Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

LATAR BELAKANG

Pada era globalisasi sekarang ini, banyak sekali perubahan baik ilmu pengetahuan,

teknologi maupun perubahan pola pikir masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap

kualitas dan profesionalisme pemberian pelayanan kesehatan semakin meningkat.

Kebidanan sebagai profesi dan bidan sebagai tenaga profesional juga dituntut untuk

bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan kebidananan sesuai kompetensi dan

kewenangan yang dimiliki secara mandiri maupun bekerja sama dengan anggota tim

kesehatan lainnya.

Tenaga bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan memegang peranan penting

dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Bahkan WHO menyatakan bahwa bidan

merupakan “back bone” untuk mencapai target-target global, nasional maupun daerah.

Hal ini disebabkan karena bidan merupakan tenaga kesehatan yang melayani pasien

selama 24 jam secara terus menerus dan berkesinambungan serta berada pada garis

terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan membantu

memberikan informasi tentang kesehatan.

Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian obtruksi biliaris ?

2. Bagaimana etiologi obtruksi biliaris ?

3. Bagaimana gejala obtruksi biliaris ?

4. Bagaimana diagnosa obtruksi biliaris ?

5. Bagaimana pencegahan obtruksi biliaris ?

6. Bagaimana penatalaksanaan obtruksi biliaris ?

7. Bagaimana asuhan kebidanan ?


C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan pengertian obtruksi biliaris

2. Menjelaskan etiologi obtruksi biliaris

3. Menjelaskan gejala obtruksi biliaris

4. Menjelaskan diagnosa obtruksi biliaris

5. Menjelaskan pencegahan obtruksi biliaris

6. Menjelaskan penatalaksanaan obtruksi biliaris

7. Menjelaskan asuhan kebidanan

Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana


muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal hingga
glands penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotumatau perineum.
Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakinmengalami pemendekan
dan membentuk kurvatur yang disebut’’chordee’’.
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama
yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian
penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti olehGalen dan Paulus dari Agentia
pada tahun 200 dan tahun 400.
Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 denganmemperkenalkan secara
detail rekonstruksi uretra. Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian
besar merupakan
multi-stage reconstruction ; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi
stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan
recurvatum,kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty.
Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu membutuhkan
operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering
terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik. Pada
tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one- stage repair untuk mengurangi
komplikasi dari teknik multi-stage repair . Cara inidianggap sebagai rekonstruksi uretra
yang ideal dari segi anatomi danfungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik,
komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan pengertian hipospadia.
2. Menjelaskan tanda dan gejala hipospadia.
3. Menjelaskan penyebab hipospadia.
4. Menjelaskan penetalaksanaan hipospadia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. OBSTRUKSI BILIARIS

1. Pengertian Obtruksi Biliaris

Obstruksi Biliaris adalah suatu kelainan bawaan dimana terjadi penyumbatan pada

saluran empedu sehingga cairan empedu tidak dapat mengalir ke dalam usus untuk

dikeluarkan dalam feses (sebagai sterkobilin).

2. Etiologi Obtruksi Biliaris

Penyebab obstruksi biliaris sendiri belum diketahui secara pasti yang tersumbatnya

saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan

didalam feses.

3. Gejala Obtruksi Biliaris

Adapun gejala-gejala dari obstruksi biliaris diantaranya yaitu:

1) Gambaran klinis gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama yakni bayi

ikterus
2) Perut agak membuncit

3) Muntah setelah beberapa jam dilahirkan

Apabila terjadi obstruksi biliaris persisten, empedu yang terbendung dapat mengalami

infeksi, menimbulkan kolangitis dan abses hepar. Kekurangan empedu dalam usus halus

mempengaruhi absorpsi lemak dan zat yang terlarut dalam lemak (misalnya beberapa

jenis vitamin).

Obstruksi akut duktus biliaris utama pada umumnya disebabkan oleh batu empedu.

Secara klinis akan menimbulkan nyeri kolik dan ikterus. Apabila kemudian sering terjadi

infeksi pada traktus biliaris, duktus akan meradang (kolangitis) dan timbul demam.

Kolangitis dapat belanjut menjadi abses hepar.

Obstuksi biliaris yang berulang menimbulkan fibrosis traktus portal dan regenerasi

noduler sel hepar. Keadaan ini disebut sirosis biliaris sekunder.

4. Diagnosa Obtruksi Biliaris

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik, adanya tanda

ikterus atau kuning pada kulit, pada mata dan dibawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati

teraba membesar kadang juga disertai limfa yang membesar.

Pemeriksaan Laboratorium dan Imaging:

1) Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin) dilakukan pemeriksaan

fungsi hati khususnya terdapat peningkatan kadar bilirubin direk. Disamping itu

dilakukan pemeriksaan albumin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, GGT dan faktor

pembekuan darah.

2) Rontgen perut (tampak hati membesar)

3) Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif yaitu dengan memasukkan cairan

tertentu kejaringan empedu untuk mengetahui kondisi saluran empedu. Pemeriksaan


kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui

patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi kasai.

4) Breath test dilakukan untuk mengukur kemampuan hati dalam mematabolisir

sejumlah obat. Obat-obat tersebut ditandai dengan perunut radioaktif, diberikan per-

oral (ditelan) maupun intravena (melalui pembuluh darah).

5) Banyaknya radioaktivitas dalam pernafasan penderita menunjukkan banyaknya

obat yang dimetabolisir oleh hati.

6) USG menggunakan gelombang suara untuk menggambarkan hati, kandung

empedu dan saluran empedu. Pemeriksaan ini bagus untuk mengetahui kelainan

structural seperti tumor. USG merupakan pemeriksaan paling murah, paling aman dan

paling peka untuk memberikan gambaran dari kandung empedu dan saluran empedu.

Dengan USG, dokter dengan mudah bisa mengetahui adanya batu empedu didalam

kandung empedu. USG dengan mudah membedakan sakit kuning (jaundice) yang

disebabkan oleh penyumbatan saluran empedu dari sakit kuning yang disebabkan oleh

kelainan fungsi sel hati. USG Doppler bisa digunakan untuk menunjukkan aliran

darah dalam pembuluh darah dihati. USG juga bisa digunakan sebagai penuntun pada

saat memasukkan jarum untuk mendapatkan contoh jaringan biopsi.

7) Imaging radionuklida (radioisotop) menggunakan bahan yang mengandung perunut

radioaktif, yang disuntikkan ke dalam tubuh dan diikat oleh organ tertentu.

Radioaktivitas dilihat dengan kamera sinar gamma yang dipasangkan pada sebuah

komputer.

8) Skening hati merupakan penggambaran radionuklida yang menggunakan substansi

radioaktif, yang diikat oleh sel-sel hati.


9) Koleskintigrafi menggunakan zat radioaktif yang akan dibuang oleh hati ke dalam

saluran empedu. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui peradangan akut dari

kandung empedu (kolesistitis).

10) CT scan bisa memberikan gambaran hati yang sempurna dan terutama digunakan

untuk mencari tumor. Pemeriksaan ini bisa menemukan kelainan yang difusi

(tersebar), seperti perlemakan hati (fatty liver) dan jaringan hati yang menebal secara

abnormal (hemokromatosis). Tetapi karena menggunakan sinar X dan biayanya

mahal, pemeriksaan ini tidak banyak digunakan.

11) MRI memberikan gambaran yang sempurna, mirip dengan CT scan. Pemeriksaan ini

lebih mahal dari CT scan, membutuhkan waktu lebih lama dan penderita harus

berbaring dalam ruangan yang sempit, menyebabkan beberapa penderita mengalami

klaustrofobia (takut akan tempat sempit).

12) Kolangiopankreatografi endoskopik retrograd merupakan suatu pemeriksaan dimana

suatu endoskopi dimasukkan ke dalam mulut, melewati lambung dan usus dua belas

jari, menuju ke saluran empedu. Suatu zat radiopak kemudian disuntikkan ke dalam

saluran empedu dan diambil foto rontgen dari saluran empedu. Pemeriksaan ini

menyebabkan peradangan pada pankreas (pankreatitis) pada 3-5% penderita.

13) Kolangiografi transhepatik perkutaneus menggunakan jarum panjang yang

dimasukkan melalui kulit kedalam hati, kemudian disuntikkan zat radiopak ke dalam

salah satu dari saluran empedu. Bisa digunakan USG untuk menuntun masuknya

jarum. Rontgen secara jelas menunjukkan saluran empedu, terutama penyumbatan

didalam hati.

14) Kolangiografi operatif yaitu menggunakan zat radiopak yang bisa dilihat pada

rontgen. Selama suatu pembedahan, zat tersebut disuntikkan secara langsung kedalam
saluran empedu. Foto rontgen akan menunjukkan gambaran yang jelas dari saluran

empedu.

15) Foto rontgen sederhana sering bisa menunjukkan suatu batu empedu yang berkapur.

16) Pemeriksaan Biopsi hati yaitu untuk melihat struktur organ hati apakah terdapat

sirosis hati atau komplikasi lainnya. Laparotomi biasanya dilakukan sebelum bayi

berumur 2 bulan.

17) Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan).

5. Pencegahan Obtruksi Biliaris

Dapat mengetahui setiap faktor resiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan

promotif diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. maka penyumbatan

itu sendiri tidak dapat dicegah.

Dalam hal ini bidan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk

mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran

empedu) seperti harus terpenuhinya nutrisi selama hamil seperti asam folat, vitamin B

kompleks dan protein dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses

pucat dan urine berwarna gelap (pekat).

6. Penatalaksanaan Obtruksi Biliaris

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi biliaris bertujuan untuk

menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut

dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor.

Dapat pula upaya untuk menghilangkan sumbatan dengan tindakan endoskopi baik

melalui papila vater atau dengan laparoskopi.


Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab

sumbatan, dilakukan tindakan drenase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat

dialirkan. Drenase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa naso

bilier, pipa T pada duktus koledokus, atau kolesistostomi. Drenase interna dapat

dilakukan dengan membuat pintasan bilio digestif. Drenase interna ini dapat berupa

kelesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunustomi atau hepatiko-

jejunustomi.

B. HIPOSPADIA

1. Pengertian hipospadia
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu hypo yang berarti di bawah dan spadon
yang berarti keratan yang panjang..Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan dimana
meatus uretra eksterna berada di bagian permukaan ventral penis dan lebih ke
proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glanss penis) (Arif Mansjoer, 2000).
Hipospadia adalah kelainan bawaan berupa urethra yang terletak di bagian bawah
dekat pangkal penis (Ngastiyah, 2005).
Berdasarkan dari dua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa hipospadia adalah
suatu kelainan bawaan sejak lahir dimana lubang uretra terdapat di penis bagian
bawah bukan diujung penis. Sebagaian besar anak dengan kelainan hipospadia
memiliki bentuk batang penis yang melengkung. Biasanya di sekitar lubang kencing
abnormal tersebut terbentuk jaringan ikat (fibrosis) yang bersifat menarik dan
mengerutkan kulit sekitarnya. Jika dilihat dari samping, penis tampak melengkung
seperti kipas (chordee, bahasa latin); secara spesifik jaringan parut di sekitar muara
saluran kencing kemudian disebut chordee. Tidak setiap hipospadia memiliki chordee.
Seringkali anak laki-laki dengan hipospadia juga memiliki kelainan berupa testis yang
belum turun sampai kekantung kemaluannya (undescended testis). Hipospadia
merupakan kelainan bawaan yang jarang ditemukan, dengan angka kekerapan 1 kasus
hipospadia pada setiap 250-400 kelahiran bayi laki-laki hidup.
2. Etiologi
Hipospadia hasil dari fusi yang tidak lengkap dari lipatan uretra
terjadi pada usia kehamilan pada minggu ke 8 dan ke 14. Diferensiasi seksual laki-
laki pada umumnya tergantung pada hormone testosteron, dihydrotestosteron, dan
ekspresi reseptor androgen oleh sel target. Gangguan dalam keseimbangansistem
endokrin baik faktor-faktor endogen atau eksogen dapat menyebabkanhipospadia.
Indikasi untuk beberapa faktor risiko lain juga telah dilaporkan. Namun,
etiologi hipospadia masih belum diketahui. (Brouwers, 2006).
1. Metabolisme Androgen
Diferensiasi seksual yang normal tergantung pada testosteron dan
metabolismenya bersamaan dengan kehadiran reseptor androgen fungsional.
Gangguan genetik dalam jalur metabolisme androgen dapat menyebabkan hipospadia.
Meskipun kelainan dalam metabolism androgen dapat menyebabkan hipospadia yang
berat, namun tidak dapat menjelaskan etiologi terjadinya hipospadia yang sedang dan
ringan. (Baskin, 2000)

2. Gangguan Endokrin
Salah satu penyebab hipospadia disebabkan adanya kontaminasi lingkungan,
dimana dapat mengintervensi jalur androgen yang normal dandapat mengganggu
sinyal seluler. Hal ini dapat diketahui dari beberapa bahan yang sering dikonsumsi
oleh manusia yang banyak mengandung aktivitas ekstrogen, seperti pada insektisida
yang sering digunakan untuk tanaman, estrogen alami pada tumbuhan, produk-produk
plastik, dan produk farmasi. Selain itu, banyak bahan logam yang digunakan untuk
industry makanan, bagian dalamnya dilapisi oleh bahan plastic yang mengandung
substansi estrogen. Substansi estrogen juga dapat ditemukan pada air laut dan air
segar, namun jumlahnya hanya sedikit. Ketika estrogen tersebut masuk ke dalam
tubuh hewan, jumlah estrogen paling tinggi berada pada puncak rantai makanan,
seperti kain besar, burung, mamalia laut dan manusia, sehingga menyebabkan
kontaminasi estrogen yang cukup besar. Pada beberapa spesies, kontaminasi estrogen
dapat mempengaruhi fungsi reproduksi dan kesehatan. Sebagai contoh, terjadi
penipisan kulit telur karena pengaruh estrogen. (Baskin, 2000)

3. Faktor Genetik
Usia ibu saat melahirkan dapat menjadikan salah satu faktor resiko terjadinya
hipospadia. Sebuah langsung korelasi terlihat antara usia ibu yang tua dapat
meningkatkan kejadian hipospadia, dan lebih ditandai dengan bentuk parah dari cacat
lahir. (Fisch, 2001)
3. Tanda dan gejala
a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah
penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung
penis.
c. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang
hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
d. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.

h. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).


i. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
4. Diagnosis
Ketika pasien pertama kali datang, pertanyaan dibuat mengenai riwayat obat-
obatan diawal kehamilan, riwayat keluarga, arah dan kekuatan cairan kemih dan adanya
penyemprotan pada saat buang air kecil. Pemeriksaan fisik meliputi kesehatan umum dan
perkembangan pertumbuhan dengan perhatian khusus pada system saluran kemih seperti
pembesaran salah satu atau kedua ginjal dan amati adanya cacat lahir lainnya. Khas pada
hipospadia adalah maetus uretra pada bagian ventral dan perselubungan pada daerah
dorsal serta terdapat defisiensi kulit preputium, dengan atau tanpa chordee dan hipospadia
berat berupa suatu skrotum bifida. Ukuran meatus uretra dan kualitas dinding uretra
(corpus spongiosum) pada proksimal meatus juga berbeda. Derajat hipospadia sering
digambarkan sesuai dengan posisi meatus uretra dalam kaitannya dengan penis dan
skrotum. Ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk kemungkinan timbul keraguan
karena dengan adanya Chordee yang signifikan.
Sebuah meatus yang berada di wilayah subcoronal mungkin sebenarnya juga
snagat dekat dengan persimpangan penoscrotal dank arena itu setelah koreksi chordee,
meatus akan surut ke daerah proksimal batang penis memerlukan rekonstruksi uretra yang
luas. Sebaliknya, meatus yang terletak di wilayah subcoronal dalam ketiadaan
chordeecocok dengan hipospadia ringan. Oleh karna itu, karena kehadiran chordee yang
signifikan, posisi meatus uretra harus dijelaskan dalam kaitannya dengan persimpangan
penoscrotal dan korona. Tingkat chordee dapat secara akurat dinilai dengan induksi ereksi
dengan mengompresi kavernosum terhadap rami pubis. Kehadiran satu atau kedua testis
di skrotum harus dicatat. Pada sebagian besar kasus, pasien dengan testis hipospadia
ringan sampai sedang dan kedua testis yang dapat turun secara genotif adalah laki-laki
normal. Namun dalam kasus hipospadia yang berat terutama bila dikaiatkan dengan testis
yang tidak turun baik unilateral atau bilateral, muncul pertanyaan tentang interseks. (Man,
1958).
Bebrapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan
cytosocopy untuk memasatikan organ-organ seksinternal terbentuk secara normal.
Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas
congenital pada ginjal dan ureter. (Cafici, 2002).

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan. Tujuan prosedur
pembedahan pada hipospadia adalah:
1. Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee.
2. Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis(Uretroplasti).
3. Untuk mengembalikan aspek normal dari genitalia eksterna (kosmetik).Pembedahan
dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Padahipospadia glanular uretra distal ada
yang tidak terbentuk, biasanya tanpa recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkonstruksi
dengan flap lokal (misalnya, prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI [meatal advance and
glanulo plasty], termasuk preputium plasty).
Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulansampai usia
prasekolah. Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar
bahwa ia begitu spesial, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana
anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus
melakukannya dengan jongkok agar urin tidak merembes ke mana-mana. Anak yang
menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan
operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang
dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain:
1. Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin.Hal ini
dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatuchorda yang
merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok.
Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit
preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
2. (Uretroplasty). Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa
naficularis pada glans penis. Uretroplasty yaitu membuat fassanaficularis baru
pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang
telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama.
Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan
pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin
karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang
dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada
vesica urinaria (kandungkemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah
sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.

BAB III

TINJAUAN KASUS

SOAP

A. Obstruksi Biliaris
a. Data subjektif
b. Data objektif
c. Analisa
d. Penatalaksanaan

B. Hipospadia
a. Data Subjektif
b. Data Objektif
c. Analisa
d. Penatalaksanaan
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai