Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA G14P1A12 HAMIL 32 MINGGU


DENGAN IMPENDING EKLAMPSIA DAN RIWAYAT
OBSTETRI BURUK

Pembimbing:

dr. Dean Wahjudy Satyaputra, Sp. OG (K)

dr. R. Pandji Setiawan, Sp. OG

Disusun oleh:

Efbri Chauresia Dalitan

030.07.077

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 20 JUNI 2016 – 27 AGUSTUS 2016


DAFTAR ISI

Daftar isi .......................................................................................................................... 1


Bab I Pendahuluan .......................................................................................................... 2
Bab II Laporan Kasus
Bab III Pembahasan
Bab IV Kesimpulan dan Saran
Bab V Tinjauan Pustaka
Definisi preeklampsia ......................................................................................... 3
Epidemiologi preeklampsia ................................................................................ 3
Faktor resiko preeklampsia ................................................................................. 6
Patofisiologi preeklampsia .................................................................................. 7
Deteksi Dini Preeklamsia dan Metode Pencegahan……………………….…….9
Diagnosis preeklampsia ...................................................................................... 9
Penatalaksanaan preeklampsia ............................................................................ 11
Bab III Kesimpulan ......................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 17

1
BAB I

PENDAHULUAN

Tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah: pendarahan 45%,
infeksi 15%, dan preeklampsia 13%. Sisanya terbagi atas partus macet, abortus yang tidak
aman, dan penyebab tidak langsung lainnya. Dalam perjalanannya, berkat kemajuan dalam
bidang anestesia, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik
yang semakin meningkat, maka penyebab kematian ibu karena pendarahan dan infeksi dapat
diturunkan secara nyata. Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan dan
sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis berkembang menjadi preeklampsia
berat dengan segala komplikasinya, angka kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan.1,2

Pada ibu hamil dikatakan terjadi preeklampsia apabila dijumpai tekanan darah ≥
140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ 1+. Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi
menjadi preeklampsia ringan, preeklampsia berat, impending eklampsia, dan eklampsia. Pada
preeklampsia berat dapat mengakibatkan impending eklampsia sebelum terjadi eklampsia.
Disebut impending eklampsia atau imminent eklampsia jika pada kasus preeklampsia berat
dijumpai nyeri kepala hebat gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium, muntah,
kenaikan progresif tekanan darah.2

Impending eklampsia merupakan masalah yang serius dalam kehamilan karena


komplikasi-komplikasi yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada janin. Komplikasi pada
ibu antara lain gagal ginjal akibat nekrosis tubuler akut, nekrosis kortikal akut, gagal jantung,
edema paru, trombositopenia, DIC, dan cerebrovascular accident. Sedangkan komplikasi
pada janin antara lain prematuritas ekstrem, intrauterine growth retardation (IUGR), abruptio
plasenta, dan asfiksia perinatal. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan secara cepat dan
tepat apabila dijumpai kasus kehamilan dengan impending eklampsia.2,3

BAB II
LAPORAN KASUS

2
I. IDENTITAS
Nama : Ny. D
TTL : Bekasi, 02 Desember 1981
Usia : 35 tahun
Pendidikan: SMEA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku : Sunda
Alamat : KP Pintu Air no. 40 RT 2 RW 3 Kota Bekasi
RM : 09716671
MRS : 26 Juli 2016

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Datang seorang wanita G14P1A12 hamil 32 minggu ke Ponek RSUD Bekasi dengan
keluhan nyeri kepala. Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur serta mual dan
muntah. Nyeri ulu hati (+). Rembesan air ketuban dan darah keluar dari kemaluan
disangkal oleh pasien. Perut yang terasa kencang teratur juga disangkal pasien.
Gerakan janin (+) masih dirasakan. Kejang (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
HPHT : 19 Desember 2015
TP : 26 September 2016
Riwayat Haid
Menarche : 14 Tahun
Lama : 7 hari
Siklus : Tidak teratur
Nyeri : (+)

Riwayat Pernikahan
Sekarang pernikahan pertama lamanya 17 tahun
Riwayat Obstetri
1. IUFD, 6 bulan, di RS, per vaginam, BBL 1000 gram, tahun 1998
3
2. Abortus, 2 bulan, di RS, kuret, tahun 1999
3. Abortus, 2 bulan, di RS, kuret, tahun 2001
4. Abortus, 3 bulan, di RS, kuret, tahun 2002
5. Abortus, 2 bulan, di RS, kuret, tahun 2003
6. Abortus, 2 bulan, di RS, kuret, tahun 2004
7. Abortus, 2 bulan, di RS, kuret, tahun 2005
8. Abortus, 3 bulan, di RS, kuret, tahun 2006
9. Abortus, 3 bulan, di RS, kuret, tahun 2007
10. Abortus, 2 bulan, di RS, per vaginam, tahun 2008
11. Abortus, 3 bulan, di RS, per vaginam, tahun 2009
12. Abortus, 2 bulan, di RS, per vaginam, tahun 2010
13. Abortus, 3 bulan, di RS, kuret, tahun 2015
14. Hamil saat ini
Kesimpulan: Riwayat obstetri buruk
Riwayat KB
KB suntik selama 2 tahun, tahun 2011-2013
Riwayat ANC
ANC 1x usia kehamilan 4 bulan di bidan
Riwayat Penyakit Dahulu
HT (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Penyakit jantung (-)
DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
HT (+) Nenek
Asma (-)
Alergi (-)
Penyakit jantung (-)
DM (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
4
Kesan gizi : Gizi lebih
Tanda Vital
Tekanan darah : 200/120 mmHg
Frekuensi nadi : 98x/menit
Frekuensi napas : 20x/menit
Suhu : 36.6C
Status Generalis
Mata : Conjunctiva anemis -/- Sklera ikterik -/-
Leher : Thyroid dan KGB tidak teraba membesar
Thoraks :
Pulmo : Suara napas vesikuler +/+ Wheezing-/- Rhonki-/-
Cor : BJ I dan II reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : BU (+) 3x/menit, Nyeri tekan epigastrium (+)
Genitalia : Fluksus (-) Fluor (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : Gravid (+)
Leopold : L1: Teraba bagian lunak, kesan bokong.
L2: Di sebelah kiri teraba bagian keras, rata, memanjang,
kesan punggung.
Di sebelah kanan teraba bagian-bagian kecil, kesan
ekstremitas.
L3: Teraba bagian keras dan bulat, kesan kepala.
L4: Kepala janin belum masuk panggul.
TFU : 30 cm
DJJ : (+) 156x/menit
His : (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Cardiotocography (CTG)

5
Kesan: Non-Stress Test (NST): Reaktif

Kesan: Non-Stress Test (NST): Reaktif

Ultrasonography (USG)

6
USG:

- Janin tunggal hidup

- Presentasi kepala

- Usia kehamilan setara dengan BPD/FL/AC 32 minggu

- Plasenta di fundus

- Cairan ketuban cukup

- TBJ: 1335 gr

Laboratorium

7
26 Juli 2016
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Leukosit 13.5 ribu/µL 5-10
Hb 12.4 g/dl 12-14
Ht 37.4 % 37-47
Trombosit 200 ribu/µL 150-400
Imunoserologi
Anti-HIV Non-reaktif Non-reaktif
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Kimia Klinik
Fungsi Hati
SGOT 27 U/L <37
SGPT 22 U/L <41
Fungsi Ginjal
Ureum 34 mg/dL 20-40
Kreatinin 0.76 mg/dL 0.5-1.5
Diabetes
GDS 81 mg/dL 60-110

26 Juli 2016
Urin Lengkap
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Kimia Urin
pH 6.0 5.0-8.0
Berat jenis 1015 1005-1030
Albumin urin Positif 3 (++ Negatif
+)
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0.2 UE 0.1-1
Bilirubin Negatif Negatif
Darah samar Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Nitrit Positif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 0-2 /lpb <=2
Leukosit 0-5 /lpb <=5
Silinder Granula+ Negatif
Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Positif 1 (+) Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

8
V. DIAGNOSIS

G14P1A12 hamil 32 minggu dengan impending eklampsia dan riwayat obstetri


buruk.

VI. PENATALAKSANAAN

- Protap MgSO4

- Adalat oros 2 x 20 mg (jika tidak merespon konsul ke bagian Penyakit Dalam)

- Dexamethasone 2 x 2 ampul

- Pesan tempat di ICU

- OMZ 1 x 1 ampul

- Ondancetron 3 x 4 mg

- Hasil konsul Penyakit Dalam -> Adalat oros diganti Adalat 3 x 10 mg

VII. FOLLOW UP

27 Juli 2016
S Pasien masih mengeluh mual dan penglihatan kabur
O KU : TSS, CM Mata : CA -/- SI -/-
TD : 180/100 mmHg Leher : dbn
N : 100x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 20x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.7C Abd : BU (+), gravid (+) NTE (+)
L1 : Bokong L3: Kepala
L2 : Pu-ki L4: U
DJJ : 148x/menit
Genitalia: Fluksus (-) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
A G14P1A12 hamil 32 minggu dengan impending eklampsia dan riwayat obstetri
buruk

9
P MgSO4 drip
Adalat 3x10 mg
Dexamethasone 2x2 ampul
OMZ 1x1 ampul
Ondancetron 3x4 mg
Konsul ke bagian Mata
Pro ICU
Siapkan NICU
Rencana terminasi tanggal 28 Juli 2016 karena pasien tidak respon terhadap
terapi
Hasil konsul Mata:
- Saat ini segmen posterior mata baik
- Suspect kelainan refraksi
CTG

Kesan: Non-Stress Test (NST): Reaktif

10
28 Juli 2016
S Pasien mengeluh sedikit pusing
O KU : TSS, CM Mata : CA -/- SI -/-
TD : 165/97 mmHg Leher : dbn
N : 72x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 27x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.5C Abd : BU (+), gravid (+)
L1 : Bokong L3: Kepala
L2 : Pu-ki L4: U
DJJ : 146x/menit
TFU : 30 cm
Genitalia: Fluksus (-) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
Diuresis: 1.57cc/kgBB/jam
*BB : 75kg
A G14P1A12 hamil 32 minggu dengan impending eklampsia dan riwayat obstetri
buruk
P MgSO4 drip + RL
Adalat 3x10 mg

11
Dexamethasone 2x2 ampul
OMZ 1x1 ampul
Ondancetron 3x4 mg
Istruksi pre-op:
- Dexamethasone 1 ampul
- Cinam 1 ampul
- CTG
Lapor dr. R. Pandji Setiawan Sp. OG hasil CTG, instruksi tambahan:
- Berikan O2 4l
- Miring kiri

CTG

Kesan: Non-Stress Test (NST): Reaktif

12
Laporan Operasi

Operator : dr. R. Pandji Setiawan, Sp. OG

Ahli anestesi : dr. Langgeng, Sp. An

Jenis anestesi : Spinal Anestesi

Diagnosis pre-op : Impending eklampsia pada G114P1A12 hamil 32-33 minggu

Diagnosis post-op : Post SC a/i impending eklampsia

Jenis operasi : SC

Tanggal operasi : 28 Juli 2016

Jam operasi dimulai : 12.25 WIB

1. Prosedur operasi rutin

2. Toilet daerah operasi

13
3. Melakukan insisi pfanenstiel kemudain diperdalam lapis demi lapis sampai dengan
peritoneum parietale

4. Setelah peritoneum parietale dibuka tampak uterus gravid

5. Dilakukan insisi huruf U pada SBR

6. Bayi dan plasenta dilahirkan, lahir bayi perempuan, BBL 1500gr, A/S 8/9, PBL 42cm,
ketuban jernih pukul 12.30 WIB

7. Bloody angle dan SBR dijahit, kontrol perdarahan

8. Setelah diyakini tidak ada perdarahan, dinding abdomen ditutup lapis demi lapis

9. Operasi selesai

Instruksi Post-op

1. Awasi KU dan TV

2. Awasi kontraksi uterus dan PPV

3. Puasa sampai dengan BU (+)

4. Mobilisasi bertahap

5. Medikamentosa

6. Nifedipine 3x10 mg ( jika tensi  140/90 mmHg)

Terapi injeksi:

- Cinam 2x1 ampul

- Alinamin F 3x1 ampul

- Transamin 3x1 ampul

- Drip oksitosin (20 iu, 20 tpm sampai dengan 24jam post-op)

14
- Profenid supp 3x1

Terapi oral:

- Nifedipine 3x10 mg (jika tensi  140/90 mmHg)

- Anbacim 3x1 (diberikan setelah terapi injeksi selesai)

- Metronidaloze 3x1 (diberikan setelah terapi injeksi selesai)

- Asam Mefenamat 3x500mg (diberikan setelah terapi injeksi selesai)

29 Juli 2016
S Pasien mengeluh pusing, lemas, nyeri bekas op
O KU : TSR, CM Mata : CA -/- SI -/-
TD : 162/105 mmHg Leher : dbn
N : 88x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 16x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.5C Abd : BU (+)
TFU : 2 jari di bawah umbilikus
Genitalia: Fluksus (+) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
A P2A12 post SC H+2 a/i impending eklampsia
P Cinam 2x1 ampul
Alinamin F 3x1 ampul
Transamin 3x1 ampul
Profenid supp 3x1
Infus RL
Nifedipine 3x10mg (jika tensi  140/90 mmHg)
Jika terapi injeksi habis ganti terapi oral

15
Mobilisasi miring kiri kanan dan duduk
Aff DC + infus 24jam post-op
Acc pindah ruangan bangsal Dahlia

30 Juli 2016
S Pasien mengaku tidak meminum obat Nifedipine karena merasa berdebar-debar
jika meminumnya, pasien mengatakan pernah meminum obat Amlodipine dan
merasa cocok dengan obat tersebut
O KU : TSR, CM Mata : CA -/- SI -/-
TD : 160/110 mmHg Leher : dbn
N : 80x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 20x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.5C Abd : BU (+)
TFU : 2 jari di bawah umbilikus
Genitalia: Fluksus (+) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
A P2A12 post SC H+3 a/i impending eklampsia
P Amlodipine 1x10mg
Anbacim 3x1
Metronidazole 3x1
Asam Mefenamat 3x500mg

31 Juli 2016
S Tidak ada keluhan
O KU : TSR, CM Mata : CA -/- SI -/-

16
TD : 180/110 mmHg Leher : dbn
N : 112x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 18x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.7C Abd : BU (+) 3x/menit, NT(-)
TFU : 2 jari di bawah umbilikus
Genitalia: Fluksus (+) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
A P2A12 post SC H+4 a/i impending eklampsia
P Amlodipine 1x10mg Asam Mefenamat 3x1
Anbacim 3x1
Metronidazole 3x1

01 Agustus 2016
S Tidak ada keluhan
O KU : TSR, CM Mata : CA -/- SI -/-
TD : 170/110 mmHg Leher : dbn
N : 88x/menit Cor : SI/II reg m- g-
RR : 18x/menit Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-
S : 36.5C Abd : BU (+) NT(-)
TFU : 3 jari di bawah umbilikus
Genitalia: Fluksus (+) Fluor (-)
Eks : AH (+) Oedem (-)
A P2A12 post SC H+5 a/i impending eklampsia
P Amlodipine 1x10mg
Anbacim 3x1
Metronidazole 3x1
Asam Mefenamat 3x1
Acc pulang

17
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pembuatan laporan kasus ini sudah dilakukan pemeriksaan obstetri yang cukup
lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang guna mendukung
penegakan diagnosis. Didapatkan diagnosis dari seorang wanita G14P1A12 hamil 32 minggu
dengan impending eklampsia dan riwayat obstetri buruk. Disebut impending eklampsia jika
pada kasus preeklampsia berat dijumpai nyeri kepala hebat, gangguan visus dan serebral,
nyeri epigastrium, muntah, kenaikan progresif tekanan darah. Preeklampsia berat adalah
preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg disertai proteinuria.
Pada kasus ini ditegakkan diagnosis impending eklampsia berdasarkan tekanan darah
pasien mencapai 200/120 mmHg dalam keadaan istirahat, proteinuria +3, adanya keluhan
sakit kepala, penglihatan kabur, mual muntah, nyeri pada ulu hati, dan belum terdapat kejang.
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia pada pasien ini
adalah usia ≥ 35 tahun, riwayat obstetri buruk yang kemungkinan juga disebabkan oleh
riwayat preeklampsia pada kehamilan-kehamilan sebelumnya dimana kemungkinan terjadi
preeklampsia bisa meningkat sampai 4x bila pada kehamilan sebelumnya terdapat
preeklampsia, riwayat penyakit keluarga yaitu nenek pasien menderita hipertensi yang
kemungkinan juga menderita preeklampsia sewaktu hamil dimana resiko terjadi preeklampsia
pada pasien menjadi meningkat 25% dan preeklampsia juga dapat diturunkan dari perempuan

18
ke perempuan dalam keluarga. Faktor lainnya adalah obesitas dimana bisa dilihat terdapat
kesan gizi berlebih pada pasien.
Pada pasien ini belum mengarah ke komplikasi seperti HELLP syndrome. Terbukti
dari hasil pemeriksaan fungsi hepar dan jumlah platelet yang kadarnya masih dalam batas
normal.
Pada kasus ini dilakukan terminasi kehamilan atas indikasi adanya tanda-tanda atau
gejala impending eklampsia dan tidak adanya respon terhadap terapi. Diberikan
Dexamethasone untuk pematangan paru janin karena umur kehamilan masih 32 minggu.
Diperlukan perawatan ICU untuk pemantauan keadaan pasien sebelum dan sesudah
dilakukan terminasi kehamilan karena eklampsia masih mungkin terjadi. NICU diperlukan
untuk perawatan intensif bayi dengan umur kehamilan 32 minggu dengan TBJ 1335gr.
Usia kehamilan pada kasus ini adalah kehamilan preterm. Penatalaksanaan impending
eklampsia adalah penanganan aktif yaitu terminasi kehamilan tanpa memandang berapa pun
umur kehamilan. Begitu pula pada kasus ini, walaupun usia kehamilan masih preterm, namun
kehamilan harus segera diakhiri karena pada ibu didapati tanda-tanda impending eklampsia.
Terminasi dilakukan dengan sectio caesaria emergensi atas indikasi ibu karena impending
eklampsia merupakan gejala awal terjadinya eklampsia sehingga apabila tidak dilakukan
terminasi secara emergensi dikhawatirkan dapat menimbulkan ancaman terhadap
keselamatan ibu dan janin.
Penatalaksanaan pada pasien ini telah dilakukan dengan baik sesuai dengan protap.
Penatalaksanaan sudah tepat yaitu dengan melakukan terminasi kehamilan, perawatan
intensif, pemberian MgSO4, antihipertensi, antibiotik dan terapi lainnya sehingga pasien
dapat tertangani dengan baik dan selamat.

19
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Diagnosis pada pasien ini sudah tepat sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yaitu seorang wanita G14P1A12 hamil 32 minggu dengan
impending eklampsia dan riwayat obstetri buruk.
2. Penatalaksanaan yang dilakukan sudah tepat yaitu dengan terapi aktif dan terminasi
kehamilan secepatnya, pemberian MgSO4, dan perawatan intensif terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi.
3. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas diperlukan antenatal care sedini
mungkin dan secara teratur di unit pelayanan kesehatan khususnya mengenai
pemeriksaan tentang kondisi jantung pasien, tekanan darah dan kadar hemoglobin
serta keadaan janin intrauterin.
4. Edukasi kepada pasien mengenai pengetahuan tentang penyakit, gejala, komplikasi
dan penatalaksanaannya.

20
BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada


kehamilan dan nifas. Preeklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan
darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan
ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah
suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20
minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi
trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan
metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang
luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan
yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara
klinis sebagai preeklampsia.
Hipertensi di dalam kehamilan terbagi atas preeklampsia ringan, preklampsia
berat, eklampsia, serta superimposed preeklampsia yaitu ibu hamil yang sebelum
kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut selama kehamilan, jadi
superimposed preeklampsia merupakan kelanjutan dari hipertensi kronik. Disebut
impending eklampsia atau imminent eklampsia jika pada kasus preeklampsia berat
dijumpai nyeri kepala hebat gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium, muntah,
kenaikan progresif tekanan darah. Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada wanita

21
hamil yang sebelumnya memiliki preeklampsia. Tujuan pengobatan preeklampsia
diantaranya adalah untuk mencegah berkembang menjadi eklampsia.2
Edema, dahulu edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda preeklampsia, tetapi
sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu
dipertimbangkan faktor resiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan
edema generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu. Primigravida yang
mempunyai kenaikan berat badan rendah < 0,34 kg/minggu, menurunkan resiko
hipertensi, tetapi meningkatkan resiko berat badan bayi rendah.1

22
B. Epidemiologi

WHO memperkirakan 287.000 kematian ibu terjadi di 2010, dengan variasi yang
luas di seluruh dunia. Berkaitan dengan berbagai faktor risiko (mulai dari 1 dari 3800 di
Negara-negara maju sampai dengan 1 dari 39 di sub-Sahara Afrika). Gangguan hipertensi
dalam kehamilan (HDK) terhitung hamper 18% dari seluruh kematian ibu di seluruh
dunia, dengan perkiraan 62000-77000 kematian pertahun. HDK terbagi dalam 4 kategori:
hipertensi kronis, hipertesnsis gestasional, preeklamsi/eklamsia, dan hipertensi kronis
superimposed preeklamsia. Untuk setiap wanita yang meninggal, diperkirakan bahwa 20
orang lain menderita morbiditas berat atau disability. Proporsi wanita yang masih hidup
akibat komplikasi maternal yang berat disebut (near-missed) telah diusulkan sebagai
23
ukuran yang lebih akurtat untuk evaluasi kualitas pelayanan kesehatan ibu dan tambahan
informasi diperoleh dari audit kematian ibu.
Di Indonesia kematian ibu terjadi setiap 1 jam. Berdasarkan survey demografi dan
kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di
kawasan ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228 per 100.000,
AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran
hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama
mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup. Trend mengenai AKI di Indonesia dari tahun
1991 hingga 2012 hasil SDKI dapat dilihat dari gambar berikut.
Angka Kematian Ibu di Indonesia
Tahun 1991-2012

Sumber: BPS SDKI 1991-2012


Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991
hingga 2007 mengalami penurunan dari 90 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Pemerintah sejak tahun 1990 telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI
dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan
perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan
persalinannya. Di Indonesia, safe motherhood initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran
program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai
sektor pemerintahan di samping sector kesehatan.
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu
adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk
mendekatkan akses pelayanan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000
kementrian kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk
mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi making pregnancy safer. Namun,

24
pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan yakni dari 228
menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada tahun 2012
kementrian kesehatan memunculkan program expanding maternal and neonatal survival
(EMAS) dalam rangka menutunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%.
Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan
neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah
total kematian ibu di Indonesia berasal dari prosvinsi tersebut.
Penyebab Kematian Ibu di Indonesia
Tahun 2010-2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014


Hipertensi dalam kehamilan menempati urutan pertama penyebab kematian ibu di
Jawa Barat (31%) menggantikan perdasarahan (30%) yang biasanya menempati urutan
teratas. Perlahan-lahan HDK menjadi penyebab utama kematian ibu sehingga hal ini perlu
menjadi prioritas utama kesehatan ibu dan bayi karena seharusnya HDK bisa terjaring
pada saat antenatal care.

25
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2014

C. Faktor Resiko 2
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil
berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko
lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia atau eklampsia pada ibu atau nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari
ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam
keluarga.
d. Diet
Tidak ada hubungan bermakna antara menu atau pola diet tertentu. Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian
juga lebih tinggi pada ibu hamil dengan obesitas atau overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok, insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama
hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh

26
lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang cukup selama
hamil mengurangi kemungkinan atau insidens hipertensi dalam kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik
lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus
mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia
jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body
Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index
(BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105
kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena
eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah
dislensia uterus.
j. Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Resiko terjadinya preeklamsia pada kehamilan kedua meningkat sampai 4 kali lipat
pada ibu hamil dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertama.
k. Wanita dengan gangguan fungsi organ 1
Resiko terjadinya preeklamsia juga meningkat pada ibu hamil dengan riwayat
diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah tinggi.

D. Patofisiologi
Teori terjadinya preeklamsi berkaitan erat dengan: 1) terpapar vili korialis untuk
pertama kalinya, 2) terpapar vili korialis dengan jumlah yang sangat berlimpah, 3)
mempunyai riwayat penyakit vaskuler, atau 4) mempunyai kecenderungan genetic untuk
menderita hipertensi dalam kehamilan. Dekker dan Sibai mengajukan 4 hipotesis tentang
etiologi preeklamsi, yaitu: 1) iskemia plasenta, peningkatan deportasi trofoblas sebagai
konsekuensi iskemik plasenta dapat berdampak pada disfungsi endotel, 2) hipotesis
maladaptasi imun, interaksi antara leukosit desidua dan invasi sel sitotrofoblas adalah
penting bagi invasi perkembangan trofoblas normal, 3) hipotesis genetik, perkembangan

27
preeklamsi-eklamsi berdasarkan pada gen resesif tunggal atau dominan dengan penetrasi
yang tidak lengkap, 4) hipotesis konflik genetik, genom ibu dan janin berjalan dalam
aturan yang berbeda pada perkembangannya. Keempat hipotesis tersebut tidak berdiri
sendiri-sendiri, namun secara simultan dapat saling mempengaruhi dalam pathogenesis
preeklamsi dan bermuara pada kerusakan endotel
Kerusakan struktur endotel dan fungsinya merupakan inti dalam patofisiologi
preeklamsi. Kerusakan fungsi barrier endotel akan menimbulkan edema, proteinuria, dan
penurunan tekanan osmotic koloid. Preeklamsi-eklamsi merupakan suatu penyakit
sistemik yang ditandai dengan adanya disfungsi endotel yang difus, vasospasme,
hyperlipidemia peningkatan stress oksidasi dengan defisiensi antioksidan, dan aktivasi
sistem koagulasi.
Hipertensi pada kehamilan menyebabkan hipoperfusi pada organ-organ penting
seperti ginjal dan plasenta. Adanya kerusakan endotel akan menimbulkan: 1)
meningkatkan produksi tromboksan yaitu suatu vasokonstriktor kuat, sebaliknya
kerusakan sel endotel justru menurunkan produksi prostasiklin yaitu suatu vasodilator
kuat. Kadar tromboksan yang lebih tinggi dibandingkan kadar prostasiklin akan
menimbulkan gejala hipertensi dalam kehamilan. 2) terjadi peningkatan kadar fibronektin
plasma total dan seluler. 3) menurunkan produksi endothelium derived relaxing factor
(EDRF). 4) produksi endotelin-1 akan meningkat yang merupakan vasokontriktor kuat. 5)
aktifasi trombosit yang menyebabkan terjadinya adesi dan agregrasi trombosit, serta
aktivasi factor-faktor pembekuan darah yang menyebabkan pembentukan fibrin. 6)
pelepasan zat-zat vasokontriktor yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Beberapa bukti menunjukan bahwa perubahan struktur dan fungsi endotelial
vaskuler maternal berupa perubahan reaktivitas vaskuler, aktivasi cascade koagulasi dan
kerusakan multisistim terjadi pada preeklamsi. Perubahan endothelial lebis sering
digambarkan sebagai disfungsi atau aktivasi (suatu fase perubahan diferensiasi sel
endothelial sebagai respon terhadap kerusakan subletal atau stimulasi sitokin) dibanding
kerusakan. Perubahan patologi pada sel endothelial kapiler glomerulus ginjal merupakan
gambaran yang selalu ada pada pasien preeklamsi. Sel-sel membesar, berisi tetesan
lemak, dan sering menonjol kedalam lumen kapiler. Perubahan ini reversible setelah
persalinan, bermakna dalam memperbaiki proses setelah factor yang mempengaruhi
dihilangkan.
Tahap-tahap kerusakan endotel: 1) terjadi terjadi peningkatan aktivitas trombosit
akibat paparan sel-sel darah dengan jaringan subendotel terutama agregrasi trombosit. 2)
28
meningkatnya produksi vasokontriktor seperti tromboksan dan endotelin. 3)
berkurangnya produksi vasodilator seperti prostasiklin dan nitrit oksida. 4)meningkatnya
respons vascular terhadap zat vasokontriktor .
Vasokontriksi yang menyeluruh merangsang pengeluaran renin dan pengaktifan
renin-aldosteron-angiotensin, sehingga menambah berat vasokontriksi, hipertensi, retensi
natrium, proteinuria, dan edema. Terpaparnya trombosit dengan jaringan kolagen vascular
menimbulkan menimbulkan trombosis yang dapat menyumbat aliran darah ke perifer, dan
kemudian mengakibatkan infark. Keadaan lebih lanjut dapat terjadi disseminated
intravascular coagulation (DIC) dengan penekan sistem fibrinolitik.
Pada preeklamsi keseimbangan produksi zat vasokontriksi dan vasodilatasi oleh
sel endotel terganggu, factor vasokontriktor lebih dominan dan menyebabkan vasospasme
pada berbagai organ. Sebagai bukti adanya disfungsi endotel, terdapat penanda biokimia
yang merupakan produk endotel yang dapat diperiksa kadarnya, yaitu vascular cell
adhesion molecule (VCAM-1), intracellular adhesion molecule (ICAM-1), cadherin,
integrin, immunoglobulin selection, antitrombin III, factor Von Willebrand, fibronektin
plasma, tromboksan, angiotensin II, angiotensin converting enzyme (ACE),
mikroalbuminuria, dan salah satu beberpa growth factor yang meningkat yaitu VEGF.
Penelitian beberapa tahun terkahir telah menerangkan peranan penting VEGF pada
regulasi angiotenesis normal dan abnormal. VEGF merangsang angiotenesis pada model
in vitro, tridimensional, menginduksi sel endotel mikrovaskular untuk invasi gel kolagen
dan membentuk struktur mirip kapiler.

E. Deteksi Dini dan Metode Pencegahan


Tanda-tanda awal preeklamsi dapat diketahui dalam pemeriksaan rutin kehamilan
minggu ke 20. Banyak ibu hami yang mengalami kenaikan tekanan darah ringan namun
bukan preeklamsi, yang dikenal dengan gestasional high blood pressure. Kondisi tersebut
juga dapat diketahui setelah kehamilan minggu ke-20. Pada pemeriksaan tersebut, tekanan
darah ibu dicek secara rutin untuk mengetahui gejala kenaikan tekanan darah serta
pemeriksaan urine protein. Hasil pemeriksaan urin protein inilah yang membedakan
kondisi preeklamsi dan gestasional high blood pressure. Tekanan darah tinggi saat
kehamilan dianggap tinggi apabila mencapai sekitar 140/90 mmHg. Pemeriksaan protein
urin dapat dilakukan dengan menggunakan dipstick .

F. Diagnosis
29
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu;
1) Preeklamsi ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan
riwayat tekanan darah normal.
• Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg/24 jam atau kualitatif +1 pada urin
2) Preeklamsi berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
• Proteinuria ≥ 3 g / 24 jam atau kualitatif ≥+2
• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam atau kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam
• Adanya gangguan serebral (gangguan penglihatan dan nyeri kepala)
• Edema paru
• Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3)
• Gangguan fungsi hati (SGOT/SGPT meningkat ≥ 2 kali nilai normal)
• Pertumbuhan janin terhambat
• Sindrom HELLP
Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) Preeklampsia berat tanpa impending
eklampsia, dan (b) Preeklampsia berat dengan impending eklampsia. Disebut impending
eklampsia bila preeklampsia berat disertai gejala – gejala subjektif berupa nyeri kepala
hebat, gangguan visus, muntah – muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif
tekanan darah.1,2,3

G. Penatalaksanaan Preeklampsia
Penatalaksanaan ibu dengan preeklamsi bertujuan mengurangi komplikasi
kehamilan, menghindari prematuritas dan memaksimalkan keselamatan ibu dan bayi.
Memperlambat tindakan pada kehamilan dapat mengarah pada perburukan preeklamsi
dan berakhir pada insufiensi plasenta dan disfungsi organ ibu. Kondisi tersebut
berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas ibu dan janin. Disfungsi organ
maternal yang berhubungan dengan preeklamsi dapat berupa eklampsi dan haemolysis,
elevated liver enzymes dan low platelet count (HELLP).

30
Ibu hamil dengan preeklamsi tidak berat disarankan untuk bed rest, diberikan
asupan suplemen kalsium serta aspirin dosis rendah. Terminasi kehamlan baru dilakukan
apabila usia kehamilan > 37 minggu.
Preeklamsi berat dibagi kembali menjadi 3 kelompok berdasarkan usia kehamilan.
Kelompok pertama apabila diketahui ibu hamil dengan preeklamsi berat pada usia
kehamilan <24 minggu, maka sebaikna dilakukn terminasi. Kelompok kedua pada
kehamilan usia 24-34 minggu, apabila ibu dengan PEB disertai dengan syok, gawat janin,
edema paru, trombosit < 100.000/mm 3 , gangguan fungsi hati berat, gangguan ginjal akut,
koagulati, solusi plasenta dan eklamsimaka ditangani dengan MgSO4, serta induksi. Jika
tidak diserati kondisi diatas diberikan MgSO4, serta dilakukan monitoring janin setiap
hari, pengendalian tekanan darah serta pemberian kortikosteroid. Kelompok terakhir
adalah ibu dengan preeklamsi berat dengan usia kehamilan > 34 minggu ditangani dengan
pemberian MgSO4, dan terminasi kehamilan bila disertai perburukan dan komplikasi.
Bila tekanan darah dapat dikendalikan dan kondisinya stabil (tidak naik turun
secara mendadak)serta kondisi janin dalam batas normal, dapat dilanjutkan perawatan
dengan monitoring ketat. Pemberian MgSO4 hanya untuk perawatan 1 sampai 2 hari
selanjutnya di hentikan bila ada indikasi (akan terminasi atau tanda-tanda ancaman
eklamsi). Bila dalam perawatan terjadi perburukan (tekanan darah naik kembali atau
timbul komplikasi) kehamilan segera diakhiri. Target perawatn tetap diusahakan sampai
aterm dengan catatan tekanan darah menurun dan stabil serta tidak ada penyulit dan
komplikasi.
Ibu dengan kondisi preeklamsi berat segera ditangani dengan membawa ke rumah
sakit untuk monitoring ibu dan janin selama 24 jam serta pemberian MgSO 4. Asupan
antihipertensi diberikan apabila tekanan sistolik >160 mmHg dan diastolic > 110 atau
MAP > 125 mmHg jika usia kehamilan lebih dari 34 minggu disertai dengan keadaan ibu
dan janin kurang baikseta pecah ketuban, maka segera diberikan MgSO4 dan inisiasi
persalinan. Apbila tidak terdapat gejala diatas namun mengalami pertumbuhan janin
terhambat akut, maka diberikan steroid, MgSO4, serta inisiasi persalinan.

Medika mentosa
 Infus larutan ringer laktat
 Pemberian obat:
1. MgSO4

31
Cara pemberian:
A. Pemberian melalui intravena secara kontinyu (infus dengan infusion pump)
a. Dosis awal: 4 gram MgSO4 (10 cc 40%) dilarutkan kedalam 100 cc
ringer laktat, diberikan selama 15-30 menit
b. Dosis pemeliharaan: 6 gram dalam 500 cc cairan RL, diberikan dalam
kecepatan 1-2 gram/jam (20-30 tpm)
B. Syarat pemberian MgSO4
 Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% (1 jam dalam
10 cc) diberikan i.v dalam waktu 3-5 menit
 Reflex patella positif kuat
 Frekuensi pernafasan > 16 kali permenit
 Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgbb/jam)
2. Antihipertensi
Untuk tekanan darah tinggi yang berat pada kehamilan yaitu ( >160mmHg
sistolik atau >110mmHg diastolik)

Rekomendasi :
1. Tekanan darah harus diturunkan <160mmHg sistolik atau <110mmHg
diastolic)
2.Terapi hipertensi initial Nifedipine, HYDRALAZINN parenteral atau
Labetol parenteral
3. Obat antihipertensi alternative termasuk infus nitrogliserin, metildopa oral,
labetol oral, clonidine oral, atau hanya setelah post partum dapat diberikan
captopril.
4. Hipertensi refrakter dapat diobati dengan natrium nitro prusside
5. Nifedipine dan MgSO4 dapat digunakan bersama-sama
6. MgSO4 tidak dianjurkan sebagai agen antihipertensi tunggal
7. Pemantauan FHR berkelanjutan disarankan sampai BP stabil.

Untuk hipertensi yang tidak berat dan tanpa penyulit (TD 140-159/90-109mmHg)
Rekomendasi:
1. Obat antihipertensi yang dapat menjaga tekanan darah sistolik antara 130-
155mmHg dan diastolic antara 80-105mmHg
32
2.Pilihan antihipertensi untuk terapi inisial harus dipikirkan berdasarkan dari
karakteristik pasien, kontraindikasi dari obat tersebut dan pilihan dari pasien
dan dokter.
3.Terapi awal pada kehamilan dapat menggunakan 1 dari berbagai
antihipertensi yang tersedia. Metildopa Labetol dan beta bloker lainnya seperti
Acebutol, metroprolol, dan propranolol. Dan kalsium chanel beta bloker
seperti nifedipine
4.Angiotensin converting enzim atau inhibitor angiotensin reseptor bloker atau
ARB sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan
5. Atenolol dan prazosin tidak direkomendasi sebelum proses persalinan

Hipertensi yang tidak berat (TD 140-159/90-109mmHg), dengan penyulit


Rekomendasi:
1. Wanita dengan penyulit, terapi obat antihipertensi harus digunakan untuk
menjaga agar tekanan darah sistolik <140mmhg dan diastolic <90mmhg
2.Terapi inisial dalam kehamilan bisa pada 1 dari variasi agen antihipertensi
seperti wanita tanpa penyulit
3.Captopril, NaLapril atau puinapril mungkin dapat digunakan pada post
partum meskipun dalam masa menyusui.

Pilihan Persalinan
Rekomendasi:
1. Wanita dengan HDK harus dipertimbangkan persalinan pervaginam, section
caesaria dapat dilakukan bila didapatkan indikasi obstetric
2. Jika telah direncanakan untuk partus pervaginam namun didapati serviks
yang belum matang, maka dilakukan pematangan serviks untuk meningkatkan
keberhasilan partus pervaginam.
3. Wanita dengan HDK preterm terdapat ancaman keselamatan pada bayi,
maka section caesaria dapat dijadikan pilihan.
4. Terapi antihipertensi harus dilanjutkan pada saat proses persalinan.
5. Terdapat menejemen aktif kala 3 persalinan dengan oksitosin 5 IU IV dan
10 IU IM terutama pada keadaan trombositopenia dan koagulopati

33
6. Ergometrinmaleat sebaiknya tidak digunakan pada kasus HDK, terutama
preeclampsia dan hipertensi gestasional. Penggunaan oksitosin dapat
dipertimbangkan.
Waktu Persalinan
Rekomendasi: Persalinan adalah satu-satunya tatalaksana untuk mengatasi preeklamsi dan
wanita dengan hipertensi gestasional atau wanita dengan hipertensi kronis yang diperberat
preeklamsi.

Wanita dengan preklamsi


1. konsultasi dengan SpOG wajib pada wanita dengan preeklamsi
2. semua wanita dengan PEB harus segera diakhiri kehamilannya (dapat dilakukan
pervaginam/seksio sasearea), dengan tidak memandang usia kehamilan
3. untuk wanita dengan preeklamsi yang tidak berat pada usia kehamilan < 24
minggu, konsuling harus membahas tentang kemungkinan pengakhiran kehamilan
dalam waktu bebrapa hari kedepan
4. untuk wanita tidak dengan PEB pada usia kehamilan 24-36 minggu tatalaksana
ekspetatif harus dipertimbangkan dan dapat dilakukan pada tempat yang
memnungkinkan tatalaksana baik preterm yang sangat kecil.
5. untuk wanita dengan tekana darah yang tidak berat dengan usia kehamilan 34-
36 minggu tidak didapatkan data yang cukup untuk membuat sebuah rekomendasi
tentang keuntungan atau risiko dari management ekspetatif
6. untuk wanita dengan preeklamsi dengan usia kehamilan > 37 minggu persalinan
segera sangat dianjurkan
7. untuk wanita yang bukan PEB yang dikomplikasikan dengan HELLP syndrome
dengan usia kehamilan 24 -34 minggu pertimbangan untuk menunda persalinan,
cukup memberikan kortikosteroid antenatal untuk percepatan pematangan paru
bayi jika didapatkan perbaikan sementara dari hasil laboratorium ibu
8. semua wanita dengan HELPP syndrome pada usia kehamilan >35 minggu
kehamilannya harus segera diakhiri

34
BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya


tekanan darah tinggi disertai proteinuria dan/atau edema pada usia kehamilan 20 minggu atau
lebih. Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga
penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories. Beberapa faktor yang berkaitan
dengan terjadinya preeklampsia adalah faktor trofoblast, faktor imunologik, faktor gizi,
faktor genetik, faktor hormonal, peran prostasiklin dan tromboksan. Kerusakan endotel
merupakan inti dari patofisiologi preeklamsia ini.
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda atau gejala sebagai
berikut, tekanan darah ≥ 160 / 110 mmHg, proteinuria > 5 mg/24 jam atau kualitatif +3 atau
+4, Oliguria ≤ 500 ml/24 jam, peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus, nyeri kepala
frontal atau gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, edema paru atau sianosis, pertumbuhan
janin intra uterin yang terhambat (IUFGR), HELLP Syndrom (Hemolysis, Elevated, Liver
enzyme, Low Platelet Counts) dan Koma.
Ibu hamil diharapkan dapat memerisakan kehamilan secara teratur untuk
kemungkinan terjadi preeklamsi. Ibu hamil dengan risiko tinggi harus segera dirujuk ke pusat
perawatan. Kewaspadaan terhadap tanda-tanda dan gejala sangatlah penting pada setiap
aspek dari pelayanan ibu. Segera setelah terlihat kemungkinan terjadi preeklamsi, rujukan
pemeriksaan lanjutan dan monitor dapat membantu ibu hamil mendapatkan perawatan yang
seharusnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Gibbs, Ronald S.et al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition chapter : 16 -
Hypertensive Disorders of Pregnancy. 2008. Lippincott Williams & Wilkins : USA
2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy. In: William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill,
2005 : 761-808
3. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010: 542-50
4. Rahajuningsih D, Wibowo N, Raranta H. Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta:
Universitas Indonesia. 2005.
5. Cunningham FG, Gant F.G, et all. Preeclampsia. In: William Manual of Obstetrics. 21 st
Ed. McGraw Hill 2003:339-47.

36

Anda mungkin juga menyukai