Anda di halaman 1dari 16

PERANG MU’TAH

Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan Lc, M.A.

Mu’tah adalah nama sebuah desa di daerah Balqa’ di Syam. Peperangan yang terjadi pada
bulan Jumadal Ula tahun 8 H ini disebut pula dengan Ghazwatu Jaisyil Umara’, artinya perang
pasukan para pemimpin. Disebut demikian, karena banyaknya jumlah pasukan kaum Muslimin
yang kala itu mencapai 3000 personel, dan sengitnya pertempuran melawan pihak kafir.

Menurut Ibnu Ishâq rahimahullah, dalam perang ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila
Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka
Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.[1]

Kaum Muslimin menyambut dengan suka cita para komandan yang disebut Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi dan mengucap salam kepada mereka saat pasukan mulai
berangkat. Ketika pasukan menyalami Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, mereka
melihat ia menangis. Sehingga ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, hai
Ibnu Rawâhah ?”

Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh, aku bukan mencintai dunia
maupun menangisi kalian, akan tetapi, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat tentang neraka yang bunyinya :

ِ ‫علَ ٰى َربِكَ َحتْ ًما َم ْق‬


‫ضيًّا‬ َ َ‫َو ِإ ْن مِ ْن ُك ْم ِإ اَّل َو ِار ُدهَا ۚ َكان‬

Setiap kalian pasti akan melewatinya. Itu adalah ketetapan Allâh yang pasti terlaksana [2]),
maka aku tidak tahu, bagaimana aku keluar setelah melewatinya?”

Maka kaum Muslimin menimpali, “Semoga Allâh menyertai dan membela kalian, dan semoga
kalian kembali kepada kami dalam keadaan baik-baik”.

Pasukan kaum Muslimin pun terus bergerak hingga singgah di sebuah daerah bernama Ma’an
di Syam. Mereka mendengar Raja Hiraklius dengan 100 ribu pasukan Romawi telah tiba di
Balqa’ dan diperkuat lagi dengan 100 ribu pasukan dari sejumlah kabilah Arab yang loyal
kepada Romawi, seperti Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra’.

Mendengar besarnya jumlah pasukan musuh, kaum Muslimin sempat menetap di Ma’an selama
dua malam, sembari memikirkan keadaan mereka dan kembali mengatur strategi yang mesti
diterapkan. Mereka mengusulkan agar berkirim surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Harapannya, supaya beliau n mengirim
pasukan tambahan atau menetapkan suatu keputusan untuk mereka taati.
Melihat gelagat kaum Muslimin yang ragu untuk berperang, maka Abdullâh ibnu Rawâhah pun
menggelorakan semangat. Ia berseru, “Wahai kaum, apa yang kalian takutkan adalah sesuatu
yang kalian kejar selama ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi mereka bukan karena jumlah
maupun kekuatan kita. Namun kita memerangi mereka karena agama Islam yang dengannya
Allâh memuliakan kita. Berangkatlah ! Yang ada hanyalah satu dari dua kebaikan; kemenangan
atau mati syahid !”

Mendengar seruan itu, pasukan kaum Muslimin tergugah semangatnya dan menyambutnya,
“Sungguh benar ucapan Ibnu Rawâhah”.

Pasukan pun kembali bergerak maju hingga tiba di perbatasan Balqa’, tepatnya di salah satu
desa yang bernama Masyârif. Di sana mereka mendapati pasukan Hiraklius yang terdiri dari
bangsa Romawi dan Arab.

Ketika musuh mendekat, pasukan kaum Muslimin bergeser ke desa lain yang bernama Mu’tah,
hingga di desa itulah kedua pasukan saling berhadapan. Kaum Muslimin telah siaga dengan
menunjuk Qutbah bin Qatâdah Radhiyallahu anhu sebagai komandan sayap kanan dan di
sayap kiri didaulatlah ‘Ubâdah bin Mâlik al-Anshâri Radhiyallahu anhu .

Perang sengit berkecamuk. Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu melesat ke barisan musuh
dengan membawa panji-panji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia berperang penuh
semangat menerjang barisan musuh hingga syahid tertusuk tombak musuh.

Panji-panji pun lantas diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Perang kembali
berkecamuk. Tetapi Ja’far Radhiyallahu anhu tidak mendapatkan celah untuk keluar dari
kepungan musuh. Dia pun meloncat dari atas punggung kuda tunggangannya dan menebas
keempat kaki kudanya lalu menyeruak ke tengah barisan musuh hingga akhirnya syahid pula.
Dan Ja’far adalah orang Islam pertama yang membunuh kudanya di medan perang.

Salah seorang saksi mata dari Bani Murrah bin ‘Auf mengisahkan:

Masih terbayang olehku ketika Ja’far Radhiyallahu anhu meloncat dari atas kudanya lalu
menebas kaki-kaki kudanya, kemudian ia maju menyerang sambil bersyair,

‫طــــيبـــَةً َوبـَـاردًا ش ََرابـُــــــهَا‬


َ ‫يَا َحبَــــَّذا ا ْلجَنـَّــةُ َوا ْقت َرابـُــــهَا‬

َ ‫كَــــاف َرةٌ بَعيْـــ َدةٌ أ َ ْن‬


‫سابُــهَا‬ ‫عذَابُها‬
َ ‫والرو ُم ُر ْو ٌم قَ ْد َدنَا‬

‫ي إ ْذ الَقَ ْيتُهَا ض َرابُــــهَا‬


َّ َ‫عل‬

Duhai, alangkah dekatnya Jannah itu tempat yang nyaman dan dingin
minumannya
Bangsa Romawi telah dekat siksanya dan mereka orang kafir yang jauh
nasabnya

Bila mereka di hadapanku maka wajib kuhabisi

Ibnu Hisyâm rahimahullah meriwayatkan dari sejumlah Ulama yang dianggapnya tsiqah, bahwa
Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu memegang panji-panji dengan tangan kanannya, akan
tetapi kemudian ditebas oleh musuh hingga putus. Dia pun lantas memegangnya dengan
tangan kirinya yang kemudian juga ditebas oleh musuh hingga putus. Maka didekaplah panji-
panji itu dengan pangkal lengannya hingga iapun gugur dalam usia 33 tahun. Karena
pengorbanannya tadi, Allâh Azza wa Jalla mengganti kedua tangannya dengan sepasang
sayap, sehingga ia bebas terbang sesukanya di dalam Jannah.

Setelah Ja’far Radhiyallahu anhu terbunuh, panji-panji diambil alih oleh Abdullâh bin Rawâhah
Radhiyallahu anhu dan ia pun menerjang maju. Beberapa saat ia berusaha turun dari kudanya,
akan tetapi dihinggapi keraguan, lalu ia bersyair untuk menguatkan tekadnya dan meniru kedua
sahabatnya yang telah gugur.

Ibnu Rawâhah Radhiyallahu anhu akhirnya juga turun dari kudanya, dan ia dihampiri
sepupunya yang membawa sepotong tulang dengan menyisakan sedikit daging, seraya
berkata, “Makanlah agar kekuatanmu pulih!”

Ibnu Rawâhah pun mengambil daging tadi dan memakannya. Namun baru sekali menggigitnya,
ia mendengar suara hiruk-pikuk dari arah tertentu, dan katanya, “Engkau masih di dunia!”

Mendengar seruan, serta merta dilemparlah daging itu. Sambil menghunus pedangnya, ia maju
lagi dan terus berperang hingga syahid. Radhiyallâhu ‘anhum

Setelah terbunuhnya ketiga panglima tadi, panji-panji diambil oleh Tsâbit bin Arqam al- ‘Ajlani
seraya berseru, “Wahai kaum Muslimin, tunjuklah seseorang agar memimpin kalian!”

“Engkau saja !” sahut mereka.

“Tidak, aku tidak akan menerimanya!” jawab Tsabit.

Akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk Khâlid ibnul Walîd sebagai panglima. Begitu Khâlid
mengambil panji-panji itu, dia pun berusaha menolak serangan musuh dan menyelamatkan
sisa-sisa pasukan kaum Muslimin, lalu menyingkir dari medan perang.

Menurut Ibnu Ishaq rahimahullah, ketika ketiga panglima tadi terbunuh, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang kala itu berada di Madînah menceritakan kepada para sahabatnya:

‫الرايَةَ َز ْي ُد ب ُن حَارثَةَ فَقَات َ َل بهَا َحت َّى قُت َل شَه ْيدًا؛ ث ُ َّم أ َ َخذَ َها َج ْعفَ ٌر فَقَات َ َل بهَا َحت َّى قُت َل شَه ْيدًا؛‬
َّ َ‫أ َ َخذ‬
(panji-panji dibawa oleh Zaid bin Hâritsah, lalu ia bertempur hingga mati syahid; kemudian
panji-panji dibawa oleh Ja’far, dan ia bertempur hingga mati syahid);

kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam hingga raut muka kaum Anshâr pun
berubah. Mereka mengira, sesuatu yang tidak disukai telah terjadi pada diri Abdullâh bin
Rawâhah Radhiyallahu anhu . Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
berkata :

ُ‫ فَ َرأَيت‬،‫ب‬ٍ ‫س ُر ٍر م ْن ذَ َه‬
ُ ‫علَى‬ َ ،‫ في َما ي ََرى النَّائ ُم‬،‫ي في ال َجنَّة‬ َّ َ‫ لَقَ ْد ُرفعُوا إل‬:‫ ثم قال‬،‫ع ْبدُهللا ب ُن َر َواحَةَ فَقَات َ َل بهَا َحت َّى قُت َل شَه ْيدًا‬
َ ‫ث ُ َّم أ َ َخذَ َها‬
‫ ث ُ َّم َمضَى‬،‫ض الت ََّردُّد‬ َ ‫ َم‬:‫ع َّم َهذَا؟ فَقي َل لي‬
َ ‫ضيَا َوت َ َر َّد َد‬
َ ‫ع ْبدُهللا بَ ْع‬ َ : ُ‫ فَقُ ْلت‬،‫ير ْي صَاحبَيْه‬
َ َ ‫ر‬ ‫س‬ ْ
‫َن‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ار‬
ً َ‫ر‬ ‫و‬ ْ
‫ز‬ ‫ا‬ َ ‫َة‬
‫ح‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ر‬
َ َ ‫بن‬ ‫هللا‬ ‫ْد‬
‫ب‬ ‫ع‬
َ ‫ير‬ ‫ر‬ ‫س‬
َ ‫في‬

Kemudian panji-panji diambil oleh Abdullâh bin Rawâhah, dan ia bertempur hingga mati syahid.
Lalu Nabi n bersabda, “Mereka semua ditampakkan kepadaku sedang berada di atas dipan-
dipan emas seperti dalam mimpi. Dan kulihat dipan Ibnu Rawâhah agak jauh posisinya dari
dipan kedua sahabatnya, maka kutanyakan mengapa bisa begitu? Dan dikatakan kepadaku
bahwa kedua sahabatnya maju tanpa ragu, sedangkan Ibnu Rawâhah tampak ragu-ragu, baru
kemudian ia maju.[3]

Dalam Shahîhul Bukhâri disebutkan, setelah Ibnu Rawâhah terbunuh, Rasûlullâh mengatakan
panji-panji kemudian diambil oleh salah satu pedang Allâh, maksudnya Khâlid ibnul Walîd
Radhiyallahu anhu , lalu Allâh Azza wa Jalla memenangkan mereka.[4]

Ibnu Ishâq rahimahullah menuturkan, setelah mengetahui Ja’far Radhiyallahu anhu dan
sahabat-sahabatnya menemui syahid, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk
Asma’ binti Umeis Radhiyallahu anha, istri Ja’far. Ketika itu Asma’ Radhiyallahu anhatelah
menyiapkan adonan roti, memandikan anak-anak Ja’far dan mendandaninya. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil anak-anaknya tersebut dan menciuminya sambil
bercucuran air mata.

Asma’ bertanya, “Biarlah ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu. Apa yang membuatmu
menangis, wahai Rasûlullâh ? Adakah engkau mendengar sesuatu tentang Ja’far dan sahabat-
sahabatnya?”

“Ya, mereka telah gugur hari ini,” jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mendengar berita dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Asma’ pun berteriak
hingga kaum wanita datang mengerumuninya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
keluar dan kembali ke rumahnya. Beliau pun berseru, “Jangan lupa untuk membuatkan
makanan bagi keluarga Ja’far, sebab mereka sedang disibukkan dengan kematian Ja’far”.

Ibnu Ishâq rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Ja’far, dari Urwah bin Zubair,
katanya, “Ketika pasukan kaum Muslimin telah mendekati perbatasan Madînah, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri mereka bersama kaum Muslimin. Anak-anak kecil
pun berlarian menyambut mereka, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut
masuk bersama pasukan dengan mengendarai untanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan agar anak-anak digendong kembali, dan supaya putera Ja’far dibawa
kehadapannya. Maka didatangkanlah Abdullâh bin Ja’far yang kemudian digendong oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Orang-orang lantas menaburkan pasir ke arah pasukan sambil meneriaki mereka sebagai
orang-orang yang lari dari jihad fi sabilillah! Akan tetapi Rasûlullâh menyanggah ucapan
tersebut dengan mengatakan, “Mereka bukanlah orang-orang yang melarikan diri, namun
mereka akan balik menyerang insya Allâh”.

Menurut Ibnu Katsir, riwayat ini mursal (terputus sanadnya) dan mengandung keanehan. Beliau
menganggap Ibnu Ishaq telah salah faham dalam menyitir redaksinya, sehingga mengira
bahwa yang dicemooh tadi adalah sebagian besar pasukan. Padahal cemoohan tersebut hanya
ditujukan kepada sebagian orang yang lari ketika berhadapan dengan musuh. Adapun pasukan
lainnya tidak lari namun justru menang, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasûlullâh di atas
mimbar, bahwa panji-panji lalu dipegang oleh salah satu pedang Allâh, dan Allâh
memenangkan mereka.

Karenanya, kaum Muslimin tidak mungkin menjuluki mereka sebagai orang-orang yang lari
setelah mendengar sabda Nabi tadi. Mereka justru menyambut pasukan tersebut dengan penuh
hormat dan bangga. Mereka hanya mencemooh dan menaburkan pasir kepada orang-orang
yang lari dan meninggalkan pasukan saat di medan perang.

Salah satu dari mereka yang lari adalah Abdullâh bin Umar, sebagaimana penuturannya
berikut: “Aku pernah ikut dalam suatu ekspedisi militer yang dikirim Rasûlullâh. Tatkala orang-
orang lari berhamburan, aku ikut lari bersama mereka. Kami lantas saling bertanya,’Apa yang
harus kita lakukan?’ Kita telah lari dari medan perang dan mendapat murka Allâh?,’ lalu kami
berkata,’Andai saja kita masuk ke kota Madinah dan bermalam di sana tanpa terlihat seorang
pun,’ lalu setelah kami masuk, kami berkata,’Alangkah baiknya jika kita menyerahkan diri
kepada Rasûlullâh. Kalau memang kita bisa bertaubat, maka kita akan tinggal di sana. Namun
jika kita tidak bisa bertaubat, maka kita akan pergi kembali,’ maka kami menghampiri Rasûlullâh
menjelang shalat Subuh. Usai shalat kami menghadap beliau seraya berkata,’Wahai,
Rasûlullâh! Kami adalah orang-orang yang melarikan diri,’ beliau lantas menatap kami dan
bersabda,‘Justru kalian adalah orang-orang yang menyerang musuh,’ maka kami mendekati
beliau dan mencium tangannya. Kata kami, ‘Wahai, Rasûlullâh! Mulanya kami hendak
melakukan ini dan itu…,, namun beliau menyanggah,‘Akulah pasukan induk kaum
Muslimin’.” [5] Wallahu’alma bish-Shawab.

FAIDAH PELAJARAN.

1. Menurut as-Suhaili pensyarah Sirah Nabawiyah, tidak ada seorang pun yang mencela
perbuatan Ja’far tersebut. Ini menunjukkan boleh membunuh hewan tunggangan jika
khawatir akan dimanfaatkan oleh musuh. Artinya, perbuatan ini tidak termasuk menyiksa
dan membunuh binatang secara sia-sia. Akan tetapi, Imam Abu Dâwud rahimahullah
mengatakan, riwayat ini sanadnya “tidak kuat”. Menurutnya ada sejumlah riwayat dari para
sahabat yang melarangnya. Akan tetapi az-Zurqani mengomentari, yang dimaksud “tidak
kuat” di sini adalah tidak shahîh, karena derajat riwayat ini hasan sebagaimana dinyatakan
oleh Ibnu Hajar.
2. Perbuatan keempat sahabat ini menunjukkan keberadaan panji-panji dalam medan
perang itu sangat penting. Yang memegangnya adalah komandan. Hikmahnya –wallaahu
a’lam– agar pasukan mengetahui posisi komandan, sekaligus dapat mengikuti instruksi
dengan mudah.
3. Keberadaan imam (pemimpin) itu sangat penting dalam jihad. Tanpa imam, maka jihad
tidak dapat digelorakan.
4. Dianjurkan untuk melantunkan syair atau ungkapan-ungkapan yang dapat meningkatkan
semangat jihad, baik untuk diri sendiri maupun kaum Muslimin.
5. Dianjurkan membawa bekal ke medan perang dan boleh menyantapnya untuk
memulihkan kekuatan.
6. Diperbolehkan memberitahukan kematian seseorang kepada khalayak umum.
7. Bila jumlah musuh terlalu besar dan tidak mungkin untuk dihadapinya, maka dianjurkan
untuk menyingkir dari medan Ini tidak berarti lari dari medan perang, namun dianggap
sebagai kemenangan karena dapat memelihara sisa pasukan Islam yang masih ada,
sebagaimana disimpulkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (7/513).
8. Boleh menggantungkan kepemimpinan kepada sejumlah orang secara urut, dan boleh
mengambil alih kepemimpinan tanpa penunjukkan, sebagaimana telah dilakukan oleh
Tsabit bin Arqam.
9. Terdapat perbedaan derajat antara satu sahabat dengan sahabat lainnya yang mati
syahid, karena perbedaan keberanian dan ketulusan mereka.
10. Diperbolehkan menolak diangkat menjadi komandan perang bila merasa diri tidak cakap.
11. Secara umum seseorang boleh menjadi pemimpin atas orang lain yang lebih afdhal dari
dirinya.
MARAJI’:

 As-Sirah an-Nabawiyah, oleh Ibnu Hisyam.


 Shahih Bukhâri.
 Sunan Abi Dawud.
 Sunan at-Tirmidzi.
 Musnad Imam Ahmad.
 Fathul Bâri, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
 Al-Qaulul Mubîn fii Sîrati Sayyidil Mursalîn, oleh Muhammad Thayyib an-Najjar

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Az-Zurqani menambahkan, “Bila Ibnu Rawahah terbunuh juga, maka hendaklah kaum
Muslimin menunggu terpilihnya seseorang dari mereka untuk memimpin”.

[2] QS. Maryam/19:71

[3] Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhâri dalam Shahih-nya (no 3757) dengan
redaksi yang mirip tanpa menyebutkan mimpi Rasulullah.

[4] Idem.

[5] HR Abu Dawud (no 2649), Tirmidzi (no 1716), Ahmad (no 5384), dan lain-lain
dengan sanad dha’if.

Maksud “induk kaum muslimin” adalah kaum Muslimin boleh kembali kepada
beliau kapan saja bila musuh yang dihadapinya terlalu banyak, seperti dalam
kasus ini.

Read more https://almanhaj.or.id/5484-perang-mutah.html


Perang Mu’tah – 3000 Pasukan Muslim Melawan
200.000 Pasukan Romawi

PERTEMPURAN paling heroik dan dahsyat yang dialami umat Islam di era awal perkembangan
Islam adalah saat mereka yang hanya berkekuatan 3000 orang melawan pasukan terkuat di
muka bumi saat itu, pasukan romawi dengan kaisarnya Heraclius yang membawa pasukan
sebanyak 200.000 orang. Pasukan super besar tersebut merupakan pasukan aliansi antara
kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab sekitar dataran Syam, jajahan Romawi. Perang
terjadi di daerah Mu’tah –sehingga sejarawan menyebutnya perang Mu’tah (sekitar Yordania
sekarang), pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 8 H atau tahun 629 M.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN


Penyebab perang Mu’tah ini bermula ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirim utusan
bernama al-Harits bin Umair al-‘Azdi yang akan dikirim ke penguasa Bashra (Romawi Timur) bernama
Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yg baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Di tengah perjalanan,
utusan itu dicegat dan ditangkap penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani, pemimpin
dari bani Gasshaniyah (daerah jajahan romawi) dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi Heraclius.
Setelah itu kepalanya dipenggal.

Dan pada tahun yg sama, 15 orang utusan Rasulullah dibunuh di Dhat al Talh daerah disekitar negeri
Syam (Irak). Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
dibunuh dalam misinya.

Pelecehan dan pembunuhan utusan negara termasuk menyalahi aturan politik dunia. Membunuh utusan
sama saja ajakan untuk berperang. Hal inilah yang membuat Rasulullah marah.

Mendengar utusan damainya dibunuh, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat sedih. Setelah
sebelumnya berunding dengan para Shahabat, lalu diutuslah pasukan muslimin sebanyak 3000 orang
untuk berangkat ke daerah Syam, sebuah pasukan terbesar yang dimiliki kaum muslim setelah perang
Ahzab. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sadar melawan penguasa Bushra berarti juga melawan
pasukan Romawi yang notabene adalah pasukan terbesar dan adidaya di muka bumi ketika itu. Namun
ini harus dilakukan karena bisa saja suatu saat pasukan lawan akan menyerang Madinah. Kelak
pertempuran ini adalah awal dari pertempuran Arab – Byzantium.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata:

“Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bila ia gugur komando dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib,
bila gugur pula panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah –saat itu beliau meneteskan air mata-
selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’ dan akhirnya Allah Subhânahu wata‘âlâ
memberikan kemenangan. (HR. al-Bukhari)

Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena
beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.
Ketika pasukan ini berangkat Khalid bin al-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan
keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang
Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya
itu, dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga turut mengantarkan mereka sampai ke Tsaniatul
Wada’, diluar kota Madinah dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi,
orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan
berkata:

Allah menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.

Komandan pasukan itu semula merencanakan hendak menyergap pasukan Syam secara tiba-tiba,
seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sebelumnya. Dengan demikian
kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat
sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.

JALANNYA PEPERANGAN
Kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Musuh pun mendengar
keberangkatan mereka. Dipersiapkanlah pasukan super besar guna menghadapi
kekuatan kaum Muslimin. Kaisar Heraclius mengerahkan lebih dari 100.000 tentara
Romawi sedangkan Syurahbil bin ‘Amr mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri
dari kabilah Lakham, Juzdan, Qain dan Bahra‘. Kedua pasukan itupun bergabung.
Berdasarkan informasi, pasukan tersebut dipimpin oleh Theodore, saudara
Heraklius.
Mendengar kekuatan musuh yang begitu besar, kaum Muslimin berhenti selama dua malam di daerah
bernama Ma’an wilayah Syam guna merundingkan apa langkah yang akan diambil. Beberapa orang
berpendapat,

“Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, melaporkan kekuatan
musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau
memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.”
Tetapi Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat
pasukan dengan ucapan berapi-api:

“Demi Allah Subhânahu wata‘âlâ, sesungguhnya apa yang kalian tidak sukai ini adalah sesuatu yang
kalian keluar mencarinya, yaitu syahid (gugur di medan perang). Kita tidak berperang karena jumlah
pasukan atau besarnya kekuatan. Kita berjuang semata-mata untuk agama ini yang Allah Subhânahu
wata‘âlâ telah memuliakan kita dengannya. Majulah! Hanya ada salah satu dari dua kebaikan; menang
atau gugur (syahid) di medan perang.” Lalu mereka mengatakan, “ Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata
benar.”

Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh
yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan
dahsyat yang belum ada taranya pada masa sebelum itu.

Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan,
belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat
banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi,
tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak
merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –
sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
“Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal:
65)
Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti
Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka,
maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.

KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA ZAID BIN HARITSAH


Sesuai perintah Rasulullah, pasukan Islam dipimpin Zaid bin Haritsah dengan bendera di tangannya.
3.000 pasukan Islam melawan 200.000 tentara Romawi jelas tak seimbang. Zaid bertempur dengan
gagah berani. Sampai kemudian sebuah tombak Romawi menancap di tubuhnya. Darah segar
assaabiquunal awwalun tumpah di bumi Mu’tah. Andaikan memiliki air mata, tanah di sana sudah
menangis sejak tubuh mulia itu terjatuh. Zaid tergeletak sudah. Syahid

KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA JA’FAR BIN ABU THALIB


Melihat Zaid jatuh, Ja’far bin Abu Thalib segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-
merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-
lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu
diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya

Ja’far bertempur dengan gagah berani sambil memegang bendera pasukan. Beliau maju ke tengah-
tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang
mendekat kepadanya sampai akhirnya, pasukan musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Ja’far
berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk
menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat sambil bersenandung:

Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat


Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum … Rum….
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku … menggempurmu ..

Sampai suatu ketika, ada seorang pasukan Romawi yang menebas tangan kanannya hingga putus.
Darah suci pahlawan Islam tertumpah ke bumi. Lalu bendera dipegang tangan kirinya. Rupanya pasukan
Romawi tidak rela bendera itu tetap berkibar. Tangan kirinya pun ditebas hingga putus. Kini ia kehilangan
dua tangannya. Yang tersisa hanyalah sedikit lengan bagian atas. Dalam kondisi demikian, semangat
beliau tidak surut, Ja’far tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai
beliau gugur oleh senjata lawan. Ada diantara mereka yang menyerang Ja’far dan membelah tubuhnya
menjadi dua.

Berdasarkan keterangan Ibnu Umar Radhiyallâhu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam
perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau akibat tusukan pedang dan anak
panah.

KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA ABDULLAH BIN RAWAHAH


Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah menerjang ke muka
dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang
setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya
atas hidup mati pasukannya, setelah terlihat kehebatan tentara romawi seketika
seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya
sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan
melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga

Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..


Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!”

(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).

Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!”


Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya. Kalau tidaklah taqdir Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus
menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi
waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Alloh, maka
naiklah ia sebagai syahid.

Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih
lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya: “Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati
mayatku: Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan benar ia telah terpimpin!”
“Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!”

KABAR SYAHIDNYA PARA KOMANDAN PERANG MU’TAH SAMPAI KE RASULULLAH


Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wa
Sallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba
percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-
kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata
yang jatuh disebabkan rasa duka… ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan
pandangan haru, beliau berkata:

“Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid.
Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula.”. Be!iau
berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin
Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula”.

Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan,
ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …”

Para sahabat di sisi Rasulullah juga tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Tangis duka. Tangis
kehilangan. Kehilangan sahabat-sahabat terbaik. Kehilangan pahlawan-pahlawan pemberani. Namun
bersamaan dengan tangis itu juga ada kabar gembira bagi mereka. Bahwa ketiga orang itu kini disambut
para malaikat dengan penuh hormat, dijemput para bidadari, dan mendapati janji surga serta ridha Ilahi.
Secara khusus kepada Ja’far bin Abu Thalib yang terbelah tubuhnya, ia dijuluki dengan Ath-Thayyar
(penerbang) atau Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap) sebab Allah menganugerahinya dua
sayap di surga, dan dengan sayap itu ia bisa terbang di surga sekehendaknya.

BERITA SYAHIDNYA JA’FAR DISAMPAIKAN LANGSUNG OLEH RASULULLAH KEPADA


KELUARGA JA’FAR
Rasulullah pun pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu
kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan
baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita,
“Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi
aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk.”

Rasulullah memberi salam dan menanyakan anak-anak Ja’far dan menyuruh mereka ke hadapan
Rasulullah.

Asma’ kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja’far
berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada
Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru.
Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.
Asma’ bertanya,

“Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua
sahabatnya?”

Beliau menjawab, “Ya, mereka telah syahid hari ini.”

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah
mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-
olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya,

“Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya… Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya.”

Kemudian beliau bersabda,

“Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda
di kakinya.”

STRATEGI PERANG KHALID BIN WALID

Tsabit bin Arqam mengambil bendera komando yang telah tak bertuan itu dan
berteriak memanggil para shahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin
kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid

Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu sangat sadar, tidaklah mungkin menandingi
pasukan sebesar pasukan Romawi tanpa siasat yang jitu. Ia lalu mengatur strategi,
ditebarkan rasa takut ke diri musuh dengan selalu mengganti formasi pasukan setiap
hari. Pasukan di barisan depan ditukar dibelakang, dan yang dibelakang berada
didepan. Pasukan sayap kanan berganti posisi ke kiri begitupun sebaliknya. Tujuannya adalah agar
pasukan romawi mengira pasukan muslimin mendapat bantuan tambahan pasukan baru.
Selain itu, khalid bin Walid mengulur-ulur waktu peperangan sampai sore hari karena menurut aturan
peperangan pada waktu itu, peperangan tidak boleh dilakukan pada malam hari. Khalid memerintahkan
beberapa kelompok prajurit kaum muslimin pada pagi harinya agar berjalan dari arah kejauhan menuju
medan perang dengan menarik pelepah-pelepah pohon sehingga dari kejauhan terlihat seperti pasukan
bantuan yang datang dengan membuat debu-debu berterbangan.

Pasukan musuh yang menyaksikan peristiwa tersebut mengira bahwa pasukan muslim benar-benar
mendapatkan bala bantuan. Mereka berpikir, bahwa kemarin dengan 3000 orang pasukan saja merasa
kewalahan, apalagi jika datang pasukan bantuan. Karena itu, pasukan musuh merasa takut dan akhirnya
mengundurkan diri dari medan pertempuran.

Pasukan Islam lalu kembali ke Madinah, mereka tidak mengejar pasukan Romawi yang lari, karena
dengan mundurnya pasukan Romawi berarti Islam sudah menang.

HASIL PEPERANGAN
Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa pertempuran ini berakhir imbang. Hal karena kedua
belah pasukan sama-sama menarik mundur pasukannya yang lebih dahulu dilakukan oleh Romawi.
Sedangkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam pertempuran ini kemenangan berada di tangan
pasukan Muslimin.

Imam Ibnu katsir mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Subhanahu wa


Ta’ala melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata,
“Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak
pertama pasukan yang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan kekuatan 3000 orang. Dan
pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu
orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12
orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin, padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin
sangat banyak.”
Sebenarnya tanpa ada justifikasi kemenanganpun akan diketahui ada dipihak siapa. Keberanian pasukan
yang hanya berjumlah 3.000 dengan gagah berani menghadapi dan dapat mengimbangi pasukan yang
sangat besar dan bersenjata lebih canggih dan lengkap cukup menjadi bukti. Bahkan jika menghitung
jumlah korban dalam perang itu siapapun akan langsung mengatakan bahwa umat islam menang.
Mengingat korban dari pihak muslim hanya 12 orang (al-Bidayah wan Nihayah (4/214)). Menurut riwayat
Ibnu Ishaq 8 orang, sedang dalam kitab as-Sîrah ash-Shahîhah (hal.468) 13 orang) sedangkan pasukan
Romawi tercatat sekitar 20.000 orang.

Menurut Imam Ibnu Ishaq – imam dalam ilmu sejarah Islam –, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8
sahabat saja. Secara terperinci, yaitu (1) Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (2) Zaid bin Haritsah Al-Kalbi, (3) Mas’ud bin Al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah Al-
Adawi, (4) Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh. Sementara dari kalangan kaum Anshar, (5) Abdullah bin
Rawahah, (6) Abbad bin Qais Al-Khazarjayyan, (7) Al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-
Najjari, dan (8) Suraqah bin Amr bin Athiyyah bin Khansa Al-mazini.
Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam dengan berlandaskan keterangan Az-Zuhri, menambahkan empat nama
dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, (9)
Abu Kulaib dan (10) Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah Amr bin Amir putra Sa’d bin Al-
Harits bin Abbad bin Sa’d bin Amir bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum
Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.
Perang ini adalah perang yang sangat sengit meski jumlah korban hanya sedikit dari pihak muslim. Di
dalam peperangan ini Khalid Radhiyallâhu ‘anhu telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat
mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata:

“Dalam perang Mu‘tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari
Yaman.” (HR. Al-Bukhari 4265-4266)

Ibnu Hajar mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh
mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi
golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 249)
IBRAR YANG KITA BISA AMBIL DARI PERANG MU’TAH
Kita merasa berat padahal kita tidak pernah berjihad. Kita mengeluh sering pulang malam dan kecapekan
karena kita tidak pernah membayangkan mobilitas para sahabat seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah
yang menempuh perjalanan beberapa pekan, lalu berperang beberapa pekan pula. Kita mengeluhkan
hari libur yang tersita sehingga jarang berekreasi bersama keluarga karena kita tak pernah menempatkan
diri seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang setiap kali berangkat jihad mereka meninggalkan wasiat
pada istri dan keluarganya. Kita mengeluh korban tenaga, kehujanan, sampai terkena flu bahkan masuk
rumah sakit. Karena kita tak pernah membayangkan jika kita yang menjadi para sahabat. Bukan flu yang
menyerang tetapi anak-anak panah yang menancap di badan. Bukan panas dan meriang yang datang
tetapi tombak yang menghujam. Bukan batuk karena kelelahan tapi sayatan pedang yang membentuk
luka dan menumpahkan darah.

Kita mengeluh dengan pengeluaran sebagian kecil uang kita karena kita tidak membayangkan betapa
besarnya biaya jihad para sahabat. Mulai dari membeli unta atau kuda, baju besi sampai senjata. Kita
mengeluhkan masyarakat kita yang tidak juga menyambut dakwah sementara Zaid, Ja’far, dan Ibnu
Rawahah bahkan tak pernah mengeluh meskipun berhadapan dengan 100.000 pasukan musuh. Kita
merasa berat dan seringkali mengeluh karena kita tak memahami bahwa perjuangan Islam resikonya
adalah kematian. Maka yang kita alami bukan apa-apa dibandingkan tombak yang menghujam tubuh
Zaid bin Haritsah. Yang kita keluhkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sabetan pedang yang
memutuskan dua tangan Ja’far bin Abu Thalib dan membelah tubuhnya. Yang kita rasa berat tidak
seberapa dibandingkan luka-luka di tubuh Ibnu Rawahah yang membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap Rasulullah menangis karena kematian kita? Pantaskah kita berharap
malaikat datang menyambut kita? Atau bidadari menjemput kita? Kemudian pintu surga dibukakan untuk
kita?

Ya Allah, jika kami memang belum pantas untuk itu semua, jangan biarkan kami mengeluh di jalan
dakwah ini. Ya Allah, anugerahkanlah hidayah-Mu kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan hati kami
condong pada kesesatan sesudah Engkau memberi hidayah pada kami. Amin.

Sumber : madinatulilmi.com, rasulullahsaw.atwiki.com, mwindriyanto.web.id

Anda mungkin juga menyukai