Anda di halaman 1dari 9

PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM NOVEL PARA

PAWESTRI PEJUANG KARYA SUPARTO BRATA


DAN NOVEL GOD’S CALLGIRL KARYA CARLA VAN RAAY
(KAJIAN SASTRA BANDINGAN)

Novel Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata ini sangat menarik dan unik
karena menggambarkan perjuangan perempuan baik dalam segi ekonomi hingga
perjuangan perempuan dalam kehidupan berumah tangga ditengah kungkungan
budaya Jawa yang harus dijunjung tinggi oleh seorang perempuan Jawa. Topik
mengenai perjuangan perempuan juga diceritakan dalam novel God’s Callgirl karya
Carla Van Raay. Karya Carla Van Raay lebih berani mengungkapkan kebebasan
perempuan. Dalam hal ini Novel Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata dan novel
God’s Callgirl karya Carla Van Raay sama-sama menitik beratkan pada perjuangan
kaum perempuan yang merupakan bentuk gerakan feminisme. Feminisme itu sendiri
adalah gerakan untuk menolak segala bentuk perendahan kaum perempuan oleh
kebudayaan yang ada seperti dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Ratna,
2013:84). Selain terdapat kemiripan tersebut, juga terdapat perbedaan pada kedua novel
tersebut. Cara penyampaian perjuangan perempuan oleh kedua pengarang novel
tersebut sangat berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang
dimiliki penulis.
Farahanna Juliani melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan liberal.
Dalam hal ini, peneliti sudah sesuai menggunakan pendekatan liberal, dalam novel
Novel Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata dan novel God’s Callgirl karya
Carla Van Raay, lebih menonjol betapa pentingnya kesadaran perempuan bahwa
mereka bukan golongan tertindas. Perempuan harus direpresentasikan secara adil
(Gamman dan Marshment, 2010:49). Selain itu, Agger (2013:215) juga menyatakan
bahwa feminisme liberal berpandangan bahwa perempuan dapat menaikkan posisi
mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi
individual. Dalam hal ini, feminisme radikal yang lebih mempermasalahkan hak-hak
reproduksi seksualitas, dan feminisme sosialis yang merupakan gerakan feminisme
yang menitikberatkan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan
perempuan, tidak cocok untuk menganalisis novel tersebut.
Selain menggunakan feminisme untuk meneliti kedua novel tersebut, peneliti juga
menggunakan ilmu sastra bandingan untuk meniti kedua novel tersebut. Penelitian ini
menggunakan teori bandingan afinitas atau affinity untuk mengungkapkan atau
membedah bentuk perjuangan perempuan sehingga dapat memperoleh perbedaan dan
persamaan bentuk perjuangan perempuan. Dalam hal ini, penulis sudah sesuai dalam
menggunakan teori bandingan afinitas yaitu mengenai keterkaitab unsur-unsur intrinsik
(unsur dalam) seperti struktur, gaya, tema, dan suasana yang terkandung dalam karya
sastra tersebut. Selain itu, peneliti juga lebih memfokuskan pada kajian sastra
bandingan analisis struktur, hal ini sangat baik dalam penelitian untuk mempersempit
cakupan penelitian, agar penelitian lebih terarah. Adapun motif-motif yang ada dalam
dua novel tersebut adalah motif ekonomi, beraspirasi, dan berumah tangga. Adapun
motif-motif yang ada dalam dua novel tersebut adalah motif ekonomi, beraspirasi, dan
berumah tangga. Motif-momtif tersebut sudah tepat untuk meneliti sesuai dengan
pendekatan yang diambil, yakni pendekatan liberal.
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk memaparkan hasil
analisis. Dalam hal ini, langkah peneliti yakni menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif sudah sesuai, karena penelitian ini memang berdasarkan pada penelitian
kualitatif. Menurut Siswantoro (2010:57), penelitian sastra dalam metode deskriptif
kualitatif dituntut untuk memaparkan fakta-fakta yang terdapat dalam karya sastra
dengan cara memberikan deskripsi. Penelitian ini menggunakan sumber data novel
Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata yang diterbitkan tahun 2013 di Yogyakarta
oleh Elmatera dan novel ini memiliki 196 halaman. Sedangkan Novel God’ Callgirl
karya Carla van Raay diterbitkan tahun 2006 di Amerika oleh Harper Collins dan novel
ini memiliki 508 halaman. Data primer dalam penelitian ini yaitu kedudukan dan peran
perempuan di bidang ekonomi, berumah tangga, dan beraspirasi. Sedangkan artikel-
artikel atau berita yang berhubungan dengan perempuan, karya sastra dan gerakan
feminisme di Indonesia dan Australia merupakan data sekunder. Instrumen penelitian
adalah peneliti itu sendiri.
Tata cara pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah membaca karya sastra
dan mengerti adanya masalah yang ada dalam karya sastra itu sendiri, mengidentifikasi
masalah, menentukan alat untuk mengupas fokus penelitian seperti menentukan
pendapat ahli yang dianggap cocok untuk memecahkan masalah, inventarisasi,
membuat simpulan. Penelitian tersebut menggunakan teknik analisis deskriptif untuk
mendeskripsikan data yang menjadi objek kajian dan dikutip secara langsung. Peneliti
menggunakan teknik triangulasi waktu untuk menguji keabsahan data. Hal tersebut
sudah sesuai dari pendekatan, instrument penelitian, hingga teknik pengumpulan
datanya.
Adapun persamaan novel Para Pawestri Pejuang dan God’s Callgirl yaitu sama-
sama memperjuangkan hak perempuan dibidang ekonomi, beraspirasi, dan berumah
tangga, namun perbedaanya yaitu, dalam peran dan kedudukan perempuan di bidang
ekonomi dalam novel Para Pawestri Pejuang karya Suprto Brata, pada tokoh Wara
Pramesthi yang memikirkan perekonomian negaranya, Wara Pramesthi adalah wanita
yang berpendidikan, bekerja di kantor. Para Pawestri Pejuang merupakan novel yang
berlatar belakang tahun 90-an. Berlatar belakang orde lama. Ketika jaman tersebut,
kedudukan dan peran wanita sangat minim karena wanita sangat dibatasi
gerakgeriknya. Namun berbeda dengan Wara Pramesthi yang ketika jaman tersebut dia
telah menjadi wanita yang sangat berpengalaman dalam bidang ekonomi. Sedangkan
pada novel God’s Callgirl karya Carla Van Raay, tokoh Carla digambarkan sebagai
seorang perempuan yang bekerja di sebuah restoran dengan gaji yang sangat pas-pasan
sementara dirinya memiliki satu anak perempuan yang masih kecil untuk terus
dihidupinya. Carla rela menjual tubuhnya demi kehidupan yang lebih baik yaitu demi
mendapatkan uang yang lebih banyak untuk membiayai kehidupannya dan anaknya.
Kemudian pada peran dan kedudukan perempuan di bidang penyampaian aspirasi
dalam novel Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata, pada tokoh Ngesthiratu yang
mana dia adalah wanita belia berumur 17 tahun yang sangat baik dalam beraspirasi
apalagi ketika membahas mengenai keadaan negaranya, Indonesia. Pada jaman
tersebut, kebebasan wanita sangat dibatasi dengan sangat tegas oleh pemerintah.
Sedangkan pada novel God’s Callgirl karya Carla Van Raay Carla disini memiliki
pikiran yang sangat luar biasa tentang Tuhan dan kehidupan. Semua yang ingin dia
tahu maka akan dia tanyakan dan akan dia cari tahu. Dia juga tidak takut untuk
menyammpaikan pendapat maupun pertanyaan dan juga tidak takut melakukan hal
yang dianggapnya baik dan membuatnya jauh lebih baik juga. Kedua tokoh tersebut
sama-sama perempuan yang berani dalam bidang penyampaian asporasi, namun,
perbedaanya, tokoh Ngesthiratu berani menyampaikan aspirasi mengenai negara,dan
sudah ikut memikirkan keadaan negaranya, sedangkan tokoh Carla, berani
menyampaikan aspirasi mengenai Tuhan.
Peran dan kedudukan perempuan di bidang rumah tangga dalam novel Para
Pawestri Pejuang karya Suparto Brata, digambarkan pada tokoh Pembayun Ratri yang
berjuang demi keutuhan keluarganya. Pambayun Ratri mengikhlaskan suaminya untuk
orang lain agar suaminya mendapatkan kepuasaan yang tidak bisa didapatkan darinya.
Hal tersebut dilakukannya karena dirinya merupakan wanita lumpuh semenjak
mengalami kecelakaan kerja. Pembayun Ratri memang perempuan yang ikhlas
mengorbankan perasaannya untuk keutuhan keluarganya. Sedangkan, pada novel
God’s Callgirl karya Carla Van Raay, tokoh Carla berjuang menjadi kepala rumah
tangga karena suaminya (James) tidak bisa diandalkan. Semua dia hadapi demi
keutuhan rumah tangganya. Peran Carla di sini adalah sebagai istri yang baik,
menerima keadaan suaminya dan mau berbagi tugas dengan suaminya. Kedudukan
Carla di sini juga sangat penting karena tanpa adanya rasa ikhlas Carla untuk menerima
James apa adanya maka rumah tanggan tidak akan utuh. Persamaan kedua tokoh dalam
watak tersebut adalah sama-sama ikhlas dengan takdirnya, dan perbedaannya yaitu
terletak pada tokoh Pembayun Ratri merupakan perempuan yang tidak bisa
membahagiakan suaminya, sedangkan pada novel God’s Callgirl karya Carla Van
Raay, suami Carlalah yang tidak sesuai dengan harapan Carla.

KESIMPULAN
Penelitian yang dilakukan oleh Farahanna Juliani, membahas tentang perjuangan
perempuan dalam novel Para Pawestri Pejuang karya Suparto Brata dan novel God’s
Callgirl karya Carla Van Raay. Kedua novel tersebut dikaji dengan menggunakan teori
feminisme liberal. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori sastra bandingan
afinitas. Novel tersebut sangat unik sehingga layak untuk dibandingkan karena
memiliki bab yang sama yaitu tentang bentuk perjuangan perempuan. Kedua novel
tersebut juga memiliki banyak perbedaan diantaranya bentuk perjuangan perempuan
yang dipengaruhi latar belakang budaya pengarang yang berbeda, dan juga bentuk
penggambaran tokoh dalam memperjuangkan peran perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben, 2013. Mazhab Frankfurt Karl Max Cultural Studies Teori Feminisme
Derrida Posmodernitas; Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Yogyakarta.

Brata, Suparto. 2013. Para Pawestri Pejuwang. Yogyakarta: Elmatera.


Gamman, Lorraine dan Margaret Marshment. 2010. Tatapan Perempuan; Perempuan
sebagai Penonton Budaya Populer.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metodhe, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra; Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:


Pustaka Belajar.
Van Raay, Carla. 2004. God’s Callgirl. Australia: Harper Collins Publisher
A COMPARATIVE STUDY OF ALLUSIONS IN THE POETRY OF ENGLISH
POET JOHN MILTON AND PERSIAN POET HAFIZ SHERAZI

Puisi adalah subjek favorit di dunia literatur. Banyak alat yang digunakan dalam
menulis puisi yang baik, di antara mereka menggunakan kiasan adalah umum. Seorang
penerjemah yang meneliti teks dengan pandangan untuk menerjemahkannya, akan
memiliki sejumlah keprihatinan. Di antara mereka, kiasan cenderung menjadi teka-teki
ketika mereka menyeberangi kesenjangan budaya. Menerjemahkan kiasan dapat menjadi
tugas yang menuntut karena fakta bahwa mereka secara bersamaan mengaktifkan dua teks
dan memiliki arti khusus dalam budaya dan bahasa di mana mereka muncul tetapi tidak
harus pada orang lain. Dan ini adalah rintangan utama dalam memahami dan mengetahui
konteks situasi yang disajikan dalam sepotong tertentu puisi.
Puisi Persia penuh dengan banyak perkataan Islam, kosakata atau insiden perang.
Mungkin ada beberapa kata dari adat istiadat lokal dan Konvensi budaya Iran tua atau
kontemporer dan mereka menjadi sulit bagi pembaca bahasa Inggris. Demikian pula puisi
Inggris memiliki kekayaan yang luas dari budaya Latin dan Yunani dan mitologi dan
terkadang mungkin ada referensi dari Alkitab. Namun, penggunaan kiasan oleh seorang
penulis menunjukkan harapan bahwa pembaca sudah familiar dengan referensi yang
dibuat, jika tidak efeknya hilang. Dalam hal ini perbedaan mmononjol terjadi pada kiasan
dalam puisi Inggris penyair John Milton dan penyair Persia Hafiz Sherazi. Tertu saja hal
tersebut menjadi perbedaan mendasar yang sangat mudah diketahui.
Abrams (1999) mendefinisikan kiasan sebagai: "referensi yang lewat, tanpa identifikasi
eksplisit, kepada orang sastra atau sejarah, tempat atau peristiwa atau karya sastra atau
bagian lain." Milton telah menggunakan kiasan secara melimpah dalam epik yang terkenal
ini. kiasannya berkisar dari agama, mitologi, literatur sejarah. Oleh karena itu tidak mudah
bahkan bagi pembaca asli untuk memahami bahasa yang digunakan oleh Milton sampai ia
menguasai semua pengetahuan latar belakang ini. Pembaca harus berkenalan dengan
wilayah luas informasi tentang Yunani, Latin, Kristen dan kejadian sejarah. Milton
menggabungkan paganisme, referensi Yunani klasik, dan kekristenan dalam puisi.
Sementara menggambarkan Iblis dalam buku 1 dari Firdaus yang hilang (baris 201_203)
Milton mengatakan, oleh Tarsus purba yang dipegang, atau bahwa Leviathan binatang laut,
yang Tuhan dari semua karyanya menciptakan sangat besar yang berenang Sungai lautan
th. Dengan membandingkan Iblis dengan Monster laut, Milton menggunakan kiasan
alkitabiah seperti monster ini telah dijelaskan dalam Pasal Yesaya.
Berbeda dengan Milton, kiasan dari puisi Hafez Sherazi yang lahir di Shiraz, Iran.
Orangtuanya adalah dari Kazerun, Provinsi Fars. Hafez Sherazi sangat memahami terhadap
kehidupan dan budaya Persia. Seperti puisi Milton Hafiz juga berlimpah dengan kiasan dan
juga mencakup bidang agama, sejarah, mitologi pribumi dan sastra. Di sini orang harus
berkenalan dengan sejarah klasik perang antara Persia dan Yunani.
KESIMPULAN
Kesimpulannya yaitu pada artikel “A Comparative Study Of Allusions In The Poetry
Of English Poet John Milton And Persian Poet Hafiz Sherazi”, oleh Tahir Saleem pada
puisi Inggris penyair John Milton menyuguhkan budaya Latin dan Yunani dan mitologi
dan terkadang mungkin ada referensi dari Alkitab. Dan semua hal ini menjadi asing bagi
orang yang termasuk dalam dunia Islam. Begitu juga puisi Persia penyair Hafiz Sherazi,
penuh dengan banyak perkataan Islam, kosakata atau insiden perang, juga berlimpah
dengan kiasan dan juga mencakup bidang agama, sejarah, mitologi pribumi dan sastra.
Mungkin ada beberapa kata dari adat istiadat lokal dan Konvensi budaya Iran tua atau
kontemporer. Di sini orang harus berkenalan dengan sejarah klasik perang antara Persia
dan Yunani. Perbedaan tersebut sangat mencolok dari segi kiasan yang membangun puisi
tersebut, sehingga menyulitkan para pembacanya yang awam terhadap kebudayaan
tersebut, selain perbedaan tersebut, ternyata terdapat juga persamaan, yakni sama-sama
membahas mengenai Yunani.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. and et al (2000), The Norton Anthology of English Literature, Vol. 2, (7th
ed). New York: W. W. Norton & Company
ANALYSIS AND COMPARISON OF NATURALISTIC THEMES IN
IRANIAN AND BRITAIN MODERN CHILDRENS’S POEMS

Saat ini, literatur anak-anak yang diberi konsep masa kanak-kanak, telah memperoleh
status khusus dalam studi humaniora. Puisi anak-anak adalah salah satu cabang dari jenis
sastra ini. Tema naturalistik memiliki frekuensi tertinggi di antara tema puisi anak-anak
di dua negara. Populasi penelitian ini terdiri dari koleksi yang diterbitkan dari tahun 1921
hingga 2011, dan hanya membahas penyair yang paling menonjol dari kedua negara dan
di antara karya-karya para penyair, dipilih yang telah menerima beberapa penghargaan
selama ini. Dalam hal ini peneliti sudah benar melakukan Teknik pengambilan
populasinya.
Pada tema naturalistik, penyair merupakan tema yang paling populer, karen tema
tersebut tertuju untuk anak-anak. Menurut Jacques charpentreau, masih berbagai aspek
alam adalah subjek utama puisi dan masih ketika “saya bertanya pembaca majalah apa
yang paling mereka sukai tentang puisi, sebagian besar dari mereka mengatakan kisah
yang menarik alam. "(Charpentreau, 1993, p. 204).
Pada objek kajian yang diteliti pada tema naturalistik yang diteliti adalah hewan
pelestarian dan vegetarian, penghargaan terhadap lingkungan pedesaan, dan musim.
Kedua kelompok penyair lebih memperhatikan binatang daripada tanaman karena
menurut temuan Piaget “dipemikiran anak-anak, dasar menjadi hidup dalam fenomena
adalah mobilitas mereka ”. Namun, melihat sudut penyair di kedua kelompok sangat
berbeda, penyair Iran telah berbicara tentang binatang yang ditangani anak-anak dan
mungkin juga melihatnya dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti binatang
peliharaan dan hewan peliharaan, burung, serangga dan lain-lain. Tetapi penyair Inggris
memberikan gambaran berbeda dalam objek kajian hewan yaitu dengan memasukkan
hewan liar dalam deskripsi mereka. Penyair Iran mempresentasikan hewan dibentuk
karakter manusia atau telah memperkenalkan mereka dengan karakter stereotip yang
sama dalam cerita dan cerita rakyat seperti rubah cerdik, anjing penjaga, ayam jantan
yang sedang naik daun. Selain itu penyair Iran telah menggambarkan binatang sering
sesuai dengan dampaknya terhadap kehidupan manusia; untuk Sebagai contoh, mereka
berbicara tentang lalat sebagai serangga kotor yang menularkan penyakit, nyamuk adalah
serangga yang menggigit dan ayam betina hewan yang bertelur untuk manusia. Namun,
penyair Inggris, seperti yang disebutkan, menganggap hewan sebagai makhluk yang
masuk akal dan menggambarkan mereka dalam posisi binatang dengan sifat dan karakter
binatang. Kedua kelompok penyair mengecam penahanan dan pelecehan hewan, tetapi
hewan liar bukan objek penyair Iran mereka hanya berbicara tentang burung-burung di
kandang dan kampanye penyair Inggris menentang perburuan, penangkaran binatang liar
sebagai serta hewan peliharaan.
Pada objek kajian yang kedua, yaitu objek tentang pelestarian dan vegetarian,
mendorong vegetarisme dapat dilihat dalam puisi-puisi Inggris, namun Iran tidak
menggunakan objek kajian tersebut. Tetapi beberapa penyair Iran dalam beberapa tahun
terakhir dalam puisi tentang buah-buahan, tanaman, dan pohon telah memperhatikan
beberapa aspek hidup makhluk-makhluk yang tidak penting bagi orang lain dan sikap ini
sering disertai dengan kasih sayang makhluk-makhluk ini. Selain itu, tema seperti perang
melawan pembangunan pabrik dan undangan untuk merawat pohon dan alam sumber
daya yang berlimpah banyak terdapat pada puisi Iran. Pada Penyair Inggris, mereka juga
sangat fokus pada pelestarian lingkungan.
Pada objek kajian selanjutnya, yaitu penghargaan terhadap kehidupan pedesaan, pada
penyair Iran penyesalan dan nostalgia untuk kehidupan pedesaan dan penghargaan
terhadap jenis kehidupan ini memiliki frekuensi paling banyak. Tema semacam itu juga
dapat dilihat dalam puisi-puisi penyair Inggris kecuali bahwa mereka jelas tidak
menyerang modern fenomena teknologi dan urbanisasi, tetapi hanya menggambarkan
gaya hidup baru ini; rupanya mereka mendorong pembaca untuk melakukannya pikirkan
dan temukan cara untuk melestarikan lingkungan dalam kehidupan modern baru.
Pada objek kajian yang terakhir yaitu musim, peneliti menggambarkan bahwa pada
penyair Inggris maupun Iran, memiliki pandangan yang berbeda terhadap penggambaran
musim. Penyair Iran telah lebih memperhatikan musim semi, tetapi puisi-puisi ini hanya
menggambarkan musim semi yang menyenangkan dan indah tanpa imajinasi. Begitu juga
dengan musim gugur, musim dingin dan musim panas. Berbeda dengan penyair Iran,
deskripsi sederhana tentang musim dan ekspresi keindahan alam belaka bukanlah tema
yang dibahas karya penyair Inggris. Mereka selalu menghindari deskripsi sederhana dan
menemani puisi dengan imajinasi atau narasi menarik yang menjumpai anak dengan
karakteristik salah satu musim.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan tersebut yakni penyair Iran masih setia dengan karakter
stereotip dan peran hewan dalam sastra populer. Tentu saja dalam beberapa tahun
terakhir, beberapa penyair telah memperhatikan pengulangan stereotip ini dan misalnya
telah menolaknya stereotip berdasarkan bahasa hewan atau telah mengubah sudut
pandang mereka terhadap hewan. Tapi, kecuali satu atau dua, penyair Iran lainnya tidak
pernah menggambarkan binatang dan sifatnya tanpa latar belakang intelektual; hewan
masih memilikinya masih kepribadian manusia dalam puisi anak-anak Iran. Selain itu,
penyair Iran seringkali hanya menggambarkan fenomena alam dan elemen fantasi dan
imajinasi yang sangat langka dalam kelompok puisi ini. Namun, harus dikatakan bahwa
deskripsi alam semata tidak memuaskan untuk anak-anak, tetapi juga situasi yang
menempatkan anak dalam hubungan tertentu dengan peristiwa dan fenomena itu menarik
untuk dia; dengan kata lain, melihat fenomena dari mata anak itu, memahami perasaannya
dan ekspresinya dengan bahasa puitis yang bisa dimengerti. Tema seperti vegetarian,
yaitu fenomena modern, memudar dalam puisi Persia dan harus dipertimbangkan dalam
puisi. Poin yang sama antara penyair kedua kelompok adalah puisi yang berfokus pada
pelestarian lingkungan. Kedua kelompok telah memberikan perhatian yang signifikan
terhadap masalah ini. Penyair yang berbeda wilayah dan latar belakangnya, mempunyai
karakteristik tersendiri, namun mereka tetap meninjau unsur naturalistik berdasarkan
pada objek hewan, pelestarian dan vegetarian, penghargaan terhadao kehidupan
pedesaan, dan yang terakhir adalah musim. Masing-masing penyair dari kedua negara
tersebut, menggambarkan tema naturalistik sesuai dengan fenomena yang terjadi dalam
keluturannya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Charpentreau, J. (1993). “The Golden Age Poetry”. Seventeen Articles About Chlirdren’s
Literature. Tehran: Shoraye Ketab. E kododak publications.

Anda mungkin juga menyukai