Anda di halaman 1dari 175

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulkus kaki diabetik sampai saat ini menjadi masalah kesehatan utama di

seluruh dunia, karena kasus yang semakin meningkat, ulkus bersifat kronis dan sulit

sembuh, mengalami infeksi dan iskemia tungkai dengan risiko amputasi bahkan

mengancam jiwa, membutuhkan sumber daya kesehatan yang besar, sehingga

memberi beban sosio-ekonomi bagi pasien, masyarakat, dan negara. Berbagai

metode pengobatan telah dikembangkan namun sampai saat ini belum memberikan

hasil yang memuaskan.

Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada

peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana

sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di dalam hidup

mereka (Singh dkk., 2005). Di Amerika Serikat, Huang dkk. (2009)

memproyeksikan jumlah penyandang DM dalam 25 tahun ke depan (antara tahun

2009-2034) akan meningkat 2 kali lipat dari 23,7 juta menjadi 44,1 juta, biaya

perawatan per tahun meningkat sebanyak 223 miliar dolar dari 113 menjadi 336

miliar dolar Amerika Serikat. Biaya pengobatan DM dan komplikasinya pada tahun

2007 di Amerika Serikat mencapai 116 miliar dolar, dimana 33% dari biaya tersebut

berkaitan dengan pengobatan ulkus kaki diabetik ( Driver dkk, 2010).

Di Indonesia, berdasarkan laporan Riskesdas 2007 yang dikeluarkan oleh

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik

1
2

Indonesia, prevalensi nasional penyakit DM adalah 1,1% (Riskesdas, 2007).

Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang DM

terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan

Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7

juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030

akan ada 20,1 juta penyandang DM dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk

daerah urban dan 7,2 persen di rural. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health

Organisation, WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia

dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Pusat Data

dan Informasi PERSI, 2012).

Risiko infeksi dan amputasi masih cukup tinggi, yaitu 40-80% ulkus kaki

diabetik mengalami infeksi (Bernard, 2007), 14-20% memerlukan amputasi

(Frykberg dkk., 2000), 66% mengalami kekambuhan dan 12% memiliki risiko

amputasi dalam 5 tahun setelah sembuh. Kebanyakan pasien datang berobat dalam

fase lanjut, terlihat dari proporsi ulkus kaki diabetik Wagner III-V mencapai 74,6 %

dibandingkan dengan Wagner I-II yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus

ulkus kaki diabetik yang dirawat di RS Sanglah, dengan kecendrungan semakin

tinggi derajat ulkus semakin besar risiko amputasi (Muliawan dkk., 2005). Keadaan

ini sangat berkaitan dengan keterlambatan diagnosis dan konsultasi, penanganan

yang tidak adekuat, serta luasnya kerusakan jaringan (Van Baal, 2004). Amputasi

kaki lebih sering dilakukan atas dasar infeksi jaringan lunak yang luas atau

kombinasi dengan osteomielitis, disamping faktor-faktor lain seperti iskemia oleh

karena Peripheral artery disease (PAD), dan neuropati (Van Baal, 2004 ; Widatalla
3

dkk., 2009). Dengan program pelayanan kesehatan yang terstruktur, dimana semua

disiplin ilmu yang terkait bekerja secara koordinatif tercapai penurunan bermakna

angka amputasi major ulkus kaki diabetik lebih dari 75% dibandingkan dengan

pelayanan standar (Weck, 2013). Tanpa adanya perubahan strategi penanganan,

maka peningkatan populasi penderita DM, dan peningkatan biaya pengobatan DM

dan komplikasinya, akan menjadi beban berat bagi sistem pelayanan kesehatan.

Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik menurut Tellechea dkk. (2010)

terjadi karena empat faktor yaitu adanya hiperglikemia yang berlangsung secara

terus menerus, lingkungan pro-inflamasi, penyakit arteri perifir, dan neuropati

perifir, keempat keadaan di atas secara bersam-sama menyebabkan gangguan fungsi

sel imun, respon inflamasi menjadi tidak efektif, disfungsi sel endotel, dan gangguan

neovaskularisasi. Debridemen merupakan pengobatan standar ulkus kaki diabetik

sampai saat ini, disamping off-loading dan restorasi perfusi kulit. Meskipun saat ini

juga berkembang pengobatan berbasis terapi gen seperti autologous growth factor,

recombinant growth factor, bioengineered cell-base therapies (Kirsner, dkk., 2010).

Namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Memahami

dasar-dasar molekuler dari penyakit ini, merupakan hal penting untuk melangkah ke

depan menuju pengobatan yang rasional, karena karakteristik sistemik dari DM

menyebabkan gangguan di dalam beberapa fungsi dasar sel (Lobmann,dkk., 2005).

Strategi baru harus dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus

kaki diabetik, sehingga diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan

ulkus kaki diabetik, dengan memperhatikan gangguan vaskuler (Lepantalo dkk.,

2011), karena semua ulkus kronis menunjukkan hipoksia jaringan, dan tekanan
4

oksigen lokal pada ulkus kronis berkisar setengah dari normal sehingga terjadi

gangguan replikasi fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan

leukosit. Velazques (2007)

Telah diketahui bahwa peripheral artery disease (PAD) merupakan salah

satu bentuk gangguan vaskuler pada ulkus kaki diabetik sebagai sumber penyebab

hipoksia jaringan, karena kebanyakan ulkus kaki diabetik berlokasi pada bagian kaki

yang mengalami iskemia akibat komplikasi vaskuler dari DM kronis (Lerman,

2003). Kejadian PAD pada ulkus kaki diabetik bervariasi antara 10-60%, dan

merupakan prediktor kuat untuk ulkus kaki kronis yang sulit sembuh, amputasi

ektremitas bawah, morbiditas dan mortalitas (Tellechea dkk., 2010). Untuk restorasi

perfusi kulit karena hipoksia jaringan akibat adanya PAD, sesuai dengan pedoman

pengobatan PAD yang telah disepakati (ACC/AHA guideline for PAD, 2006)

meliputi program latihan, farmakologi, dan revaskularisasi baik endovaskuler atau

operasi bypass (Hirsch dkk., 2006).

Bentuk gangguan vaskuler lain yang diduga sebagai penyebab hipoksia

jaringan adalah adanya peningkatan tekanan kompartemen kaki yang terjadi pada

ulkus kaki diabetik. Beberapa laporan kasus menyebutkan adanya sindroma

kompartemen pada pasien DM yang memicu iskemia jaringan dan berakhir dengan

nekrosis jaringan, sehingga diduga ada indikasi keterkaitan antara DM, peningkatan

tekanan intrakompartemen, iskemia jaringan, serta nekrosis jaringan

(Munichoodappa, 1999 ; Pamoukian, 2000 ; Jose, 2004 ; Flamini dkk.,2008). Bukti

kuat mendukung terjadinya peningkatan tekanan kompartemen kaki berkaitan

dengan DM adalah laporan Lower dan Kenzora (1994) yang melakukan pengukuran
5

empat kompartemen kaki dari pasien dengan neuropati diabetes berat, ditemukan

bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes lebih tinggi

daripada pasien kaki normal, walaupun perbedaannya tidak bermakna, sedangkan

pada kompartemen interoseus dan kompartemen sentral perbedaannya bermakna.

Mekanisme peningkatan tekanan kompartemen kaki adalah melalui

peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, terbukti dari ditemukannya peningkatan

permeabilitas mikrovaskuler pada DM baik pada percobaan binatang maupun pada

pasien selama fase awal dan lanjut dari penyakitnya, hal ini karena perubahan

struktur dan fungsi kapiler menyebabkan gangguan pertukaran molekul melalui

membran endotel ke interstitiil (Bouskela dkk., 2003). Pengamatan di klinik

mendukung temuan di atas, sebab pada pasien ulkus kaki diabetik sering ditemukan

edema berkepanjangan dan berulang.

Fasiotomi pada umumnya dilakukan jika tekanan intrakompartemen

mencapai 30 mmHg, atau 30 mmHg dibawah MAP (Mean Arterial Pressure) atau

10-30 mmHg dibawah tekanan darah diastolik (Fulkerson,dkk., 2003). Sedangkan

pada ulkus kaki diabetik, fasiotomi dikerjakan jika terdapat infeksi jaringan yang

dalam dan berat seperti fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis asenden, terdapat

sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas

metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Van Baal, 2004 ; Bernard, 2007 ;

Zgonis dkk., 2008). Tujuan fasiotomi adalah mengurangi perbedaan tekanan

transmural antara mikrosirkulasi dan interstitial sehingga barier perfusi yang

mengakibatkan hipoksia, asidosis dan iskemia jaringan dapat dicegah (Fulkerson,

dkk., 2003 ; Frink dkk, 2010). Belum ada laporan tentang pengukuran tekanan
6

intrakompartemen kaki sebagai penilaian rutin dalam penanganan ulkus kaki

diabetik, dan juga belum ada laporan tentang fasiotomi pada ulkus kaki diabetik

yang mengalami infeksi superfisial.

Tekanan oksigen memegang peranan utama dalam regulasi ekspresi gen

VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). VEGF meningkat oleh hipoksia secara in

vitro, namun data secara in vivo pada penyakit-penyakit hipoksia kronis masih

menjadi pertentangan (Oltmanns dkk., 2006). Diabetic fibroblast tidak mampu

meningkatkan produksi VEGF pada level normal didalam merespon keadaan

hipoksia sehingga kadar VEGF menjadi rendah akibat akumulasi advanced

glycosylation end-products (AGEs) didalam sel-sel yang terpapar dengan

hiperglikemia kronis dan kerusakan oksidatif akibat dari produksi berlebihan dari

mitochondrial oxidative stressors, keduanya menimbulkan kerusakan sel permanen

meskipun lingkungan telah normoglikemia (Lerman, 2003). Gangguan molekuler

tersebut bisa terletak di dalam sistem transduksi signal baik yang mengalir turun

pada reseptor ( signal transduction defect ) atau pada level reseptor itu sendiri

(Waltenberger, 2007). Sebaliknya hiperoksia merangsang pelepasan sel endotel

progenitor atau sel stem dari sumsum tulang, namun sel-sel ini bisa efektif

meningkatkan vaskulogenesis jika cytokine milieu didalam dasar ulkus adalah

optimal (Velazquez, 2007). Fasiotomi yang bertujuan mengurangi perbedaan

tekanan transmural antara mikrosirkulasi dan interstitial sehingga barier perfusi yang

mengakibatkan hipoksia, asidosis dan iskemia jaringan dapat dicegah (Fulkerson,

dkk., 2003 ; Frink dkk, 2010), memungkinkan untuk mencapai keadaan normoksia

atau bahkan hiperoksia, sehingga terjadi aktivasi terhadap keratinosit, fibroblast, sel
7

endotel, makrofag, dan platelet untuk melepaskan VEGF sebagai growth factor yang

sangat penting dan poten di dalam proses angiogenesis penyembuhan luka (Brem

dan Tomic-Canic , 2007)

Lobmann dkk. (2005) menerangkan hubungan gangguan fungsi sel,

ketidakseimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan growth factor. Dijelaskan bahwa

pada ulkus kaki diabetik terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan

proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi memanjang, terbukti dengan adanya

neutrofil granulosit dalam jumlah besar di dalam luka. Neutrofil granulosit

mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin-1 β (IL-1β). Kedua

sitokin ini merangsang sintesa matrix metaloprotease (MMP), menyebabkan

degradasi matrik protein dan growth factor sehingga penyembuhan luka menjadi

terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk., 2005). VEGF salah satu growth

factor yang memiliki peran penting dalam neovaskularisasi penyembuhan luka

(Brem dkk., 2009). Beberapa literatur melaporkan adanya peningkatan kadar TNF-α

di dalam jaringan ulkus diabetik pasien maupun hewan coba (Lobmann dkk., 2005 ;

Goldberg dkk., 2007 ; Leung dkk., 2008 ; Siquiera dkk., 2010), peningkatan TNF-α

lokal maupun sistemik pada pasien DM tipe-2 (Maltezos dkk., 2002), penurunan

kadar VEGF di dalam jaringan ulkus diabetik (Frank dkk.,1995, Brem dan Tomic-

Canic, 2007), dan pada neuropati diabetik (Quatrtrini dkk., 2008).

Lingkungan proinflamasi yang meningkat dan memanjang pada ulkus kaki

diabetik yang ditandai oleh peningkatan TNF-α, diikuti penurunan VEGF karena

proses degradasi oleh TNF-α, disebabkan oleh kontaminasi bakteri dan trauma

berulang, dimana endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel detritus


8

mempertahankan inflamasi ini (Lobmann dkk., 2005). Debridemen adalah tindakan

operasi untuk menghilangkan kontaminasi bakteri, endotoksin bakteri, fragmen

matriks ekstraseluler, sel-sel detritus, membuang kalus. sehingga dengan membuang

faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang memicu sekresi TNF-α,

terjadi perubahan lingkungan lokal (perubahan cytokine milieu di dasar ulkus),

berupa penurunan TNF-α diikuti dengan peningkatan VEGF, sehingga sel progenitor

atau sel stem dari sumsum tulang bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis

sehingga terjadi perbaikan klinis dari ulkus kaki diabetik. Velazquez ( 2007)

Karena penyembuhan luka memerlukan pengendalian infeksi, perbaikan

inflamasi, regenerasi matrik jaringan ikat, angiogenesis / vaskulogenesis, konstriksi

luka, dan reepitelisasi (Velazquez, 2007), maka debridemen merupakan langkah

penting dan menentukan pada penanganan ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound

bed preparation dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari

suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang dan mempercepat

proses penyembuhan luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ;

Vourisalo, 2009). Sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang bisa

efektif meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine milieu

di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Jumlah dan fisiologi jangka

panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh

lingkungan-mikro setempat (host microenviroment), lingkungan ini merupakan

elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta

remodeling jaringan (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Tanpa adanya respon


9

angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan deposisi matrik

menjadi lambat (Lerman, 2003).

Pada waktu debridemen, terjadi perdarahan baru sehingga tindakan

debridemen pada ulkus kaki diabetik akan mampu meningkatkan kadar VEGF,

karena pada hewan coba menunjukkan bahwa ekspresi VEGF meningkat dalam 24

jam setelah luka terjadi dan kadar VEGF mencapai puncaknya pada hari ketiga dan

ketujuh dan menurun secara bermakna setelah itu. Periode ini merupakan periode

pembentukan jaringan granulasi, sehingga penemuan ini menunjukkan bahwa VEGF

memiliki peranan penting dan kuat dalam angiogenesis (Frank dkk., 1995). Oleh

karena VEGF hanya meningkat pada fase awal penyembuhan luka dan berlangsung

sementara, meskipun selanjutnya kadar VEGF tetap dipertahankan oleh leukosit

polimorfonuklear dan makrofag, memunculkan hipotesis bahwa VEGF hanya

dilepaskan selama perdarahan luka berlangsung (Frank dkk., 1995).

Hal yang penting di dalam perawatan ulkus adalah perkembangan ulkus.

Beberapa peneliti mengajukan metode untuk menilai perbaikan, meramalkan

kesembuhan, dan mengevaluasi pengobatan ulkus dengan menggunakan pengukuran

area ulkus (Shaw dkk., 2007; Lavery dkk., 2008; Rogers dkk., 2010), namun

identifikasi tepi luka dan pengukuran area ulkus merupakan hal yang sulit.

Woodbury dkk. (2004) mengemukakan alat bantu yang diberi nama Leg Ulcer

Measurement Tool (LUMT) dengan beberapa keuntungan yaitu LUMT dapat

digunakan oleh satu atau lebih penilai (asesor), penilaian penampakan ulkus dapat

diperbanyak, dan mencatat perubahan ulkus sepanjang waktu. Semakin kecil nilai

LUMT berarti perbaikan ulkus semakin besar.


10

Dengan melihat bukti-bukti bahwa terjadi peningkatan tekanan kompartemen

sejak awal dan berlangsung secara bertahap dan kronis sesuai dengan durasi DM,

memicu hipoksia jaringan ditambah dengan lingkungan ulkus yang proinflamasi,

menyebabkan ulkus kaki diabetik menjadi sulit sembuh bahkan sampai amputasi,

maka tindakan fasiotomi dapat memiliki peran di dalam mengurangi tekanan

intrakompartemen kaki sehingga hipoksia jaringan dapat dihilangkan, disamping

untuk membuka kantong-kantong infeksi di dalam kompartemen sehingga

pengendalian infeksi menjadi lebih baik. Secara biomolekuler tindakan fasiotomi

mengembalikan keadaan hipoksia menjadi normoksia bahkan mungkin hiperoksia,

peningkatan aktivasi seluler yang melepaskan VEGF sehingga terjadi peningkatan

VEGF. Sedangkan debridemen memiliki peran di dalam memberikan perubahan

suasana luka kronis menjadi akut, menghilangkan faktor-faktor yang merangsang

sekresi TNF-α, sehingga terjadi penurunan TNF-α diikuti dengan penurunan

degradasi VEGF. Walaupun debridemen sendiri sangat rasional di dalam

menurunkan TNF-α yang diikuti dengan penurunana degradasi VEGF, tetapi tidak

dapat memperbaiki oksigenasi jaringan. Atas dasar itu kami melakukan penelitian

mengenai debridemen dengan fasiotomi yang dikerjakan secara simultan baik pada

ulkus dengan derajat ringan maupun berat, untuk melihat pengaruhnya terhadap

penurunan TNF-α dan peningkatan VEGF, serta perbaikan klinis ulkus kaki diabetik

yang diamati dengan instrumen LUMT.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka permasalahan yang

dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :


11

1. Apakah penurunan kadar TNF-α di dalam plasma penderita ulkus kaki diabetik

tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca

debridemen tanpa fasiotomi;

2. Apakah peningkatan kadar VEGF di dalam plasma penderita ulkus kaki diabetik

tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca

debridemen tanpa fasiotomi;

3. Apakah perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (berdasarkan nilai LUMT) pasca

debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa

fasiotomi.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa

debridemen dengan fasiotomi secara simultan lebih baik dibandingkan dengan

debridemen tanpa fasiotomi dalam penanganan ulkus kaki diabetik.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk membuktikan terjadi penurunan kadar TNF-α di dalam plasma

penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan

fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi;

2. Untuk membuktikan terjadi peningkatan kadar VEGF di dalam plasma

penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan

fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi.


12

3. Untuk membuktikan terjadi perbaikan klinis ulkus kaki diabetik

(berdasarkan nilai LUMT) pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar

daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Manfaat akademik yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah :

1. Memberi sumbangan pemikiran dalam dunia kedokteran mengenai

penerapan tehnik debridemen dan fasiotomi secara simultan pada

penanganan ulkus kaki diabetik, untuk mencapai perbaikan klinis ulkus.

Perbaikan klinis yang dihasilkan dari penerapan tehnik ini dicapai melalui

patogenesis baru berupa perubahan lingkungan sitokin ulkus yaitu

penurunan TNF-α dan peningkatan VEGF serta perubahan mikrosirkulasi

jaringan yang dilakukan secara simultan. Dengan demikian tercapai

keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan growth factor dalam proses

penyembuhan ulkus.

1.4.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai sumber informasi mengenai manfaat debridemen dan fasiotomi

yang dilakukan secara simultan pada penanganan ulkus kaki diabetik.

2. Debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan pada ulkus kaki

diabetik, memberikan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan

dengan debridemen saja. Dengan demikian aplikasi debridemen dan

fasiotomi yang dilakukan secara simultan, dapat memperpendek masa


13

rawat, serta menurunkan angka amputasi. Perbaikan klinis dari tindakan

debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan ini ditunjang

oleh adanya perbaikan biomarker angiogenic growth factor seperti VEGF

dan TNF-α plasma, yang sangat penting didalam proses angiogenesis dan

penyembuhan ulkus kaki diabetik.

3. Debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan pada ulkus kaki

diabetik, dapat dipakai sebagai protokol rutin di dalam penanganan ulkus

kaki diabetik.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Kaki Diabetik

2.1.1 Pengertian dan epidemiologi

Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full

thickness) dari dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau

gangren. Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh

penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adanya

mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang

menyertai penderita diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes itu

sendiri. Ulkus kaki diabetik dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi

infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap bagian tubuh terutama di

bagian distal tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ;

Cavanagh dkk., 1999).

Pasien diabetes memiliki kecendrungan tinggi untuk mengalami ulkus

kaki diabetik yang sulit sembuh dan risiko amputasi pada tungkai bawah,

keadaan ini memberi beban sosioekonomi baik bagi pasien dan masyarakat.

Jumlah penderita DM di Amerika Serikat akan meningkat 2 kali lipat dari

23,7 juta menjadi 44,1 juta antara tahun 2009-2034 (Huang dkk., 2009), 15-

25% akan mengalami ulkus di kaki didalam hidup mereka. Proporsi ulkus

kaki diabetik derajat III-V mencapai 74,6 % dibandingkan dengan derajat I-II

yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus ulkus kaki diabetik yang

14
15

dirawat di RS Sanglah, semakin tinggi derajat ulkus semakin besar resiko

amputasi (Muliawan dkk., 2005).

2.1.2 Patofisiologi ulkus kaki diabetik

Ada beberapa komponen penyebab sebagai pencetus timbulnya

ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes, dapat dibagai dalam 2 faktor

besar (Gibbons dkk., 1995 ; Singh dkk., 2005) yaitu :

2.1.2.1 Faktor kausatif

- Neuropati perifir (sensorik, motorik, autonom)

Merupakan Faktor kausatif utama dan terpenting. Neuropati sensorik

biasanya derajatnya cukup dalam (>50%) sebelum mengalami kehilangan

sensasi proteksi yang berakibat pada kerentanan terhadap trauma fisik dan

termal sehingga meningkatkan resiko ulkus kaki. Tidak hanya sensasi nyeri

dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki

juga menghilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot-otot di

kaki, mengakibatkan penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal

kaki berubah, deformitas yang khas seperti hammer toe dan hallux rigidus.

Sedangkan neuropati autonom atau autosimpatektomi, ditandai dengan

kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler

sekunder akibat pintasan arteriovenous di kulit , hal ini mencetuskan

timbulnya fisura, kerak kulit , semuanya menjadikan kaki rentan terhadap

trauma yang minimal


16

- Tekanan plantar kaki yang tinggi

Merupakan faktor kausatif kedua terpenting. Keadaan ini berkaitan dengan

dua hal yaitu keterbatasan mobilitas sendi ( ankle, subtalar, and first

metatarsophalangeal joints ) dan deformitas kaki. Pada pasien dengan

neuropati perifir, 28% dengan tekanan plantar yang tinggi, dalam 2,5 tahun

kemudian timbul ulkus di kaki dibanding dengan pasien tanpa tekanan

plantar tinggi.

- Trauma

Terutama trauma yang berulang, 21% trauma akibat gesekan dari alas kaki,

11% karena cedera kaki (kebanyakan karena jatuh), 4% selulitis akibat

komplikasi tinea pedis, dan 4% karena kesalahan memotong kuku jari kaki

2.1.2.2 Faktor kontributif

- Aterosklerosis

Aterosklerosis karena penyakit vaskuler perifir terutama mengenai

pembuluh darah femoropoplitea dan pembuluh darah kecil dibawah

lutut, merupakan faktor kontributif terpenting. Risiko ulkus, dua kali

lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding dengan pasien non-

diabetes.

- Diabetes

Diabetes menyebabkan gangguan penyembuhan luka secara intrinsik,

termasuk diantaranya gangguan collagen cross-linking, gangguan

fungsi matrik metalloproteinase, dan gangguan imunologi terutama

gangguan fungsi PMN. Disamping itu penderita diabetes memiliki


17

angka onikomikosis dan infeksi tinea yang lebih tinggi, sehingga kulit

mudah mengelupas dan mengalami infeksi. Pada DM, ditandai dengan

hiperglikemia berkelanjutan serta peningkatan mediator-mediator

inflamasi, memicu respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronis,

namun keadaan ini dianggap sebagai inflamasi derajat rendah, karena

hiperglikemia sendiri menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan

seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting dalam penyembuhan

luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan secara ketat

oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut dianggap

lemah dan angiogenesis terganggu sehingga terjadi gangguan

penyembuhan luka seperti terlihat pada gambar 2.1 (Tellechea dkk,

2010)

Diabetes

Sustained Pro-inflamatory Peripheral Peripheral


hyperglycemia environment vascular disease neuropathy

 Altered immune cell function


 Ineffective inflammatory response
 Endothelial cell dysfunction
 Impaired neovascularization

ABNORMAL WOUND HEALING

Gambar 2.1 Gangguan penyembuhan luka pada diabetes (Dikutip dari


Tellechea dkk., 2010)
18

2.1.3 Penilaian, klasifikasi, dan derajat ulkus kaki diabetik

2.1.3.1 Jenis-jenis ulkus kaki diabetik

Ulkus kaki diabetik dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006)

1. Ulkus neuropatik

Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba,

keringat berkurang, kulit kering dan retak.

2. Ulkus neuroiskemik

Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa

rambut, ada atrofi jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain

mungkin tidak ada karena neuropati

2.1.3.2 Penilaian ulkus kaki diabetik

Untuk mencegah amputasi kaki dan penyembuhan ulkus

berkepanjangan, maka perlu mengetahui akar penyebabnya. Untuk

mendapatkan data ulkus secara menyeluruh yang akan bermanfaat didalam

perencanan pengobatan, perlu dilakukan penilaian-penilaian ulkus meliputi :

(Van Baal, 2004 ; Khanolkar dkk., 2008)

1. Penilaian neuropati

Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan

dengan Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi

vibrasi dengan garpu tala 128 Hz


19

2. Penilaian struktur

Identifikasi kelainan-kelainan struktur atau deformitas seperti penonjolan

tulang di plantar pedis : claw toes, flat toe, hammer toe, callus, hallux

rigidus, charcot foot.

3. Penilaian vaskuler

Riwayat klaudikasio intermiten, perubahan tropi kulit dan otot,

pemeriksaan pulsasi arteri, ABI, Doppler arteri, dilakukan secara

sistematis. Iskemia berat atau kritis, apabila ditemukan tanda infeksi, kaki

teraba dingin, pucat, tidak ada pulsasi, adanya nekrosis, tekanan darah

ankle < 50 mmHg (Ankle Brachial Index < 0,5), TcPO2 < 30mmHg,

tekanan darah jari < 30mmHg

4. Penilaian ulkus

Pemeriksaan ulkus harus dilakukan secara cermat,teliti dan sistematis.

Inspeksi harus bisa menjawab pertanyaan, apakah ulkusnya superfisial atau

dalam, apakah mengenai tulang, sehingga bisa ditetapkan derajat ulkus

secara akurat.

2.1.3.3 Klasifikasi dan derajat ulkus kaki diabetik

Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini

seperti, klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system

(UT), dan PEDIS ( Perfusion, Extent / size, Depth / tissue loss, Infection,

Sensation ). Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan

derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan

ikhtiar pengobatan (Oyibo dkk., 2001 ; Widatalla dkk., 2009 ). Kriteria diagnosa
20

infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau lebih tanda-tanda berikut :

bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya

pus (Bernard, 2007 ; Lipsky dkk.,2012). Infeksi dibagi dalam infeksi ringan

(superficial, ukuran dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat

(disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan metabolik) (Lipsky dkk., 2012).

Termasuk dalam infeksi berat seperti fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis

asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau

instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis dkk.,

2008).

Klasifikasi Wagner ( dikutip dari Oyibo dkk., 2001).

Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi

Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.

Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi,

belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses

Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi

osteomielitis, abses atau selulitis.

Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal.

Grade V Gangren seluruh kaki.

2.1.4 Pengukuran area ulkus

Salah satu ketentuan paling dasar dari perbaikan ulkus adalah

berkurangnya ukuran ulkus dari waktu ke waktu. Dengan berkurangnya

ukuran ulkus, bisa dipakai untuk meramalkan penyembuhan ulkus, sehingga

pengukuran luka merupakan komponen penting dari keberhasilan penanganan


21

ulkus (Shaw dkk., 2007 ; Rogers dkk., 2010). Beberapa metode untuk bisa

menilai, meramalkan kesembuhan, dan mengevaluasi pengobatan ulkus

diabetik telah diajukan oleh beberapa peneliti. Lavery dkk. (2008)

melaporkan tentang kemungkinan penyembuhan ulkus diabetik berdasarkan

persentase pengurangan area ulkus. Ulkus yang mencapai pengurangan area

sebesar ≥15% pada minggu pertama memiliki kemungkinan sembuh

sebanyak 68%, atau jika pengurangan area ulkus sebesar ≥ 60% pada minggu

kempat, memiliki kemungkinan sembuh sebesar 77%. Besarnya perubahan

area ulkus pada awal minggu pertama pengobatan dapat memperkirakan

kemungkinan sembuh pada minggu ke 16, serta dapat mengetahui secara

rasional untuk mengevaluasi kembali ulkus dan mengubah jenis terapi.

Sedangkan Coerper dkk. (2009) meneliti apakah pengurangan area ulkus

>50% dalam 4 minggu pengobatan diikuti dengan kemungkinan peningkatan

kesembuhan ulkus yang lebih besar. Persentase pengurangan area ulkus dalam

4 minggu menurut Coerper adalah : [ ( area (4 minggu ) / area ( baseline ) )

x 100 ) / area ( baseline ) ]. Kemungkinan sembuh secara keseluruhan adalah

35% setelah 12 minggu, 41% setelah 16 minggu, dan 73% setelah 1 tahun.

Pengurangan area ulkus >50% dalam 4 minggu pengobatan diikuti dengan

kemungkinan peningkatan kesembuhan ulkus yang lebih besar. Penghitungan

persentase pengurangan area ulkus setelah 4 minggu, dapat dipakai untuk

memperkirakan kemungkinan sembuh, dan mengevaluasi kembali pengobatan

yang sudah dan akan diberikan.


22

Identifikasi secara tepat dari tepi luka serta pengukuran luas luka

merupakan hal yang sulit. Ada beberapa tehnik pengukuran area atau volume

ulkus seperti planimetri, tehnik digital fotografi, ,pengukuran luka

menggunakan penggaris yang sederhana (Shaw dkk., 2007 ; Rogers dkk.,

2010).

Tehnik yang paling sederhana dan standar untuk menghitung area

ulkus adalah ukuran ulkus yang terpanjang dikalikan dengan ukuran ulkus

terlebar. Keterbatasan dari tehnik ini adalah interpretasi subyektif dan variasi

diantara pengukur berbagai variasi bentuk disamakan secara linear kedalam

dimensi panjang kali lebar, padahal penghitungan panjang kali lebar secara

matematis hanya bisa diterapkan dan akurat pada ulkus berbentuk

bujursangkar atau segiempat. Sehingga terdapat kelebihan perhitungan

sebesar 40% dari perhitungan yang sebenarnya dibandingkan dengan tehnik

planimetri (Rogers dkk., 2010).

Metode planimetri, memakai film transparan yang ditempelkan diatas

ulkus, tepi ulkus dijiplak pada film, film discan secara digital, jumlah kotak

yang terisi dihitung secara manual, selanjutnya dikalkulasi melalui komputer.

Tehnik ini hasilnya lebih akurat dibanding dengan tehnik standar memakai

penggaris sederhana (Rogers dkk., 2010)

Metode fotografi merupakan sebuah alternatif yang akurat untuk

mengukur area luka, tehnik ini menjadikan luka bersih dan tidak

terkontaminasi, karena kontak dengan dasar luka bisa dihindarkan. Metode

fotografi yaitu luka difoto dimana gambar dalam foto tersebut sudah ada
23

bingkai pengukur untuk memungkinkan kalibrasi gambar, gambar di-upload

ke komputer lalu dibuka dengan image J, tepi luar luka ditetapkan secara

digital dan dengan perangkat lunak image J area luka dikalkulasi. Metode

Visitrak memakai film Visitrak transparan berlapis dua yang diletakkan

diatas luka, batas luka digambar diatas filem tersebut, gambar tiruan diatas

lapisan filem paling atas tersebut dijiplak lagi dengan Visitrak digital dan

perangkat lunak mengkalkulasi area luka (Chang, 2011).

Saat ini telah dikembangkan beberapa alat bantu untuk menilai

perbaikan ataupun perburukan luka seperti Pressure Sore Status Tool (PSST),

Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH Tool), Sussman Wound Healing

Tool (SWHT), Sessing Scale, The Wound Healing Scale (WHS), Photographic

Wound Assessment Tool (PWAT), dan Leg Ulcer Measurement Tool (LUMT)

(Woodbury dkk.,2004).

2.1.5 Debridemen

Debridemen adalah suatu tindakan membuang material yang tidak

hidup, benda asing, dan jaringan tidak sehat yang sulit sembuh dari luka

(Steed, 2004). Target utama penanganan ulkus kaki diabetik adalah untuk

mencapai penutupan luka secepat mungkin, dan menurunkan angka amputasi.

Prinsip penanganannya meliputi : pengelolaan komorbid, evaluasi status

vaskuler dan penanganannya secara tepat, penilaian faktor-faktor psikososial /

gaya hidup, penilaian dan evaluasi ulkus, penanganan luka / debridemen /

wound bed preparation dan menghilangkan faktor tekanan / offloading

(Frykberg dkk., 2006).


24

Kegagalan penyembuhan dari suatu ulkus, baik itu ulkus diabetik,

ulkus vena, maupun ulkus dekubitus, sehingga berkembang menjadi ulkus

kronis, karena eradikasi terhadap infeksi yang tidak adekuat dan kuman

patogen opurtunistik. Analisa ulkus kronis dengan fluorosensi in situ

menemukan mikrokoloni, suatu struktur dasar dari biofilm bakteri. Adanya

biofilm tersebut menumbuhkan peningkatan toleransi bakteri terhadap

pengobatan antibiotika, serta mekanisme proteksi terhadap fagositosis

polimorfonuklear (PMN), sehingga eradikasi dengan antibiotika dan aktivitas

antimikroba dari sistem imunitas tubuh menjadi tidak efektif (Bjarnsholt

dkk., 2008). Debridemen merupakan komponen yang tak terpisahkan

(integral) dan langkah sangat penting dalam protokol penanganan ulkus

kronis, semenjak bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada jaringan yang

mati, nekrotik, debris, atau kolonisasi bakteri di daerah luka. Oleh karena itu

fungsi dari debridemen adalah membuang jaringan nekrotik, mengurangi

tekanan, evaluasi adanya kantong-kantong infeksi yang tersembunyi (tracking

and tunneling), drainase, dekolonisasi bakteri, dan hanya meninggalkan

jaringan sehat untuk mendorong penyembuhan luka (Frykberg dkk., 2006 ;

Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010). Pada ulkus neuropatik, debridemen harus

dilakukan terus menerus sampai terdapat jaringan sehat, tetapi pada ulkus

iskemik, debridemen harus dilakukan secara hati-hati dan terbatas hanya

drainase saja, bahkan idealnya debridement dilakukan setelah atau bersama

sama dengan revaskularisasi. Debridemen sebaiknya mampu

memvisualisasikan semua luka, membuka semua daerah yang terkena infeksi


25

untuk drainase yang adekuat serta mendapatkan spesimen bakteri dari

jaringan dalam (Bernard, 2007), oleh karena itu pengetahuan anatomi kaki

mutlak diperlukan (Rauwerda, 2000).

Dasar pemikiran untuk debridement kelihatan sangat masuk akal,

tetapi bukti-bukti untuk mendukung hal itu sangat sedikit (Gordon dkk.,

2012), meskipun data-data menunjukkan semakin sering debridement,

semakin baik hasil penyembuhan luka (Wilcox et al., 2013). Steed dkk.

(1996) meneliti pengaruh debridemen dan pemberian faktor pertumbuhan

secara topikal secara acak, prospektif, double blind dan multisenter. Ternyata

debridemen bedah secara agresif dan berulang pada ulkus kaki diabetik

memberi respon angka perbaikan yang lebih besar dibandingkan dengan ulkus

yang jarang dilakukan debridemen. Disamping itu ulkus yang diberikan

recombinant human platelet-derived growth factor (rhPDGF) secara topikal,

angka penyembuhannya lebih besar dibanding plasebo. Sehingga disimpulkan

bahwa debridemen merupakan pengobatan vital di dalam penanganan ulkus

kaki diabetik.

Karena penyembuhan luka memerlukan pengendalian infeksi,

perbaikan inflamasi, regenerasi matrik jaringan ikat, angiogenesis /

vaskulogenesis, konstriksi luka, dan reepitelialisasi (Velazquez, 2007), maka

debridemen merupakan langkah penting dan menentukan pada penanganan

ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound bed preparation dengan mengubah

suasana lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi

suasana luka akut, untuk merangsang dan mempercepat proses penyembuhan


26

luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009). Sel

endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang bisa efektif

meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine milieu

di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Jumlah dan fisiologi jangka

panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan

oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment), lingkungan ini

merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani

invasi seluler serta remodeling jaringan (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997).

VEGF meningkat dalam 24 jam setelah luka terjadi dan kadar VEGF

mencapai puncaknya pada hari ketiga dan ketujuh dan menurun secara

bermakna setelah itu, sehingga memunculkan hipotesis bahwa VEGF hanya

dilepaskan selama perdarahan luka berlangsung (Frank dkk, 1995). Pada

waktu debridemen, terjadi perdarahan luka baru, sehingga tindakan

debridemen pada ulkus kaki diabetik akan mampu meningkatkan kadar VEGF

sesuai dengan hipotesis dari Frank dkk. (1995). Debridemen yang sering

dilakukan pada ulkus kaki diabetik, dapat meningkatkan angka penyembuhan

luka, walaupun tidak ada cukup bukti untuk menetapkan pendapat ini

(Cardinal dkk., 2009).

Ada 5 jenis debridemen yaitu : bedah, ensimatik, autolitik, mekanik,

dan biologik, hanya debridemen bedah terbukti efektif pada uji-uji klinik.

Debridemen bedah yaitu debridemen secara tajam untuk membuang semua

jaringan dan tulang yang mati. Tujuannya adalah mengubah lingkungan

penyembuhan luka kronis menjadi penyembuhan luka akut. Debridemen


27

ensimatik, menggunakan ensim proteolitik eksogen yang dibuat secara

spesifik seperti kolagenase, papain/urea dari pepaya, fibrinolisin/DNAse,

tripsin, kombinasi streptokinase-streptodornase. Debridemen autolitik, terjadi

secara alami pada ulkus yang sehat, lembab, dan perfusi yang adekuat.

Debridemen mekanik,dilakukan secara fisik dengan cara pembalutan basah-

kering, irigasi dengan tekanan, lavase, dan hidroterapi. Debridemen biologik,

menggunakan larva steril dari lalat Lucilia sericata, larva tersebut

mengeluarkan ensim proteolitik yang dapat mencairkan jaringan nekrotik

(Steed, 2004 ; Frykberg dkk., 2006 ; Edward dan Stapley, 2010).

Sampai saat ini belum ada cara untuk menilai ketepatan dari luas dan

dalamnya debridemen ulkus, apakah debridemen telah dilakukan dengan

adekuat atau belum. Saap dan Falanga (2002), mengajukan suatu cara yang

disebut debridemen performance index (score 0-6), kaitannya dengan

penyembuhan ulkus kaki diabetikum. Debridemen meliputi debridemen

terhadap kalus, tepi ulkus, dan dasar ulkus. Sistem skoring yang dipakai

adalah 0 adalah debridemen diperlukan tetapi tidak dikerjakan, skor 1 adalah

debridemen diperlukan dan dikerjakan, skor 2 adalah debridemen tidak

diperlukan. Semakin rendah debridemen performance index , semakin rendah

insiden kesembuhan ulkus, sehingga sistem skoring ini dipakai dapat untuk

meramalkan hasil pengobatan. Preparasi dasar luka (wound bed preparation)

sangat penting untuk penyembuhan ulkus di kaki, meliputi pengendalian

eksudat dan edema, mengurangi kolonisasi bakteri, merangsang terbentuknya

jaringan granulasi yang sehat, serta membuang jaringan nekrotik. Sampai saat
28

ini tidak ada sistem klasifikasi untuk preparasi dasar luka (wound bed

preparation). Falanga dkk. (2006) mengembangkan sistem klasifikasi baru

berdasarkan parameter seperti : tepi luka, dalam luka / jaringan granulasi,

jumlah eksudat, adanya eschar, edema, dermatitis disekitar luka, warna dasar

luka, adanya kalus atau fibrotik disekitar luka.

Ulkus kaki diabetik dengan Infeksi berat, memerlukan intervensi

bedah untuk mengendalikan infeksi yang bisa mengancam jiwa maupun kaki

pasien. Ahli bedah yang melakukan operasi pada ulkus kaki diabetik dengan

infeksi berat hendaknya memiliki pengetahuan tentang anatomi kaki,

patofisiologi terjadinya ulkus kaki diabetic dan infeksi, untuk mencegah

kegagalan operasi maupun amputasi (Van Baal, 2004 ; Zgonis, 2008). Jalur –

jalur perluasan infeksi yang mengikuti jalur anatomi harus dimengerti. Di

daerah tumit, aponeurosis plantaris merupakan fasia yang paling superficial.

Di bagian sentral kaki, fasianya paling tebal dan melekat pada tuberositas

kalkanues, dari sini lalu meluas ke distal menyerupai kipas. Fasia plantaris

membentuk batas inferior dari 3 kompartemen plantaris yaitu : kompartemen

lateral, sentral dan medial.

Kompartemen lateral dibatasi oleh tulang metatarsal kelima dan

septum intermuskular lateral, mengandung semua otot-otot intrinsik jari

kelima. Kompartemen sentral dibatasi oleh septum intermuskular pada sisi

medial dan septum intermuskular kedua lateral yang berjalan dari kalkaneus

ke kaput metatarsal kelima, atapnya dibentuk oleh struktur tarsometatarsal,

mengandung semua otot-otot intrinsik jari kedua, ketiga, keempat.


29

Kompartemen medial dibatasi oleh septum intermuskular lateral yang berjalan

longitudinal dari kalkaneus ke kaput metatarsal pertama, atapnya dibentuk

oleh permukaan inferior metatarsal pertama, mengandung semua otot-otot

intrinsik jari pertama. Kompartemen interoseus dibatasi oleh fasia interoseus

dari metatarsal dan mengandung otot-otot interoseus, kompartemen ini

memegang peranan penting dalam perluasan infeksi dan perkembangan

iskemia (Van Baal, 2004).

Untuk melakukan debridement bedah yang adekuat, prosedur

pembedahan yang dianjurkan adalah (Zgonis dkk., 2008) :

- Tidak menggunakan tourniquet, supaya bisa menentukan viabilitas

jaringan. Pakai sarung tangan dua lapis.

- Eksplorasi luka, termasuk membuang semua jaringan nekrotik, pus,

membuka sinus tract untuk menentukan batas jaringan sehat dan tidak

sehat serta kompartemen yang terkena. ― finger test ― bisa dikerjakan

durante operasi untuk menentukan luasnya jaringan yang mengalami

infeksi. Tekan dengan ibu jari sepanjang bidang jaringan anatomi, jika

positif berarti terdapat necrotizing fasciitis, dengan demikian dapat

ditentukan mana jaringan yang akan di amputasi atau di eksisi luas saja

untuk mengendalikan infeksi secara adekuat.

- Insisi dan drainase terbatas hendaknya dihindarkan , karena akan

meninggalkan sumber infeksi


30

- Semua jaringan dan tulang yang tidak hidup dan terinfeksi harus dibuang

tanpa memandang ukuran dan kuantitasnya. Tendon yang tampak dieksisi

untuk mencegah perluasan infeksi ( tracking infection).

- Ambil jaringan dalam yang terinfeksi untuk pemeriksaan kultur dan tes

sensitivitas

- Irigasi dengan larutan normal saline sebanyak 3 liter atau lebih untuk

mengurangi kolonisasi bakteri. Penambahan antibiotika pada larutan irigasi

belum diketahui manfaatnya.

- Sarung tangan terluar dilepaskan untuk mengurangi kontaminasi setelah

luka diirigasi.

- Luka ditutup dengan penutup luka yang lembab, lalu ditutup lagi dengan

penutup kering.

- Pembalut luka diganti setiap hari, dimulai sejak 24-48 setelah debridement

pertama.

- Redebridemen hendaknya dilakukan jika diperlukan.

2.2 TNF-α

2.2.1 TNF-α pada ulkus kaki diabetik

TNF-α merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi terutama oleh

monosit dan makrofag. Memiliki peran dalam berbagai proses didalam tubuh, dan

dalam patogenesis dari berbagai penyakit seperti shock sepsis, kanker, artritis

reumatoid, sklerosis multipel, dan gangguan autoimun atu inflamasi lainnya.

Penelitian terakhir, TNF-α terlibat didalam resistensi insulin pada kegemukan dan
31

DM tipe 2. Mekanisme molekuler TNF-α menginduksi resistensi insulin masih

belum diketahui, tetapi secara in vitro, penelitian menunjukkan bahwa TNF-α

menghambat insulin-mediated autophosphorylation dari insulin reseptor, dan

menurunkan fosforilasi dalam jaringan otot dan jaringan lemak, yang kebanyakan

terikat pada reseptor TNF p55. Kadar TNF-α meningkat secara lokal maupun

sitemik pada resisten insulin baik pada binatang maupun manusia yang gemuk.

Disamping itu ekspresi TNF-α didalam otot dari orang DM tipe 2 lebih tinggi secara

bermakna dibandingkan dengan orang yang non-DM. Kadar TNF-α yang beredar

didalam sirkulasi dari orang dengan kegemukan dan intoleran glukosa meningkat,

dan berhubungan dengan massa lemak perut (Maltezoz dkk., 2002).

Pada ulkus kaki diabetik ditemukan peningkatan kadar TNF-α (Lobmann

dkk., 2005 ; Goldberg dkk., 2007 ; Leung dkk., 2008 ; Siqueira dkk, 2010 ; ),

peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblast (Siqueira

dkk, 2010), diikuti dengan gangguan penyembuhan ulkus. TNF-α merupakan

petanda inflamasi didalam proses penyembuhan jaringan. Penelitian sebelumnya

telah menunjukkan hubungan TNF-α terhadap penyembuhan luka. Penurunan kadar

TNF-α, mengindikasikan pengendalian inflamasi serta kemajuan penyembuhan

yang adekuat (Leung dkk., 2008). TNF-α merangsang sintesa MMP. Dengan

tingginya protease didalam luka, menyebabkan degradasi matrik protein dan growth

factor yang merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan luka, sehingga

penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005).

Disamping itu TNF-α menekan tissue growth factor-β (TGF-β) menginduksi

miofibroblas mengalami proliferasi untuk menbentuk protein-protein penting dalam


32

reorganisasi matrik ekstraseluler seperti α-smooth muscle actin (α-SMA), kolagen

tipe 1A, and fibronectin, sehingga berimplikasi pada gangguan penyembuhan luka

(Goldberg, 2007).

2.2.2 Pengukuran TNF-α

Pengukuran kadar TNF-α. dapat dilakukan pada spesimen jaringan maupun

plasma., Kadar TNF-α diukur menggunakan metoda Enzyme-Linked

ImmunoSorbant Assay ( ELISA ) (R&D System, Minneapollis, USA).. Siqueira dkk.

(2010) melakukan pengukuran TNF-α dari spesimen jaringan ulkus, jaringan

diambil dengan punch biopsi dan dibekukan dalam larutan nitrogen, selanjutnya

diletakkan kedalam cytoplasmic lysis buffer yang mengandung protease inhibitor

(Pierce, Rockford, IL, USA) dan dihancurkan dengan menggunakan Fast Prep (Q-

Biogene, Solon, OH, USA). Nukleus dipisahkan dari protein sitoplasma dengan

sentrifuge. Sedangkan Wallace dan Stacey (1998) melakukan pengukuran kadar

TNF-α dengan metoda ELISA pada pasien dengan mengambil sampel cairan luka

kronis yang tidak sembuh dimana hasil pengukuran adalah median 2428,5 pg/ml,

sedangkan pada pasien yang sembuh kadar TNF-α adalah 895,2 pg/ml.

2.3 VEGF

Growth factor adalah substansi (biasanya merupakan suatu protein atau

hormon steroid) yang memiliki kemampuan untuk merangsang proliferasi dan

diferensiasi sel, serta sangat penting untuk pengaturan berbagai proses selular,

bekerja sebagai molekul-molekul signaling diantara sel. Dalam dua dekade terakhir

growth factor telah digunakan semakin meningkat didalam pengobatan penyakit


33

hematologi, onkologi dan kardiovaskular. Terdapat 8 famili utama dari growth

factors diekspresikan dalam berbagai level oleh sel-sel yang terlibat dalam proses

penyembuhan luka (Mitchell dkk., 2007).

VEGF merupakan salah satu dari growth factor yang merangsang

angiogenesis paling vital dan poten, keberadaannya dalam benyak bentuk isoform,

paling sering adalah VEGF165, bekerja sebagai parakrin pada sel-sel endotel,

berfungsi sebagai suatu mitogen sel endotel, agen kemotaksis, dan memicu

permeabilitas vaskuler dan kulit. Salah satu aktivitas mediator dari VEGF, nitric

oxide, meningkatkan deposisi kolagen pada ulkus kaki diabetik serta

mengembalikan fungsi endotel untuk memperbaiki konduksi saraf maupun

oksigenasi jaringan. VEGF rekombinan telah digunakan dalam eksperimental luka

diabetes baik in vivo maupun in vitro (Brem dkk., 2009).

2.3.1 Aktivitas biologi dan struktur VEGF

VEGF telah diketahui memiliki berbagai aktivitas biologi yang penting.

VEGF merupakan mitogen yang kuat (ED50 2-10 pm) untuk sel-sel endotel

mikrovaskuler dan makrovaskuler yang diperoleh dari arteri, vena, dan limfatik,

tetapi tidak memiliki aktivitas mitogen untuk jenis sel yang lain. VEGF

merangsang angiogenesis dalam tiga dimensi yaitu menyebabkan pertemuan sel-sel

endotel mikrovaskuler, penetrasi kedalam gel kolagen, dan membentuk struktur

seperti kapiler (capillary-like structures). VEGF menyebabkan pertumbuhan

(sprouting) pembuluh darah, respon angiogenik yang kuat, mendorong ekspresi

dari serine proteases uro-kinase-type dan tissue-type plasminogen activators (PA)

dan juga PA inhibitor 1 (PAI-1) dalam sel-sel endotel mikrovaskuler , untuk


34

mempertahankan keseimbangan proses proteolitik. VEGF meningkatkan ekspresi

metaloproteinase interstitial collagenase. Dengan pengaruh yang bersamaan

terhadap kolagenase dan aktivator plasminogen oleh VEGF, ini akan menetapkan

suatu lingkungan proderagdasi untuk migrasi dan pertumbuhan dari sel-sel endotel.

Lingkungan ini merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang

menjembatani invasi seluler serta remodeling jaringan, sebagai aktivitas

proangiogenik yang tetap dari VEGF. VEGF juga diketahui sebagai faktor

permeabilitas vaskuler yang mendorong kebocoran vaskuler. Dengan peningkatan

permeabilitas mikrovaskuler, ini merupakan tahapan yang sangat penting dari

angiogenesis terkait dengan tumor dan luka. Fungsi utama dari VEGF dalam proses

angiogenesis adalah mendorong kebocoran protein plasma, akibatnya terjadi

pembentukan fibrin gel ekstravaskuler, suatu substrat untuk penetrasi dan

pertumbuhan sel endotel dan sel-sel tumor. Jumlah dan fisiologi jangka panjang

mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh

lingkungan-mikro setempat (host microenviroment) daripada rangsangan yang

memulai angiogenesis itu sendiri (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997).

Famili VEGF saat ini terdiri dari 7 anggota : VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C,

VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan PIGF. Daerah inti dibentuk oleh motif ikatan

sistin, dengan 8 invariant cystine residu dalam inter dan intramolekuler disulfide

yang terikat pada ujung dari 4-stranded pusat pada setiap monomer dengan

orientasi antiparalel bersebelahan (side-by-side). Gen VEGF-A terdiri atas 8 exon

yang muncul pada 7 isoform asam amino 121, 145,148,165,183, 189, 206, dan

satu isoform asam amino 110 sebagai hasil dari pelepasan proteolitik. VEGF-B
35

terdiri atas 2 isoform asam amino 167 dan 186. VEGF-C dan VEGF-D, dilepaskan

secara proteolitik dari masing-masing proprotein. Semua anggota VEGF ini sangat

menjaga domain homologinya yang disandikan oleh exon 1-5.

2.3.2 Reseptor VEGF

Telah diidentifikasi 3 reseptor VEGF yaitu VEGFR-1 (Flt-1 / fms-like-

tyrosine kinase-1), VEGFR-2 (KDR/ Flk-1 / fetal liver kinase-1/), dan VEGFR-3

(Flt-4), setiap reseptor memiliki 7 imunoglobuline-like domain dalam ekstraseluler

domain (Hoeben dkk., 2004). Flt-1 memiliki afinitas tertinggi terhadap rhVEGF165,

sedangkan Flk-1 / KDR afinitasnya sedikit lebih rendah, VEGF-C/VRP mengikat

dengan afinitas tinggi dengan Flt-4 (Gerber dkk., 1997).

Gambar 2.2 Reseptor VEGF (Dikutip dari Hoeben dkk., 2004)

2.3.3 Regulasi dari ekspresi gen VEGF

2.3.3.1 Hipoksia

Tekanan oksigen memegang peranan utama baik secara in vitro

maupun in vivo dalam regulasi ekspresi gen VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth,
36

1997). Namun Oltmanns dkk. (2006) mengatakan VEGF meningkat oleh

hipoksia secara in vitro, namun data secara in vivo tentang regulasi VEGF

pada penyakit-penyakit hipoksia kronis masih menjadi pertentangan. Ekspresi

VEGF mRNA dipicu secara cepat dan reversible oleh paparan tegangan

oksigen (pO2) yang rendah, juga iskemia yang disebabkan oleh oklusi arteri.

Dengan meningkatnya kadar VEGF mRNA diduga bahwa VEGF dapat

mendorong terjadinya revaskularisasi spontan setelah iskemia (Ferrara dan

Davis-Smyth, 1997). Reseptor Flt-1 meningkat oleh hipoksia dan mengikat

VEGF dengan afinitas yang tinggi, sedangkan Flk-1/KDR tidak meningkat

oleh hipoksia dan afinitas ikatan dengan VEGF lebih rendah (Gerber, dkk.

1997). Oltmanns dkk. (2006), melaporkan bahwa hipoksia akut sistemik pada

laki-laki muda sehat menurunkan kadar plasma VEGF dibanding pada

normoksia, sedangkan konsentrasi Flt-1 tetap tidak berubah selama hipoksia.

Gangguan kadar VEGF sistemik telah dilaporkan dalam berbagai

keadaan patologis seperti pertumbuhan tumor (Harmey dan Bouchier-Hayes,

2002), penyakit arteri koroner (Freedman dan Isner, 2002), dan penyakit-

penyakit hipoksia kronis. Pengamatan ini diduga kemungkinan berkaitan

dengan regulasi oksigen. Tetapi pada penyakit-penyakit respirasi dengan

manifestasi hipoksia kronik, regulasi VEGF masih menjadi pertentangan.

Pada penyakit-penyakit respirasi seperti fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis

(Meyer dkk., 2000 ; Koyama dkk., 2002), emfisema (Santos dkk., 2003),

kadar VEGF adalah menurun dibanding dengan kontrol orang sehat,

sedangkan pada perokok dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD)


37

sedang adalah meningkat (Santos dkk., 2003). Namun semua data tersebut

dapat dikelirukan oleh adanya komorbid yang diketahui mempengaruhi VEGF

seperti hipertensi (Belgore, 2001), resistensi insulin (Chou 2002), obat-obatan

seperti statin (Maeda dkk., 2003). Penelitian di daerah ketinggian pada orang

sehat, hasilnya tidak dapat disimpulkan, karena ada yang melaporkan

pengaruh keadaan hipoksia, kadar VEGF didalam darah meningkat (Walter

dkk., 2001), tidak berubah (Maloney dkk., 2000) atau bahkan menurun

(Gunga dkk., 1999).

2.3.3.2 Sitokin

Beberapa sitokin atau growth factors meningkatkan ekspresi VEGF

mRNA dan / atau memicu prengeluaran dari protein VEGF. Paparan terhadap

keratinosit atau keratinosit growth factor, epidermal growth factor (EGF),

TGF-β, TGF-α, IL-1β, IL-1α , IL-6, PGE2, IGF-I memicu pelepasan secara

nyata dari VEGF mRNA (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Sitokin

proinflamasi merangsang ekspresi VEGF mRNA dengan aktivitas yang

berbeda. TNF-α merupakan aktivator paling kuat dalam merangsang ekspresi

VEGF mRNA, sedangkan IL-1β, TGF-β1, Interleukin-6 memiliki aktivitas

yang lebih rendah (Frank dkk, 1995).

2.3.3.3 Diferensiasi dan transformasi

Diferensiasi sel memainkan peranan penting dalam regulasi ekspresi

gen VEGF. VEGF mRNA meningkat selama perubahan dari 3T3 preadiposit

menjadi adiposit atau selama diferensiasi miogenik dari sel-sel C2C12.

Sebaliknya ekspresi gen VEGF akan menurun atau tertekan selama


38

diferensiasi dari sel-sel pheochromocytoma menjadi nonmalignant neuron-

like cells (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997)

2.3.4 Ekspresi VEGF pada ulkus kaki diabetik

Pada ulkus kaki diabetik, kadar growth factors seperti VEGF, Fibroblast

Growth Factor (FGF)-2, adalah rendah, karena diabetic fibroblast tidak

mampu meningkatkan produksi VEGF dan FGF-2 pada level normal di dalam

merespon keadaan hipoksia. Kadar dan aktivitas VEGF yang abnormal, serta

keadaan hipoksia menimbulkan gangguan proses penyembuhan ulkus, karena

kebanyakan ulkus berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia. Tanpa

adanya respon angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan

deposisi matrik menjadi lambat (Lerman, 2003). Pada semua ulkus kronis

menunjukkan hipoksia jaringan, bila hipoksia ini terus meningkat, akan terjadi

kegagalan penyembuhan luka. Tekanan oksigen lokal pada ulkus kornis berkisar

setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblast, deposisi

kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit. Penyembuhan luka normal

melalui beberapa tahapan, memerlukan pengendalian infeksi dan kontaminasi,

perbaikan inflamasi, regenerasi matrik jaringan ikat, angiogenesis /

vaskulogenesis, konstriksi luka, dan reepitelialisasi. Ulkus kronis gagal

mengikuti tahapan itu (Velazques, 2007).

Berkaitan dengan perubahan vaskuler sebagai komplikasi DM kronis,

terjadi keadaan paradox yaitu peningkatan angiogenesis pada retinopati

proliferative atau plak atherosclerosis dan penurunan angiogenesis pada penyakit

arteri koroner atau ulkus kaki diabetik dengan manifestasi klinis berupa
39

kurangnya pertumbuhan kolateral pada jantung dan kegagalan dalam

penyembuhan ulkus kaki diabetik. Karena itu memunculkan hipotesis untuk

menerangkan paradox angiogenesis ini bahwa respon terhadap faktor

pertumbuhan (VEGF) terganggu pada DM. Gangguan molekuler ini terletak

didalam sistem transduksi signal baik yang mengalir turun pada reseptor ( signal

transduction defect ) atau pada level reseptor (Waltenberger, 2007).

Gambar 2.3 Skema gangguan signaling pada DM ( Dikutip dari Simons, 2005)

Adanya perbedaan regulasi VEGF pada jaringan diabetes seperti yang dilaporkan

oleh Chou dkk. (2002), maka Simons (2005) mengusulkan untuk menilai kembali

paradigma angiogenesis, arteriogenesis pada DM seperti terlihat pada Gambar 2.4

berikut :
40

Gambar 2.4 Urutan kejadian gangguan angiogenesis pada DM


(Dikutip dari Simons, 2005)

2.3.5 Peranan VEGF dalam angiogenesis dan vaskulogenesis

Rendahnya level oksigen dan nutrien, membatasi fungsi dan viabilitas

jaringan. Respon alami terhadap keadaan iskemia jaringan adalah meningkatkan

angiogenic growth factor bersama dengan pengadaan dan mobilisasi alemen-

elemen seluler dalam sirkulasi untuk memfasilitasi pertumbuhan pembuluh darah

baru ( neovaskularisasi). Neovaskularisasi merupakan hasil dari beberapa proses

yaitu vaskulogenesis, angiogenesis, dan arteriogenesis. Angiogenesis adalah

sprouting kapiler baru dari kapiler yang sudah ada. Angiogenesis dirangsang

terutama oleh hipoksia jaringan melalui Hypoxia-Inducable Factor (HIF)-1

expression. HIF-1 mengaktivasi transkripsi beberapa gen seperti VEGF, reseptor

VEGF flt-1, neuropilin-1, dan angiopoietin-2 (Ryu, 2008).


41

Gambar 2.5 : Skema mekanisme neovaskularisasi. A.Vaskulogenesis, pertumbuhan


kapiler dari sel-sel endotel progenitor (EPC), B. Angiogenesis,
pertumbuhan kapiler baru dari pembuluh darah yang sudah ada,
C.Arteriogenesis, pertumbuhan kolateral dengan remodeling dari
kolateral yang sudah ada (Dikutip dari Ryu, 2008).

Istilah angiogenesis diciptakan oleh John er pada tahun 1787 untuk

menjelaskan pertumbuhan pembuluh darah baru. Pada tahun 1971, Judah Folkman

mengajukan suatu hipotesis bahwa pertumbuhan tumor sebagai suatu

ketergantungan angiogenesis (angiogenesis dependent), maka sejak itu penelitian

dan publikasi tentang angiogenesis mulai berkembang. Pertumbuhan suatu

pembuluh darah dari sel-sel endotel yang sedang berdiferensiasi in situ disebut

vaskulogenesis, sedangkan pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh

darah yang sudah ada disebut angiogenesis atau neovaskularisasi. Sel endotel yang

ada dalam lapisan setiap pembuluh darah harus mengalami proliferasi, migrasi,

serta bertahan hidup untuk bisa membentuk pembuluh darah baru, atau dengan

kata lain lingkungan mikro setempat haruslah menyampaikan signal kepada sel
42

endotel untuk bertambah banyak dan menghindari apoptosis. Angiogenesis

merupakan proses yang rumit, bertahap, dan sangat tergantung pada keseimbangan

antara faktor yang merangsang dan faktor yang menghambat. Meskipun banyak

faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang angiogenesis seperti tampak pada

Tabel 2.1, VEGF merupakan faktor pertumbuhan yang paling spesifik untuk

endotel pembuluh darah (Gupta dan Zhang, 2005).

Tabel 2.1
Aktivator dan Inhibitor Angiogenesis (Dikutip dari Gupta dan Zhang, 2005).

Aktivator Inhibitor

Angiogenin Angiostatin (plasminogen fragment)


Angiopoetin-1 Anti-angiogenik antithrombin III
AC133 Constatin
Kemokin
Del-1 Cartilage deliver inhibitor (CDI)
Β estradiol CD59 complement fragment
Ephrin Endostatin (collagen XIII fragment)
FGFαβ Fibronectin fragment
FGF Fragment of SPARC
Folistatin Heparinase
HGF HCG
Id1/Id3 IFN-αβγ
Integrin αVβ3, αVβ5, α5β1 Interferon inducable protein (IPO)
IL-8 IL4, IL12, IL18
Leptin 2-metoksiekstradiol
MCP-1 Maspin
MMPs Kringle-5 (plasminogen fragmen)
NOS Osteopontin fragmen
PLGF Placental ribonuclease ionhibitor
PDGF-BB PEDF
Pleiotrofin (PTN) PF4
PD-ECGF Prolaktin 16kDa fragmen
P1GF Retinoid
Proliferin Tissue inhibitor metaloprotenase (TIMP)
TGF-αβ TSP1
TNF-α Vaskulostatin
VE cadherin
VEGF

Neovaskularisasi pada manusia telah diketahui terjadi pada plak

atherosclerosis, retinopati proliferative, dan neoplasia malignan. Pemeriksaan

histokimia pada plak atherosclerosis menunjukkan bahwa VEGF diekspresikan


43

oleh sel-sel otot halus dan makrofag didalam intima atherosclerosis. Jumlah sel

dengan VEGF positif, berkorelasi dengan jumlah intima pembuluh darah. Tampak

ekspresi berlebihan dari VEGF seiring dengan adanya proliferasi angiomatoid

pada binatang percobaan setelah diberikan transfer gen VEGF maupun yang

dibuat diabetes. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa VEGF berperan sebagai

regulator lokal dan endogen dari fungsi sel endotel, serta bahwa VEGF

merangsang neovaskularisasi pada kondisi patofisiologis (Nakagawa dkk., 2000)

2.3.6 Mekanisme molekuler dan peran VEGF dalam penyembuhan luka

Galiano dkk. (2004) menduga bahwa berkurangnya produksi VEGF dan

angiogenesis memberi sumbangan terhadap kegagalan penyembuhan ulkus pada

pasien diabetes, sehingga mendorong dilakukannya penelitian apakah pemberian

recombinant human VEGF165 protein secara topikal mampu memperbaiki

gangguan penyembuhan luka pada tikus diabetes. Hasil penelitianya menunjukkan

peningkatan angka penyembuhan yang bermakna dari luka yang mendapat terapi

VEGF, ditandai dengan early leaky, pembentukan vaskuler diikuti oleh deposisi

jaringan granulasi, peningkatan epitelialisasi, peningkatan deposisi matriks, serta

peningkatan proliferasi seluler. Analisis ekspresi gen dengan real-time reverse

transcriptase-polymerase chain reaction menunjukkan peningkatan bermakna dari

platelet-derived growth factor-B and fibroblast growth factor-2 yang dikaitkan

dengan peningkatan jaringan granulasi di dalam luka. Pemberian topikal VEGF

juga memiliki efek sistemik, dengan ditemukannya peningkatan sejumlah sel-sel

VEGFR2+/CD11b− di dalam sirkulasi, sebagai cerminan suatu prekursor endotel.

Sehingga disimpulkan bahwa pemberian VEGF secara topikal dapat memperbaiki


44

penyembuhan luka secara lokal maupun sistemik, dimana secara lokal akan

terjadi peningkatan faktor-faktor pertumbuhan penting dan secara sistemik

meningkatkan angiogenesis dengan mobilisasi sel-sel yang berasal dari sumsum

tulang (mobilizing and recruiting bone marrow-derived cells) termasuk sel-sel

untuk pembentukan vaskuler dan sel-sel untuk perbaikan lingkungan luka dimana

akan terjadi percepatan penyembuhan luka.

Berbagai gangguan fisilogi menyebabkan terjadinya gangguan

penyembuhan pada ulkus kaki diabetik seperti gangguan migrasi sel (Brem dkk.,

1997), gangguan inervasi (Gibran dkk., 2002), dan angiogenesis yang tidak

adekuat (Cho dkk., 2006). Telah diidentifikasi perbedaan matrix

metalloproteinases (MMPs) dan hinbitornya dalam mengontrol proses antara

pembentukan tabung kapiler (morfogenesis) dengan penghentian / regresi tabung

kapiler didalam matrik kolagen, terkait dengan pembentukan dan penghentian /

regresi jaringan granulasi selama penyembuhan luka. Membran metalloproteinase,

MT1-MMP (MMP-14) dibutuhkan untuk pembentukan tabung sel endotel untuk

sprouting dalam matrik kolagen, namun kejadian ini dihambat oleh small

interfering RNA (siRNA) suppression dari MT1-MMP atau oleh tissue inhibitor of

metalloproteinases (TIMPs)-2,-3,-4 tetapi tidak TIMP-1 (Davis dan Saunders.

2006).

VEGF merangsang penyembuhan luka melalui beberapa mekanisme

diantaranya deposisi kolagen, angiogenesis dan epitelialisasi. Dengan merangsang

sel endotel , fase-fase dari kaskade angiogenesis meningkat seperti tampak pada

Gambar 2.6. Dalam praktek klinik, pengaruh mitogenik, kemotaktik, dan


45

permeabilitas dari VEGF dapat memiliki potensi untuk membantu merangsang

penyembuhan pada luka kronis pada pasien penyakit arteri oklusif dan diabetes,

sehingga kadar VEGF hendaknya diperiksa sesegera mungkin pada pasien ulkus

kaki diabetik dan ulkus dekubitus (Bao dkk., 2009).

Gambar 2.6 Diagram peranan VEGF dalam penyembuhan luka.


Dengan merangsang sel endotel , fase-fase dari kaskade
angiogenesis meningkat (dikutip dari Bao dkk., 2009)

Penyembuhan luka terjadi sebagai suatu respon seluler akan cedera, termasuk

aktivasi keratinosit, fibroblast, sel endotel, makrofag, dan platelet. Beberapa growth

factor dan sitokin dilepaskan oleh sel-sel tersebut untuk koordinasi dan menjaga

penyembuhan luka. VEGF merupakan faktor fisiologis penting di dalam penyembuhan

luka baik pada orang sehat maupun orang DM namun dengan kwalitas respon yang

berbeda (Gambar 2.7).


46

Gambar 2.7 Mekanisme penyembuhan luka pada orang sehat dan orang diabetes
2.3.7. Aplikasi(dikutip dari Brem H. dan Tomic-Canic M., 2007)
Terapi VEGF

Beberapa uji klinik efektivitas terapi angiogenesis dengan protein VEGF

pada pasien penyakit jantung koroner dan penyakit arteri perifir yang diberikan,

secara intramiokard, intrakoroner, intraarterial, dan perkutan, memberi hasil yang

bervariasi, ada positif dan negatif (Yla-Hertula dkk., 2007). Dalam menilai

efektivitas terapi, dipakai beberapa parameter seperti peningkatan kolateral,

perbaikan fungsi global dan regional jantung, percepatan penyembuhan ulkus,

angka amputasi, dan toleransi terhadap latihan (Banai, 1994 ;Takeshita dkk.,

1994a, 1994b ; Pearlman, 1995 ; Takeshita dkk., 1996 ; Harada, 1996 ; Isner dkk.,

1996 ; Yla-Herttuala dkk ; Brem dkk., 2009 ).

2.3.7 Pengukuran kadar VEGF

Pengukuran kadar VEGF dapat dilakukan pada spesimen jaringan, plasma,

ataupun serum dengan metoda Enzyme-Linked ImmunoSorbant Assay ( ELISA )


47

(R&D System, Minneapollis, USA). Rivard dkk. (1999), melakukan pengukuran

kadar VEGF didalam jaringan iskemik pada tikus diabetes yang mengalami

pengurangan neovaskularisasi akibat rendahnya kadar VEGF dengan analisa

Northern blot, Western blot, dan immunohistokimia.

2.4 Penyembuhan Luka

2.4.1 Penyembuhan luka normal

Fisiologi respon seluler terhadap cedera jaringan kulit pada keadaan normal,

berlangsung melalui rangkaian fase-fase waktu dan ruang, sehingga integritas

anatomi dan fungsional dari jaringan kembali secara normal. Adapun fase-fase

penyembuhan luka pada kondisi normal meliputi fase akut (hemostasis, inflamasi),

fase proliferatif (garanulasi, epitelialisasi), dan fase remodeling (Lobmann dkk.,

2005 ; Gabriel dkk., 2009).

Pada orang dewasa, penyembuhan luka yang optimal meliputi beberapa

peristiwa sebagai berikut yaitu ( Guo dan DiPietro, 2010).

1. Hemostasis yang cepat

2. Inflamasi yang tepat

3. Diferensiasi, proliferasi, dan migrasi sel-sel mesensimal ke tempat luka

4. Angiogenesis

5. Re-epitelialisasi ( pertumbuhan kembali jaringan epitel diatas permukaan luka )

6. Sintesis, cross-linking, dan alignment dari pada kolagen untuk memberi

kekuatan terhadap jaringan yang sembuh


48

Fase hemostasis

Fase pertama dari hemostasis dimulai segera setelah terjadi luka, dengan kontriksi

vaskuler dan pembentukan bekuan fibrin (fibrin clot). Bekuan dan jaringan di sekitar

luka melepaskan sitokin pro-inflamasi dan growth factors seperti transforming

growth factor (TGF)-β, platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast growth

factor (FGF), dan epidermal growth factor (EGF). Begitu perdarahan bisa

dikontrol, sel-sel inflamasi bermigrasi ke dalam luka (kemotaksis) dan memicu fase

inflamasi.

Fase inflamasi

Ditandai oleh infiltrasi secara berurutan dari neutrofil, makrofag, dan limfosit.

Fungsi neutrofil adalah membersihkan mikroba serta debris seluler di dalam luka,

meskipun sel ini memproduksi substansi seperti protease dan reactive oxygen

species (ROS), yang dapat menyebabkan beberapa kerusakan. Makrofag mempunyai

peranan penting di dalam penyembuhan luka. Pada luka awal, makrofag melepaskan

sitokin yang memicu respon inflamasi dengan cara menarik dan mengaktifkan

leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab untuk mendorong dan menghilangkan

sel-sel apoptosis (termasuk neutrofil), dengan demikian merupakan cara resolusi

terhadap inflamasi. Sel sel apoptosis melakukan transisi fenotif untuk memperbaiki

keadaan yang merangsang keratinosit, fibroblas, dan angiogenesis untuk mendorong

regenerasi jaringan. Dengan cara ini, makrofag mendorong transisi kearah fase

proliferasi dari fase penyembuhan. Limfosit T migrasi ke dalam luka mengikuti sel-

sel inflamasi dan makrofag, dan mengalami puncaknya selama fase proliferatif

lanjut / remodeling awal. Peranan limfosit T tidak diketahui secara jelas. Beberapa
49

penelitian menduga bahwa terlambatnya infiltrasi sel T yang diikuti dengan

penurunan konsentrasi sel T di dalam luka diikuti dengan gangguan penyembuhan

luka, sementara yang lain melaporkan bahwa sel sel CD4+ (sel sel T helper)

memiliki peranan positif di dalam penyembuhan luka, sedangkan sel sel CD 8+ ( sel

sel T supresor-sitotoksik) memiliki peranan menghambat penyembuhan luka. Yang

menarik pada penelitian terakhir ini, pada tikus percobaan dimana kedua sel sel T

dan sel B adalah rendah, menunjukkan bahwa pembentukan scar berkurang.

Ditambahkan pula, sel sel T gamma-delta mengatur banyak aspek penyembuhan

luka, termasuk mempertahankan integritas jaringan, melawan kuman patogen, dan

mengatur inflamasi. Sel sel ini disebut juga dendritic epidermal T-cells (DETC),

karena meiliki morfologi dentritik yang unik. DETC diaktifkan oleh stres,

kerusakan, atau keratinosit, dan memproduksi fibroblast growth factor 7 (FGF-7),

keratinocyte growth factors, dan insulin-like growth factor-1, untuk membantu

proliferasi keratinosit dan kelangsungan hidup sel. DETC juga mendorong kemokin

dan sitokin yang berperan dalam memulai dan mengatur respon inflamasi selama

penyembuhan luka. Keseimbangan antara DETC dan keratinosit membantu mejaga

kulit normal dan penyembuhan luka. Kekurangan DETC menunjukkan

keterlambatan penyembuhan luka dan penurunan proliferasi keratinosit pada luka.

Fase proliferasi

Umumnya mengikuti dan tumpang tindih dengan fase inflamasi, ditandai oleh

proliferasi epitel dan migrasi diatas matrik di dalam luka (re-epitelialisasi). Di dalam

dermis, fibroblas dan sel sel endotel tampak lebih menonjol dan menopang

pertumbuhan kapiler, pembentukan kolagen, dan pembentukan jaringan granulasi.


50

Di dalam dasar luka, fibroblas memproduksi kolagen dan juga glikoaminoglikan

serta proteoglikan, yang merupakan komponen utama dari matrik ekstraseluler.

Fase remodeling

Setelah proliferasi dan sintesis matriks ekstraseluler, penyembuhan luka memasuki

fase remodeling. Dalam fase ini terjadi regresi kapiler sehingga densitas vaskuler

dari luka kembali normal. Yang paling kritis dalam fase remodeling adalah

remodeling matriks ekstraseluler untuk mencapai arsitektur jaringan normal. Luka

juga melakukan kontraksi yang di mediasi oleh contractile fibroblasts

(myofibroblasts) yang ada di dalam luka. Peranan stem sel di dalam penyembuhan

luka dan regenerasi jaringan, dengan fokus pada stem sel dewasa seperti epidermal

stem cells dan bone-marrow (BM)-derived cells (BMDCs). Epidermal stem cells

yang berada di folikel rambaut dan bagian basal lapisan epidermis, mengangkat

keratinosit untuk migrasi ke dalam luka. Dua stem sel utama yang berada di dalam

sumsum tulang adalah hematopoietic SC (HSC) and mesenchymal SC (MSC). BM-

MSCs mampu untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel seperti adiposit,

osteoblas, kondrosit, fibroblat, dan keratinosit. Endothelial progenitor cells (EPCs)

berasal dari HSC merupakan sel kunci dalam neovaskularisasi. EPC dan BM-MSC,

keduanya terlibat di dalam proses penyembuhan luka. Wound-induced hypoxia,

merupakan trigger untuk mobilisasi EPC ke dalam sirkulasi, yang berperan jelas di

dalam proses neovaskularisasi.


51

Tabel. 2.2 Proses penyembuhan luka normal (Dikutip dari Guo dan DiPietro, 2010).

Fase Kejadian seluler dan Bio-fisiologi

Hemostasis 1. Konstriksi vaskuler


2. Agregasi platelet, degranulasi, dan
pembentukan fibrin (trombus)

3. Infiltrasi neutrofil
Inflamasi 4. Infiltrasi monosit dan diferensiasi
ke makrofag lymphocyte
infiltration
5. Infiltrasi limfosit

6. re-epitelialisasi
Proliferasi 7. Angiogenesis
8. Sintesis kolagen
9. Pembentukan ekstraseluler matrik

Remodeling 10. Remodeling kolagen


11. Maturasi dan regresi vaskuler

Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka. Secara umum faktor-

faktor tersebut dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu lokal dan sistemik. Faktor

lokal adalah faktor yang secara langsung mempengaruhi karakteristik luka itu sendiri,

sedangkan faktor sistemik adalah keadaan penyakit atau kesehatan dari individu yang

mempengaruhi kemampuan untuk sembuh seperti terlihat pada Tabel 2.3. Beberapa dari

faktor-faktor ini adalah berkaitan, dan faktor-faktor sistemik bekerja melalui efek lokal.

Beberapa kondisi dan penyakit seperti sepsis, trauma, penyakit hati menahun,

sindroma nefrotik, luka bakar, luka terbuka menahun, dapat mengganggu penyembuhan

luka, karena terjadi penurunan kadar protein tubuh. Protein memiliki peran penting
52

dalam penyembuhan luka melalui pembentukan kolagen. Penurunan kadar protein dapat

dihitung dengan mengukur berbagai marker penyimpanan protein seperti albumin,

prealbumin, transferin, dan insulin growth factor I. Namun pemeriksaan marker ini

terbatas untuk mencerminkan status nutrisi pasien terkini, sebagai contoh albumin

memiliki waktu paruh 3 minggu, dan malnutrisi protein dapat terjadi sebelum terjadi

penurunan serum albumin. Konsekuensi dari penurunan protein terhadap penyembuhan

luka adalah terjadi penurunan angiogenesis dan proliferasi fibroblas (Burns dkk., 2003).

Obesitas berpengaruh terhadap penyembuhan luka, terbukti pada percobaan

binatang dimana obesitas disertai dengan gangguan struktur dan fungsi kolagen,

gangguan deposisi kolagen, serta gangguan penyembuhan luka, hal ini diduga akibat

dari bagian dari perubahan struktur jaringan lemak (Yosipovitch dkk., 2007) . Menurut

World Health Organization (WHO) , definisi obesitas dan kelebihan berat badan

(overweight) adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan yang

dapat mengganggu kesehatan seseorang. Dikatakan obesitas apabila body mass index

(BMI) ≥ 30 kg/m2 , sedangkan kelebihan berat badan, bila BMI ≥ 25 kg/m2. Pada tikus

percobaan yang obesitas, resistensi terhadap skar aponeurosis lebih rendah

dibandingkan kontrol, sedangkan intensitas reaksi inflamasi dan densitas kolagen tidak

berbeda (Biondo-Simoes dkk., 2010).

Obat - obat kemoterapi menyebabkan terlambatnya proses penyembuhan luka,

karena fase inflamasi penyembuhan luka melemah, sehingga infiltrasi seluler dan

deposisi fibrin menurun ditambah lagi dengan gangguan sintesa protein, produksi

DNA/RNA, osmosis sel terutama sel fibroblas. Sedangkan pemberian steroid

(glukokortikoid) sistemik menganggu penyembuhan luka, dengan secara langsung


53

melemahkan respon seluler, sehingga terjadi gangguan proliferasi fibroblas, sintesa

kolagen, pembentukan jaringan granulasi, matriks ekstraseluler, dan epitelialisasi (Burns

dkk., 2003).

Tabel 2.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
(dikutip dari Guo dan DiPietro, 2010)

Faktor lokal Faktor sitemik

Oksigenasi Usia dan jenis kelamin


Infeksi Hormon seks
Benda asing Stress
Insufisiensi vena Iskemia
Penyakit : DM, keloid, fibrosis, kelainan
penyembuhan herediter, penyakit hati
jaundice , uremia
Obesitas
Obat-obatan : steroid glukokortikoid, anti
inflamasi non steroid, kemoterapi
Alkohol dan merokok
Keadaan-keadaan gangguan imunologi :
kanker, radioterapi, AIDS
Nutrisi

2.4.2 Patobiologi penyembuhan luka diabetes

Proses penyembuhan luka dikoordinasi oleh struktur yang kompleks dan

dinamis pada luka meliputi berbagai sel (trombosit atau platelet, neutrofil granulosit,

makrofag, fibroblas, keratinosit), sitokin dan growth factor, serta protease ( matrix

metaloprotease / MMP, plasmin, dan elastase). Berbeda dengan luka normal, pada

luka diabetes, terdapat gangguan dari fungsi sel, dan ketidakseimbangan dari

protease, sitokin, dan growth factor. Reaksi inflamasi pada luka diabetes tampak

memanjang, merangsang peningkatan intensitas respon protease. Reaksi inflamasi ini


54

disebabkan oleh kontaminasi bakteri dan trauma berulang akibat pasien sudah

kehilangan rasa sakit. Endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel

detritus mempertahankan inflamasi ini, terbukti dengan adanya granulosit neutrofil

dalam jumlah besar didalam luka. Granulosit neutrofil juga mensekresi sitokin

proinflamasi terutama TNF-α dan IL-1β. Kedua sitokin ini mampu secara langsung

merangsang sintesa MMP. Dengan tingginya protease didalam luka, menyebabkan

degradasi matrik protein dan growth factor yang merupakan faktor penting dalam

proses penyembuhan luka, sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak

terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005). Disamping itu TNF-α menekan tissue growth

factor-β (TGF-β) menginduksi miofibroblas mengalami proliferasi untuk menbentuk

protein-protein penting dalam reorganisasi matrik ekstraseluler seperti α-smooth

muscle actin (α-SMA), kolagen tipe 1A, and fibronektin, sehingga berimplikasi pada

gangguan penyembuhan luka (Goldberg, 2007).

Usaha telah dilakukan untuk menetralisir TNF-α dengan pemberian anti

TNF-α secara sistemik pada luka diabetes dari binatang percobaan yang terbukti

mempercepat penutupan luka. Penutupan luka tersebut, paralel dengan melemahnya

inflamasi didalam luka secara nyata, pengurangan secara kuat dari sel-sel monosit

dalam sirkulasi, dan pengurangan jumlah makrofag didalam luka. Data ini

merupakan bukti kuat, bahwa anti TNF-α akan mengurangi baik jumlah atau aktivitas

makrofag dalam luka kronis yang mengalami gangguan penyembuhan. Dengan kata

lain bahwa kegagalan penyembuhan luka pada diabetes dipicu oleh makrofag yang

mengekspresikan TNF-α (Goren dkk, 2007).


55

Gambar.2.8 Patofisiologi molekuler ulkus kaki diabetik (Dikutip dari Lobmann dkk,
2005).
56

2.5 Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen adalah keadaan dimana terjadi peningkatan

tekanan didalam kompartemen yang mengganggu aliran darah dari kompartemen

tersebut, menyebabkan ganngguan fungsi dari kaki, dan bahkan kematian sel (Lee

dkk., 1995 ; Pamoukian, 2000). Mengetahui dengan tepat suatu sindrom

kompartemen adalah sangat dibutuhkan untuk memperoleh hasil terapi yang

optimal (Moed dan Thorderson, 1993).

Dalam literatur tidak banyak laporan mengenai kasus sindroma

kompartemen yang terjadi pada pasien diabetes. Pamoukian (2000), dalam review

literatur menemukan 3 kasus sindroma kompartemen idiopatik, dan 1 kasus dari

pengalamnnya sendiri. Mikhnevych dkk. (2001), melaporkan 35 pasien ulkus kaki

diabetik mengalami sindroma kompartemen sebagai komplikasi dari infeksi dengan

pus purulen dan jaringan nekrosis. Infeksi pada kaki diabetes biasanya terdapat pada

seluruh kompartemen dan dapat meluas ke kompartemen disekitarnya. Dengan

disertainya infeksi dan peningkatan tekanan kompartemen pada kaki diabetes

membuat penanganannya menjadi sangat menantang (Lee dkk., 1995).

Lower dan Kenzora (1994), melakukan pengukuran empat kompartemen

kaki dari pasien dengan neuropati diabetes berat dan kaki pasien normal, ditemukan

bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes lebih tinggi

daripada pasien kaki normal, namun perbedaannya tidak bermakna ( 7,8 mmHg ,

SD 2,55 pada kaki normal, dibanding 9,4 mmHg, SD 4,08 pada kaki diabetes).

Terdapat perbedaan bermakna pada kompartemen interoseus ( 6,4 mmHg, SD 2,72

pada kaki normal vs 9,3 mmHg, SD 4,75 pada kaki diabetes) dan kompartemen
57

sentral ( 5,7 mmHg, SD 2,89 pada kaki normal vs 8,9 mmHg, SD 5,0 pada kaki

diabetes).

2.5.1 Permeabelitas vaskuler pada diabetes

DM meningkatkan resiko komplikasi vaskuler, dimana pada fase awal

ditandai oleh peningkatan permeabilitas vaskuler, dan pada fase lanjut bisa disertai

mikroalbuminuria. Meskipun patofiologi dari peningkatan permeabilitas vaskuler ini

sepenuhnya belum dimengerti, namun diduga hiperglikemia dipandang sebagai faktor

penyebabnya (Brownlee, 2001). Penelitian terkini menunjukkan bahwa pada

hiperglikemia akut ditemukan gangguan berat dari glikokalik endotel yaitu suatu

lapisan yang mengandung proteoglikan dengan glikosaminoglikan (GAG), yang

melindungi lapisan endotel dari kontak langsung dengan elemen-elemen darah,

akibatnya terjadi disfungsi vaskuler dan aktivasi system koagulasi berupa

peningkatan adesi leukosit dan trombosit. Sedangkan pada hiperglikemia kronik,

terdapat penurunan jumlah glikokalik sebanyak 50% (Nieuwdorp, 2000). Dengan

suplemen glikokalik (sulodexide), terbukti bisa memperbaiki kerusakan glikokalik

melalui peningkatan N-asetil glukosamin yang meningkatkan sintesa GAG dan

pengurangan katabolisme GAG (Broekhuizen, 2010). Hal lain yang berpengaruh

terhadap permeabelitas vaskuler adalah hilangnya tonus simpatik sebagai bagian dari

disfungsi saraf sensorik-motorik pada pasien diabetik neuropati, dan tampaknya ini

dipandang sebagai penentu utama dari peningkatan permeabilitas kapiler (Lefrandt,

2003). Peranan VEGF, suatu angiogenik growth factor yang memiliki pengaruh

terhadap permeabilitas endotel , molekul ini telah diidentifikasi sebagai regulator

potensial dari kebocoran maupun perbaikan vaskuler (Kosmidou, 2008).


58

2.5.2 Anatomi kompartemen kaki

Tidak ada konsensus mengenai jumlah kompartemen pada kaki (Frink dkk.,

2010). Pada akhir tahun 1920 ada 3 kompartemen (medial, lateral, superficial) yang

dijelaskan, ini diperkuat oleh Kamel dan Sakla pada tahun 1961, namun kemudian

Myerson mengidentifikasi 4 kompartemen, yang lain 5 kompartemen (interossei dan

aduktor), serta 9 kompartemen ditemukan pada cadaver (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink

dkk., 2010). Penelitian terakhir pada cadaver menyebutkan bahwa tidak dapat

diidentifikasi perbedaan kompartemen pada kaki depan, dan disimpulkan bahwa

fasiotomi pada kompartemen kaki belakang melalui modifikasi insisi medial dapat

memberikan dekompresi kaki secara memadai (Frink dkk., 2010).

Tabel 2.4 Kompartemen Kaki ( Dikutip dari Frink dkk., 2010)


59

Anatomi kaki pada beberapa potongan melintang melalui kaki depan dan kaki belakang

seperti terlihat pada Gambar 2.9, Gambar 2.10, dan Gambar 2.11 (Frink dkk., 2010).

Gambar 2.9 Anatomi penampang melintang dari kaki depan. Pendekatan dorsal
menggunakan 1 atau 2 insisi longitudinal, memungkinkan akses kepada
kompartemen interoseus dan aduktor MT = metatarsal; M = medial
compartment; A = adductor compartment; S = superficial
compartment; L = lateral compartment.

Gambar 2.10 Anatomi penampang melintang kaki depan. Kompartemen


dicapai melalui pendekatan medialplantar. MT = metatarsal;
M = medial compartment; A = adductor compartment;
S = superficial compartment; L = lateral compartment.
60

Gambar 2.11 Anatomi penampang melintang pada kaki belakang.


Pendekatan medial plantar memberi akses kepada kompartemen kalkaneal
menggunakan 1 atau 2 insisi . M = medial compartment;
C = calcaneal compartment; S = superficial compartment;
L = lateral compartment.

2.5.3 Patofisiologi sindroma kompartemen

Sindroma kompartemen akut disebabkan baik oleh karena perdarahan dan

edema atau berkurangnya ruang kompartemen. Penyebab tersering adalah

perdarahan setelah cedera vaskuler atau fraktur. Penyebab yang lain yaitu edema, ini

berkembang setelah adanya suatu peningkatan permeabelitas kapiler yang juga dapat

disebabkan oleh suatu pengurangan oksigen akibat perdarahan. Edema meningkatkan

barier perfusi mengakibatkan hipoksia dan asidosis, kemudian hipoksia dan asidosis

itu sendiri kembali mengakibatkan peningkatan permeabelitas kapiler dan

ekstravasasi cairan. Karena ruang miofasial tidak elastis dan terbatas untuk

menampung perluasan edema, akibatnya tekanan intrakompartemen menjadi


61

meningkat, menyebabkan berkurangnya perbedaan tekanan transmural (transmural

pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, hal ini mengakibatkan

iskemia jaringan bahkan kematian sel (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010).

2.5.4 Pengukuran tekanan kompartemen

Dikenal 3 tehnik pengukuran tekanan kompartemen yaitu tehnik jarum

sederhana, tehnik menggunakan kateter slit, dan tehnik menggunakan jarum side-

ported. Tidak ada perbedaan bermakna antara tehnik kateter slit dengan jarum side-

ported (Moed dan Thorderson, 1993 ; Wilson,1997) sedangkan tehnik jarum

sederhana, nilai pengukuran lebih tinggi secara konsisten dibanding dengan 2 tehnik

lainnya. Untuk mendapat nilai pengukuran yang akurat dapat digunakan kateter slit

atau jarum side-ported (Moed dan Thorderson, 1993). Untuk membaca besarnya

tekanan kompartemen, arteri line manometer adalah paling akurat, dibandingkan

dengan Stryker Intracompartmental Pressure Monitor System maupun Whitesides

apparatus (Boody dan Wongworawat (2005).

Tehnik dengan jarum sederhana.

Menggunakan jarum 18 G yang dihubungkan pada manometer merkuri

Tehnik dengan kateter slit

Tehnik ini menggunakan kateter slit (Stryker, Kalamazoo, Michigan) yaitu suatu

kateter polietilen dengan diameter luar 1,6 milimeter. Kateter yang berisi jarum

didalamnya dimasukkan kedalam intrakompartemen dengan kemiringan 45 derajat

dari permukaan kompartemen. Setelah itu jarum dilepas sedangkan ujung kateter

tetap berada didalam kompartemen. Kateter dihubungkan dengan manometer digital

untuk membaca nilai tekanan intrakompartemen.


62

Tehnik dengan jarum side-ported

Tehnik ini menggunakan jarum side-ported (Stryker) 18 G dengan 1,5 milimeter

port, jarum dimasukkan kedalam kompartemen dengan arah tegak lurus dari

permukaan kompartemen. Ujung kateter dihubungkan dengan manometer digital

yang sudah dikalibrasi untuk membaca nilai tekanan intrakompartemen.

2.5.5 Diagnosis sindroma kompartemen

Ada 4 gejala utama yang manifes dari sindroma kompartemen yaitu

nyeri, parestesi, parese, dan nyeri saat peregangan pasif atau dorsofleksi kaki (4 P),

ditambah lemahnya pulsasi arteri dan pucat. Nyeri merupakan tanda klinis paling

awal, paling sensitive, tetapi tidak spesifik. Nyeri saat dorsofleksi pasif kaki,

memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif yang sebanding. Penurunan

sensoris dengan ketidakmampuan membedakan 2 titik rasa, lebih dapat dipercaya

daripada tes jarum (pinprick). Pengukuran invasif tekanan intrakompartemen

merupakan cara diagnostik yang cepat dan aman dalam diagnosa sindroma

kompartemen. Pada keadaan normal, tekanan kompartemen adalah < 8 mmHg

(Fulkerson dkk., 2003 ; Lower dan Kenzora, 1994).

Batas ambang tekanan kompartemen yang harus dilakukan fasiotomi

masih menjadi perdebatan. Beberapa penulis memakai nilai absolut 30 mmHg, yang

lain 30 mmHg dibawah MAP (mean Arterial Pressure) atau 10-30 mmHg dibawah

tekanan darah diastolik. Pencatatan perkembangan klinis adalah sangat penting,

karena dengan pemeriksaan serial akan dapat dibandingkan perkembangannya

untuk dijadikan pedoman melakukan fasiotomi (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk.,

2010).
63

2.5.6 Fasiotomi

Kompartemen sindrom pada ulkus kaki diabetik jarang dikenal, tetapi

kewaspadaan akan hal ini dianjurkan bagi para dokter yang menangani pasien kaki

diabetes. Fasiotomi dapat memperbaiki pengendalian infeksi serta penyembuhan

luka pada ulkus kaki diabetik (Lee, 1995). Fasiotomi harus segera dilakukan begitu

diagnosa sindroma kompartemen ditegakkan, semakin awal, semakin sedikit

sequelae akan berkembang. Tujuan dari fasiotomi adalah mengurangi perbedaan

tekanan transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan

interstitial, sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan

iskemia jaringan bahkan kematian sel dapat dicegah (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink

dkk., 2010). Pada semua ulkus kronis menunjukkan hipoksia jaringan, sehingga

terjadi gangguan replikasi fibroblas, deposisi kolagen, angiogenesis, dan leukosit

(Velazques, 2007), disamping itu diabetic fibroblast tidak mampu meningkatkan

produksi VEGF dalam merespon hipoksia (Lerman, 2003). Fasiotomi pada ulkus

kaki diabetik dipandang mampu memperbaiki mikrosirkulasi, merangsang

pelepasan sel endotel progenitor atau stem sel dari sumsum tulang, merangsang

replikasi fibroblas untuk meningkatkan VEGF, selanjutnya proses angiogenesis dan

perbaikan area ulkus dapat ditingkatkan.

Ada beberapa pendekatan insisi fasiotomi, sesuai dengan kompartemen yang

terkena (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010).

Pendekatan Plantar.

Pada kasus sindroma kompartemen kalkaneal. Pendekatan ini dimulai

dengan insisi mengikuti permukaan plantar dari metatarsal pertama, sehingga


64

kompartemen medial terlihat, lalu dibelah secara longitudinal. Abductor hallucis

diretraksi untuk mencapai kompartemen lain.

Pendekatan Dorsal.

Untuk sindroma kompartemen interoseus. Pendekatan ini dapat

dimodifikasi dalam dua insisi dorsal diatas metatarsal kedua dan metatarsal

keempat, dengan cara ini memungkinkan untuk mencapai semua kompartemen. Jika

2 insisi dorsal ini dikerjakan, dianjurkan melakukan insisi medial disebelah medial

dari metatarsal kedua dan insisi lateral disebelah lateral dari metatarsal keempat.

Untuk mengurangi resiko skin bridge necrosis , kedua insisi dibuat subkutan agar

perfusi tidak terganggu. Fasia dorsal dari setiap kompartemen interoseus dibuka

secara longitudinal. Pada kompartemen interoseus pertama, otot dibebaskan dari

fasia medial dan diretraksi ke medial. Fasia putih dari kompartemen adductor

menjadi kelihatan,

Pendekatan Medial Plantar.

Insisi medial dimulai dari origo abductor hallucis ( sekitar 3 cm diatas

permukaan plantar dan 4 cm dari posterior tumit), diperluas paralel ke permukaan

plantar sepanjang 6 cm, fasia abductor hallucis akan terlihat lalu dibelah sejajar

dengan insisi kulit. Setelah membelah kompartemen medial, otot abductor hallucis

dilepaskan dari fasianya dan diretraksi ke superior, terlihat fasia putih dari

kompartemen kalkaneal lalu fasia dibelah longitudinal. Setelah itu kompartemen

superficial diidentifikasi disebelah lateral dari kompartemen medial, insisi

longitudinal dikerjakan pada fasia kompartemen ini. Flexor digitorum brevis

diretraksi ke inferior, fasia medial dari kompartemen lateral dapat diidentifikasi.


65

Dekompresi dari kompartemen ini , jika abductor digiti quinti and flexor digiti

minimi terlihat. Semua luka dibiarkan terbuka.

Pendekatan Lateral.

Insisi dimulai pada maleolus lateral dan diperluas ke forefoot antara

metatarsal keempat dan kelima.


BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berfikir

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan dan kajian pustaka yang telah

disajikan, selanjutnya dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut :

Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik bersumber pada empat hal yaitu

gangguan fungsi sel-sel imun, respon inflamasi yang tidak efektif, gangguan fungsi

sel endotel, dan gangguan neovaskularisasi. Meskipun berbagai konsep penanganan

telah dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus kaki diabetik, sampai

saat ini pendekatan baru dengan memperhatikan gangguan vaskuler belum banyak

dilakukan.

Pada diabetes yang disertai ulkus kaki diabetik, ulkus bersifat kronis dengan

suasana lingkungan ulkus adalah proinflamasi sehingga kadar TNF-α meningkat.

Bila terjadi infeksi maka perluasan infeksi melalui kompartemen kaki, kompartemen

interoseus memegang peranan penting dalam perluasan infeksi dan perkembangan

iskemia. Diabetes sendiri meningkatkan risiko komplikasi vaskuler berupa PAD,

neuropati perifir, serta peningkatan permeabelitas vaskuler yang berlangsung sejak

awal sampai fase lanjut penyakit, menimbulkan peningkatan kompartemen yang

memicu hipoksia jaringan. Peningkatan permeabelitas vaskuler juga berkaitan

dengan hilangnya tonus simpatik sebagai bagian dari disfungsi saraf sensorik-

motorik pada pasien diabetik neuropati. Diabetic fibroblast gagal memproduksi

VEGF di dalam merespon hipoksia. Peningkatan TNF-α merangsang sintesis MMP,

66
67

menyebabkan degradasi matrik protein dan VEGF, sedangkan diabetic fibroblast

sendiri gagal memproduksi VEGF di dalam merespon hipoksia, akibatnya kadar

VEGF di dalam plasma dan jaringan semakin menurun, dan proses neovaskularisasi

menjadi terganggu sehingga ulkus menjadi sulit sembuh.

Debridemen merupakan langkah vital dan esensial sebagai usaha mengubah

lingkungan cytokine milieu ulkus, akibatnya terjadi penurunan kadar TNF-α.

Debridement juga menciptakan luka dan perdarahan baru yang dapat merangsang

pelepasan VEGF . Sementara fasiotomi bertujuan disamping dapat memperbaiki

pengendalian infeksi, fasiotomi juga bertujuan untuk mengurangi perbedaan tekanan

transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial,

sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan iskemia

jaringan bahkan kematian sel dapat dicegah. Setelah fasiotomi, hipoksia jaringan

berangsur angsur pulih kembali menjadi normoksia bahkan mungkin hiperoksia.

Hiperoksia merangsang pelepasan sel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang,

merangsang pelepasan VEGF, dan bersamaan dengan lingkungan sitokin yang sudah

membaik akibat debridemen, maka proses angiogenesis dan vaskulogenesis

menjadi lebih optimal, sehingga tercapai perbaikan klinis ulkus. Skema kerangka

bepikir dijabarkan seperti Gambar 3.1.


68

Diabetes dengan Ulkus kaki diabetik

Lingkungan Perluasan Peningkatan Neuropati


proinflamasi infeksi ke permeabelitas PAD
perifir
kompartemen vaskuler

Peningkatan tekanan kompartemen

Hipoksia jaringan

↑ TNF-α plasma ↓ VEGF plasma

DEBRIDEMEN DAN FASIOTOMI DEBRIDEMEN

Perbaikan lingkungan ulkus Perbaikan lingkungan ulkus


(cytokine milleau), (cytokine milleau),
Perdarahan baru, Perdarahan baru,
↓ Tekanan kompartemen  Tekanan kompartemen tetap ↑ 
Perbaikan mikrosirkulasi Tetap hipoksia

Umur, Umur
Jenis kelamin, ↓ ↓ TNF-α Plasma ↓ TNF-α Plasma Jenis kelamin
Derajat ulkus ↑ ↑ VEGF plasma ↑ VEGF plasma Derajat ulkus
Jenis ulkus Jenis ulkus
HbA1c HbA1c
Lama DM FGF-2 FGF-2 Lama DM
Glukosa plasma ↑ ↑ Perbaikan klinis ↑ Perbaikan klinis Glukosa plasma

Gambar 3.1
Kerangka Berpikir
69

3.2 Kerangka Konsep

Dari kerangka berfikir tersebut di atas, selanjutnya dibuat kerangka konsep

penelitian untuk merumuskan hipotesis. Kerangka konsep tersebut adalah

sebagaimana tercantum pada Gambar 3.2

Lingkungan proinflamasi dan


hipoksia jaringan ulkus kaki diabetik

Debridemen dengan Fasiotomi Debridemen tanpa Fasiotomi

Umur, Umur,
Jenis kelamin, Jenis kelamin,
HbA1c, HbA1c,
Jenis ulkus Jenis ulkus
Derajat ulkus, Derajat ulkus,
Lama DM, Lama DM,
PAD, PAD,
Tek. Kompartemen Tek. Kompartemen
Glukosa plasma Glukosa plasma

↓↓ TNF-α plasma ↓ TNF-α plasma


↑↑ VEGF plasma ↑ VEGF plasma
↑↑ Perbaikan klinis ↑ Perbaikan klinis ulkus
ulkus

V. Bebas V. Kendali V. Tergantung

Gambar 3.2
Kerangka Konsep

FGF-2
70

3.3 Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas,

maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut :

1. Penurunan kadar TNF-α plasma pada ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca

debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi;

2. Peningkatan kadar VEGF plasma pada ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca

debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi;

3. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (berdasarkan nilai LUMT) pasca debridemen

dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (clinical trial)

menggunakan rancangan randomized pretest-posttest control group design ( Pocock,

2008 ; Saepudin, 2011) yang bagannya disajikan pada Gambar 4.1. Pada penelitian

ini dicari perbedaan kadar TNF-α di dalam plasma, maupun perbedaan kadar VEGF

di dalam plasma antara sebelum dan 1 minggu sesudah debridemen dengan atau

tanpa fasiotomi. Selanjutnya dilakukan monitoring terhadap perbaikan klinis ulkus

menggunakan instrumen Leg Ulcer Measurement Tool (LUMT) yang diadopsi dari

Woodbury, dkk. (2004) pada setiap minggu sampai dengan 4 minggu posttest.

O1 K O2

P S RA

O3 PL O4

Gambar 4.1
Bagan Rancangan Penelitian Pretest dan Posttest Control Group Design
(Pocock, 2008 ; Saepudin, 2011)
Keterangan : P = Populasi, S = Sampel, RA = Random Alokasi, O1 =
pengamatan sebelum perlakuan debridemen tanpa fasiotomi, K = Kontrol
(debridemen tanpa fasiotomi), O2 = pengamatan setelah perlakuan debridemen
tanpa fasiotomi, O3 = pengamatan sebelum perlakuan debridemen dengan
fasiotomi, PL = Perlakuan (debridemen dengan fasiotomi), O4 = pengamatan
setelah perlakuan debridemen dengan fasiotomi.

71
72

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di unit Bedah Toraks Kardiovaskuler Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kadar TNF-α dan VEGF plasma

dilakukan di UPT. Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Sejak protokol

penelitian sampai selesai penelitian memerlukan waktu selama 4 minggu.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi sampel

Populasi target adalah semua pasien DM tipe-2 yang menjalani operasi oleh

karena ulkus kaki diabetik. Populasi terjangkau adalah semua pasien DM tipe-2 yang

menjalani operasi oleh karena ulkus kaki diabetik derajat Wagner II, III, dan IV di

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel (intended sample) adalah subyek yang dipilih dengan tehnik

berurutan (consecutive sampling) dari populasi terjangkau, setelah memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects)

adalah sampel yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi

informed consent (Pocock, 2008 ; Saepudin, 2011)

4.3.3 Kriteria inklusi

Pasien DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik, , derajat ulkus Wagner II, III,

dan IV, bersedia menjalani operasi debridemen dengan fasiotomi atau debridemen

tanpa fasiotomi ditandai dengan kesediaan untuk mengisi informed consent, kadar

glukosa plasma sebelum operasi terkontrol. Batasan yang dipakai dalam kriteria

inklusi sampel adalah sebagai berikut :


73

1. Ulkus kaki diabetik : adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full

thickness) dari dermis yang menyertai penderita diabetes, dapat diikuti oleh

invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, pada bagian distal

tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk.,

1999).

2. Kriteria diagnosis DM dan DM tipe 2 sesuai dengan American Diabetes

Association 2012 yaitu : DM tipe 2 adalah individu yang memiliki resistensi

terhadap insulin disertai dengan defisiensi insulin relatif atau gangguan sekresi

insulin disertai dengan resistensi insulin.

Kriteria diagnosis DM :

1. Gejala-gejala diabetes seperti poliuri, polidipsi, dan kehilangan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan, ditambah dengan konsentrasi gula darah sewaktu

≥200 mg/dl (11.1 mmol/l), atau

2. Konsentrasi gula darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Pengertian puasa

disini adalah tidak ada pasokan kalori paling sedikit 8 jam, atau

3. HbA1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan ini hendaknya dikerjakan pada laboratorium

yang menggunakan metoda yang sudah disertifikasi melalui program

standarisasi glikohemoglobin Nasional (Glycohemoglobin Standardization

Program (NGSP) atau standar nilai (assay) dari Diabetes Control and

Complications Trial (DCCT), Atau

4. Konsentrasi gula darah 2 jam postprandial ≥200 mg/dl (11.1 mmol/l)


74

3. Kadar glukosa plasma terkontrol adalah kadar glukosa plasma preprandial 70-

130 mg / dl, kadar glukosa 2 jam postprandial < 180 mg / dl ( Standard Medical

Care of Diabetes ADA, 2011 )

4. Derajat ulkus kaki diabetik Wagner sesuai dengan klasifikasi Wagner (Oyibo

dkk., 2001) yaitu :

Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi

Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.

Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi,

belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses

Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi

osteomielitis, abses atau selulitis.

Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal.

Grade V Gangren seluruh kaki.

4.3.4 Kriteria ekslusi

Pasien yang sejak awal direncanakan amputasi major (Below Knee / Above

Knee). Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit jantung kongestif,

penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), sindroma nefrotik, penyakit hati menahun,

anemia, kanker, sedang dalam terapi steroid, kemotrerapi. Drop out apabila

sebelum 4 minggu pasca operasi tidak bisa di follow up ( meninggal, tidak bisa

dihubungi ). Dikeluarkan dari penelitian apabila ditemukan kondisi seperti abses

yang dalam yang harus dilakukan fasiotomi pada kelompok non fasiotomi.
75

4.3.5 Tehnik pengambilan sampel

Sampel yang telah memenuhi syarat penelitian (eligable sample),

selanjutnya dilakukan randomisasi untuk menetapkan jenis perlakuan yang akan

diberikan dengan cara Permutted Block Randomization menggunakan komputer

dengan program statistik pepi. Nomor urut sampel dan jenis perlakuan sesuai

Permutted Block, ditulis pada secarik kertas dan diletakkan didalam amplop

tertutup, dan baru dibuka sesaat sebelum operasi. Adapun kode perlakuan

ditetapkan sebagai berikut : A, untuk perlakuan fasiotomi, B untuk perlakuan tanpa

fasiotomi. Pasien yang memenuhi syarat dipilih secara berurutan (consecutive

random sampling) sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.3.6 Besar sampel

Menetapkan besar sampel tergantung pada besar densitas exposure faktor

risiko pada populasi, besar Odd ratio terkecil yang dianggap bermakna , besar alfa

dan power of test yang diinginkan. Penghitungan besar sampel dihitung

menggunakan formula Pocock (Pocock, 2008) seperti ditunjukkan dengan

persamaan berikut :

2σ2 X f α,β
n=
(μ2 - μ1 )2

Besarnya (µ2 - µ1) merupakan efek faktor risiko antara kelompok perlakuan

dan kontrol dapat ditentukan dengan asumsi (clinical judgment), pilot study atau

dari data penelitian serupa. Berdasarkan penelitian Leung (2008) ditemukan bahwa

kadar TNF-α serum pada pasien ulkus kaki diabetik pada minggu kedua pasca

perlakuan terapi herbal adalah 36 ± 76 pg/ml, sedangkan pada pasien yang


76

diberikan plasebo kadar TNF-α adalah 41 ± 68 pg/ml. Sehingga dengan mengacu

pada penelitian serupa dapat ditetapkan bahwa (µ2 - µ1) antara kedua kelompok

adalah sebesar 5. Kesalahan tipe 1 (α) ditetapkan sebesar 5%, kesalahan tipe 2 (β)

sebesar 20%, maka f (α, β) = 7,9 Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada

persamaan diatas didapatkan nilai n = 26,5 dibulatkan menjadi 27 orang. Dengan

asumsi drop out sebanyak 20% maka sampel yang digunakan adalah sebanyak 32

orang. Jadi untuk 2 kelompok jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 64

orang.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok variabel, yaitu :

1. Variabel bebas adalah tindakan operasi debridemen dengan fasiotomi dan

tindakan operasi debridemen tanpa fasiotomi.

2. Variabel tergantung adalah kadar TNF-α plasma dan kadar VEGF plasma,

serta perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (nilai LUMT)

3. Variabel kendali : umur, jenis kelamin, lama DM, kadar HbA1c, PAD,

derajat ulkus, jenis ulkus, dan tekanan kompartemen daerah kaki.

4.4.2 Hubungan antar variabel

Dari 3 kelompok variabel yang diteliti, maka dibuat skema hubungan antar

variabel seperti terlihat pada Gambar 4.2 berikut :


77

V. BEBAS
Debridemen tanpa fasiotomi
Debridemen dengan fasiotomi

V. KENDALI V. KENDALI
Umur HbA1c
Jenis kelamin PAD
Derajat ulkus Lama DM
Jenis ulkus Tekanan kompartemen

V. TERGANTUNG
Kadar TNF-α plasma
Kadar VEGF plasma
Perbaikan klinis ulkus (nilai LUMT)

Gambar 4.2
Hubungan antar variabel
V= Variabel, LUMT= Leg Ulcer Measurement Tool

4.4.3 Definisi operasional variabel penelitian

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variable-variabel

yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari

variable-variabel tersebut adalah sebagai berikut ;

1. Debridemen dengan fasiotomi adalah tindakan bedah debridemen dan

fasiotomi yang dikerjakan secara simultan.

2. Debridemen adalah tindakan bedah membuang semua jaringan nekrotik,

eksudat, pus, darah, di dalam dan tepi ulkus sampai ke jaringan sehat

(Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010).


78

3. Fasiotomi adalah tindakan bedah dengan melakukan insisi longitudinal pada

fasia yang membungkus sekelompok otot dari satu kompartemen. Pemilihan

kompartemen pada fasiotomi disesuaikan lokasi ulkus. Ada beberapa

pendekatan insisi fasiotomi yang telah dipakai untuk dekompresi, sesuai

dengan kompartemen mana yang terkena (Fulkerson dkk.,2003 ; Frink dkk.,

2010).

4. Ulkus kaki diabetikum adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan

(full thickness) dari dermis yang menyertai penderita diabetes, dapat diikuti

oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan pada kaki

(Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999).

5. Derajat ulkus kaki diabetik adalah Wagner II, III, dan IV menurut klasifikasi

Wagner (Oyibo, dkk., 2001).

6. TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang diambil dari bahan jaringan ulkus

dan plasma. Kadar TNF-α diukur menggunakan metoda Enzyme-Linked

ImmunoSorbant Assay (ELISA) (R&D System, Minneapollis, USA)

7. VEGF adalah vascular endothelial growth factor yang diambil dari bahan

plasma. Kadar VEGF diukur dengan metoda Enzyme-Linked ImmunoSorbant

Assay (ELISA) (R&D System, Minneapollis, USA)

8. Perbaikan klinis ulkus adalah besarnya nilai LUMT yang diukur secara

periodik setiap minggu berturut-turut selama 4 minggu posttest. Pengamatan

perbaikan klinis dilakukan dengan alat ukur berupa formulir LUMT


79

(Woodbury dkk.,2004). Semakin kecil nilai LUMT posttest, semakin besar

perbaikan klinis ulkus.

9. Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan keterangan tanggal lahir

10. Jenis kelamin adalah laki-laki atau wanita

11. Lama DM adalah rentang waktu pasien menderita DM yang dihitung sejak

pasien mengetahui pertama kali sampai dengan waktu dilakukan wawancara

penelitian.

12. HbA1c adalah hemoglobin yang terglikosilasi diukur dengan Bio-Rad D-10

Hemoglobin testing system, spesimen diambil dari darah lengkap (American

Diabetes Association, 2012).

13. PAD adalah penyakit arteri perifir oklusi. Kriteria diagnosis PAD adalah

intermitent claudication, kaki pucat dan dingin, atrofi otot, berkurangnya

pertumbuhan rambut dan kuku, pulsasi arteri kaki melemah atau tidak ada,

Ankle Brachial Index (ABI) ≤ 0,90 (Norgren dkk, 2007).

14. Tekanan kompartemen kaki adalah besarnya tekanan kompartemen daerah

kaki. Pengukuran dilakukan pada kompartemen lateral, sentral, medial, dan

interoseus kaki, yang diukur dengan tehnik jarum sederhana 18G yang

dihubungkan dengan transduser arteri line monitor (Moed dan Thorderson,

1993 ; Wilson, 1997).

Tehnik pengukuran.

Daerah kompartemen kaki yang akan diukur didesinfeksi dengan alkohol

90%, ditusukkan jarum 18 G dengan posisi miring 45o dari permukaan kulit

menembus fasia kompartemen, jarum difiksasi dengan jahitan silk 3/0 agar
80

tidak terlepas selama pengukuran, ujung jarum dihubungkan dengan

transduser arterial line yang sudah terhubung dengan monitor. Dilakukan

kalibrasi, lalu dilakukan pembacaan nilai tekanan kompartemen.

15. Jenis ulkus.

Ulkus diabetikum dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006)

1. Ulkus neuropatik.

Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba,

keringat berkurang, kulit kering dan retak.

Penilaian neuropati :

Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan

dengan Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi

vibrasi dengan garpu tala 128 Hz (Khanolkar dkk., 2008 ; Van Baal,

2004)

2. Ulkus neuroiskemik.

Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa

rambut, ada atrofi jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain

mungkin tidak ada karena neuropati .

4.5 Bahan Penelitian

4.5.1 Bahan sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita ulkus kaki

diabetik derajat Wagner II, III, dan IV.


81

4.5.2 Bahan sediaan untuk uji TNF-α dan VEGF

Bahan sediaan untuk pemeriksaan TNF-α dan VEGF adalah plasma

penderita ulkus kaki diabetik. Adapun pemeriksaan TNF-α di dalam jaringan

sebelum perlakuan diperlukan untuk melihat korelasinya dengan kadar TNF-α

plasma, namun tidak dikerjakan posttest karena pertimbangan etik.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Alat pengukur tekanan kompartemen yang terdiri dari : jarum ukuran 18G,

transduser, artery line invasive monitor

2. Alat pengukur panjang / lebar berupa penggaris sederhana

3. Semmes-Weinstein monofilament 10 g dan Garpu tala 128 Hz

4. Stetoskop dan Spignomanometer

5. Formulir pengumpulan data penelitian dan rekaman medik

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Tahap persiapan

Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan penelitian

(ethical clearance) dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana dan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Persetujuan penelitian dengan

menandatangani surat informed consent. Sampel penderita ulkus kaki diabetikum

dipilih secara consecutive kemudian dipersiapkan untuk tindakan bedah. Preparasi

bedah dipersiapkan sesuai dengan prosedur baku penanganan ulkus diabetikum.

Glukosa plasma sebelum operasi dalam keadaan terkontrol.


82

4.7.2 Pelaksanaan penelitian

4.7.2.1 Pengukuran tekanan kompartemen

Dilakukan pengukuran tekanan kompartemen pada masing-masing

kompartemen di daerah kaki yaitu : kompartemen lateral, sentral, medial, dan

interoseus diukur dengan memakai jarum 18G yang dihubungkan dengan

transduser dari system monitor invasive. Pengukuran dilakukan pada semua

subyek penelitian sebelum dilakukan operasi debridemen dengan atau tanpa

fasiotomi (pretest), kadar glukosa plasma sebelum pengukuran adalah dalam

keadaan terkontrol. Pengukuran tekanan kompartemen posttest tidak

dilakukan karena kompartemen sudah terbuka akibat fasiotomi, sehingga

pengukuran tekanan kompartemen posttest diasumsikan menjadi tidak

relevan serta hasil pengukuran tidak bisa dipercaya.. n.

4.7.2.2 Debridemen tanpa fasiotomi

Operasi dilakukan dengan memakai instrument bedah untuk

membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah, didalam dan tepi

ulkus sampai ke jaringan sehat, tanpa disertai dengan fasiotomi.

4.7.2.3 Debridemen dengan fasiotomi

Operasi dilakukan dengan memakai instrument bedah untuk

membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah didalam dan tepi

ulkus sampai ke jaringan sehat, disertai dengan fasiotomi secara simultan.

Lokasi fasiotomi disesuaikan dengan lokasi ulkus. Tehnik fasiotomi adalah

sebagai berikut :
83

Pendekatan Plantar.

Pendekatan ini dimulai dengan insisi mengikuti permukaan plantar dari

metatarsal pertama, sehingga kompartemen medial terlihat, lalu dibelah

secara longitudinal. Abductor hallucis diretraksi untuk mencapai

kompartemen lain.

Pendekatan Dorsal.

Pendekatan ini dapat dimodifikasi dalam dua insisi dorsal diatas metatarsal

kedua dan metatarsal keempat, dengan cara ini memungkinkan untuk

mencapai semua kompartemen. Jika 2 insisi dorsal ini dikerjakan, dianjurkan

melakukan insisi medial disebelah medial dari metatarsal kedua dan insisi

lateral disebelah lateral dari metatarsal keempat. Untuk mengurangi resiko

skin bridge necrosis , kedua insisi dibuat subkutan agar perfusi tidak

terganggu. Fasia dorsal dari setiap kompartemen interoseus dibuka secara

longitudinal. Pada kompartemen interoseus pertama, otot dibebaskan dari

fasia medial dan diretraksi ke medial. Fasia putih dari kompartemen adductor

menjadi kelihatan,

Pendekatan Medial Plantar.

Insisi medial dimulai dari origo abductor hallucis ( sekitar 3 cm diatas

permukaan plantar dan 4 cm dari pascaterior tumit), diperluas paralel ke

permukaan plantar sepanjang 6 cm, fasia abductor hallucis akan terlihat lalu

dibelah sejajar dengan insisi kulit. Setelah membelah kompartemen medial,

otot abductor hallucis dilepaskan dari fasianya dan diretraksi ke superior,

terlihat fasia putih dari kompartemen kalkaneal lalu fasia dibelah


84

longitudinal. Setelah itu kompartemen superficial diidentifikasi disebelah

lateral dari kompartemen medial, insisi longitudinal dikerjakan pada fasia

kompartemen ini. Flexor digitorum brevis diretraksi ke inferior, fasia medial

dari kompartemen lateral dapat diidentifikasi. Dekompresi dari kompartemen

ini , jika abductor digiti quinti and flexor digiti minimi terlihat. Semua luka

dibiarkan terbuka.

Pendekatan Lateral.

Insisi dimulai pada maleolus lateral dan diperluas ke kaki depan antara

metatarsal keempat dan kelima.

Gambar 4.3 Pendekatan dorsal dan medial untuk fasiotomi pada empat kompartemen.
Insisi dorsal melalui dua insisi persis sebelah medial dari metatarsal kedua
dan di sebelah lateral dari metatarsal keempat, memungkinkan mencapai
keempat kompartemen kaki. Insisi medial lebih mudah mencapai
kompartemen medial dan sentral (Dikutip dari ABST Lab manual, ACS)
85

4.7.2.4 Prosedur tetap tehnik operasi, pengambilan spesimen jaringan dan

plasma, dan perawatan luka.

Prosedur tetap tindakan debridemen dengan atau tanpa fasiotomi dan

pengambilan spesimen jaringan dan plasma ( pretest ) :

- Penderita disiapkan dalam general atau regional anestesi

- Tutup ulkus dengan kasa steril

- Desinfeksi daerah disekitar ulkus dengan povidone iodine

- Cuci ulkus dengan normal saline dengan cara irigasi untuk membuang pus,

eksudat, darah, dan benda asing lainnya

- Pengambilan spesimen jaringan, plasma

- Debridemen dengan atau tanpa fasiotomi

- Ulkus ditutup dengan kasa steril lalu dibebat dengan bebat elastis.

Prosedur tetap pengambilan spesimen :

a. Jaringan : eksisi jaringan ulkus dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm,

dan kedalaman 1 cm dari dasar ulkus sampai batas dengan jaringan

sehat dasar ulkus. Spesimen kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik

Universitas Udayana.

b. Plasma : diambil darah vena sebanyak 3 mililiter yang ditampung dan

disimpan dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian dikirim ke

Laboratorium Analitik Universitas Udayana.

Prosedur tetap debridemen :

a. Eksisi jaringan nekrotik di tepi dan dasar ulkus secara tajam sampai ke

jaringan sehat dan pembersihan permukaan ulkus secara tumpul sampai


86

timbul perdarahan baru, perdarahan selanjutnya dirawat.

b. Cuci ulkus dengan larutan normal saline dengan cara irigasi untuk

membuang sisa-sisa pus, eksudat, darah, dan benda asing lainnya.

Prosedur tetap fasiotomi :

a. Identifikasi lokasi ulkus dan proyeksikan area kompartemen dari

ulkus tersebut. Lokasi ulkus dibagi 2 area yaitu dorsum pedis dan

plantar pedis,

b. Ulkus yang berlokasi di dorsum pedis, dikerjakan fasiotomi

kompartemen interosesus dengan pendekatan dorsal,

c. Ulkus yang berlokasi di plantar lateral, dikerjakan fasiotomi

kompartemen lateral dengan pendekatan lateral,

d. Ulkus yang berlokasi di plantar medial dan atau sentral dikerjakan

fasiotomi kompartemen medial dan kompartemen sentral dengan

pendekatan medialplantar.

Prosedur tetap tindakan dan pengambilan spesimen plasma 1 minggu pasca

debridemen dengan atau tanpa fasiotomi ( posttest ) :

Diambil darah vena sebanyak 3 mililiter yang ditampung dan disimpan

dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian dikirim ke Laboratorium

Analitik Universitas Udayana.

Prosedur tetap perawatan ulkus :

- Tutup ulkus dengan kasa steril

- Desinfeksi daerah disekitar ulkus dengan povidone iodine


87

- Cuci ulkus dengan cairan normal saline dengan cara irigasi untuk

membuang pus, eksudat, darah, dan benda asing lainnya

- Ulkus ditutup dengan kasa steril lalu dibebat dengan bebat elastis.

4.7.3 Pemeriksaan laboratorium

Pengukuran kadar TNF-α plasma dan jaringan ulkus, serta kadar VEGF

plasma menggunakan metoda ELISA (Quantikine(R) ELISA, Human TNF-α dan

VEGF Immunoassay. R&D System Inc., Minneapolis, USA). Spesimen diambil dari

plasma dan jaringan ulkus untuk TNF-α , dan dari plasma untuk VEGF, sesaat

sebelum operasi dan 1 minggu setelah operasi. Kadar glukosa plasma terkontrol

selama pengambilan spesimen. Prosedur pengambilan dan penyimpana sampel,

persiapan reagen, prosedur assay, serta hasil penghitungan mengikuti aturan yang

sudah ditetapkan dari perusahan Quantikine(R) ELISA, Human TNF-α dan VEGF

Immunoassay. R&D, Inc. Minneapolis, USA, sebagai berikut :

Pengambilan dan Penyimpanan Spesimen :

a. Jaringan : biakan sel supernatan (cell culture supernates) hendaknya

mengandung paling sedikit fetal calf serum 1% untuk stabilitas TNF-α dan

VEGF. Partikel partikel dibuang dengan cara sentrifugasi, dan setelah itu segera

dikerjakan analisis atau disimpan terlebih dahulu pada suhu ≤ -20 0C. Hindarkan

pencairan dari yang beku (freeze-thaw cycles) secara berulang.

b. Plasma : tampung plasma menggunakan EDTA sebagai anticoagulant.

Dilakukan sentrifugasi selama 15 menit pada 1000 x g, endapkan selama 30

menit. Analisa segera dilakukan atau sampel disimpan pada suhu ≤ -20 0C.

Hindarkan pencairan dari yang beku ( freeze-thaw cycles ) secara berulang.


88

Persiapan Reagen.

a. Tempatkan semua reagen pada tempratur kamar sebelum digunakan

b. Pencucian buffer. Jika reagen masih dalam bentuk konsentrat kristal,

hangatkan terlebih dahulu pada tempratur kamar, lalu dicampur secara hati

hati sampai seluruh kristal terlarut sepenuhnya. Larutkan konsentrat pencuci

buffer ( Wash Buffer Concenctrate ) sebanyak 20 ml kedalam air yang sudah

di deionisasi atau distilasi menjadi 500 ml Wash Buffer.

c. Larutan dasar. Reagen A dan B dicampurkan dalam volume yang sama

dalam waktu 15 menit. Hindarkan dari cahaya. Dibutuhkan 200 µl hasil

larutan tercampur untuk setiap sumur atau perigi (well).

d. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : gunakan tabung

polypropylene. Tuangkan dengan pipet 500 µL calibrator diluent RD5K

kedalam setiap tabung untuk menghasilkan pengenceran serial. Campurkan

setiap tabung terlebih dahulu sebelum dicampurkan ke tabung berikutnya.

Pengenceran 1000 pg/ml digunakan sebagai standard tinggi. Calibrator

diluent RD5K digunakan sebagai standar zero ( 0 pg/ml ).

e. Untuk sampel plasma / serum : gunakan tabung polypropylene. Tuangkan

dengan pipet 500 µL calibrator diluent RD6U kedalam setiap tabung untuk

menghasilkan pengenceran serial. Campurkan setiap tabung terlebih dahulu

sebelum dicampurkan ke tabung berikutnya. Larutan tanpa pengenceran

standard digunakan sebagai stan.dard tinggi ( 2000 pg/ml ). Calibrator

diluent RD6U digunakan sebagai standar zero ( 0 pg/ml ).


89

Prosedur Assay.

1. Siapkan semua reagen, standard, dan sampel seperti yang sudah diterangkan

sebelumnya.

2. Pindahkan strip mikroplate yang lebih dari kerangka plate ke dalam foil

poch yang berisi desicant pack, lalu disegel kembali.

3. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : tambahkan 50 µL assay

diluent RD1W ke dalam setiap sumur atau perigi (well). Untuk plasma /

serum tambahkan 100 µL assay diluent RD1W ke dalam setiap sumur atau

perigi (well).

4. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : tambahkan 200 µL

standard, kontrol, atau sampel per sumur. Untuk plasma / serum tambahkan

100 µL standard, kontrol, atau sampel per sumur. Tutup dengan plester yang

sudah disediakan dan inkubasi selama 2 jam pada tempratur kamar. Sebuah

plate layout disiapkan untuk mencatat assay standard dan sampel.

5. Aspirasi setiap sumur dan dicuci, ulangi proses ini 2 kali untuk 3 pencucian

total. Cuci dengan mengisi setiap sumur dengan wash buffer ( 200 µL )

menggunakan botol semprot, manifold dispenser, atau pencuci otomatis.

Membersihkan secara keseluruhan cairan pada setiap langkah merupakan hal

yang sangat penting untuk penampilan yang baik. Setelah pencucian terakhir,

bersihkan sisa sisa wash buffer dengan cara mengaspirasi atau

menuangkannya. Keringkan plate dengan handuk kertas.


90

6. Tambahkan 200 µL conjugat VEGF atau TNF-α pada setiap sumur. Tutup

dengan plester baru. Inkubasi selama 2 jam pada tempratur kamar.

7. Ulangi aspirasi atau pencucian seperti dalam langkah 5.

8. Tambahkan 200 µL larutan dasar pada setiap sumur. Lindungi dari cahaya.

Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : inkubasi selama 20 menit

pada suhu kamar. Untuk plasma / serum inkubasi selama 25 menit pada suhu

kamar.

9. Tambahkan 50 µL larutan penutup ( stop solution ) untuk setiap sumur. Jika

perubahan warna tidak tampak merata, plate diketok-ketok secara hati hati

agar tercampur dengan baik. Jika warna di dalam sumur adalah hijau atau

perubahan warna tidak tampak merata, plate diketok-ketok secara hati hati

agar tercampur dengan baik.

10. Tetapkan densitas optik dari setiap sumur dalam waktu 30 menit,

menggunakan pembaca mikroplate dan diset sampai 450 nm. Jika koreksi

panjang gelombang tersedia, set sampai 540 nm atau 570 nm. Jika koreksi

panjang gelombang tidak tersedia, kurangi pembacaan dari 540 nm atau 570

nm menjadi 450 nm. Pengurangan ini akan mengoreksi ketidaksempurnaan

optik pada plate. Pembacaan yang dibuat langsung pada 450 nm tanpa

koreksi dapat menjadi lebih tinggi dan kurang akurat.


91

4.7.4 Pemeriksaan perbaikan klinis ulkus

Pemeriksaan perbaikan klinis ulkus dilakukan sampai 4 minggu pasca

operasi. Dilakukan pengamatan terhadap perbaikan klinis ulkus menggunakan

instrument LUMT diadopsi dari Woodbury GM dkk. (2004) pada setiap akhir

minggu I, II, III, dan IV pasca operasi (formulir monitoring LUMT terlampir).

Perawatan ulkus dilakukan setiap 3 hari sekali selama 4 minggu, di ruang perawatan

atau di Poliklinik Bedah RSUP Sanglah. Kadar glukosa plasma terkontrol selama

pengamatan berlangsung.

4.8 Alur Penelitian

Untuk lebih mempermudah pelaksanaan penelitian maka dibuat skema alur

penelitian yang ditunjukkan dengan bagan pada Gambar 4.4 berikut :


92

PASIEN DM TIPE 2 DENGAN ULKUS KAKI DIABETIK

KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSLUSI

CONSECUTIVE ALOKASI RANDOM


SAMPLING

KONTROL PERLAKUAN
(32 SUBYEK) (32 SUBYEK)

PENGUKURAN : TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI,


TNF-α PLASMA dan JARINGAN, VEGF PLASMA, NILAI LUMT (PRETEST )
*Glukosa plasma terkontrol

DATA PRETEST :
TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI , TNF-α PLASMA dan JARINGAN,
VEGF PLASMA, NILAI LUMT

OPERASI DEBRIDEMEN OPERASI DEBRIDEMEN + FASIOTOMI

PENGUKURAN : TNF-α PLASMA, VEGF PLASMA, NILAI LUMT


TUJUH HARI PASCA OPERASI (POSTTEST)
*Glukosa plasma terkontrol

DATA POSTTEST :
TNF-α PLASMA, VEGF PLASMA, NILAI LUMT

EVALUASI PERBAIKAN KLINIS ULKUS (NILAI LUMT)


MINGGU II, III, IV PASCA OPERASI
*Glukosa plasma terkontrol

DATA PERBAIKAN KLINIS ULKUS


NILAI LUMT MINGGU I, II, III, IV PASCA OPERASI

ANALISIS STATISTIK DATA

SIMPULAN PENELITIAN

Gambar 4.4
Alur Penelitian
93

4.9 Analisis Data

Untuk menganalisis perbedaan kadar TNF-α plasma dan kadar VEGF

plasma, serta perbaikan klinis ulkus yang diukur dari nilai LUMT akibat perlakuan

debridemen dengan atau tanpa fasiotomi, dilakukan tahapan-tahapan analisis

statistik data sebagai berikut :

1. Analisis deskriptif; menggambarkan karakteristik perlakuan dan distribusi

frekuensi berbagai variabel yaitu : jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan,

BMI, HbA1c, lama menderita DM, lama menderita ulkus, tekanan kompartemen

kaki, derajat ulkus, jenis ulkus, dan PAD;

2. Analisis normalitas; normalitas data TNF-α dan VEGF plasma kelompok

debridemen dengan fasiotomi dan kelompok debridemen tanpa fasiotomi antara

sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis menggunakan uji Shapiro Wilk pada α

= 0,05. Hipotesis ; H0 : frekuensi observasi = frekuensi ekspektasi, Ha :

frekuensi observasi ≠ frekuensi ekspektasi. H0 diterima (data berdistribusi

normal) p > α, H0 ditolak (data tidak berdistribusi normal) p < α ;

3. Analisis homogenitas; analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan

kesamaan varian (equality of variance) pada kedua kelompok perlakuan dengan

menggunakan Levene’s Test pada α = 0,05. Hipotesis; H0: σ12 = σ22 (varian

kelompok debridemen dengan fasiotomi sama dengan kelompok debridemen

tanpa fasiotomi), Ha:σ12 ≠ σ22 (varian kelompok debridemen dengan fasiotomi

berbeda dengan kelompok debridemen tanpa fasiotomi), H0 diterima (varian

pada kedua kelompok equal), p > α. H0 ditolak (varian pada kedua kelompok

tidak equal), p < α;


94

4. Analisis komparabilitas; dilakukan terhadap nilai pre-tes kelompok debridemen

dengan fasiotomi dan kelompok debridemen tanpa fasiotomi menggunakan uji-t

group (α = 0,05. H0 : μ1 = μ2 (pre-tes kelompok debridemen dengan fasiotomi =

kelompok debridemen tanpa fasiotomi), Ha: μ1 ≠ μ2 (pre-tes kelompok

debridemen dengan fasiotomi ≠ kelompok debridemen tanpa fasiotomi). H0

diterima, p > α ini berarti yang diuji adalah nilai posttest kelompok debridemen

dengan fasiotomi dan posttest kelompok debridemen tanpa fasiotomi , H0

ditolak (data tidak berdistribusi normal), p < α ini berarti yang diuji adalah

penurunan antara pre-tes dengan posttest;

5. Analisis perbedaan rerata; dengan asumsi varian pada kedua kelompok ekual

maka perbedaan rata-rata antara hasil pengukuran TNF-α dan VEGF plasma

pada kelompok debridemen dengan fasiotomi berbeda dengan kelompok

debridemen tanpa fasiotomi yang ditentukan berdasarkan nilai posttest antara

kedua kelompok tersebut dianalisis dengan uji-t independent sample atau uji-t

group (dua sampel bebas) pada tingkat kemaknaan α = 0,05. Hipotesis; H0: μ1 =

μ2 (rerata posttest kelompok debridemen dengan fasiotomi sama dengan rerata

posttest kelompok debridemen tanpa fasiotomi), Ha: μ1 ≠ μ2 (rata-rata posttest

kelompok debridemen dengan fasiotomi berbeda dengan rata-rata posttest

kelompok debridemen tanpa fasiotomi atau ada perbedaan antara kedua

kelompok). H0 diterima (tidak ada perbedaan antara kedua kelompok), p > α. H0

ditolak (ada perbedaan antara kedua kelompok), p < α; dan


95

6. Perbedaan perbaikan klinis ulkus yang diukur menggunakan system LUMT

diukur pada minggu I, II, III, dan IV. Analisis menggunakan uji-t tidak

berpasangan pada tingkat signifikansi p < 0,05;

7. Pada penelitian ini dikonstruksi regresi linier peningkatan kadar VEGF dengan

kadar TNF-α. Hal ini penting untuk mendapatkan linieritas antara kedua variabel

tersebut. Analisis regresi linier terhadap kedua variabel tersebut menggunakan

regresi linier sederhana

8. Analisis statistik tersebut di atas menggunakan nilai p < 0,05 sebagai batas

kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu program SPSS for

windows.
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 60 orang pasien penderita DM yang

terkena ulkus kaki diabetik memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien selanjutnya

dimasukkan ke dalam 2 kelompok yaitu: kelompok-1 terdiri dari 28 orang mendapatkan

perlakuan debridemen dan kelompok-2 sebanyak 32 orang mendapatkan perlakuan

debridemen dan fasiotomi. Pada kelompok-1 tercatat seorang pasien drop out karena

meninggal dunia. Data karakteristik subjek penelitian disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Data Karakteristik Subjek Kelompok-1 dan Kelompok-2
Variabel Kelompok-1 Kelompok-2 p*
(Debridemen) (Debridemen + Fasiotomi)
N 27 32
Jenis Kelamin
Laki (%) 18 (66,70) 22 (68,80)
Perempuan (%) 9 (33,30) 10 (31,20)
Umur (tahun) 54,59±8,23 54,72±11,67 0,963
Kisaran umur (tahun) 42 - 70 28 - 77
Pendidikan
SD (%) 8 (29,70) 11 (34,30)
SLTP (%) 3 (11.10) 4 (12,50)
SLTA (%) 13 (48,10) 13 (40,60)
PT (%) 3 (11,10) 4 (12,50)
Pekerjaan
IRT (%) 3 (11,10) 2 (6,30)
Swasta (%) 17 (63,00) 20 (62,50)
PNS (%) 7 (25,90) 10 (31,30)
BMI 24,02±3,73 24,52±4,26 0,639
HbA1c (%) 10,19±2,14 10,75±2,80 0,404
Lama menderita DM (tahun) 8,52±8,57 9,81±7,65
Lama menderita Ulkus 7,15±12,61 8,38±17,13
(minggu)
Tekanan Kompartemen
(mmHg)
Medial 15,19±7,34 18,59±11,74
Lateral 13,63±7,70 15,06±8,19
Sentral 14,04±9,60 21,75±12,89
Interosesus 13,70±11,38 21,53±13,24

96
97

Lanjutan Tabel 5.1

Variabel Kelompok-1 Kelompok-2 p*


Derajat ulkus
Derajat-II (%) 13 (48,1) 5 (15,6)
Derajat-III (%) 11 (40,8) 16 (50,0)
Derajat-IV (%) 3 (11,1) 11 (34,4)
Jenis Ulkus
Neuroiskemik (%) 8 (29,6) 9 (28,1)
Neuropatik (%) 19 (70,4) 23 (71,9)
PAD
Ya (%) 7 (25,9) 13 (40,6)
Tidak (%) 20 (74,1) 19 (59,4)
*Tidak ada perbedaan (komparabel) p>0,05

5.2 TNF-α jaringan, TNF-α plasma, dan VEGF

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar TNF-α plasma, TNF-α

jaringan, dan VEGF pretest dan posttest untuk kelompok-1 (perlakuan debridemen)

dan kelompok-2 (perlakuan debridemen dan fasiotomi). Data yang diperoleh

selanjutnya diuji normalitas dan homoginitasnya. Semua data berdistribusi normal

dan variannya homogen (Lampiran 5). Secara keseluruhan data pretest kadar TNF-α

plasma, TNF-α jaringan, dan VEGF disajikan pada Tabel 5.2

Tabel 5.2
Data Pretest Kadar TNF-α plasma, TNF-α jaringan, dan VEGF plasma

Kelompok-1 Kelompok-2
Variabel p**
pretest pretest
TNF-α plasma (pg/ml) 422.30±17,05 424,47±12,02 0,093
Minimum 381,47 387,17
Maksimum 450,37 450,50
p* 0,264 0,113
TNF-α jaringan (pg/ml) 383,46±14,59 385,91±9,58 0,094
Minimum 348,39 363,09
Maksimum 407,47 410,79
p* 0,270 0,66
VEGF plasma (pg/ml) 282,50±11,58 286,74±10,19 0,510
Minimum 264,36 269,20
Maksimum 304,13 308,24
p* 0,218 0,590
p* berdistribusi normal pada nilai > 0,05; p** varian homogeny pada nilai > 0,05
Kelompok-1 debridemen , Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi
98

Penelitian ini menentukan terjadi penurunan kadar TNF-α dan peningkatan

kadar VEGF 7 hari posttest debridemen maupun perlakuan debridemen dan

fasiotomi pada kedua kelompok perlakuan . Untuk maksud ini, selanjutnya

dilakukan pengukuran kadar TNF-α dan VEGF posttest. Sedangkan, pengukuran

kadar TNF-α pada jaringan posttest tidak dilakukan karena alasan etik. Data kadar

TNF-α plasma, VEGF, serta perubahan kadar kedua marker tersebut setelah

perlakuan disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3
Kadar TNF-α dan VEGF plasma 7 hari setelah perlakuan, serta perubahan kadar
kedua marker tersebut pada Kelompok-1 dan Kelompok-2

Kelompok-1 Kelompok-2
Variabel postest Perubahan (∆) postest Perubahan p**
(∆)
TNF-α plasma 390,91±12,85 31,40±17,98 290,26±16,42 134,21±14,50 0,179
(pg/ml)
Minimum 368,69 9,51 259,54 90,03
Maksimum 412,10 70,08 332,86 158,33
p* 0,407 0,952 0,168 0,091
VEGF plasma 289,19±21,91 15,03±11,02 338,69±20,11 51,96±13,54 0,330
(pg/ml)
Minimum 248,53 2,67 303,46 29,38
Maksimum 327,48 35,89 395,80 92,44
p* 0,293 0,242 0,064 0,064

p* berdistribusi normal pada nilai > 0,05 Kelompok-1 debridemen


p** varian homogen pada nilai > 0,05 Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi

Untuk mengetahui adanya perubahan (∆) antara kadar TNF-α plasma dan VEGF

plasma kelompok-1 dan kelompok-2 akibat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji-t

independen. Secara menyeluruh hasil uji-t disajikan pada Lampiran 5. Resume hasilnya

disajikan pada Tabel 5.4.


99

Tabel 5.4
Resume Hasil Uji-t perubahan kadar TNF-α dan VEGF plasma 7 hari posttest
Kelompok-1 dan Kelompok-2

Interval Kepercayaan
Beda (95%)
Variabel Kelompok-1 Kelompok-2 t p*
Mean lower Upper
TNF-α (pg/ml) pre 422,20±17,05 424,47±12,02 2,17 0,571 0,570 -9,77 5,44
VEGF (pg/ml) pre 282,50±11,58 286,74±10,19 4,23 1,494 0,141 -9,91 5,70
TNF-α (pg/ml) pasca 390,91±12,85 290,26±16,42 100,64 25,85 0,001 92,84 108,44
VEGF (pg/ml) pasca 289,19±21,91 338,70±20,11 49,50 9,04 0,001 -60,47 -38,54
∆ TNF-α (pg/ml) 31,40±17,98 134,21±14,50 102,81 24,32 0,001 -111,27 -94,34
∆ VEGF (pg/ml) 15,23±10,73 51,96±13,54 36,73 11,39 0,001 -43,19 -30,27
*Signifikan pada nilai p < 0,05 Kelompok-1 debridemen
Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi

Untuk lebih memperjelas adanya perbedaan kadar TNF-α dan VEGF dapat

dilihat pada Gambar 5.1, 5.2, 5.3, dan 5.4. Data kadar TNF-α plasma pada kelompok-1

maupun kelompok-2 posttest disajikan pada Gambar 5.1, Pada Gambar 5.1 terlihat

bahwa kadar TNF-α pada kelompok-1 berbeda secara signifikan dibandingkan dengan

kelompok-2 ditunjukkan dengan nilai p<0,05.

400

350

300

250

200

150 TNF-α
100

50

0
Debredemen Debredemen dan
fasiotomi

Gambar 5.1
Perbedaan Kadar TNF-α plasma pada Kelompok-1(debridemen) dengan
Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.
100

Data kadar VEGF pada kelompok-1 maupun kelompok-2 posttest disajikan pada

Gambar 5.2. Dari Gambar 5.2 tersebut terlihat bahwa kadar VEGF pada kelompok-1

berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pada kelompok-2, p < 0,05.

340

330

320

310
VEGF
300

290

280

270

260
Debredemen Debredemen dan
fasiotomi
Gambar 5.2
Perbedaan Kadar VEGF pada Kelompok-1(debridemen) dengan
Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.

Data penurunan kadar TNF-α plasma pada kelompok-1 maupun kelompok-2

disajikan pada Gambar 5.3. Terlihat penurunan kadar TNF-α plasma pada kelompok-1

berbeda secara signifikan dari kelompok-2, p < 0,05.


101

140
120
100 Penurunan
TNF-α
80
60
40
20
0
Debredemen Debredemen dan fasiotomi

Gambar 5.3
Penurunan Kadar TNF-α plasma pada Kelompok-1(debridemen) dan
Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.

Data peningkatan kadar VEGF pada kelompok-1 maupun kelompok-2 disajikan

pada Gambar 5.4. Terlihat penurunan kadar VEGF pada kelompok-1 berbeda secara

signifikan dari kelompok-2, p < 0,05.

60

50

40

30
Peningkatan VEGF
20

10

0
Debredemen Debredemen dan
fasiotomi

Gambar 5.4 Peningkatan Kadar VEGF pada Kelompok-1(debridemen) dan Kelompok-2


(debdanfasio) posttest.
102

5.3 Perbaikan Klinis Ulkus

Perbaikan klinis ulkus pada kelompok debridemen dan kelompok

debridemen dengan fasiotomi diamati sejak selesai perlakuan sampai empat minggu

pasca-perlakuan. Perbaikan klinis ulkus diukur menggunakan sistem Leg Ulcer

Measurement Tool/LUMT (Woodbury, dkk. 2004). Data LUMT keseluruhan dapat

dilihat pada Tabel 5.5. Data tersebut diuji normalitas dan homogenitas variannya.

Tabel 5.5
Data Perbaikan Klinis Ulkus yang diukur sesuai Kriteria LUMT pada Kelompok
Debridemen (Kelompok-1) serta Kelompok Debridemen dan Fasiotomi (Kelompok-2),
Minggu I, II, III, dan IV Posttest

Variabel Kelompok-1 Kelompok-2 p**


LUMT minggu I 34,56±7,90 30,22±9,94 0,279
Minimum 12,00 9,00
Maksimum 46,00 50,00
p* 0,061 0,334
LUMT minggu II 28,70±5,89 22,53±8,27 0,082
Minimum 9,00 8,00
Maksimum 38,00 37,00
p* 0,077 0,087
LUMT minggu III 27,44±6,07 21,00±8,04 0,070
Minimum 9,00 6,00
Maksimum 38,00 33,00
p* 0,061 0,096
LUMT minggu IV 26,22±6,21 18,75±8,83 0,094
Minimum 8,00 4,00
Maksimum 34,00 33,00
p* 0,066 0,061
LUMT = Leg Ulcer Measurement Tool
*Data berdistribusi normal bila nilai p > 0,05
**Data variansnya homogen bila p > 0,05

Selanjutnya dilakukan uji-t independent untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan perbaikan klinis ulkus antara kelompok debridemen dengan kelompok

debridemen dengan fasiotomi. Resume hasil uji-t nya disajikan pada Tabel 5.6.
103

Tabel 5.6
Resume Perbedaan Data Perbaikan Klinis Ulkus Kelompok Debridemen (Kelompok-1)
serta Kelompok Debridemen dan Fasiotomi (Kelompok-2),
Minggu I, II, III, dan IV Posttest

Beda Interval Kepercayaan 95%


Pengamatan t p*
mean Lower bound Upper bound
LUMT minggu I 4,34 1,83 0,073 - 0,409 9,083
LUMT minggu II 6,17 3,24 0,002 2,362 9,982
LUMT minggu III 6,44 3,42 0,001 2,672 10,217
LUMT minggu IV 7,47 3,69 0,001 3,418 11,526
LUMT = Leg Ulcer Measurement Tool
*Signifikan bila nilai p < 0,05

5.4 Konstruksi Regresi Linier Peningkatan kadar VEGF dengan Penurunan kadar

TNF-α

Pada penelitian ini dikonstruksi regresi linier peningkatan kadar VEGF

dengan kadar TNF-α. Hal ini penting untuk mendapatkan linieritas antara kedua

variabel tersebut. Sebelumnya, kedua variabel tersebut diuji terlebih dahulu

korelasinya dengan korelasi Pearson (Product Moment). Hasil analisis korelasi

mendapatkan terjadi korelasi yang kuat (r = 0,753) dan signifikan (p < 0,05) antara

peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α). Hasil analisis korelasi

secara lengkap disajikan pada Lampiran-5. Selanjutnya dilakukan analisis regresi

linier terhadap kedua variabel tersebut menggunakan regresi linier sederhana. Hasil

analisis regresi linier secara menyeluruh disajikan pada lampiran-5, resumenya

disajikan pada Tabel 5.7.


104

Tabel 5.7
Resume Hasil Analisis Regresi Linier antara Peningkatan Kadar VEGF dengan
Penurunan Kadar TNF-α

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t p.
B Std. Error Beta
1 Konstan 8,301 3,654 2,272 0,027
Penurunan 0,308 0,036 0,753 8,627 0,000
TNF-α
a. Dependent Variable: Peningkatan VEGF

Dari data pada Tabel 5.7 dapat dibuat persamaan regresi antara peningkatan

kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α, yaitu: VEGF = 8,301 + 0,308 TNF-α. Hal

ini berarti bahwa setiap penurunan 1 pg/mL kadar TNF-α terjadi peningkatan kadar

VEGF sebesar 8,301 + 0,308 = 8,609 pg/mL.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Penelitian ini menunjukkan karakteristik subjek pada kedua kelompok

kebanyakan adalah laki-laki (66,70% laki-laki vs 33,30% perempuan pada

kelompok debridement ; 68,80% laki-laki vs 31,20% perempuan pada kelompok

debridement dan fasiotomi) dengan umur rerata 54 tahun (kisaran umur 42-70 tahun

pada kelompok debridement, 28-77 tahun pada kelompok debridement dan

fasiotomi). Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada penyembuhan luka sebagai

faktor sistemik. Semakin tua usia (usia tua menurut WHO, ≥ 60 tahun) semakin

besar risiko gangguan penyembuhan luka, hal ini berkaitan dengan gangguan

respon inflamasi seperti lambatnya infiltrasi sel T ke daerah luka disertai dengan

gangguan produksi kemokin dan penurunan kapasitas fagositosis makrofag,

disamping juga karena lambatnya re-epitelialisasi dan angiogenesis (Guo dan

DiPietro, 2010). Dibandingkan dengan perempuan, maka penyembuhan luka pada

laki-laki lebih lambat. Hormon sek berperan dalam gangguan penyembuhan luka,

dimana estrogen memperbaiki penyembuhan luka melalui regulasi berbagai

ekspresi gen yang berhubungan dengan regenerasi, produksi matriks, penghambat

protease, fungsi epidermal, dan gen-gen yang terutama berkaitan dengan inflamasi,

sementara androgen berpengaruh secara negative terhadap penyembuhan luka (Guo

dan DiPietro, 2010). Melihat karakteristik subyek pada kedua kelompok

105
106

kebanyakan laki-laki dengan rerata usia hampir tua, berarti kedua faktor ini

memiliki pengaruh negative terhadap perbaikan klinis ulkus. Pada analisis

komparabilitas umur dan jenis kelamin kedua kelompok adalah komparabel

(p>0,05)l, ini berarti bahwa perbaikan klinis ulkus pada kelompok debridemen dan

fasiotomi adalah benar- benar karena faktor perlakuan. Dengan kisaran umur antara

28-77 tahun untuk kelompok perlakuan, penelitian ini membuktikankan bahwa

secara statistik debridemen dan fasiotomi memberi hasil yang sama baik pada

pasien umur muda maupun tua.

Penelitian ini menunjukkan rerata BMI subjek pada kedua kelompok tidak

menunjukkan obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2) walaupun ada 4 subjek yang menunjukkan

obesitas (2 dari kelompok debridemen, 2 dari kelompok debridemen dan fasiotomi).

Rerata BMI kelompok debridemen adalah 24,02±3,73 vs 24,52±4,26 kelompok

debridemen dengan fasiotomi. Obesitas berpengaruh terhadap penyembuhan luka,

disebabkan adanya gangguan struktur dan fungsi kolagen, gangguan deposisi

kolagen, hal ini diduga akibat dari bagian dari perubahan struktur jaringan lemak

(Yosipovitch dkk., 2007). Obesitas pada tikus percobaan menunjukkan resistensi

terhadap skar aponeurosis lebih rendah dibandingkan kontrol, sedangkan intensitas

reaksi inflamasi dan densitas kolagen tidak berbeda (Biondo-Simoes dkk, 2010).

Dengan melihat rerata semua subjek tidak menunjukkan obesitas pada kedua

kelompok, berarti peluang terjadi perbaikan ulkus adalah baik dan tidak berbeda

antara kedua kelompok. Terbukti pada analisis komparabilitas kedua kelompok

adalah komparabel (p > 0,05), sehingga pengaruh perlakuan betul-betul merupakan

faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan klinis ulkus. Pada kelompok perlakuan
107

terdapat 2 subjek yang menunjukkan obesitas, secara statistik penelitian ini

membuktikan bahwa debridemen dan fasiotomi memberikan hasil yang sama, baik

pada pasien dengan obesitas maupun tidak.

Berdasarkan data klinik subjek penelitian pada Tabel 5.1, tampak bahwa

95% pasien memiliki nilai HbA1c > 7% (kelompok debridemen 10,19 ± 2,14 vs

10,75 ± 2,80 kelompok debridemen dengan fasiotomi) , hal ini membuktikan bahwa

kebanyakan pasien dalam keadaan DM tidak terkontrol, dan memiliki hubungan

dengan komplikasi mikrovaskuler dan neuropati (ADA, 2011), hal ini terlihat dari

angka kejadian PAD pada penelitian ini (kelompok debridemen 25,9% vs 40,6%

kelompok debridemen dengan fasiotomi). Kejadian PAD dua kali lebih sering

diantara pasien DM daripada non-DM, dan setiap peningkatan 1% HbA1c

meningkatkan risiko PAD sebanyak 26% (Norgren,2007), penelitian terakhir

menyebutkan PAD mencapai 50% pada pasien ulkus kaki diabetik (Hinchliffe,

dkk.,2012). Kebanyakan ulkus merupakan jenis neuropati (kelompok debridemen

70,4% vs 71,9% kelompok debridemen dengan fasiotomi), sisanya merupakan

jenis neuroiskemik (kelompok debridement 29,6% vs 28,1% kelompok debridemen

dengan fasiotomi). Neuropati perifir merupakan faktor kausatif utama dan

terpenting timbulnya ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes (Singh dkk., 2005 ;

Gibbons dkk., 1995). Derajat ulkus kebanyakan Wagner derajat III (kelompok

debridemen 40,8% vs 50% kelompok debridemen dengan fasiotomi).

Dengan melihat nilai HbA1c yang tinggi (>7%) dan lama ulkus ( ± 8

minggu), membuktikan bahwa ulkus kaki diabetik pada penelitian ini merupakan

ulkus kronis yang gagal mengikuti urutan penyembuhan luka normal (Liu, dkk.,
108

2008). DM yang lama (kelompok debridemen 8,52±8,57 tahun vs 9,81±7,65 tahun

kelompok debridemen dengan fasiotomi) berakibat paparan terhadap hiperglikemia

kronis, sehingga peningkatan permeabilitas mikrovaskuler telah terjadi selama fase

awal dan lanjut dari penyakitnya, adanya perubahan struktur dan fungsi kapiler

menyebabkan gangguan pertukaran molekul melalui membran endotel ke interstitiil

(Bouskela dkk., 2003). Terbukti pada penelitian ini terdapat rerata peningkatan

tekanan kompartemen (tekanan kompartemen > 8 mmHg) pada semua kompartemen

kaki dan pada semua subjek penelitian, baik pada kelompok kontrol maupun

kelompok perlakuan, meskipun secara perorangan, tidak semua subjek menunjukkan

peningkatan tekanan kompartemen pada semua kompartemen. Peningkatan tekanan

kompartemen tertinggi terjadi pada kompartemen sentral (kelompok debridemen

14,04±9,60 mmHg vs 21,75±12,89 mmHg kelompok debridemen dengan fasiotomi)

dan kompartemen interoseus (kelompok debridemen 13,70±11,38 vs 21,53±13,24

mmHg kelompok debridemen dengan fasiotomi). Adanya peningkatan tekanan

kompartemen yang berlangsung kronis, memicu hipoksia jaringan yang juga

berlangsung kronis, diikuti dengan penurunan kada VEGF plasma pada semua

subjek. Dengan demikian sangat rasional melakukan tindakan fasiotomi bahkan

pada stadium awal dari ulkus kaki diabetik. Bukti lain tentang kronisitas ulkus

didukung oleh kadar TNF-α plasma maupun jaringan yang tinggi pada semua subjek

sebelum perlakuan (kadar TNF-α plasma kelompok debridement 422.30±17,05 vs

424,47±12,02 kelompok debridement dengan fasiotomi, dan kadar TNF-α jaringan

kelompok debridement 383,46±14,59 vs 385,91±9,58 kelompok debridement

dengan fasiotomi), sedangkan rerata kadar TNF-α plasma pada populasi umum pada
109

kelompok umur 19 - ≥70 tahun adalah 10,30 – 16,48 pg/ml on age group 19 - ≥70

(Himmerich, H., 2006).

6.2 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Penurunan Kadar

TNF-α Plasma

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna

dari perubahan (∆) kadar TNF-α plasma antara kelompok kontrol debridemen dan

kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05).

Debridement dan fasiotomi memberikan penurunan kadar TNF-α plasma yang lebih

tinggi dengan besar perubahan (∆) TNF-α (pg/ml) 134,21±14,50 dibandingkan

dengan debridement tanpa fasiotomi dengan besar perubahan (∆) TNF-α (pg/ml)

31,40±17,98.

Telah diketahui bahwa endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler,

sel-sel detritus sebagai faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang

akan memicu sekresi TNF-α. Debridemen adalah tindakan bedah membuang semua

jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah, di dalam dan tepi ulkus , mengurangi

tekanan, evaluasi adanya kantong-kantong infeksi yang tersembunyi (tracking and

tunneling), drainase, dekolonisasi bakteri, dan hanya meninggalkan jaringan sehat

untuk mendorong penyembuhan luka (Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ;

Lebrun, 2010), sehingga faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang

akan memicu sekresi TNF-α, dapat diturunkan. Debridemen merupakan langkah

penting dan menentukan pada penanganan ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound
110

bed preparation dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari

suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang dan

mempercepat proses penyembuhan luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal,

2004 ; Vourisalo, 2009). Sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang

bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine

milieu di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007).

Debridemen sebaiknya mampu memvisualisasikan semua luka, membuka

semua daerah yang terkena infeksi untuk drainase yang adekuat serta mendapatkan

spesimen bakteri dari jaringan dalam (Bernard, 2007), oleh karena itu pengetahuan

anatomi kaki mutlak diperlukan (Rauwerda, 2000).

Pada penelitian ini menunjukkan penurunan bermakna dari kadar TNF-α

plasma pada kelompok debridemen dan fasiotomi dibandingkan dengan debridemen

saja. Fasiotomi dapat memperbaiki pengendalian infeksi serta penyembuhan luka pada

ulkus kaki diabetik (Lee, 1995), mengurangi tekanan, evaluasi adanya kantong-

kantong infeksi yang tersembunyi (tracking and tunneling), serta drainase yang

adekuat (Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010), sehingga debridemen

dan fasiotomi akan berdampak sinergis dalam pengendalian infeksi, sehingga lebih

memicu penurunan TNF-α.

6.3 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Peningkatan Kadar

VEGF

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna dari

perubahan (∆) kadar VEGF plasma antara kelompok kontrol debridement dan

kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05).


111

Debridemen dan fasiotomi memberikan peningkatan perubahan kadar VEGF plasma

yang lebih tinggi dengan besar perubahan (∆) VEGF (pg/ml) 51,96±13,54

dibandingkan dengan debridement tanpa fasiotomi dengan besar perubahan (∆)

VEGF (pg/ml) 15,23±10,73.

Peningkatan kadar VEGF plasma pada kelompok perlakuan debridement dan

fasiotomi dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme. Telah diketahui bahwa

VEGF meningkat dalam 24 jam setelah luka terjadi, kadar VEGF mencapai

puncaknya pada hari ketiga dan ketujuh dan menurun secara bermakna setelah itu

(Frank dkk, 1995). Pada waktu debridemen, terjadi perdarahan luka baru, sehingga

tindakan debridemen akan mampu meningkatkan kadar VEGF melalui mekanisme

perdarahan luka baru sesuai dengan hipotesis dari Frank dkk. (1995). Disamping itu

debridemen sendiri terbukti menurunkan kadar TNF-α, menurunkan faktor yang

membuat degradasi VEGF, sehingga secara otomatis VEGF bisa meningkat.

Fasiotomi yang dilakukan bersama debridemen berperan mengubah keadaan

hipoksia menjadi normoksia, karena ada bukti-bukti yang menunjukkan terjadi

hipoksia jaringan pada ulkus kaki diabetik, dimana pada semua ulkus kronis tekanan

oksigen lokal berkisar setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi

fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit (Velazques,

2007). Beberapa laporan kasus juga menyebutkan adanya sindroma kompartemen

pada pasien DM yang memicu iskemia jaringan dan berakhir dengan nekrosis

jaringan, sehingga diduga ada indikasi keterkaitan antara DM, peningkatan tekanan

intrakompartemen, iskemia jaringan, serta nekrosis jaringan (Munichoodappa, 1999


112

; Pamoukian, 2000 ; Jose, 2004 ; Flamini dkk.,2008). Penelitian lain mendukung

adanya peningkatan tekanan kompartemen kaki pada pasien neuropati diabetes,

ditemukan bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes

lebih tinggi daripada pasien kaki normal, namun perbedaannya tidak bermakna.

Terdapat perbedaan bermakna pada kompartemen interoseus dan kompartemen

sentral (Lower dan Kenzora, 1994).

Pada penelitian ini terdapat peningkatan tekanan kompartemen pada semua

subjek penelitian dari kedua kelompok perlakuan (Tabel 5.1). Tekanan

kompartemen kaki normal adalah 5 – 7 mmHg (Lower dan Kenzora, 1994) , pada

penelitian ini terdapat peningkatan kompartemen pada semua subjek terutama

kompartemen sentral (21,75 ± 12,89) dan kompartemen interoseus (21,53 ± 13,24).

Penelitian ini membuktikan bahwa sesungguhnya telah terjadi peningkatan tekanan

kompartemen yang berjalan secara kronis pada penderita ulkus kaki diabetik

walaupun tidak sampai pada tingkat kompartemen sindrom. Peningkatan tekanan

kompartemen menimbulkan hipoksia jaringan, memicu gangguan replikasi fibroblas,

maupun pelepasan VEGF oleh fibroblas. VEGF merupakan faktor penting di dalam

mekanisme penyembuhan luka, dimana VEGF akan menginduksi fosforilasi dan

aktivasi eNOS di dalam sumsum tulang, yang akan menghasilkan peningkatan kadar

NO (Nitric Oxide) yang akan mencetus mobilisasi EPC (Endothel Progenitor Cell)

dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi menuju daerah luka (EPC Homing),

meskipun untuk proses EPC Homing membutuhkan partisipasi kemokin Stromal

cell-derived factor-1α / SDF-1α (Brem dan Tomic-canic, 2007). Gallagher dkk.

(2007) menunjukkan bahwa pada hewan coba tikus DM, hiperoksia meningkatkan
113

mobilisasi dari EPCs di dalam sirkulasi dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi

perifir. Tindakan fasiotomi pada penelitian ini terbukti meningkatkan kadar VEGF

plasma. Kami menduga bahwa fasiotomi disini mencegah hipoksia jaringan,

memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan replikasi fibroblas maupun pelepasan

VEGF. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa fasiotomi sebaiknya dilakukan

pada semua ulkus kaki diabetik derajat Wagner II, III, dan IV, sebagai prosedur rutin

bersamaan dengan tindakan debridemen.

Fasiotomi harus segera dilakukan begitu diagnosa sindroma kompartemen

ditegakkan, semakin awal, semakin sedikit sequelae akan berkembang. Tujuan dari

fasiotomi adalah mengurangi perbedaan tekanan transmural (transmural pressure

gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, sehingga barier perfusi yang

mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan iskemia jaringan bahkan kematian sel dapat

dicegah (Fulkerson, dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). Tegangan oksigen memegang

peranan utama baik secara in vitro maupun in vivo dalam regulasi ekspresi gen

VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Walaupun VEGF meningkat oleh hipoksia

secara in vitro, namun data secara in vivo masih menjadi pertentangan ( Oltmanns

dkk. (2006). Fakta lain menyebutkan bahwa ekspresi VEGF mRNA dipicu secara

cepat dan reversible oleh paparan tegangan oksigen (pO2) yang rendah, juga iskemia

yang disebabkan oleh oklusi arteri. Berkaitan dengan perubahan vaskuler sebagai

komplikasi DM kronis, terjadi keadaan paradox yaitu peningkatan angiogenesis pada

retinopati proliferative atau plak atherosclerosis dan penurunan angiogenesis pada

penyakit arteri koroner atau ulkus kaki diabetik dengan manifestasi klinis berupa

kurangnya pertumbuhan kolateral pada jantung dan kegagalan dalam penyembuhan


114

ulkus kaki diabetik. Karena itu memunculkan hipotesis untuk menerangkan paradox

angiogenesis ini bahwa respon terhadap faktor pertumbuhan (VEGF) terganggu pada

DM. Gangguan molekuler ini terletak didalam sistem transduksi signal baik yang

mengalir turun pada reseptor ( signal transduction defect ) atau pada level reseptor

(Waltenberger, 2007). Pada ulkus kaki diabetik, kadar growth factors seperti VEGF,

Fibroblast Growth Factor (FGF)-2, adalah rendah, karena diabetic fibroblast

tidak mampu meningkatkan produksi VEGF dan FGF-2 pada level normal didalam

merespon keadaan hipoksia. Kadar dan aktivitas VEGF yang abnormal, serta

keadaan hipoksia menimbulkan gangguan proses penyembuhan ulkus, karena

kebanyakan ulkus berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia. Tanpa

adanya respon angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan

deposisi matrik menjadi lambat (Lerman, 2003).

Dengan melihat peran penting debridemen dalam memperbaiki lingkungan

sitokin di dasar ulkus, menciptakan keseimbangan sitokin dan growth factor, yang

memicu penurunan kadar TNF-α dan mengurangi degradasi VEGF. Adanya

perdarahan baru sewaktu debridemen, respon inflamasi akut akan dimulai,

menginduksi pelepasan VEGF di dalam plasma pada hari ketujuh pasca operasi.

Peran fasiotomi dalam memperbaiki mikrosirkulasi jaringan, meningkatkan tekanan

oksigen jaringan, menginduksi pelepasan VEGF didalam plasma, dan memicu

proses neovaskularisasi di dalam ulkus. Fasiotomi dan debridemen, terbukti

bersinergi meningkatkan kadar VEGF plasma.

Strategi baru harus dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus

kaki diabetik, sehingga diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan


115

ulkus kaki diabetik, yaitu pendekatan baru dengan memperhatikan gangguan

vaskuler baik untuk praktek klinik dan penelitian (Lepantalo, dkk.,2011). Pada

penelitian ini terbukti peningkatan tekanan kompartemen kaki merupakan salah satu

penyebab gangguan vaskuler, dimana sebagai jawaban yang tepat untuk itu adalah

dengan melakukan fasiotomi. Adapun fasiotomi plantar dapat dilakukan dengan

pendekatan endoskopik maupun pembedahan (Urovitz, dkk., 2008).

6.4 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Perbaikan Klinis Ulkus

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa debridemen dan fasiotomi terbukti

meningkatkan perbaikan klinis ulkus kaki diabetik berdasarkan pengamatan nilai

LUMT (semakin kecil nilai LUMT, semakin besar perbaikan klinis ulkus). Terdapat

perbedaan yang bermakna dari nilai LUMT antara kelompok kontrol debridemen dan

kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05) pada

minggu II (LUMT kelompok debridement 28,70±5,89 vs LUMT kelompok

debridemen dan fasiotomi 22,53±8,27), minggu III (LUMT kelompok debridemen

27,44±6,07 vs LUMT kelompok debridemen dan fasiotomi 21,00±8,04) , dan

minggu IV (LUMT kelompok debridemen 26,22±6,21 vs LUMT kelompok

debridemen dan fasiotomi 18,75±8,83). Tidak ada perbedaan bermakna nilai LUMT

pada minggu I pasca operasi pada kedua kelompok, ini sesuai dengan proses

penyembuhan luka dimana pada minggu I merupakan fase hemostasis dan inflamasi,

sedangkan fase proliferasi yang ditandai dengan reepitelilisasi baru terjadi pada

minggu II (Guo dan DiPietro, 2010) sehingga perbaikan klinis ulkus baru terlihat

pada dan setelah minggu II. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik pada kelompok

perlakuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan penurunan kadar TNF-α
116

plasma maupun peningkatan kadar VEGF plasma akibat perlakuan debridemen dan

fasiotomi.

Sudah diketahui bahwa TNF-α merangsang sintesis MMP, dengan tingginya

protease didalam luka, menyebabkan degradasi matrik protein dan growth factor

yang merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan luka, sehingga

penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005).

Usaha-usaha telah dilakukan untuk menetralisir TNF-α dengan pemberian anti TNF-

α secara sistemik pada luka diabetes dari hewan coba yang terbukti mempercepat

penutupan luka. Penutupan luka paralel dengan melemahnya inflamasi didalam luka

secara nyata, pengurangan secara kuat dari sel-sel monosit dalam sirkulasi, dan

pengurangan jumlah makrofag didalam luka. Data ini merupakan bukti kuat, bahwa

anti TNF-α akan mengurangi baik jumlah atau aktivitas makrofag dalam luka kronis

yang mengalami gangguan penyembuhan. Dengan kata lain bahwa kegagalan

penyembuhan luka pada diabetes dipicu oleh makrofag yang mengekspresikan TNF-

α (Goren dkk, 2007). Pada penelitian ini debridemen dan fasiotomi terbukti jauh

lebih efektif didalam menurunkan kadar TNF-α, dibandingkan dengan debridemen

saja.

Penghambatan TNF-α melalui debridement dan fasiotomi yang

meningkatkan luaran klinis dapat dihubungkan dengan penurunan aktivasi caspase-3

dan deoxynucleotidyl transferase (Behl dkk, 2008), peningkatan level mRNA dari

kolagen I dan III, peningkatan densitas fibroblast dan pembentukan matriks (Al-

Mashat dkk, 2006 ; Siqueira dkk, 2010). Dengan kata lain bahwa penurunan

apoptosis fibroblast dan peningkatan proliferasi, jika TNF-α dihambat (Siqueira


117

dkk., 2010), dan penurunan kadar TNF-α mengindikasikan pengendalian terhadap

inflamasi (Leung dkk., 2008).

Debridemen dilakukan sebagai langkah wound bed preparation untuk

merangsang dan mempercepat proses penyembuhan luka dengan mengubah suasana

lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut,

(Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009), sehingga

tercapai keadaan cytokine milieu di dasar ulkus menjadi optimal. Jumlah dan

fisiologi jangka panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali

ditentukan oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment) daripada

rangsangan yang memulai angiogenesis itu sendiri, dan lingkungan ini merupakan

elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta

remodeling jaringan, (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Penggunaan terapi biologis

berbasis faktor pertumbuhan di klinik seperti PDGF (Kirsner, dkk., 2010), pada

hewan coba dengan recombinant human VEGF165 protein (Galiano, dkk., 2004),

terbukti memperbaiki penyembuhan ulkus. Penggunaan pentoksifilin yang

menurunkan kadar TNF-α dan statin yang meningkatkan kadar VEGF secara

bersama sama terbukti memperbaiki penyembuhan ulkus peptikum pada hewan coba

diabetes (Baraka, dkk., 2010). Wound bed preparation merupakan pendekatan

bermanfaat yang dapat membantu klinisi memungkinkan kemampuan penyembuhan

dari ulkus kaki diabetik dalam cara sistemik dan holistik. Konsep TIME yaitu Tissue

management melalui debridement, Infection and inflammation control melalui

pengurangan biofilm bakteri, Moisture balance dengan menjaga kelembaban luka,


118

Epithelial advancement dengan menghilangkan barier fisik dan mekanik untuk

migrasi epitel dari tepi luka (Saad, dkk., 2013).

6.5 Konstruksi Regresi Linier Peningkatan kadar VEGF dengan Penurunan

kadar TNF-α.

Sitokin dan growth factor merupakan polipeptida kecil yang disekresi oleh

tipe-tipe sel yang berbeda dan bekerja sebagai molekul signal yang mengontrol

proliferasi, diferensiasi, migrasi dan metabolisme sel, mengatur dan mengganti

berbagai komponen dari matriks ekstraseluler pada penyembuhan luka. Beberapa

sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, Interferon γ, sitokin anti

inflamasi yaitu IL-4, IL-10 dan growth factor yaitu TGF, PDGF, VEGF, FGF, EGF

berperan dalam proses penyembuhan luka ((Lobmann, dkk., 2005).

Gangguan penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik karena adanya

disfungsi sel yang berperan di dalam penyembuhan luka, dan ketidakseimbangan

antara sitokin, growth factor dan protease, dimana terjadi peningkatan sitokin

proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin (IL-1β) yang selanjutnya secara

langsung mampu merangsang sintesis MMP. Tingginya kadar MMP, menyebabkan

proses penyembuhan ulkus menjadi terputus dan tidak terkoordinasi karena

degradasi matriks protein dan growth factor yang sangat penting dalam

penyembuhan luka (Lobmann, dkk., 2005).

Pada penelitian ini berdasarkan hasil analisis korelasi mendapatkan terjadi

korelasi yang kuat (r = 0,753) dan signifikan (p < 0,05) antara peningkatan kadar

VEGF dengan penurunan kadar TNF-α) pasca operasi debridemen dengan fasiotomi.
119

Kekuatan korelasi antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α,

seperti terlihat dalam persamaan regresi berikut ini yaitu:

VEGF = 8,301 + 0,308 TNF-α.

Hal ini berarti bahwa setiap penurunan 1 pg/mL kadar TNF-α terjadi peningkatan

kadar VEGF sebesar 8,301 + 0,308 = 8,609 pg/mL.

Penurunan kadar TNF-α plasma terjadi melalui tindakan debridemen, dengan

adanya penurunan kadar TNF-α maka proses degradasi VEGF akan dicegah,

sehingga kadar VEGF menjadi meningkat. Disamping debridemen sendiri mampu

meningkatkan kadar VEGF plasma, peningkatan kadar VEGF plasma juga terjadi

melalui perbaikan oksigenasi jaringan karena tindakan fasiotomi.

6.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Penanganan baku ulkus kaki diabetik sampai saat ini adalah debridemen

yang hasilnya secara klinis kurang memuaskan. Pada debridemen yang terjadi

adalah perbaikan lingkungan inflamasi dan membuat perdarahan baru, namun

ternyata masih tetap terjadi hipoksia jaringan yang disebabkan oleh karena

peningkatan tekanan kompartemen.

Pada penelitian ini dimana kami melakukan debridemen dengan fasiotomi

secara simultan pada ulkus kaki diabetik, yang terjadi adalah selain memperbaiki

lingkungan inflamasi dan membuat suatu perdarahan baru, terjadi juga perbaikan

hipoksia jaringan melalui fasiotomi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil
120

penelitian ini bahwa debridemen dengan fasiotomi pada kaki diabetik lebih besar

bermakna menurunkan kadar TNF-α plasma dan meningkatkan kadar VEGF plasma

yang disertai dengan perbaikan klinis ulkus darpada debridemen saja. Dengan

demikian ini merupakan temuan baru yang dapat disumbangkan dari penelitian ini.

Dikemukakan usulan model mekanisme regulasi TNF-α dan VEGF sebagai

pathogenesis baru perbaikan klinis ulkus akibat perlakuan debridemen dengan

fasiotomi dan akibat perlakuan debridemen tanpa fasiotomi seperti tercantum pada

Gambar 6.1.
121

Ulkus kaki diabetik

Tekanan kompartemen kaki ↑ Respon inflamasi ↑

Gangguan mikrosirkulasi

Hipoksia jaringan

VEGF ↓ TNF-α ↑

Ulkus kronis

Debridemen ↓ Inflamasi Debridemen ↓ Inflamasi


+
Fasiotomi  ↓↓ Infeksi  ↓ Infeksi

 ↓ Tekanan
kompartemen

memperbaiki
mikrosirkulasi
*Glukosa plasma terkontrol
*Glukosa plasma terkontrol

↓↓ TNF-α ↓ TNF-α
Perbaikan oksigenasi jaringan

↑↑ VEGF ↑ VEGF

↑↑ Perbaikan Klinis Ulkus ↑ Perbaikan Klinis Ulkus

Gambar 6.1 Model mekanisme regulasi TNF-α dan VEGF plasma sebagai pathogenesis
baru perbaikan klinis ulkus kaki diabetik akibat perlakuan debridemen
dengan fasiotomi dan debridemen tanpa fasiotomi.
122

6.7 Kelemahan Penelitian

6.7.1 Bias

Tidak bisa menilai ketepatan dari luas dan dalamnya debridemen, apakah

telah dilakukan dengan adekuat atau belum. Sampai saat ini belum ada suatu cara

yang dianggap baku untuk menilai ketepatan dari luas dan dalamnya debridemen

ulkus maupun fasiotomi.

Saap dan Falanga (2002) mengajukan suatu cara yang dinamakan

debridemen performance index (score 0-6), meliputi debridemen terhadap kalus, tepi

ulkus, dan dasar ulkus. Sistem skoring yang dipakai adalah 0 adalah debridemen

diperlukan tetapi tidak dikerjakan, skor 1 adalah debridemen diperlukan dan

dikerjakan, skor 2 adalah debridemen tidak diperlukan. Semakin rendah debridemen

performance index , semakin rendah insiden kesembuhan ulkus, sehingga sistem

skoring ini dapat dipakai untuk meramalkan hasil pengobatan. Kami tidak memakai

sistem tersebut diatas karena belum dianggap baku.

Kadar TNF-α di dalam jaringan posttest pada penelitian ini tidak dikerjakan

karena pertimbangan etika, sehingga tidak bisa diketahui perubahannya secara lokal

di dalam jaringan, walaupun secara sistemik menunjukkan penurunan yang

bermakna, namun apakah perubahan sistemik tersebut memiliki korelasi dengan

perubahan di dalam jaringan ulkus. Goren dkk. (2007) melaporkan adanya

peningkatan secara nyata ekspresi reseptor insulin di dalam jaringan dan penurunan

secara nyata jumlah monosit/makrofag di dalam jaringan pada hewan coba diabetes

setelah pemberian anti TNF-α antibodi secara sistemik. Mengacu pada penelitian

Goren dkk. (2007) tersebut kami berpendapat bahwa perubahan kadar TNF-α plasma
123

pasca debridemen dengan fasiotomi memiliki korelasi positif dengan perubahan di

dalam jaringan ulkus.

Peningkatan kadar VEGF plasma pada penelitian ini dipicu oleh dua hal

yaitu penurunan kadar TNF-α melalui tindakan debridemen dan perbaikan

oksigenasi jaringan melalui fasiotomi, yang memicu perubahan dari hipoksia

jaringan menjadi normoksia atau bahkan mungkin hiperoksia. Apakah fasiotomi

yang dilakukan telah mencapai keadaan normoksia atau bahkan hiperoksia, tidak

bisa dibuktikan karena tidak dilakukan pengukuran ulang tekanan kompartemen

pasca fasiotomi maupun pengukuran tekanan oksigen jaringan ulkus. Argumentasi

yang bisa dikemukakan disini adalah bahwa pengukuran tekanan kompartemen

pasca fasiotomi tidak relevan lagi dan hasilnya tidak bisa dipercaya, karena fasia

atau kompartemen sudah terbuka. Yang paling akurat untuk menilai telah terjadi

perbaikan oksigenasi jaringan tentunya adalah dengan mengukur tekanan oksigen

jaringan. Namun kami menggunakan parameter tidak langsung melalui peningkatan

kadar VEGF plasma sebagai parameter perbaikan oksigenasi jaringan pasca

perlakuan debridemen dengan fasiotomi, ini terbukti dari peningkatan VEGF lebih

besar bermakna pada kelompok perlakuan daripada kontrol.


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa :

a. Peningkatan kadar TNF-α dan penurunan kadar VEGF plasma, tampak

berkontribusi pada gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik.

b. Terdapat rerata peningkatan tekanan kompartemen pada semua kompartemen

kaki ulkus kaki diabetik. Peningkatan tekanan kompartemen kaki ini diduga

ikut berperan pada penurunan kadar VEGF plasma sebagai parameter

hipoksia jaringan.

c. Penurunan kadar TNF-α plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen

dengan fasiotomi, lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi.

d. Peningkatan kadar VEGF plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen

dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi;

e. Terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara peningkatan kadar VEGF

dengan penurunan TNF-α. plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen

dengan fasiotomi

f. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik pasca debridemen dengan fasiotomi lebih

besar daripada debridemen tanpa fasiotomi.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kelemahan penelitian ini maka

ada beberapa saran yang dapat dilakukan baik untuk pengembangan ilmu

maupun kepentingan di klinik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat :

124
125

Untuk pengembangan ilmu :

a. Melakukan penelitian eksperimental lebih lanjut dengan mengukur tekanan

oksigen jaringan pasca fasiotomi untuk mengetahui perbaikan oksigenasi

jaringan.

Untuk kepentingan di klinik dalam pelayanan kepada masyarakat :

a. Melakukan tindakan debridemen dan fasiotomi secara simultan sebagai

tindakan alternative pilihan untuk mencapai perbaikan klinis ulkus kaki

diabetik derajat wagner II, III, dan IV.

b. Melakukan pengukuran tekanan kompartemen kaki pada setiap ulkus kaki

diabetik sebagai pemeriksaan rutin untuk menilai status vaskuler, sehingga

dapat memberi tuntunan perlu tidaknya tindakan fasiotomi.

c. Diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan ulkus kaki

diabetik, dengan memperhatikan peningkatan tekanan kompartemen kaki

sebagai salah satu penyebab gangguan vaskuler terutama pada ulkus kaki

diabetik yang tidak ada perbaikan.


126

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mashat, H.A., Kandru, S., Liu, R., Behl, Y, Desta, T., Graves, D.T. 2006.
Diabetes Enhances mRNA Levels of Proapoptotic Genes and Caspase
Activity, Which Contribute to Impaired Healing. Diabetes ; 55 : 487-95.

American College Of Surgeon (ACS). Anatomically Based Surgery for Trauma


Course (ABST), Lab Manual : Extremity Chapter 4 : Injuries to the
Extremities : Compartment Syndrome and Fasciotomy.

American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, 35 (supplement 1) : S64-S71.

American Diabetes Association. 2011. Standard of Medical Care in Diabetes.


Diabetes Care, 34 ( Supplement 1) : S11-S61.

Banai, S., Jaklitsch, M.T., Shou, M., Lazarous, D.F., Scheinowitz, M., Biro, S.,
Epstein, S., Unger, E. 1994. Angiogenic-induced enhancement of
collateral blood flow to ischemic myocardium by vascular endothelial
growth factor in dogs. Circulation 89:2183–9.

Bao, P., Kodra, A., Tomic-Canic, M., Golinko, M.S., Ehrlich, H.P., Brem, H. 2009.
The Role of Vascular Growth Factor in Wound Healing. J Surg Res,
15:347-58.

Baraka, A.M., Guemei, A., Gawad, H.A. 2010. Role of modulation of vascular
endothelial growth factor and tumor necrosis factor-alpha in gastric ulcer
healing in diabetic rats. Biochemical Pharmacology; 79 : 1634–9

Behl, Y., Krothapalli, P., Desta, T., Graves, D. 2008. Diabetes-Enhanced Tumor
Necrosis Factor-α Production Promotes Apoptosis and the Loss of Retinal
Microvascular Cells in Type 1 and Type 2 Models of Diabetic
Retinopathy. Am J Pathol ; 172(5) : 1411 – 8.

Belgore, F.M., Blann, A.D., Li-Saw-Hee, F.L., Beevers, D.G., Lip, G.Y. 2001.
Plasma levels of vascular endothelial growth factor and its soluble
receptor (SFlt-1) in essential hypertension. Am J Cardiol, 87: 805–7.

Bernard, L. (Chairman Working Group). 2007. Clinical practice guidelines:


Management of diabetic foot infections. Medicine et maladies infectieuses,
37:14-25.

Biondo-Simoes, M.,L.,P., Zammar, G.,R., Fernandes, R.,S., Biondo-Simos, R.,


Mello, F., S., R., Noronha, L. 2010. Obesity and abdominal wound
healing in rats. Acta Cir. Bras. 25(1).
127

Bjarnsholt, T., Kirketerp-Moller, K., Jensen P.O., Madsen, K.G., Phipps, R.,
Krogfelt, K., Hoiby, N., Givskov, M. 2008. Why chronic wounds will not
heal: a novel hypothesis. Wound Repair Regen. 16(1):2-10.

Bouskela, E., Botttino, D.A., Tavares, J.C. 2003. Microvascular permeability in


diabetes. In: Schmid-Schonbein, G.W., Neil Granger, D., editors. Molecular
Basis for Microcirculatory Disorders. Paris : Springer-Verlag France. p 545-55.

Boody, A.R., Wongworat, M.D. 2005. Accuracy in the measurement of compartment


pressures: a comparison of three commonly used devices. J Bone Joint
Surg Am, 87:2415-22.

Brem, H., Erlich, P., Tsakayannis, D., Folkma, J. 1997. Delay of wound healing by
the angiogenesis inhibitor TNP-470. Surgical forum, 48 :714-6.

Brem, H., Kodra, A., Golinko, M.S., Entero, H., Stojadinovic, O., Wang, V.M.,
Sheahan, C.M., Weinberg, A.D., Woo, S.L.C., Ehrlich H.P., Tomic-
Canic, M. 2009. Mechanism of Sustained Release of Vascular Growth
Factor in Accelerating Experimental Diabetic Healing. Journal of
Investigative Dermatology, 129:2275-87.

Brem, H., Tomic-Canic, M. 2007. Cellular and molecular basis of wound healing in
diabetes. J. Clin. Invest. 117:1219–22.

Broekhuizen, L.N., Lemkes, B.A., Mooij, H.L., Meuwese, M.C., Verberne, H.,
Holleman, F., Schlingemann, R.O., Nieuwdorp, M., Stroes, E.S.G., Vink,
H. 2010. Effect of sulodexide on endothelial glycocalyx and vascular
permeability in patients with type 2 diabetes mellitus. Diabetologia,
53:2646–55.

Brownlee, M. 2001 Biochemistry and molecular cell biology of diabetic


complications. Nature , 414:813-20.

Burns, J., L., Mancoll, J., S., Phillips, L., G. 2003. Impairments to wound healing.
Clin Plastic Surg., 30 : 47-56.

Cardinal, M., Eisenbud, D.E., Armstrong, D.G., Zelen, C., Driver, V., Attinger, C.,
Phillips, T., Harding, K. 2009. Serial surgical debridement: a retrospective
study on clinical outcomes in chronic lower extremity wounds. Wound
Repair Regen. ;17(3):306-11.

Cavanagh, P.R., Buse, J.B., Frykberg, R.B., Gibbons, G.W., Lipsky, B.A., Pogach,
P., Reiber, G.E., Sheehan, P. 1999. Consensus Development Conference
on Diabetic Foot Wound Care. DIABETES CARE, 22(8)

Chang, A.C., Dearman, B., Greenwood, J.E. 2011. A Comparison of Wound Area
Measurement Techniques: Visitrak Versus Photography. Eplasty, 11 : e18.
128

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). History of foot ulcer among
persons with diabetes—United States, 2000-2002. MMWR Morb Mortal
WklyRep. 2003;52(45):1098-02.

Cho, C.H., Sung, H.K., Kim, K.T., Cheon, H.G., Hong, H.J. 2006. COMP-
angiopoetin-1 promotes wound healing through enhanced angiogenesis,
lymphangiogenesis, and blood flow in diabetic mouse model. Proc Natl
Acad Sci USA, 103:4946-51.

Chou, E., Suzuma, I., Way, K.J., Opland, D., Clermont, A.C., Naruse, K., Suzuma,
K., Bowling, N.L., Vlahos, C.J., Aiello, L.P., King, G.L. 2002. Decreased
cardiac expression of vascular endothelial growth factor and its receptors
in insulin-resistant and diabetic States: a possible explanation for impaired
collateral formation in cardiac tissue. Circulation, 105:373–9.

Coerper, S., Beckert, S., Kuper, M.A., Jekov, M., Konigsrainer, A. 2009 Fifty
percent area reduction after 4 weeks of treatment is a reliable indicator for
healing--analysis of a single-center cohort of 704 diabetic patients. J
Diabetes Complications, 23(1):49-53.

Darby, I.A., Bisucci, T., Hewitson, T.D., MacLellan, D.G. 1997. Apoptosis is
increased in a model of diabetes-impaired wound healing in genetically
diabetic mice. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology ;
29(1) : 191 -200

Davis, G.E., Saunders, W.B. 2006. Molecular balance of capillary tube formation
versus regression in wound repair: role of matrix metalloproteinases and
their inhibitors. J Investig Dermatol Symp Proc, 11:44-56.

Driver, V.,R., Fabbi, M., Lavery, L., A., Gibbons, G. 2010. The costs of diabetic
foot: the economic case for the limb salvage team. J Am Podiatr Med
Assoc.;100(5):335-41.

Edmonds, M.E. 2006. ABC of wound healing. BMJ, 18: 407-10

Edwards, J., Stapley, S. 2010. Debridement of diabetic foot ulcers. Cochrane


Database Syst Rev, 20: CD003556.

Falanga, V., Saap, L.J., Ozonoff, A. 2006. Wound bed score and its correlation with
healing of chronic wounds. Dermatol Ther ; 19(6):383-90.

Ferrara, N., Davis-Smyth, T. 1997. The Biology of Vascular Endothelial Growth


Factor. Endocrine Review, 18:4-25.

Flamini, S., Zoccali, C., Persi, E., Calvisi, V. 2008. Spontaneous compartement
syndrome in patient with diabetes and statin administration : a case report.
J Orthopaed Traumatol, 9:101-3.
129

Frank, S., Hubner, G., Breier, G., Longaker, M.T., Greenhalgh, D.G., Werner, S.
1995. Regulation of Vascular Endothelial Growth Factor Expression in
Cultured Keratinocytes: Implication for Normal and Impaired Wound
Healing, The Journal of Biological Chemistry, 270:12607-13.

Freedman, S.B., Isner, J.M. 2002. Therapeutic angiogenesis for coronary artery
disease. Ann Intern Med, 136:54–71.

Frink, M., Hildebrand, F., Krettek, C., Brand, J., Hankemeier, S. 2010. Compartment
syndrome of the lowert leg and foot. Clin Orthop Relat Res, 468:940-50.

Frykberg, R.G., Armstrong,. D.G., Giurini, J., Edwards, A., Kravette, M., Kravitz,
S., Ross, C., Stavosky, J., Stuck, R., Vanore, J. 2000. Diabetic Foot
Disorders : A Clinical Practice Guideline. Journal of Foot & Ankle
Surgery, 39:S1-S60.

Fulkerson, E., Razi, A., Tejwani, N. 2003. Review : acute compartment syndrome of
foot. Foot & Ankle Int., 24 : 180-187.

Gabriel, A., Mussman, J., Rosenberg, L.Z., de la Torre, J.I., 2009. Wound Healing
and Growth Factors. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1298196. Diakses pada Desember
2010

Gallagher, K.A., Liu Z-J., Xiao, M., Chen, H., Goldstein, L.J., Buerk, D.G., Nedeau,
A., Thom, S. R., Velasques, O.C. 2007. Diabetic impairments in NO-
mediated endothelial progenitor cell mobilization and homing are reversed
by hyperoxia and SDF-1α. J Clin Invest. ;117(5):1249–1259.

Galiano, R.D., Tepper, O.M., Pelo, C.R., Bhatt, K.A., Callaghan, M., Bastidas,N.,
Bunting, S., Steinmetz, H.G., Gurtner, G.C. 2004. Topical Vascular
Endothelial Growth Factor Accelerates Diabetic Wound Healing through
Increased Angiogenesis and by Mobilizing and Recruiting Bone Marrow-
Derived Cells. Am J Pathol. 164(6): 1935–1947.

Gerber, H.P., Condorelli, F., Park, J., Ferrara N. 1997. Differential transcriptional
regulation of the two vascular endothelial growth factor receptor genes.
Flt-1, but not Flk-1/KDR, is up-regulated by hypoxia. J Biol Chem, 272:
23659–67.

Gibbons , G.W., Marcaccio, E.J., Habershaw , G.M. 1995. Management of diabetic


foot. In : Callow, A.D., Ernst, C.B., editors.Vascular surgery : theory and
practice. Connecticut : Appleton and Lange. p.167-79.

Gibran, N.S., Jang, Y.C., Isik, F.F., Greenhalgh, D.G, Muffley, L.A., Underwood,
R.A. 2002. Diminished neuropeptide levels contribute to the impaired
cutaneous healing response associated with diabetes mellitus. J Surg Res,
108:122-8.
130

Goldberg, M.T., Han, Y-P., Yan, C., Shaw, M.C., Garner, M.L. 2007. TNF-α
Suppresses α-Smooth Muscle Actin Expression in Human Dermal
Fibroblasts: An Implication for Abnormal Wound Healing. J Invest
Dermatol, 127(11): 2645–55.

Gordon, K.,A., Lebrun, E.,A, Tomic-Canic, M., Kirsner, R.,S. 2012. The role of
surgical debridement in healing of diabetic foot ulcers. Skinmed,10(1):24-
6. Review.

Goren, I., Muller, E., Schiefelbein, D., Christen, U., Pfeilschifter, J., Muhl, H.,
Frank, S. 2007. Systemic Anti-TNF Treatment Restores Diabetes-
impaired Skin Repair in ob/ob Mice by Inactivation of Macrophages.
Journal of Investigative Dermatology, 127:2259–67

Gunga HC, Kirsch K, Rocker L, Behn C, Koralewski E, Davila EH, Estrada MI,
Johannes B, Wittels P, and Jelkmann W. 1999. Vascular endothelial
growth factor in exercising humans under different environmental
conditions. Eur J Appl Physiol Occup Physiol 79:484–90.

Guo, S., DiPietro, L.A. 2010. Factors Affecting Wound Healing. J Dent Res., 89(3) :
219-29

Gupta, K., Zhang, J. 2005. Angiogenesis : a curse or cure. Postgrad Med J, 81:236-
42.

Harada, K., Friedman, M., Lopez, J., Wang, S., Li, J., Prasad, P.V., Pearlman, J.D.,
Edelmam, E., Sellke, F.W., Simons, M. 1996. Vascular endothelial growth
factor in chronic myocardial ischemia. Am J Physiol, 270:H1791–180.

Harmey, J.H., Bouchier-Hayes, D. 2002. Vascular endothelial growth factor


(VEGF), a survival factor for tumour cells: implications for anti-
angiogenic therapy. Bioessays, 24:280–3.

Himmerich, H., Fulda, S., Linseisen, J., Seiler, H., Wolfram, G., Himmerich, S.,
Gedrich, K., Pollmacher, T. 2006. TNF-α, soluble TNF receptor and
Interleuikin-6 plasma levels in the general population. Eur.Cytokine Netw., 17
: 196-201.

Hinchliffe RJ, Andros G, Apelqvist J, Bakker K, Friederichs S, Lammer J, Lepantalo


M, Mills JL, Reekers J, Shearman CP, Valk G, Zierler RE, Schaper NC.
2012. A systematic review of the effectiveness of revascularization of the
ulcerated foot in patients with diabetes and peripheral arterial disease.
Diabetes Metab Res Rev., Suppl 1:179-217.
131

Hirsch, A.T., Haskal, Z.J., Hertzer, N.R., Bakal, C.W., Creager, M.A., Halperin, J.L.,
Hiratzka, L.F., Murphy, W.R.C., Olin, J.W., Puschett, J.B., Rosenfield,
K.A., Sacks, D., Stanley, J.C., Taylor, JR, L.M., White, C.J., White, J.,
White, R.A. 2006. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric,
and Abdominal Aortic): Executive Summary A Collaborative Report
From the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular
Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions,
Society for Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional
Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines
(Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of
Patients With Peripheral Arterial Disease). JACC, XX (X) : 1–75.

Hoeben, A., Landuyt, B., Highley M.S., Wildier, H., Van Oosterom, A.T., De
Bruijn, E.A. 2004. Vascular Endothelial Growth Factor and Angiogenesis.
Pharmacol Rev, 56:549-80.

Huang, E.S., Basu, A., O’Grady, M., Capreta, J.C. 2009. Projecting the Future
Diabetes Population Size and Related Costs for the U.S. Diabetes Care,
32: 2225-9.

Isner, J.M., Walsh, K., Symes, J.F., Pieczek, A., Takeshita, S., Lowry, J., Rosenfield,
K., Weir, L., Brogi, E., Jurayj, D. 1996. Arterial gene transfer for
therapeutic angiogenesis in patients with peripheral artery disease. Hum
Gene Ther 7:859–88.

Jose, R.M., Viswanathan, N., Aldlyani, E., Wilson, Y., Moiemen, N., Thomas, R.
2004. Case report : Aspontaneous compartment syndrome in a patient with
diabetes. The Journal of Bone and Joint Surgery, 86-B:1068-70.

Khanolkar, M.P., Bain, S.C., Stephens, J.W. 2008. The diabetic foot. QJM, 101:
685-95

Kirsner, R.S., Warriner,R., Michela, M., Stasik, L., Freeman, K. 2010. Advanced
Biological Therapies for Diabetic Foot Ulcers. Arch
Dermatol.;146(8):857-62.

Kosmidou, I., Karmpaliotis, D., Kirtane, A.J., Barron, H.V., Gibson, C.M. 2008.
Vascular endothelial growth factors in pulmonary edema: an update. J
Thromb Thrombolysis, 25:259-64.

Koyama, S., Sato, E., Haniuda, M., Numanami, H., Nagai, S., Izumi, T. 2002.
Decreased level of vascular endothelial growth factor in bronchoalveolar
lavage fluid of normal smokers and patients with pulmonary fibrosis. Am J
Respir Crit Care Med, 166:382–5.
132

Lavery, L.A., Barnes, S.A., Keith, M.S., Seaman, J.W., Armstrong, D.G. 2008.
Prediction of Healing for Postoperative Diabetic Foot Wounds Based on
Early Wound Area Progression. Diabetes Care, 31 (1): 26-9

Lebrun, E., Tomic-Canic, M., Kirsner, R.S. 2010. The role of surgical debridement
in healing of diabetic foot ulcers. Wound Repair Regen, 18:433-8.

Lee, B.Y.,Guerra, J., Civelek, B. 1995. Compartment syndrome in diabetic foot. Adv
Wound Care, 8:36,38,41-2.

Lefrandt, J.D., Bosma, E., Oomen, P.H., Hoeven, J.H., Roon, A.M., Smit, A.J.,
Hoogenberg, K. 2003. Sympathetic mediated vasomotion and skin
capillary permeability in diabetic patients with peripheral neuropathy.
Diabetologia, 46:40-7.

Lepantalo, M., Apelqvist, J., Setacci, C., Ricco, J.B., de Donato, G., Becker, F.,
Robert-Ebadi, H., Cao, P., Eckstein, H.H., De Rango, P., Diehm, N.,
Schmidli, J., Teraa, M., Moll, F.L., Dick, F., Davies, A.H. 2011.
Diabetic foot. Eur J Vasc Endovasc Surg.;42 Suppl 2:S60-74.

Lerman, O.Z., Galiano, R.D., Armour, M., Jamie, P., Levine, J.P., Gurtner, G.C.
2003. Cellular Dysfunction in the Diabetic Fibroblast Impairment in
Migration, Vascular Endothelial Growth Factor Production, and Response
to Hypoxia. Am J Pathol, 162: 303-12.

Leung, P.C., Wong M.W.N., Wong, W.C. 2008. Limb salvage in extensive diabetic
foot ulceration : an extended study using a herbal supplement. Hong
Kong Med J, 14:29-33.

Liu, Z-J.,Velazquez, O.C. 2008. Hyperoxia, Endothelial Progenitor Cell


Mobilization, and Diabetic Wound Healing. Antioxid. Redox Signal., 10:
1869–82.

Lipsky,B.A.,. Berendt, A.R., Cornia, P.B., Pile, J.C., Peters, E.J.G., Armstrong,
D.G., Deery, H.G., Embil, J.M., Joseph, W.S., Karchmer, A.W., Pinzur,
M.S., Senneville, E. 2012. IDSA GUIDELINES 2012 - Infectious
Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis
and Treatment of Diabetic Foot Infections. Clinical Infectious Diseases ;
54(12):132-73.

Lobmann, R., Schultz, G., Lehnert, H. 2005. Proteases and Diabetic Foot
Syndrome: Mechanisms and Therapeutic Implications. Diabetes care,
28(2):462-71.

Lower, R.F., Kenzora, J.E. 1994. The diabetic neuropathic foot: a triple crush
syndrome--measurement of compartmental pressures of normal and
diabetic feet. Orthopedic, 17: 241-8.
133

Maeda, T., Kawane, T., Horiuchi, N. 2003. Statins augment vascular endothelial
growth factor expression in osteoblastic cells via inhibition of protein
prenylation. Endocrinology, 144: 681–92.

Maloney J, Wang D, Duncan T, Voelkel N, and Ruoss S. 2000. Plasma vascular


endothelial growth factor in acute mountain sickness. Chest 118: 47–52.

Maltezoz, E., Papazoglou, D., Exiara, T., Papazoglou, L., Karathanasis, E.,
Christakidis, D., Ktenidou-Kartali, S. 2002. Tumour Necrosis Factor-α
Levels in Non-diabetic Offspring of Patients with Type 2 Diabetes
Mellitus. The Journal of International Medical Research, 30 : 576-83.

Meyer, K.C., Cardoni, A., Xiang, Z.Z. 2000. Vascular endothelial growth factor in
bronchoalveolar lavage from normal subjects and patients with diffuse
parenchymal lung disease. J Lab Clin Med, 135: 332–8.

Mikhnevych, O.E., Horielov, S.V., Bezliuda, N.P., Sapa, S.A . 2001. Compartment
syndrome in patients with diabetic foot syndrome complicated by purulent
necrotic lesions. Klin Khir, 8: 33-5.

Mitchell, R.S., Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N. 2007. Robbins Basic Pathology.
Philadelphia: Saunders. 8th edition.

Moed, B.R., Thorderson, P.K. 1993. Measurement of Intracompartmental Pressure :


A Comparison of the Slit Catheter, Side-ported Needle, and Simple
Needle. The Journal of Bone and Joint Surgery, 75-A: 231-5.

Mueller, M.,P., Wright, J., Klein, .,R. 1994. Diabetes and Peripheral Vascular
Disease. In : Veith, F.,J., Hobson II, R.,W., Williams, R.,A., Wilson, S.,E.,
editors.Vascular Surgery Principle and Practice. McGraw-Hill. p. 514-22.

Muliawan, M., Semadi, N., Yasa, K.P. 2007. ―Pola Kuman dan Korelasi Klinis
Ulkus Kaki Diabetikum di RSUP Sanglah Denpasar― (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.

Munichoodappa, C., Sheriff, S.A. 1999. Case report : Spontaneous muscle infarction
in diabetes mellitus. Int.J. Diab. Dev. Countries, 19:115-6.

Nakagawa, K., Chen, Y.X., Yonemitsu, Y., Murata, T., Hata, Y., Nakashima, Y.
Sueishi, K. 2000. Angiogenesis and its regulation : roles of vascular
endothelial cell growth factor. Semin Thromb Hemost, 26:61-6.

Nieuwdorp, M., van Haeften TW., Gouvemeur MC et al. 2000. Loss of endothelial
glycocalyx during acute hyperglycemia coincides with endothelial
dysfunction and coagulation activation in vivo. Diabetes, 55:480-6.
134

Norgren, L., Hiat, W.R., Dormandy, J.A., Nehler, M.R., Harris, K.A., Fowkes,
F.G.R. 2007. Inter-Society Consensus for the Management of Peripheral
Arterial Disease (TASC II). Journal of Vascular Surgery, 45(1)
Supplement : S5A-67A

Oltmanns, K.M., Gehring, H., Rudolf, S., Schultes, B., Hackenberg, C., Schweiger,
U., Born, J., Fehm, H.L., Peters , A. 2006. Acute hypoxia decreases
plasma VEGF concentration in healthy humans. Am J Physiol Endocrinol
Metab, 290(3): E434-E439.

Oyibo, S.O., Jude, E.B., Tarawneh, I., Nguyen, H.C., Harkless, L.B., Boulton,
A.J.M. 2001. A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer Classification
Systems The Wagner and the University of Texas wound classification
systems . Diabetes, 24(1): 84-8

Pamoukian, V.N., Rubino, F., Iraci, J.C. 2000. Review and case report of idiopathic
lower extremity compartment syndrome and its treatment in diabetic
patient. Diabetes & Metabolism, 26:489-92.

Pearlman, J.D., Hibberd, M.G., Chuang, M.L., Harada, K., Lopez, J.J., Gladstone,
S.R., Friedman, M., Sellke, F.W., Simons, M. 1995. Magnetic resonance
mapping demonstrates benefits of VEGF-induced myocardial
angiogenesis. Nature Med, 1:1085–9.

Pocock S., J. 2008. CLINICAL TRIALS A Practical Approach. Chichester, New


York, Brisbane, Toronto, Singapore. John Wiley & Sons Ltd : 1-7, 123-
38.

Pusat Data dan Informasi Persi. Available from :


http://www.pdpersi.co.id/conten/m_news. Diakses pada Juni 2012.

Quantikine ELISA. Available from : (http://www.rndsystems.com/pdf/dve00.pdf)

Quattrini, C., Jeziorska, M., Boulton, A.J.M., Malik, R.A. 2008. Reduced
Vascular Endothelial Growth Factor Expression and Intra-Epidermal
Nerve Fiber Loss in Human Diabetic Neuropathy. Diabetes Care, 31
:140-5.

Rauwerda J.A. 2000. Foot debridement: anatomic knowledge is mandatory.


Proceedings of the Third International Symposium on the Diabetic Foot ,
16(issue suppl 1) : S23-S26.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Laporan Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
135

Rivard, A., Silver, M., Chen, D., Kearney, M., Magner, M., Annex, B., Peters, K.,
Isner, J.M. 1999. Rescue of Diabetes-Related Impairment of Angiogenesis
by Intramuscular Gene Therapy with Adeno-VEGF. Am J Pathol, 154:
355–63.

Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros, G. 2010. Digital


Planimetry Results in More Accurate Wound Measurements : A
Comparison to Standard Ruler Measurements. Journal of Diabetes Science
and Technology, 4:799-802.

Rutherford, R.B. 1995. Recommended standards for reports on vascular disease and
its management. In : Callow AD, Ernst CB, editors. Vascular surgery :
theory and practice. Connecticut : Appleton and Lange : 1145 - 59.

Ryu, J.K. 2008. Therapeutic Angiogenesis: The Pros and Cons and the Future.
Korean Circ J , 38:73-9.

Saad, A.Z.M., Khoo,T.L., Halim, A.S. 2013. Wound Bed Preparation for Chronic
Diabetic Foot Ulcers (review article). ISRN Endocrinology Volume 2013,
Article ID 608313, 9 pages.

Saap, L.J., Falanga, V. 2002. Debridement performance index and its correlation
with complete closure of diabetic foot ulcers. Wound Repair
Regen,10(6):354

Saepudin, M. 2011. Metodologi penelitian Kesehatan masyarakat. Jakarta : Trans


Info Media (TIM) : 45-59.

Santos, S., Peinado, V.I., Ramirez, J., Morales-Blanhir, J., Bastos, R., Roca, J.,
Rodriguez-Roisin, R., Barbera, J.A. 2003. Enhanced expression of
vascular endothelial growth factor in pulmonary arteries of smokers and
patients with moderate chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med, 167:1250–6.

Shaw, J., Hughes, C.M., Lagan, K.M., Bell, P.M.,Stevenson, M.R. 2007. An
Evaluation of Three Wound Measurement Techniques in Diabetic Foot
Wounds. Diabetes Care, 30:2641-2.

Simons, M. 2005. Angiogenesis, Arteriogenesis, and Diabetes: Paradigm


Reassessed?. Journal of the American College of Cardiology, 46.

Singh, N., Armstrong, D.G., Lipsky, B.A. 2005. Preventing foot ulcers in patients
with diabetes. Jama , 293:217-28.
136

Siqueira, M. F., Li, J., Chehab, L., Desta, T., Chino, T., Krothpali, N., Behl, Y.,
Alikhani, M., Yang, J., Braasch, C., Graves, D. T. 2010. Impaired wound
healing in mouse models of diabetes is mediated by TNF-α dysregulation
and associated with enhanced activation of forkhead box O1 (FOXO1).
Diabetologia, 53(2): 378–88.

Steed, D.L., Donohoe, D., Webster, M.W., Lindsley, L. 1996. Effect of extensive
debridement and treatment on the healing of diabetic foot ulcers. Diabetic
Ulcer Study Group. J Am Coll Surg ;183(1):61-4.

Steed, D.L. 2004. Debridement. J Am Coll Surg ; 187 (Suppl) : 71S–74S

Takeshita, S., Zhung, L., Brogi, E., Kearney, M., Pu L-Q, Bunting, S., Ferrara, N.,
Symes, J.F., Isner, J.M. 1994. Therapeutic angiogenesis: a single intra-
arterial bolus of vascular endothelial growth factor augments collateral
vessel formation in a rabbit ischemic hindlimb model. J Clin Invest,
93:662–70.

Takeshita, S., Pu L-Q, Stein, L.A., Sniderman, A.D., Bunting, S., Ferrara, N., Isner,
J.M., Symes, J.F. 1994. Intramuscular administration of vascular
endothelial growth factor induces dose-dependent collateral artery
augmentation in a rabbit model of chronic limb ischemia. Circulation,
90:[Suppl II]228-34.

Takeshita S, Tsurumi Y, Couffinhal T, Asahara T, Bauters C, Symes JF, Ferrara N,


Isner JM. 1996. Gene transfer of naked DNA encoding for three isoforms
of vascular endothelial growth factor stimulates collateral development in
vivo. Lab Invest 75:487–502.

Tellechea, A., Leal, E., Veves, A., Carvalho, E. 2010. Inflammatory and Angiogenic
abnormalities in Diabetic Wound Healing: Role of Neuropeptides and
Therapeutic Perspectives. The Open Circulation and Vascular Journal, 3:
43-55.

Urovitz, E.P., Birk-Urovitz, A., Birk-Urovitz, E. 2008. Endoscopic plantar


fasciotomy in the treatment of chronic heel pain. Can J Surg.; 51(4): 281–
3.

Van Baal, J.G. 2004. Surgical treatment of the Infected Diabetic Foot. Clinical
Infectious Diseases, 39: S 123-8.

Velazquez O.,C. 2007. Angiogenesis and vasculogenesis: Inducing the growth of


new blood vessels and wound healing by stimulation of bone marrow–
derived progenitor cell mobilization and homing. J Vasc Surg, 45:39A-
47A.

Vourisalo, S., Venermo, M., Lepäntalo, M . 2009. Treatment of diabetic foot ulcers.
J Cardiovasc Surg (Torino), 50:275-91.
137

Wallace, H.,J., Stacey, M.,C. 1998. Level of tumour Necrosis Factor-α (TNF-α) and
Soluble TNF Receptors in Chronic Venous Leg Ulcer – Correlations to
Healing Status. J Invest Dermatol ; 110 (3) : 292-6.

Waltenberger, J. 2007. New Horizons in Diabetes Therapy: The Angiogenesis


Paradox in Diabetes: Description of Problem and Presentation of Unifying
Hypothesis. Immun.,Endoc. & Metab. Agents in Med. Chem., 7:87-93.

Walter, R., Maggiorini, M., Scherrer, U., Contesse, J., Reinhart, W.H. 2001. Effects
of high-altitude exposure on vascular endothelial growth factor levels in
man. Eur J Appl Physiol, 85:113–7.

Weck, M., Slesaczeck, T., Paetzold, H., Muench, D., Nanning, T., von Gagern, G.,
Brechow, A., Dietrich, U., Holfert, M., Bornstein, S., Barthel, A., Thomas,
A., Koehler, C., Hanefeld, M. 2013. Structured health care for subjects
with diabetic foot ulcers results in a reduction of major amputation rates.
Cardiovascular Diabetology 2013, 12:45.

Widatalla, A.H., Mahadi, S., Shawer, M.A., Elsayem, H.A., Ahmed, M.E. 2009.
Implementation of diabetic foot ulcer classification system for research
purposes to predict lower extremity amputation. Int J Diabetes Dev Ctries,
29:1–5.

Wilson, S.C., Vrahas, M.S., Berson, L., Paul, E.M. 1997. A Simple method to
measure compartment pressure using an intravenous catheter.
Orthopedics, 20:403-6.

Wilcox, J.,R., Carter, M.,J., Covington, S. 2013. Frequency of Debridements and


Time to Heal. A Retrospective Cohort Study of 312 744 Wounds. JAMA
dermatol,149(9):1050-8.

Woodbury, M.,G., Houghton, P.,E., Campbell, K., E., Keast, D.,H. 2004.
Development,Validity, Reliability, and Responsiveness of a New Leg
Ulcer Measurement Tool. SKIN WOUND CARE ,17:187-96.

Yla-Herttuala, S., Rissanen, T.T., Vajanto, I., Hartikainen, J. 2007. Vascular


Endothelial Growth Factors: Biology and Current Status of Clinical
Applications in Cardiovascular Medicine. J Am Coll Cardiol, 49:1015-26.

Yosipovitch, G., DeVore, A., Dawn, A. 2007. Obesity and the skin : Skin
physiology and skin manifestations of obesity. Journal Am Acad
Dermatol. 56 (6) : 901-16

Zgonis, T., Stapleton, J.J.,Girard-Powel, V.A., Hanigo, R.T. 2008. Surgical


Management of Diabetic Foot Infections and Amputations. AORN J, 87:
935-46.
Lampiran 1
138

INFORMASI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN YANG


DISAMPAIKAN KEPADA PASIEN ATAU KELUARGA PASIEN
SEBELUM MENANDA TANGANI FORMULIR PERSETUJUAN
IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
(informed concent)

Kami mengharapkan keikut-sertaan anda dalam penelitian yang akan

dilaksanakan oleh Dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV(K).

Penelitian ini akan mengikut sertakan 62 orang pasien yang menderita

diabetes mellitus (DM) yang mengalami luka di kaki termasuk anda. Bacalah

informasi ini baik-baik sebelum anda memutuskan apakah anda setuju untuk ikut

serta dalam penelitian ini. Apabila anda belum mengerti dan belum jelas mengenai

informasi ini, janganlah anda ragu-ragu untuk bertanya.

Seperti anda maklumi, selama ini anda telah menderita DM yang disertai

dengan komplikasinya terutama dalam hal ini luka di kaki yang sulit atau lama

sembuh. Luka di kaki merupakan komplikasi menahun dari penyakit DM, namun

tidak semua penderita DM mengalami luka di kaki. Diantara pasien DM, disamping

ada perbedaan tentang kejadian luka di kaki ( ada yang mengalami luka ada pula

yang tidak ) , berat-ringannya luka juga berbeda (ada yang ringan dan ada pula yang

berat), waktu kesembuhannya juga berbeda-beda. Aspek-aspek diatas mendorong

kami melakukan penelitian, agar masalah- masalah tersebut bisa diketahui dan

ditangani secara tepat. Bagi anda yang tidak ada komplikasi tentu akan berharap agar

komplikasi itu bisa dicegah, sedangkan yang telah mengalami komplikasi berupa

luka di kaki tentu juga berharap agar lukanya cepat sembuh.

Penanganan yang umum dilakukan adalah mengontrol kadar gula darah agar

senantiasa berada pada level normal, pemberian antibiotika apabila terdapat luka
Lanjutan lampiran 1
139

dengan tanda-tanda infeksi, pembersihan luka disertai dengan membuang bagian-

bagian luka dan disekitar luka yang telah mangalami kerusakan atau kematian

sampai ke daerah yang sehat, ini disebut debridemen. Debridemen memiliki tujuan

mengubah lingkungan luka dari suasana luka kronis menjadi luka akut, membuat

luka menjadi baru dengan perdarahan baru, untuk memicu penurunan kadar sitokin

Tumour Necrosis Factor-α ( TNF-α ), dan peningkatan vascular endothelial growth

factor ( VEGF ) suatu faktor pertumbuhan luka yang sangat penting. Dengan

penurunan kadar sitokin TNF-α dan peningkatan VEGF diharapkan kesembuhan

luka kaki diabetikum bisa lebih baik. Tindakan pembedahan ini rutin dan standar

dikerjakan pada setiap luka kaki diabetes. Tindakan fasiotomi (membuka fasia yaitu

pembungkus sekelompok otot dan jaringan ikat lainnya dalam satu kompartemen,

disesuaikan dengan kompartemen dari lokasi luka), tanpa melihat beratnya infeksi,

merupakan tindakan bedah yang tidak rutin dikerjakan. Alasan dilakukannya

fasiotomi adalah untuk menurunkan atau mencegah peningkatan tekanan

intrakompartemen, memperbaiki sirkulasi didalam kompartemen, memicu pelepasan

VEGF, sehingga diharapkan proses penyembuhan luka bisa lebih cepat, serta resiko

luka berulang bisa dicegah.

Berkaitan dengan uraian tersebut diatas, maka penelitian yang akan kami

lakukan ini bertujuan untuk melihat pengaruh debridemen dan fasiotomi yang

dikerjakan secara simultan pada luka kaki diabetes terhadap kadar TNF-α dan

VEGF. Bila diketahui nantinya ada hubungan yang bermakna, mungkin akan

dianjurkan tindakan fasiotomi sebagai prosedur tambahan pada setiap tindakan

debridemen ulkus kaki diabetikum .


Lanjutan lampiran 1
140

Prosedur yang berkenaan dengan penelitian ini terdiri dari :

1. Semua pasien yang diiuktsertakan dalam penelitian akan diperiksa tekanan

intrakompartemen ( tekanan didalam ruang tertentu di daerah kaki ) dengan

memakai alat khusus yang telah disediakan. Pemeriksaan tersebut tidak

dikenai biaya

2. Semua pasien yang diiuktsertakan dalam penelitian ini akan dilakukan

pengambilan contoh bahan pemeriksaan dengan tata cara sebagai berikut :

a. Pengambilan darah vena sebanyak 3 ml. Bahan ini dipakai untuk

pemeriksaan TNF-α dan VEGF.

b. Pengambilan jaringan ulkus dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm,

dengan ketentuan 1 cm mengenai daerah ulkus, 1 cm mengenai jaringan

sehat dari tepi ulkus, serta kedalaman sampai dengan batas jaringan sehat.

Bahan ini dipakai untuk pemeriksaan TNF-α.

c. Waktu pengambilan bahan adalah sesaat sebelum tindakan operasi, dan

akan diulang kembali 1 minggu setelah operasi.

d. Bahan pemeriksaan tersebut kemudian dikirim ke laboratorium dengan

metode yang sudah ditetapkan. Pemeriksaan tersebut tidak dikenai biaya.

3. Semua pasien akan dilakukan pemeriksaan dan penilaian klinis tentang luka

menurut klasifikasi Wagner.

4. Pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini akan dibagi secara acak

kedalam 2 kelompok. Kelompok pertama mereka yang mendapat tindakan

debridemen dengan fasiotomi secara simultan, kelompok kedua pasien yang

mendapat tindakan debridemen tanpa disertai fasiotomi. Pemeriksaan

tersebut tidak dikenai biaya


Lanjutan lampiran 1
141

Peneliti dan petugas laboratorium akan melaksanakan segala prosedur

pemeriksaan maupun tindakan dengan menjaga kerahasiaan data. Jika terjadi hal-hal

yang tidak terduga ( komplikasi ), akan menjadi tanggung jawab peneliti sesuai

protokol yang berlaku. Segala prosedur ini hanya dapat dilakukan bila telah

mendapat ijin dari anda dan dengan menanda tangani pertanyaan kesediaan

(terlampir) setelah anda mengerti maksud, tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian

ini.

Data dari hasil pemeriksaan ini akan dikumpulkan ke dalam komputer

dengan kode nama untuk menjaga kerahasiaan identitas anda. Hanya dokter peneliti

yang mengetahui data-data kesehatan anda yang berkaitan dengan penelitian ini.

Namun bila anda ingin mengetahuinya anda dapat memperolehnya dari kami. Data

ini mungkin akan dipublikasi tanpa mencantumkan identitas dari mana data tersebut

diperoleh.

Apabila selama keikut-sertaan anda dalam penelitian ini terdapat hal-hal yang

dirasakan mengganggu dan merugikan anda dapat mengundurkan diri atau

membatalkan keikut-sertaan anda ini tanpa prasarat apapun. Apabila ada kejadian

yang tidak diinginkan akibat tindakan debridemen dan atau fasiotomi selama

periode penelitian, akan dicatat dan dilaporkan kepada Data safety monitoring Board

Rumah Sakit Sanglah.

Berkaitan dengan hal ini atau sewaktu-waktu anda memerlukan informasi

lebih lanjut anda dapat menghubungi Dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV, , pada

nomor telpon : 08123843260 atau 0361-7918861.


Lanjutan lampiran 1
142

FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS

Saya , yang bertanda tangan dibawah ini

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pekerjaan :

Telah membaca dengan seksama keterangan (terlampir) yang berkenaan

dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan, saya mengerti dan bersedia

untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Yang Menyetujui Dokter / Petugas

Pasien / keluarga pasien Yang memberikan penjelasan

Tanda tangan Tanda tangan

( ) ( )
Lampiran 2
143

FORMULIR PENGUMPULAN DATA PENELITIAN


IDENTITAS PASIEN
1. Nama ..........................................................................
2. Umur ..................tahun
3. Jenis kelamin L/ P
4. Body Mass Index (Kg / m2) ..........................................................................
5. Pekerjaan ..........................................................................
6. Pendidikan ..........................................................................
7. Alamat ..........................................................................
8. No. MR ..........................................................................
9. Tanggal MRS ...........................................................................
10. Tanggal KRS ...........................................................................

STATUS DM
11. Lama menderita DM ...............(dihitung sejak di dx/ s/d wawancara)
12. Kadar HbA1c ...........................................................

STATUS Ulkus Kaki Diabetik


13. Lama menderita Ulkus .............minggu
14. Lokasi Ulkus ................................................................................
15. Derajat Wagner 1. Wg II 2. Wg III 3. Wg IV
16. Jenis Ulkus 1. Neuroiskemik 2. Neuropatik (test Semmes +)
17. Jenis kuman ...................................................................................
18. Luas ulkus (PxL, dalam cm2) pra perlakuan ....................cm2
19. Ankle Brachial Index (Tek. sistolik A/B) 1. ≤ 0,90 2. > 0,90
20. Peripheral artery diseases (PAD) 1.Ya ( satu dari gejala/tanda : klaudikasio, pulsasi
lemah-negatif, kaki pucat-dingin, ABI ≤ 0,90. 2.
TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI (PRE-TEST) Tidak
21. Tekanan kompartemen medial ...............mmHg
22. Tekanan kompartemen lateral ...............mmHg
23. Tekanan kompartemen sentral ...............mmHg
24. Tekanan kompartemen interosesus ...............mmHg

TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI (PRE-TEST)


25. Tekanan kompartemen medial ...............mmHg
26. Tekanan kompartemen lateral ...............mmHg
27. Tekanan kompartemen sentral ...............mmHg
28. Tekanan kompartemen interosesus ...............mmHg

KADAR TNF-α dan VEGF ( PRE-TEST )


29. TNF-α jaringan ..............
30. TNF-α plasma ..............
31. VEGF plasma ..............

KADAR TNF-α dan VEGF ( POST-TEST)


32. TNF-α jaringan ..............
33. TNF-α plasma .............
34. VEGF plasma .............

LUARAN KLINIS
35. Luas area UKD minggu I pos perlakuan .............cm2
36. Luas area UKD minggu II pos perlakuan .............cm2
37. Luas area UKD minggu III pos perlakuan .............cm2
38. Luas area UKD minggu IV pos perlakuan .............cm2
39. Amputasi major 1.Ya 2.Tidak
40. Amputasi minor 1.Ya 2.Tidak
41. Waktu pelaksanaan amputasi ......................bulan
42. Indikasi amputasi 1.Infeksi 2. Iskemia 3. Kombinasi
43. Masa rawat ......................hari
44. Meninggal 1.Ya 2.Tidak
Lampiran 3
144

PERMUTED BLOCK RANDOMIZATION


Lanjutan lampiran 3
145
Lanjutan lampiran 3
146
Lampiran 4
147

Nama Pasien :
No. RM :
Alamat/HP :
Jenis Operasi : Fasiotomi / Non Fasiotomi
Tgl Operasi :
Lanjutan lampiran 4
148
Lanjutan lampiran 4
149
Lanjutan lampiran 4
150
Lampiran 5
151

FGJDIKJGFK
Lampiran 6
152

LAMPIRAN
DATA KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN

Lama Lama
Umur HbAic Derajat Jenis
No Identitas JK Pekerjaan Pendidikan BMI DM Ulkus PAD
(tahun) (%) ulkus Ulkus
(tahun) (minggu)
1 INR 70 P Pedagang SD 23 6.32 0.33 4 1 2 2
2 AAAA 56 P IRT SLTA 22 14.5 20 4 2 2 1
3 IWS 46 L Swasta SLTA 22 12.83 0.02 2 1 1 1
4 IWD 55 L POLRI SLTA 20.76 9.54 12 3 1 1 2
5 MM 67 L Pensiunan SLTA 20 7.56 19 3 2 1 1
6 IKS 58 L PNS SLTA 29.3 10.4 38 2 1 2 2
7 PP 49 P Pegawai Swasta SLTA 26 9.93 5 1 3 2 2
8 KM 43 P IRT SD 30 11.43 1 3 2 2 2
9 MG 55 L PNS Sarjana 32.6 9.9 11 1 1 1 2
10 IMA 43 L Wiraswasta SMP 24.22 8.61 2 4 2 2 2
11 AAGR 59 L Wiraswasta SLTA 23.4 13.48 6 2 2 1 1
12 NS 52 P Buruh SD 18.7 6.95 12 2 1 2 2
13 MW 64 L Pegawai Swasta SLTA 27.5 13.57 2 2 3 1 1
14 JW 44 P Swasta SLTA 21.5 13 10 2 3 2 2
15 BK 56 L Pensiunan PNS SLTA 21.2 7.45 9 12 2 2 2
16 INC 48 L Swasta SMP 24.2 9.89 0.5 24 2 2 2
17 IMR 63 L swasta SD 29 8.49 5 48 2 2 2
18 IWW 60 L Petani SD 23.4 8.9 0.08 4 1 1 1
19 IWSY 47 L petani SMP 18.5 10.3 13 4 2 2 2
20 IKK 45 L swasta SMA 24.8 11.1 10 1 1 2 2
21 GMKS 55 L Pensiunan PNS S1 19 9.3 19 3 1 2 2
22 TTL 58 L Swasta SMA 21.1 9.4 10 2 1 2 2
23 SSR 42 P PNS S1 24.9 13 2.5 2 1 2 2
24 IGMT 65 L Petani SD 22.4 10.67 0.08 4 2 1 1
25 NKS 49 P IRT SD 28.6 10.9 12 2 1 2 2
26 NLS 59 P Swasta SD 22.9 8.7 0.5 4 1 2 2
27 AS 66 L Swasta SMA 27.6 9.08 10 48 2 2 2
28 IGNT 60 L Pensiunan SLTA 25 8.09 17 3 2 1 1
29 DKT 60 L Swasta SLTA 22.6 7.62 1 2 2 2 1
30 IWS 60 L Pensiunan SMP 22.49 9.57 24 4 2 2 1
31 NKR 56 P Guru Sarjana 25.4 9.2 17 2 2 2 2
32 IGAGP 54 L PNS SLTA 20.75 13.6 17 24 2 2 2
33 IKS 49 L Swasta SLTP 26 10.14 0.04 2 2 1 1
34 KT 47 L Pegawai Swasta SLTA 25.4 8.53 18 1 2 1 1
35 IKW 54 L pedagang SD 25.4 9.3 20 6 3 1 1
36 IWP 71 P Pedagang SD 23 11.96 1 2 2 2 2
37 NMS 62 P Petani SD 27.3 6.65 0.08 3 2 2 2
38 NNP 61 P Petani SD 21.3 9.9 11 2 1 2 2
39 IKP 40 L Pegawai Swasta SD 25.34 8.9 0.25 12 3 2 1
40 AAPA 57 L PNS SLTA 28.37 7.31 20 1 3 2 2
41 NKK 52 L Pegawai Swasta SD 28.5 6.71 12 24 1 2 2
42 AAIOA 71 P Pensiunan SLTA 25.39 18.24 8 9 2 1 1
43 INNA 60 L Wiraswasta SD 17.4 11.73 14.5 96 2 2 1
44 NKD 77 P Petani SD 21.5 9.65 6 1 3 1 1
45 KN 37 L Tidak Bekerja SMP 15 13.62 9 4 3 2 2
Lanjutan lampiran 6
153

46 NMM 70 P PNS Pensiunan SLTA 23 10.4 26 2 1 2 2


47 HAS 64 L PNS SLTA 29 10.62 7 3 3 1 1
48 NPS 49 P IRT SD 26 15.63 4 12 1 2 2
49 INS 45 L Swasta SLTA 28.2 11.33 17 3 2 2 2
50 PA 35 L swasta SLTA 23.5 9.3 4 2 2 2 2
51 INT 48 L swasta SD 23.54 15.82 5 4 3 2 2
52 MS 54 L PNS Universitas 32.6 9.25 11 16 1 2 2
53 INT 42 L swasta SMA 38 9.16 2 12 2 2 2
54 SMA 61 L Swasta Diploma 22 10.01 13 2 2 2 2
55 IWM 52 L Pensiunan PNS SMP 23.2 15.86 7 3 3 2 2
56 NKTA 28 P IRT SMA 22 10.7 15 1 3 2 2
57 BS 54 P PNS S1 22.2 13.17 2 4 3 1 1
58 IMW 76 L petani SD 19.5 10.9 5 2 3 1 1
59 SPY 45 L swasta SMU 25.7 11 0.08 4 2 2 2
Lampiran 7
154

LAMPIRAN
HASIL ANALISIS TNF- (PLASMA DAN JARINGAN) DAN VEGF

TNF- plasma dan jaringan serta VEGF pre tes kelompok debridemen (kelompok-1) dan
kelompok debridemen plus fasiotomi (kelompok-2)

Data absorbansi 500


kelompok-1 400 y = 1914,x - 5,158
(Standar) R² = 0,993
300
0.233 450
200
0.143 250
100
0.08 150
0
0.051 100
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25

TNF-Plasma (pg/ml)
No. Kurva Kalibrasi
kelompok-1
pasien
absorban TNF-
1 0.219 414.008
2 0.217 410.18
3 0.222 419.75
4 0.221 417.836
5 0.223 421.664
6 0.213 402.524
7 0.231 436.976
8 0.231 436.976
9 0.232 438.89
10 0.232 438.89
11 0.212 400.61
12 0.233 440.804
13 0.234 442.718
14 0.238 450.374
15 0.202 381.47
16 0.216 408.266
17 0.234 442.718
18 0.217 410.18
19 0.217 410.18
20 0.216 408.266
21 0.224 423.578
22 0.211 398.696
23 0.221 417.836
24 0.223 421.664
25 0.233 440.804
26 0.229 433.148
27 0.229 433.148
Lanjutan lampiran 7
155

Data absorbansi
kelompok 2 (Standar) 500
y = 1919,x - 2,388 450
0.231 450 400
R² = 0,993
0.141 250 300
0.079 150 250
200
0.049 100 150
100 100
TNFPlasmapg/ml) 0
No.
Kelompok-2 0 0,1 0,2 0,3
Pasien
absorban TNF-
1 0.218 415.954
Kurva Kalibrasi
2 0.216 412.116
3 0.221 421.711
4 0.213 406.359
5 0.223 425.549
6 0.224 427.468
7 0.223 425.549
8 0.225 429.387
9 0.226 431.306
10 0.227 433.225
11 0.228 435.144
12 0.228 435.144
13 0.232 442.82
14 0.236 450.496
15 0.235 448.577
16 0.203 387.169
17 0.226 431.306
18 0.225 429.387
19 0.225 429.387
20 0.223 425.549
21 0.223 425.549
22 0.222 423.63
23 0.222 423.63
24 0.221 421.711
25 0.221 421.711
26 0.222 423.63
27 0.221 421.711
28 0.219 417.873
29 0.218 415.954
30 0.219 417.873
31 0.217 414.035
32 0.216 412.116
Lanjutan lampiran 7
156

TNF-Jaringan (pg/mg)
No.
Kelompok-1 Kelompok- 2
Pasien
Absorban TNF- Absorban TNF-
1 0.22 377.93 0.221 382.825
2 0.217 373.007 0.219 379.535
3 0.222 381.212 0.22 381.18
4 0.221 379.571 0.223 386.115
5 0.223 382.853 0.223 386.115
6 0.213 366.443 0.209 363.085
7 0.231 395.981 0.221 382.825
8 0.231 395.981 0.215 372.955
9 0.232 397.622 0.224 387.76
10 0.232 397.622 0.225 389.405
11 0.212 364.802 0.228 394.34
12 0.233 399.263 0.23 397.63
13 0.234 400.904 0.232 400.92
14 0.238 407.468 0.237 409.145
15 0.202 348.392 0.238 410.79
16 0.216 371.366 0.226 391.05
17 0.234 400.904 0.224 387.76
18 0.217 373.007 0.225 389.405
19 0.217 373.007 0.225 389.405
20 0.216 371.366 0.223 386.115
21 0.224 384.494 0.225 389.405
22 0.211 363.161 0.223 386.115
23 0.221 379.571 0.222 384.47
24 0.223 382.853 0.221 382.825
25 0.233 399.263 0.221 382.825
26 0.229 392.699 0.222 384.47
27 0.229 392.699 0.221 382.825
28 0.219 379.535
29 0.218 377.89
30 0.219 379.535
31 0.217 376.245
32 0.216 374.6
Lanjutan lampiran 7
157

VEGF Plasma (pg/ml)


No.
Kelompok-1 Kelompok-2
Pasien
Absorban VEGFP Absorban VEGFP
1 0.142 273.396 0.119 276.52
2 0.142 273.396 0.119 276.52
3 0.143 275.204 0.118 274.08
4 0.145 278.82 0.12 278.96
5 0.148 284.244 0.12 278.96
6 0.15 287.86 0.121 281.4
7 0.153 293.284 0.122 283.84
8 0.155 296.9 0.122 283.84
9 0.156 298.708 0.124 288.72
10 0.159 304.132 0.125 291.16
11 0.156 298.708 0.125 291.16
12 0.155 296.9 0.126 293.6
13 0.149 286.052 0.127 296.04
14 0.158 302.324 0.132 308.24
15 0.148 284.244 0.13 303.36
16 0.144 277.012 0.131 305.8
17 0.145 278.82 0.129 300.92
18 0.139 267.972 0.128 298.48
19 0.138 266.164 0.127 296.04
20 0.14 269.78 0.126 293.6
21 0.148 284.244 0.125 291.16
22 0.144 277.012 0.124 288.72
23 0.139 267.972 0.124 288.72
24 0.137 264.356 0.123 286.28
25 0.144 277.012 0.122 283.84
26 0.146 280.628 0.122 283.84
27 0.147 282.436 0.121 281.4
28 0.12 278.96
29 0.119 276.52
30 0.118 274.08
31 0.117 271.64
32 0.116 269.2
Lanjutan lampiran 7
158

TNF- plasma dan VEGF plasma postes kelompok debridemen (kelompok-1) dan kelompok
debridemen plus fasiotomi (kelompok-2)

TNF-(pg/ml) TNF-(pg/ml)
No.
kelompok-1 Kelompok- 2
Pasien
absorban TNF- absorban TNF-
1 0.209 392.367 0.149 276.458
2 0.21 394.34 0.15 278.338
3 0.211 396.313 0.162 300.898
4 0.212 398.286 0.163 302.778
5 0.213 400.259 0.164 304.658
6 0.213 400.259 0.165 306.538
7 0.215 404.205 0.166 308.418
8 0.216 406.178 0.166 308.418
9 0.217 408.151 0.162 300.898
10 0.215 404.205 0.162 300.898
11 0.218 410.124 0.162 300.898
12 0.219 412.097 0.162 300.898
13 0.208 390.394 0.163 302.778
14 0.207 388.421 0.163 302.778
15 0.202 378.556 0.179 332.858
16 0.2 374.61 0.16 297.138
17 0.199 372.637 0.16 297.138
18 0.198 370.664 0.158 293.378
19 0.197 368.691 0.156 289.618
20 0.2 374.61 0.156 289.618
21 0.202 378.556 0.153 283.978
22 0.204 382.502 0.153 283.978
23 0.209 392.367 0.153 283.978
24 0.204 382.502 0.152 282.098
25 0.206 386.448 0.15 278.338
26 0.211 396.313 0.149 276.458
27 0.207 388.421 0.146 270.818
28 0.148 274.578
29 0.149 276.458
30 0.140 259.538
31 0.141 261.418
32 0.141 261.418
Lanjutan lampiran 7
159

VEGF Plasma VEGF Plasma


No. (pg/ml) (pg/ml)
Pasien kelompok-1 kelompok-2
absorban VEGFPos absorban VEGFPos
1 0.136 248.53 0.14 315.61
2 0.137 250.366 0.142 320.47
3 0.141 257.71 0.146 330.19
4 0.145 265.054 0.151 342.34
5 0.151 276.07 0.152 344.77
6 0.164 299.938 0.149 337.48
7 0.165 301.774 0.15 339.91
8 0.165 301.774 0.151 342.34
9 0.166 303.61 0.153 347.2
10 0.166 303.61 0.154 349.63
11 0.167 305.446 0.156 354.49
12 0.173 316.462 0.157 356.92
13 0.175 320.134 0.158 359.35
14 0.179 327.478 0.162 369.07
15 0.175 320.134 0.173 395.8
16 0.168 307.282 0.163 371.5
17 0.167 305.446 0.161 366.64
18 0.165 301.774 0.159 361.78
19 0.155 283.414 0.147 332.62
20 0.154 281.578 0.146 330.19
21 0.154 281.578 0.145 327.76
22 0.152 277.906 0.144 325.33
23 0.153 279.742 0.145 327.76
24 0.15 274.234 0.143 322.9
25 0.151 276.07 0.143 322.9
26 0.148 270.562 0.142 320.47
27 0.147 268.726 0.145 327.76
28 0.145 327.76
29 0.143 322.9
30 0.135 303.46
31 0.143 322.9
32 0.141 318.04
Lampiran 8
160

LAMPIRAN
HASIL ANALISIS STATISTIKA DATA

Explore Data Pretest

Variabel Perlakuan Statistic Std. Error


TNF-α debridemen Mean 422.3020 3.28192
Plasma 95% Confidence Interval Lower Bound 415.5559
(Pretest) for Mean
Upper Bound 429.0481
5% Trimmed Mean 422.8730
Median 421.6640
Variance 290.817
Std. Deviation 17.05337
Minimum 381.47
Maximum 450.37
Range 68.90
Interquartile Range 28.71
Skewness -.343 .448
Kurtosis -.465 .872
Debridemen Mean 424.4696 2.12453
plus
95% Confidence Interval Lower Bound 420.1365
fasiotomi
for Mean
Upper Bound 428.8026
5% Trimmed Mean 424.7361
Median 424.5895
Variance 144.437
Std. Deviation 12.01818
Minimum 387.17
Maximum 450.50
Range 63.33
Interquartile Range 12.95
Skewness -.450 .414
Kurtosis 2.438 .809
TNF-α debridemen Mean 383.4608 2.80855
Jaringan 95% Confidence Interval Lower Bound 377.6877
(Pretest) for Mean
Upper Bound 389.2338
5% Trimmed Mean 383.9571
Median 382.8530
Lanjutan lampiran 8
161

Variance 212.975
Std. Deviation 14.59368
Minimum 348.39
Maximum 407.47
Range 59.08
Interquartile Range 24.62
Skewness -.356 .448
Kurtosis -.438 .872
Debridemen Mean 385.9094 1.69362
dan fasiotomi
95% Confidence Interval Lower Bound 382.4552
for Mean
Upper Bound 389.3635
5% Trimmed Mean 385.6238
Median 385.2925
Variance 91.787
Std. Deviation 9.58053
Minimum 363.09
Maximum 410.79
Range 47.71
Interquartile Range 9.46
Skewness .622 .414
Kurtosis 1.731 .809
VEGF debridemen Mean 282.5030 2.22897
Plasma
95% Confidence Interval Lower Bound 277.9212
(Pretest) for Mean
Upper Bound 287.0847
5% Trimmed Mean 282.3095
Median 280.6280
Variance 134.144
Std. Deviation 11.58208
Minimum 264.36
Maximum 304.13
Range 39.78
Interquartile Range 19.89
Skewness .343 .448
Kurtosis -.885 .872
Debridemen Mean 286.7375 1.80170
dan fasiotomi
95% Confidence Interval Lower Bound 283.0629
for Mean
Upper Bound 290.4121
Lanjutan lampiran 8
162

5% Trimmed Mean 286.5172


Median 285.0600
Variance 103.876
Std. Deviation 10.19195
Minimum 269.20
Maximum 308.24
Range 39.04
Interquartile Range 14.64
Skewness .343 .414
Kurtosis -.608 .809

Tes Normalitas

Shapiro-Wilk
Variabel Perlakuan
Statistic df p
TNF-α debridemen .954 27 .264
Plasma Debridemen .946 32 .113
(Pretestz) dan fasiotomi
TNF-α debridemen .954 27 .270
Jaringan Debridemen .938 32 .066
(Pretest) dan fasiotomi
VEGF debridemen .950 27 .218
Jaringan Debridemen .973 32 .590
(Pretest) dan fasiotomi

Tes homogenitas varian

Variabel Levene df1 df2 p


Statistic
TNF-α Plasma 6.407 1 57 .093
(Pretest) 6.158 1 57 .066
6.158 1 56.612 .061
6.605 1 57 .081
TNF-α Jaringan 8.171 1 57 .094
(Pretest) 7.797 1 57 .071
7.797 1 55.638 .072
8.413 1 57 .083
VEGF Plasma .439 1 57 .510
(Pretest) .359 1 57 .552
.359 1 55.667 .552
.437 1 57 .511
Lanjutan lampiran 8
163

T-test
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
F Sig.
TNF-α Plasma Equal variances assumed 6.407 .014
(Pretest)
VEGF Plasma Equal variances assumed .439 .510
(Pretest)

Independent Samples Test


t-test for Equality of Means
t df Sig. (2- Mean
tailed) Difference
TNF-α Plasma Equal variances assumed -.571 57 .570 -2.16756
(Pretest)
Equal variances not -.554 45.635 .582 -2.16756
assumed
VEGF Plasma Equal variances assumed -1.494 57 .141 -4.23454
(Pretest)
Equal variances not -1.477 52.336 .146 -4.23454
assumed

Independent Samples Test


t-test for Equality of Means
Std. Error 95% Confidence Interval of the
Difference Difference
Lower Upper
TNF-α Plasma Equal variances assumed 3.79772 -9.77237 5.43724
(Pretest)
Equal variances not 3.90956 -10.03879 5.70367
assumed
VEGF Plasma Equal variances assumed 2.83482 -9.91116 1.44209
(Pretest)
Equal variances not 2.86608 -9.98488 1.51580
assumed
Lanjutan lampiran 8
164

Explore data postes

Variabel perlakuan Statistic Std. Error


TNF-α Plasma debridemen Mean 390.9055 2.47333
(Postes)
95% Confidence Lower Bound 385.8215
Interval for Mean
Upper Bound 395.9895
5% Trimmed Mean 390.9624
Median 392.3670
Variance 165.169
Std. Deviation 12.85182
Minimum 368.69
Maximum 412.10
Range 43.41
Interquartile Range 23.68
Skewness -.118 .448
Kurtosis -1.083 .872
Debridemen dan Mean 290.2643 2.90294
fasiotomi
95% Confidence Lower Bound 284.3437
Interval for Mean
Upper Bound 296.1848
5% Trimmed Mean 290.0749
Median 291.4980
Variance 269.665
Std. Deviation 16.42149
Minimum 259.54
Maximum 332.86
Range 73.32
Interquartile Range 25.38
Skewness .064 .414
Kurtosis .133 .809
VEGF Plasma debridemen Mean 289.1940 4.21701
(Postes)
95% Confidence Lower Bound 280.5258
Interval for Mean
Upper Bound 297.8622
5% Trimmed Mean 289.4056
Median 283.4140
Variance 480.146
Std. Deviation 21.91224
Minimum 248.53
Lanjutan lampiran 8
165

Maximum 327.48
Range 78.95
Interquartile Range 31.21
Skewness -.128 .448
Kurtosis -.908 .872
Debridemen dan Mean 338.6950 3.55572
fasiotomi
95% Confidence Lower Bound 331.4431
Interval for Mean
Upper Bound 345.9469
5% Trimmed Mean 337.7331
Median 331.4050
Variance 404.581
Std. Deviation 20.11420
Minimum 303.46
Maximum 395.80
Range 92.34
Interquartile Range 30.38
Skewness .858 .414
Kurtosis .631 .809
Peningkatan TNF-α debridemen Mean 31.3965 3.46052
95% Confidence Lower Bound 24.2833
Interval for Mean
Upper Bound 38.5097
5% Trimmed Mean 31.4960
Median 32.7710
Variance 323.331
Std. Deviation 17.98141
Minimum -9.51
Maximum 70.08
Range 79.60
Interquartile Range 20.08
Skewness -.132 .448
Kurtosis .429 .872
Debridemen dan Mean 134.2053 2.56132
fasiotomi
95% Confidence Lower Bound 128.9815
Interval for Mean
Upper Bound 139.4292
5% Trimmed Mean 135.1557
Median 137.7525
Variance 209.931
Lanjutan lampiran 8
166

Std. Deviation 14.48900


Minimum 90.03
Maximum 158.33
Range 68.30
Interquartile Range 19.54
Skewness -1.115 .414
Kurtosis 1.755 .809
Peningkatan debridemen Mean 15.0296 2.12012
VEGF
95% Confidence Lower Bound 10.6716
Interval for Mean
Upper Bound 19.3875
5% Trimmed Mean 14.8339
Median 12.0780
Variance 121.363
Std. Deviation 11.01647
Minimum -2.67
Maximum 35.89
Range 38.56
Interquartile Range 16.69
Skewness .398 .448
Kurtosis -.774 .872
Debridemen dan Mean 51.9575 2.39340
fasiotomi
95% Confidence Lower Bound 47.0761
Interval for Mean
Upper Bound 56.8389
5% Trimmed Mean 51.3676
Median 53.6650
Variance 183.307
Std. Deviation 13.53910
Minimum 29.38
Maximum 92.44
Range 63.06
Interquartile Range 24.26
Skewness .592 .414
Kurtosis .849 .809
Lanjutan lampiran 8
167

Tes Normalitas

perlakuan Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
TNF-α Plasma debridemen .962 27 .407
(Postes) Debridemen .952 32 .168
dan fasiotomi
VEGF Plasma debridemen .956 27 .293
(Postes) Debridemen .938 32 .064
dan fasiotomi
Peningkatan TNF-α debridemen .985 27 .951
Debridemen .920 32 .091
dan fasiotomi
Peningkatan debridemen .952 27 .242
VEGF Debridemen .916 32 .064
dan fasiotomi

Tes Homogenitas Varian

Variabel Levene df1 df2 p


Statistic
TNF-α Plasma 1.852 1 57 .179
(Postes)
VEGF Plasma .965 1 57 .330
(Postes)
Peningkatan en .993 1 57 .323
TNF-α
Peningkatan 1.471 1 57 .230
VEGF

T-Test

Levene's Test for Equality of


Variances
F Sig.
TNF-α Plasma Equal variances assumed 1.852 .179
(Postes) Equal variances not
assumed
VEGF Plasma Equal variances assumed .965 .330
(Postes) Equal variances not
assumed
Peningkatan TNF-α Equal variances assumed .993 .323
Plasma Equal variances not
assumed
Peningkatan Equal variances assumed 1.758 .190
VEGF Plasma Equal variances not
assumed
Lanjutan lampiran 8
168

t-test for Equality of Means


t df Sig. (2- Mean
tailed) Difference
TNF-α Plasma Equal variances assumed 25.848 57 .000 100.64127
(Postes)
Equal variances not 26.389 56.711 .000 100.64127
assumed
VEGF Plasma Equal variances assumed -9.040 57 .000 -49.50100
(Postes)
Equal variances not -8.974 53.452 .000 -49.50100
assumed
Peningkatan TNF-α Equal variances assumed -24.322 57 .000 -102.80883
Plasma
Equal variances not -23.880 49.764 .000 -102.80883
assumed
Peningkatan Equal variances assumed -11.393 57 .000 -36.73046
VEGF Plasma Equal variances not -11.619 56.803 .000 -36.73046
assumed

t-test for Equality of Means


Std. Error 95% Confidence Interval of the
Difference Difference
Lower Upper
TNF-α Plasma Equal variances assumed 3.89355 92.84456 108.43797
(Postes)
Equal variances not 3.81372 93.00359 108.27894
assumed
VEGF Plasma Equal variances assumed 5.47553 -60.46555 -38.53645
(Postes)
Equal variances not 5.51601 -60.56253 -38.43947
assumed
Peningkatan Equal variances assumed 4.22703 -111.27332 -94.34434
TNF-αPlasma
Equal variances not 4.30530 -111.45729 -94.16037
assumed
Peningkatan Equal variances assumed 3.22409 -43.18659 -30.27434
VEGF Plasma Equal variances not 3.16124 -43.06122 -30.39971
assumed
Lampiran 9
169

LAMPIRAN

ANALISIS STATISTIKA PERBAIKAN KLINIS ULKUS

Explore
Perlakuan
Descriptives
perlakuan Statistic Std. Error
LUMT minggu I debridemen Mean 34.5556 1.52130
95% Confidence Interval for Lower Bound 31.4285
Mean Upper Bound 37.6826
5% Trimmed Mean 35.0864
Median 36.0000
Variance 62.487
Std. Deviation 7.90488
Minimum 12.00
Maximum 46.00
Range 34.00
Interquartile Range 8.00
Skewness -1.092 .448
Kurtosis 1.508 .872
Debridemen Mean 30.2188 1.75789
dan fasiotomi 95% Confidence Interval for Lower Bound 26.6335
Mean Upper Bound 33.8040
5% Trimmed Mean 30.1736
Median 30.5000
Variance 98.886
Std. Deviation 9.94415
Minimum 9.00
Maximum 50.00
Range 41.00
Interquartile Range 12.00
Skewness -.120 .414
Kurtosis -.189 .809
LUMT debridemen Mean 28.7037 1.13330
minggu II 95% Confidence Interval for Lower Bound 26.3742
Mean Upper Bound 31.0332
5% Trimmed Mean 29.1235
Median 30.0000
Variance 34.678
Std. Deviation 5.88881
Minimum 9.00
Maximum 38.00
Range 29.00
Interquartile Range 5.00
Skewness -1.377 .448
Kurtosis 3.941 .872
Debridemen Mean 22.5313 1.46187
dan fasiotomi 95% Confidence Interval for Lower Bound 19.5497
Mean Upper Bound 25.5128
5% Trimmed Mean 22.5972
Median 23.0000
Variance 68.386
Std. Deviation 8.26959
Minimum 8.00
Maximum 37.00
Range 29.00
Interquartile Range 14.25
Skewness -.358 .414
Kurtosis -1.046 .809
Lanjutan lampiran 9
170

LUMT debridemen Mean 27.4444 1.16738


minggu III 95% Confidence Interval for Lower Bound 25.0449
Mean Upper Bound 29.8440
5% Trimmed Mean 27.7963
Median 30.0000
Variance 36.795
Std. Deviation 6.06588
Minimum 9.00
Maximum 38.00
Range 29.00
Interquartile Range 9.00
Skewness -1.131 .448
Kurtosis 1.939 .872
Debridemen Mean 21.0000 1.42203
dan fasiotomi 95% Confidence Interval for Lower Bound 18.0997
Mean Upper Bound 23.9003
5% Trimmed Mean 21.1667
Median 20.5000
Variance 64.710
Std. Deviation 8.04423
Minimum 6.00
Maximum 33.00
Range 27.00
Interquartile Range 14.25
Skewness -.302 .414
Kurtosis -1.072 .809
LUMT debridemen Mean 26.2222 1.19512
Minggu IV 95% Confidence Interval for Lower Bound 23.7656
Mean Upper Bound 28.6788
5% Trimmed Mean 26.6872
Median 29.0000
Variance 38.564
Std. Deviation 6.21000
Minimum 8.00
Maximum 34.00
Range 26.00
Interquartile Range 8.00
Skewness -1.185 .448
Kurtosis 1.328 .872
Debridemen Mean 18.7500 1.56125
dan fasiotomi 95% Confidence Interval for Lower Bound 15.5658
Mean Upper Bound 21.9342
5% Trimmed Mean 18.7778
Median 19.0000
Variance 78.000
Std. Deviation 8.83176
Minimum 4.00
Maximum 33.00
Range 29.00
Interquartile Range 19.00
Skewness .082 .414
Kurtosis -1.359 .809
Lanjutan lampiran 9
171

Tes Normalitas

Shapiro-Wilk
Variabel perlakuan
Statistic df p
LUMT debridemen .928 27 .061
Minggu I debdanfasio .963 32 .334
LUMT debridemen .877 27 .077
Minggu II debdanfasio .925 32 .087
LUMT debridemen .902 27 .061
Minggu III debdanfasio .919 32 .096
LUMT debridemen .886 27 .066
Minggu IV debdanfasio .921 32 .061

Tes Homogenitas Varian

Levene
Variabel df1 df2 p
Statistic
LUMT 1.197 1 57 .279
minggu I
LUMT 7.517 1 57 .082
minggu II
LUMT 2.931 1 57 .092
mingguIII
LUMT 6.292 1 57 .094
minggu IV

T-Test

Levene's Test for Equality of


Variances
F p
LUMT Equal variances assumed 1.197 .279
Minggu I Equal variances not
assumed
LUMT Equal variances assumed 7.517 .008
Minggu II Equal variances not
assumed
LUMT Equal variances assumed 2.931 .092
Minggu III Equal variances not
assumed
LUMT Equal variances assumed 6.292 .015
Minggu IV Equal variances not
assumed

t-test for Equality of Means


t df p (2-tailed) Mean Difference
LUMT 1.830 57 .073 4.33681
Minggu I
LUMT 3.244 57 .002 6.17245
Minggu II
LUMT 3.421 57 .001 6.44444
Minggu III
LUMT 3.691 57 .001 7.47222
Minggu IV
Lanjutan lampiran 9
172

t-test for Equality of Means


Std. Error 95% Confidence Interval of the
Difference Difference
Lower Upper
LUMT 2.37042 -.40987 9.08348
Minggu I
LUMT 1.90261 2.36254 9.98237
Minggu II
LUMT 1.88397 2.67187 10.21702
Minggu III
LUMT 2.02436 3.41852 11.52593
Minggu IV
Lampiran 10
173

LAMPIRAN

HASIL ANALISIS STATISTIKA REGRESI LINIER

Correlations
Peningkatan VEGF Penurunan TNFa
Peningkatan VEGF Pearson Correlation 1 0.753
Sig. (2-tailed) 0.000
N 59 59
Penurunan TNF- Pearson Correlation 0.753 1
Sig. (2-tailed) 0.000
N 59 59

Regression

Variables Entered/Removedb
Mod Variables Variables Method
el Entered Removed
1 penTNFaa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate
a
1 .753 .566 .559 14.70833
a. Predictors: (Constant), penTNFa
b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF

ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 16102.237 1 16102.237 74.432 .000a
Residual 12331.092 57 216.335
Total 28433.329 58
a. Predictors: (Constant), penTNFa
b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
Lanjutan lampiran 10
174

Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
1 (Constant) 8.301 3.654 2.272 .027
penTNFa .308 .036 .753 8.627 .000
a. Dependent Variable: PeningkatanVEGF

Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value 5.3701 57.0742 35.1486 16.66208 59
Std. Predicted Value -1.787 1.316 .000 1.000 59
Standard Error of Predicted 1.918 3.947 2.681 .388 59
Value
Adjusted Predicted Value 5.1215 58.4340 35.1773 16.73233 59
Residual -27.69418 48.49321 .00000 14.58098 59
Std. Residual -1.883 3.297 .000 .991 59
Stud. Residual -1.929 3.333 -.001 1.007 59
Deleted Residual -29.05403 49.57171 -.02869 15.04211 59
Stud. Deleted Residual -1.977 3.682 .006 1.034 59
Mahal. Distance .003 3.194 .983 .589 59
Cook's Distance .000 .124 .016 .023 59
Centered Leverage Value .000 .055 .017 .010 59
a. Dependent Variable: PeningkatanVEGF

Charts
Lanjutan lampiran 10
175

Anda mungkin juga menyukai