akan motivasi, kebiasaan, dan kemampuannya.


2. Kebiasaan dokter mengetahui sebanyak – banyaknya tentang
keluhan pasien dan kepribadian pasien.
3. Adanya kemampuan empati dokter untuk memperlancar butir 2
di atas.
4. Kebiasaan dokter menjamin kerahasiaan hubungan dokter
pasien.
5. Kewajiban dokter berlaku sebagai guru pasien.
6. Kewajiban dokter memberitahu kepada pasien segala tindakan
dan rencananya.
7. Kewajiban dokter memberikan pelayanan yang
berkesinambungan.
8. Kewajiban dokter menggunakan cara pendekatan secara ilmiah (

atau medis) dalam pemecahan masalah pasien.


Kemampuan dokter menolonga pasien untuk mengambil keputusan
yang terbaik untuk keadaannya atau keselamatannya.

9. Dokter sadar akan sifat sebagai manusia dan keterbatasannya.

DASAR TEKNIK KOMUNIKASI

Komunikasi terjadi melalui penyampaian pesan dari pengirim


kepada penerima. Pesan merupakan suatu meaning ( ideas dan feeling
) yang diperoleh seseorang dari orang lain, suatu kegiatan, ruangan, atau
apa saja yang berhubunga dengan orang tersebut. Komunikasi antar
manusia terjadi bila meaning tersebut diperoleh dari seseorang.

Komunikasi dikatakan efektif bila meaning yang dihasilkan pada


penerima adalah seperti/sama dengan yang diberikan pengirim pesan.
Prinsip komunikasi professional (dokter)-klien (pasien) berlandaskan
pada tiga prinsip (Fletcher):

1. Semua segi dari sistem pelayanan kesehatan komunikasi dengan


pasien (penataan fisik, keramahan, warna, suhu, ventilasi).
2. Suatu istilah/kata yang dikomunikasikan pada akhirnya
menghasilkan meaning lebih merupakan pengertian yang
diperoleh oleh pasien dari pada pengertian yang diberikan oleh
dokter. Oleh sebab itu seorang dokter harus mampu melakukan
komunikasi dengan pasien sedemikian rupa
Sehingan ia yakin bahwa pengertian yang diperoleh pasien sama
dengan pengertian yang disampaikan. Sebai contoh seorang
pasien mengeluh kaki bengkak, dan dokter mengartikan kaki
bengkak sebagai edema. Dalam hal ini dokter harus mampu
mengklarifikasi keluhan pasien tersebut adalah edema, karena
mungkin yang dimaksud oleh pasien bengkak di kaki adalah
suatu
Benjolan atau mungkin suatu akibat peradangan.
3. Kerja sama yang maksimal dari pasien akan diperoleh bila
komunikasi yang terjadi menekankan pada tujuan dan
kepentingan yang sama antara dokter dan pasien.

WAWANCARA MEDIS

Wawancara medis dilakukan untuk memperoleh data. Hal ini


merupakan langkah awal dari pengelolaan/penyelesaian masalah medis
pasien. Pengumpulan data anamnesis ini didapatkan dari komunikasi
lisan dan bukan lisan. Komunikasi lisan dan bukan lisan ini harus
didasari empati.

Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan


orang lain dan meberikan tanggapan yang sesuai. Keterlibatan harus
dibatasai agar pertolongan yang optimal dapat diberikan.

Komunikasi lisan harus menggunakan bahasa yang jelas dan


mudah dipahami oleh pasien. Untuk menjajaki informasi digunakan
pertanyaan terbuka dengan memakai
kata, “Bagaimana…” Untuk memastikan informasi yang sudah di dapat
digunakan pertanyaan tertutup dengan pertanyaan, “Apakah…”
Dengan mendengar secara aktif dan untuk memperlancar wawancara
sering kali diperlukan kata, “ya…,” “lalu…” Senyjman, anggukan,
diam pada saat yang tepat sangat penting dalam memperlancar
wawancara.
Komunikasi bukan lisan ialah kumpulan isyarat yag tidak disertai
dengan ucapan tapi sama pentingnya dengan pesan yang diucaokan.
Isyarat ini sring kali secara sadar tidak ingin disampaikan tapi lolos dari
pengendalian pasien. Menangkap isyarat ini. Isyarat tersebut meliputi:

1. Kinesik: gerak tangan, sikap badan, ekspresi wajah, sorot mata,


tatap mata.
2. Sentuhan tangan: berjabat tangan, membelai.
3. Kualitas suara: nada, lembut, keras terputus.
4. Priksemik: penguasaan wilayah: jarak antara dokter dan pasien,
duduk atau berdiri.
5. Artefak: sandang, hias rias.
6. Lingkungan: rumah pasien, kamar praktek.
7. Budaya: tatap muka, cara duduk.

PELAKSANAAN WAWANCARA

Agar pelaksanaan wawancara medis mendapatkan hasil yang


maksimal, dokter/mahasiswa dituntut untuk:

1. Mempermudah pelaksanaan wawancara, yaitu memperkenalkan

diri, bersikap hormat dan


bersahabat, menggunakan pertanyaan terbuka, mengulang kata
atau perasaan yang penting, menggunakan transisi yang tegas
saat berpindah dari satu subyek ke subyek yang lain,
menggunakan pertanyaan yang spesifik, menanyakan suatu hal
pada saat yang tepat.
2. Menanggapi keluhan dan perasaan pasien dengan mendengarkan
dengan penuh perhatian, bersikap terbuka, menasehati,
menentramkan, serta tidak menggunakan pertanyaan
menghakimi.
3. Tidak menghambat cerita pasien seperti menyela sebelum
pernyataan pasien selesai, mengalihkan pokok pembicaraan
sebelum selesai, bertanya dengan pertanyaan bolak-balik.
4. Menampilkan perilaku non-verbal yang wajar dan menilai
kewajaran perilaku non-verbal pasien meliputi tatap muka,
anggukan kepala, ekspresi muka, mendekatkan badan, berdiam
diri, gerakan tangan/kaki.
5. Pewawancara harus memahami konsep bahwa sakit tidak sama
dengan penyakit dan keluhan pasien timbul karena adanya
gagguan bio-psiko-sosial.

Penampilan pewawancara harus sesuai dengan profil dokter yang


dikenal/dihayati oleh masyarakat berdasarkan kultur, budaya dan
lingkungan setempat, merupakan hal yang sangat penting.
Hubungan Pasien dan Dokter yang Layak Sesuai
dengan Etika Kedokteran

Selayaknya hubuganan pasien dengan dokter adalah hubungan


yang bertujuan memperbaiki kondisi pasien. Dengan meningkatnya
pengetahuan pasien tentang penyakit melalui berbagai media
informasi misalnya pasien / keluarganya harus diberlakukan oleh
dokter sebagai mitra yang sederajat. Pasien dan keluarganya harus
mempunyai piliha untuk berbagai alternative pengobatan. Dalam
keadaan tertentu msalnya kegawatan dokter harus memegang peran
besar dalam menentukan pengobatan. Jadi sifat hubungan dokter-
pasien yang bersifat paternalistic harus bergeser kearah hubungan
yang menghargai keinginan dan hak-hak pasien. Hubungan tersebut
berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

 Indikasi Medis

Prinsip memberi manfaat dan tidak merugikan

1. Apa masalah medis pasien? Riwayat? Diagnosis? Prognosis?


2. Apakah masalah Akut? Kronis? Kritis?
3. Apa tujuan pengobatan ?
4. Bagaimana kemungkinan keberhasilan ?
5. Apa rencana bila terapi gagal ?
6. Secara keseluruhan bagaimana pasien ini diuntungkan dengan
pelayanan medis dan perawatan, dan bagaimana mencegah
kerugian ?
 Keinginan Pasien
Prinsip penghormatan hak untuk menentukan pilihan
1. Apakah mental pasien mampu dan cakap secara hokum ?
Apakah terbukti tidak mampu ?
2. Jika cakap, apa pasien menyatakan keinginan untuk berobat ?
3. Apakah telah dijelaskan pada pasien keuntungan dan kerugian,
mengerti informasi ini dan telah memberikan persetujuan ?
4. Bila tidak cakap siapa yang sesuai menjadi wali ? Apakah
walinya menggunakan standar yang sesuai untuk membuat
keputusan ?
5. Apakah pasien menyatakan einginan sebelumnya ? Misalnya
memberikan instruksi atau petunjuk ?
6. Apakah pasien tidak bersedia atau tidak dapat bekerjasama
dalam pengobatan medis ? Jika ya, mengapa ?
7. Secara keseluruhan, apakah hak memilih pasien dihargai
dalam etik dan hukum ?

 Kualitas Hidup
Prinsip memberi manfaat dan tidak merugikan serta
penghormatan hak untuk
menentukan pilihan
1. Bagaimana kemungkinan kembali ke kehidupan normal
dengan atau tanpa pengobatan ?
2. Kekurangan fisik, mental, atau social apa yang akan pasien
alami bila pengobatan berhasil ?
3. Apakah ada bias yang dapat mengganggu penilaian dokter atau
perawat terhadap kualitas hidup pasien ?
4. Apakah kondisi pasien saat atau yang akan dating sedemikian
rupa menyebabkan kehidupan selanjutnya menjadi tidak
menyenangkan >
5. Apakah ada rencana atau alas an untuk tidak melanjutkan
pengobatan ?
6. Apakah ada rencana untuk pengobatan paliatif ?
 Gambaran Kontekstual
Prinsip kesetiaan dan keterbukaan
1. Apakah ada masalah keluarga yang dapat mempengaruhi
keputusan pengobatan ?
2. Apakah ada masalah dokter atau perawat yang dapat
mempengaruhi keputusan pengobatan ?
3. Apakah ada masalah finansial dan ekonomi ?
4. Apakah ada factor religious dan budaya ?
5. Apakah ada batas pada kerahasiaan ?
6. Apakah ada masalah dalam mengatur sumber daya ?
7. Bagaimana hokum mempengaruhi keputusan pengobatan ?
8. Apa dilibatkan dalam penelitian klinis dan proses pendidikan
?
9. Apa ada kepentingan bagi dokter perawat atau institusi ?
DAFTAR PUSTAKA

1. Fletcher JE. Communication principles. Dalam: Ford CW,


Morgan MK, eds. Teaching in the Health Professions. Saint
Louis: Mosby, 1976.h. 131.
2. Supartondo. Hubungan dokter pasien dan komunikasi
antarpribadi. Makalah disajikan pada penataran tutor
Ketrampilan Klinik Dasar FKUI, 28-31 Mei 1990 Jakarta.
3. Verderber RF. Communicate. Edisi Keempat. Belmont,
California: Wadswoth Publishing Company, 1984.
4. Kimball CP. The ethics of personal medicine. Med Clin North
Am. 1977; 61:867.
5. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical Ethics: a practical
approach to ethical decisions in clinical medicine. Edisi kelima.
New York; 2002.h.12.
BAB II

ANAMNESIS
Djoko Widodo, H.M.S. Markum

Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari


rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien yang
bersangkutan atau secara tidak langsung melalui keluaraga maupun
relasi terdekatnya.

Data yang didapat dari anamnesis disebut data subyektif,


sedangkan data yang didapat dari pemeriksaan jasmani dan
laboratorium disebut data obyektif.

Anamnesis
(=Wawancara Medis)
Anamnesis Data
+
Pemeriksaan Jasmani Data
+
Laboratorium/Pemeriksaan Data
penunjang

Analisis data
Evaluasi

Hipotesis masalah
Tindak Lanjut

Pengkajian

Rencana
Hasil
Pengelolaan
Kesimpulan

Gambar 2.1. Skema Anamnesis


Kedua data ini merupakan kumpulan data awal (data dasar) pasien.
Setelah data awal tersebut dianalisis, kita dapat merumuskan masalah-
masalah pasien dan dilanjutkan dengan proses
pengkajiannya.kemudian ditetapkan rencana pengelolaan terhadap
pasien, yaitu rencana pemeriksaan untuk diagnosis, pengobatan,
maupun penyuluhannya, dan diikuti dengan pelaksanaan rencana
tersebut beserta evaluasi atau tindak lanjutnya.

TUJUAN ANAMNESIS
Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh
dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data
medis organobiologis, psikososial, serta lingkungan pasien.
Berdasarkan informasi tersebut, pada akhir anamnesis kita diharapkan
mempu menyimpulkan dugaan organ/system yang diganggu,
Tujuan Anamnesis

1. Data/Informasi
- Medik Organo Biologi
- Psikososial

Dugaan organ/system yang


terganggu masalah klinik

2. Hubungan Dokter Pasien

Gambar 2.2 Skema Tujuan Anamnesis


bahkan rumusan masalah klinik, tergantung tingakt keterampilan
pewawancara.
Anamnesis merupakan tahap awal pemeriksaan pasien, maka
tujuan anamnesis yang tidak kalah penting adalah membina hubungan
dokter pasien yang professional dan optimal. Hal inipenting untuk
menimbulkan kepercayaan pasien terhadap dokternya dan sebaliknya.
Bila hubungan dokter pasien baik maka pengelolaan terhadap pasin
selanjutnya akan lebih optimal.

KETERAMPILAN ANAMNESIS

Agar terampil melakukan anamnesis, maka seorang dokter perlu


memiliki :
1. Kemampuan menerapkan dasar teknik komunikasi dan
pemahaman dasar-dasar hubungan dokter pasin.

Keterampilan Anamnesis

Memerlukan Pemahaman dan Keterampilan

3. -Dasar Teknik Komunikasi


-Hubungan Dokter Pasien

2. Pengetahuan
-Masalah klinik Penyakit (yang sering
dijumpai) + Pemecahan

1. Struktur/Sistematika Anamnesis

Pelaporan Anamnesis Secara Benar dan SIstematis

Gambar 2.3. Skema Keterampilan Anamnesis


Pemahaman pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang sering
dijumpai maupun masalah klinik beserta pendekatan struktur dan
sistematika anamnesis.

2. Pemahaman struktur dan sistematika anamnesis.

Ketiga aspek kemampuan tersebut di atas, sangat penting bagi


dokter agar dapat melaporkan atau menuliskan hasil anamnesis
secara sistematis dan benar.

JENIS ANAMNESIS

Ada dua jenis anamnesis, yaitu autoanamnesis dan aloanamnesis.


Autoanamnesis merupakan anamnesis terhadap pasien itu sendiri.
Aloanamnesis adalah anamnesis terhadap keluarga/relasi terdekat atau
yang membawa pasien tersebut ke rumah sakit. Aloanamnesis
dilakukan bila kita tidak dapat melakukan anamnesis terhadap pasien
karena berbagai hal, misalnya pasien dengan penurunan kesadaran,
gelisah, adanya kesulitan bahasa, atau terhadap pasien anak-anak.

HAL PENTING DALAM ANAMNESIS

Untuk melakukan anamnesis, kita harus bersikap sebagai dokter


yang professional. Tunjukkan rasa percaya diri, tanpa harus berlebihan.
Buatlah pasien merasa santai serta bersikap ramah dan bersahabat.
Pastikan pasien merasa nyaman. Sebagai pembuka wawancara, kita
dapat mengucapkan salam, berjabat tangan maupun berkenalan.
Kenalkanlah diri kita dan terangkan maksud serta tujuan wawancara
yang akan dilakukan. Setelah identitas lengkap pasien didapatkan,
mulailah dengan memberi pertanyaan terbuka sebagai penjajakan.
Biarkanlah pasien bercerita dengan kata-katanya sendiri.

Tunjukkanlah perhatian kita kepadanya, dan bersikaplah


empatik. Dengar dan catat hal-hal yang enting. Hindarkan
pertanyaan yang bersifat mengarahkan pada jawaban tertentu.
Jangan lupa perhatikanlah perilaku-perilaku nonverbal pasien, oleh
karena dari perilaku nonverbal tersebut kita mendapatkan kesan
mengenai kondisi kesehatan/ organ tubuh tertentu maupun keadaan
emosi pasien.

SISTEMATIKA DATA ANAMNESIS

Data anamnesis, terdiri atas beberapa kelompok data penting


sebagai berikut :

1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang (didahului keluhan utama)
3. Riwayat penyakit dahulu
Anamnesis system
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosio-ekonomi-budaya

Identitas Pasien

Identitas pasien meliputi nama,umur,jenis kelamin,


Suku,agama, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat rumah.

Data identitas pasien ini sangat penting, karena data tersebut


sering berkaitan dengan masalah klinik maupun gangguan system atau
organ tertetu. Misalnya penyakit tertentu, berkaitan dengan umur, jenis
pekerjaan, jenis kelamin, dan suku bangsa yang tertentu pula.

Dari data identitas pasien, kita juga mendapatkan kesan


mengenai keadaan social ekonomi budaya dan lingkungan. Dengan
informasi tersebut, kita dapat merencanakan pengelolaan pasien, baik
untuk diadiagnosticupun pengelolaan yang lebih cepat, optimal dan
sesuai dengan kondisi pasien.

Identitas Pasien

Nama, Jenis kelamin, Umur, Suku, Agama,


Status Perkawinan, Pekerjaan, Alamat

Data-data Penting

Kaitan: Masalah Klinis/Gangguan Sistem (Organ) Tertentu

Keadaan Sosial Ekonomi Budaya

Pengelolaan

Gambar 2.4. Skema Identitas dan Data Penting


Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien
minta pertolongan dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan
utama biasanya dituliskan secara singakt beserta lamanya, seperti
menuliskan judul berita utama suatu surat kabar. Misalnya badan panas
sejak 3 hari yang lalu.

Contoh pertanyaan, agar mendapatkan keluhan utama:

 Apa yang anda keluhkan/rasakan ?


 Apa yang menyebabkan anda ke dokter ?
 Mulai kapan hal itu anda rasakan ?

Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang (RPS) adalah riwayat mengenai
penyakit pasien saat ini, yang dimulai dari akhir masa sehat. Riwayat
penyakit sekarang ditulis secara kronologis sesuai urutan waktu, dicatat
perkembangan dan perjalanan penyakitnya. Jangan lupa dicari deskripsi
atau analisis terhadap setiap keluhan atau gejala penting.

Perkembangan penyakit yag dicatat juga termasuk riwayat


pengobatan atau perawatan untuk penyakit sekarang ini. Tuliskan
hanya data positif, dan sebaiknya dengan kata-kata pasien sendiri.

Contoh pertanyaan untuk mendapatkan saat dimulaunya riwayat


penyakit sekarang (akhir masa sehat) :

 Kapan penyakit anda dimulai ?


 Kapan anda terakhir merasakan sehat ?
Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat Penyakit Sekarang


- Dimulai dari akhir masa sehat
- Kronologi/urutan waktu
- Deskripsi gejala/keluhan (analisis gejala)
- Perkembangan penyakit (riwayat perawatan/pengobatan)
- Data yang positif
- Kata-kata pasien

Gambar 2.6. Skema Riwayat Penyakit Sekarang

Deskripsi Keluhan (Analisis Gejala)


Dalam riwayat penyakit sekarang dituliskan deskripsi atau
analisis terhadap setiap gejala atau keluhan, yaitu terhadap keluhan
utama dan keluhan penting lainnya.
Untuk keluhan utama dan keluahan penting lainnya, lengkapilah secara
terperinci sebagai berikut :

 Lamanya
 Onset/awitan timbulnya mendadak/berangsur
 Apa yang kemudian terjadi
-Menetap atau periodic
-Frekuensi-kronologis/urutan waktu
-Bertambah buruk/baik
 Faktor pencetus
-Kaitan dengan aktivitas sehari-hari
-Hal yang dilakukan pasien untuk mengurangi keluhan
 Gejala yang menyertai, berhubungan, atau gejala tambahan

Bila ‘nyeri’ merupakan gejala penting, tentukan pula :

 Lokasi dan penjalarannya


 Sifat nyeri
 Derajat/berat ringannya

Deskripsi keluhan

- Keluhan umum
- Keluhan penting lain

Gambar 2.7. Skema Deskripsi Keluhan


Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit-penyakit yang pernah diderita pasien beserta waktunya
dicatat dan ditanyakan pula apakah pasien pernah mengalamai
kecelakanaan atau operasi, maupun keadaan alegi.

Hal tersebut di atas merupakan data-data penting karena


memberikan informasi mengenai :

 Apakah ada gejala sisa ?


 Apakah ada kaitan dengan penyakit sekarang ?
 Apakah ada pengaruh/kaitan terhadap pengelolaan pasien
selanjutnya ?

Beberapa contoh pertanyaan riwayat penyakit dahulu :

 Pernahkah anda menderita penyakit berat dalam hidup anda ?


 Pernahkah anda mengalami masalah emosional ?
 Pernahkah anda mengalami pembedahan ?

Riwayat Penyakit Dahulu

- Penyakit yang pernah diderita (waktunya)


- Termasuk : kecelakaan/operasi
- Alergi

Data Penting

- Gejala sisa ?
- Kaitan dengan penyakit sekarang
- Pengaruh terhadap pengelolaan

Gambar 2.8. Skema Riwayat Penyakit Dahulu


 Apakah ada obat-obatan yang pernah menyebabkan gangguan
pada anda?
 Pernakah anda menderrita penyakit:
________________________ Kapan?_______________________
________________________ ________________________
________________________ ________________________

Riwayat penyakit dahulu mencakup anamnesis penyakit sistem


kardiovaskular (demam reumatik akut), sistem pernapasan (difteri,
batuk rejan, influenza, tonsillitis, pneumonia, pleuritis, tuberkulosis),
saluran cerna (disentri, hepatitis, tifus abdominalis), kulit (cacar air,
morbili), infeksi (malaria, demam berdarah), dll.
Keterangan terperinci dari semua penyakit dengan komplikasinya
yang pernah dialami dicatat menurut urutan waktu. Jangan mencatat
penyakit-penyakit yang tidak pernah diderita, kecuali memiliki arti
khusus untuk penyakit sekarang (contoh pada pasien penyakit jantung
reumatik dituliskan apakah pernah menderita tonsillitis/artritis).
Pada pasien dengan riwayat kecelakaan atau operasi dicatat
keterangan tentang tanggal, lama operasi, obat anastesi, jenis operasi,
lama perawatan di rumah sakit, lamanya penyembuhan, sembuh
sempurna atau tidak, berapa lama tidak bekerja.
Pada pasien wanita dengan riwayat kehamilan atau keguguran
ditanyakan dan dicatat secara kronologis tentang jumlah kehamilan
serta sebab keguguran.
ANAMNESIS SISTEM
Tulislah di bawah ini judul-judul yang bersangkutan, semua
keluhan dan kelaianan patologis yang bukan bagian dari penyakit
sekarang dan yang belum ditulis dalam bahasan Riwayat Prnyakit
Dahulu.
Jika tidak ada keluhan tiluslah negatif, tanpa tambahan lain. Bila
ada keluhan, catatlah deskripsi lengkap.
 Kepala: Trauma, sakit kepala, nyeri pada sinus.
 Mata: Nyeri, sekret, kelainan penglihatan, penglihatan kurang jelas,
kacamata.
 Telinga: Nyeri sekret, nyeri tekan di daerah mastoid, tinitus,
gangguan atau kehilangan pendengaran.
 Hidung: Trauma, nyeri sekret, epistaksis, gejala penyumbatan, pilek,
post nasal drip, kelainan alat pembantu.
 Mulut: Gegi-geligi, bibir, gusi, selaput lendir pipi, lidah, kelainan
mengecap atau mengunyah, sekresi ludah, stomatitis.
 Tenggorokan: Nyeri tenggorokan, tonsillitis, abses peritonsil,
laringitis, kelaianan suara, tak bersuara.
 Leher: Pembesaran kelenjar gondok dan limfe, tanda radang.
 Jantung dan paru-paru: Nyeri dada, berdebar, sesak napas, batuk,
sianosis, ortopneu, edema, bronkitis serangan asma, pilek, batuk
darah, berkeringat pada malam hari.
 Lambung dan usus: Kembung, mual, muntah, rasa kurang enak dan
nyeri, disfagia, muntah darah, kolik,
ikterus, hemoroid, sifat tinja (diare, tinja yang berdarah, hitam seperti
aspal atau putih seperti dempul), obstipasi.
 Alat kelamim: Disuria, poliuria, nokturia, polakisuria, hematuria,
kencing batu, pasir, kencing nanah, ngompol, kolik ginjal atau ureter,
oliguria, anuria, kencing menetes, inkontinensia, penyempitan uretra,
prostatitis.
 Haid: Haid pertama, tanggal haid terakhir, keteraturan lama dan
banyaknya, nyeri, sakit kepala, leukorea, kelainan haid, gejala
klimakterium, perdarahan sesudah klimakterium.
 Saraf dan Otot: Anastesi, parastesi, otot lemah atau lumpuh, pingsan,
tidak sadar, kedut, kejang, tinitus, vertigo,pusing, afasia, gangguan
bicara, sukar mengingat, amnesia, ataksia, gangguan berkemih,
kerusakan saraf I-XII.
 Kejiwaan: Perangai stabil atau labil.
 Berat badan: Berat badan rata-rata, berat badan yang tertinggi,
bilamana menurunnya berat badan, dalam waktu berapa bulan, berat
badan sekarang.
Catatan: Dalam pedoman ini petunjuk untuk anamnesis penyakit dahulu
dibahas sebelum anamnesis sistem, walaupun pada pelaksanaannya
seringkali anamnesis sistem ditanyakan segera sesudah penyakit
sekarang.

Riwayat Keluarga
Anggota keluarga meliputi kakek, nenek, ayah, ibu, saudara laki-
laki, saudara perempuan, dan anak-anak pasien. Tanyakan tentang umur
dan keadaan kesehatan
masing-masing anggota keluarga bila masih hidup atau umur waktu
meninggal dan sebabnya.
Cari hal-hal yang berhubungan dengan peran hereditas atau
kontak di antara anggota keluarga yang dekat atau agak dekat, misalnya
tuberkulosis, sifilis, hemofilia, penyakit saraf dan penyakit jiwa,
neoplasma, penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit kardio-
renal-vaskular. Bila mengenai penyakit herediter (misalnya diabetes
melitus), buatlah gambar diagram untuk mencari anggota-anggota
keluarga yang memiliki penyakit yang sama.

Riwayat Pribadi, Sosial Ekonomi, dan Budaya


Dimulai dengan keterangan kelahiran (tempat dan cara partus, bila
diketahui), diteruskan dengan peristiwa penting semasa kanak-kanak
dan sikap pasien terhadap keluarga dekat.
Riwayat sosial mencakup keterangan pendidikan, pekerjaan
(macamnya, jam kerja, pengaruh lingkungan kerja, dan lain-lain),
asuransi, aktivitas di luar pekerjaan (olahraga, hobi, organisasi, dan
lain-lain), perumahan (lingkungan), perkawinan (lamanya, jumlah
anak, keluarga berencana, perkawinan sebelumnya), tanggungan,
makanan (teratur atau tidak, banyaknya, variasi, berapa kali makan
perhari, komposisi makanan sehari-hari, pengunyahan, nafsu makan
dan pencernaan), tidur (lama, teratur, ventilasi, jumlah orang dalam satu
kamar tidur, penyebab gangguan tidur), kebiasaan merokok, teh, kopi,
alkohol, obat, jamu, atau narkoba. Perlu pula ditanyakan tentang
kesulitan yang dihadapi pasien, seperti masalah pekerjaan, keluarga,
keuangan, dan sebagainya.
Dalam riwayat pribadi, sosial ekonomi, budaya, dan keluarga ini
merupakan informasi penting, baik dalam kaitannya dengan masalah
klinik maupun penyakit yang diderita saat ini. Data ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan yang optimal untuk
pasien selanjutnya.

PERTANYAAN PENUTUP
Pertanyaan seperti di bawah ini sebaiknya diajukan pada pasien
untuk menjajaki atau menduga seberapa jauh pemahaman pasien
mengenai masalah medis atau penyakitnya, serta mungkin ada hal-hal
yang belum jelas maupun yang merisaukan pasien
 Apakah yang anda rasakan saat ini?
 Menurut anda, apakah yang salah atau tidak normal pada diri anda?
 Apakah ada pertanyaan yang ingin anda tanyakan?

Riwayat Pribadi dan Sosial Budaya

Riwayat pribadi, - Masalah klinik


sosial ekonomi, - Penyakit
budaya, lingkungan - Pengelolaan optimal

Gambar 2.9. Skema Riwayat Pribadi dan Sosial Budaya


ANAMNESIS PADA KEADAAN KHUSUS
Tanpa memandang usia, perilaku tertentu dan situasi khusus dari
pasien dapat menyulitkan atau membingungkan dokter sebagai
pewawnacara. Keterampilan dokter dalam menangani masalah ini
diperlukan dan akan berkembang sesuai dengan pengalaman.

Pasien Diam
Pewawancara pemula dapat menjadi tidak nyaman selama periode
diam dan merasa berkewajiban untuk melanjutkan percakapan. Pada
saat mengutarakan penyakit sekarang, pasien sering terdiam beberapa
saat untuk mengumpulkan pikiran, mengingat hal-hal penting, atau
memutuskan bisa atau tidaknya mereka mempercayai anda tentang
sesuatu.
Diam dengan perhatian pada sisi pewawancara adalah respons
terbaik saat ini, kadang diikuti dengan dorongan singkat untuk
melanjutkan percakapan. Pertanyaan halus mungkin dapat membantu,
“Anda tampak kesulitan untuk membicarakan hal ini”. Pasien yang
depresi atau dimensia mungkin telah kehilangan ekspresi spontannya,
memberi jawaban pendek untuk pertanyaan-pertanyaan, dan cepat
terdiam lagi.
Ada saatnya diamnya pasien adalah hasil dari kesalahan atau tidak
sensitifnya pewawancara. Apakah anda menanyakan terlalu banyak
pertanyaan langsung dengan urutan yang cepat? Pasien mungkin
memberikan inisiatif kepada anda dan mengambil pesan yang pasif
yang
tampaknya anda harapkan. Apakah anda menyinggung pasien,
misalnya tanda tidak setuju atau kritik?

Pasien yang Banyak Bicara


Pasien yang banyak bicara, bertele-tele sama sulitnya dengan
pendiam, mungkin lebih sulit. Menghadapi waktu yang terbatas dan
keinginan untuk memperoleh cerita keseluruhan, pewawancara dapat
menjadi tidak sabar, bahkan terganggu.
Walaupun tidak ada jalan keluar yang sempurna untuk problem
ini, beberapa teknik dapat membantu. Pertama, anda perlu mengurangi
tujuan anda dan menerima sebagian kecil dari cerita yang
komprehensif. Ini mungkin tidak di dapat.
Kedua, berikan pasien kesempatan bicara semaunya selama 5–10
menit pertama. Anda akan dapat memperhatikan pola bicara pasien.
Apakah pasien tampak berlebihan memperhatikan hal-hal penting atau
cemas? Apakah ada loncatan ide atau proses pikir yang tidak
terorganisir petanda kelainan psikotik?
Ketiga, coba untuk memfokuskan apa yang paling penting.
Perhatikan ketertarikan dan tanyakan
pertanyaan-pertanyaan pada topik tersebut. Interupsi bila anda harus,
tetapi dengan sopan. Ringkasan singkat dapat membantu anda merubah
topik sambil membiarkan pasien tahu bahwa anda mendengarkan dan
mengerti. “Seperti yang saya pahami, nyeri dada anda sering datang,
bertahan lama, dan tidak harus menetap pada satu tempat. Sekarang,
ceritakan tentang napas anda.”
Akhirnya, jangan perlihatkan ketidaksabaran anda. Bila anda telah
menghabiskan waktu yang tersedia, atau melampaui waktu tersebut,
terangkan pada pasien dan rencanakan untuk pertemuan kedua. Saya
tahu masih banyak yang akan kita bicarakan lagi. Dapatkah anda datang
minggu depan? Kita akan punya waktu setengah jam penuh.

Pasien dengan Gejala Multipel


Beberapa pasien mungkin memiliki semua gejala yang anda
sebutkan. Mereka punya ulasan atau jawaban positif yang penting.
Walaupun mungkin pasien seperti itu memiliki kelainan organik
multipel, masalah emosional yang serius lebih mungkin. Pada kasus
seperti ini, kecil manfaatnya bila mengulas setiap gejala secara rinci.
Sebaiknya arahkan wawancara ke penilaian psikososial.

Pasien yang Cemas


Kecemasan adalah reaksi yang sering dan alami terhadap penyakit,
pengobatan, dan sistem perawatan kesehatan. Pada beberapa pasien,
cemas adalah reaksi
mereka terhadap tekanan kehidupan dan merupakan kontribusi untuk
penyakit mereka.
Anda harus peka terhadap petanda nonverbal dan verbal.
Misalnya, pasien cemas duduk tegang, mempermainkan jari-jemari
atau pakaian, mereka sering mengeluh, membasahi bibir, berkeringat
lebih dari biasa, atau gemetar. Pulsasi karotis dapat menutupi denyut
jantung yang cepat. Beberapa pasien terdiam, tidak dapat bicara dengan
bebas atau mencurahkan perasaannya. Pasien lain berusaha menutupi
perasaan dengan kata-kata, sibuk menghindari masalah utama mereka.
Bila anda merasakan adanya cemas yang mendasari, dorong pasien ini
untuk bicara tentang perasaan mereka

Berikan Jaminan Rasa Aman


Waktu anda bicara dengan pasien yang cemas, anda cenderung
untuk meyakinkan dan menjamin mereka. “Jangan khawatir, semuanya
akan menjadi baik.” Pendekatan ini umumnya kontraproduktif. Kecuali
anda dan pasien sudah membahas akar dan asal dari kecemasan, anda
mungkin memberikan jaminan atas sesuatu yang salah. Lagi pula,
jaminan dini menutupi komunikasi lebih lanjut, karena menerima
kecemasan berarti membuka kelemahan.
Langkah awal untuk memberikan jaminan yang efektif adalah
dengan melibatkan identifikasi dan menerima perasaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan pada akhir proses perawatan kesehatan, setelah
anda melengkapi
wawancara, pemeriksaan fisis, dan mungkin beberapa pemeriksaan
laboratorium. Maka anda dapat menjelaskan ke pasien apa yang terjadi
dan membahasnya terbuka dengan perhatian tulus.

Pasien yang Marah dan Tidak Ramah


Pasien punya berbagai alasan untuk marah, missal karena mereka
sakit, mengalami kehilangan sesuatu, atau tidak punya jaminan dari
sistem perawatan kesehatan. Mereka mungkin akan marah pada anda.
Apakah anda terlambat, tidak perhatian, tidak sensitif, atau marah? Bila
demikian, akui kenyataan dan cobalah untuk perbaikan. Namun sering
pasien marah ke klinisi sebagai pelampiasan. Biarkan mereka
mengeluarkan perasaannya. Terima perasaan mereka tanpa menjadi
marah. Jangan sampai terbawa ketidaksukaan pasien terhadap klinisi
atau rumah sakit lain, walaupun anda punya perasaan yang serupa.
Setelah pasien tenang anda dapat menerapkan langkah khusus yang
akan membantu.
Jalan keluar yang rasional untuk masalah emosional tidak selalu
mudah, namun orang memerlukan waktu untuk meredam perasaan
marah.

Pasien Gaduh karena Mabuk


Beberapa pasien dapat mengganggu keadaan di klinik atau di
ruangan disertai kemarahan, menantang, dan tidak terkontrol. Sebelum
mewawancarai pasien demikian, adalah bijaksana untuk memberitahu
petugas keamanan rumah sakit.
Pada saat mendekati, beri salam pasien dengan nama dan gelarnya,
perkenalkan diri anda, ajak salaman. Pada situasi ini sangat penting
untuk kelihatan menerima, tidak menantang. Untuk melakukan hal
tersebut, hindari semua kecuali kontak mata dan jaga postur anda
dengan rileks dan tidak mengancam dengan tangan terbuka tidak
mengepal. Jangan mencoba untuk membuat pemabuk menurunkan
suaranya atau berhenti mengutuk anda atau staf, tapi dengarkan baik-
baik dan coba untuk mengerti apa yang mereka bicarakan.
Karena beberapa orang seperti ini merasa terperangkap dalam
ruangan yang kecil, maka lebih baik untuk bicara dengan mereka di area
terbuka dan anda juga merasa lebih nyaman. Selain itu, tawaran
makanan atau kopi dapat membantu mendiamkan orang yang naik
darah dan memberi ketenangan pada suasana yang gaduh.

Pasien Menangis
Setiap kemarahan, menangis adalah pertanda yang penting untuk
emosi. Jarang bisa ditekan, dan jika pasien sudah tampak berair mata,
konfrontasi lembut atau respons simpatik akan menyebabkan menangis.
Maka penerimaan adalah tepat. Tawarkan tissue, tunggu sampai tenang,
mungkin memberikan komentar yang mendukung, “Bagus kalau
dikeluarkan”. Pada konteks penerimaan seperti itu, kebanyakan pasien
akan menyesuaikan diri akan merasa lebih baik dan dapat melanjutkan
diskusi.
Pasien Depresi
Depresi dapat tersamar sebagai kelelahan, berat badan menurun,
insomnia, atau nyeri dan sakit misterius, dan depresi adalah salah satu
masalah tersering di kedokteran klinik, umumnya terabaikan.
Waspadalah terhadap itu, kenali dan selidiki manifestasinya. Yakinlah
anda bagaimana buruknya depresi tersebut. Sewaktu anda akan
mengevaluasi derajat nyeri dada, anda harus mengevaluasi derajat
depresi. Keduanya adalah mematikan. Jangan takut bahwa pertanyaan
tentang bunuh diri akan mendorong pasien untuk melakukan hal itu.

Pasien yang Menarik atau Menggoda


Klinisi laki-laki dan wanita kadang kala dapat merasa tertarik pada
pasiennya. Jika anda menyadari perasaan ini, terimalah sebagai respons
manusia normal tetapi cegahlah supaya tidak mempengaruhi perilaku
anda. Jagalah hubungan anda dengan pasien tetap dalam ikatan profesi.
Kadang pasien menggoda atau melakukan godaan seksual.
Dengan tenang tapi tegas, katakana dengan jelas bahwa hubungan anda
adalah sebatas profesi, bukan personal.
Anda mungkin juga ingin mengulas penampilan anda. Apakah
anda terlalu hangat dengan pasien, mengemukakan perhatian secara
fisik, mencari dukungan emosi dari dia? Apakah pakaian atau perilaku
anda secara tidak disadari menggoda? Hindari masalah ini bila
mungkin.
Riwayat atau Perilaku yang Membingungkan
Adakalanya pemeriksa akan terheran-heran, bahkan bingung pada
saat berinteraksi dengan pasien. Ceritanya berbelit-belit dan sukar
dimengerti, pokok pemikirannya tidak menyambung dan bahasanya
sukar dicerna. Walaupun pemeriksa memilih kalimatnya dengan hati-
hati namun jawaban jelas tidak diperoleh. Tingkah laku pasien terhadap
pemeriksa seolah menjaga jarak, acuh tak acuh, tidak semestinya atau
aneh.
Pemakaian bahasa untuk menjelaskan gejalanya terkadang aneh,
misalnya “kuku saya rasanya sangat berat” atau “perut saya terasa ada
naganya”. Waspadalah terhadap pemakaian bahasa seperti ini, ada
kemungkinan ini menjurus kepada gangguan jiwa, misalnya
skizofrenia. Melalui teknik biasa yang tidak bersifat mengarahkan
biasanya memungkinkan pemeriksa memproleh data lebih banyak
mengenai kelaianan pasien. Dalam wawancara sebaiknya dimasukkan
pula penilaian status mental pasien, dengan memberikan perhatian
khusus kepada minat, pemikiran, dan persepsi.
Banyak pasien psikotik dapat bermasyarakat dalam berbagai
tingkatan. Pasien seperti ini biasanya mudah untuk menceritakan
kelainan mereka, diagnosis, perawatan, dan terapinya. Pemeiksa akan
merasa nyaman dalam bertanya mengenai kondisi pasien, tanpa merasa
mempermalukannya.
Penyebab riwayat penyakit yang menyesatkan bukan hanya
skizofrenia. Beberapa pasien yang mengalami
gangguan kognitif seperti delirium dan demensia. Waspadailah
delirium bila berhubungan dengan pasien akut atau intoksikasi, dan
dimensia pada pasien yang berusia lanjut. Pada keadaan tersebut di atas
umumnya pasien tidak mampu menceritakan riwayatnya dengan jelas.
Biasanya mereka ini tidak jelas dan inkonsisten dalam riwayatnya,
bahkan tidak dapat menceritakan apa yang dialaminya. Mereka
mungkin tidak memperhatikan pertanyaan dan segan menjawab.
Adakalanya pasien ini mengarang cerita untuk menutupi kekurangan
ingatan mereka.
Bila dicurigai adanya gangguan kognitif maka janganlah kita
menghabiskan waktu untuk berusaha memperoleh riwayat yang rinci.
Hasilnya hanya akan mengakibatkan lelah dan putus asa, baik pasien
maupun pemeriksa. Arahkan pemeriksaan untuk mengevaluasi status
mental, tingkat kesadaran, orientasi, dan daya ingat.
Pertanyaan awal sangat mudah dimasukkan dalam proses
wawancara misalnya Kapan perjanjian anda yang terakhir di klinik?
Kira-kira berapa waktu yang lalu? Di manakah anda tinggal? Nomor
telepon anda? Jawaban dapat dituliskan pada suatu daftar pertanyaan
(asumsi bahwa daftarnya lengkap).

Pasien dengan Tingkat Intelegensi yang Rendah


Pasien yang agak terganggu intelegensinya biasanya dapat
memberikan riwayat yang adekuat. Kadang-kadang pemeriksa tidak
menyadari kekurangan pasien
ini sehingga terjadi kesalahan, misalnya mengabaikan disfungsi mereka
dalam ketidakmampuan mengevaluasi atau memberikan instruksi yang
tidak dapat dimengerti atau dipatuhi. Bila kita curiga adanya masalah
ini, berikan perhatian khusus pada pendidikan pasien. Seberapa tinggi
mereka sekolah? Kenapa mereka keluar? Bagaimana mereka selama
bersekolah? Kursus apa saja yang (pernah) diikuti? Siswa tingkat akhir
sekolah lanjutan atas dengan intelegensi normal biasanya tidak sulit
melakukan suatu perhitungan aritmatika sederhana. Bila pasien anda
sukar, maka anda dapat mengubah arah pemeriksaan menjadi
pemeriksaan status mental termasuk kemampuan berhitung sederhana,
kosa kata, informasi, dan menguji daya berpikir abstrak pasien.
Pada pasien dengan retardasi mental yang berat, riwayat harus
diperoleh dari saudara atau temannya. Upayakan membentuk suatu
hubungan dengan pasien dengan memberikan perhatian kepada pasien
dan mencoba melakukan pembicaraan yang sederhana. Seperti halnya
pada anak-anak hindari berbicara terus menerus dengan pasien retardasi
mental atau menggunakan bahasa atau bertindak seperti pasien. Bila
pasien menolak, maka keluarga atau temannya biasanya mampu
membujuknya.

Kemampuan Membaca
Sebelum memberikan instruksi tertulis ada baiknya kita menilai
kemampuan membaca pasien. Kadang-
kadang orang yang tidak dapat membaca karena hambatan bahasa,
gangguan belajar, atau penglihatan yang buruk mau mengakuinya bila
ditanya. Bagi yang menolak kita dapat melakukan uji sederhana seolah-
olah melakukan pemeriksaan daya penglihatan dengan membaca kata
atau kalimat.
Pasien yang buta huruf sering berupaya menutupi
ketidakmampuan mereka membaca. Berikan respons yang sensitif,
ingat kemampuan membaca dan intelegensi tidak sama.

Hambatan Bahasa
Kita semua menyadari pentingnya komunikasi yang optimal. Bila
kita tidak dapat melakukannya karena hambatan bahasa, carilah
penerjemah. Beberapa patah kata saja tidak cukup. Penerjemah yang
ideal tentunya netral, objektif yang menguasai kedua bahasa. Bila
anggota keluarga ada yang berusaha membantu mereka biasanya akan
mengganggu arti dan juga mungkin akan menyebabkan masalah
kerahasiaan pasien pada kedua pihak.
Banyak penerjemah yang berusaha mempercepat proses
penerjemahan dengan meringkas kalimat atau pernyataann yang
panjang. Jelaskan pada penerjemah sejak awal bahwa anda
membutuhkan terjemahan dari keseluruhan untuk melakukan penilaian.
Berikan pertanyaan yang singkat dan jelas. Tugas penerjemah juga
mungkin akan lebih mudah bila kita memberikan gambaran apa yang
kita cari dari setiap bagian wawancara.
Bila tersedia kuesioner tertulis dalam dua bahasa sangat membantu
teruama untuk melakukan penilaian sistem. Sebelum menggunakannya
pastikan pasien dapat membacanya dengan bahasanya atau dapat
dibantu dalam kuesionernya.

Gangguan Pendengaran
Berkomunikasi dengan pasien yang mengalami gangguan
pendengaran yang berat hampir serupa masalahnya dengan hambatan
bahasa. Pertanyaan tertulis akan sangat membantu, walau sangat
memakan wantu, namun mungkin hanya inilah jalan keluar satu-
satunya. Bila pasien menguasai bahasa isyarat, maka carilah
penerjemah yang sesuai. Bila pasien menderita gangguan pendengaran
sebagian atau dapat membaca gerak bibir, maka berhadapanlah
dengannya, dan upayakan cahaya cukup baik. Bicaralah secara perlahan
dan alun suara yang relatif datar. Jangan mengubah suara pada akhir
kalimat atau mengubah bentuk mulut, dan upayakan gerakan untuk
mendukung kata-kata anda.
Bila pasien memiliki ‘pendengaran’ yang baik, ia akan mengubah
duduknya untuk memanfaatkan hal tersebut. Pasien yang memakai alat
bantu dengar tentunya harus tetap memakainya dan pastikan alat
tersebut berfungsi dengan baik. Demikian pula pasien yang memakai
kacamata juga harus memakainya. Selalu berikan instruksi tertulis di
samping lisan.
Pasien Buta
Bila berbicara dengan pasien buta, harus hati-hati untuk
memperkenalkan siapa anda dan kenapa anda ada di sini. Pegang tangan
pasien untuk menolongnya agar kontak menjadi lebih mantap dan
pasien mengetahui di mana kita berada. Bila ruangan tidak familiar
untuk pasien, beri gambaran orientasi ruangan dan terangkan apa yang
ada di sana dan juga bila ada orang lain. Ingat untuk menjawab pasien
bila ditanya dan jangan dengan nada suara meninggi untuk hal-hal yang
tidak perlu.

Pasien Fatal
Bila komunikasi dengan pasien fatal atau yang akan meninggal,
kita akan mengalami problem dalam diri sendiri. Menurut Kubler Ross
ada 5 tingkat untuk mendeskripsi respons pasien yang diancam
kematian, yaitu
1. memungkiri dan isolasi,
2. kemarahan,
3. menawar,
4. depresi dan sedih, serta
5. menerima.
Hati-hati terhadap perasaan pasien, tolong mereka dalam
mengemukakan pendapat. Beri pasien kesempatan untuk bicara, jangan
merasa putus asa. Untuk komunikasi yang baik, kita harus mengenal
pasien dan itu merupakan proses menolong.
BERBICARA DENGAN KELUARGA/TEMAN
Beberapa pasien tidak dapat menceritakan riwayat perjalanan
penyakitnya, dan beberapa pasien lain dapat menjelaskan sebagian
riwayat penyakitnya. Dalam hal ini, kita harus dapat menemukan orang
ketiga yang dapat menjelaskan riwayat penyakit yang berguna sebagai
informasi.
Suami/istri dapat menerangkan hambatan-hambatan di mana
pasien tidak mau menerangkan seperti keadaan depresi dan kebiasaan
minum. Bila diketemukan hal-hal tersebut di atas, selalu mencari
kesempatan dari orang-orang selain pasien untuk keterangan penyakit
tersebut. Bila dapat data dari orang ketiga, sebaiknya disetujui oleh
pasien, dan yakinkah itu akan dipegang secara rahasia.
Prinsip dasar untuk mewawancarai adalah cari tempat private atau
pribadi, bersandar pada dinding bukanlah hal yang baik untuk
berkomunikasi. Perkenalkan diri anda, keinginan, dan bagaimana
persasaan pasien dalam keadaan tersebut. Bila kita mendengar derita
mereka kita harus siap untuk mengetahui hubungan dengan pasien
karena akan mempengaruhi kredibilitas atau memberi kita ide dalam
menolong pasien. Kadang-kadang keluarga atau teman meminta untuk
menemani pasien, bila dapat atas persetujuan pasien dan dalam hal di
mana pasien tidak dapat memberi penjelasan, keterangan orang lain
sangatlah berguna. Berilah pasien rasa tenang dan aman dalam
mengemukakan pendapatnya dan secara rahasia.
Bila mungkin membagi wawancara dalam 2 bagian,
yaitu dengan pasien sendiri dan pasien dengan orang kedua. Setiap
bagian mempunyai nilai sendiri.

MENJAWAB PERTANYAAN PASIEN


Pertanyaan pasien dapat merupakan pencarian fakta sesungguhnya
yang sederhana. Seringkali mereka menyampaikan perasaan atau
kekhawatiran. Coba hilangkan perasaan tersebut atau selidiki lebih
lanjut, jangan sampai anda memberi jawaban yang salah.
Pasien : Apakah efek obat penurun tekanan darah?
Jawab : Ada beberapa efek. Kenapa anda bertanya demikian?
Pasien : Saya membaca buku teman saya dan dikatakan dapat
menyebabkan
impoten.

Diperlukan perhatian yang sama bila pasien mencari nasehat


mengenai permasalahan pribadi. Apakah pasien harus meninggalkan
pekerjaannya yang penuh stress, misalnya, atau pindah ke kota lain atau
melakukan aborsi? Sebelum menjawab, selidiki dulu pendekatan mana
yang dia anggap baik, pro dan kontra untuk menyelesaikan masalah.
Berbicara dengan pasien lebih baik dibandingkan dengan menjawab
pertanyaan.
Akhirnya, bila pasien menanyakan pertanyaan yang spesifik
mengenai diagnosis, kemajuan dan rencana pengobatan, jawab bila
dapat tetapi hati-hati, agar jawaban kita tidak bertentangan dengan
pendapat yang
diberikan yang lain. Perhatikan kondisi mental pasien. Seandainya
pasien belum siap menerima kenyataan pahit dari diagnosis
penyakitnya, jelaskan secara bertahap. Bila anda tidak yakin tentang
jawaban, tawarkan bahwa anda akan berusaha untuk emncari
jawabannya. Alternatif lain, anda dapat sarankan untuk berkonsultasi
kepada dr. X karena dr.X lebih mengetahui kasus tersebut dan membuat
keputusan. Bagaiamanapun harus hati-hati dalam penedekatan
sederhana ini untuk mencegah persoalan yang sulit. Bila anda
bertanggung jawab atas pasien, agar anda berbagi pendapat dalam
rencana, prognosis pasien dengan anggota tim kesehatan lain sehingga
dapat berkomunikasi dengan pasien yang efektif.

ANALISIS DATA ANAMNESIS

Analisis data anamnesis merupakan salah satu tujuan anamnesis,


maka kita diharapkan dapat menyimpulkan dugaan sistem atau organ
yang terganggu, atau bahkan dapat menetapkan masalah klinik pasien
tersebut. Setelah pengumpulan data, analisis atau kajian dibuat untuk
membuat hipotesis mengenai sistem/organ yang terganggu atau
masalah kliniknya. Kemudian hipotesis itu dikaji dengan tambahan
data/informasi yang diperlukan, dan selanjutnya.
Anamnesis

Pengumpulan data/keluhan (+
deskripsi)

Uji/evaluasi informasi Analisis data


tambahan yang terpilih

Hipotesis : Klinis
Masalah : Gangguan organ/sistem

Gambar 2.10. Skema Analisis Data Anamnesis

Deskripsi keluhan

1. Identifikasi keluhan penting


2. Deskripsi keluhan (analisis gejala)
3. Keluhan-keluhan/gejala-gejala dikelompokkan : Dugaan
sistem/organ

Gambar 2.11. Skema Analisis Deskripsi Keluhan


DAFTAR PUSTAKA

1. Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto,


Hendarwanto, Anamnesis. Dalam Sukaton U, editor. Petunjuk
tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani. Jakarta Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1986.h. 1-8.
2. Seidel, HM, Ball JW, Dains JE, Benedict GW. The history and
interviewing process. Dalam: Scherefer S, editor. Mosby’s guide to
physical examination. Edisi ketiga. St Louis: Mosby Year
Book;1995.h. 2-33.
3. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical
examination and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB
Lippincott; 1995.h. 1-30.
CONTOH ANAMNESIS

Tuan IS, pria berumur 50 tahun, masuk perawatan Lantai IV IRNA B


RSUPN DR. Cipto Mangnkusumo tanggal 22 Desember 1999 dengan:

Keluhan Utama

Muntah dan buang air besar darah hitam sejak 3 jam sebelum masuk
perawatan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering mengeluh perut membesar, mual
dan kembung. Bila makan yang pedas pasien mengeluh begah di perut.
Pasien berobat ke dokter dan dikatakan sakit radang hati dan mendapat
obat yang menimbulkan sering buang air kecil. Selama ini penyakit
pasien dapat dikontrol dengan obat-obat dokter tersebut. Sejak 1 bulan
yang lalu keluhan mual dan kembung makin menghebat dan tidak
mempan dengan obat-obat selama ini. Bahkan pasien mengeluh
kadang-kadang mutah dan nafsu makan turun. Pasien pindah berobat ke
dokter lain dan dapat obat tablet hijau dan putih, akan tetapi keluhannya
masih tetap saja.

Sejak 2 hari yang lalu pasien mengeluh sakit kepala dan badan
pegal-pegal. Sakit kepalanya berdenyut-denyut di seluruh kepala,
serasa hampir pingsan. Pasien makan obat-obat warung penghilang rasa
sakit termasuk jamu pegal linu atau puyer cap macan.
Sakitnya berkurang dengan obat-obat tersebut. Kurang lebih 3 jam
sebelum dirawat pasien muntah dan buang air besar darah hitam.
Muntah kurang lebih 2 gelas air minum. Pasien merasa sangat lemah
dan oleh keluarganya dibawa ke gawat darurat RSUPNCM.

Di Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM pasien dipasang selang


lambung, dilakukan pembilasan lambung dengan air es dan diberikan
obat-obatan. Terlihat dari selang lambung banyak darah merah yang
keluar dan setelah diobati menjadi jernih, lalu pasien dirawat di lantai
IV IRNA B RSUPNCM.

Sebelumnya pada waktu berumur 10 tahun pasien pernah


menderita sakit kuning. Pada waktu itu pasien hanya berobat jalan di
dokter puskesmas.

Riwayat Peyakit Dahulu

Tahun 1995 pasien dioperasi kaki kanannya karena patah tulang


yang disebabkan kecelakaan lalu lintas.

Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien sakit hati kronik sejak umur 30 tahun dan masih
berobat ke dokter puskesmas samapi sekarang. Ibu sudah meninggal
pada umur 70 tahun karena penyakit kencing manis yang berat .

Anamnesis Sistem

Tidak ada yang penting.


BAB III

PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Hendrawanto, Sarwono Waspadji, H.M.S Markum

Tujuan pemeriksaan fisis umum adalah mendapatkan atau


mengidentifikasi keadaan umum pasien saat diperiksa, dengan
penekanan pada tanda-tanda kehidupan (vital sign), keadaan sakit,
keadaan gizi dan aktivitas baik dalam keadaan berbaring atau pun
berjalan.

Pemeriksaan fisik mencakup penilaian status mental, keadaan


kulit, kelenjar getah bening, kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan
tenggorok, leher, jantung, paru, abdomen serta refleks-refleks. Hasil
pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran umum tentang keadaan
pasien.

Segera setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali


dengan pemeriksaan obyektif tentang hal-hal yang terukur yaitu
tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat kesadaran.
Hal ini yang biasa disebut sebagai tanda-tanda kehidupan. Untuk
menambah data tanda-tanda obyektif lainnya diperiksa pula tinggi
badan, berat badan dan lingkar kepala.

Pada bab ini akan dibahas pemeriksaan umum, pembahasan


pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan penggung, anggota gerak
dan alat kelamin akan dibahas pada bab lain.
KESADARAN

Derajat kesadaran biasanya dinyatakan sebagai:

 Kompos mentis: sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua


pertanyaan tentang keadaan di sekelilingnya.
 Apatis: keadaan kesadaran pasien yang segan untuk
berhubungan dengan keadaan sekitarnya, sikap acuh tak acuh.
 Letargi: keadaan kesadaran pasien yang tampaknya lesu dan
mengantuk. Istilah lain: suf (Belanda), drowsy (Inggris).
 Somnolen: keadaan kesadaran pasien yang selalu mau tidur saja,
dapat dibangunkan dengan rasa nyeri, atau untuk makan/minum,
namun jatuh tertidur kembali.
 Sopor: keadaan kesadaran pasien yang mirip koma, berbaring
dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi jika
dibangunkan, kecuali dengan rangsan nyeri. Refleks kornea
meski lunak masih bisa dibangkitkan; reaksi pupil utuh. Istilah
lain: stupor.
 Koma: keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dengan
rangsang apapun reaksi atas rangsang tak akan timbul. Refleks
apapun tak didapatkan lagi, bahkan batuk atau muntah tidak ada.
Seorang pasien yang pasien gangguan jiwa, dimana tidak ada kontak
psikis, kesadarannya berubah.
TAKSIRAN UMUR
Taksiran pemeriksa akan umur pasien kadang-kadang tidak
sesuai dengan kenyataan, misalnya pada orang normal dengan kelainan
pada raut muka, sikap badan dan warna rambut atau pada pasien
dwarfism, kusta.

BENTUK BADAN
Bentuk yang abnormal dapat dijumpai misalnya pada:
1. Akromegali: bentuk tubuh sebagai akibat hiperfungsi kelenjar
pituitari anterior setelah tertutupnya epifisis. Kepala tampak lebih
besar dari biasanya, hidung, dagu serta rahang bawah membesar dan
menonjol demikian rupa, sehingga gigi-gigi rahang atas dan bawah
tidak dapat saling bertemu.
2. Berbagai keadaan salah bentuk (malformation) misalnya bibir
sumbing, paralisis saraf muka.
3. Kelainan bentuj tulag belakang, yaitu berupa:
 Kifosis: lengkung tulang belakang ke arah belakang yang
abnormal; pada tuberkulosis tulang, penyakit Paget.
 Lordosis: tulang belakang ke arah depan yang abnormal; pada
tuberkulosis tulang pinggul.
 Skoliosis: lengkung tulang belakan ke arah lateral yang abnormal;
pada poliomielitis.
HABITUS
 Astenikus: bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau cekung,
angulus costae, otot-otot tak bertumbuh dengan baik.
 Atletikus: bentuk tubuh olahragawan, kepala dan dagu terangkat ke
atas, dada penuh, perut rata, lengkung tulang belakang dalam batas
normal.
 Piknikus: bentuk tubuh yang cenderung bulat, penuh dengan
penimbunan jaringan lemak subkutan.

CARA BERBARING DAN MOBILITAS


Pasien yang masih bisa memiringkan badannya tanpa kesulitan,
dikatakan sikap berbaringnya aktif, sebaliknya yang lemah, sikap
berbaring yang pasif. Mobilitas pasien yang tidak diharuskan tirah
baring, kadang ada yang gelisah contohnya pada pasien hipertiroidisme.

CARA BERJALAN
Pada beberapa penyakit tulang, sendi atau saraf, cara berjalan
dapat memberi petunjuk-petunjuk yang berharga, misalnya pasien
hemiplegia biasanya mengangkat kaki yang lumpuh dalam gerakan
setengah lingkaran sewaktu ia berjalan.
Lengan yang lumpuh biasanya dalam keadaan kaku dan sedikit
fleksi bila dibandingkan dengan yang sehat.
KEADAAN GIZI
Penilaian keadaan gizi dpat berupa normal, gemuk atau kurus.
Hal ini dinilai dengan mengukur tinggi serta berat badan. Nilai normal
berkisar ± 10% dari 90% x (tinggi badan cm-100) x 1 kg.
Untuk menentukan status gizi dapat pula dipakai indeks masa
tubuh. Indeks Masa Tubuh (IMT) dihitung dengan rumus IMT= BB(kg)
/TB2 (m2). Klasifikasi IMT (kg/m2):
BB kurang < 18,5
BB normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
 dengan resiko 23,0 – 24,9
 obes I 25,0 – 29,9
 obes II ≥ 30
Catatan: BB=berat badan, TB=tinggi badan.
Kakeksia adalah keadaan kurus yang sangat, dapat dijumpai
pada penyakit-penyakit lama dan berat, mislanya tuberkulosis,
keganasan.

ASPEK KEJIWAAN/STATUS MENTAL


Penilaian aspek kejiwaan seseoang pasien meliputi:
1. Tingkah laku:
 Wajar
 Tenang atau gelisah
 Hipoaktif atau hiperaktif
2. Alam perasaan: biasa, sedih, gembira, cemas, takut atau marah.
3. Cara proses berpikir:
 Wajar
 Cepat, lambat atau menghambat
 Adanya gangguan waham, fobia atau obsesi
Berdasarkan data di atas, pemeriksa dapat mengambil kesimpulan
tentang keadaan umum pasien, keadaan sakitnya serta keadaan gizinya.

PEMERIKSAAN NADI
Pemeriksaan nadi dilakukan dengan palpasi pada arteri radialis
kanan dan kiri didekat pergelangan tangan. Palpasi dilakukan dengan 2
atau 3 jari. Bila perlu dilakukan juga di tempat-tempat dimana arteri
berjalan di permukaan, misalnya arteri femoralis di fosa inguinalis,
arteri dorsalis pedis di dorsum pedis. Yang harus diperhatikan pada nadi
adalah:
1. Frekuensi denyut nadi per menit
 Takikardia (pulsus frequent): frekuensi nadi di atas 100 kali
permenit
 Bradikardia (pulsus rasus): frekuensi nadi di bawah 60 kali per
menit.
Sebaiknya pemeriksaan nadi dilakukan setelah orang istirahat 5-10
menit. Dalam keadaan latihan jasmani atau pada keadaan suhu
badan yang tinggi (febris) nadi menjadi cepat. Pada keadaan
hipertoni parasimpatis
Terjadi bradikardia. Keadaan dimana kenaikan suhu tidak sesuai
dengan kenaikan kecepatan nadi disebut bradikardia relatif,
misalnya pada demam tifoid.
2. Irama denyut nadi
Ditentukan teratur (regular) atau tidak teratur (iregular). Nadi di
bawah 50 kali per menit kadang-kadang disebabkan kelainan
hantaran rangsang pada jantung. Bila tidak teratur, menunjukkan
beberapa kemungkinan antara lain:
 Sinus aritmia: keadaan normal dimana pada inspirasi denyut nadi
lebih cepat daripada saat ekspirasi.
 Esktrasistolik: keadaan dimana terdapat sekali-sekali denyut nadi
yang datang lebih cepat (prematur) dan disusul dengan suatu
istirahat yang lebih panjag. Kadang-kadang denyut prematur itu
tidak teraba pada arteri radialis, teraba seolah-olah denyut nadi
terhenti sesaat.
 Fibrilasi atrial: keadaan dimana denyut nadi sama sekali tidak
teratur (tidak ada irama dasar). Dalam keadaan ini harus dihitung
denyut jantung dan dibandingkan dengan frekuensi nadi dan
biasanya frekuensi nadi lebih rendah sehingga terdapat pulsus
efisit.
 Blok atrioventrikular: keadaan dimana tidak semua rangsang
dari nodus SA diteruskan ke ventrikel sehingga saat itu ventrikel
tidak berkontraksi. Dalam keadaan ini biasanya terdapat
bradikardia.
3. Besarnya pengisian nadi
 Pulfus parvus: nadi dengan isi kecil
 Pulsus parvus: nadi dengan isi besar
Juga harus diperhatikan persamaan dengan nadi-nadi yang
berikutnya, bila tetap sama disebut ekual dan bila pengisian nadi
tidak sama disebut unekual. Harus pula dibandingkan dengan denyut
nadi kanan dan nadi kiri. Perbedaan isi denyut nadi kanan dan kiri
terdapat misalnya pada aneurisma arkus aorta pada koarktasio aorta.
4. Kualitas nadi: tergantung dari tekanan nadi.
 Pulsus celer (abrupt pulse): bila tekanan nadi (selisih antara
tekanan sistolik dan tekanan diastolik) cukup besar akan
menimbulkan
 Pulsus dartus (plateau pulse): bila selisih itu kecil akan
menimbulkan
Pada pulsus celer pengisian dan pengosongan denyut nadi teraba
mendadak, sedangkan pada pulsus tardus terjadi sebaliknya.
5. Tegangan nadi: tergantung dari kondisi arteri radialis dan tekanan
darah arteri radialis. Arteri radialis yang sklerosis dan menebal teraba
lebih keras dan kaku. Kadang-kadang juga bila tekanan darah
menjadi tinggi, arteri radialis teraba lebih tegang.

Keadaan lain nadi yang mungkin terdapat pada pemeriksaan:


 Kadang-kadang pada palpasi, segera setelah teraba puncak pulsasi

arteri radialis, teraba lagi puncak


pulsasi berikutnya. Keadaan ini disebut dicrotic pulse yang bisa
teraba pada penyakit-penyakit yang disertai demam terutama pada
demam tifoid.
 Pulsus paradoksus: keadaan nadi perifer dimana pada inspirasi
denyut nadi menjadi lemah atau hilang dan pada ekspirasi menjadi
keras lagi. Dalam keadaan normal, kadang-kadang pada inspirasi
denyut nadi menjadi lemah sedikit (disebabkan darah sebagian
terisap ke dalam rongga dada) dan kembali keras pada kahir
inspirasi (pulsus paradoxus dynamicus).
Bila denyut nadi tetap lemah dari awal sampai akhir inspirasi dan
baru kembali normal pada awal ekspirasi disebut paradoxus
mechanicus. Keadaan ini terjadi pada perikarditis adhesiva.
Pulsus paradoksus sebaiknya diperiksa dengan menggunakan
tensimeter dengan manset pada arteri brakialis.
 Pulsus alternans: keadaan dimana silih berganti adanya denyut
nadi yang kuat dan denyut nadi yang lemah. Denyut nadi yang
lemah disebabkan oleh kontraksi miokard yang memburuk dan
sampai pada arteri radialis lebih kecil dibandingkan dengan denyut
nadi yang kuat. Sebaiknya pemeriksaan pulsus alternans dilakukan
dengan tensimeter. Pulsus alternans ditemukan pada gagal
jantung, penyakit arteri koronaria, hipertensi dan takikardia
paroksismal.
 Pulsus bigeminus: keadaan nadi dimana terjadi dua denyut
berturut-turut, kemudian disusul oleh pause yang lebih lama (nadi
yang mendua). Keadaan ini terjadi pada intoksikasi digitalis.

TEKANAN DARAH

Cara mengukur:

1. Palpasi untuk mencegah salah ukur akibat menghilangnya bunyi


pada auskultasi (ausculatory gap)
2. Auskultasi (cara yang paling sering dipakai)
Lebar manset juga berpengaruh. Lebih sempit manset, lebih tinggi
ukuran tekanan darah yang didapatkan. Lebar manset untuk orang
dewasa kira-kira 12 cm. Faktor yang berpengaruh adalah posisi/ sikap
pasien (tidur, berdiri), emosi pasien, kurang istirahat dan rokok.

Teknik mengukur: Pengukuran biasanya dilakukan pada lengan


kanan. Pasien dapat berbaring atau duduk dengan tenang dan santai.
Tidak boleh ada pakaian sempit yang melingkari lengan yang akan
diperiksa. Tempat pada lengan yang diperiksa letaknya setinggi
jantung. Manset cukup dilingkarkan dengan rapat tanpa menyebabkan
nyeri pada lengan atas dalam sikap setengah abduksi ± 1,5 cm diatas
fosa antekubiti. Tekanan baru diukur selang beberapa waktu (10-15
menit). Tekanan dinaikkan sampai ±20 mmHg di atas tekanan sistolik
dugaan sambil melakukan palpasi pada arteri radialis. Cara ini selalu
digunakan lebih dahulu sebagai orientasi dan sebagai pengawasan
untuk cara berikutnya (auskultasi).
Stetoksop diletakkan pada fosa antekubiti di atas arteri brakialis dan
bunyi nadi Korotkoff terdengar pada waktu tekanan dalam manset
dengan perlahan-lahan diturunkan (dengan kecepatan 2-3 mm untuk
tiap satu denyut nadi). Yang disebut sebagai tekanan sistolik adalah
bunyi pertama yang terdengar (Korotkoff I). Yang disebut sebagai
tekanan diastolik adalah saat bunyi hilang (Korotkoff V). Pada keadaan
tertentu misalnya pada aorta insufisiensi perlu dituliskan saat bunyi
mulai lemah (Korotkoff IV) dan saat bunyi mulai menghilang
(Korotkoff V) saat bunyi menghilang.

Beda antara tekanan sistolik dan diastolik disebut tekanan nadi (pulse
pressure). Jika ditemukan hipertensi (tekanan sistolik lebih dari 160
mmHg atau diastolik lebih dari 90 mmHg), harus diukur juga tekanan
darah pada semua ekstremitas.

Tekanan darah pada tungkai bawah diukur dengan manset di bagian


distal tungkai atas dengan stetoskop di arteri poplitea. Biasanya lebih
dahulu meraba arteri femoralis atau arteri dorsalis pedis untuk
kemungkinan adanya koarktasio aorta atau tekanan/obstruksi aorta
(juga arteri iliaka, arteri femoralis) oleh aneurisma, tumor dan trombus.
Perhatikan besar pulsasi dan bandingkan pulsasi kiri dan kanan. Arteri
pada dorsum pedis juga harus dipalpasi.
KULIT

Warna

 Anemia: warna kulit yang kepucatan, karena kurang kadar


hemoglobin dalam sel darah merah. Kepucatan karena anemia yang
terlihat pada selaput lendir faring, mulut, bibir serta konjungtiva dan
kuku lebih bermakna untuk menyatakan keadaan anemia,
dibandingkan warna pucat pada kulit.
 Ikterus: warna kulit yang menjadi kuning bervariasi dari kuning
muda sampai kehijauan, disebabkan bertambahnya pigmen empedu.
Lebih mudah terlihat pada sklera atau pada selaput mukosa bibir
yang ditekan dengan gelas.
 Hiperpigmentasi: warna kulit yang kehitaman, karna bertambahnya
pigmen kulit (melanin).
 Hipopigmentasi (vitiligo): warna kulit yang berbercak keputihan
dikelilingi daerah dengan warna kulit normal atau hiperpigmentasi.
 Sianosis: warna kulit yang kebiruan akibat berkurangnya
kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Bisa dijumpai pada
penyakit-penyakit jatung, paru-paru, juga pada polisitemia.

Lesi primer pada kulit


 Makula: perubahan warna pada kulit yang jelas batasnya
(circumscribed) tanpa penonjolan atau
lekukan. Biasanya bundar atau bulat telur. Contohnya adalah rose
spot (roseolae) pada demam tifoid.
 Papula: tonjolan kecil yang jelas batasnya, tanpa cairan berukuran
mulai dari jarum pentul sampai sebesar kacang tanah.
 Vesikula: papula dengan cairan serosa di dalamnya.
 Pustula: papula dengan cairan pus di dalamnya.
 Bula: seperti vesikula dengan ukuran yang lebih besar. Misalnya
pada luka bakar.
 Nodul: tonjolan padat berbatas tegas, lebih besar dari papula kira-
kira sebesar kacang tanah, dapat diraba di bawah kulit atau menonjol
ke permukaan kulit.
 Tumor: tonjolan seperti nodul, lebih besar dalam ukurannya.

Lesi Sekunder
 Skuama: eksfolisasi epidermis/mengelupasnya epidermis, misalnya
pada psoriasis, tinea versikolor.
 Ekskoriasi: lapisan epidermis yang lecet karena trauma mekanik,
misalnya karena digaruk atau dicakar.
 Fisura: celah yang memanjang ke dalam epidermis, kadang sampai
di korium, karena luka-luka atau penyakit.
 Krusta: timbunan serum, pus atau darah yang mengering, kadang-
kadang bercampur jaringan epitel atau debris.
 Sikatriks: pembentukan jaringan ikat baru, sebagai pengganti
kerusakan jaringan korium (atau lebih dalam lagi), akibat suatu luka
atau penyakit atau bekas operasi. Jaringan parut yang berlebihan
pertumbuhannya disebut keloid.
 Ulkus: luka yang menembus epidermis korium, biasanya disertai
nekrosis, bervariasi dalam bentuk serta dalamnya luka.

Pada penyakit morbili, efloresensi mula-mula berupa makula merah


kehitaman, biasanya mulai pada dahi atau belakang telinga, kemudian
dengan cepat, menjalar ke seluruh muka, leher dan badan. Kadang-
kadang muka tampak agak bengkak. Lesi pada ekstremitas lebih nyata
di daerah ekstensor.

Perubahan Lokal
 Angioma: tumor yang terjadi dari sistem pembuluh, bila asalnya
pembuluh darah disebut hemangioma; bila asalnya pembuluh
limpa disebut; limfangioma.
 Nevi: pertumbuhan yang sifatnya kongenital, merupakan tanda
lahir.
 Spider nevi: bercak merah kecil, merupakan pembuluh-
pembuluh darah yang kecil mempunyai pusat dengan cabang-
cabangnya yang tersebar dari pusat. Biasanya dijumpai pada
penyakit hati, misalnya sirosis hati.
 Striae: garis putih kemerahan dari daerah yang atrofi, dikelilingi
oleh kulit yang normal. Dijumpai pada wanita hamil, gemuk, atau
pada sindrom Cushing Jaringan parut (sikatriks pada
eflorosensi).

 Pertumbuhan rambut : dinilai cukup tidaknya, adakah bagian-


bagian yang berlebihan atau tidak ada per- tumbuhan rambutnya
 Edema : diperiksa di daerah pretibial, pergelangan kaki dan sakral,
dengan cara menekan di atas dasar yang keras (di atas tulang, tidak
di daerah otot). Adanya lekukan ke dalam setelah penekanan,
disebut pitting edema, misalnya pada sirosis hati, gagal jantung
kanan dan sindrom nefrotik. Keadaan sebaliknya disebut non-
pitting edema, dijumpai misalnya pada miksedema
 Turgor : diperiksa dinding perut, lengan dan punggung tangan.
 Keringat : seluruh badan, setempat
 Skleroderma : gambaran kulit yang kasar, menebal, warna putih
gading. Terabanya biasanya tipis dan tegang, sehingga kadang kala
pasien sukar untuk tersenyum atau menutup mulutnya
 Atrofia : menipisnya kulit karena berkurangnya satu atau lebih
lapisan kulit. Tampaknya kulit jadi pucat, elastisitas berkurang,
pada keadaan ekstrim, kulit teraba seperti kertas.
 Emfisema subkutis : adanya udara pada jaringan subkutan,
ditandai dengan adanya krepitasi pada perabaan.
KELENJAR GETAH BENING

Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk


menentukan adanya pembesaran kelenjar getah bening di daerah
kepala, leher, supraklavikula, aksila, lipat paha. Catat besar,
konsistensi, perlekatan, atau nyeri tekan dari kelenjar getah bening yang
membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) di daerah inguinal dan
aksila harus diselidiki menyeluruh dengan meraba tempat di mana KGB
biasanya membesar. Adanya perubahan KGB menandakan pada daerah
irigasi kelenjar limfe tersebut terdapat proses infeksi atau metastasis
tumor ganas. Konsistensi KGB yang keras mencurigakan proses
karsinoma, sedang pada konsistensi sedang-keras mungkin dijumpai
pada tuberkulosis, leukemia atau infeksi menahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto,


Hendarwanto. Pemeriksaan Jasmani. Dalam: Sukaton U, editor.
Petunjuk tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani.
Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1986.h.9-24
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the pasient.
Edisi pertama. London: Butterworsh; 1994.h. 28-55.
3. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical exa

mination and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB


Lippincott; 1995.h. 123-30.
BAB IV

PEMERIKSAAN FISIS KEPALA DAN LEHER


Hendarwanto, Sarwono Waspadji, H.M.S. Markum

Umumnya pemeriksaan kepala adalah dengan inspeksi dan palpasi.

 Ekspresi wajah: menunjukkan watak dan emosi, keadaan


kesakitan.
 Simetri muka: asimetri biasa tampak pada pasien dengan paresis
N.VII.
 Warna: (lihat bahasan kulit)

Muka pada miksedema biasanya membengkak (tidak melekuk ke


dalam pada tekanan jari pemeriksa). Bibir dan lidah tampak menebal
dengan kesadaran yang somnolen. Muka pada tirotoksikosis, karena
eksoftalmus dan gerakan bola mata yang cepat, tampak seperti
ketakutarn.
Pada pasien lepra, terdapat infiltrasi jaringan subkutan pada dahi,
dagu dan pipi dengan hidung yang melebar tapi pesek. Keadaan ini
mirip muka seekor singa, karena itu disebut pula sebagai facies leonina
Nyeri tekan sinus frontalis, maksilaris: diperiksa ada/tidaknya
nyeri
Pertumbuhan Rambut

Rambut rontok di seluruh badan ataupun setempat (alopesia


areata). Dapat dijumpai pada penyakit infeksi berat (demam tifoid) atau
penyakit endokrin (diabetes melitus atau melitus, miksedema).

 Pembuluh darah temporal: Penebalan, aneurisma. Pada


auskultasi dapat terdengar bising pada aneurisma
 Nyeri tekan: Di tempat keluarnya saraf-saraf supra dan
infraorbita.
 Deformitas: Akromegali, penyakit Paget, tumor, trauma

MATA

Pemeriksaan mata biasanya dengan inspeksi, palpasi dan juga


dengan bantuan alat-alat seperti pen-light, funduskopi dan peta Snellen.
 Eksoftalmus : bola mata yang menönijol keluar, karena
fisura palpebra yang melebar ditandai dengan terlihatnya
kornea yang tampak seluruhnya dan dikelilingi sklera.
Dapat dijumpai pada tirotoksikosis trombosis sinus
kavernosus
 Enoftalmus : bola mata yang tertarik ke dalam misalnya
pada keadaan dehidrasi, sindrom Horner.
 Tekanan bola mata : Naik (glaukoma), turun (dehidrasi)
 Gerakan : strabismus (Juling) adalah keadaan di
mana kedudukan bola mata abnormal, karena sumbu bola
mata berkedudukan demikian rupa sehingga proyeksi
rangsang optik di kedua mata tidak sesuai. Strabismus
konkomitan disebabkan kerusakan saraf-saraf penggerak
mata, sedangkan strabismus paresis/paralisis disebabkan
kelumpuhan saraf-saraf penggerak mata. Strabismus
divergen adalah keadaan di mana mata cenderung melihat
ke lateral, sebaliknya dengan strabismus konvergen.
 Deviation conjuge : keadaan bola mata yang keduanya
selalu melihat ke satu jurusan dan tidak dapat dilirikkan ke
arah yang lain, secara pasif ataupun dengan kemauan sendiri
 Nistagmus : gerakan bola mata yang berjalan secara ritmis,
mula-mula dengan lambat bergerak ke satu arah, kemudian
dengan cepat kembali ke arah posisi semula. Keadaan ini
dihubungkan dengan gangguan susunan vestibular.
 Nistagmus yang tidak ritmis (pendular), adalah
nistagmus tanpa komponen gerak cepat atau lambat.
Biasanya didapatkan pada orang yang hampir buta atau buta
seluruhnya.

Kelopak
 Ptosis: kelopak mata tampak jatuh, fissura palpebrae
menyempit. Terlihat seperti bengkak muka pada penyakit
ginjal. Terjadi karena kelumpuhan m.levator palpebrae yang
disarafi saraf otak III.
Xantelasma : bercak kekuningan pada kulit kelopak Dihubungkan
dengan peninggian kadar antelasıma: bercak kekuningan pada kulit kel
lemak dalam darah.
 Blefaritis : radang pada kelopak mata
 Edema : kelopak mata membengkak, kada kadang mata hampir
tertutup.
 Perdarahan : akibat trauma dan sebagainya

Pupil : diperiksa bentuk dan lebarnya,


 Isokor : kedua pupil sama besar dan bentuknya =
 Miosis : pupil yang mengecil, kadang-kadang amat kecil
(pinpoint), dijumpai misalnya pada intoksikasi morfin
 Midriasis : pupil yang dilatasi misalnya pada kerusakan saraf
otak III .
Refleks pupil terhadap cahaya diperiksa dengan meminta pasien
melihat obyek yang jauh, kemudian diberi rangsangan cahaya

Konjungtivita
 Pinguekula: bercak putih kekuningan, terdiri atas jaringan ikat,
berjalan pada kedua sisi kornea. Biasanya pada hiperlipidemia
 Fliten : nodul kecil, banyak satu atau lebih, warna abu agak
kuning, pada beberapa bagian konjungtiva dan kornea
 Bercak Bitot : bercak segitiga pada kedua sisi kornea. warna
pucat keabu-abuan, berisi epitel yang kasar dan kering kadang-
kadang juga mikroor ganisme. Didapatkan pada avitaminosis A.
 Radang : ditandai dengan adanya warna merah mengeluarkan
air mata dan kadang-kadang sekret mukopurulen.
 Anemia : warna pucat, kadang-kadang amat pucat pada anemia
berat.

Kornea:
 Xeroftalmia : keadaan lanjut akibat avitaminosis A. Kornea
menjadi kering, kesannya menjadi lunak.
 Arkus (anulus) : garis lengkung putih keabu-abuan yang
melingkari kornea. Biasanya terdapat pada usia tua (arkus
senilis)
 Ulkus : terdapat perselubungan seperti awan disertai tanda-tanda
radang. Pasien biasanya mengeluh silau (foto fobia), bila melihat
cahaya terang.

Lensa :
 Kátarak : lensa yang keruh seperti awan, Dijumpai pada orang
tua dan pasien diabetes melitus
 Sklera: diperiksa ikterus tidaknya.

Fundus : retinopati (pada diabetes, hipertensi), edema papil atau


hemoragi. Ketiga
hal ini hanya dapat ditentukan dengan funduskopi.

Visus: Pemeriksaan dibantu dengan peta Snellen (Snelllen chart)


 Emetrop : penglihatan sempurna, proyeksi bayangan dari benda
yang dilihat, jatuh tepat di retina.
 Hipermetrop/mata jauh : gangguan penglihatan
di mana proyeksi bayangan jatuh di belakang retina

 Miop/mata dekat: gangguan penglihatan di mana retina proyeksi


bayangan jatuh depan retina
 Presbiop : gangguan penglihatan karena menurunya daya
akomodasi, sehingga bayangan jatuh di belakang retina
 Buta warna : ketidakmampuan mengenali satu atau beberapa
warna. Biasanya familial. Pemeriksaan dengan melihat buku
khusus berwarna (tes Ishihara)

Lapangan penglihatan :
 Hemianopsia : penyempitan lapangan penglihatan Misalnya
tidak bisa melihat separuh bagian sebelah kanan lapangan
penglihatan, disebut hemianopsia homonim
 Skotoma : daerah yang tidak dapat dilihat pada lapangan
penglihatan

TELINGA

Pemeriksaan telinga dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan


bantuan alat.
 Daun telinga: defomitas, tanda radang, atrofi.
 Tofi: benjolan keras, satu atau lebih, merupakan timbunan
Na-biurat pada rawan telinga. Dijumpai pada pasien Gout.
 Liang telinga: serumen, sekret, atau deskuamasi.
 Selaput/gendang telinga: utuh/tidalk
Nyeri tekan di prosesus mastoideus merupakán tanda
mastoiditis.
 Pendengaran: biasanya uji pendengaran dilakukan dengan
berbicara keras dan berbisik, dengan garpu penala, detak
arloji, atau audiometer. Normalnya detak jam masih
terdengar pada jarak baik kira-kira 12,5-37,5 cm.

Bila ada keluhan tuli pada pasien, harus dibedakan ketulian akibat
gangguan hantaran atau ketulian akibat gangguan saraf. Cara
pemeriksaan memakai garpu tala (uji penala) dengan frekuensi 512 Hz
atau 1024 Hz.

Tes Rinne

Tujuan: mengetahui ketulian akibat gangguan saraf atau


gangguan hantaran suara tulang dengan membandingkan hantaran
suara melalui tulang.
Cara: setelah garpu penala dibunyikan secara ringan,
ditempatkan alas alat tersebut di
prosesus mastoideus sampai
pasien tidak lagi mendengar
suaranya. Kemudian cepat pindah
garpu penala tersebut dekat
dengan liang telinga. Pastikan
apakah pasien masih dapat mendengarnya.

Dalam keadaan normal dan ketulian akibat gangguan saraf bunyi


melalui udara terdengar lebih lama dibandingkan melalui tulang.
Tes Weber

Tujuan : mengetahui ketulian akibat gangguan saraf atau gangguan


hantaran tulang dengan prinsip hantaran suara yang ditimbulkan tepat
di tengah-tengah dahi atau ubun kepala akan disalurkan sama kuatnya
ke kedua telinga (lateralisasi).

Cara: lętakkan garpu penala setelah dibunyikan secara ringan pada


puncak kepala atau tengah-tengah dahi. Tanyakan apakah pasien dapat
mendengar pada kedua sisi telinganya.

Dalam keadaan normal, suara dapat terdengar sama kuatnya di


kedua telinga. Pada ketulian karena gangguan konduksi suara di-
'lateralisasi-kan (terdengar) di telinga yang tuli saja. Pada ketulian
karena gangguan saraf suara terdcngar di telinga yang sehat.

Gambar 4.2. Tes Weber


HIDUNG

Pemeriksaan hidung dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan bantuan


alat

 Bagian luar: tulang rusak karena lues (saddle nose) kusta, atau
lupus
 Septum : adakah terdapat deviasi
 Selaput lendir: adakah penyumbatan, perdarahan, atau ingus
dalam lubang hidung

MULUT DAN TENGGOROK

Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi, mencium bau napas, dan


dengan bantuan alat (spatula lidah).
 Bibir: Pucat, sianosis, fisura
- Keilitis : tanda-tanda radang pada bibir.
- Herpes : lesi dapat ditemukan pula di hidung, dagu, dan
pipi. Biasanya berupa vesikula sebesar jarum pentul, yang
akan kering dalam beberapa jam dan meninggalkan krusta
 Selaput lendir :
- Stomatitis : akibal infeksi
- Afte : lesi kecil-ke (1-10 mm) pada selaput lendir, mula-
mula sebagai vesikel kemudian timbul infcksi sekunder,
membentuk ulkus yang dankal
- Leukoplakia: bercak keputihan akibat epitel yang
menebal dengan fisura dan likenifikisi.
 Gigi geligi: jumlah, macam karies, dan abses alveoli
Lidah: diperiksa adakah berselaput (demam tifoid), bergetar (tremor),
basah atau kering (dehidrasi), papil jelas atrofi. Diperiksa pula adakah
fisura, deviasi leukoplakia, glositis, kanula (kista kelenjar kelenjar
mukosa yang tertutup, terjadi di dasar mulut, dekat frenulum lidah)

 Langit-langit:
- Palatoskisis: celah pada garis tengah akibat kegagalan
prosesus palatum untuk saling bersatu, karenanya terdapat
hubungan yang abnormal antara hidung dengan rongga
mulut.
- Torus palatinus: benjolan pada garis tengah kadang-
kadang bisa membesar seperti tumor.
 Bau pernapasan :
- Aseton: pada keadaan diabetes melitus ketoasidosis,
kelaparan (starvation)
- Amoniak: biasanya pada koma uremikum.
- Gangren: berbau makanan yang busuk, di- jumpai
misalnya pada abses paru
- Foetor hepatik: pada keadaan koma hepatik.

LEHER
Pemeriksaan leher berorientasi beberapa hal:
 M. Sternokleidomastoideus
 Trakea
 Manubrium sterni
 organ-organ arteri/vena/kelenjar yang terdapat sekitar leher,
seperti arteri karotis, vena jugularis,
kelenjar tiroid, dan kelenjar parotis.

Pada inspeksi leher tentukan adakah :

 Asimetri karena pembengkakan. Pembengkakan dapat


disebabkan aneurisma arteri karotis, pem bengkakan terdapat
pada satu sisi dan dapat diraba pulsasi arteri pada daerah tersebut.
 Pulsasi yang abnormal. Bendungan vena, bila terdapat
bendungan aliran darah ke vena torakalis; vena-vena jugularis
akan tampak mcnonjol. Hal ini tampak misalnya pada tumor
intratorakal (sindrom vena jugularis), gagal jantung kanan.
 Terbatasnya gerakan leher yang dapat disebabkan adanya
pembengkakan leher. Kekakuan pada leher, misalnya kaku
kuduk pada meningitis, tetanus.
 Tumor misalnya pada limfoma (biasanya unilateral), tumor kista
brakialis, pembesaran kelenjar tiroid
 Tortikolis : pada keadaan ini leher miring pada arah yang sakit
dan sukar digerakkan karena rasa nyeri. Misalnya pada infeksi
m. sternokleidomastoideus atau m.trapezius, tuberkulosis
vertebra servikali
 Kelenjar limfe: pembesaran kelenjar limfe dapat dijumpai pada
tuberkulosis kelenjar, leukemia, limfoma malignum. Bila
didapati, dituliskan besarnya, konsistensi, serta nyeri tekan.
Mungkin pula didapati fistula.
 Kelenjar tiroid (struma): dinyatakan besar dan bentuknya
(normal, difusa, nodular), konsistensi (kenyal, keras, kista), dan
ada tidaknya bising auskultasi
Cara memeriksa pasien dengan kelainan kelenjar tiroid ialah dengan
inspeksi kemudían dilakukan palpasi. Pasien membelakangi pemeriksa,
kemudian dengan kedua tangan pemeriksa dari arah belakang meraba
kelenjar tiroid. Pasien juga disuruh menelan ludahnya, agar pada saat
menelan tersebut dapat dinilai apakah benjolan yang terdapat akan
bergerak dengan pernapasan.

Auskultasi dilakukan pada tiroid yang membesar, untuk


mengetahui adakah bruits pada kelenjar tiroid tersebut, yang
cenderung untuk suatu keadaan vaskularisasi yang bertambah
misalnya pada suatu keganasan, tirotoksikosis. Auskultasi
dilakukan dari arah depan
 Trakea: diperiksa letaknya (terdorong, tertarik).
PENGUKURAN TEKANAN VENA JUGULARIS

Pemeriksaan dilakukan pada vena jugularis eksterna kanan


karena ia merupakan hubungan (sambungan) langsung dari vena kava
superior. Pada gagal jantung kanan, bendungan di ventrikel kanan
diteruskan ke atrium kanan dan vena kava superior sehingga tekanan
vena laris meninggi. Pada gagal jantung kiri, bendungan ventrikel kiri
diteruskan ke atrium kiri dan vena pulmonalis dan kemudian
tertampung dalam paru.
Cara pengukuran tekanan vena jugularis adalah dengan cara
langsung dan tidak langsung

Cara Langsung
Titik-titik pengukuran:

 Titik acuan adalah bidang horizontal melalui tempat sambungan


iga ke-2 dengan sternum
 Titik nol adalah tempat di mana tekanan sama dengan nol, yaitu
setinggi tengah-tengah atrium kanan
 Jarak titik acuan-titik nol pada orang dewasa adalah 5 cm (R).
Jarak ini konstan

Teknik Pengukuran: Pasien berbaring dengan lengan diletakkan 5 cm


di bawah titik acuan (jadi setinggi atrium kanan). Jarum dimasukkan
dalam vena brakialis dani dihubungkan dengan manometer air.
Tekanan dibaca pada manometer
Cara tidak langsung

Menurut Lewis Borst, sebagai pengganti manometer dipakai vena


jugularis. Pasien berbaring dan leher harus lemas. Tentukan vena
jugularis eksterna kanan. Vena tidak boleh dikosongkan dengan
mengurutnya. Vena ditekan 1 jari mula-mula di sebelah bawah
(proksimal) dekat klavikula disebelah atas (distal) dekat mandibula
dengan jari lain, kemudian tekanan oleh jari pertama dilepaskan. Lihat
sampai di mana vena terisi waktu inspirasi biasa. tingginya diukur dari
titik acuan.
Misalnya pada pemeriksaan tekanan vena 2 cm lebih dari titik
acuan. Karena jarak titik acuan-titik nol sama dengan R (atau 5 cm),
maka tekanan vena adalah R + 2 cm H,O atau 5+ 2 cm H,O. Lebih baik
tidak ditulis 7 cmH,O untuk memperlihatkan jarak R adalah 5 cmH,O.
Tekanan vena normal menurut cara ini: 3 cm H2O
Letak kepala atau posisi leher pasien harus sedemikian rupa
sehingga vena jugularis terisi sampai kira-kira di pertengahan
mandibula dan klavikula.
Jika pada gagal jantung kanan hebat dengan vena jugularis yang
terisi penuh sampai mandibula, pasien harus ditinggikan letak
kepalanya. Harus dingat pula bahwa kepala dan leher pasien selalu
dalam keadaan lemas.
Pada keadaan normal dengan tekanan vena normal, kadang-
kadang kepala harus diturunkan agar vena dapat terisi sampai kira-kira
di pertengahan leher. Peninggian dan penurunan letak kepala pasien
tidak akan mengubah
tekanan vena oleh karena jarak R merupakan jari-jari konstan suatu bola
dengan pusat atrium kanan sebagai titik pusatnya.

Pengukuran tekanan vena di leher (cara tidak langsung tidak


dapat dipercaya pada anak-anak karena leher terlalu pendek atau pada
pasien dengan struma mungkin menekan vena jugularis. Tekanan vena
meninggi pada gagal jantung kanan, perikarditis eksudativa dengan
tamponade jantung, atau perikarditis konstriktiva.

Bendungan vena kava superior dapat diketahui dan diukur di


vena jugularis dengan cara Lewis Borst (pengukuran tekanan vena).
Bendungan di vena pulmo- nalis (gagal jantung kiri) tidak dapat diukur
dengan cara Lewis Borst atau dengan cara langsung (menggunakan
manometer air pada vena brakialis), tetapi harus menggunakan
penyadapan jantung kanan (dengan mengguna- kan kateter Swan-
Ganz)
DAFTAR PUSTAKA

1. Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto,


Hendarwanto. Pemeriksaan Jasmani. Dalam: Sukaton U, editor.
Petunjuk tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani.
Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1986.h.9-24
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the pasient.
Edisi pertama. London: Butterworsh; 1994.h. 28-55.
3. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical exa
mination and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB
Lippincott; 1995.h. 123-30.
BAB V

PEMERIKSAAN FISIS JANTUNG


Daulat Manurung, Nurhay Abdurahman

Sebelum memulai melakukan pemeriksaan fisis jantung, terlebih


dahulu pemeriksa sudah dapat memperkirakan/membayangkan
proyeksi posisi jantung ke dinding toraks depan. Sebagian besar jantung
(+ 2/3 bagian) terletak pada sebelah kiri sternum, dan hanya 1/3 terletak
di sebelah kanan sternum. Sebagian besar permukaan depan (anterior)
jantung terdiri atas ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang
berdekatan langsung dengan dinding toraks depan. Sedangkan ventrikel
kiri yang terletak di kiri dan belakang ventrikel kanan hanya menempati
sebagian kecil permukaan jantung anterior, tetapi bagian ini sangat
penting, karena bagian depan ventrikel kiri inilah yang menimbulkan
impuls apeks, merupakan denyut sistolik yang singkat, yang terdapat di
sela iga kelima sedikit medial dari garis midklavikula kiri, atau kira-
kira 7-9 cm dari garis midsternal.
Sisi kanan jantung berasal dari atrium kanan, sedang kan atrium
kiri berada di bagian posterior, dan tidak dapat dideteksi secara
langsung.
Bagian atas jantung terdiri dari beberapa pembuluh darah besar
aorta dan arteri pulmonalis.
Saat akan melakukan pemeriksaan fisis jantung, pemeriksa juga sudah
dapat membayangkan aliran darah di dalam kcempat rongga jantung,
kapan membuka, dan menutupnya katup katup jantung tersebut.
Pemeriksaan fisis pada jantung dilakukan dengan inspeksi.palpasi,
perkusi,dan auskultasi.

INSPEKSI JANTUNG

1. Bentuk dada:

Pada orang dewasa normal perbandingan diameter transversal


terhadap diameter anteroposterior adalah kurang lebih (2:1) dan
simetris.
Bentuk abnormal dada akibat kelainan jantung (lihat Subbab Inspeksi
Paru).

Voussure cardiaque (pektus carinatum): Penonjolan setempat


yang lebar di daerah prekordium, di antara sternum dan apeks
kordis. Kadang-kadang memperlihatkan pulsasi jantung.

2. Pulasi
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, seringkali tampak
dengan mudah pulsasi yang disebut iktus kordis pada ruang sela
iga 5, biasanya tampak di sela iga sedikit sebelah medial garis
midklavikula kiri, sesuai dengan letak apeks kordis. Daerah pulsasi
mempunyai diameter ± 2 cm, dengan punctum maximum di
tengah-tengah daerah tersebut.
Pulsasi terjadi kurang lebih bersamaan dengan denyut sistolik
pada arteri karotis yang dapat diraba di bagian bawah leher. Iktus
kordis terjadi karena kontraksi ventrikel pada waktu sistolik yang
disertai putaran ke arah depan dan sedikit medial. Jika iktus kordis
tersebut letaknya menggeser ke kiri dan tampaknya lebih melebar,
maka dapat diduga adanya pembesaran ventrikel kiri ke lateral.
Bila pada iktus kordis, saat sistolik terjadi retraksi ke dalam dan
pada waktu diastolik terjadi pulsasi ke luar, maka keadaan ini
disebut iktus kordis negatif, terjadi pada pericarditis adhesiva.
Kadang-kadang di bagian lain daerah prekordial pada orang yang
kurus terlihat retraksi sistolik yaitu terdapat retraksi
sela iga yang sesuai dengan sistolik jantung. Keadaan ini disebabkan
letak jantung yang sangat berdekatan dengan dinding toraks, sehingga
pada sistolik ventrikel kanan menguncup sambil mengadakan putaran
ke dalam. Hal ini akan menarik sebagian dinding toraks di daerah
prekordium.
Bila terdapat pelebaran aorta torakalis dalam rongga dada
(aneurisma aorta) maka akan tampak pulsasi di bagian lain dinding
toraks yang biasanya terdapat di kiri atau kanan bagian atas sternum.
Kadang-kadang tampak juga adanya pulsasi di manubrium
sterni. Pulsasi yang kuat di daerah sela iga 3 kiri dapat disebabkan oleh
dilatasi arteri pulmonalis, misalnya pada ductus botalli persistent atau
aneurisma arteri pulmonalis. Adanya pulsasi yang kuat di daerah lekuk
suprasternum mungkin disebabkan kuatnya denyut aorta atau meninggi
tekanan nadi dalamnya aorta. Pada keadaan hipertrofi ventrikel kanan,
tampak pulsasi yang kuat pada sela iga 4 di garis sternum atau di daerah
epigastrium.
Tanda Broadbent menggambarkan adanya retraksi sistolik
pada beberapa sela iga terbawah dan dapat dilihat di bagian samping
dan belakang dinding toraks sampai sekitar sela iga 11 pada garis
aksilaris posterior dan kadang-kadang disertai oleh retraksi sistolik dari
ujung sternum. Keadaan ini terdapat pada perikarditis adhesiva di mana
terjadi perlekatan perikarditis dengan jaringan sekitarnya. Hal yang
sama terlihat juga pada hipertrofi jantung tanpa perlekatan.
Pada stenosis ismus aorta, terdapat peninggian tekanan
darah dalam arteri interkostalis, sehingga terjadi pelebaran dari arteri-
arteri tersebut, dan kadang-kadang dapat dilihat pulsasi arteri
interkostalis pada dinding toraks, terutama dapat terlihat di daerah
punggung. Keadaan ini dapat juga terjadi pada koarktasio yang berat,
di mana terlihat juga adanya pulsasi pada leher bawah dekat skapula.

PALPASI JANTUNG

Palpasi dapat dilakukan dengan meletakkan seluruh telapak tangan


pada dinding toraks dengan tekanan yang lembut. Hal-hal yang
ditemukan pada inspeksi selanjutnya dikonfirmasikan/ diperjelas
dengan cara palpasi. Kadang-kadang iktus kordis atau pulsasi-pulsasi
pada dinding toraks yang tidak ditemukan pada inspeksi, dapat
ditemukan secara palpasi dan dengan demikian akan lebih jelas
lokalisasi punctum maximum pulsasi tersebut, (tertutama bila daerah
pulsasi-pulsasi, dengan palpasi harus pula dapat ditetapkan kuat angkat,
luas serta frekuensi dan kualitas dari pulsasi yang teraba).
Pulsasi ada yang bersifat menggelombang di bawah telapak tangan
disebut ventricular heaving. Biasanya daerah pulsasi pada keadaan ini
lebar dan terdapat pada keadaan beban diastolik (diastolic overload),
misalnya pada insufisiensi mitral dapat diraba di daerah ventrikel kiri.
Contoh lain ialah pada aneurisma ventrikel.
Pulsasi ada pula yang lebar dan bersifat pukulan-
pukulan serentak disebut ventricular lift, keadaan ini terjadi pada beban
sistolik ventrikel kanan (misalnya pada stenosis mitral dengan
hipertensi pulmonal, teraba di daerah ventrikel kanan). Bagian paling
lateral dari iktus kordis dapat dianggap sebagai batas jantung kiri secara
kasar.
Dengan palpasi dapat pula ditentukan gesekan perikardial
(pericardial friction rub) di daerah prekordium, yang teraba sebagai
gesekan atau fremitus yang sinkron dengan denyut jantung, dan tidak
berubah menurut pernapasan. Keadaan ini terdapat pada perikarditis
fibrinosa di mana terjadi geseran-geseran perikardium viseral dan
parietal yang masing-masing permukaannya menjadi kasar. Kalau di
antara kedua perikardial tersebut terdapat cairan, maka geseran
perikardial menghilang.
Pada palpasi mungkin juga diraba adanya vibrasi di samping
pulsasi, yang disebut sebagai getaran (thrill). Getaran tersebut
seringkali terdapat pada kelainan katup yang menyebabkan adanya
aliran turbulen yang kasar dalam jantung atau dalam pembuluh-
pembuluh darah besar, dan biasanya sesuai dengan adanya bising
jantung yang kuat pada tempat yang sama. Dalam hal ini harus
ditentukan kapan getaran itu terjadi (sistolik atau diastolik).
Lokalisasi harus pula ditetapkan, misalnya getaran sistolik di basal
yang terjadi pada stenosis aorta dan lain-lainnya. Kadang-kadang
terdapat getaran sistolik di apeks pada insufisiensi mitral.
PERKUSI JANTUNG

Perkusi jantung dimaksudkan terutama untuk menentukan besar


dan bentuk jantung secara kasar. Perkusi sebaiknya dilakukan dengan
melekatkan jari tengah tangan kiri sebagai pleksimeter (landasan) pada
dinding toraks, letaknya tegak lurus pada arah jalannya perkusi dari
lateral ke medial menuju daerah prekordial dan jari tengah kanan
sebagai palu perkusi dengan gerakan-gerakan yang cukup luwes pada
sendi pergelangan tangan kanan. Kadang-kadang perkusi dilakukan
sepanjang ruang sela iga dengan landasan sejajar dengan ruang sela iga
dari lateral ke medial. Ini dikerjakan misalnya pada orang kurus dengan
sela iga cekung. Ketukan diatur dan tidak boleh terlalu keras. Kekuatan
ketukan harus tetap sehingga dapat membedakan perubahan bunyi
ketukan, umpamanya dari suara sonor menjadi redup. Perubahan bunyi
ketukan tersbut diambil sebagai batas-batas jantung. Dengan cara ini
dapat di tentukan daerah redup jantung. Kalau perkusi diteruskan sesuai
arahnya semula, maka bunyi redup berubah menjadi pekak, sehingga
dapat ditentukan daerah prekordial dengan pekak jantung. Secara
praktis hal ini tak banyak dipergunakan kecuali pada emfisema paru di
mana pekak jantung akan menghilang. Tempat ketukan pada landasan
sebaiknya tepat di atas proksimal dari pangkal kuku jari tengah tangan
kiri (pada falang I).
Pada dasarnya untuk menentukan besar dan bentuk jantung, perkusi
dapat dilakukan dari semua arah
mendekati letak jantung. Batas-batas sisi kanan dan kiri dengan perkusi
dari arah lateral ke medial, batas atas dengan perkusi dari atas ke bawah
atau dari lateral atas ke medial bawah. Namun agar ada patokan-
patokan tertentu yang menjadi proyeksi jantung pada dinding toraks,
maka setiap melakukan perkusi jantung dibuat suatu kesepakatan
sebagai berikut:
1. Untuk menentukan batas jantung kanan, ditentukan lebih dulu
batas paru hati pada garis midklavikula kanan (lihat Bab
Pemeriksaan Fisis Paru), kemudian ± 2 jari di atas tempat tersebut
dilakukan perkusi lagi ke arah sternum sampai terdengar perubahan
suara sonor menjadi redup. Perubahan yang normal terjadi pada
tempat di antara garis midsternum dan sternum kanan. Bila batas ini
terdapat di sebelah kanan garis sternum kanan, mungkin sekali hal
ini disebabkan pembesaran ventrikel kanan atau atrium kanan.
2. Untuk mendapatkan batas jantung kiri, ditentukan lebih dulu batas
bawah paru kiri pada garis aksilaris anterior kiri (lihat Bab
Pemeriksaan Fisis Paru), kemuadian ± 2 jari diatasnya dilakukan
perkusi ke arah sternum sampai terdengar perubahan bunyi ketukan
dari sonor menjadi redup. Normal terdapat di tempat sedikit sebelah
medial dari garis midklavikula kiri. Bila batas ini ada di sebelah kiri
garis midklavikula, mungkin sekali ada pembesaran ventrikel kiri.
Bila ternyata batas paru sebelah kiri sukar ditentukan, dapat
dilakukan perkusi dari
Gambar 5.2. Daerah Redup Jantung, Daerah Pekak Jantung, dan
Daerah Pekak Hati

lateral kiri ke arah sternum setinggi tempat perkusi pada waktu


menentukan batas kanan jantung (± 2 jari di atas batas paru-hati)
3. Untuk menggambarkan pinggang jantung dilakukan perkusi dari
arah atas ke bawah pada garis parasternum kiri. Batas normal
terdapat pada ruang sela iga 3 kiri. Bila letaknya lebih ke atas,
mungkin karena adanya pembesaran atrium kiri (misalnya pada
stenosis mitral).
Ketiga tempat yang didapatkan dengan cara perkusi tersebut dapat
dijadikan titik-titik untuk menentukan keadaan jantung, dan merupakan
batas jantung relatif. Bila perkusi diteruskan menurut arah seperti pada
cara-cara
di atas, maka suara redup akan berubah menjadi pekak atau pekak
absolut jantung, yaitu bagian jantung yang langsung berhubngan
dengan dinding toraks.
Menghilangnya atau mengecilnya daerah pekak absolut jantung
tersebut adalah tanda dari emfisema paru dan melebarnya daerah ini
adalah tanda pembesaran jantung. Ketiga titik pemeriksaan di atas,
merupakan titik yang mutlak harus diperiksa setiap melakukan perkusi
jantung.
Setelah mendapatkan batas jantung dari ketiga titik tadi, lebih
lanjut dapat ditentukan konfigurasi atau kontur jantung dengan
melakukan perkusi dari lateral kanan, lateral kiri dan arah kranial
menuju ke jantung. Biasanya perkusi dilakukan pada semua sela iga dan
di atas iga, dengan jari plessimeter sejajar dengan sela iga, sehingga
didapat banyak titik yang merupakan batas perubahan suara perkusi dari
sonor ke redup. Titik-titik ini bila dihubungkan akan membentuk
konfigurasi jantung. Kita juga, bisa melakukan perkusi dengan arah
yang tidak sejajar dengan sela iga, tapi dapat dilakukan dari segala arah
(sejajar atau miring terhadap sela iga).
Setelah batas-batas dan konfigurasi ditentukan,harus pula
dilakukan perkusi terhadap pembuluh darah besar di bagian basal
jantung. Perkusi dilakukan setinggi ruang sela iga 2 dari lateral ke
medial menuju manubrium sterni, di antara garis sternum kiri dan
kanan. Pada keadaan normal terdengar suara redup. Bila daerah redup
ini melebar mungkin sekali disebabkan adanya aneurisma aorta atau
kelainan-kelainan di dalam mediastinum
bagian atas. Adanya aneurisma aorta dapat pula disokong dengan
adanya tracheal-tug yaitu tarikan-tarikan yang teraba sesuai dengan
sistolik dengan sedikit dorongan ke atas pada tulang krikoid, yang
tampak lebih jelas pada sikap duduk atau berdiri tengadah. Tempat-
tempat perkusi lain yang harus diperhatikan tampak pada gambar
5.2.
Perkusi pada ruang sela iga 3 dan 4 dari sebelah kanan menuju
sternum untuk menentukan pembesaran atrium kanan. Normal suara
redup mulai pada garis sternum kanan. Perkusi pada ruang sela iga 5
kiri untuk menentukan batas luar apeks kordis. Normal suara redup
mulai terdapat pada jarak 7-9 cm dari garis mid-sternum. Biasanya hal
ini terdapat pada ± 1,5 cm, sebelah kiri iktus kordis, dipakai untuk
mendapat gambaran kasar tentang besarnya ventrikel kiri.

AUSKULTASI JANTUNG

Auskultasi merupakan bagian pemeriksaan fisis jantung yang


sangat penting. Jantung sebagai organ tubuh yang selalu berkontraksi
untuk memompakan darah akan menghasilkan bunyi, yang bisa kita
deteksi dengan stetoskop. Dalam keadaan normal kita dapat
membedakan bunyi jantung I dan bunyi jantung II, bahkan bunyi
jantung III dan IV. Apabila ada kelainan struktural jantung, misalnya,
kelainan katup jantung atau sekat jantung (septum interatrial atau
septum interventrikular), maka akan timbul turbulensi aliran darah
intrakardiak, yang dapat menimbulkan suara tambahan/ bunyi jantung
abnormal (kardiak murmur).
Adanya thrill pada saat pemeriksaan palpasi, bisa diperjelas
dengan ditemukannya murmur atau bising jantung pada pemeriksaan
auskultasi.
Posisi pasien adalah posisi tidur terlentang dengan kepala
ditinggikan dengan membentuk sudut 300. Posisi lain adalah lateral kiri
dekubitus, bertujuan untuk memperjelas palpasi apeks, atau untuk
memperjelas auskultasi apeks. Posisi duduk sambil menunduk dan
ekspirasi maksimal untuk memperjelas insufisiensi aorta. Untuk
memperjelas bunyi jantung saat auskultasi, pasien diminta untuk
menahan napas sebentar, yang bertujuan mencegah interferensi antara
bunyi jantung dengan bunyi napas. Posisi pemeriksa adalah di sebelah
kanan pasien.
Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan memakai stetostokop.
Ada 2 macam stetoskop.
1. Stetostokop yang berbentuk sungkup (open bell type), digunakan
terutama untuk mendengar bunyi-bunyi dengan nada rendah (low
pitched). Kulit dinding toraks berfungsi sebagai diafragma pada
sungkup stetoskop. Makin keras ujung stetoskop (chest piece)
ditekankan pada dinding toraks makin tegang kulit di tempat itu.
Dengan cara demikian bunyi dengan nada yang agak lebih tinggi
akan lebih jelas terdengarnya, dan bunyi dengan nada rendah akan
lebih pelan.
2. Stetoskop berbentuk piring yang ditutupi dengan membran
sebagai diafragma (bowl type) digunakan terutama untuk
mendengar bunyi-bunyi dengan
nada tinggi. Membran berfungsi sebagai filter; dengan mengurangi
intensitas bunyi-bunyi bernada rendah, sehingga bunyi-bunyi dengan
nada tinggi (high pitch) akan lebih jelas terdengar.

BUNYI JANTUNG

Beberapa hal pada bunyi jantung (BJ) yang harus diperhatikan adalah:
 Lokalisasi dan asal bunyi jantung
 Menentukan BJ I dan BJ II
 Ada tidaknya BJ III dan BJ IV
 Intensitas dan kualitas bunyi
 Irama dan prekuensi BJ
 Bunyi-bunyi jantung yang lain yang menyertai BJ utama
(unusual heart sound).

Lokalisasi
Tempat auskultasi bunyi jantung (cara konvensional):
1. Pada iktus kordis untuk bunyi jantung 1 yang berasal dari katup
mitral.
2. Pada ruang sela iga 2 di tepi kiri sternum untuk BJ yang berasal
dari katup pulmonal.
3. Pada ruang sela iga 2 di tepi kanan sternum untuk BJ yang berasal
dari katup aorta.
4. Pada ruang sela iga 4 dan 5 di tepi kanan dan kiri sternum atau
pada bagian ujung sternum, untuk mendengar bunyi jantung yang
berasal dari katup trikuspidal.
Gambar 5.3. Daerah Katup Jantung

Gambar 5.4. Titik-titik Auskultasi Jantung

Haruslah diingat bahwa tempat-tempat auskultasi tersebut


tidaklah bertepatan dengan letak anatomis katup-katup yang
bersangkutan, tetapi pada keadaan normal hampir selalu merupakan
tempat-tempat di mana bunyi
jantung itu terdengar paling jelas. Keempat lokasi di atas,
merupakan lokasi-lokasi yang mutlak harus diperiksa setiap
pemeriksaan auskultasi jantung, di samping area jantung secara
keseluruhan, bahkan kalau perlu ke daerah aksila kiri dan skapula kiri.

Bunyi Jantung I dan II

Pemeriksa harus dapat membedakan antara bunyi jantung I (BJ I)


dan bunyi jantung II (BJ II).
 BJ I – bunyi sistolik: Katup mitral dan katup trikuspid tertutup
secara serentak, pada saat yang bersamaan katup aorta dan
pulmonal terbuka secara serentak dan ini semuanya membentuk
bunyi jantung pertama atau bunyi sistolik.
 BJ II – bunyi diastolik: Sebaliknya katup aorta dan katup pulmonal
menutup secara serentak, dan pada saat yang bersamaan katup
mitral dan katup tricuspid terbuka secara serentak, dan ini
membentuk bunyi jantung kedua atau bunyi diastolik.

Fase sistolik adalah fase antara bunyi jantung pertama dan bunyi
jantung kedua, di mana terjadi pemompaan

Gambar 5.5. Fase Sistolik dan Diastolik


aliran darah dari kedua ventrikular ke seluruh tubuh dan paru.
Sedangkan fase diastolik adalah fase dari bunyi jantung dua ke bunyi
jantung pertama, di mana terjadi pengisian kedua ventrikel dari kedua
atrium. Harus di ingat, fase diastolik lebih panjang dari fase sistolik,
dan bunyi jantung pertama terdengar bertepatan dengan terabanya
pulsasi nadi pada arteri karotis.

Bunyi Jantung III dan IV

Bunyi jantung III dengan intensitas rendah kadang-kadang dapat


terdengar pada orang dewasa muda, dalam keadaan normal BJ III
terdengar kurang lebih 0,015-0,017 detik sesudah BJ II. Bunyi jantung
I, BJ II bersama-sama BJ III memberi suara derap kuda, disebut juga
gallop rhythm.
Bila BJ III terdapat pada orang tua dengan intensitas keras, maka
keadaan ini hampir selalu menunjukkan keadaan jantung memburuk,
bunyi disebut protodiastolic gallop. Protodiastolic gallop yang
terdengar di apeks menunjukkan perubahan-perubahan pada ventrikel
kiri (pada gagal jantung kiri), dan bila terdengar di daerah dekat ujung
sternum, menunjukkan perubahan-perubahan ventrikel kanan (pada
gagal jantung kanan).
Bunyi jantung IV (disebut juga atrial gallop) kadang-kadang
dapat terdengar pada orang dewasa, 0,08 detak sebelum BJ I dengan
intensitas rendah. BJ IV pada orang tua dapat terjadi pada blok A-V,
hipertensi sistemik atau infark miokardia. Bunyi jantung IV terjadi
karena kontraksi atrium yang lebih kuat.
Intensitas dan Kualitas Bunyi

Intensitas BJ ditentukan menurut keras atau pelannya bunyi yang


terdengar, misalnya di apeks BJ I lebih keras dari pada BJ II, sedangkan
di bagian nasal jantung sering BJ II lebih keras terdengar dari BJ I.
Harus pula dibandingkan kerasnya bunyi masing-masing katup,
misalnya pada anak-anak BJ pulmonal ke-2 (P2) biasanya lebih keras
terdengar pada P1. Pada orang dewasa harus dibandingkan A2 dengan
P2. Pada hipertensi pulmonal P2 terdengar mengeras, dan pada
hipertensi sistemik A2 yang mengeras. Bunyi jantung I di apeks (M1)
seringkali mengeras pada stenosis mitral, bunyi jantung trikuspidal 1
(T1) dapat mengeras pada stenosis trikuspidal. Semua bunyi jantung
akan menjadi lebih pelan pada infark miokard, di mana terdapat
kerusakan pada otot jantung. Bunyi jantung juga dapat juga terdengar
pelan, bila terdapat emfisema paru. Intensitas BJ dipengaruhi oleh
tebalnya dinding toraks. Adanya cairan dalam rongga perikardium juga
menyebabkan BJ terdengar lebih pelan. Harus pula ditentukan apakah
bunyi-bunyi jantung berikutnya tetap sama intensitasnya. Kadang-
kadang intensitas BJ tidak sama dan berubah-ubah pada siklus-siklus
berikutnya, hal ini menunjukkan keadaan miokardia yang memburuk.
Harus pula diperhatikan kualitas bunyi jantung mendua (disebut juga
splitting atau reduplication).
Bunyi jantung I biasanya karena penutupan katup mitral dan
trikuspidal tidak bersamaan. Dalam
keadaan normal dapat terjadi katup mitral tertutup kurang 0,02-0,03
detik lebih dulu dari pada penutupan katup trikuspidal.
Bunyi jantung II mendua secara faal dapat terjadi pada keadaan
normal dalam inspirasi di mana BJ P2 terdengar kira-kira 0,02-0,03
detik lebih lambat dari pada BJ A2. Pada defek septum atrium (atrial
septal defect, ASD) BJ II tidak berubah dengan respirasi disebut bunyi
jantung mendua yang menetap (fixed splitting). Keadaan ini juga
terdapat pada right bundle branch block.

Irama dan Frekuensi Bunyi Jantung

Irama dan frekuensi bunyi jantung harus pula diperhatikan dan


dibandingkan dengan frekuensi nadi. Dalam keadaan normal irama
jantung teratur. Ada keadaan-keadaan tertentu menurut keadaan
sakitnya, irama jantung menjadi tidak teratur, disebut aritmia kordis.
Frekuensi BJ harus ditetapkan per-menit (sebaiknya dihitung
dalam waktu satu menit penuh), kemudian dibandingkan dengan
frekuensi nadi. Bila frekuensi BJ dan nadi masing-masing lebih dari 100
kali per menit disebut takikardia, bila masing-masingnya kurang dari
60 kali per menit disebut bradikardia.
Kadang-kadang irama jantung berubah menurut frekuensi BJ pada
ekspirasi lebih lambat, keadaan ini disebut aritmia sinus, yang
disebabkan perubahan rangsang susunan saraf autonom pada nodus
sino-atrialis sebagai pacu jantung.
Adakalanya irama jantung yang normal sekali-kali diselang oleh
satu denyut jantung yang timbul cepat (ekstrasistolik) lalu kemudia
disusul oleh fase diastolik yang lebih panjang (compensatoir pause).
Irama bunyi sama sekali tidak teratur disebut fibrilasi. Misalnya
pada fibrilasi atrium, irama dasar BJ tak dapat ditentukan.
Bunyi lain yang kadang-kadang menyertai bunyi-bunyi jantung
utama mungkin dapat timbul akibat perubahan-perubahan di dalam dan
di luar jantung.
Opening snap dari katup mitral terjadi pada awal fase diastolik ±
0,07 detik sesudah BJ III. Opening snap terdengar pada keadaan
stenosis mitral atau stenosis trikuspidal, di mana katup atrioventrikular
terbuka dengan kekuatan yang lebih besar dari normal, sehingga
terbukanya katup tersebut menimbulkan suara BJ II dengan nada lebih
tinggi dan lebih terlambat.
Pada stenosis aorta atau pada stenosis pulmonal kadang-kadang
dapat terdengar systolic click dalam fase sistolik segera sesudah BJ I
dan lebih jelas terdengar pada hipertensi sitemik atau pulmonal, di mana
tahanan dalam aorta atau arteri pulmonalis meninggi.

Bunyi-bunyi Jantung Lain

Bising Jantung
Bising jantung (cardiac murmur) terjadi karena getaran-getaran
dalam jantung atau dalam pembuluh-pembulu darah besar dekat
jantung akibat aliran darah yang melalui
suatu penyempitan atau akibat aliran darah balik yang abnormal
(regurgitasi).
Dalam pemeriksaan bising jantung harus diperhatikan:
 Fase di mana bising itu terjadi dan saat bising tersebut,
 Intensitas dan nada bising
 Bentuk (tipe) bising serta lama dan saatnya bising,
 Lokasi bising dengan punctum maximum-nya serta arah penjalaran
bising (punctum maximum) adalah tempat di mana bisisng itu
terdengar lebih keras,
 Apakah bising yang terdengar berubah-ubah menurut posisi badan
atau pernapasan.

Terlebih dahulu ditetapkan dengan tepat dalam fase mana bising


jantung itu terdengar; bising jantung dibagi menjadi bising sistolik dan
bising diastolik.
Bising jantung tidak selalu menunjukkan keadaan sakit. Pada anak-
anak seringkali teredengar bising sistolik yang innocent. Pada keadaan
anemia dan keadaan demam seringkali terdengar bising jantung faali,
dalam hal ini kita sebut hemic murmur yang tidak menunjukkan
kelainan jantung organik. Hal ini disebabkan aliran darah yang menjadi
lebih cepat dari biasa dan kepekatan darah yang menurun.
Bising jantung faali biasanya mempunyai punctum maximum di
ruang sela iga 3 dan 4 kiri dengan kualitas bising seperti bunyi tiupan
(blowing).
Bising Sistolik
Bising sistolik terdengar dalam fase sistolik (di antara BJ I dan BJ
II) sesudah bunyi jantung I. Pada gris besarnya dikenal 2 macam bising
sistolik :
 Tipe Ejeksi (ejection systolic) yang timbul akibat aliran darah
yang dipompakan (ejected) melalui bagian yang menyempit dan
mengisi sebagian fase sistolik. Misalnya pada stenosis aorta di
mana bising tersebut mempunyai puctum maximum di daerah aorta
dan mungkin menjalar ke apeks kordis.
 Tipe pansistolik (pansystolic) yang timbul sebagai akibat aliran
balik yang melalui jantung yang masih terbuka (seharusnya dalam
keadaan tertutup pada kontraksi jantung) dan mengisi seluruh fase
sistolik. Misalnya pada insufisiensi mitral terdengar dengan
punctum maximum di apeks dan menjalar ke lateral bawah.

Waktu dan bentuk serta macam dari suatu bising turut


menunjukkan macam perubahan hemodinamik yang menyebabkan
terdengarnya bising jantung.

Gambar 5.6. Bising Sistolik


Bising Diastolik
Bising diastolik terdengar dalam fase diastolik (di antara BJ II dan
BJ I) sesudah BJ II. Macam-macam bising jantung diastolik menurut
saatnya:
 Mid-diastolic yang terdengar kurang lebih pada pertengahan fase
diastolik. Bila terdengar dengan punctum maximum di apeks,
menunjukkan adanya stenosis mitral.
 Early diastolic yang terdengar segera sesudah BJ II. Bila bising ini
terutama terdengar di daerah basal jantung, mungkin sekali
disebabkan insufisiensi aorta. Bising ini timbul sebagai akibat
aliran balik pada katup aorta.
 Pre-systolic terdengar pada akhir fase diastolik, tepat sebelum BJ I.
Bising jantung tersebut terdapat pada stenosis mitral dengan
punctum maximumnya biasanya di apeks kordis.
Nada dan kualitas bising sebaliknya juga diperhatikan. Bising
dengan nada rendah (low pitched) pada umumnya berkualitas kasar
(rumbling quality). Bising dengan nada tinggi (high pitched) kadang-
kadang juga berkualitas

Gambar 5.7. Bising Diastolik


seperti bunyi tiupan. Kadang-kadang bising jantung sedemikian
nyaringnya sehingga terdengar seperti musink. Bising semacam ini
disebut sebagai sea-gull (elang laut) murmur.
Dari nada dan kualitas bising tidaklah dapat dibedakan bising faali
atau bising yang terjadi karena kelainan jantung organis.
Intensitas (kerasnya) bising, tergantung terutama pada :
 kecepatan aliran darah melalui tempat terbentuknya bising itu.
 banyaknya aliran darah melalui tempat timbulnya bising itu.
 Keadaan kerusakan-kerusakan yang terdapat pada daun-daun
katup atau beratnya penyempitan.
 kepekatan darah.
 daya kontraksi miokardium.

Dikenal enam macam derajat intensitas bising jantung (menurut


American Heart Association) :
 Derajat 1 bising sangat pelan
 Derajat 2 bising cukup pelan
 Derajat 3 bising agak keras
 Derajat 4 bising cukup keras
 Derajat 5 bising sangat keras
 Derajat 6 bising sekeras-kerasnya bising (bising paling keras)

Kadang-kadang intensitas bising berubah-ubah pada gerakan badan


atau pernapasan dan sikap badan. Intensitas bising harus ditentukan
pada punctum maximum bising,
selanjutnya haruss pula ditentukan arah penyebaran bising menurut
intensitasnya.
Lokalisasi suatu bising adalah tempat bising itu paling keras
terdengar (punctum maximum). Punctum maximum suatu bising
tententu perlu ditentukan untuk membedakan bising itu dengan bising
lain yang mungkin terdengar juga di tempat yang sama karena
penyebaran dari tempat lain. Selain itu, punctum maximum dan
penyebaran suatu bising berguna untuk menduga dari mana bising itu
berasal. Misalnya dengan punctum maximum pada apeks kordis yang
menyebar ke lateral sampai ke belakang, biasanya adalah bising yang
berasal dari katup mitral.

Gesekan Perikardium
Gesekan perikardium (pericardial friction rub) adalah bunyi yang
timbul akibat gesekan dari perikardium viseral dan perikardium parietal
yang masing-masing menebal dan permukaannya menjadi kasar akibat
proses peradangan pada perikarditis. Gesekan perikardium terdengar
sebagai bunyi gesekan (rasping), yang mungkin terdengar pada fase
sistolik dan diastolik, kadang-kadang hanya fase diastolik saja. Bunyi
kadang-kadang hanya terdengar pada satu waktu tertentu dan kemudian
hilang lagi.

Bising Kardio-Pulmonal
Bising kardiopulmonal adalah bising yang timbul sebagai akibat
dari luar jantung (extra-cardiac), terjadi
akibat dari aliran udara ke dalam bagian paru-paru yang mengembang
bila terjadi kontraksi ventrikel. Bising ini terdengar jelas pada waktu
inspirasi, dan tiak menunjukkan kelainan jantung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto,
Hendarwanto. Jantung. Dalam: Sukaton U, editor. Petunjuk tentang
riwata Penyakit dan pemeriksaan jasmani. Jakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 1986.h. 37-53.
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the patient.
Edisi pertama. London: Butterworsh; 1994.h. 66-91.
3. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical
examination and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB
Lippincott; 1995.h. 123-30.
BAB VI
PEMERIKSAAN FISIS BARU
Asril Bahar, Aryanto Suwondo

Pemeriksaan paru bertujuan menemukan kelainan pada organ paru


untuk menunjang suatu diagnosis penyakit berdasarkan anamnsesis
keluhan sistem pernapasan dan keluhan-keluhan yang berhubungan
dengan rongga dada. Keluhan yang sering didapat adalah :
 sesak napas/gangguan pernapasan,
 batuk-batuk (kering/berdahak),
 nyeri dada,
 batuk berdarah,
 keluhan umum lainnya seperti demam, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, keringat malam.

Sesak Napas
Sesak napas sebagai perasaan sukar bernapas, perasaan sulit
mendapatkan udara pernapasan segar atau perasaan napas yang pendek.
Tanda-tanda obyektif (patologis) sesak napas ini dikenal sebagai
dispnea.
Selain sesak napas terdapat juga napas pendek yang berarti pernapasa
yang cepat. Variasi dipsnea adalah :
 takipnea: napas yang cepat
 hiperpnea: napas yang dalam
Gambar 6.1. Kelainan frekuensi dan kedalaman napas

 ortopnea: sesak napas pada posisi tidur


 platipnea: sesak napas pada posisi tegak (berdiri)
 trepopnea: sesak napas saat posisi berbaring ke kiri/kanan
Sesak napas sering ditemukan pada keadaan/penyakit :
a. Gangguan sistem pernapasan
 Penyakit saaluran napas: asma bronkial, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), penyumbatan saluran napas.
 Penyakit parenkim paru : pneumonia, acute respiratory
distress syndrome (ARDS), penyakit interstisial paru.
 Penyakit vaskular paru: emboli paru.
 Penyakit pleura: pneumotoraks, efusi pleura.
b. Gangguan sistem kardiovaskular
 Meningkatnya tekanan vena pulmonaris: gagal jantung kiri
 Penurunan curah jantung
 Anemia berat
c. Anksietas/psikosomatik
d. Gangguan pada sistem neuromuskuloskeletal, yaitu polimiositis,
miastenia gravis, sindrom Guillian Barre, kifoskoliosis

Batuk
Batuk bisa berarti suatu keadaan normal atau abnormal. Contoh
keadaan normal misalnya batuk-batuk saat makan karena yang
bersangkutan tetap bicara sewaktu mengunyah/menelan makanan.
Jadi batuk merupakan usaha pembersihan saluran trakeobronkial,
bila usaha pembersihan (clearance) mukosilier tidak berhasil. Reseptor
iritasi untuk batuk ini terletak di laring, trakea, dan bronkus besar.
Keadaan batuk dilihat juga dengan adanya sputum yang produktif
(batuk berdahak) atau tidak produktif (batu kering).
Penyakit-penyakit yang menyebabkan batuk
1. Iritasi jalan napas
 Terisap : asap, debu, dll.
 Aspirasi : cairan lambung, sekret mulut, benda asing.
 Post-nasal drip.
2. Penyakit jalan napas: infeksi saluran napas atas, bronkitis
akut/kronik, bronkiektasis, neoplasma,
kompresi eksternal (oleh kelenjar getah bening,tumor), asma
bronkial.
3. Penyakit parenkim paru: pneumonia, abses paru, penyakit
intestisial paru.
4. Gagal jantung
5. Drug induced (efek samping obat): penghambat ACE.

Hemoptosis
Hemoptosis berarti membatukkan darah dari jalan napas. Asal
darah bisa dari paru-paru atau nasofaring, mulut, saluran pencernaan
atas.
Penyakit paru yang menyebabkan hemoptosis :
1. Penyakit jalan napas: bronkitis akut/kronik, bronkiektasis,
karsinoma bronkus
2. Penyakit parenkim paru: tuberkulosis, abses paru, pneumonia,
misetoma (fungus ball), dll
3. Penyakit vaskular: emboli paru, hipertensi pulmonal
4. Lain-lain: gangguan koakulasi, endometriosis paru.
Yang terbanyak menyebabkan heoptosis adalah penyakit jalan napas.

Nyeri Dada
Nyeri dada tidak selalu menunjukkan adanya penyakit pada paru
karena jaringan paru bebas dari syaraf nyeri sensorik. Bila terdapat
nyeri dada, maka ini berarti adanya proses di pleura parietal, diafragma,
atau mediastinum.
Nyeri pleuro-parietal dan nyeri diafragma lebih terasaa pada waktu
inspirasi.
Nyeri diafragma penjalarannya sampai ke daerah bahu. Nyeri dada
karena radang pleura banyak terdapat pada penyakit pneumonia, emboli
paru.
Keluhan-keluhan tersebut mencerminkan suatu gejala penyakit
paru seperti: asma bronkial, bronkitis (akut/kronik), emfisema paru,
pneumonia, abses paru, tuberkulosis paru, efusi pleura, pneumotoraks,
kanker paru, dan lain-lain.

CARA PEMERIKSAAN PARU


Dalam melakukan pemeriksaan paru, terdapat hal-hal yang perlu
dipersiapkan sebelumnya yaitu:
a. Pemeriksa bersikap tenang dan sabar, berdiri di samping kanan
bangku periksa.
b. Bangku periksa sebaiknya datar dan dilapisi kasur tipis saja.
Penerangan kamar periksa harus cukup baik.
c. Pasien sebaiknya berbaring lurus telentang. Bila tidak dapat
berbaring, bisa sambil duduk dengan kaki tergantung ke bawah
di pinggit bangku periksa.
Pasien sebaiknya telanjang pada bagian atas tubuh sampai batas
pinggang. Pada wanita perlu diterangkan untuk membuka bagian dada
tersebut guna pemeriksaan jantung dan paru.
INSPEKSI
Pada inspeksi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan :
1. Perhatikan bentuk dada/toraks dalam keadaan tidak bergerak
(statis).
Bentuk dada :
a. Normal
b. Dada paralitikum
 Dada kecil, diameter sagital pendek
 Sela iga sempit, iga lebih miring
 Angulus costae < 90o
Terdapat pada asien malnutrisi tuberkulosis
c. Dada emfisema (Barel-shape)
 Dada menggembung, diameter sagital besar
 Tulang punggung melengkung (kifosis)
 Angulus costae > 90o
Terdapat pada pasien: bronkitis kronis, penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).

Kelainan bentuk :
 Kifosis: melengkungnya (lordosis) kurvatura vertebra pada
posisi anterior posterior, secara berlebihan dari normal.
Kelainan ini terlihat pada pemeriksaan dari samping.
 Skoliosis: melengkungnya kurvatura vertebra ke lateral.
Kelainan ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari belakang.
 Pectus excavatum: dada dengan tulang sternum yang
mencekung ke dalam.
Gambar 6.2. Berbagai Bentuk Dada

 Pectus carinatum (pigeon chest atau dada burung); dada


dengan tulang sternum menonjol ke depan.
 Pectus excavatum dan pectus carinatum terlihat pada
pemeriksaan dari depan.
Kelaian dada lain yang sering ditemukan adalah :
 kulit: warna, bintik-bintik, spider naevi, tonjolan tumor,
bekas-bekas jaringan parut, luka operasi,
 bendungan vena,
 emfisema subkutis,
 ginekomastia,
 penyempitan atau pelebaran sela iga.

2. Dada dalam keadaan bergerak


a. Frekuensi pernapasan:
Frekuensi pernapasan normal 12-18 kali per menit.
Pernapasan kurang dari 12 kali per menit disebut bradipnea,
misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan
serebral. Pernapasan lebih dari 18 kali per menit disebut
takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
b. Sifat pernapasan
 torakal, misalnya pada pasien sakit tumor dalam perut,
 abdominal, misalnya pada pasien PPOK lanjut,
 kombinasi (jenis pernapasan ini yang terbanyak)

Pada wanita sehat, umumnya pernapasan torakal lebih


dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada
laki-laki sehat, pernapasan abdomen lebih dominan dan
disebut abdomino-torakal.
Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut
wanita berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah terdapat
pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien
tuberkulosis paru lanjut atau PPOK.
Gambar 6.3. Berbagai Pola Pernapasan

Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal


dalam pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukkan
adanya gangguan pada daerah tersebut.
Jenis pernapasan lain adalah:
 pernapasan dengan pursed lips, pernapasan seperti
menghembus sesuatu melalui mulut, misalnya pada pasien
PPOK.
 pernapasan cuping hidung, misalnya pada pasien
pneumonia.
c. Irama pernapasan
Pernapasan normal, dilakukan secara teratur dengan fase-fase
inspirasi ekspirasi yang teratur bergantian.
Pernapasan Cheyne Stokes, terdapat periode apnea
(berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode
hiperpnea (pernapasan mula-mula kecil amplitudonya
kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi).
Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan
kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena
terlambatnya respons reseptor klinis medula otak terhadap
pertukaran gas.
Pernapasan Biot (pernapasan ataxic): bentuk
pernapasan tidak teratur mengenai cepat dalamnya. Terdapat
pada cedera otak.
Bentuk kelainan irama pernapasan tersebut, kadang-
kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini biasanya
merupakan pertanda kurang baik.
Di samping melihat keadaan-keadaan tersebut di atas,
pemeriksa hendaknya juga mendengar kelainan yang langsung
dapat didengar tanpa bantuan alat pemeriksa, seperti:
 suara batuk (kering atau berdahak), menunjukkan adanya
gangguan dalam saluran bronkus/bronkiolus,
 suara mengi (wheezing), suara napas seperti musik yang
terdengar selama masa inspirasi dan ekspirasi karena
terjadinya penyempitan jalan udara,
 stridor, suara napas yang berkerok secara teratur. Terjadi
karena adanya penyumbatan daerah laring. Stridor dapat
berupa inspiratoir atau ekspiratoir. Yang terbanyak adalah
stridor inspiratoir, misalnya pada tumor, peradangan pada
trakea, atau benda asing di trakea,
 suara serak (hoarseness), terjadi karena kelumpuhan pada
saraf laring atau peradangan pita suara.
Di samping pemeriksaan inspeksi dada tersebut di atas
pemeriksa hendaknya juga memperhatikan adakah kelainan pada
ekstremitas atas yang berhubungan dengan penyakit paru seperti:
 jari tabuh (clubbing), pada penyakit paru supuratif dan kanker
paru,
 sianosis perifer (pada kuku jari tangan) menunjukkan
hipoksemia,
 karat nikotin, pada perokok berat,

Gambar 6.4. Perkusi Paru


 otot-otot tangan dan lengan yang mengecil karena penekanan
nervus torakik 1 oleh tumor paru di apeks paru (sindrom
Pancoast).

Di samping ekstremitas, lihat juga kelainan pada daerah kepala


yang menunjukkan gangguan pada paru seperti :
 mata yang mengecil, pada sindrom Horner
 sianosis pada ujung lidah pada hipoksemia

Hal lain yang perlu diperhatikan pada gangguan paru adalah


sputum (dahak) yang dikeluarkan melalui bronkus. Sputum yang
purulen dan jumlah yang banyak terdapat pada bronkiektasis. Sputum
berwarna merah muda berbusa (pink frothy) terdapat pada edema paru
(gagal jantung). Sputum berdarah (hemoptosis) terdapat pada penyakit
tuberkulosis paru, kanker paru, bronkiektasis.

PALPASI
Pada pemeriksaan palpasi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan :
1. Palpasi dalam keadaan statis.
Mula-mula daerah leher diperiksa dengan jadi tangan untuk
menentukan hal-hal berikut.
 Kelenjar getah bening yang membesar di daerah supraklavikula
(pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke
daerah submandibula dan kedua aksila). Adanya pembesaran
kelenjar getah bening (limfadenopati) menunjukkan
terdapatnya
Gambar 6.5. Segitiga Garland dan segitiga Grocco

Gambar 6.6. Garis Ellis Damoiseau

proses di daerah paru seperti kanker paru,


 Trakea, normalnya terletak di tengah. Bila trakea
bergerak ke kiri atau ke kanan perhatikan apakah karena
pendorongan (oleh tumor) atau tertarik ke bagian yang
sakit (scwharte/fibrosis apeks paru oleh tuberkulosis)
Kemudian palpasi diteruskan pada daerah dada depan
dengan jari tangan ditentukan:
 Kelainan dinding dada (tumor dinding dada atau tumor
payudara),
 Letak apeks jantung, normalnya terletak di sela iga 5
kiri 1 jadi medial garis midklavikula.

2. Palpasi dalam keadaan dinamis


Pemeriksaan ini penting dilakukan. Mintalah pasien
menarik napas dalam sekuatnya dan kemudian dilepaskan.
Sambil meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan
dinding dada, rasakanlah dengan teliti getaran suara napas
yang ditimbulkannya. Pemeriksaan ini disebut fremitus.
Biasanya pasien diminta menyebutkan angka 77 atau 99,
sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas.
Pemeriksaan ini disebut tactile vocal fremitus. Bandingkan
tactile focal fremitus secara bertingkat-tingkat dari atas ke
tengah dan seterusnya ke bawah. Hal ini dikerjakan pada
bagian depan dan belakang dada. Hasil yang didapat dari
fremitus ini adalah normal, melemah atau mengeras. Keadaan
melemah terdapat pada penyakit emfisema, hidrotoraks,
atelektasis. Keadaan mengeras terdapat pada penyakit infiltrat
(pneumonia tuberkuosis paru aktif), kavitas.
Gambar 6.7. Bunyi Napas Pokok

PERKUSI
Perkusi dilakukan dengan meletakkan jari tengah ke dinding lain,
dengan sendi pergelangan tangan sebagai penggerak. Jangan
menggunakan poros siku, oleh karena ini akan memberikan ketokan
yang tidak seragam. Sifat-sifat ketokan, selain didengar, juga harus
dirasakan oleh jari-jari. Perkusi dada dilakukan secara beraturan dari
dada kiri ke kanan dan ke bawah (zig-zag) sehingga sampai ke batas
dada bawah dengan perut. Kemudian dibuat perbandingan dari perkusi
tiap-tiap sisi paru tersebut. Bunyi perkusi pada batas paru hati lebih
jelas terdengar dari pada bunyi perkusi pada batas paru-lambung. Batas
paru hati ini kadang-kadang sulit didengar dari perkusi. Untuk lebih
jelas perbedaan bunyinya pasien diminta
Gambar 6.8. Bunyi Napas Tambahan

menarik napas dalam dan menahannya sampai pemeriksa selesai


perkusi. Daerah aksila dapat diperkusi dengan baik dengan cara
meminta pasien mengangkat tangannya ke atas kepala. Pemeriksa
menaruh jari-jari tangan setinggi mungkin di aksila pasien untuk
diperkusi. Perkusi pada bagian posterior dada, skapula sebaiknya
dikesampingkan dengan cara meminta pasien, mengangkat lengannya
ke atas.

Bunyi ketokan yang didapat adalah :


a. sonor (resonant), terjadi bila udara cukup banyak dalam jaringan
(alveolus), terdapat pada orang normal.
b. pekak (dull) terjadi pada jaringan tanpa udara di dalamnya,
misalnya tumor paru, penebalan pleura.
c. redup (stony-dull), bila bagian padat jaringan lebih banyak dari
udara di dalamnya, misalnya: infiltrate, konsolidasi, cairan
dirongga pleura,
d. hipersonor (hiperresonant) bila udara lebih banyak daripada
jaringan padat, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang
letaknya ditepi pneumotoraks, bula yang besar.

Bunyi timpani terdengar pada perkusi lambung akibat gearan udara


didalam lambung. Dapat terdengar juga pada jaringan yang lain
misalnya kelainan patologis di daerah toraks.
Perkusi-auskultasi termasuk perkusi lunak pada daerah sternum dan
secara bersama dilakukan auskultasi pada lapangan paru dibagian
belakang dada. Bila meninkat maka ini menunjukkan sedikit adanya
konsolidasi. Bunyi sonor-timpani yang khas dapat didengar pada
pneumotoraks bila perkusi dilakukan pada dada dengan 2 uang logam
(coin sound).
Disamping menentukan kelainan pada paru dengan perkusi dapat
ditentukan batas-batas paru dengan organ sekitarnya.
 Batas paru-jantung (lihat bab pemeriksaan fisis jantung).
 Batas paru-hati, bunyi sonor dari paru selanjutnya menjadi redup
pada garis midklavikula yaitu pada
sela iga 6. Peranjakan antara ekspirasi dan inspirasi yang normal
adalah 2 jari.
 Batas paru-lambung, perubahan sonor ke timpani pada garis
aksilaris anterior, biasanya pada sela iga 8, batas ini sangat
tergantung dari ada tidaknya isi lambung.
 Batas paru belakang bawah ditentukan pada garis scapula.
Biasanya setinggi vertebra torakalis 10 untuk paru kiri dan 1 jari
lebih tinggi dari paru kanan.

Pada pemeriksaan perkusi terdapat hal-hal khusus seperti daerah


Kronig yaitu daerah supraskapula seluas 3 sampai 4 jari di pundak.
Perkusi di daerah ini sonor. Adanya bunyi selain sonor pada daerah ini
menunjukkan kelainan apeks paru, misalnya tumor paru, tuberkolosis
paru.
Garis Ellis Damoiseau: garis lengkung konveks dengan puncak
pada garis aksilaris tengah, terdapat pada cairan pleura yang cukup
banyak.
Segitiga Garland: daerah timpani yang dibatasi oleh vertebra
torakalis, garis Ellis Damoiseau dan garis horizontal yang melalui
puncak cairan.
Segitiga Grocco: daerah redup kontralateral yang dibatasi oleh
garis vertebra, perpanjangan dari garis Ellis Damoiseu ke kontralateral
dan batas paru belakang bawah.
Garis Ellis Damoiseau, segitiga Garland yang timpani dan segitiga
Grocco yang redup dapat ditemukan bila terdapat cairan yang cukup
banyak di dalam rongga pleura.
AUSKULTASI
Pemeriksaan auskultasi adalah pemeriksaan yang penting dalam
pemeriksaan fisis paru-paru. Aliran turbulensi udara terjadi pada trakea
dan jalan udara yang besar. Suara yang ditimbulkannya mempunyai
nada yang keras, dinamakan suara trakeal. Selanjutnya pada
percabangan-percabangan bronkus yang besar, akan terdengar suara
bronkus vesikular (suara campuran antara bronkial dan vesicular).
Selanjutnya percabangan bronkus kecil (percabangan ke-15) sampai
distal akan memberikan nada yang lebih rendah karena adanya jaringan
paru sebagai saringan udara.
Suara napas dilukiskan sebagai normal atau menurun dalam
kualitasnya. Penyebab menurunnya suara napas terdapat pada penyakit
emfisema paru, pneumotoraks, penebalan pleura dan penebalan otot-
otot dada/lemak pada obesitas. Auskultasi dilakukan berurutan dengan
selang-seling pada kiri dan kanan (zig-zag). Termasuk di auskultasi
juga daerah aksila selanjutnya berpindah ke bagian belakang yang sama
diauskultasi seperti bagian depan.
Pada auskulasi terdapat 2 bunyi:
A. Bunyi napas pokok
1. Vesikular, terdapat pada paru normal, dimana suara inspirasi
lebih keras dan lebih tinggi nadanya serta 3 kali lebih panjang
daripada ekspirasi. Suara vesikular diproduksi oleh udara jalan
napas di
alveol. Suaranya menyerupai tiupan angin di daun-daunan.
Antara inspirasi dan ekspirasi, tidak ada bunyi nafas tambahan.
Bunyi napas vesikular disertai ekspirasi yang memanjang
dapat terjadi pada emfisema paru,
2. Bronkial, terdapat alveoli yang terisi eksudat atau konsolidasi
pada lumen bronkus atau bronkiolus masih terbuka. Baik suara
inspirasi maupun ekspirasi sama atau lebih panjang dari
inspirasi. Dalam keadaan normal dapat terdengar di daerah
interskapular. Suara bronkial ini terdapat pada daerah
konsolidasi atau di bagian atas daerah efusi pleura,
3. Bronkovesikular, bunyi yang terdengar antara vesikular dan
bronkial di mana ekspirasi menjadi lebih keras, lebih tinggi
nadanya dan lebih memanjang hingga hampir menyamai
inspirasi. Terdapat pada penyakit paru dengan infiltrat
misalnya bronkopneumonia, tuberkulosis paru,
4. Amforik, didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya
perifer dan berhubungan terbuka dengan bronkus, terdengar
seperti tiupan dalam botol kosong.
Kadang-kadang kita perlu melakukan auskultasi dimana pasien
mengucapkan beberapa kata-kata seperti 77 atau 99. Pemeriksaan ini
memberikan resonansi vokal dan ini jelas memberikan perbedaan suara
napas pada beberapa lapangan paru.
B. Bunyi napas tambahan
Bunyi nafas tambahan ini merupakan suara getaran (vibrasi) dari
jaringan paru yang sakit. Pada paru sehat suara tambahan ini
tidak ditemukan. Bentuk suara napas tambahan tersebut adalah
1. Ronki kering, adalah bunyi yang terputus, terjadi oleh getaran
dalam rumah saluran napas akibat penyempitan. Kelainan ini
terdapat pada mukosa atau adanya sekret yang kental atau
lengket. Terdengar lebih jelas pada ekspirasi walaupun pada
inspirasi sering terdengar. Dapat didengar di semua bagian
bronkus, makin kecil diameter lumen makin tinggi dan makin
keras nadanya. Wheezing adalah ronki kering yang tinggi
nadanya dan panjang yang biasa terdengar pada serangan
asma.
2. Ronki basah (rales) adalah suara berisik dan terputus akibat
aliran udara yang melewati cairan. Ronki basah halus, sedang
atau kasar tergantung besarnya bronkus yang terkenal dan
umumnya terdengar pada inspirasi. Ronki basah halus
biasanya terdapat pada bronkiale, sedangkan yang lebih halus
lagi berasal dari alveoli yang sering disebut krepiitasi, akibat
terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama
terjadi pada keadaan-keadaan seperti fibrosis paru, emfisema
dan pada orang lanjut usia (geriatric). Sifat ronki basah ini
dapat nyaring (infiltrate) atau tidak nyaring (pada edema paru).
3. Bunyi gesekan pleura (p. viseral dan p. parietalis) yang
menebal atau menjadi kasar karena peradangan. Biasanya
terjadi karena peradangan dan terdengar pada akhir inspirasi
dan awal ekspirasi.
4. Hippocrates succussion adalah suara cairan pada
hidropneumotoraks yang terdengar bila si pasien digoyang-
goyangkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto.
Paru-paru. Dalam: Sukaton U, editor. Petunjuk tentang riwayat
penyakit dan pemeriksaan jasmani. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 1986.h. 25-35.
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the patient.
Edisi pertma. London: Butterworsh; 199492-107.
3. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical
examination and history taking. Edii keenam. Philadelphia: JB
Lippincott; 1995.h. 221-52.
4. Brewis RAL. Lecture notes on respiratory system. Edisi ketiga.
Blackwell Scientific Publications; 1986.h. 4-59.
5. Seymour Ca, Siklos P. Clinical clerking, a short introduction to
clinical skills. Cambridge University Company Press; 1964.h. 98-
106.
6. Weinberger SE. Principles of pulmonary medicine. Philadelphia:
WB Saunders: 1992.h. 21-9.
BAB VII
PEMERIKSAAN FISIS ABDOMEN
Dharmika Djojoningrat, H.A. Aziz Rani, Daldiyono H.

Pemeriksaan fisis abdomen merupakan bagian dari pemeriksaan fisis


keseluruhan, yang dalam prakteknya merupakan lanjutan dari pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan fisis kepala, leher, toraks (dada), lalu pemeriksaan fisis
abdomen, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis genitalia dan perineum (bila ada
indikasi) dan terakhir pemeriksaan ekstremitas
Tujuan pemeriksaan abdomen adalah mendapatkan atau mengidentifikasi
tanda penyakit atau kelainan pada daerah abdomen, dengan kata lain tujuan
pemeriksaan abdomen adalah menjawab pertanyaan apakah terdapat kelainan
organ yang terdapat pada daerah abdomen. Hal ini perlu ditegaskan karena sering
terdapat kesalahpahaman atau salah pengertian, yaitu abdomen diperiksa bila ada
keluhan yang bersangkutan dengan penyakit pada sistem gastrointestinal. Justru
pada penyakit traktus gastrointestinal riwayat penyakit yang didapat dari
anamnesis merupakan data klinik yang sangat menentukan.
Abdomen adalah suatu rongga dalam badan dibawah diafragma sampai dasar
pelvis. Namun demikian yang dimaksud dengan pemeriksaan fisis abdomen
adalah
pemeriksaan daerah abdomen di bawah arkus kosta kanan kiri sampai daerah
inguinal.

PEMBAGIAN REGIONAL
Ada berbagai cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam beberapa
region:
1. Dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui
umbilicus. Dengan cara ini dinding depan abdomen terbagi menjadi atas 4
daerah atau lazim disebut sebagai berikut
a. Kuadran kanan atas
b. Kuadran kiri atas
c. Kuadran kiri bawah
d. Kuadrat kanan bawah
Kepentingan pembagian ini adalah untuk menyederhanakan penulisan
laporan misalnya untuk kepentingan konsultasi atau pemeriksaan kelainan
yang mencakup daerah yang cukup luas.
2. Pembagian yang lebih rinci atau lebih spesifik yaitu dengan menarik dua
garis sejajar dengan garis median dan dua garis transversal yaitu yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS).
a. Garis medium
b. Antara SIAS kanan dan garis median
c. Antara SIAS kiri dan garis median
d. Pinggir pinggang abdomen kanan
e. Pinggir dinding abdomen kiri
f. Antara 2 titik paling bawah arkus kosta
g. Antara SIAS kanan dan kiri

Berdasarkan pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan


abdomen terbagi atas 9 regio:
1. Regio epigastrium
2. Regio hipokondrium kanan
3. Regio hipokondrium kiri
4. Regio umbilikus
5. Regio lumbal kanan
6. Regio lumbal kiri
7. Regio hipogastrium atau regio suprapubik
8. Regio iliaka kanan
9. Regio iliaka kiri

Kepentingan pembagian yang lebih rinci tersebut adalah bila kita meminta
kepastian untuk menunjukkan dengan tepat lokasi rasa nyeri serta melakukan
deskripsi penjualan rasa nyeri tersebut. Dalam hal ini sangat penting untuk
membuat peta lokasi rasa nyeri beserta perjalanannya, sebab sudah diketahui
karakteristik dan lokasi nyeri akibat kelainan masing-masing organ
intraabdominal berdasarkan hubungan persarafan viseral dan somatik.
Selain peta regional tersebut terdapat beberapa titik dan garis yang sudah
disepakati.
1. Titik Mc Burney: titik pada dinding perut kuadran kanan bawah yang terletak
pada 1/3 lateral dari garis yang menghubungkan SIAS dengan umbilikus. Titik
Mc Burney tersebut dianggap lokasi apendiks yang akan terasa nyeri tekan bila
terdapat apendisitis.
2. Garis Schuffner: garis yang menghubungkan titik pada arkus kosta kiri
dengan umbilikus (dibagi 4) dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan yang
merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran
limpa.
PEMERIKSAAN ABDOMEN
Pemeriksaan ini dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Keempat tahap tersebut sama pentingnya untuk dilakukan dengan
seksama, meskipun informasi paling banyak didapat dengan palpasi dan perkusi.

INSPEKSI
Inspeksi abdomen adalah melihat perut baik perut bagian depan maupun
bagian belakang (pinggang). Inspeksi lakukan dengan penerangan yang cukup.
Informasi yang perlu didapatkan adalah:
1. Simetris
2. Bentuk atau kontur
3. Ukuran
4. Kondisi dinding perut
 kelainan kulit
 Vena
 Umbilikus
 Striae alba
5. Pergerakan dinding perut

Simetris
Dalam situasi normal dinding perut terlihat simetris dalam posisi terlentang.
Adanya tumor atau abses atau pelebaran setempat lumen usus membuat bentuk
perut tidak simetris. Pergerakan dinding perut akibat peristaltic
dalam keadaan normal atau fisiologis tidak terlihat. Bila terlihat adanya gerakan
peristaltik usus dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai
akibat obstruksi lumen usus baik oleh tumor, perlengketan, strangulasi atau
hiperperistaltik sementara akibat skibala.

Bentuk dan Ukuran


Bentuk dan ukuran perut dalam keadaan normal pun bervariasi tergantung
dari habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan akibat kondisi otot
dinding perut. Perut seorang atlet dengan berat badan ideal akan terlihat rata,
kencang, simetris, terlihat kontur otot rektus abdominalis dengan sangat jelas.
Pada keadaan starvasi bentuk dinding perut cekung dan tipis, disebut bentuk
skopoid. Dalam situasi ini bisa terlihat gerakan peristaltik usus. Abdomen yang
membuncit dalam keadaan normal dapat terjadi pada pasien yang gemuk,
sedangkan situasi patologis yang dilakukan perut membuncit adalah ileus
paralitik, meteorismus asites, kistoma ovarii dan graviditas. Tonjolan yang
bersifat setempat dapat diartikan sebagai kelainan organ yang dibawahnya,
misalnya tonjolan yang simetris pada regio suprapubik dapat terjadi karena
retensi urin pada hipertrofi prostat pada laki-laki tua atau kehamilan muda pada
wanita. Sedangkan pembesaran uterus juga mengakibatkan penonjolan pada
daerah tersebut.
Kelainan Kulit

Perlu diperhatikan sikatriks akibat operasi pada kulit, atau akibat operasi atau
luka tusuk. Pada tempat insisi operasi sering terdapat hernia insisialis. Kadang-
kadang hernia insisialis begitu besar dan menonjol sampai terlihat peristaltik
usus.
Adanya garis-garis putih sering disebut striae alba yang dapat terjadi setelah
kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites, dan terdapat
juga pada sindrom Cushing. Pulsasi Arteri pada dinding perut terlihat pada pasien
aneurisme aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat
pulsasi pada epigastrium pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis

Pelebaran Vena
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilikus
disebut kaput medusae yang terdapat pada sindrom Banti.
Pelebaran vena akibat obstuksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena
dari daerah inguinal ke umbilikus, sedangkan akibat obstruksi vena kava superior
aliran vena ke distal. Pada keadaan normal, aliran vena dinding perut diatas
umbilikus ke kranial sedang di bawah umbilikus alirannya ke distal. Pada
umumnya mudah sekali menentukan aliran vena dinding perut diatas umbilikus
ke kranial.

PALPASI
Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Perlu ditekankan di sini bahwa palpasi merupakan
lanjutan dari anamnesis dan inspeksi. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada
keluhan nyeri atau rasa tidak enak pada daerah abdomen.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan palpasi:
1. Beritahukan bahwa dokter akan meraba dan menekan dinding perut
2. Minta pasien memberitahukan apabila terdapat rasa nyeri akibat
penekanan tersebut. Bila mungkin tanyalah seperti apa nyarinya apakah
ringan, sedang, atau berat/nyeri sekali, apakah nyeri seperti dicubit atau
seperti ditusuk jarum atau nyeri seperti kena pukul
3. Perhatikan mimik pasien selama palpasi dilakukan serta perhatikan reaksi
dinding perut. Pada pasien
yang sensitif (geli) akan timbul ketegangan pada dinding perut dengan
mimik pasien menahan tawa
4. Bila hal ini terjadi palpasi dilakukan dengan halus dan pelan, serta pasien
memperhatikan/memandang ke langit-langit, hindarkan pasien melihat
perutnya sendiri pada waktu dilakukan palpasi, bila perlu kaki ditekuk
sedikit sejak awal palpasi
5. Palpasi dilakukan secara sistematis dan sedapat mungkin seluruh dinding
perut terpalpasi. Sering terjadi daerah tengah dilupakan pada palpasi
sehingga aneurisma atau tumor di daerah tersebut tidak terdeteksi
6. Ingatlah akan lokasi nyeri yang dikeluhkan oleh pasien, sehingga kita
akan lebih hati-hati dalam melakukan palpasi
7. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi permukaan (superfisial) dan
palpasi dalam (deep palpation)
8. Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan dapat pula dengan dua tangan
(bimanual) terutama pada pasien gemuk
9. Biasakanlah palpasi yang seksama meskipun tidak ada keluhan yang
bersangkutan dengan penyakit traktus gastrointestinal
10. Pasien dalam posisi supine/terlentang dengan bantal secukupnya, kecuali
bila pasien sesak napas. Pemeriksaan berdiri pada sebelah kanan pasien,
kecuali pada dokter yang kidal (left handed)
Palpasi Superfisial
Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya pekenanan dilakukan
oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika
palpasi dilakukan seperti terlihat pada gambar dengan catatan hati-hati pada
daerah nyeri yang dikeluhkan oleh pasien.
Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi
sekaligus memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Perhatikan data yang
didapat dengan palpasi superfisial tersebut.

Palpasi Dalam
Palpasi dalam (deep palpation) dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri
yang tidak didapatkan pada palpasi
superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada palpasi
superfisial dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara spesifik
misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien yang
gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.

PERKUSI
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langung, sama seperti pada
perkusi di rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan
yang lebih perlahan.
Perkusi abdomen mempunyai beberapa tujuan:
1. Untuk konfirmasi pembesran hati dan limpa,
2. Untuk menentukan ada tidaknya nyeri ketok,
3. Untuk diagnosis adanya cairan atau massa padat.
Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga
abdomen berisi lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara
perkusi abdomen adalah timpani, kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah
pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani
di seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas di
dalam rongga perut, misalnya pada perforasi usus.
Dalam keadaan adanya cairan bebas di dalam rongga abdomen, perkusi di
atas dinding perut mungkin timpani dan disampingnya pekak. Dengan
memiringkan pasien ke satu sisi, suara pekak ini akan berpindah-pindah (shiffting
dullnes). Pemeriksaan shiffting dullnes sangat patognomonis dan lebih dapat
dipercaya daripada memeriksa adanya gelombang cairan. Suatu keadaan yang
disebut fenomena papan catur (chessboard phenomen) dimana pada perkusi
dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah, sering
ditemukan pada pasien peritonitis tuberkulosa.

AUSKULTASI
Urutan pemeriksaan fisik yang lazim adalah inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi, namun pada pemeriksaan fisis abdomen auskultasi sebaiknya
dilakukan lebih dahulu setelah atau bersamaan dengan inspeksi.
Auskultasi abdomen bertujuan untuk mendengarkan:
1. Suara peristaltik
2. Suara pembuluh darah
Suara Peristaltik

Dalam keadaan normal suara peristaltik usus kadang-kadang dapat


didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop, biasanya setelah makan atau
dalam keadaan lapar. Jika terdapat obstruksi usus, suara peristaltik usus ini akan
meningkat, lebih lagi pada saat timbul rasa sakit yang bersifat kolik. Peningkatan
suara usus ini disebut borborigmi. Pada keadaan kelumpuhan usus (paralisis)
misalnya pada pasien pascaoperasi atau pada keadaan peritonitis umum, suara ini
sangat melemah dan jarang bahkan kadang-kadang menghilang. Keadaan ini juga
bisa terjadi pada tahap lanjut dari obstruksi usus di mana usus sangat melebar dan
atoni. Dalam keadaan ini kadang-kaulang terdengar suara peristaltik dengan nada
yang tinggi.

Suara Pembuluh Darah

Suara sistolik atau diastolik atau murmur mungkin dapat didengar pada
auskultasi abdomen. Bruit Sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada
pembesaran hati karena hepatoma. Bising vena (venous hum) yang kadang-
kadang disertai dengan terabanya getaran(thrill), dapat didengarkan di antara
umbilikus dan epigastrium. Pada keadaan fistula arteriovenosa intra- abdominal
kadang-kadang dapat didengar suara murmur.
CARA PEMERIKSAAN ASITES

a. Cara pemeriksaan gelombang cairan


Cara ini dilakukan pada pasien dengan asites yang cukup banyak dan perut
yang agak tegang, Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan
pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-
ngetuk dinding perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan
yang diteruskan melalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa
lainnya (dapat pula dengan pertolongan tangan pasien sendiri) diletakkan
ditengah-tengah perut dengan sedikit tekanan.
b. Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dul'ness)
c. Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan
pemeriksaan dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee-chest
position) Setelah beberapa saat, pada perkusi daerah perut yang terendah
jika terdapat cairan akan didengar bunyi redup.
d. Pemeriksaan Puddle sign
Seperti pada posisi knee chest dan dengan menggunakan stetoskop yang
diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang
ditimbulkan karena ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop
digeserkan melalui perut tersebut ke sissi lainnya.
e. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian
bawah.

PEMERIKSAAN HATI

Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada regio


hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hat yang ekstrim (misalnya pada
tumor hati) akan terlihat permukaaan abdomen yang asimetris antara daerah
hipokondrium kanan dan kini. Secara anatomis organ hati yang terletak di bawah
diafragma kanan dan lengkung iga kanan akan bergerak ke bawah sesuai
inspirasi, sehingga bila ujung tepi hati melewati batas lengkung iga akan dapat
diraba. Dikatakan hati teraba bila ada sensasi sentuhan antara jari pemeriksa
dengan pinggir hati.
Agar memudahkan perabaan diperlukan

a. Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga membentuk
sudut 45-60
b. Pasien diminta untuk menarik napas panjang
c. Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah, kemudian pada awal
inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolic
d. Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari pemeriksa
dengan hati pada saat inspirasi maksimal. Sinkronisasi dari berbagai jarak
tersebut memerlukan pemahaman yang seksama dan latihan serta
kebiasaan untuk selalu memeriksa secara benar dan elegan atau
dengan istilah lain dikerjakan secara legeartis yaitu harus rapih, tepat, seksama,
tanpa menimbulkan ketidaknyamanan.
Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar
dinding abdomen lebih lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi
palmar radial jari tangan kanan (bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat
di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari membentuk sudut 45
dengan garis median, ujung jari terletak pada bagian lateral muskulus rektus
abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa hati lobus kiri.
Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan.
Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga akan
dapal menyentuh tepi anterior hati. Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya
digeser 1-2 jari ke arah lengkung iga. Penekanan dilakukan pada saat pasien
sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat meraba adanya pembesaran hati,
maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut

 Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan?


 Bagaimana keadaan tepi hati. Misalnya tajam pada hepatitis akut atau
tumpul pada tumor hati?
 Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (konsistensi normal) atau keras
(pada tumor hati)?
 Baimana permukaannya? Pada tumor hati permukaannya teraba benjol
 Apakah terdapat nyeri tekan. Hal ini dapat terjadi pada antara lain abses
hati dan tumor hati. Selain itu pada abses hati dapat dirasakan adanya
fluktuasi

Pada keadaan normal hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada
beberapa pada kasus dengan tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati 1-
2 jari di bawah lengkung iga harus dikonfirmasi apakah hal tersebut memang
suatu pembesaran hati atau karena adanya perubahan bentuk diafragma (misalnya
emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran lobus kiri hati dapat
dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen kearah epigastrium. Bentuk
tepi hati yang teraba pada palpasi dapat ditelusuri mulai dari sisi lateral lengkung
iga kanan sampai dengan epigastrium, sehingga bentuk proyeksinya pada dinding
abdomen dapat digambar.
Batas hati sesuai dengan pemeriksaan perkus batas paru hati (normal pada :
ela iga 6). Pada beberapa keadaan patologis misalnya emfisema paru, batas ini
akan lebih rendah sehingga besar hati yang normal dapat teraba tepinya pada
waktu palpasi. Perkusi batas atas dan batas bawah hati (perubahan suara dari
redup ke timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misalnya pada
sirosis hati).
Suara bruits dapat terdengar pada pembesaran hati akibat tumor yang besar.
LIMPA

Teknik palpasi limpa tidak berbeda dengan palpasi hati. Pada keadaan
normal limpa tidak teraba. Limpa membesar mulai dari bawah lengkung iga kiri,
melewati umbilikus sampai regio iliaka kanan. Seperti halnya hati, limpa juga
bergerak sesuai inspirasi. Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan, melewati
umbilikus di garis tengah abdomen, menuju ke lengkung iga kiri. Pembesaran
limpa diukur dengan menggunakan garis Schuffner, yaitu garis yang dimulai dari
titik dilengkung iga kiri menuju ke umbilikus dan diteruskan sampai di spina
iliaka anterior superior (SIAS) kanan. Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian
yang sama

Palpasi limpa juga dapat dipermudah dengan dipermudah dengan


memiringkan pasien 45 derajat ke arah kanan (ke arah pemeriksa)
Setelah tepi bawah limpa teraba, maka dilakukan deskripsi sebagai berikut :

 Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffier (S-1 sampai
dengan S-VIII) ?
 Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (splenomegali karena pada
hipertensi portal) atau keras seperti pada malaria?

Untuk meyakinkan bahwa yang reraba itu adalah limpa, harus diusahakan meraba
insisuranya.

GINJAL

Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga meriksaan harus


dengan cara bimanual. Tangan kiri diletakkan pada pinggang bagian belakang,
bagian belakang dan tangan kanan pada dinding abdomen di ventralnya.
Pembesaran
ginjal (akibat tumor,ataiu hicdroneposis) akan teraba diantara kedua tangan
tersebut dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba benturannya di tangan
lain. Fenomena ini dinamakan ballotement positif. Pada keadaan normal
ballotement negatif.

ABDOMEN BAGIAN BAWAH

Adanya akumulasi gas pada saluran cerna dapat terlihat dalam bentuk perut
yang membuncit di mana pada perkusi terdengar timpani. Kolon yang terisi feses
pada dapat teraba pada palpasi. Yang relatif mudah teraba pada palpasi adalah
kolon asenden dan desenden pada regio lumbal kanan dan kiri dan lebih mudah
bila diperiksa secara bimanual. Tumor kolon dapat teraba sebagai massa yang
dapat digerakkan relatif secara bebas.

Pada auskultasi harus dinilai bising usus yang ditimbulkan oleh gerakan
udara dan air dalam lumen akibat peristaltik. Dalam keadaan normal bising usus
terdengar lebih kurang 3 kali permenit. Pada keadaan inflamasi usus, bising usus
akan lebih sering terdengar. Pada keadaan ileus obstruksif, bising usus
mempunyai nada yang tinggi seperti bunyi metal. Sedangkan pada ileus paralitik,
bising usus menjadi jarang, lemah dan dapat menghilang sama sekali. Borborigmi
adalah bisin usus yang sering dan tidak jarang dapat langsung di dengar tanpa
stetoskop.
PERINEUM

Pemeriksaan abdomen akan lengkap dengan perineum dan colok dubur.


Untuk pemeriksaan ini penting dijelaskan terlebih dahulu pada pasien tentang
tujuan dan manfaatnya.

Pasien berbaring dalam posisi lateral dekubitus kiri dengan kedua lutut
terlipat ke arah dada. Pemeriksaan memakai sarung tangan. Dengan penerangan
cahaya yang adekuat, bokong kanan pasien ditarik ke atas dengan menggunakan
tangan kiri pemeriksa sehingga kita dapat melakukan inspeksi perineum dengan
baik. Adanya hemoroid eksterna atau interna yang prolaps, fisura ani, ataupun
tumor dapat dinilai dengan baik.
COLOK DUBUR

Pasien dalam posisi berbaring mirong ke kiri (lateral dekubitus kiri) dengan fleksi
pada kedua tungkainya pada daerah lutut. Pemeriksaan dilakukan dengan
memakai sarung tangan. Oleskan jari telunjuk tangan kanan yang
Tela memakai sarung tangan dengan jeli atau vaselin. Oleskan pula pada anus
pisien. Beritahu pasien bahwa kita akan memasukkan jari ke dalam anus.

Letakkan bagian palmar ujung jari telunjuk kanan pada tepi anus dan secara
perlahan tekan agak memutar sehingga jari tangan masuk ke dalam lumen anus.
Tentukan tonus sfingter ani. Masukkan lebih dalam secara perlahan-lahan sambil
menilai apakah terdapat spasme anus (misalnya pada fisura ani) massa tumor,
rasa nyeri, mukosa yang teraba ireguler, hemoroid, pembesaran prostat pada laki-
laki atau penekanan dinding anterior oleh vagina/rahim pada wanita.

Kelainan yang ditemukann didaerah rektum ditentukan lokasinya dengan


mernbandingkan terhadap angka sebuah jam yaitu titik yang paling ventral
terhadap pasien adalah tepat angka 12, yang paling dorsal adalah angka 6
dan angka 3 dan 9 masing-masing untuk titik yang paling lateral di kiri dan kanan
pasien. Pada perabaan prostat pinggir atas kanan dan kiri, tentukan konsistensi
dan kesan nyeri pada perabaan.

Pada waktu jari telunjuk sudah dikeluarkan dari anus, perhatikan pada
sarung tangan apakah terdapat darah, lendir ataupun bentuk feses yang
menempel. Pada akhir pemeriksaan colok dubur jangan lupa membersihkan
dubur pasien dari sisa jeli /kotoran dengan menggunakan kertas toilet.

DAFTAR PUSTAKA

1. Supartondo, Sulaiman A Abcurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto. Perut.


Dalam: sukaton U, editor. Petunjuk tentang riwayat penyakit dan
pemeriksaan jasmani. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1986h.
55-63.
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the pasient Edisi
pertama. London: Butterworsh; 1994.h. 110- 39.
3. Bates B, Bickley L.S, Hoekelman RA. A guide to physical examination
and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB Lippincott, 1995.h. 33
-60.
BAB VII

PEMERIKSAAN FISIS PUNGGUNG ANGGOTA


GERAK, DAN ALAT KELAMIN
Hendarvanto, Sarwono Waspadji. H.M.S. Markum

PEMERIKSAAN PUNGGUNG

Pemeriksaan punggung menilai keadaan lengkung tulang belakang, apakah


terdapat skoliosis, kifosis, atau lordosis (lihat Bab Pemeriksaan Fisis Umum).
Apakah terdapat asimetri pada pergerakan punggung, nyeri tidaknya pada
perabaan tulang pungung, daerah panggul atau di daerah ginjal (nyeri ketok pada
sudut kosto-vertebral).

PEMERIKSAAN ANGGOTA GERAK

Pemeriksaan anggota gerak (ekstremitas) meliputi inspeksi, palpasi, memeriksa


gerakan dan kekuatan otot, memeriksa sensibilitas, dan memeriksa refleks

Inspeksi

Perhatikan bentuk dan ukuran lengan, tungkai, tangan dan kaki dibandingkan
keadaan tubuh pasien. Misalnya lengan yang lebih pendek akibat gangguan
pertumbuhan,
Dijumpai pada dwarfismi. Tungkai yang menjadi bengkak amat membesar
obstruktif pembuluh-pembuluh limfe dapat dijumpai pada elephantiasis.

Periksa pula adanya, luka, tumor, jaringan perut, daerah hiperemis, nyeri
raba, edema pada tekanan varises, palmar eritema, clubbing. Nilai pula keadaan
sendi-sendi, tanda-tanda radang, deformitas.

Palpasi

Palpasi dilakukan untuk memeriksa denyut nadi, konsistensi otot, adanya


kelenjai di daerah aksila dan inguinal dan bentuk saraf tepi.

Pemeriksaan nadi ini seperti diketahui berhubungan dengan kemungkinan


adanya pengerasan dinding pembuluh darah atau adanya penyumbatan pembuluh
nadi baik sebagian atau seluruhnya. Nadi perifer yang dapat diraba adalah:

 Arteri radialis yang teraba pada pergelangan tangan bagian volar sisi
radialis
 Arteri ulnaris pada medial tendon fleksor karpiulnaris didaerah volar
pergelangan tangan.
 Arteri brakialis yang teraba pada sisi ulnar tendon biseps pada daerah
lipatan siku depan lengan yang diluruskan
 Arteri dorsalis yang teraba didepan pergelangan kaki antara tulang
metatharsal I dan II
 Arteri popliteal teraba di fosa popliteal
 Arteri femoralis yang dapat teraba di daerah inginal.
Palpasi saraf ulnaris (dapat diraba di belakang kondilus medialis arteri
humeris) saraf radialis (diraba di bagian medial lengan atas) dan saraf peroneus
(diraba di sebelah medial kaput os fibula) diperlukan bila ada paresis otot-otot
lengan dan tungkai atau kontraktur jari-jari. Pada morbus Hansen dan neuritis
interstisialis saraf ini menjadi menebal

Konsistensi Otot

Pemeriksaan ini dapat memberikan data ada tidaknya gangguan otot dan saraf.
Konsistensi otot yang lembek berhubungan dengan awal atrofi otot yang rusak.
Misalnya pada atrofi otot yang menyertai artritis.
Otot yang hipertrofi api kurang kenyal dan ditemukan pada otot-otot
gastroknemius, poplitea, dan gluteus mungkin suatu tanda dari distrofia
muskulorum progresiva. Pada otot yang teraba keras sekali karena tonus otot
meninggi mungkin dapat dijumpai pada keadaan tetanus.

Gerakan dan Kekuatan Otot

Pergerakan dan kekuatan lengan dan tungkai dapat terganggu karena nyeri
yang membatasi pergerakan, adanya kelemahan otot primer adanya gangguan
sistem neuromuskular.

Tahap pemeriksaan ada 2, yaitu:

1. Pasien diminta manggerakkan anggota geraknya (gerakan aktif). Saat ia


melaksanakan perintah
tersebut diteliti apakah ada faktor nyeri yang membatasi gerakan
2. Pemeriksaan kemudian menggerakkan anggota gerak pasien (gerakan
pasif).

Pada periartritis humerokapularis gerakan pasif di sendi bahu dibatasi oleh


nyeri sekitar olekranon, korakoid, atau tubersitas humeri. Apabila kondisi
demikian tidak diperbaiki dengan cepat terjadilah ‘bahu yang macet’ atau ‘frozen
shouider’ yang berarti bahwa pergerakan pada sendi bahu menjadi sangat
terbatasi sehingga pasien tidak dapat menyisir rambutnya, tidak dapat
memasukkan tangan ke dalam saku celananya, tidak dapat mengancingkan
bajunya dan sebagainya.

PEMERIKSAAN REFLEKS-REFLEKS

Refleks yang sederhana sekali adalah refleks-refleks spinal yang


mempunyai busur refleks pada suatu segmen tertentu di dalam medula spinalis.
Pemeriksaan terhadap refleks spinal besar arti praktisnya oleh karena keadaan
medula spinalis dapat diitinjau dari hasilnya. Yang dinilai adalah keadaan
aktivitas refleks sebagai hiporefleksia, normal, atau hiperrefleksia. serta
dibandingkan kanan dan kiri

Refleks Tendon Biseps

Pusat refleks ini ber.ida cli segmen medula spinali C5 dan C6. Pada pemeriksaan
lengan kanan pasien diletak-
kan dalam posisi lemas, rileks pada lengan kiri pemeriksa sedemikian rupa,
sehingga jempol pemeriksa ditempatkan pada tendon biseps dan kemdian jempol
itu diketuk dengan palu refleks

Refleks Tendon Triseps

Pusat refleks ini adalah di segmen C7 dan C8. Cara membangkitkan refleks
tendon triseps (RTT) ialah sebagai berikut: Lengan pasien diletakkan dalam
posisi setengah fleksi di sendi siku. Palu refleks dipakai untuk mengetuk RTT
adalah positif apabila lengan bawah melakukan ekstensi pada traktus piramidalis
di tingkat lebih tinggi dari C7 dan C8. Pada lesi di medula spinalis sctinggi C7
dan C8, RRT akan menghilang. Juga pada miopati otot- otot yang tergolong
dalam iniotoma C7 dan C8, RTT akan menghilang.
Refleks Tendon Lutut

Pusat refleks ini terletak dimedula spinalis setinggi 1,2,3, dan 4. Cara
menimbulkan refleks tendon lutut (RTL) adalah sebagai beriku tungkai ditekuk
pada sendi lutut, palu refleks mengetuk tendon yang berada dekat tepi bawah
patela. Gerakan jawaban yang didapat ialah kontraksi otot-otot ekstensor tungkai
bawah.

RTL akan meninggi pada lesi di traktus kortikospinalis pada tingkat lebih
tingg dari L2,3, dan 4. Apabila otot-otot yang tergolong dalam mioloma L2,3,
dan 4 mengalami kerusakan atau apabila terdapat lesi di segmen-segmen yang
mengandung pusat RTL, maka RTL tidak bis dibangkitkan.
Refleks Tendon Achilles

Refleks ini mempunyai pusat di medula spinalis setinggi S1. Cara


membangkitkan refleks ini adalah sebagai berikut.
Tungkai pasien ditekuk sedikit pada sendi lutut, kakinya didorsofleksikan
secara maksimal dan
si permeriksa mengetuk tendon Achilies. Gerakan jawaban berupa plantarfleksi
kaki. Reflex tendon Achilles (RTA) akan meninggi pada kerusakan traktus
kortikospinalis di tingkat lebih tinggi dari SI n jawaban es (RTA) Pada lesi di
segmen 5 1 R7 A akin menghilang ataujuga apabila miotoma Sl.
Pada lesi segmen S1 RTA akan menghilang atau juga apabila miotoma S1
dihinggapi penyakit otot primer.

Refleks Babinsky

Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang
runcing, maka timbulah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dari
jari-jarinya ke daerah plantar. Pada kerusakan traktus piramidalis gerakan
reflekstoris itu tidak menjurus ke plantar akan tetapi menjurus ke dorsal, terutama
ibu jari kaki yang melakukan gerakan dorso-fleksi sedangkan jari-jari kaki
lainnya bergerak saling menjauhi satu dengan lainnya (mengembang)
Refleks Kremaster

Refleks kremaster dilakukan dengan cara menggoreskan benda halus padaa


bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontraksi
m.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya/mengkerutnya testis.
Seperti halnya dengan refleks kulit dinding perut menurunnya, atau
menghilangnya refleks tersebut berarti adanya gangguan traktus kortik ospinal.

SENSIBILITAS

Sensibilitas seluruh tubuh perlu diperiksa, khususnya bila pasien mempunyai


keluhan yang bersifat ‘gangguan sensibilitas’ seperti kesemulan/parestesia, rasa
baal atau kebas yaitu tidak merasakan rasa nyeri, suhu dan raba (hipoanestesia
sampai anestesia) rasa nyeri spontan pada daerah distribusi saraf tepi (neuralgia)
atau rasa nyeri seperti terbakar (kausalgia).

Sensibilitas secara sederhana digolongkan ke dalam:


 Perasaan protopatis yaitu rasa nyeri, rasa suhu, rasa raba, dan rasa ditekan
 Perasaan propioseptif yaitu rasa getar, rasa gerak dan rasa sikap

Ada lagi perasaan yang kompleks yang mengandung segi-segi fungsi luhur yaitıu
rasa stereognosis, rasa barognosis, dan rasa termognosis yang berarti tanpa
melihat apa yang dipegang, pasien dapat mengetahui barang itu
terbuat dari bahan apa bagaimana bentuknya dan apa namanya.
Sensibilitas protopatis/permukaan atau kasar dilakukan dengant kapas
untuk menyentuh kulit dalam merneriksa rasa raba, dengan jarum untuk
memeriksa rasa nyeri dan untuk memeriksa rasa suhu dengan menempatkan botol
berisi air panas dan dingin pada kulit.
Sensibilitas propioseptif dalam atau halus diperiksa dengan menaruh garpu
tala (frekuensi 128 Hz) pada tulang-tulang tertentu nuisalnya bagian bawah radius
dari ulna atau spina iliaka anterior superior untuk memeriksa rasa getar, sedang
rasa gerak dan rasa sikap diuji dengan si pemeriksa memegang jari tangan atau
jari kaki pasien pada kedua sampingnya seraya menggerakkan jari itu ke bawah
dan ke atas. Pasien diminta memberitahukan secepat mungkin jari mana yang
sedang digerakkan untuk menguji rasa gerak dan memberitahukan jari digerakkar
ke atas ke bawah untuk menguji rasa sikap.
Contoh gangguan se nsibilitas terjadi misalnya berupa anestesia sarung
tangar (glove and anesthesia) pada pasien histeria dan penyandang diabetes
melitus.

PEMERIKSAAN ALAT KELAMIN

Diperhatikan tentang adanya tumor, luka parut sekret yang keluar, nyeri pada
pcrabaan, keadan penis prepusium, testis, dar epididimis. Perhatikan apakał ada
varikokel atau hidrokel testis dan tanda-tanda seks/ kelamin sekunder. Varikokel
adalah pelebaran vena-vena
pleksus pampiniformis, biasanya pada bagian sebelah kiri tanpa keluhan-keluhan
yang berarti. Hidrokel adalah penimbunan cairan pada tunika vaginalis testis.
Biasanya kulit teraba agak tegang, mengkilat, tidak nyeri dan teraba fluktuasi.
Bila diberikan sinar, dengan cara melekatkan lampu senter paca skrotum, akan
tampak sinar tersebut menembus lapisan cairan tersebut.

Bila dianggap perlu, pemeriksaan genitalia eksterna pada wanita dilakukan


dengan didampingi dokter, perawat, atau koasisten wanita.
Pemeriksaan mula-mula dengan inspeksi pada monpubis, labia dan
perineum dengan pasien dalam posi litotomi. Dengan menggunakan sarung
tangan, kedua labia dipisahkan dan dilakukan inspeksi pada labia minor klitoris,
orifisium uretra, dan introitus vagina.
Perhatikan adanya tanda-tanda radang, ulserasi cairan, pembengkakan atau
nodul. Bila dijumpai lesi tersebut, dilakukan palpasi. Bila diduga adanya uretritis
atau radang kelenjar Skene (misalnya pada GO), masukkan jari telunjuk pada
liang vagina, kemudian tekanla perlahan-lahan uretra dari arah dalam keluar.
Bila terdapat cairal yang keluar dari orifisium uretra, cairan harus diperiksa
(dibiakkan) di laboratoriun. Bila ada riwayat penyakit atau dijumpai
pembengkakan pada labia, periksalah kelenjar Bartholini. Tempatkan jari
telunjuk dalam vagina dekat ujung posterior introitus vagina.
Tempatkan jempol di luar bagian posterior labium majus. Selanjutnya
dengan cara meraba sambil menekan
kedua jari tersebut berputar dari arah kiri ke kanan atau sebaliknya, untuk mencari
adanya pembengkakan atau daerah yang nyeri. Bila ada ca iran yang keluar
bersama dengan gerakan ini dari kelenjar tersebut, periksalah (biakan) di
laboratorium. Kemudian dengan kedua labia masih dipisahkan oleh jari telunjuk
dan jari tengah, pasien diminta untuk meluruskan kedua tungkainya. Perhatikan
adanya penonjolan (bulging) dari kedua dinding vagina, yang mungkin
diakibatkan adanya sistokel rektokel.

DAFTAR PUSTAKA

1. Supartondo, Sulaiman A Abcurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto. Perut.


Dalam: sukaton U, editor. Petunjuk tentang riwayat penyakit dan
pemeriksaan jasmani. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1986h.
9-24.
2. Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the pasient Edisi
pertama. London: Butterworsh; 1994.h. 28-55.
3. Bates B, Bickley L.S, Hoekelman RA. A guide to physical examination
and history taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB Lippincott, 1995.h. 123-
30.

Anda mungkin juga menyukai