Anda di halaman 1dari 12

Pola Hidup Sederhana dan Menyantuni Kaum Duafa

Islam mengajarkan hidup sederhana dan memerintahkan untuk menyantuni para duafa.
Keduanya nerupakan perbuatan mulia yang mengandung banyak hikmah. Pada materi berikut
Anda akan mempelajari ayat Al-Qur’an dan hadis tentang pola hidup sederhana dan perintah
menyantuni para duafa.
A. Pengertian Hidup Sederhana dan Menyantuni Kaum Duafa
Sederhana adalah kata sifat yang artinya “bersahaja”atau “tidak berlebihan”. Orang
yang hidup sederhana adalah orang yang hidup dengan bersahaja dan tidak berlebih-lebihan.
Ketika kekurangan, orang yang sederhana tidak akan mengahalalkan segala, termasuk
menyusahkan dirinya, untuk memperoleh harta agar dihormati oleh orang lain. Begitu pula,
ketika mempunyai harta lebih, orang sederhana tidak akan tergoda untuk bermewah-
mewahan, menumpuk harta di rumah sendiri, tidak pula memanjakan diri dengan segala
fasilitas serba mewah.
Kesederhanaan merupakan kelangkaan di zaman modern ini. Buktinya, banyak dari
kita selalu ada yang merasakan tidak cukup, meski hidup sudah tercukupi. Bahkan, karena
tidak bisa hidup sederhana, ada orang yang dihukum pun membawa kemewahan ke dalam
penjara. Di zaman modern ini, benda sebagai pujian dan kesederhanaan adalah nilai yang
ketinggalan zaman. Hidup sederhana dianggap tidak populer dan tidak memopulerkan.
Kalaupun banyak orang yang sederhana, itu karena tidak ada pilihan lain kecuali hidup
seadanya ( orang yang hidup terjepit nasib dan kemiskinan ).
Menyantuni kaum duafa adalah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk
mereka. Kaum duafa adalah orang yang lemah, dari bahasa arab, duafa atau orang yang tidak
punya apa-apa, dan mereka harus disantuni. Kewajiban bagi seorang muslim adalah saling
memberi sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt.,yang dimaksud memberi adalah pemberian
yang tidak harus berbentuk uang akan tetapi makanan ataupun barang.
Menurut para ulama, menyantuni kaum duafa akan menyelamatkan diri kita dari api
neraka, tetapi sekarang banyak manusia yang segan mengeluarkan hartanya untuk berinfak
pada kaum duafa. Menyantuni kaum duafa bukan hanya kepada orang miskin saja, melainkan
juga kepada panti asuhan, anak yang putus sekolah, dan keluarga dekat yang kurang mampu.
B. Ayat Al-Qur’an tentang Hidup Sederhana dan Menyantuni Kaum Duafa
1. Q.S. Al-Furqan, 25: 67
a. Lafal Ayat

b. Mufradat
Mereka tidak
menginfakan
berlebih-lebihan

Seimbang/wajar Tidak kikir

c. Arti Ayat
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penghasih) orang-orang yang apabila
menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara
keduanya secara wajar. (Q.S. Al-Furqan, 25: 67)

d. Penjelasan Ayat
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang berisi tentang
ciri-ciri ‘ibadurrahman. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sifat ‘ibadurrahman adalah
mereka tidak mubazir (boros) saat membelanjakan harta mereka, yaitu
membelanjakannya di luar hajat (kebutuhan). Intinya mereka membelanjakan harta
dengan sifat adil dan penuh kebaikan. Sikap yang paling baik adalah pertengahan,
tidak boros dan tidak pula kikir.
Disebutkan dalam riwayat Ahmad, “Diantara tanda cerdasnya seseorang adalah
bersikap pertengahan dalm penghidupan (membelanjakan harta)”. Sebagian ulama
mengatakan tentang maksud dari berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta adalah
menafkahkan harta dalam maksiat kepada Allah Swt. Hasan al-Bashir berkata,
“Nafkah yang dibelanjakan di jalan Allah Swt .tidak disebut boros (berlebihan)”.
Sifat boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan
masyarakat. Sifat kikir dan bakhil pun akan membawa kepada kerugian dan
kerusakan karena seseorang yang bakhil akan selalu berusaha menumpuk kekayaan
walaupun dia sendiri hidup kaya, tetapi dia tidak mau mengeluarkan uangnya untuk
kepentingan masyarakat. Untuk kepentingan dirinya dan keluarganya saja dia merasa
segan mengeluarkan uang, apalagi untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian,
akan tertumpuklah kekayaan itu pada diri seseorang atau beberapa manusia yang
serakah dan tamak.
2. Q.S. Al-Qasas, 28: 79-82
a. Lafal Ayat

b. Mufradat

c. Arti ayat
(79) Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang
yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “mudah-mudahan kita mempunyai harta
kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-
benar mempunyai keberuntungan yang besar.”
(80)Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah,
pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan,
dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.”
(81) Maka kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak
ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak
termasuk orang-orang yang dapat membela diri.
(82) Dan orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudukannya (Qarun) itu
berkata, “aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (Bagi siapa yang Dia
dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya) Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-
Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak
akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)”. (Q.S.Al-Qasas, 28:79-
82)
d. Penjelasan ayat
Pada ayat 79, mengandung makna kisah umat terdahulu, yaitu Qarun yang
hidup dengan bergelimang harta. Qarun hidup pada zaman nabi Musa a.s., suatu
riwayat mengatakan bahwa Qarun adalah anak paman nabi Musa a.s. oleh Allah Swt.
Qarun dikarunia harta melimpah. Begitu banyaknya harta yang dimiliki Qarun
sehingga kunci gudang anak harta nya itu tudak bisa diangkat oleh puluhan orang
kuat. Namun sayangnya, harta yang melimpah itu membuat Qarun lupa diri dan
menjadi takabur. Dia mengatakan bahwa hartanya yang banyak itu berkat hasil
usahanya semata bukan karena rahmat Allah Swt, atau pemberian-Nya.
Pada suatu hari Qarun keluar dari istana (rumahnya) dengan segala
kemegahannya, dikawal oleh para punggawanya. Tujuannya adalah memamerkan
kekayaannya kepada masyarakat dan menunjukkan kehebatan dirinya dalam berusaha.
Qarun berhasil memperdaya sebagian masyarakat dan diantara mereka ada yang
berkata, “Alangkah senangnya seandainya kita diberi harta yang melimpah seperti
Qarun, kita dapat menikmati hidup ini dengan sepuas-puasnya.”
Pada ayat 80, orang yang mempunyai ilmu dan akal sehat sama sekali tidak
tertarik oleh harta yang dipamerkan Qarun tersebut. Apalah artinya harta jika tidak
dapat mendatangkan kebahagiaan di akhirat. Mereka bahkan mengatakan bahwa
pahala Allah Swt jauh lebih penting dan bernilai daripada harta melimpah bagi orang
yang beriman dan beramal shaleh sebab harta yang tidak berkah seperti harta
kekayaan Qarun tersebut hanya akan mendatangkan azab dari Allah Swt. Mereka
yakin bahwa Allah Swt hanya akan memberikan pahala kepada orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh.
Pada ayat 81-82, Allah Swt. Menegaskan akibat kesombongan dan
ketakaburannya, Qarun ditenggelamkan beserta seluruh harta kekayaannya ke dasar
bumi dan tidak ditemukan bekas-bekasnya. Akhirnya, menjadi sebutan orang setiap
menemukan sesuatu yang bernilai dari dalam tanah, kita sering menyebutnya harta
karun.
Ditenggelamkannya Qarun kedasar bumi merupakan azab Allah Swt. Yang
harus diterimanya atas kesombongannya. Ketika azab Allah Swt. Itu datang, tidak ada
seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepadanya, bahkan dia sama sekali
tidak mampu menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang lain. Harta kekayaan
yang disombongkannya juga tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali ikut hancur
musnah ditelan bumi.
Atas kejadian tragis yang menimpa Qarun beserta para pengikut setianya itu,
maka masyarakat yang sebelumnya menginginlan harta melimpah seperti yang
dimiliki Qarun menjadisadar dan kembali bertobat kepada Allah Swt. Mereka
menyadari bahwa harta benda sama sekali tidak bisa menolong dari azab Allah Swt.
Harta hanyalah titipan dan amanah yang harus digunakan sesuai dengan kehendak
Allah Swt. Jika tidak, harta itu akan mendatangkan bencana bagi pemiliknya, seperti
hal nya yang menimpa Qarun.
3. Q.S. Al-Isra’, 17: 26-27
a. Lafal Ayat

b. Mufradat
Keluarga yang
berikanlah
dekat/ kerabat
Orang yang dalam
haknya
perjalanan
Orang-orang yang Jangan kamu
boros memboroskan

ingkar Teman setan

c. Arti Ayat
(26) Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta
(hartamu) secara boros.
(27) Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Isra’, 17: 26-27)

d. Penjelasan Ayat
Kecenderungan manusia berperilaku boros terhadapa harta memang sudah ada
di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku boros adalah salah satu tipu daya setan
terkutuk yang membuat harta yang kita miliki tidak efektif mengangkat derajat kita.
Harta yang dimiliki justru efektif menjerumuskan, membelenggu, dan menjebak kita
dalam kubangan tipu daya harta karena kita salah dalam Menyikapinya. Hal ini dapat
kita perhatikan dalam hidup keseharian kita. Orang yang punya harta, kecenderungan
untuk menjadi pecinta harta lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang,
maka makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka ingin pula
lah ia untuk memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan. Ada yang
pamer kendaraan, pamer rumah, pamer mebel, pamer pakaian, dan lain-lain. Sifat ini
muncul karena salah satunya kita ingin tampil lebih wah (mentereng), lebih bemerek,
atau lebih keren dari orang lain padahal makin bermerek barang yang dimiliki justru
akan menyiksa diri.
Berikut merupakan isi pokok kandungan dalm Q.S. Al-Isra’: 26-27.
1) Allah Swt.memerintahkan kepada kita semua sebagai umat islam untuk
memberikan atau menunaikan hak (berzakat, sedekah, infak, dan sebagainya)
kepada keluarga-keluarga yang dekat, orang miskin, dan mufasir (orang yang
dalam perjalanan).
2) Allah Swt.memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada kaum
duafa,seperti orang-orang miskin, orang terlantar, dan juga orang yang dalam
perjalanan.
3) Hak lainnya yang harus ditunaikan adalah mempererat tali persaudaraan dan
hubungan kasih sayang satu sama lain, saling bersilaturahmi, bersikap lemah
lembut dan sopan santun, memberikan bantuan kepada mereka, dan memberikan
sebagian rezeki yang Allah Swt. Berikan kepada kita semua.
4) Allah Swt. Menjelaskan bahwa kita dilarang menghambur-hamburkan harta yang
kita miliki secara boros atau berlebihan. Islam mengajarkan kita kesederhanaan,
oleh karena itu kita harus membelanjakan harta sesuai dengan kebutuhan saja,
seperlunya saja, dan tidak boleh berlebihan.
5) Allah Swt.menjelaskan bahwa orang-orang yang berperilaku boros adalah saudara-
saudaranya setan.
4. Q.S. Al-Isra’, 17: 29-30
a. Lafal Ayat

b. Mufradat

lehermu terbelenggu

Maka kamu akan Jangan kamu


duduk\menjadi mengulurkannya

menyesal tercela

Dia menentukan
Meluaskan/melapangkan
/menyempitkan
c. Arti Ayat
(29) Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya(sangat Pemurah) nanti kamu menjadi tercela
dan menyesal.
(30) sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan
membatasi (bagi siapa yang Dia kehemdaki) ; sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha
melihat hamba-hamba-Nya.(Q.S.AL-isra,17 : 29-30)
d. Penjelasan Ayat
Pada ayat 29, Allah Swt. Melarang menjadikan tangan terbelenggu pada leher.
Ungkapan ini sudah terbiasa di kalangan orang Arab yang menunjukkan
perumpamaan (tamsil) yaitu kekikiran. Kikir dilarang oleh Allah Swt. Di samping itu,
Allah Swt. Melarang mengulurkan tangan selebar-lebarnya. Ungkapan ini berarti
Allah. Melarang boros dalam membelanjakan harta karena dengan sifat tersebut
manusia akan merasakan penyesalan disebabkan tidak mempunyai apa-apa lagi akibat
dari kebiasaan boros tersebut.
Pada ayat 30, Allah Swt. Menjelaskan bahwa Dia-lah yang memberi rezeki dan
menyempitkannya. Dialah pula yang mengatur rezeki makhluk-Nya menurut apa yang
Dia kehendaki. Hal itu karena Dia Maha Melihat lagi Maha Mengetahui siapa yang
berhak menjadi kaya dan siapa yang berhak menjadi miskin.
5. Q.S. AL-Baqarah, 2 : 177
a. Lafal Ayat

b. Mufradat
c. Arti ayat
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi
kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah Swt., hari akhir,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(Musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat orang-orang yang menempati janji apanila
berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itu lah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. (Q.S.Al-Baqarah, 2: 177)
d. Penjelasan ayat
Kebaikan itu bukan shalat menghadap timur dan barat, melainkan dalam bentuk
perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan kiblat dari timur ke barat,
sesungguhnya adalah salah satu hak Allah Swt., tetapi dengan tegas Allah Swt.
Berfirman bahwa perubahan itu jangan dijadikan percekcokan atau perdebatan karena
sesungguhnya kebaikan dalam islam itu adalah perbuatan nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Merujuk pada ayat ini,setidaknya ada sebelas ciri perilaku kebaikan, yaitu sebagai
berikut :
1) Beriman kepada Allah Swt.
2) Beriman kepada hari akhir
3) Beriman kepada malaikat-malaikat
4) Beriman kepada kitab-kitab
5) Beriman kepada nabi-nabi
6) Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin,musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang
yang meminta-minta.
7) (memerdekakan) hamba sahaya
8) Mendirikan shalat
9) Menunaikan zakat
10) Orang-orang yang menempati janjinya apabila berjanji
11) Orang-orang yang sabar dalam kesempatan,penderitaan, dan peperangan.
Dengan melaksanakan sebelas perkara itulah, mereka disebut sebagai orang-
orang yang benar imannya, dan diposisikan sebagai orang yang bertakwa,
bahkan Hatim al-Asnam seperti diutip Ibnu Hajar al-ASqalani berpendapat
bahwa ,”barang siapa mengakui kecintaan kepada nabi, tetapi dia membenci
fakir miskin (tidak menyantuni mereka), maka pengakuannya adalah dusta.”
6. Q.S.Al-Ma’un, 107: 1-7
a. Lafal Ayat

b. Mufradat

c. Arti Ayat
(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) Maka itulah orang yang
menghardik anak yatim, (3) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.(4)
maka celakalah orang yang shalat, (5) (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap
shalatnya, (6) yang berbuat riya, (7) dan enggan (memberikan ) bantuan .(Q.S.Al-
Ma’un, 107: 1-7)
d. Penjelasan ayat
Adapun sebab turunnya surah ini adalahberkenaan dengan orang-orang munafik yang
memamerkan shalat kepada orang yang beriman ; mereka melakukan shalat dengan ria
dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan
bantuan kepada orang miskin dan anak yatim (riwayat Ibnu Munzir).
Surah ini diawali dengan kalimat tanya untuk menarik perhatian pembacanya kemudian
Allah Swt.sendiri yang memjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuannya adalah
agar pembaca benar-benar memperhatikan dan meresapi makna yang terkandung di
dalamnya. Biasanya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai
yang sangat penting untuk segera dipahami dan dimalkan. Pertanyaan yang paling
prinsipil adalah “siapalah pendusta agama?” maka jawabannya segera disusul setelah
pertanyaannya. Ayat selanjutnya menjawab secara lugas bahwa pendusta agama adalah
orang yang tidak mau menyantuni anak yatim. Ciri berikutya adalah orang yang tidak
mau menyeru untuk memberi makan (harta) kepada orang miskin. Secara lugasnya isi
kandungan surah Al-Ma’un sebagai berikut.
1) Perintah untuk berhati-hati terhadap orang-orang yang mendustakan agama dan
perintah untuk berhati-hati dalam kehidupan agar tidak termasuk orang yang
mendustakan agama. Orang-orang yang mendustakan agama adalah orang-
orang dengan ciri-ciri sebagai berikut.
a) Suka menghardik anak yatim
b) Tidak menganjurkan memberi makan terhadap fakir miskin
Kata fakir miskin sering dipahami dalam satu arti, padahal sejatinya kedua kata
tersebut memiliki makna yang berbeda. Fakir adalah otang yang tidak memiliki harta
dan tidak memiliki pekerjaan, sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai
pekerjaan tetapi dari hasil yang didapatkan tidak mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya.
2) Celakalah bagi orang yang lalai dalam shalat. Lalai dalam shalat contohnya
sengaja mengakhirkan waktu shalat atau melupakan salah satu shalat fardu.
Celakalah bagi orang yang shalat yang melakukan shalat karena ria, yaitu
mengerjakan shalat tidak diniatkan kepada Allah Swt., tetapi diniatkan untuk
mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain.
Jika kita cermati bersama, dari ayat ayat 1-3 surah al-ma’un, di dalamnya
terdapat salah satu jenis aplikasi tauhid sosial. Konsep tauhid yang intinya adalah
mengesakan Allah Swt.dalam konsep praktisnya adalah menjalankan semua
perintah dan menjauhi larangan, dan salah satu perintah Allah Swt.kepada manusia
adalah kita memiliki sikap tenggang rasa dan kepedulian sosial sebagai aplikasi
dari penerapan tauhid sosial.
Dalam kandungan ayat 2-3 terdapat salah satu bentuk sederhana dari sikap
kepedulian sosial dan tenggang rasa, yaitu larangan kepada siapa saja untuk tidak
mengabaikan anak yatim dan orang miskin. Sebagai manusia yang telah diberikan
nikmat yang cukup, tidak ada salahnya apabila dalam mensyukuri nikmat Allah
Swt.kita dapat menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu saudara-saudara
kita yang kesusahan. Sebagai umat islam kita dianjurkan untuk memberi daripada
menerima.
Islam tidak melarang umatnya memiliki harta sebanyak-banyaknya , bahkan
sangat dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga mendapatkan harta yang banyak
dan halal, dan menggunakannya sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Berdasarkan
ayat di atas, ada beberapa perilaku orang muslim yang mengamalkan isi
kandungannya yang dapat diidentifikasi dalam perilaku kehidupan sehari-hari,
yaitu sebagai berikut.
1) Menjadikan Harta Sebagai Media untuk Beribadah kepada Allah Swt.
Harta adalah titipan Allah Swt.yangharus digunakan sesuai dengan kehendak
pemberinya. Seorang yang beriman dan mengamalkan isi kandungan Al-
Qur’an, niscaya menjadikan harta sebagai media untuk beribadah kepada Allah
Swt., baik dengan cara berserdekah, berzakat, maupun cara-cara lainnya. Jadi,
semakin banyak harta yang dimilikinya akan semakin rajin ibadahnya kepada
Allah Swt.

Anda mungkin juga menyukai