Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

N
DENGAN DIAGNOSA CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )
DI RUANG HEMODIALISIS RUMAH SAKIT UMUM dr. SLAMET
GARUT

RESUME KASUS

Disusun untuk memenuhi tugas Profesi Ners Stase KMB

Disusun Oleh:

NURUL SITI FARIDA

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
KONSEP GAGAL GINJAL KRONIS
1. Definisi
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan ureumia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer & Bare, 2008).
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal atau penurunan faal ginjal
lebih atau sama dengan 3 bulan dengan presentasi : kelainan struktur histopatologi
ginjal dan tanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin atau
uji pencitraan ginjal, atau LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 lebih atau suatu kondisi
sama dengan atau lebih 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Adapun
derajat penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus dibagi
menjadi 5 derajat, dan derajat yang paling akhir atau derajat 5 dikenal dengan
istilah gagal ginjal terminal dengan LFG , 15 ml/menit/1,73 m² (NKF-DOQI,
2002).
Tabel.
Derajat Penyakit Ginjal Kronik

Derajat Deskripsi LFG


(ml/menit/1.73 m²)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau ≥ 90
meninggi
2 Kerusakan ginjal disertai penurunan 60 – 89
ringan LFG
3 Penurunan moderat LFG 30 – 59
4 Penurunan berat LFG 15 – 29
5 Gagal Ginjal < 15

Sumber : (NKF-DOQI, 2002)


2. Gambaran Klinis
Menurut Sukandar (2006), menyebutkan tentang hubungan antara
penurunan LFG dengan gambaran klinik, sebagai berikut :
a. Penurunan cadangan faal ginjal (LFG : 40 – 75 %)
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal eksresi dan regulasi
masih dapat dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep
intac nephron hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan
kebetulan pada pemeriksaan laboratorium rutin.
b. Insufisiensi renal (LFG : 20 -50 %)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal
walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan
dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi,
anemia dan hiperurikemia. Pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acut
on chronic renal failure, dengan gejala : oliguria, tanda-tanda overhidrasi
(bendungan paru, bendungan hepar dan kardiomegali), edema perifer,
asidosis, hiperkalemia, anemia, hipertensi berat.
c. Gagal ginjal (LFG : 5 – 25 %)
Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi,
overhidrasi atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti penurunan HCT,
hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia,
hiponatremia dilusi atau normonatremia.
d. Sindrom Azotemia (LFG < 5 %)
Sindroma azotemia (uremia) dengan gambaran klinik sangat kompleks dan
melibatkan banyak organ.
3. Etiologi
Penyakit gagal ginjal disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, glomerulusnefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat di
kontrol, obstruksi urinalis, lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik,
gangguan vaskuler, infkesi, medikasi atau agens toksisk. Lingkungan dan agens
berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium,
merkuri dan kromium (Smeltzer & Bare, 2008).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Suyono, 2001 manifestasi klinik gagal ginjal kronik sebagai
berikut :
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, sesak nafas akibat perikarditis,efusi pericardiak dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gangguan pulmuner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nusea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan dalam saluran gastrointestinal, userasi dan
perdarahan mulut, nafas bau amoniak.
d. Gangguan muskoloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), rasa
kesemutan dan terbakar terutama di telapak kaki, tremor, miopati.
e. Gangguan integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan keuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kulit tipis dan rapuh
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan amenore, gangguan metabolik glukosa, ganggauan
metabolik lemak dan vitamin D.
g. Gangguann cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik,
dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni
5. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus


dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Long,
2006)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2014).

Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum


normal dan penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG :
- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-
89 mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = (140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85


PATHWAYS

infeksi vaskuler zat tok8sik Obstruksi saluran


kemih
reaksi arteriosklerosis tertimbun ginjal Retensi urin batu besar dan iritasi / cidera
antigen kasar jaringan
suplai darah ginjal hematuria
menekan saraf
turun
perifer
anemia
nyeri pinggang
GFR turun

GGK

sekresi protein retensi Na sekresi eritropoitis


terganggu turun
sindrom uremia urokrom total CES naik resiko suplai nutrisi dalam produksi Hb turun
tertimbun di gangguan nutrisi darah turun
perpospatemia gang. keseimbangan
tek. kapiler oksihemoglobin turun
kulit
asam - basa perubahan naik
pruritis gangguan
warna kulit vol. interstisial suplai O2 kasar turun intoleransi
perfusi jaringan
naik aktivitas
gang. prod. asam
edema payah jantung kiri bendungan atrium kiri
integritas as. lambung naik
kulit naik
(kelebihan volume
nausea, vomitus iritasi lambung preload naik COP turun
tek. vena
resiko gangguan infeksi perdarahan beban jantung naik aliran darah ginjal suplai O2 suplai O2 ke pulmonalis
nutrisi turun jaringan otak turun kapiler paru naik
gastritis
hematemesis hipertrofi ventrikel turun
RAA turun metab. syncope edema paru
mual, kiri
muntah - melena retensi Na & H2O timb. as.
anemia (kehilangan
naik laktat naik gang. pertukaran
gas
kelebihan vol. fatigue intoleransi
cairan
- nyeri sendi aktivitas
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiograf atau ultrasound akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan
atrofi
b. Nilai BUN serum, kreatinin dan GFR tidak normal
c. Hematokrit dan hemoglobin turun
d. PH plasma rendah
e. Peningkatan kecepatan pernafasan mengisyaratkan kompensasi
pernafasan akibat asisodis metabolik
7. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Terminal
Penatalaksanaan gagal ginjal terminal menurut Sudoyo et al (2009) adalah
dengan memberikan Terapi Ginjal Pengganti (TGP). Tujuan dari tindakan TGP
adalah sebagai usaha untuk mengambil alih fungsi ginjal yang telah menurun.
Jenis dari Terapi Ginjal Pengganti adalah berupa transplatasi ginjal dan dialisis.
Dialisis terdiri dari dua jenis, yaitu : hemodialisis dan peritoneal dialisis.
Menurut Roesli (2006) klien gagal ginjal yang menjalani terapi ginjal
pengganti pada tahun 2012, sebanyak 78% mengandalkan terapi hemodialisis, 16
% transplantasi, 3 % CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) dan 3 %
CRRT (Continous Renal Replacement Therapy). Hal ini menunjukkan bahwa
tindakan hemodialisis menempati urutan pertama dalam pemilihan terapi ginjal
pengganti untuk klien dengan gagal ginjal terminal.
8. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Biodata
a) Identitas klien
b) Identitas Penangggung jawab
2) Riwayat Kesehatan serarang
a) Aktifitas/istirahat
Gejala: kelelahan ekstrim, kelemahan, malaise, gangguan tidur (
Insomnis/ gelisah atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak
b) Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
atau angina
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting
pada kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus,
hipotensi ortostatik, friction reb perikardial, pucat pada kulit,
kecenderungan perdarahan
c) Integritas ego
Gejala: Faktor stres contoh finansial, hubungan dengan orang lain,
perasaan tak berdaya, tak ada harapan
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian
d) Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare atau konstipasi
Tanda: perubahana warna urin contoh kuning pekat, merah, coklat
e) Makanan atau cairan
Gejala: peningkatan BB cepat (edema), penurunan bb (malnutrisi,
anoreksia, tidak selera makan, nyeri ulu hati, mual atau muntah,
rasa metalik tak sedap pada mulut atau pernapasan amnoiak)
Tanda: distensi abdomen atau asite, pembesaran hati, perubahan
turgor kulit, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi, penurunan otot,
penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
f) Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, keram otot atau kejang,
sindrom kaki gelisah, kebas, rasa terbakar pada telapak kaki
Tanda: Gangguan status mental contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran : stupor dan koma, kejang,
fasikulasi otot, aktivitas kejang
g) Nyeri
Gejala: nyeri panggul, sakit kepala, keram otot, gelisah
h) Pernafasan
Gejala: napas pendek, dispnea, nokturnal, paroksismal, batuk
dengan atau tanpa sputum
Tanda: Takypnea, dyspnea pernapasan kusmaul, batuk produktif
dengan sputum merah
i) Keamanan
Gejala: kulit gatal, ada atau berulangnya infeksi
Tanda: Pruritus, demam
9. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual dan
muntah
c. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan program penanganan
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produl
sampah dan prosedur dialisis
e. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran,
perubahan pada citra tubuh diri dan disfungsi seksual.
KONSEP HEMODIALISA
1. Definisi
Hemodialisa adalah salah satu terapi ginjal pengganti dengan tujuan
eliminasi sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui membran
semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Sukandar, 2006).
2. Proses Hemodialisa
Proses hemodialisa adalah translokasi antara kedua kompartemen melalui
suatu membran semi-permiabel yang dapat terjadi melalui mekanisme difusi
berdasarkan perbedaan konsentrasi (gradient concentration) atau ultrafiltrasi
berdasarkan perbedaan tekanan (gradient pressure) (Roesli, 2005).
- Difusi
Pada mekanisme difusi terjadi pemindahan (translokasi) zat terlarut (solut)
akibat adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen
dialisis (gradien konsentrasi). Solut dengan konsentrasi tinggi dalam darah,
seperti kalium atau urea berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
dialisis, sedangkan solut dengan konsentrasi rendah dalam darah seperti
bikarbonat, berpindah dari kompartemen dialisis ke kompartemen darah. Solut
yang dalam keadaan seimbang diantara kedua kompartemen, seperti natrium dan
klorida hampir tidak berubah (Roesli, 2005).

Gambar 2.2 Proses Difusi


Menurut Sukandar (2006) kecepatan transport difusi tergantung dari
beberapa faktor, yaitu :
1. Kecepatan aliran darah (Qb).
Makin cepat aliran darah akan makin cepat terjadinya penjernihan darah.
Pada hemodialisa konvensional, kecepatan aliran darah (Qb) standar adalah
150-350 cc/menit. Dengan Qb sebesar ini penjernihan darah akan terjadi
dengan cepat. Namun, Qb yang tinggi akan menimbulkan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil. Terutama pada klien-klien dalam kondisi
kritis. Sebaliknya pada ultrafiltrasi tidak diperlukan Qb yang tinggi. Makin
rendah Qb keadaan hemodinamik akan menjadi lebih stabil.
2. Luas permukaan membran dializer.
3. Permeabilitas membran.
4. Kecepatan aliran dialisis (Qd).
Untuk terjadi mekanisme difusi yang baik diperlukan aliran dialisis (Qd) yang
berjalan berlawanan (counter-current) dengan aliran darah. Pada hemodialisa
konvensional Qd standar adalah 500-600 cc/menit. Pada proses ultrafiltrasi
tidak diperlukan cairan dialisis sedangkan pada proses hemo-filtrasi
diperlukan dialisis dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan high flux
membran, Qd sebesar 13-30 cc/jam sudah dapat menghasilkan translokasi
solut dengan memuaskan.
5. Konsentrasi gradien melalui membran.
6. Besar molekul zat terlarut, tidak hanya molekul besar lambat dalam bergerak
juga mungkin terlalu besar untuk melalui pori-pori membran.
- Ultrafiltrasi

Pada mekanisme ultrafiltrasi terjadi translokasi molekul air (zat pelarut)


melalui membran semipermeabel akibat perbedaan tekanan (trans membran
pressure, TMP) antara kompartemen darah dan kompartemen dialisis. Tekanan
hidrostatika mendorong air keluar dari suatu kompartemen, sedang tekanan
onkotik akan menahannya. Selisih penjumlahan tekanan dalam kedua
kompartemen disebut TMP (Roesli, 2011).
Gambar 2.3 Proses Ultrafiltrasi

- Konveksi

Pada mekanisme konveksi terjadi translokasi solut, bersamaan dengan


translokasi air yang terjadi dalam proses ultrafiltrasi. Solut dapat berpindah akibat
terikat dengan molekul air. Proses konveksi dapat terjadi pada solut dengan
molekul kecil (urea nitrogen, kreatinin, kalium, dll) atau membran dengan
molekul besar (insulin, β2-mikroglobulin, TNF, vitamin B12, dll) tergantung dari
jenis, luas permukaan, dan biokompatibilitas membran semipermeabel yang
digunakan (Sukandar, 2006).

Adapun faktor-faktor penentu laju transport zat terlarut secara konveksi


adalah :

1) Luas permukaan dan permeabilitas membran air.


2) Porositas membran.
Porositas membran dialisis mengacu pada besar molekul yang dapat
melewati pori-pori membran. Sebuah membran yang sangat berpori
memungkinkan pergerakan molekul yang besar, yang dikeluarkan
membran yang berporositas rendah. Umumnya membran dengan KUF
yang tinggi (sangat permeabel terhadap air) juga sangat berpori.
3) Laju ultrafiltrasi (Qf).
Pada translokasi solut dengan cara konveksi, dibutuhkan ultrafiltrasi yang
sangat tinggi. Qf standar pada proses ultrafiltrasi adalah 1-2 liter air/jam.
Laju filtrasi lebih dari 35 cc/kgBB/menit baru akan memberikan proses
konveksi yang memuaskan. Kerugian dengan Qf yang tinggi adalah cairan
obstitusi (replacement fluid) diperlukan dengan jumlah besar, sehingga
proses hemofiltrasi menjadi mahal. Pada proses hemo-dialiltrasi tidak
diperlukan Qf yang terlalu tinggi karena translokasi solut terjadi dengan
kombinasi mekanisme konveksi dan difusi. Pada proses hemodiafiltrasi
biasanya hanya diperlukan Qf < 10 cc/kgBB/menit.
4) Besar zat terlarut.
5) Perbedaan tekanan di membran.
Tekanan transmembran terus dimonitor selama hemodialisa dan dapat
bervariasi dalam cara yang mempengaruhi laju transport konvektif (Harris
et al, 2005).
3. Standar Pelaksanaan Hemodialisa
Hemodialisa yang memadai menurut Sukandar (2006) adalah regimen
pengobatan yang bisa diterima perawat dan klien dalam hal :
1) Mengendalikan gejala uremik dan kesejahteraan klien.
2) Tekanan darah yang terkontrol.
3) Zat biokimia ureum dalam darah dan nutrisi.
4) Pencapaian dosis dialisis berdasarkan bersihan zat kecil yang terlarut.
5) Ketidaknyamanan dan biaya.
Pengkajian yang adekuat direkomendasikan dilakukan 3 bulan sekali pada
klien yang stabil dan 1 bulan sekali pada klien yang tidak stabil atau setelah
terjadi perubahan dalam proses dialisis. Berikut beberapa hal yang perlu dikaji
pada klien yang sedang melaksanakan terapi hemodialisa :
1). Pengkajian subyektif.
Seberapa baik gejala ureumia dikendalikan pada klien (nafsu makan,
mual, lelah dan gatal-gatal)
2). Pengkajian obyektif.
Pengkajian meliputi : volume/tekanan darah, asidosis (seperti tunjukkan
dengan rendahnya kadar bikarbonat pada pertengahan minggu pre- dialysis),
kadar fosfat darah, serum albumin (indikator gizi yang terkait dengan
kelangsungan hidup).
3). Pengkajian
dosis dialisis.
Terpenuhi atau tidak pembersihan kadar urea. Efektivitas hemodialisa
sebagai terapi pengganti ginjal sebagian tidak sepenuhnya tergantung pada dosis
pemberian dialisis. Urea merupakan zat terlarut kecil yang terakumulasi pada
gagal ginjal. Hal ini mudah diukur, karena merupakan produk dialisis
merupakan hasil dari katabolisme protein dan membentuk 90% limbah nitrogen.
Pengukuran pemindahan urea korelasi dengan hasil dialisis klien. Pemindahan
urea seharusnya tidak hanya diukur untuk mengkaji keadekuatan dosis dialisis
yang diberikan. Bersihan urea tidak tentu berkorelasi dengan pemindahan
toksin uremik lainnya. Validitasnya tergantung seberapa baik terapi dialisis
digunakan untuk menghitung pemindahan urea yang biasanya secara normal
diberikan kepada klien.
Untuk tindakan hemodialisa kronis terdapat 2 jenis pemberian resep
hemodialisa (prescription hemodialysis).
1). Basic dialysis prescription.
Pemberian resep hemodialisa untuk klien dalam memelihara program
dialisis memperhitungkan lebih dari sekedar dosis yang diinginkan.
Elemen basic dialisis prescription adalah :
a. Durasi minimal dialisis yang diinginkan (tidak kurang dari 4 jam)
b. Frekuensi dialisis yang diinginkan (tidak kurang dari 3 kali/minggu
kecuali GFR residu >10mL/menit).
c. Berat badan kering klien yang diinginkan.
d. Tingkat penurunan urea.
e. Protokol antikoagulan yang digunakan.
f. Tipe membran.
g. Ukuran membran, dapat diputuskan secara empirik bahwa membran
yang besar untuk klien yang besar dan membran yang kecil untuk klien
yang kecil atau berdasarkan pemindahan urea yang ditentukan.
2). Advance dialysis prespcription.
a. Komponen dari basic dialysis prescription dapat dimodifikasi lebih
lanjut dalam keadaan yang spesifik.
b. Konsentrat dialisis biasanya disesuaikan dengan mesin dialisis karena
cairannya di campur langsung di dalam mesin yang terdiri dari asam
dan bikarbonat. Oleh karena itu, komponen dialisis bisa disesuaikan
dengan kondisi klien.
4. Tahapan Proses Hemodialisa
Menurut Kallenbach (2012) tindakan HD dibagi berdasarkan 3 tahapan
pelaksanaan yaitu sebelum HD, intra HD dan setelah HD.
a. Sebelum /Pre HD
Sebelum tindakan HD di mulai kondisi klien dan mesin harus di evaluasi.
Tahap sebelum HD merupakan tahap persiapan klien dan mesin. Persiapan
klien meliputi : kelengkapan administrasi (informed consent), pengukuran
terhadap berat badan dan tanda-tanda vital, pemeriksaan lab darah, observasi
edema dan kenyamanan klien serta pemasangan kanula pada akses vaskuler.
Saat persiapan mesin, perawat melakukan pengecekan terhadap fungsi dan
keakuratan mesin serta mengatur setting mesin sesuai dengan dosis yang telah
ditentukan. Pada tahap sebelum HD status psikologis pasien harus dikaji dan
dipersiapkan untuk penyesuaian dan menentukan dosis atau resep HD
(Kallenbach, 2012) terutama untuk mempersiapkan pemasangan kanula pada
akses vaskuler.
b. Intra HD
Kegiatan pada tahap ini terutama adalah observasi klien dan peralatan
termasuk mesin selama pelaksanaan HD. Monitoring pasien dan mesin
dilakukan setidaknya setiap 30 menit. Jika kondisi klien tidak stabil observasi
dilakukan lebih sering. Observasi dilakukan selama intra HD karena pada tahap
ini pasien berisiko mengalami komplikasi intra HD.
Menurut Dougirdas, Blake, & Ing (2007), Sukandar (2013) dan Inrig, Patel,
Toto dan Szczech (2009) komplikasi yang sering terjadi pada tindakan HD
adalah :
(a) Hipotensi (20-30%)
Hipotensi merupakan masalah umum yang dihadapi selama fase dialysis,
sekitar 20-30% klien HD pernah mengalami episode hipotensi. Penyebab
hipotensi paling sering yaitu : penurunan volume plasma dan kegagalan efek
vasokontriksi. Penyebab yang jarang terjadi yaitu : efek kardiovaskuler,
septikimia dan reaksi terhadap dialiser.
(b)Hipertensi (12,2%)
Menurut Inrig, Patel, Toto dan Szczech (2009) kejadian hipertensi intra
HD sebesar 12,2% sedangkan Armiyati (2016) kejadian hipertensi intra HD
mencapai 70%. Penyebab hipertensi intra HD adalah volume overload,
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron karena diinduksi oleh
hipovolemia saat dilakukan penarikan cairan tubuh klien (Ultrafiltasi),
overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, obat
antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel.
(c) Kram otot (5-20%)
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah.
Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan osmolaritas,
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium dan kalsium
intra atau ekstra sel (Kallenbach, 2012).
(d)Mual dan muntah (5-15%)
Mual dan muntah saat HD dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang berlebihan, lamanya
waktu HD, perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi.
(e) Headache (sakit kepala) (5%)
Sakit kepala selama prosedur HD harus dicurigai kegawat daruratan yang
berhubungan dengan angina, infark miokard atau perikarditis atau
berhubungan dengan hemolisis akut atau reaksi anafilaktid.
(f) Nyeri dada (2-5%)
Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena
penarikan cairan, perubahan volume darah menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah ke miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan
hemolisis (Kallenbach, 2012).
c. Setelah / Post HD
Pada tahap ini proses HD telah selesai dilakukan, pada tahap ini dilakukan
evaluasi tentang proses HD secara keseluruhan sesuai dengan target yang telah
ditentukan pada saat sebelum HD. Klien dilakukan pemeriksaan pemeriksaan
fisik oleh perawat dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah
lengkap (ureum, kreatinin) dan elektrolit darah. Perawat bekerjasama dengan
dokter dalam menghitung pencapaian adekuasi HD yang telah terlaksana agar
dapat menentukan dosis HD untuk terapi selanjutnya. Pada tahap setelah HD
perawat edukasi tentang diet, intake cairan dan pencapaian berat badan yang
ideal selama klien dirumah sebelum menjalani terapi HD berikutnya.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. L

DENGAN DIAGNOSA CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )


DI RUANG HEMODIALISIS RSUD dr. SLAMET GARUT

1. Identitas Pasien
Nama : Tn.N
Tanggal Lahir :-
Usia : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat :-
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
Suku : Sunda
Status : Menikah
No. RM :-
Diagnosa Medis : CKD
Hemodialisa ke : 496 (Sudah 6 tahun)
Tanggal Pengkajian : 26 September 2019
2. Pengkajian
a. Alasan masuk rumah sakit : Klien memang sudah rutin melakukan
hemodialisa 2x dalam seminggu.
b. Keluhan utama saat ini : Badan terasa berat
c. Riwayat penyakit sebelumnya : Hipertensi
d. Riwayat penyakit keturunan : Hipertensi
e. Riwayat pola makan/minum : klien mengatakan sering minum kopi,
fanta dan teh manis dan jarang sekali minum air putih. Klien juga
mengatakan bahwa dulu klien memiliki pola makan yang jelek.
f. Riwayat obat-obatan :-
g. Pengkajian fisik
Kepala : tidak ada lesi
Leher : tidak ada pembengkakan pada tiroid
Dada : Simetris, ronchi (-), wheezing (-)
Abdomen : asites (+)
Genitalia : tidak ada keluhan
Ekstremitas: tidak ada edema
h. Pengkajian Psikologis : klien mengatakan pasrah akan penyakitnya,
klien juga mengatakan bahwa dirnya tidak pernah mengeluh dan
menyerah dengan penyakitnya.
1. Fase Pre Hemodialisa
a. Dialisis
Dialisis ke :
Re-use :
b. Pemeriksaan umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 52x/menit
- Respirasi : 18x/menit
- Berat badan pre HD : 78 kg
- IDWG : 5,40
2. Fase Intra Hemodialisa
a. Keluhan utama saat ini
b. Dialisis
- Mulai : 13.00 WIB
- UF Target : 1000 ml
- Lama dialisa : 4 jam
- QB : 200 ml/menit
- Akses : AV-Fistula
c. Heparinisasi
- Awal : 2000
- Continue : 1000
3. Fase Post Hemodialisa
a. Keluhan utama saat ini :
- Subyek : pasien mengatakan badan terasa ringan dan segar
- Obyek : BB pasien 74 kg
b. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan darah : 110/90 mmHg
- Nadi : 52x/menit
- Respirasi : 18x/menit
- Berat Badan : 74 kg
c. Waktu dialisis
- Selesai : 17.00 WIB
- UF Goal : 4000 ml
Pengurangan BB : 4 kg
3. ANALISA DATA
Masalah
No. Data Etiologi
Keperawatan

1. DS: Proses penyakit dan etiologi Kelebihan


↓ volume cairan
- Klien mengatakan BB
arteriosklerosis
terasa berat ↓
DO: Suplai darah ginjal ↓, GFR↓

- Klien terlihat asites
Gangguan keseimbangan cairan
- BB sebelum HD 78 kg
dan eletrolit
sedangkan BB kering

klien adalah 74 kg ↑ Retensi Na dan H2O
- Intake : 500 ml ↓
- Output : 200 ml/24jam CES ↑, volume interstitial ↑
- IDWG : 5.40 ↓
Edema/ acites

Kelebihan volume cairan

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan
5. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional
keperawatan Kriteria Hasil

1.Kelebihan Setelah dilakukan 1. Monitor berat 1. Untuk mengetahui


volume cairan tindakan badan status volume cairan
2. Monitor TTV
berhubungan keperawatan 1x4 3. Kolaborasi klien melalui berat
dengan jam, kelebihan hemodialisa badan.
kelebihan volume cairan 4. lakukan penkes
2. Mengetahui keadaan
asupan cairan dapat teratasi
dengan kriteria umum klien.
Ditandai hasil : 3.Hemodialisa
dengan : merupakan terapi
 Terbebas dari
DS : pasien pengganti ginjal
edema dan asites dimana darah akan
mengeluh
badannya ditarik masuk ke
terasa berat dalam dialiser dan di
sana akan terjadi
DO : berat perpindahan zat sisa
badan pasien metabolisme melalui
78 kg membran
semipermeabel.
Asites (+)
4. memberikan penkes
dapat meningkatkan
pengetahuan dan
pemahaman klien
untuk meningkatkan
perbaikan kesehatan
dalam melakukan
perubahan perilaku
6. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Waktu Diagnosa Implementasi Respon Paraf

Sabtu, 26 1 - Mengkaji status cairan, menimbang - Terjadi penurunan Nurul S.F


September 2019 berat badan, memantau keseimbangan BB ketika post
masukan dan haluaran, turgor kulit HD
dan adanya edema
- Mengecek peralatan dan cairan yang - Terjadi perubahan
akan digunakan pada tekanan
- Monitor TTV darah ketika post
- Kolaborasi: hemodialisa HD
- Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
saat dilakukan penusukan - Pasien dalam
- Menggunakan teknik bersih selama kondisi baik,
dialysis pusing (-), edema
- Batasi cairan yang masuk (minum) (-).
- Memberikan pendidikan kesehatan
mengenai (diit rendah garam, batasi
natrium, batasi konsumsi buah - Pasien dapat
mengandung air) mengontrol nyeri
ketika di tusukan
jarum
VII EVALUASI KEPERAWATAN

NO. Tanggal Catatan Paraf

DX

1. 26 September 2019 S : Klien mengatakan badannya terasa lebih ringan dan segar Nurul S.F
setelah HD, badan menjadi enak setelah HD, klien akan
kontrol rutin dialisis 2x dalam seminggu.

O:

- TD : 110/70 mmHg
- BB pre HD 78 kg
- BB kering menjadi 74 kg

A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi program HD


DAFTAR PUSTAKA

Brunner, S. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.

Kallenbach et al. (2012). Review of Hemodialisysis For Nurses An Dialisysis


Personel. USA Philadelpia : Elseiver Mosby

Long, B. C. (2006). Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Bandung: Yayasan


Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.

NANDA. (2015). Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2015-2017.


Willey-Blackwell.

NKF-KDOQI. (2002). National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome


Quality Initiative (NKF-KDOQI), KDOQI Clinical Practice Guideliner for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.

Smeltzer, & Bare. (2008). Text Book of Medical Surgical Nursing Vol. 2.
Philadelphia: Linppincott William & Wikins.

Sukandar. (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung: Fakultas
Kedokteran UNPAD.

Suyono, S. (2001). Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II FKUI . Jakarta: Balai
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai