Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
BNO merupakan satu istilah medis dari bahasa Belanda yang merupakan
kependekan dari Blass Nier Overzicht (Blass = Kandung Kemih, Nier = Ginjal,
Overzicht = Penelitian). Dalam bahasa Inggris, BNO disebut juga KUB (Kidney
Ureter Blass). Jadi, pengertian BNO adalah suatu pemeriksaan didaerah abdomen /
pelvis untuk mengetahui kelainan-kelainan pada daerah tersebut khususnya pada
sistem urinaria. 1

IVP atau Intra Venous Pyelography merupakan pemeriksaan radiografi pada


sistem urinaria (dari ginjal hingga blass) dengan menyuntikkan zat kontras melalui
pembuluh darah vena. Tujuan pemeriksaan untuk menggambarkan anatomi dari
pelvis renalis dan sistem calyses serta seluruh tractus urinarius dengan penyuntikan
kontras media positif secara intra vena. Pemeriksaan ini dapat diketahui kemampuan
ginjal mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut. 2
2. Anatomi dan fisiologi
 Ginjal
Sisi lateralnya berbentuk cembung, sisi medial cekung, sedikir pada
permukaan anterior, sedikit cembung pada permukaan porterior. Ukuran ginjal 11cm
x 6cm x 2,5 cm. Ginjal kiri sedikit lebih panjang dari pada ginjal kanan. Letak ginjal
yang normal setinggi columna vertebralis thoracalis XII s.d columna vertebralis
lumbalis III dibelakang peritonium bersinggungan dengan dinding abdomen
posterior. Ginjal kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Pada bagian yang cekung
memiliki hilus tempat transmisi dari pembuluh-pembuluh darah, limfe, syaraf dan
ureter. Hilus berlanjut membentuk cavitas pusat yang disebut sinus renalis.3
Lapisan luar dinjal disebut substansi cortical dan lapisan dalam disebut
substansi medular, permukaan luar ginjal ditutupi oleh lapisan tipis jaringan fibrosus.
Substansi medular terdiri dari sekumpulan tubuli membentuk 8 sampai dengan 15
segmen conus yang disebut pyramid yang masing-masing puncaknya membentuk
3
sistem calyses.
 Ureter
Panjang ureter 20-30 cm, terletak pada posterior dari peritoneum dan
didepan dari musculus psoas dan processus transversum columna
vertebralis lumbalis. Bagian distal berhubungan dengan vesica urinaria
pada tepi lateral bagian superior.
 Vesica Urinaria
Penampungan urine, letaknya postero-superior terhadap sympisis pubis.
Bentuk dan ukurannya bervariasi sesuai banyaknya urine yang ditampung.
Kapasitasnya sekitar 700-1000 ml.
 Uretra
Merupakan traktus urinarius paling distal, tempat ekskresi urine.
Panjangnya kira-kira 2,5 cm-4 cm pada wanita dan 20cm pada pria.
3. Patologi dan indikasi klinis
 Hydroneprosis
Hydroneprosis adalah distensi dan dilatasi dari renal pelvic, biasanya
disebabkan oleh terhalangnya aliran urin dari ginjal (Obstruksi), Hydroneprosis biasa
disebut pembesaran ginjal. . 4
 Pyelonepritis
Pyelonepritis adalah inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal
yang disebabkan karena adanya infeksi oleh bakteri infeksi bakteri
pada jaringan ginjal yang dimulai dari saluran kemih bagian bawah
terus naik ke ginjal.
 Renal Hypertension
Renal Hypertension adalah Sindrom yang terdiri dari tekanan darah
tinggi yang disebabkan oleh penyempitan arteri menyuplai ginjal
(stenosis arteri ginjal)
 Polyuria
Polyuria adalah fisiologis normal dalam beberapa keadaan, seperti
diuresis dingin, diuresis ketinggian, dan setelah minum cairan dalam
jumlah besar.
 Neprolithiasis
Neprolithiasis adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam
5
Pelvis atau Calyces dari ginjal.

 Urolithiasis
Urolithiasis adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu didalam
saluran ureter.
 BPH
BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada
jalan urine (urethra).
4. Kontra Indikasi
a. Alergi terhadap media kontras
b. Pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung
c. Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung
d. Multi myeloma
e. Neonatus
f. Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah
g. Pasien yang sedang dalam keadaan kolik
Hasil laboratorium ureum <60mg% dan creatinin <2mg% . 6

5. Efek samping
Efek samping yang ditimbulkan oleh media kontras BNO IVP
 Efek samping ringan, seperti mual, gatal-gatal, kulit menjadi merah dan
bentol-bentol
 Efek samping sedang, seperi edema dimuka/pangkal tenggorokan
 Efek samping berat, seperti shock, pingsan, gagal jantung.
 Efek samping terjadi pada pasien yang alergi terhadap yodium (makanan
laut) dan kelainan pada jantung.
Pencegahan alergi pada pasien sebelum dimasukan kontras dapat dilakukan
sebagai berikut:
 Melakukan skin test. Skin test adalah tes kepekaan kulit terhadap bahan
kontras yang disuntikkan sedikit dipermukaan kulit (subkutan). Bila terjadi
reaksi merah atau bentol diarea itu, segera laporkan radiolog/dokter yang
jaga.
 Melakukan IntraVena test setelah skin test dinyatakan aman. IV test yaitu
dengan menyuntikan bahan kontras kurang lebih 3-5cc kedalam vena.
Segera laporkan dokter jika terjadi reaksi.
 Memberikan obat pencegahan alergi seperti antihistamin sebelum
pemasukan bahan kontras (contohnya : diphenhydramine).
Tindakan penyembuhan (yang dilakukan setelah bahan kontras itu masuk
tubuh dan menimbulkan alergi)
 Reaksi ringan seperti rasa mual dapat diatasi dengan menginstruksikan
pasien untuk tarik nafas dalam lalu keluarkan melalui mulut.
Reaksi berat diperlukan pengobatan atau pertolongan lainnya atau bila perlu
menghentikan pemeriksaan (sesuai arahan radiolog). . 7

6. Persiapan pemeriksaan
a. Persiapan pasien
 Sehari sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk makan-
makanan lunak yang tanpa serat (seperti bubur kecap) maksudnya
supaya makanan tersebut mudah dicerna oleh usus sehingga faeces
tidak keras.
 Makan terakhir pukul 19.00 (malam sebelum pemeriksaan) supaya
tidak ada lagi sisa makanan diusus, selanjutnya puasa sampai
pemeriksaan berakhir.
 Malam hari pukul 21.00, pasien diminta untuk minum laksatif
(dulcolax) sebanyak 4 tablet.
 8 Jam sebelum pemeriksaan dimulai, pasien tidak diperkenankan
minum untuk menjaga kadar cairan.
 Pagi hari sekitar pukul 06.00 (hari pemeriksaan), pasien diminta untuk
memasukkan dulcolax supossitoria melalui anus, supaya usus benar-
benar bersih dari sisa makanan / faeces.
 Selama menjalani persiapan, pasien diminta untuk tidak banyak bicara
dan tidak merokok supaya tidak ada intestinal gas (gas disaluran
pencernaan)
Tujuan prosedur persiapan pasien tersebut adalah untuk membersihkan usus
(gastro intestinal) dari udara dan faeces yang dapat mengganggu visualisasi dari foto
IVP atau menutupi gambaran ginjal dan saluran-salurannya. Pemeriksaan yang tidak
8
baik terlihat dari bayangan lucent di usus karena udara dan faeces.

b. Persiapan bahan kontras


 Media kontras yang digunakan adalah yang berbahan iodium, dimana
jumlahnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg
berat badan.
Bahan kontras yang disuntikkan melalui vena fossa cubiti akan mengalir ke
vena capilaris, vena subclavia, kemudian ke vena cava superior. Dari VCS bahan
kontras akan masuk ke atrium kanan dari jantung, kemudian ke ventrikel kanan dan
mengalir ke arteri pulmo. Kemudian mengalir ke vena pulmo menuju atrium kiri
kemudian ventrikel kiri dan mengalir ke aorta, serta terus mengalir menuju aorta
desendens kemudian kedalam aorta abdominalis dan masuk kedalam arteri renalis
dan mulai memasuki korteks ginjal. . 9
c. Persiapan alat
1) Peralatan Steril
o Wings needle No. 21 G (1 buah)
o Spuit 20 cc (2 buah)
o Kapas alcohol atau wipes
2) Peralatan Un-Steril
o Plester
o Marker R/L dan marker waktu
o Media kontras Iopamiro (± 40 – 50 cc)
o Obat-obatan emergency (antisipasi alergi media kontras)
o Baju pasien
o Tourniquet

7. Prosedur pemeriksaan
Berikut adalah prosedur pemeriksaan BNO IVP:
a. Pasien diwawancarai untuk mengetahui sejarah klinis dan riwayat alergi.
b. Pasien diminta untuk mengisi informed consent (surat persetujuan
tindakan medis setelah pasien dijelaskan semua prosedur pemeriksaan).
c. Buat plain photo BNO terlebih dahulu dengan tujuan Untuk menilai
persiapan yang dilakukan pasien, untuk melihat keadaan rongga abdomen
khususnya tractus urinaria secara umum.,untuk menentukan faktor
eksposi yang tepat untuk pemotretan berikutnya sehingga tidak terjadi
pengulangan foto karena kesalahan faktor eksposi.
d. Jika hasil foto BNO baik, lanjutkan dengan melakukan skin test dan IV
test sebelum dimasukkan bahan kontras melalui vena fossa cubiti
e. Sebelum melakukan penyuntikan, pasien ditensi terlebih dahulu.
f. Menyuntikkan bahan kontras secara perlahan-lahan dan menginstruksikan
pasien untuk tarik nafas dalam lalu keluarkan dari mulut guna
menminialkan rasa mual yang mungkin dirasakan pasien
g. Membuat foto 5 menit post injeksi
h. Membuat foto 15 menit post injeksi
i. Membuat foto 30 menit post injeksi
j. Pasien diminta untuk turun dari meja pemeriksaan untuk buang air kecil
(pengosongan blass) kemudian difoto lagi post mixi.
Foto IVP bisa saja dibuat sampai interval waktu berjam-jam jika kontras
belum turun. 10

8. Kriteria teknik pemeriksaan BNO IVP


a. Plain foto BNO AP (sebelum injeksi)
 Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang
diletakkan memanjang
 Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh
sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki
diatur lurus, dan kedua tangan lurus disamping tubuh.
 Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long
axis tubuh sejajar dengan long axis film;Aturlah kaset dengan batas
atas pada diafragma, dan batas bawah pada sympisis pubis.
 CP : pertengahan film
 CR : Vertikal tegak lurus film
b. Foto 5 menit post injeksi
 Menggunakan kaset 24 x 30 yang diletakkan melintang.
 Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh
sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki
diatur lurus, dan kedua tangan lurus disamping tubuh.
 Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long
axis tubuh sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas
atas pada processus xypoideus dan batas bawah pada crista iliaca/SIAS
 CP : pertengahan film
 CR : Vertikal tegak lurus film
 Gambaran :
• Densitas baik
• Tidak ada bagian Nefron yang terpotong
• Kontras mengisi ginjal/ Calyx sampai ureter proximal
• Opasitas mampu menampilkan organ
 Fase dimana kontras media memperlihatkan nefron pada ginjal (terisi
minimal)
c. Foto 15 menit post injeksi
 Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang
diletakkan memanjang.
 Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh
sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki
diatur lurus, dan kedua tangan lurus disamping tubuh.
 Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long
axis tubuh sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas
atas pada diafragma, dan batas bawah pada sympisis pubis.
 CP : Umbilikus
 CR : Vertikal tegak lurus film
Kontras media memperlihatkan nefron , Pelvis renalis dan ureter proksimal
terisi maksimal ( Fungsi Ekskresi Ginjal yang terbendung ) . 11

d. Foto 30 menit post injeksi
 Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang
diletakkan memanjang.
 Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh
sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki
diatur lurus, dan kedua tangan lurus disamping tubuh.
 Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long
axis tubuh sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas
atas pada diafragma, dan batas bawah pada sympisis pubis.
 CP : Umbilikus
 CR : Vertikal tegak lurus film
 Gambaran:
• Densitas baik
• Tidak ada bagian ginjal yang terpotong
• Kontras mengisi ginjal Calyx sampai ureter distal dan sedikit
mengisi kandung kemih
• Opasitas mampu menampilkan organ Tractus Urinarius
 Kontras media memperlihatkan nefron , Pelvis renalis dan ureter
proksimal terisi maksimal dan ureter distal mulai mengisi kandung
kemih ( Fungsi Ekskresi Ginjal tidak terbendung ).
e. Foto post mixi
 Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang
diletakkan memanjang.
 Semua foto dikonsultasikan ke dokter spesialis radiologi. Jika dokter
meminta foto post mixi, pasien diminta untuk buang air kecil untuk
mengosongkan blass dari media kontras.
 Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long
axis tubuh sejajar dengan long axis film;Aturlah kaset dengan batas
atas pada diafragma, dan batas bawah pada sympisis pubis.
 CP : Umbilikus
 CR : Vertikal tegak lurus film
 Gambaran:
o Densitas baik
o Tidak ada bagian Ginjal hingga VU yang terpotong
o Kontras Keluar dari kandung kemih hingga VU dapat terlihat
kosong
o Opasitas mampu menampilkan organ
o vesica urinaria terisi penuh kontras media

Kontras media memperlihatkan kandung kemih dalam keadaan kosong (


12
Fungsi pengosongan kandung kemih).

9. Kekurangan dan kelebihan pemeriksaan BNO IVP


a. Kelebihan
o Bersifat invasif.
o IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter
dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari
adanya batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan pembedahan
o Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal
dapat dilakukan.
o Radiasi relative rendah
Relative aman . 13
o
b. Kekurangan
o Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang
diperoleh.
o Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3 mSv, sama dengan rata-rata
radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun.
o Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi
pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan
pengobatan lanjut.
Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil. 14
DAFTAR PUSTAKA

1. Boer, A, 2005. Ultrasonografi. Dalam: Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik Edisi


Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 453 - 455.
2. Dorland, 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
3. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua Jakarta: Balai Penerbit
FK UI, 453- 455.
4. Adam, Andy. 2008. Diagnostic Radiology. Phila de lphia: ELSEVIER
CHURCHILL LIVINGSTONE. pp. 768

5.American Gastroenterological Assoc iation, American Digestive Hea lth


Foundation, 7910 Woodmont Avenue , 7th Floor, Bethesda , MD 20814.
(http://www.gastro.org)

6. Avunduk, Canan. 2008. Manual of Gastro en terology: Diagnosis and


Therapy. Phila de lphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp. 349-58

7. Beckingham, I J. 2001. ABC Of Dise ases Of Liver, Pancreas, And Biliary


System Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001:
322(7278): 91–94.

8. Baughman, Roseanne , et al. 2004. Diagnostic Test. USA: Lippinc ott


Williams & Wilkins. pp. 25

9. Davey, Patrick. 2006. At a Glance Med icine. Jakarta : Erlangga. pp. 110-1

10. De Jong W, Sjamsuhidajat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Beda h. Edisi 2. Ja karta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 570-9.

11.Greenberger, Norton J, 2009. Current Diagnosis & Treatment


Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. USA: Mc Graw-Hill. pp. 537-46.
12. Guyton. Arthur C, Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta : EGC. pp. 843-6

13. Henningsen, Charlotte. 2004. CLINICAL GUIDE TO


ULTRASONOGRAPHY.Phila de lphia: Mosby. pp. 5

14. Palmer, 2002. Panduan Pemeriksaan Diagnostik USG. Jakarta: EGC. pp.

20 Patel, Pradip. R. 2007. Lecture Notes RADIOLOGI. Jakarta : Erlangga.

pp. 141
68
69

Rasad, Sjariar. 2009. Radiologi Diagnostik . Jakarta: Balai Penerbit FK UI. p .


453-4

Raymond, Indra. 2007. AKURASI PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DALAM


MENEGAKKAN DIAGNOSIS KOLELITIAS IS PADA PASIEN
POST

KOLEKISTEKTOMI. Yogyakarta: Tesis FK UGM

Rodriguez, Vazgue z., Rodrigue z, Perez. 2010. Frequency and Clinical Course
of Biliary Lithiasis In Patient With Severe Preeclampsia . Journal of
Gynecology of Mexico. No 78 V ol 11. pp. 583-9.

Sastro asmo ro , Sudigdo., Ismael, Sofyan. 2008. Da sa r-dasar Metod olog i


Penelitian Klinis Edisi Ke-3. Jakarta: Sagung seto.

Schwartz S, et al. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Su rg ery). Edisi

6. Ja ka rta: EGC. pp. 459-64.

Sherwood, La ura lee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC pp. 565-70.

Snell, Ric ha rd S. 2006. Anatomi Klin ik . Jakarta : EGC. pp. 240-247, 289-90

Sudoyo, Aru. W. 2007. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM VOL I. Jakarta :
FKUI. p . 479-81

Sula iman, A li, et al. 2007. BUKU AJAR PENYAKIT HATI. Jakarta: Jayabadi. pp.
161-77

69
70

Taufiqqurahman, Moc ha mmad A, 2008. Pengantar Metodologi Pen elitian


Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: UNS Press. pp.71

Yamada, Ta kada. 2009. Atlas of Gastroentero logy. USA:


WILEY- BLACKWELL. p . 582-3

70

Anda mungkin juga menyukai