Anda di halaman 1dari 80

2011

KIMIA KOORDINASI

ABDUL MAJID
PENDIDIKAN KIMIA
FKIP UNMUL
SAMARINDA

KIMIA KOORDINASI Page 1


DAFTAR ISI

JUDUL hal
PRAKATA …………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1


1.1 Teori Koordinasi Warner ……………………………….. 4
1.2 Aturan Bilangan Atom Efektif ………………………… 6

BAB II KLASIFIKASI, TATA NAMA DAN STEREOKIMIA


SENYAWA KOMPLEKS …………………………………………. 9
2.1 Klasifikasi Senyawa Komleks ……………………….. 9
a. Jenis Ligan ……………………………………………….. 9
b. Jenis Logam …..…………………………………………. 15
2.2 Tata Nama Senyawa Kompleks ….…………………. 17
2.3 Stereokimia Senyawa Kompleks …………………. 20

BAB III TEORI IKATAN VALENSI (TIV) ……………………………….. 26


3.1 Prinsip Elektronetralitas dan Ikatan Balik …… 32
3.2 Keunggulan dan Kelemahan Teori Ikatan
Valensi ………………………………………………………… 35

BAB IV TEORI MEDAN KRISTAL (TMK) ……………………………… 38


4.1 Pengukuran 10 Dq ……………………………………….. 40
4.2 Energi Stabilitasasi Medan Kristal ………………… 41
4.3 Medan Kristal Tetrahedral …………………………….. 44
4.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi harga 10
Dq ………………………………………………………………… 46
4.5 Distorsi Tetragonal dari Oktahedral ……………… 50
4.6 Kompleks Bujursangkar ………………………………… 60

BAB V TEORI ORBITAL MOLEKUL (TOM) …………………………. 69


5.1 Teori Ikatan π dan TOM kompleks Logam ……… 71
5.2 Pengukuran Pengaruh Ikatan π ……………………. 75

KIMIA KOORDINASI Page 2


BAB I PENDAHULUAN

Banyak dijumpai senyawa yang tersusun atas satu atom pusat,


biasanya logam atau kelompok atom seperti VO, VO2 dan TiO serta sejumlah
anion atau molekul netral yang mengelilingi atom atau kelompok atom
pusat. Senyawa semacam ini dikenal sebagai senyawa koordinasi atau
senyawa kompleks. Anion atau molekul yang mengelilingi atom pusat atau
kelompok atom ini disebut ligan. Jika ditinjau dari system asam-basa Lewis,
atom pusat atau kelompok atom dalam senyawa koordinasi berperan
sebagai asam Lewis, sedangkan ligannya berfungsi sebagai basa Lewis.
Cabang Ilmu Kimia yang mempelajari tentang senyawa koordinasi
disebut kimia Koordinasi. Sifat-sifat senyawa koordinasi dapat diprediksi dari
sifat ion pusatnya, Mn+, dan ligannya, L1, L2, ……dst. Jumlah muatan kompleks
ditentukan dari penjumlahan muatan ion pusat dan ligan yang membentuk
kompleks. Hal yang sangat spesifik dari senyawa ini adalah adanya spesies
bagian dari senyawa itu yang tidak berubah baik dalam padatan maupun
dalam larutan walaupun ada sedikit disosiasi. Spesies tersebut dapat berupa
non ionik, kation atau anion tergantung pada muatan penyusunnya. Jika
be3rmuatan maka spesies itu disebut ion kompleks atau lebih sderhana
disebut spesies kompleks. Kompleks ini harus dibedakan dengan garam
rangkap. Sebagai contoh; dua senyawa 2KCl.HgCl2 (1) dan 2KCl.HgCl2 (2).
Nampaknya kedua senyawa ini mirip, tetapi kenyataannya memiliki sifat
yang berbeda. Senyawa (1) dalam larutan menghasilkan tiga ion tiap
molekul, sedangkan senyawa (2) menghasilkan tujuh ion tiap molekul.
Berdasarkan perbedaan sifat ini, senyawa pertama dinamakan senyawa
kompleks yang secara umum dituliskan K2[HgCl4] dan senyawa kedua
dinamakan garam rangkap dan tetap dituliskan 2KCl.HgCl2. Tetapi terkadang

KIMIA KOORDINASI Page 3


tidak mungkin dapat dibedakan kedua pengertian tersebut. Sebagai contoh
garaqm ion Co2+. Data X-ray difraksi menunjukkan bahwa empat ion klorida
menempel kuat secara tetrahedral pada ion kobalt sehingga rumusnya
ditulis K2[Co(Cl)4] tetapi setelah dilarutkan dalam air senyawa itu bereaksi
cepat dengan air menhasilkan warna pink.
K2[Co(Cl)4] + 6H2O 2K2+ + Co(H2O)62+ + 4Cl-
Sehingga kelakuannya sama dengan kelakuaqn garam rangkap
Penjelasan dasar senyawa koordinasi telah dikemukakan oleh seorang
ahli kimia dari Denmark S.M. Jorgenson (1837-1914) dan seorang dari Swiss
Alberd Werner (1866—1919). Mereka telah mensintesis ribuan senyawa
koordinasi dengan cara mencampurkan antara lain larutan ion pusat jenuh
dengan larutan ligan jenuh. Dalam campuran itu akan terbentuk senyawa
koordinasi. Werner telah mengemukakan teori yang menjelaskan tentang
senyawa koordinasi dan mengkorelasikan dengan hasil pengamatan.
Senyawa-senyawa koordinasi yang dapat dijelaskan menggunakan teori
werner dikenal dengan kompleks Werner. Werner mengembangkan
pemikiran dari interaksi antara kation dan anion untuk menjelaskan aktivitas
kimia, konduktivitas listrik dan isomer dalam senyawa. Walaupun Werner
tidak memiliki pembuktian tentang teori yang dia kemukakan tetapi teorinya
lebih baik dari teori yang dikemukakan Jorgensen yang memandang bahwa
senyawa koordinasi dibentuk oleh pengikatan ligan.

1.1 Teori Koordinasi Werner

Teori Koordinasi Werner sangat sederhana. Teori ini dapat dinyatakan


dalam bentuk postulat sebagai berikut;
1. Sebuah ion memiliki dua jenis valensi, yaitu valensi primer (valensi
dapat terionisasi) dan valensi sekunder (valensi tidak dapat terionisasi).

KIMIA KOORDINASI Page 4


2. Jumlah valensi sekunder suatu ion adalah tertentu, misalnya;

ion Pt4+, Co3+, Ti3+, Fe3+ bervalensi sekunder 6 (enam)


ion Pd2+, Pt2+, Cu2+, Ni2+ bervalensi 4 (empat)
ion Cu+, Ag+, Au+, Hg+ bervalensi 2 (dua)
3. Valensi sekunder harus dipenuhi oleh anion atau molekul netral yang
memiliki pasangan elektron bebas (seperti halide, sianida, ammonia,
amin dan air).

4. Dalam sebuah senyawa, valensi sekunder harus dipenuhi secara


sempurna. Setelah valensi sekunder terpenuhi kemudian valensi primer
baru dipenuhi oleh anion jika membentuk kompleks kation dan begitu
seterusnya.

5. Valensi sekunder memiliki ruangan dan bentuk geometri tertentu.


Valensi sekunder 4 dari ion nikel berbentuk tetrahedral, dari ion
tembaga brbentuk bujursangkar dan valensi sekunder 6 dari kobalt atau
kromium berbentuk oktahedral.

Dengan menggunakan postulat ini, Werner telah dapat menjelaskan


perbedaan sifat dari kompleks kobalt (III) klorida dan ammonia yang
direaksikan larutan AgNO3 (tabel 1.1). kobal (III) dipandang memiliki valensi
sekunder 6.
Tabel 1.1 Sifat-sifat kompleks CoCl3.xNH3
Mol Daya
Kompleks Nama Warna Rumus Kompleks
AgCl hantar
CoCl3.6NH3 Luteo Kuning 3 431,6 [Co(NH3)6]3+.3Cl-
CoCl3.5NH3 Purpureo Purple 2 261,3 [Co(NH3)5Cl ]2+.2Cl-
CoCl3.4NH3 Praseo Hijau 1 - [Co(NH3)4 Cl2]+.Cl-
CoCl3.3NH3 Violeo violet 0 - [Co(NH3)3 Cl3]

KIMIA KOORDINASI Page 5


Werner menggambarkan struktur kompleks diatas sebagai berikut;
NH3 Cl Cl
NH3 NH3
NH3 NH3
Cl Co Cl Co Cl
NH3 NH3
NH3 NH3
NH3 NH3
Cl
CoCl3.6NH3 CoCl3.5NH3

Cl
NH3 NH3 Keterangan;
: valensi primer
Co Cl : valensi sekunder

NH3 NH3
NH3

CoCl3.4NH3

Gambar 1.1 Struktur kompleks CoCl3.xNH3 menurut Werner

Gambar 1.2 Beberapa unsurlogam transisi

KIMIA KOORDINASI Page 6


1.2 Aturan Bilangan Atom Efektif

Orang pertama yang memikirkan tentang ikatan dalam senyawa


kompleks adalah Sidgwick, yang mengembangkan teori oktet G.N. Lewis
pada senyawa koordinasi. Ligan dipandang sebagai basa Lewis yang
memberi satu atau lebih pasangan elektron kepada ion pusat yang berperan
sebagai asam Lewis. Menurut Sidgwick, kompleks baik dalam bentuk
molekul atau ion, akan stabil apabila memiliki jumlah elektron sama dengan
yang dimiliki oleh salah satu unsure gas mulia. Hal dikarenakan konfigurasi
gas mulia dianggap paling stabil. Total jumlah elektron dalam atom atau ion
logam dengan elektron yang diterima dari ligan dinamakan bilangan atom
efektif effective atomic number, (EAN). Apabila bilangan itu sama dengan
jumlah elektron yang dimiliki oleh salah satu gas mulia, yaitu 36 (Kr), 54 (Xe)
atau 86 (Rn), maka dikatakan bahwa kompleks itu mengikuti aturan EAN.
Beberapa contoh kompleks stabil yang mengikuti aturan EAN diberikan
dalam table 1.2. Teori ini bermanfaat untuk senyawa organologam karena
haqmpir semua organologaqm mengikuti aturan ini.
Tabel 1.2 Beberapa kompleks mengikuti aturan EAN
Co = 27 e Ag = 47 e Pt = 78 e
Co3+ = 24 e Ag+ = 46 e Pt4+ = 74 e
6NO2- = 12 e 4NH3 = 8e 6Cl- = 12 e
[Co(NO2)6]3-= 36 e [Ag(NH3)4]+ = 54 e [Pt(Cl6)]2- = 86 e
Kripton Xenon Radon

Akan tetapi, meskipun kompleks [Ag(NH3)4]+ merupakan kompleks


stabil yang mengikuti aturan EAN, ada kompleks perak stabil yang tidak
mengikuti aturan EAN, yaitu [Ag(NH3)2]+ yang mempunyai harga EAN 50
elektron. Kemudian banyak bermunculan kompleks stabil yang tidak
mengikuti atuaran EAN seperti pada table 1.3.

KIMIA KOORDINASI Page 7


Tabel 1.3 Beberapqa kompleks tidak mengikuti aturan EAN
Cr = 24 e Ni = 28 e Co = 27 e
Cr3+ = 21 e Ni2+ = 26 e Co2+ = 25 e
6NH3 = 12 e 6NH3 = 12 e 4Cl- = 8e
[Cr(NH3)6]3- = 33 e [Ni(NH3)6]2+= 38 e [Co(Cl4)]2- = 33 e

Karena banyaknya perkecualian mengakibatkan teori aturan bilangan


atom efektif menjadi kurang berkembang dan dirasa tidak ada manfaatnya.
Selain itu teori ini juga tidak menerangkan sesuatu secara logis sekalipun
mengacu pada stabilitas konfigurasi gas mulia. Harga EAN dari beberapa
kompleks secara lebih lengkap dapat dilihat pada table 1.4 berikut.
Tabel 1.4 Harga EAN dari beberapa kompleks
Elektron
Ion logam Elektron yang
No Kompleks logam ion EAN
dengan Z didonorkan ligan
logam
1. [Co(NO3)4]3- Co (27) 24 6x2 = 12 24 + 12 = 36
2. [Cd(NH3)4]2+ Cd (48) 46 4x2 = 8 46 + 8 = 54
3. [PtCl6]2- Pt (78) 74 6x2 = 12 74 + 12 = 86
4. [Cr(CO)6] Cr (24) 24 6x2 = 12 24 + 12 = 36
5. [Fe(CO)5] Fe (26) 26 5x2 = 10 26 + 10 = 36
6. [Ni(CO)4] Ni (28) 28 4x2 = 8 28 + 8 = 36
7. [Mn(CO)6]+ Mn (25) 24 6x2 = 12 24 + 12 = 36
8. [Co(CO)Cl] Co (27) 26 5x2 = 10 26 + 10 = 36
9. [Co(CO)3(NO)] Co (27) 27 3x2 +1x3 = 9 27 + 9 = 36
10. [Fe(CO)2(NO) 2] Fe (26) 26 2x2+2x3 = 10 26 + 10 = 36
11. [Mn(CO)(NO)3] Mn (25) 25 1x2+3x3 = 11 25 + 11 = 36
12. [Mn(CO)5(C2H4)]+ Mn (25) 24 2x5+1x2 = 12 24 + 12 = 36
13. [Cr(C6H6)2] Cr (24) 24 2x6 = 12 24 + 12 = 36
14. [Fe(C5H5)2] Fe (26) 26 2x5 = 10 26 + 10 = 36
15. [Cr(NH3)6]3+ Cr (24) 21 6x2 = 12 21 + 12 = 33
16. [Mn(H2O) 6]+2 Mn (25) 23 6x2 = 12 23 + 12 = 35
17. [FeCl4]- Fe (26) 23 4x2 = 8 23 + 8 = 31
18. [Fe(CN)6]3- Fe (26) 23 6x2 = 12 23 + 12 = 35
19. [CoCl4]2- Co (27) 25 4x2 = 8 25 + 8 = 33
20. [Cu(NH3)4]+2 Cu (29) 27 4x2 = 8 27 + 8 = 35
21. [CuCl2]- Cu (29) 28 2x2 = 4 28 + 4 = 32
22. [AgX2]- Ag (47) 46 2x2 = 4 46 + 4 = 50
23. [Ni(C5H5)2] Ni (28) 28 2x5 = 10 28 + 10 = 38
Elektron yang didonorkan oleh NO = 3, C5H5 = 5, C6H8=6

KIMIA KOORDINASI Page 8


BAB II KLASIFIKASI, TATA NAMA DAN STEREOKIMIA SENYAWA
KOMPLEKS

2.1 Klasifikasi Senyawa Kompleks

1. Jenis Ligan

Ditinjau dari teori asam-basa, ligan dalam senyawa koordinasi


merupakan basa Lewis, sedangkan ion logam pusat merupakan asam Lewis.
Ligan yang bergabung dengan ion logam dapat dikelompokkan seba gai
berikut;
a. Ligan monodentat

Ligan yang hanya mampu memberikan satu pasang elektron kepada satu
ion logam pusat dalam senyawa koordinasi disebut ligan monodentat.
Contoh; semua ion halide, ammonia, air dan PR3.
b. Ligan bidentat

Ligan yang memiliki dua atom donor sehingga mampu menyumbangkan


dua pasang elektron disebut ligan bidental. Hasil pembentukan ikatan
koordinasi, ligan bidentat akan menghasilkan struktur cincin dengan ion
logamnya (sering disebut cincin kelat). Ligan bidentat dapat berupa
molekul netral seperti diamin, difosfin, disulfit atau anion seperti oksalat,
karboksilat, nitrit, ditiokarbamat atau ion glisin.

H2N-CH2CH2-NH2 H2P-CH2CH2-PH2 CH3O-CH2CH2-


OCH3
Etilendiamin etilendifosfin dimetilglioksima
(en) (difos) (glime)

c. Ligan Polidentat

Ligan ini meliputi ligan-ligan yang memiliki lebih dari dua atom donor.
Ligan ini dapat disebut tri, tetra, penta atau heksa dentat tergantung
pada jumlah atom donor yang ada. (tabel 2.1)

KIMIA KOORDINASI Page 9


Tabel 2.1 Jenis-jenis ligan
No Nama Rumus dan atau struktur
1. Ligan Monodentat
Ligan - CO, C2H4, RCN, PH3, PCl3, R2S, AsR3,
AsCl3, N2, NO
Ligan donor - NH3, NR3, N2H4, R3O, ROH, R3PO4,
R3AsO, R2SO, H2O, amin, piridin (py).
2. Ligan bidentat
Carbonato, nitrato, sulfato O O O
O
O=C O=N
S
Perokso O O
O O O
Etilendiamin (en) O H2N-CH2CH2-NH2
Etilendifosfin (difos) H2P-CH2CH2-PH2
Dimetil glioksima (glime) CH3O-CH2CH2-OCH3
1,2-propandiamin (pn) H2N-CH(CH3)-CH2-NH2
Bipiridil (bipy)

N N
Asetilasetonato (acac) [ CH3 C CH C CH3 ]-
O O
8-hidroksikuinolinato
N
O N

o-fenilin-bis-dimetilarsen Me Me
(diars) As

As
Me Me
N,N-dietilditiocarbamato (dtc) S
[ (C2H5)2N C ]
S
lisinato (gly) NH2 CH2 COO-

KIMIA KOORDINASI Page 10


3. Ligan Tridentat

Dietilindiamin (dien) NH2- CH2CH2-NH- CH2CH2-NH2

Iminodiasetato -OOC- CH2CH2-NH- CH2CH2-COO-

Terpiridil (terpy)
N

N N

4. Ligan tetradentat

Ligan linier terbuka H2N- CH2CH2-NH-CH2


Trietilentetraamin (trien) H2N- CH2CH2-NH-CH2

Ligan tripod CH2-COO-


N CH2-COO-
nitrilotriasetato (nta) CH2-COO-
Tris(dimetilamino)amin N (CH2-CH2-N- (CH3)2)3

Tris(difenilfosfino) amin N (CH2-CH2-PPh2)3


(Senyawa As dan F serupa)
5. Ligan Siklis
Perpirin
N N

N N

Ftalosianin

N N

N N

KIMIA KOORDINASI Page 11


6. Ligan pentadentat

Etilendiamintriasetato CH2-COO-
-
OOC-CH2- NH-CH2 -CH2-N
CH2-COO-
Tetraetilenpentamin H2N-CH2CH2-NH-CH2CH2-NH
H2N-CH2CH2-NH-CH2CH2
7. Ligan Heksadentat
-
Etilendiamintetraasetato OOC-CH2 CH2-COO-
(edta)
N-CH2CH2-N
-
OOC-CH2 CH2-COO-

Ligan polidentat tidak selalu menggunakan semua atom donornya untuk


melakukan ikatan koordinasi. Ion sulfat atau nitrat mungkin dapat
sebagai mono atau bidentat bergantung pada jenis kompleks yang akan
terbentuk. EDTA sebagai heksadentat mungkin hanya menggunakan
empat atau lima atom donornya sehingga merupakan tera atau
pentadentat bergantung pada ukuran dan stereokimia kompleks.
Sebaliknya, OH- atau NH3 yang dikatakan sebagai monodentat mungkin
dapat berfungsi sebagai bidentat untuk membentuk jembatan.

KIMIA KOORDINASI Page 12


Gambar 2.1 Orbital molekul .

Gambar 2.2 Orbital molekul π.

KIMIA KOORDINASI Page 13


Berdasarkan pada jenis ikatan koordinasi yang terbentuk, ligan dapat
dikelompokkan sebagai berikut;
1. Ligan yang tidak mempunyai elektron sesuai untuk ikatan π dan orbital
kosong sehingga ikatan yang terbentuk hanya ikatan π, seperti H-, NH3,
SO32- atau RNH2.

2. Ligan yang memiliki dua atau tiga pasang elektron bebas yang selain
membentuk ikatan π, juga dapat membentuk ikatan π dengan ion logam,
seperti; N3-, O2-, F-, Cl-, Br-, I-, OH-, S2-, NH2-, H2O, R2S, R2O dan NH2.

3. Ligan yang memiliki orbital π-antiikatan kosong dengan tingkatan energy


rendah yang dapat menerima elektron yang orientasinya sesuai dari
logam, seperti; CO, R3P, R3As, Br-, I-, CN-, Py dan acac.

4. Ligan yang tidak ada pasangan elektron bebasnya, tetapi memiliki


elektron ikatan-π, seperti alkena, alkuna, benzene dan anion
siklopentadienil.

5. Ligan yang dapat membentuk dua ikatan π dengan dua atom logam
terpisah dan kemudian membentuk jembatan. Sebagai contoh; OH-, Cl-, F-
, NH2-, CO, SO42- dan O2-.

Jenis-jenis Atom Ligan


Atom-atom yang secara langsung kontak dengan ion logam dalam
kompleks, selain logam-logam itu sendiri yang membentuk M-M, adalah
non-logam dan metalloid dari golongan IV, V, VI dan VII pada tabel
periodik unsur.
Berdasarkan pembentukan kompleks dengan atom yangt berbeda,
Pearson telah mengelompokkan ligan dan juga logam kedalam atom
keras (hard) dan lunak (soft). Ion logam dengan orbital d hampir kosong
atau terisi penuh elektron tidak dapat digunakan untuk pembentukan

KIMIA KOORDINASI Page 14


ikatan π (logam alkali, alkali tanah, Al, Ga, Ir, Sn, Pb, Ti, Zn, Mg, Y, Sc, La,
V, dst) disebut asam keras atau logam kelas (a), dan ligan yang
membentuk kompleks secara kuat dengan logam-logam itu disebut basa
keras atau basa kelas (a). Sebaliknya logam-logam dengan orbital d-nya
hampir penuh elektron yang dapat membentuk ikatan π dengan ligan
yang dapat menerima elektron orbital itu dalam orbital kosong yang
sesuai disebut logam lunak atau asam kelas (b), sedangkan ligannya
disebut ligan atau basa lunak atau basa kelas (b). Sebagai contoh; Cu(I),
Hg(II), Pd(II), Pt(II), PR3 dst.
Tabel 2.2 Macam-macam atom ligan
Golongan
IV V VI VII
C N O F
P S Cl
As Se Br
Sn Sb Te I

2. Jenis Logam
Selain pengelompokan ion logam kedalam kelas (a) dan (b),
pengelompokan lebih bermanfaat dapat dilakukan berdasarkan konfigurasi
elektronnnya. Ada empat jenis logam berdasarkan konfigurasinya, yaitu;
a. Ion dengan konfigurasi sama dengan gas mulia
Ion ini membentuk ikatan mulia dari bersifat ionik sampai kovalen
sesuai dengan kenaikan muatan ionnya. Sifat ikatan ionik turun dengan
urutan;
Na+ > Mg2+ > Al3+ > K+ > Ca2+ > Sc3+ > Ti4+ > V5+ > Cr6+ > Mn7+
(ionik) (kovalen)
Untuk unsur transisi, ikatan L( ) M( ) ( L = ligan, M = ion logam)
diharapkan jika L dapat bertindak sebagai donor elektron dalam hal ini,
seperti ion oksida. Stereokimia dapat diramalkan melalui teori VSEPR

KIMIA KOORDINASI Page 15


dan kompleks bersifat diamagnetic. Ion 4f dalam keadaan +3 juga dapat
dimasukkan dalam kelompok ini karena elektron dalam orbital f berada
dibawah orbital valensi dan tidak terlibat dalam kompleks kimia.
b. Ion dengan 18 elektron
Ion dengan konfigurasi ns2 np6 nd10 juga simetri secara spherical dan
termasuk logam-logam transisi dan keadaan oksida negative. Ion-ion itu
membentuk kompleks kovalen dimana ikatan M(d) L(d) dan juga
L(p) M(d) menjadi penting. Penerima elektron L atau M dapat
menerima pasangan elektron dalam orbital d terluar sehingga ikatan
ini menjadi penting dengan kenaikan ukuran dan juga bilangan oksidasi
ion logam. Semua kompleks ini bersifat diamagnetic dan teori VSEPR
dapat menggambarkan stereokimia kompleks dengan baik.
c. Ion pasangan inert (ns2)
Ion-ion ini simetri secara spherical dalam system terisolasi, tetapi
pasangan elektron pada s2 menghasilkan distribusi pada daerah
tertentu dan tetap non-ikatan dengan kompleks. Teori VSEPR juga
dapat digunakan untuk meramalkan stereokimia kompleks, dan sifatnya
diamagnetik.
d. Ion logam transisi (ndx, x = 1-9)
Ion-ion ini sedemikian bervariasi sifatnya dalam kompleks sehingga
tidak ada pernyataan umum dapat diberikan pada kompleksnya. Sifat
ikatan yang terbentuk berubah dari ionic sampai kovalen dan ikatan
M L atau L M sangat bergantung pada kompleks yang terbentuk.
Molebdenium dapat berada sebagai Mo5+, MoO3+, Mo2O26+, Mo2O34+,
Mo2O42+ dalam kompleks yang berbeda .

KIMIA KOORDINASI Page 16


2.2 Tata nama Senyawa Kompleks

Berikut adalah aturan dasar tentang tata cara penamaan senyawa


kompleks yang diambil dari International Union of Pure and Applied
Chemistry, IUPAC (1976).
1. Penamaan Ligan
Selain ligan-ligan spesifik seperti NH3 (amin), H2O (akuo), NO (nitrosil)
dan CO (karbonil), penamaan ligan diatur sebagai berikut:
a. Ligan anion
Untuk ligan-ligan anion, penamaan ditambah dengan akhiran “O”.
Jadi O- adalah okso, OH- hidrokso, CN- Siano, NO2- nitrito, SO42-
sulfato, SO32- sulfito, [Co(NO2)6]3- ion heksanitritokobaltat(III)
b. Ligan Organik
Radikal bebas diberinama seperti namanya sendiri.
Contoh; CH3 diberi nama metal, C6H6 fenil.
[Hg(CH3)2] ; dimetilmerkuri(II)
c. N2 dan O2 dinamakan dinitrogen daqn dioksigen
[Rn(NH3)5N2]2+; pentaammindinitrogenrutenium(II)
2. Penamaan Logam
Untuk kompleks-kompleks kation dan netral, penamaan diakhiri dengan
nama logam dalam bahasa Inggris (untuk Indonesia disesuaikan) yang
diikuti dengan bilangan oksidasi dalam nomor Romawi. Contoh:
nikel(II), besi(II), dan seterusnya.
Jika kompkeks anion, nama logam dalam bahasa Latin dengan diakhiri
akhiran “at” digunakan, seperti cuperat, ferrat, argentat, dean
seterusnya. Bilangan oksidasi tetapa ditunjukkan dengan nomor
Romawi.
Contoh:

KIMIA KOORDINASI Page 17


[Fe(NH3)6]2+ : heksaaminbesi(II)
[FeCl4]2- : tetrakloroferrat(II)
3. Awalan yang menunjukkan bilangan
Awalan di atau bis digunakan untuk menandakan adanya dua ligan yang
sama, tri atau tris untuk tiga, tetra atau tetrakis untuk empat, dan
seterusnya. Istilah bis, tris, tetrakis digunakan jika ligannya senyawa
organik yang sudah menggunakan awalan di, tri, tetra dst, atau juga
dapat mempunyai pengertian yang berbeda jika digunakan awalan di,
tri, dst.
Contoh: [Cu(py)2Cl2] ; bispiridindiklorotembaga(II)
dipiridin adalah ligan yang sama sekali berbeda, C5H4N-C5H4N
4. Urutan Penulisan
Ligan-ligan ditulis pertama kemudian diikuti logam pusat pada akhir.
Ligan netral ditulis terlebih dahulu, diikuti ligan anion yang ditempatkan
dalam urutan abjad jika isomer khusus tidak diinginkan. Dalam
kompleks bujursangkar mungkin diperlukan penulisan khusus untuk
menunjukkan isomer geometri.
Contoh; [Co(NH3)4Cl2]Cl : tetraammindiklorokobalt(III)klorida
[(Me)(Et)(Ph)PO] ; etilmetilfeniloksofosfor(V)
[Pt(NH3)(NH2OH)(NO2)(py)]Cl :
amminhidroksilaminpiridinnitritoplatina(II)klorida
[Co(NH3)3Cl2CO3]- ; teriamminkarbonatodiklorokobaltat(III)
5. Isomer
Isomer ditunjukkan oleh awalan yang diikuti oleh (-).
Contoh: cis-[Pt(NH3)2Cl2] : cis-diammindikloroplatina(II)
trans-[Co(NH3)4Cl2]+ : trans-tetraammindiklorokobalt(III)
Untuk ligan ambidentat (ligan monodentat yang mempunyai dua atom
dapat berfungsi sebagai donor elektron) dibedakan penempatan

KIMIA KOORDINASI Page 18


symbol atom yang terlibat dalam koordinasi. Sebagai contoh tiosianat
(N atau S), nitrito (N atau O). jadi untuk kompleks:
[(CO)5Ir(SCN)]+ : pentakarboniltiosianato(S)iridat(II)
[(NH3)5Ru(NSC)]2+ :pentaammintiosianato(N)rutenat(III)
Dalam hal isomer geometri kompleks bujursangkar, isomer yang
berbeda ditunjukkan oleh penyusunan ligan yang diatur berdasarkan
urutan posisinya.
[Pt(Cl)(Br)(NH3)(py)] ; klorobromoamminpiridinplatina(II)
[Pt(Br)(Cl)(NH3)(py)]; bromokloroamminpiridinplatina(II)
6. Ligan Jembatan
Awalan “ ” digunakan untuk menandai ligan yang bertindak sebagai
ligan jembatan. Untuk dua gugus jembatan dari jenis yang sama di-
digunakan. Untuk membedakan dengan ligan lain, ligan jembatan
dipisahkan dengan tanda “—“. Dalam senyawa simetri dapat diberi
nama secara efisien dengan menempatkan gugus jembatan terlebih
dahulu.
Contoh:
[(NH3)5Co-NH2-Co(NH3)4(H2O)]Cl5
Pentaamminkobalt(III)- -amido-tetraamminakuo-kobalt(III) klorida.
O—O
[(NH3)4Co Co(NH3)4]Br4
NH2
tetraamminkobalt(III)- -superokso- -amidotetraamminkobalt(III)
klorida
Cl
[(NH3)2Pt Pt(NH3)2]Cl2
Cl
di- -klorobis(diamminplatina(III))klorida

KIMIA KOORDINASI Page 19


2.3 Stereokimia senyawa Kompleks

Senyawa koordinasi dapat mengalami dua macam stereoisomer, yaitu


isomer geometri dan isomer optik. Isomer geometri terjadi antara dua
isomer yang memiliki rumus kompleks sama tetapi penyusunan ruang dari
beberapa ligan berbeda.Isomer geometri dapat dipisahkan dan harus
dibedakan dengan isomer konformasi, yang terjadi dalam kesetimbangan
dinamik antara yang satu dengan yang lain, dan ini disebabkan oleh
perbedaan tenaga aktivasi. Isomer optik terjadi apabila dua senyawa
memutar bidang sinar polarisasi yang berbeda. Banyak molekul tidak
memiliki titik atau bidang simetri.
Werner mengemukakan bahwa jika kompleks logam koordinat empat
tipe [MA2B2] memiliki isomer geometri, misalnya isomer cis dan trans, maka
dapat disimpulkan bahwa kompleks itu bujursangkar. Kompleks ini tidak
mungkin berbentuk tetrahedral karena bentuk tetrahedral tidak memiliki
isomer geometri (gambar 2.a). kompleks [M(AB)2] bersifat optik aktif jika M
memiliki valensi sekunder dengan susunan tetrahedral atau dengan kata lain
kompleks itu berbentuk tetrahedral. Kompleks bujursangkar tidak akan
memberikan isomer optik (gambar 2.b)
A B A B A
M M M
A B B A B B
B
(a) (b)
Gambar 2.3 Struktur kompleks koordinat empat
Pada umumnya kompleks koordinat 4 dari sebagian besar ion Pd2+, Ag2+,
Cu2+, Rh2+ dan Ir+ berbentuk planar, sedaangkan dari ion Zn2+, Be2+, B3+,
Cd2+, Al3+, Hg2+, Ga3+, Fe3+ dan Co2+, berbentuk tetrahedral. Kompleks ion
Cu2+ dapat berbentuk dalam 2 bentuk, baik dalam bentuk planar maupun

KIMIA KOORDINASI Page 20


tetrahedral. Kemudian kompleks ion Ni2+ hanya sebagian kecil berbentuk
tetrahedral. Oksoanion dari tipe MO4n-, (M = V2+, Cr6+, Mn7+, Fe6+) dapat
dipandang sebagai kompleks tetrahedral dari logam M dan dengan ion
oksigen sebagai ligannya.
Molekul planar [MABCD] deapat berada dalam tiga bentuk isomer. Jadi dua
isomer [Pt(NH3)2Cl2] dan tiga isomer dari [Pt(NH3)(NH2OH)(NO2)(py)]+ ( py =
C5H5N ) menunjukkan bahwa penataan tetrahedral untuk ikatan platina(II)
tidak terjadi. Walaupun demikian, hal ini belum membuktikan bahwa
penataannya planar karena penataan piramidal bujursangkar juga masih
mungkin (gambar 4)
A B A C A D
M M M
D C B D C B

Gambar 2.4. Tipe isomer bentuk planar kompleks [MABCD]


M

A B

C D
Gambar 2.5. Penataan piramidal bujursangkar dalam kompleks [MABCD]

Isomer cis dan trans dapat dibedakan oleh:


1. Momen dipol. Senyawa trans dari [Pt(Pet3)2Cl2] akan mempunyai
momen dipol yang dapat diabaikan karena adanya penghilangan
momen ikatan dari masing-masing ikatan, tetapi isomer cis akan
mempunyai momen dipol yang berarti.
2. spektroskopi IR. Isomer trans memberikan spektrum lebih sederhana
daripada isomer cis karena pengurangan frekuensi stretching iktan M-A
dan M-B dalam isomer trans.

KIMIA KOORDINASI Page 21


3. Metode reaktivitas kimia. Dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan
struktur dari ligan, sederetan reaksi dapat dipakai untuk membedakan
antara isomer trans dan cis. Dengan berasumsi bahwa bidentat hanya
dapat menempati posisi cis, isomer cis dan trans dari kompleks
[Pt(NH3)2Cl2] dapat ditunjukkan seb agai berikut:

NH3 NH3
K2[PtCl3] -[Pt(NH3)2Cl2] [Pt(NH3)4]Cl2
(Cis)
HCl
(1) AgNO3
(2) HOOC.COOH -[Pt(NH3)2Cl2] (trans)
[Pt(NH3)2C2O4] Sukar larut disbanding
Non elektrolit
(1) AgNO3
(2) HOOC.COOH
[Pt(NH3)2(OOC.COOH)2]
Asam dibasis

Pengukuran dengan metode X-ray telah dapat membuktikan penataan


struktur tersebut diatas. Akhir-akhir ini banyak dilakukan penentuan struktur
senyawa melalui reaksi kimia.
Beberapa kompleks planar seperti kompleks logam dengan ligan glioksim
asimetris dapat juga memberikan isomer geometri. Isomer cis dan trans
bergabtung pada gugus yang terkandung dalam ligan.
H H
R2 O O R1 R2 O O R2
C N N C C N N C
Ni Ni
C N N C C N N C
R2 O O R1 R1 O O R1
Trans H Cis H

Gambar 2.6 Isomer cis dan trans kompleks nikel(II) dengan ligan glioksim asimetris

KIMIA KOORDINASI Page 22


Beberapa tipe lain isomer
Selain stereoisomer, senyawa koordinasi dapat menunjukkan adanya
tipe isomer lain, antara lain sebagai berikut:
1. Isomer ligan.
Isomer ini disebabkan karena ligan suatu kompleks mempunyai
beberapa bentuk isomer, misalnya kompleks isomer 1,2-diaminpropan
(pn) dan 1,3-diaminpropan (tn) atau o-toluen, m-toluen dan p-toluen
dengan ion logam.
2. Isomer ionisasi.
Isomer ini disebabkan adanya perbedaan ion yang dihasilkan dalam
suatu proses ionisasi. Sebagai contoh kompleks [Co(NH3)5SO4]Br dan
[Co(NH3)5Br]SO4 atau [Pt(NH3)I]Cl [Co(NH3) Cl]I.
3. Isomer pelarut.
Isomer ini hal khusus dari isomer ionisasi yang melibatkan molekul
pelarut. Jika air sebagai pelarut, isomer hidrt akan dihasilkan. Contoh
terbaik yyang telah dikenal adalah kromium klorida hidrat; [Cr(H2O)6]Cl3
violet, [Cr(H2O)5Cl]Cl2 hijau muda dan [Cr(H2O)5 Cl2]Cl yang memberikan
masing-masing 3, 2 dan 1 mol ion klorida dalam larutan.
4. Isomer Koordinat.
Isomer ini terjadi pada garam yang baik kation maupun anionnya
merupakan ion kompleks. Satu atau lebih ligan dari kation dapat diganti
oleh satu atau lebih ligan dari anion atau sebaliknya.
Kompleks [Co(NH3)6][Cr(CN)6] dan [Co(CN)6][Cr(NH3)6] atau
[Co(NH3)4][PtCl4] dan [Pt(NH3)4][CoCl4] adalah isomer koordinat.
Jiika kompleks mempunyai logam sama dengan bilangan oksidasi
berbeda sebagai kation dan anion, isomer yang dihasilkan disebut
dengan isomer posisi koordinat. Contoh isomer posisi koordinat adalah;

KIMIA KOORDINASI Page 23


O O
[ (NH3)4Co Co(NH3)2Cl2 ]2+ dan [ Cl(NH3)3Co Co(NH3)3Cl ]2+
dan
O O

5. Isomer polimerisasi.
Sebetulnya jenis ini tidak termasuk isomer tetapi dikatakan isomer oleh
Werner. Kompleks yang memiliki rumus molekul berbeda tetapi rumus
empirisnya sama disebut isomer polimerisasi. Contoh;
[Co(NH3)4(NO2)2][Co(NH3)2(NO2)4],
[Co(NH3)6][Co(NO2)6],
[Co(NH3)5(NO2)][Co(NH3)(NO2)5],
[Co(NH3)6][Co(NH3)2(NO2)4]3,
[Co(NH3)4(NO2)2]2 [Co(NO2)6], adalah isomer polimerisasi dari
[Co(NH3)3(NO2)3] yang mempunyai berat molekul 2, 2, 2, 4, 4 dan 5 kali
berat molekul empiris.
6. Isomer linkage.
Jika ligan memiliki dua atau lebih atom berbeda yang dapat digunakan
untuk berikatan dengan ion logam (ligan ambident), misalnya ligan CNS-
, NO2-, S2S32- atau CO(NH2)2, maka kompleks yang dihasilkan akan
memiliki isomer linkage. Isomer ini dapat diidentifikasi secara mudah
dengan menggunakan spektroskopi IR.

KIMIA KOORDINASI Page 24


BAB III TEORI IKATAN VALENSI (TIV)

Penerapan teori ikatan pada senyawa koordinasi (kompleks) pertama


yang cukup berhasil dikemukakan oleh Linus Pauling dan dikenal dengan
Teori Ikatan valensi (valence bond theory, VBT). Teori ini merupakan
perluasan dari konsep yang mengkaitkan antara proses hibridisasi dan
bentuk atau struktur senyawa non-kompleks. Teori ini mengemukakan
bahwa ikatan dalam kompleks merupakan ikatan kovalen koordinasi hasil
overlap antara orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas dengan
orbital ion logam yang kosong. Pada proses pembentukan kompleks, ion
pusat menyiapkan sejumlah orbital kosong yang sesuai dengan disertai
proses hibridisasi. Elektron 4s dalam atom logam yang ada dalam keadaan
dasar harus dipromosikan ke orbital 3d sehingga memungkinkan orbital 4s
ditempati sepasang elektron ligan. Dalam teori ini pembentukan kompleks
dapqat dipanang sbagai reaksi asam basa Lewis. Sebagai contoh kompleks
karbonil dapat dijelaskan secara sederhana dengan mengasumsikan bahwa
hibridisasi d2sp3 (oktahedron), dsp3 (trigonal bipiramida), sp3 (tetrahedron)
terjadi dalam molekul-molekul Co(CO)6, Fe(CO)5 dan Ni(CO)4.
Untuk menyatakan proses pembentukan kompleks biasanya orbital
logam dituliskan dengan symbol kotak atau lingkaran, untuk maksud
menentukan distribusi elektron logam dan yang diterima dari ligan.
Cr: [Ar] 3d5 4s1 4p (keadaan dasar)

Cr*; [Ar] 3d6 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Cr: [Ar] (dalam Co(CO)6)

CO (ligan) (hibridisasi d2sp3 = oktahedron)

KIMIA KOORDINASI Page 25


Untuk besi pentakarbonil, dengan cara yang sama;
Fe: [Ar] 3d6 4s2 4p (keadaan dasar)

Fe*; [Ar] 3d8 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Fe: [Ar] (dalam Fe(CO)5)

CO (ligan) (hibridisasi dsp3 = trigonal bipiramida)

Untuk tetrahedron nikeltetrakarbonil;


Ni: [Ar] 3d8 4s2 4p (keadaan dasar)

Ni*; [Ar] 3d10 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Ni: [Ar] (dalam Fe(CO)5)

4 CO (ligan) (hibridisasi sp3 = tetrahedron)

Untuk ion-ion logam seperti Cu2+, Zn2+ dan Ga3+ dan ion-ion segolongan
seperti Ag+, Cd2+ dan seterusnya, konfigurasi elektron yang digunakan adalah
3d10 4s0 atau lebih umum nd10 (n+1)s0 dan untuk ion-ion logam golongan
utama seperti Li+, Be2+ dan B3+ serta logam-logam segolongan, konfigurasi
elektron yang digunakan adalah ns2 (n+1)s0 (n+1)p0. Unsur-unsur ini sebgian
besar membentuk kompleks dengan bilangan koordinasi 4 dan juga dijumpai
beberapa kompleks yang bilangan koordinasinya kurang dari 4. Hal ini
dimungkinkan karena adanya perbedaan tingkat energy yang cukup besar
antara orbital d dengan s dan p yang terlibat dalam pembentukan ikatan,

KIMIA KOORDINASI Page 26


terutama untuk logam-logam ringan. Sebagai contoh proses pembentukan
kompleks BeF42- dapat dinyatakan sebagai berikut;
Be: [He] 2s2 2p (keadaan dasar)

Be2+; [He] 2s2 2p (keadaan dasar)

Be2+: [He] (dalam BeF42-)

4 F- (ligan) (hibridisasi sp3 )


Ion-ion Ni2+, Pd2+ dan Pt2+ memiliki konfigurasi elektron d8. Kompleks
Pd2+ dan Pt2+ biasanya koordinat 4, dengan bentuk bujursangkar,
diamagnetik dan biasanya penyusunnya sering didapatkan dalam kompleks
Ni2+. Dalam keadaan dasar, ion-ion ini bersifat paramagnetik sehingga ligan
dalam kompleks harus menyebabkan dua elektron tak berpasangan menjadi
berpaangan. Pauling mengusulkan bahwa satu ligan menempati satu orbital
d:
Pt: [Xe] 4f14 5d8 6s2 6p (keadaan dasar)

Pt2+; [Xe] 4f14 5d8 6s0 6p (keadaan tereksitasi)

Pt2+; [Xe] 4f14 (dalam [Pt(Cl)4]2-)

4 Cl- (ligan) (hibridisasi dsp2 = bujur sangkar)

Selain itu khususnya pada ion Ni2+, kompleks koordinasi-4 bersifat


paramagnetik banyak juga dikenal. Dengan demikian kelima orbital d mesti
ditempati oleh 8 elektron. Pembentukan kompleks ini oleh Pauling
dijelaskan sebagai berikut;

KIMIA KOORDINASI Page 27


Ni: [Ar] 3d8 4s2 4p (keadaan dasar)

Ni2+; [Ar] 3d8 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Ni: [Ar] (dalam [Ni(Cl)4]2-)

4 Cl- (ligan) (hibridisasi sp3 = tetrahedron)

Berdasarkan pada interpretasi tersebut diatas, struktur kompleks d8 dapat


ditentukan apabila sifat kemagnetan kompleks telah diketahui. Jika bersifat
dimagnetik berarti strukturnya bujursangkar, sedangkan jika paramagnetik
strukturnya tetrahedron. Sayangnya Pauli tidak mampu menjelaskan
mengapa kompleks d8 bersifat paramagnetik sedangkan yang lain
dimagnetik. Hal ini merupakan salah satu kelemahan teori ikatan valensi.
Hal yang sama juga terjadi dua kemungkinan jenis ikatan untuk kompleks
koordinat-6 dari ion d6 seperti Fe2+, Co3+ dan lain-lain. sebagai contoh
kompleks Co3+ yang telah banyak disintesa oleh Werner. Kompleks
diamagnetik dijelaskan oleh teori ikatan valensi sebagai berikut;
Co: [Ar] 3d7 4s2 4p (keadaan dasar)

Co3+; [Ar] 3d6 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Co3+: [Ar] (dalam [Co(NH3)6]3+)

6 NH3 (ligan) (hibridisasi d2sp3 = oktahedron)

Dari penjelasan diatas teori ikatan valensi dapat menerangkan bahwa


kompleks itu berbentuk oktahedron dan tidak mengandung elektron tak

KIMIA KOORDINASI Page 28


berpasangan sehingga bersifat diamagnetik. Kemudian setelah ditemukan
kompleks paramagnetik dari ion Co3+ seperti [CoF6]3- yang memiliki empat
elektron tak berpasangan diperlukan pengaturan elektron lagi. Satu usulan
untuk menjelaskan kompleks itu adalah bahwa ion frluorida tidak
menggunakan orbital 3d atom kobalt. Pauling mengusulkan bahwa ion
fluoride dapat berikatan dengan orbital yang berada lebih luar, yaitu 4d,
sehingga hibridisasi sp3d2 yang identik dengan hibridisasi d2sp3 yang telah
diuraikan sebelumnya. Heksafluorokobalt(III) dapat digambarkan sebagai
berikut;
Co3+: [Ar] (dalam [CoF6]3+)
3d6 4s 4p 4d

6 F- (ligan) (hibridisasi sp3d2 = oktahedron)

Karena orbital luar 4d dilibatkan pada pembentukan kompleks paramagnetik


Co3+, kompleks semacam ini disebut sebagai kompleks orbital luar (outer
orbital complexes).
Untuk kompleks yang logamnya berelektron ganjio, seperti Fe3+, d5,
perbedaan sifat magnetiknya yang menunjukkan jenis orbital atom logam
yang terlibat dalam pembentukan kompleks tidak mungkin teramati. Untuk
mengidentifikasi jenis orbital yang terlibat, kemudian teori ini menyarankan
agar digunakan derajat paramagnetisitas kompleks, yang ditunjukkan oleh
harga momen magnetiknya. Hubungan antara momen magnetik dengan
jumlah electron tak berpaangan dirumuskan;

dengan s adalah jumlah electron tak berpasangan dan adalah momen


magnetik dalam Bohr magneton (BM).

KIMIA KOORDINASI Page 29


Sebagai contoh kompleks [Fe(H2O)6]3+ bersifat paramagnetik dengan 5
elektron tak berpasangan, sedangkan ion [Fe(CN)6]3- berrsifat paramagnetik
dengan satu elektron tak berpasangan. Pernyataan teori ikatan valensi
terhadap komplek-komplek tersebut adalah;
Fe3+: [Ar] 3d5 4s0 4p

[Fe(CN)6]3-

6 CN- (ligan) (hibridisasi d2sp3 = oktahedron)


[Fe(H2O)6]3+
3d6 4s 4p 4d

6H2O (ligan) (hibridisasi sp3d2 = oktahedron)

Struktur dan jenis hibridisasi beberapa kompleks menurut VBT dapat di lihat
dalam table 3.1.
Tabel 3.1 Konfigurasi dan jenis hibridisasi beberapa kompleks menurut VBT

Orbital Elektron
Spesies (n-1)d ns np nd
hibrida tak psgn
8-elektron metal ions
Be2+, B3+ [He]
2- -
[BeCl4] , [BCl4] [He] xx xx xx xx sp3 0
Al3+, Mg2+ [Ne]
[AlCl4]-, [MgCl4]2- [Ne] xx xx xx xx xx sp3 0
[Al(H2O)6]3+ [Ne] xx xx xx xx xx sp3d2 0
18-elektron metal ions
Ag+, Cd2+, In3+ [Kr] :::::
[AgX2]- [Kr] ::::: xx xx Sp 0
[ML4]n- [Kr] ::::: xx xx xx xx sp3 0
[ML6]n- [Kr] ::::: xx xx xx xx xx sp3d2 0
M=Cu+, Zn2+, Ga3+ [Ar] :::::
[ML4] [Ar] ::::: xx xx xx xx sp3 0
[ML6] [Ar] ::::: xx xx xx xx xx sp3d2 0
d-elektron ions
Ti (d2s2) [Ar] : :
Ti3+ [Ar] .
[TiL6] [Ar] . xx xx xx xx xx xx d2sp3 1

KIMIA KOORDINASI Page 30


Orbital Elektron
Spesies (n-1)d ns np nd
hibrida tak psgn
Fe (d0s2) [Ar] : : : : : :
Fe(O) (d8) [Ar] : : : :
[Fe(CO)6] [Ar] : : : : xx xx xx xx xx dsp3 0
Ni(O) (d8) [Ar] : : : : :
[Ni(CO)4] [Ar] : : : : : xx xx xx xx sp3 0

Co3+ (d8) [Ar] : : : . .


[CoF6]3- [Ar] : : : . . xx xx xx xx xx sp3d2 0
[Co(NH3)6]3+ [Ar] : : : xx xx xx xx xx xx xx d2sp3 0
Fe3+ [Ar] . . . . .
[Fe(H2O)6]3+ [Ar] . . . . . xx xx xx xx xx sp3d2 5
[Fe(CN)6]3- [Ar] : : . xx xx xx xx xx xx xx d2sp3 1

3.1 Prinsip Elektronetralitas dan Ikatan Balik


Kejanggalan yang muncul dengan mengasumsikan bahwa
pembentukan kompleks merupakan reaksi antara asam Lewis dan basa
Lewis adalah timbulnya muatan negative pada logam pusat akibat
penerimaan elektron dari ligan. Hal ini akan menyebabkan densitas elektron
pada ion pusat menjadi besar dan tentu saja keadaan ini tidak diinginkan
(tidak stabil). Sebagai contoh kompleks Co2+ seperti [CoF6]4-. Enam ligan
menyediakan 12 elektron untuk berikatan dengan logam dan karena semua
elektron berasal dari ligan, maka ada muatan formal -6 ditambahkan pada
ligan yang hanya digunakan untuk menetralisir muatan +2. Dari perhitungan
muatan formal kobalt akan menjadi negatif besar dan seharusnya tidak
stabil. Tetapi fakta menunjukkan bahwa kompleks itu stabil. Pauling
menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa fakta menunjukkan bahwa
logam tidak bermuatan negatif.
Pertama, karena ligan donor pada umumnya atom yang
berelektronegativitas tinggi, seperti N dan O, sehingga elektron ikatan tidak
akan terdistribusi sama antara logam dan ligan. Jadi induksi muatan positif
pada logam membantu mengurangi muatan formal negatif ion pusat.

KIMIA KOORDINASI Page 31


Pauling mengatakan bahwa kompleks akan stabil jika elektronegativitas
ligan sedemikian sehingga logam dapat mencapai kondisi netral. Aturan
semacam ini dikenal sebagai prinsip elektronetralitas. Pauling telah
membuat perhitungan semikuantitatif yang menghubungkan stabilitas
kompleks dengan muatan atom logam pusat. Perhitungan melibatkan
persamaan;

Dengan x adalah perbedaan elektronegativitas atom-atom yang berikatan


dan P adalah persentase sifat ionik.
Dia tidak menghitung dengan teliti dan metode perhitungan t5idak
dijelaskan. Namun hasil perhitungan telah menunjukkan bagaimana
munculnya muatan negatif pada logam dapat mengurangi stabilitas
kompleks. Sebagai contoh dibandingkan muatan logam pusat Be dalam
kompleks [Be(H2O)4]2+ dan [Be(H2O)6]2+.
[Be(H2O)4]2+ [Be(H2O)6]2+.
Total = + 2,00 Total = + 2,00
4O = - 0,24 6O = - 0,36
8H = + 2,32 12H = + 3,48
Be = - 0,08 Be = - 0,08
Untuk kompleks [Al(H2O)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+ diperoleh;
[Al(H2O)6]3+ [Al(NH3)6]3+
Total = + 3,00 Total = + 2,00
6O = - 0,36 6N = - 1,20
12H = + 3,48 18H = + 2,88
Al = - 0,12 Al = - 1,08

Walaupun harga-harga tersebut tidak diterangkan secara jelas


bagaimana cara memperolehnya, harga-harga tersebut dapat bermanfaat

KIMIA KOORDINASI Page 32


untuk menerangkan beberapa prinsip secara kualitatif tentang informasi
senyawa kompleks.
Pertama; empat molekul air secara efektif menetralisir muatan ionik +2
berelium, tetapi 6 molekul air memberikan terlalu banyak elektron. Tetapi,
Al3+ dapat mengimbangi muatan negatif dari 6 molekul air. Oleh karena itu,
[Be(H2O)4]2+ dan [Al(H2O)6]3+.merupakan kompleks stabil, sedangkan
[Be(H2O)4]2+ tidak. Hal serupa [Al(NH3)6]3+ tidak stabil karena nitrogen dalam
ligan ammonia kurang bersifat elektronegatif untuk mengurangi muatan
negatif yang muncul pada ion pusat. Berdasarkan alasan tersebut dapat
dipahami bahwa untuk mengurangi adanya kerapatan elektron yang
berlebihan dalam atom pusat pada oksida logam dan kompleks fluorida
dijumpai atom berada pada tingkat oksidasi tinggi, antara lain; [CoF6]2-,
[MnF6]2-, [RuF6]- , [CrO3F]-, dan [MnO4]-.
Namun ternyata dalam kompleks karbonil dan nitrosil, logam biasanya
berada pada tingkat oksidasi rendah dan telah diketahui bahwa karbon dan
nitrogen elektronegativitasnya rendah. Ikatan sigma yang terbentuk oleh
pemberian elektron dari ligan pada logam menyebabkan kerapatan elektron
pada logam menjadi tinggi. Kompleks ini tidak akan stabil bila tidak ada
faktor lain yang dapat mengurangi kerapatan elektron tersebut. Dalam hal
seperti ini, Pauling menjelaskan bahwa kerapatan elektron dalam logam
diturunkan melalui pembentukan ikatan balik (back bonding) atau resonansi
ikatan parsial. Ion pusat memberikan kembali pasangan elektron pada ligan
melalui pembentukan ika tan , seperti;

Ni — C O Ni+ C O-
(I) (II)

Adanya bentuk hibrida resonansi (bentuk II), kerapatan elektron akan


berkurang dari niikel ke oksigen. Pembuktian lebih tepat tentang proses ini

KIMIA KOORDINASI Page 33


menunjukkan bahwa delokalisassi kerapatan elektron terjadi karena overlap
orbital d pada logam dengan orbital ligan karbonil. Teori ikatan valensi
menerangkan bahwa proses ini melibatkan penggunaan orbital p dari
karbon sehingga orbital itu dpat overlap lagi membentuk ikatan pi dengan
oksigen. Teori orbital molekul menjelaskan dengan cara lain yang akan
dibicarakan kemudian.

3.2 Keunggulan dan Kelemahan Teori Ikatan Valensi


Dengan adanya pendekatan VBT, kimia koordinasi berkembang dengan
pesat karena hampir semua senyawa kompleks dapat diinterpretasikan.
Selain itu, teori ini sangat sederhana sehingga mudah diterima dan memiliki
kemampuan yang cukup tinggi dalam menjelaskan struktur dan sifat
magnetik berbagai senyawa kompleks.
Kelemahan dari teori ini adalah ketidakmampuan menjelaskan secara
tepat apakah suatu kompleks koordinat-4 akan tetrahedron atau
bujursangkar dan apakah kompleks oktahedron akan mempunyai spin
rendah atau spin tinggi. Salah satu kelemahan itu adalah ion kompleks
[Cu(NH3)4]2+. Ion Cu2+ memiliki struktur elektron d9. Koordinasi keempat
molekul ammonia dimungkinkan terjadi melalui orbital tetrahedron sp3
seperti dalam d10 pada ion [Zn(NH3)4]2+.
Cu ; [Ar] 3d10 4s1 4p (keadaan dasar)
Cu2+; [Ar] 3d9 4s0 4p (keadaan tereksitasi)

Cu2+;[Ar] (dalam [Cu(NH3)4]2+)

4 NH3 (ligan) (hibridisasi sp3 = tetrahedron)

KIMIA KOORDINASI Page 34


Penentuan secara kristalografi sinar-X menunjukkan bahwa struktur ion ini
adalah bujur sangkar. Agar sesuai dengan fakta, teori ikatan valensi
menjelaskan struktur ini seperti berikut ;
Cu2+;[Ar] (dalam [Cu(NH3)4]2+)

4 NH3 (ligan) (hibridisasi dsp2 = bujur sangkar)

Dalam pembentukan kompleks, satu elektron diprmosikan dari 3d ke 4p.


Orang akan menerima bahwa hibridisasi dsp2 adalah sangat cukup
menyediakan energi yang diperlukan untuk promosi elektron. Akan tetapi
orang tentu akan berpendapat lain mengapa ikatan yang sama tidak dapat
menyediakan energi yang diperlukan untuk elektron tak berpasangan
menjadi berpasangan seperti pada kompleks Ni2+ yang ditemukan bersifat
paramagnetik. Selanjutnya orang juga berpendapat mengapa elektron
hanya dipromosikan ke tingkat yang cukup tinggi (4p) dan tidak lepas oleh
oksidasi menjadi kompleks Cu3+. Walaupun kompleks ks Cu3+ dikenal tetapi
tidak stabil dan berfungsi sebagai oksidator kuat. Sebaliknya spesies
isoelektronik Au3+ adalah sangat stabil dan Au2+ tidak dikenal. Kemudian
pengamatan menggunakan resonansi spin elektron menunjukkan bahwa
elektron tak berpasangan tidak berada pada orbital 4p.
Selain hal tersebut diatas, teori ikatan valensi juga gagal mendiskusikan
bentk-bentuk tertentu seperti bentuk tetragonal, bentuk oktahedron yang
telah mengalami distorsi. Kompleks Cu2+ sebenarnya merupakan kompleks
tetragonal hasil distirsi dari oktahedron. Teori ini tidak menjelaskan hal itu.
Kelemahan VBT yang sangat fatal adalah tidak dapat menjelaskan adanya
proses eksitasi elektron. Salah satu aspek menarik pada senyawa kompleks
adalah munculnya perbedaan atau variasi warna senyawa. Sebagai contoh
[Cu(NH3)4]2+ memiliki warna biru. Tentunya warna inii merupakan hasil dari

KIMIA KOORDINASI Page 35


penyerapan sinar tampak ketika elektron naik dari keadaan dasar ke tingkat
energi lebih tinggi. VBT sama sekali tidak mendiskusikan hal itu.

KIMIA KOORDINASI Page 36


BAB IV
TEORI MEDAN KRISTAL
Teori medan kristal (crystal field theory, CFT) dikembangkan oleh
Bethe dan Van Vleck. Walaupun teori ini telah lama digunakan oleh orang-
orang fisika, baru mulai 1950 orang kimia mengetahui teori tersebut. Teori
ini mengasumsikan bahwa interaksi antara ion pusat dan ligan hanya
merupakan interaksi elektrostatik (ionik). Ion atau atom pusat dipandang
sebagai partikel bermuatan positif, sedangkan ligan sebagai partikel
bermuatan negatif, karena pada umumnya ligan bermuatan negatif atau
molekul polar. Karena keterlibatan orbital d ion logam sangat besar,
hubungan geometri kelima orbital d perlu diketahui lebih dahulu untuk
mengetahui secara jelas mengenai interaksi yang mungkin terjadi. Geometri
kelima orbital tersebut dapat dilihat dalam gambar 4.1.

Gambar 4.1 Lima orbital d

Kelima orbital d ion bebas dalam keadaan gas berada pada kondisi
terdegenerasi (pada tingkat energi sama). Jika ada medn simetri muatan
negatif disekitar ion logam itu, semua tingkat orbital akan meningkat akibat

KIMIA KOORDINASI Page 37


hasil tolakan antara medan negatif dengan elektron-elektron pada orbital d,
tetapi tingkat energi kelima orbital itu masih tetap sama (terdegeneret).
Jika medan hasil pengaruh ligan seswungguhnya (apakah ligan anion
atau ligan netral), pengaruh itu tidak simetris (tidak dari segala arah) sebab
ligan yang terlibat dengan jumlah tertentu (empat atau enam). Jika
liganberjumlah enam membentuk kompleks oktahedron dan kemuadian
dibayangkan bahwa keenam ligan itu masuk sep0anjang sumbu dari sistem
koordinat, yaitu dari arah z, -z, x, -x, y dan –y (gambar 4.2) maka pada
kondisi ini, ligan-ligan itu berinteraksi kuat dengan orbital-orbital yang
terletak sepanjang sumbu x, y dan z, yaitu orbital dx2-y2 dan dz2. Akibatnya
tingkat energi kedua orbital itu akan naik, sedangkan ketiga orbital lain
kurang kuat interaksinya sehingga tingkat energinya lebih rendah. Dengan
kata lain kelima orbital itu akanterbelah (split) menjadi dua kelompok, yaitu
orbital dengan tingkat energi rendah (dxy, dxz dan dyz) yang disebut dengan
orbital t2g dan orbital dengan tingkat lebih tinggi (dx2-y2 dan dz2) yang
disebut dengan orbital eg. Perbedaan tingkat energi kedua kelompok orbital
itu diberi harga sebagai 10 Dq atau (gambar 4.3)

Gambar 4.2 Set orbita d dalam medan oktahedral

KIMIA KOORDINASI Page 38


eg

6Dq

d
eg 10Dq =

4 Dq

t2g

Gambar 4.3 Pembelahan orbital d oleh medan ligan oktahedral.

Perbedaan tingkat energi ini dapat besar atau kecil bergantung


beberapa faktor, tetapi semua itu didefinisikan sebagai 10 Dq. Pendekatan
ligan ke ion logam dapat dipandang melalui dua tahap. Tahap pertama; ligan
mendekat menghasilkan medan simetri (keseluruh arah) sehingga dihasilkan
kenaikan tingkat energi kelima orbital d (disebut orbital terdegenerasi
hipotesis). Kedua; pendekatan ligan dari arah tertentu (bentuk oktahedron)
sehingga pembelahan orbital hipotesis menjadi dua kelompok yang pusat
gravitasnya tetap. Dengan demikian tidak ada perubahan energi rata-rata
dari orbital d secara keseluruhan. Dengan demikian tingkat energi orbital eg
sebesar 6 Dq lebih tinggi dari pusat gravitas dan orbital t2g sebesar 4 Dq
lebih rendah dari pusat gravitas.

4.1 Pengukuran 10 Dq
Sebelum didiskusikan lebih lanjut mengenai spliting orbital akibat medan
kristal, perlu diketahui bagaimana mengukur besarnya energi 10 Dq itu.
Dalam hal ini digunakan contoh ion kompleks [Ti(H2O)6]3+. Ion Ti3+ memiliki
satu elektron pada orbital d atau konfigurasinya d1. Elektron itu tentu saja
akan menempati orbital d terendah. Dalam hal kompleks oktahedral akan
menempati orbital t2g. Larutan kompleks Ti3+ berwarna violet sebagai hasil

KIMIA KOORDINASI Page 39


penyerapan foton untuk mengeksitasi elektron t2g1 eg0 t2g0 eg1. Gambar
4.5 menunjukkan bahwa transisi itu terjadi pada frekuensi maksimum
20.300 cm-1. Energi transisi;

Penyerapan maksimum ReF6 (juga sistem d1) = 32.500 cm-1 atau 92,9
kkal/mole untuk harga 10 Dq. Besarnya harga 10 Dq dapat digunakan
sebagai salah satu ukuran untuk mempertimbangkan tentang stabilitas
kompleks.
Sistem d1 merupakan transisi yang sangat sederhana untuk menunjukkan
transisi elektron dari t2g1 eg0. Untuk sistem dn interaksi antar elektron harus
dipertimbanggkan sehingga transisi menjadi lebih rumit.

1,0

R O V G B I V
0,5
Log e

0,0

-0,5

10.000Gambar15.000 3+
4.5 Spektra 20.000
tampak dari larutan
25.000 ion [Ti(H 2O)6] .
30.000
Frekuensi (cm-1)

4. 2 Energi Stabilisasi Medan Kristal


Telah dikemukakan di depan bahwa perbedan energi antara orbital
t2g dan eg didefinisikan sebagai 10 Dq dan tingkat energi t2g adalah -4 Dq
relatif terhadap pusat gravitas atau pusat tingkat energi orbital

KIMIA KOORDINASI Page 40


terdegenerasi hipotesis. Dalam hal sistem d1 energi stabilisasi medan kristal
(crystal field stabilization energy, CFSE) sama dengan -4 Dq dan untuk sistem
d2, CFSE = -8 Dq serta untuk d3 -12 Dq. Dalam pengisian elektron aturan
Hund tetap berlaku. Elektron tetap tidak membentuk pasangan lebih dahulu
apabila masih ada orbital lain yang tingkat energinya sama belum terisi
elektron. Dalam hal d4 ada dua kemungkinan konfigurasi, elektron keempat
dapat memasuki orbital eg atau orbital t2g dengan membentuk pasangan.
Jika elektron menempati orbital eg, maka pada kondisi ini dinamakan medn
lemah atau spin tinggi. Kompleksnya dinamakan kompleks medan lemah
atau kompleks spin tinggi. Kondisi itu terjadi apabila harga 10 Dq sedemikian
kecil sehingga energi yang diperlukan untuk membentuk pasangan elektron
dalam satu orbital (P) lebih besar daripada harga 10 Dq (P > 10 Dq). Karena
elektron keempat menempati orbital eg maka harga CFSE menjadi;

Sistem d4 untuk kompleks medan lemah memiliki konfigurasi elektron t2g3


eg1. Untuk sistem d5 elektron kelima akan masuk ke orbital eg sehingga
konfigurasi elektron menjadi t2g3 eg2 dan CFSE = 0. Dengan cara yang sama
untuk sistem d6-d10 dengan mudah dapat diperoleh.
Jika pembelahan orbital d sedemikian besar sehingga melebihi energi untuk
pembentukan pasangan (10Dq > P), elektron keempat cenderung
menempati orbital t2g. Kondisi semacam ini dinamakan medan kuat dan
kompleksnya disebut sebagai kompleks medan kuat atau kompleks spin
rendah. Harga CFSE untuk sistem d4 sama dengan -16Dq + P, untuk sistem d5
-20Dq + 2P dan untuk d6 -24Dq + 3P. besarnya harga CFSE untuk setiap
sistem pada medan lemah dan kuat dapat secara lengkap dilihat dalam tabel
4.1.

KIMIA KOORDINASI Page 41


Tabel 4.1 Harga 10 Dq untuk kompleks oktahedral ligan kuat dan lemah

Medan Lemah Medan Kuat


dn Konfigur Elektron CFSE dn Konfigur Elektron CFSE
asi tak psg asi tak psg
d1 t2g1 1 -4 Dq d1 t2g1 1 -4 Dq
2 2 2 2
d t2g 2 -8 Dq d t2g 2 -8 Dq
d3 t2g3 3 -12 Dq d3 t2g3 3 -12 Dq
d4 t2g3 eg1 4 -6 Dq d4 t2g4 2 -16 Dq+p
5 3 2 5 5
d t2g eg 5 0 Dq d t2g 1 -20 Dq+2p
d6 t2g4 eg2 4 -4 Dq+ p d6 t2g6 0 -24 Dq+3 p
d7 t2g5 eg2 3 -8 Dq+2p d7 t2g6 eg1 1 -18 Dq+3p
8 6 2 8 6 2
d t2g eg 2 -12 Dq+3p d t2g eg 2 -12 Dq+3p
d9 t2g6 eg3 1 -6 Dq+4p d9 t2g6 eg3 1 -6 Dq+4p
d10 t2g6 eg4 0 0 Dq+5p d10 t2g6 eg4 0 0 Dq+5p
Cat: Dalam tabel ini interaksi konfigurasi atau pengaruh elektron-elektron telah diabaikan

Dengan demikian teori medan kristal menjelaskan perbedaan sifat


kemagnetan antara kompleks [Co(NH3)6]3+ dan [CoF6]3- adalah sebagai
berikut;
eg
eg

10Dq
10Dq =
=

t2g t2g

[CoF6]3- [Co(NH3)6]3
+
[Co(NH3)6]
3+
dan
Kompleks [CoF6]3- bersifat paramagnetik karenaCo(NH
harga ]3 Dq lebih kecil
3)610
[CoF6]3- +
dan
3-
daripada harga P sehingga elektron cenderung tidak
[CoF berpasangan
6] sebelum
orbital eg terisi elektron sehingga kompleks itu disebut kompleks medan
lemah dan ligan yang menyebabkan terbentuknya kompleks medan lemah
disebut sebagai ligan medan lemah atau ligan lemah. Sedangkan kompleks
[Co(NH3)6]3+ bersifat diamagnetik karena 10 Dq lebih besar daripada P
sehingga elektron cenderung membentuk pasangan daripada menempati eg
yang begitu tinggi tingkatannya. Akibatnya keenam elektron menempati
orbital t2g dan semua berpasangan. Karena ligan ammonia dapat

KIMIA KOORDINASI Page 42


membentuk kompleks medan kuat, maka ammonia disebut ligan kuat
terhadap ion logam Co3+.
Energi Pasangan Elektron. Energi ini diperlukan apabila dua elektron
membentuk pasangan. Perbedaan energi antara konfigurasi spin rendah dan
spin tinggi disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah tolakan elektron yang
harus diatasi ketika dua elektron ditempatkan dalam satu orbital (Pcoul).
Kedua adalah adanya energi perpindahan spin elektron (Peks), yaitu energi
yang diperlukan untuk mengubah spin dari paralel menjadi antiparalel.
Harga-harga energi pasangan dari beberapa ion logam 3d dapat dilihat
dalam tabel 4.2.
Tabel 4.2 Harga energi pasangan untuk beberapa ion logam 3d.
Ion Pcoul Peks PT
4 +2
d Cr 5,950 14,475 20,425
Mn+3 7,350 17,865 25,215
d5 Cr+2 5,625 12,062 17,687
Mn+3 7,610 16,215 23,825
Fe+3 10,050 19,825 29,875
d6 Mn+ 6,145 8,418 14,563
Fe+2 7,460 11,690 19,150
Co+3 9,450 14,175 23,625
d7 Fe+ 7,350 10,330 17,680
Co+2 8,400 12,400 20,800

4.3 Medan Kristal Tetrahedral


Dua geometri untuk kompleks koordinat-4 adalah tetrahedral dan
bujursangkar. Koordinasi tetrahedral dapat didekati sebagai koordinasi
tabung/kubus. Ditinjau 8 ligan mendekati atom logam pusat dan setiap
sudut kubus (gambar 4.6). dalam keadaan ini logam mendekat tidak
berhadapan langsung dengan arah orbital d atom logam. Walaupun
demikian ligan itu lebih dekat dengan orbital t2g daripada eg dalam medan
oktahedral. Oleh karena itu tingkat energi orbital t2g akan naik dan orbitaleg
turun. Selanjutnya karena pusat gravitas tetap sama, orbital t2g 4 Dq diatas
pusat gravitas dan eg 6 Dq dibawah pusat gravitas. Jadi pembelahan orbital

KIMIA KOORDINASI Page 43


pada koordinasi kubus yang terdiri atas 8 ligan akan merupakan kebalikan
dari oktahedral (gambar 4.7).

Gambar 4.6 Orbital d dalam medan kubus

Jika empat ligan kosong (gambar 4.6) dihilangkan maka tinggal 4 ligan lain
yang berbentuk tetrahedral. Posisi tingkat energi orbital tetap sama tetapi
besarnya akan berkurang menjadi separohnya karena perbedaan tingkat
energi tidak besar maka dalam kompleks tetrahedral hanya dikenal medan
lemah dan konfigurasi elektron dan besar CFSE akan menjadi sederhana.
Energi pasangan tidak pernah lebih besar daripada 10 Dq sehingga tidak
akan membentuk pasangan terlebih dahulu sebelum semua orbital terisi.
Sistem d4, sebagai contoh; mempunyai konfigurasi elektron eg2 t2g2 dengan
CFSE -4 Dq. Akibat lain adalah harga CFSE tidak pernah mencapai -16 Dq
samapai -24 Dq.

dxy, dxz, dyz =


t2g
4 Dq

6 Dq

dz2, dx2-y2 = eg

Gambar 4.7 Pembelahan orbital d dalam medan tetrahedral

KIMIA KOORDINASI Page 44


4.4 Faktor yang mempengaruhi harga 10 Dq
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya
pembelahan orbital d oleh ligan. Beberapa haraga 10 Dq kompleks akuo
dari kation transisi pertama seperti dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data teori medan kristal untuk ion logam transisi pertama dalam kompleks aquo

K.Dasar K.Dasar K.dasar Stabilisasi


n Dq(cm-1)
d Ion ion Medan Medan (kkal/mol)
bebas Okt. Tetr. Okt. Tetr Okt. Tetr
3+ 2
1 Ti D t2g1 eg1 2030 900 23,1 15,4
2 V3+ 3
F t2g2 eg2 1800 840 41,5 28,7
3 V2+ 4
F t2g3 eg2 t2g1 1180 520 40,2 8,7
Cr3+ 4
F t2g3 eg2 t2g1 1760 780 60,0 13,3
4 Cr2+ 5
D t2g3 eg1 eg2 t2g2 1400 620 24,0 7,0
Mn3+ 5
D t2g3 eg1 eg2 t2g2 2100 930 35,9 10,6
5 Mn2+ 6
S t2g3 eg2 eg2 t2g3 750 330 0 0
Fe3+ 6
S t2g3 eg2 eg2 t2g3 1400 620 0 0
6 Fe2+ 5
D t2g4 eg2 eg3 t2g3 1000 440 11,4 7,5
Co3+ 3
D t2g6 eg3 t2g3 780 45,0 26
7 Co2+ 4
F t2g5 eg2 eg4 t2g3 1000 440 17,1 15,0
8 Ni2+ 3
F t2g6 eg2 eg4 t2g4 860 380 29,3 6,5
9 Cu2+ 2
D t2g6 eg3 eg4 t2g5 1300 580 22,2 6,6
10 Zn2+ 1
S t2g6 eg4 eg4 t2g3 0 0 0 0

Dari tabel diatas terlihat bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi
harga 10 Dq. Pertama adalah muatan ion logam. Makin banyak muatan ion,
makin besar pula harga 10 Dq-nya. Hal ini dapat dijelaskan dengan
menggunakan model medan kristal elektrostatik. Semakin besr muatan ion
logam akan semakin besar pula kemampuannya untuk menarik ligan lebih
dekat. Akibatnya pengaruh ligan semakin kuat sehingga pembelahan orbital
semakin besar. Secara teoritis perubahan muatan dari +2 menjadi +3 akan
menghasilkan kenaikan harga 10 Dq sebesar 50%. Pembelahan medan
oktahedral lebih kuat dua kalinya jika dibandingkan medan tetrahedral. Hal
ini dapat diterangkan dengan menggunakan dua faktor, yaitu hanya empat
ligan yang mempengaruhi tetrahedral, sedangkan ada enam ligan yang
mempengaruhi oktahedral. Akibatnya 10 Dq tetrahedral kira-kira 33% akan

KIMIA KOORDINASI Page 45


lebih rendah. Kemudian dalam kompleks tetrahedral pengaruh ligan kurang
efektif karena posisi ligan tidak berhadapan langsung dengan orbital d
sedangkan dalam kompleks oktahedral pengaruh ligan maksimum terhadap
orbital eg dan minimum terhadap orbital t2g. ditunjukkan bahwa harga 10
Dq tetrahedral hanya 4/9 10 Dq oktahedral.

Jenis ion pusat ternyata juga mempengaruhi harga 10 Dq. Logam-logam


yang terletak dalam satu periode pada sistem periodik memang tidak begitu
berbeda harga 10 Dq-nya. Tetapi bila dibandingkan logam-logam yang
terletak dalam satu golongan, logam-logam yang memiliki orbital 5d lebih
kuat daripada 4d dan 3d.

Faktor kedua adalah sifat ligan. Harga 10 Dq kompleks ion Cr dengan


beberapa ligan dapat dilihat dalam gambar berikut.

Cl S N C
10 Dq [Cr(CN)6]-3
10 Dq [Cr(dtp)]
Energi Relatif

10 Dq [CrCl4]-3

[Cr(NH3)6]+3
10 Dq

Kekuatan medan ligan meningkat

Gambar 4.8 Pengaruh ligan pada harga 10 Dq

KIMIA KOORDINASI Page 46


Dari gambar ini tampak bahwa ada peningkatan harga 10 Dq untuk ligan
dengan atom berurutan Cl S O N C. lebih lengkap daftar ligan-
ligan dengan ukuran kekuatan ligan dapat dilihat pada tabel 4.4. Meskipun
tidak dapat dibandingkan dengan membuat kompleks dengan satu jenis ion
logam. Urutan kekuatan medan ligan dapat dinyatakan sebagai berikut;
I- < Br- < S2- < SCN- < Cl- < NO3- < F- < OH- < C2O42- < H2O < NCS- < CH3CN < en <
dpy < phen < NO2- < fos < CN- < CO.
Urutan kekuatan medan ligan diatas nampaknya sulit diterangkan pada
suatu anggapan bahwa kompleks terbentuk karena interaksi ionik atau dipol
saja. Hal ini dapat diambil contoh bahwa andaikan kompleks terbentuk
karena interaksi ionik maka diharapkan ligan-ligan ammonia akan
merupakan ligan medan kuat, tetapi justru sebaliknya. Ligan OH- terletak
dibawah H2O lebih besar (NH3 = 1,47 D, H2O = 1,85 D). Dengan demikian
beberapa hal tersebut akan melemahkan teori yang menganggap bahwa
interaksi ion logam dengan ligan adalah elektrostatik murni.

Tabel 4.4 Beberapa harga 10 Dq (cm-1) untuk kompleks logam transisi

Kompleks 10 Dq Kompleks 10 Dq Kompleks 10 Dq


[CrCl6]-3 13200 [MoCl6]-3 19200 [WCl6]-3 b
[Cr(dtp)3] 14400 [Mo(dtp)3] b [W(dtp)3] b
[CrF6]-3 15200 [MoF6]-3 b [WF6]-3 b
+3
[Cr(H2O)6] 17400 [Mo(H2O)6]+3 b [W(H2O)6]+3 b
+3
[Cr(NH3)6] 21600 [Mo(NH3)6]+3 b [W(NH3)6]+3 b
[Cr(en)3]+3 21900 [Mo(en)3]+3 b [W(en)3]+3 b
-3
[CrCl6] b [RhCl6]-3 20300 [IrCl6]-3 25000
[Co(dpt)3] 14200 [Rh(dpt)3] 22000 [Ir(dpt)3] 26600
[Co(H2O)6]+3 18200 [Rh(H2O)6]+3 27000 [Ir(H2O)6]+3 b
+3
[Co(NH3)6] 22900 [Rh(NH3)6]+3 34100 [Ir(NH3)6]+3 41000
[Co(en)4]+3 23200 [Rh(en)4]+3 34600 [Ir(en)4]+3 41400
-3
[Co(CN)6] 33500 [Rh(CN)6]-3 45500 [Ir(CN)6]-3 b
Keterangan: a Singkatan dtp = dietilditiofosfat en = etilendiamin
b kompleks ini belum terukur

KIMIA KOORDINASI Page 47


Koordinasi tetrahedral dan Oktahedral. Tiga jenis kompleks telah diketahui,
yaitu oktahedral spin tinggi, spin rendah dan tetrahedral spin tinggi. Untuk
logam-logam transisi deret pertama, sejumlah kompleks dengan tipe
geometrinya telah dikenal. Berikut akan diuraikan beberapa faktor yang
mempengaruhi jenis kompleks sehingga cenderung membentuk oktahedral
atau tetrahedral.
Berdasarkan penjelasan elektrostatik murni, koordinasi oktahedral lebih
cenderung daripada tetrahedral, tetapi jika dikaitkan dengan adanya tolakan
antar ligan koordinasi oktahedral kurang stabil. Pembentukan empat ikatan
tetrahedral lebih mudah terjadi daripada oktahedral, terutama untuk ligan-
ligan besar. Hal ini akan mirip dengan pemilihan bilangan koordinasi dalam
kristal ionik yang didasarkan pada perbandimgan jari-jari kation dan anion.
Kompleks tetrahedral selalu spin tinggi sehingga harga CFSE biasanya
rendah, kecuali logam sistem d7 yang memiliki harga -12 Dq. Lain halnya
dengan koordinasi oktahedral yang distabilkan oleh besarnya harga CFSE.
4.5 Distorsi Tetragonal dari Oktahedral
Jika dua ligan trans dalam kompleks oktahedral (misalnya, sepanjang sumbu
z) menjauhi atau mendekati ion logam, maka kompleks mengalami distorsi
secara tetragonal. Biasanya beberapa distorsi sulit terjadi karena akan
kehilangan energi ikat. Walaupun pada kondisi tertentu memungkinkan
terjadinya suatu distorsi. Gambar 4.8 (a) yang menyajikan ligan-ligan pada
sumbu z ditarik keluar menjauhi ion pusat. Akibatnya interaksi ligan-ligan itu
dengan orbital yang memiliki komponen sumbu z, dz2, dxz dan dyz sehingga
tingkat energi orbital-orbital itu menjadi turun. Sebaliknya orbital yang tidak
mengandung komponen sumbu z, yaitu dx2-y2 dan dxy meningkat.
Sedangkan jika ligan sumbu z mendekati ion pusat, orbital-orbital yang
mengandung komponen sumbu z akan naik dan yang tidak mengandung
komponen sumbu z turun tingkat energinya (gambar 4.8 (b)).

KIMIA KOORDINASI Page 48


Salah satu kondisi yang menyebabkan terjadinya distorsi adalah adanya efek
Jahn Teller. Teorema Jahn Teller mengatakan bahwa untuk sistem non-linier,
yaitu sistem dimana orbital-orbital yang berada dalam keadaan
terdegenerasi terdistriibusi elektron secara tidak merata, distorsi pasti
terjadi dan menjadikan sistem kurang simetri serta orbitalnya tidak
terdegenerasi dan energinya turun.
2 2
X —y z2

½ b1 10 eg ½ b1
b1 Dq

½ b1 ½ b1

2
z X2 — y2

10
Dq
xy X2, y2
(a) (b) 10
Dq
2/3 b1 t2g
1/3 b1
b1
1/3 b1

2/3 b1
X2, y2
xy

Gambar 4.8 Diagram tingkat orbital d dalam medan tetragonal (a) ligan z-
out (b) ligan z-in

Kompleks [Ti(H2O)6]3+, merupakan satu contoh sistem non linier karena satu
elektron ion logam ditempatkan dalam orbital t2g yang tersusun oleh tiga
orbital terdegenerate (sistem non linier). Berdasarkan teori Jahn Teller
kompleks itu harus mengalami distorsi. Sayangnya teori itu tidak
meramalkan jenis distorsicmana yang akan terjadi, apakah keluar (z-out)
atau masuk (z-in). untuk memahami jenis distorsi yang terjadi dapat
digunakan suatu asumsi bahwa elektron akan menempati tingkat energi
yang lebih rendah agar memperoleh stabilitas tambahan. Berdasarkan hal
ini mudah dipahami bahwa jika elektron pada kompleks Ti3+ menempati

KIMIA KOORDINASI Page 49


orbital dx2-y2 atau ligan sumbu z mendekati ion logam akan memiliki
stabilitas lebih tinggi daripada jika ligan sumbu z menjauhi ion logam. Harga
CFSE akan 2/3 lebih besar daripada jika tidak terjadi distorsi dan 1/3 lebih
besar daripada jika mengalami distorsi ligan sumbu z menjauhi ion pusat.
Adanya distorsi pada kompleks ini ditunjukkan oleh adanya dua spektrum
hasil eksitasi t2g1 eg0 t2g0 eg1.

z2

x2-y2

V V
1 2

Xz,yz

xy

Gambar 4.9 Tingkat energi orbital d dalam [Ti(H2O)6]3+

Distorsi yang terjadi pada kompleks [CoF6]3- ditunjukkan oleh adanya dua
puncak pada spektra serapan kompleks tersebut.
Penjelasan lain tentang terjadinya efek Jahn Teller adalah kompleks logam
Cu(II). Ion Cu2+ memiliki konfigurasi elektron d9 sehingga elektron ke-9 pasti
memasuki orbital dx2-y2 atau dz2. Sistem d9 dapat dianggap sebagai sistem
d10 dengan ada lobang yang berkelakukan seperi elektron. Tempat kosong
itu akan selalu berada pada orbital yang tertinggi sehingga harus terjadi
distorsi. Dalam hal Cu(II) jenis distorsi mana yang terjadi, apakah z-out atau
z-in sulit diterangkan menggunakan teori stabilisasi berdasarkan energi.

KIMIA KOORDINASI Page 50


-1
Frekuensi (cm )
18.000 15.000 12.000 1000

Energi relatif

500 600 700 800 900 1000 1100


Panjang gelombang (nm)

Gambar 4.10 Spektra serapan K3CoF6

Suatu kenyataan bahwa tolakan antara elektron ion logam dengan elektron
ligan cenderung sekecil mungkin. Oleh karena itu jika orbital kosong itu dx 2-
y2, tolakan akan berkurang (karena sumbu x dan y didekati oleh 4 ligan).
Distorsi sistem d9 dapat juga dipandang kebalikan dengan sistem d1 karena
dalam sistem d9 hanya memerlukan satu elektron untuk mencapai keadaan
penuh sedangkan dalam sistem d1 hanya ada satu tempat terisi elektron.
Dengan kata lain distorsi yang terjadi dalam sistem d9 adalah ligan z
menjauhi ion logam (z-out). Diagram tingkat orbital dalam sistem d9 terlihat
dalam gambar 4.11.
Walaupun distorsi dapat diterangkan secara teoritis, hasil eksperimen
merupakan bukti nyata bahwa distorsi sungguh-sungguh terjadi. Dari
eksperimen diperoleh data bahwa kompleks Cu(II), distorsi yang terjadi
adalah pemanjangan ligan pada sumbu z. tabel 4.6 menyajikan beberapa
contoh yang didapatkan dalam kristal Cu2+ yang dikelilingi oleh enam anion
yang mendekati bentuk oktahedral.

KIMIA KOORDINASI Page 51


Lubang
Lubang
x2- b1g
2
,y
eg eg

a1g b2g
Z2

d9 d1
xy
b2g a1g
t2g

xz,yz eg b1g

Gambar 4.11 Diagram tingkat orbital d9 pada distorsi tetragonal yang


merupakan kebalikan dengan d1.

Tabel 4.6 Jarak antara ligan dengan logam dalam senyawa Cu(II)

Senyawa Jarak pendek rCu Jarak panjang rCu


CuF2 4F at 1,93 1,22 2F at 2,27 1,56
K2CuF4 2F at 1,95 1,24 4F at 2,08 1,47
KCuF3 2F at 1,96 1,25 4F at 2,07 1,46
CuF2.2H2O 2F at 1,89 1,18 2F at 2,47 1,76
2H2O at 1,93
CuCl2 4Cl at 2,30 1,31 2Cl at 2,95 1,96
CsCuCl3 4Cl at 2,30 1,31 2Cl at 2,65 1,66
CuCl2.2H2O 2Cl at 2,28 1,29 2Cl at 2,95 1,96
2H2O at 1,93
CuCl2.2C5H5N 2N at 2,02 1,27 2Cl at 3,05 2,06
2Cl at 2,28 1,28
CuBr2 4Br at 2,40 1,26 2Br at 3,18 2,04
-Cu(NH3)2Br2 2NH3 at 1,92 1,18 2Br at 3,08 1,94
2Br at 2,54 1,40
- Cu(NH3)2Br2 2NH3 2,03 1,28 4Br at 2,88 1,74
Cu(HCOO)2Br2 4HCOO at 2,00 1,27 2H2O at 2,36 1,63
Cu(Proline).2H2O 2N at 1,99 1,24 2H2O at 2,52 1,79
2O at 2,03 1,30
Cu(DMG)2 4N at 1,94 1,19 2O at 2,43 1,70
Cu(NH3)2Cl2 2NH3 at 1,95 1,20 4Cl at 2,76 1,77
Cu(NH3)4SO4.H2O 4NH3 at 2,05 1,30 1H2O at 2,59 1,86
1H2O at 2,37 2,64
Cu(NH3)6+2 4NH3 at 2,07 1,32 2NH3 at 2,62 1,87

KIMIA KOORDINASI Page 52


Degegenerasi orbital hanya akan terjadi apabila eg dan t2g terisi elektron
setengah penu atau penuh. Dengan demikian medan lemah, d4 dan d9,
kemudian medan kuat d7 dan d9 menunjukkan efek jahn Teller terbesar.
Logam Cu(II) merupakan salah satu contoh baik dari sistem d9 yang
mengalami distorsi Jahn Teller. Hanya sedikit data yang diperoleh untuk
menunjukkan distorsi spin tinggi d4 dan spin rendah d7. Logam Cr(II) dan
Mn(III) adalah logam sistem d4 yang keduanya telah terbukti secara
eksperimen mengalami distorsi dalam beberapa senyawa (tabel 4.7).
Tabel 4.7 Jarak antara ligan dengan logam dalam senyawa Cr(II) dan Mn(II)

Senyawa Jarak pendek rCu Jarak panjang rCu


CrF2 4F at 2,00 1,29 2F at 2,43 1,72
KCrF3 2F at 2,00 1,29 4F at 2,14 1,43
MnF3 2F at 1,79 1,08 4F at 1,91 1,20
2F at 2,09 1,38
-MnO(OH) 4O at 1,88 1,15 2O at 2,30 1,57

Ligan kelat ternyata juga dapat mempengaruhi terhadap efek Jahn


Teller dalam senyawa kompleks. Cincin kelat cenderung menahan agar
kompleks tidak mengalami distorsi dari bentuk oktahedral ke tetragonal
karena kelat memiliki jarak tertentu terhadap ion logam.
Sebuah contoh pertentangan antara stabilisasi dari efek Jahn Teller dan
bentuka kelat tertentu diperoleh dalam kompleks etilendiamin dari logam
Cu(II). Hampir setiap logam transisi divalen membentuk kompleks dengan
etilendiamin (en) dinyatakan dalam persamaan reaksi ini.

[Mn(H2O)6]2+ + en [M(H2O)4en]2+ + 2H2O

[Mn(H2O)4en]2+ + en [M(H2O)2(en)2]2+ + 2H2O

[M(H2O)2(en)2]2+ + en [M(en)3]2+ + 2H2O


Harga tetapan stabilitas, k1, k2 dan k3, merupakan ukuran kecederungan
en untuk menggantikan kedudukan dua, empat dan enam molekul air

KIMIA KOORDINASI Page 53


sehingga terbentuk kompleks mono, bis dan tris en. Harga-harga itu dapat
dilihat dalam gambar berikut.

10

8
K1
6 K2

4 K3
2

Mn2+ Fe2+ Co2+ Ni2+ Cu2+ Zn2+

Gambar 4.12 Harga tetapan stabilitas bertahap, K1, K2 dan K3 dari kompleks
etilendiamin dalam pelarut air pada 25 C

Gambar tersebut diatas menunjukkan bahwa harga k1, k2 dan k3 dari ion
logam Mn2+ sampai Cu2+ mengalami kenaikan secara teratur. Tetapi ada
pengecualian yang sangat menyolok yaitu harga k3 dari logam [Cu(en)3]2+.
Pengecualaian itu menunjukkan bahwa kompleks [Cu(en)3]2+ tidak satbil. Hal
ini dapat dijelaskan dengan adanya distorsi ion Cu2+, yaitu sistem d9.
Kompleks bin (en), [Cu(en)2]2+ terjadi distorsi dengan dua molekul air pada
posisi trans menjauhi ion Cu2+ dan dua cincin en relatif tidak dapat berubah.
Tetapi untuk kompleks tris (en), [Cu(en)3]2+, cincin kelat menekan agar tidak
terjadi distorsi tetragonal, sedangkan ion Cu2+ cenderung mengalami
distorsi. Dengan kata lain, proses penekanan sistem cincin kelat dapat
menahan terjadinya distorsi tetragonal atau bentuk oktahedral tidak
mengalami distorsi, tetapi akibatnya stabilitas kompleks akan berkurang
karena adanya distorsi Jahn Teller.

KIMIA KOORDINASI Page 54


H2O N
N N N N
Cu + en Cu + 2H2O
N N N N
H2O N

Contoh menarik lain yang menunjukkan proses distorsi dalam kompleks


Cu(II) adalah adanya perbedaan spektra [Cu(acac)2] dalam berbagai solven,
yang dikemukakan oleh Brelford dan teman-temannya. Mereka mempelajari
tembaga asetilasetonat yang memunyai koordinat bujursangkar karena
akibat distorsi tetragonal yang sangat ekstrim. Dalam solven bersifat basa
seperti ether, alkohol dan amin, dua molekul solven terkoordinasi sepanjang
sumbu z.
B
O O O O
dilarutkan Cu
Cu
dalam solven O O
O O
B

Molekul solven mempengaruhi medan komponen-z yang kekuatannya


sebanding dengan posisinya dalam deret spektrokimia. Solven seperti
kloroform mempengaruhi komponen-z sangat sedikit atau mungkin sama
sekali tidak karena sifat kebasaannya sangat lemah. Tetapi sebaliknya solven
seperti amin bersifat sangat basa sehingga dapat terkoordinasi cukup kuat.
Adanya solven yang terkoordinasi sangat kuat mengakibatkan terjadi
tolakan yang kuat antara dua molekul solven dengan dua elektron dalam
orbital dz2. Dengan demikian ligan dapat memaksa tolakan itu
mengakibatkan tingkat energi orbital dz2 meningkat dan mendekati tingkat
orbital dx2-y2. Dengan kata lain prose3ss distorsi tetragonal diperkecil.
Ada tiga transisi elektron yang mungkin dalam kompleks tetragonal (gambar
4.13), yaitu dx2-y2 (dyz) dx ( 1), dxy dx2-y2. ( 2) dan dz2 dx2-y2 ( 3).

KIMIA KOORDINASI Page 55


Frekuensi transisi ini akan bergantung pada medan yang dialami oleh orbital
d.
2 2
z2 -y
dx

v3
2
dz

v2
v1
V V
1 2
dxy
Xz,yz

dxz
xy
dyz

Gambar 4.13 Transisi Cu(acac)2 dalam tetragonal

Frekuensi v2 praktis tidak berubah pada harga 10 Dq karena dxy atau dx2-y2
tidak mempunyai komponen z. orbital ini tidak terpengaruh oleh perubahan
ligan pada sumbu z dan pemisahnya sesuai dengan pembelahan 10 Dq
dalam kompleks oktahedral yang mempunyai 6 ligan tertentu. Frekuensi v1
harus berkurang dan mendekati v2 karena medan tetragonal mendekati
konfigurasi oktahedral. Transisi ketiga, v3 juga harus berkurang karena ligan
z naik dan kemudian tidak nampak dalam batas oktahedral karena dz2 dan
dx2-y2 bergabung membentuk orbital eg terdegenerasi. Spektra Ca(acac)2
untuk berbagai solven ditunjukkan dalam gambar 4.14.

KIMIA KOORDINASI Page 56


Panjang gelombang
dioxane
1,25 1,00 0,75 0,60 0,50 1,25 1,00 0,75 0,60 0,50

Sol pyridine
CHCl3 Pp

dioxane

piperidine

Pentanol

8.000 12.000 16.000 20.000 22.000 8.000 12.000 16.000 20.000


22.000
Frekuensi Frekuensi

Gambar 4.14. Spektra Cu(acac)2 yang dilarutkan dalam berbagai solven

Dari gambar terlihat bahwa dalam solven kloroform ada dua puncak yang
berubah menuju puncak tunggal, yang mendorong ke transisi dengan energi
rendah dalam solven piperidin.
Selain itu gambar tersebut dapat dipandang terdiri atas tiga pita, pita 2,
frekuensinya tetap tidak berubah (14.800-15.200 cm-1) dan merupakan
transisi v2. Pita 1 frekuensinya turun (18.800 ke 15.100 cm-1) dan mendekati
v2. Jadi frekuensi ini merupakan v1. Pita 3 turun sesuai sebagai frekuensi v3.
Semua harga percobaan ini ternyata berkaitan secara baik dngan sifat
kebasaan yang diharapkan dalam pembelahan orbital d pada medan
tetragonal. Basa sangat lemah, kloroform memberikan medan tetragonal
mendekati pembelahan bujursangkar dengan selisih tingkat energi cukup
besar antara logam z dan xy. Ligan ekstrim lain yang memiliki sifat
kebasaannya tinggi adalah piperidin, C5H10NH, yang memberikan hampir

KIMIA KOORDINASI Page 57


mengalami medan oktahedral. Perubahan transisi dari medan bujursangkar
murni ke arah medan oktahedral murni dapat dilihat dalam gambar 4.15.
Interpretasi semacam tersebut diatas nampaknya merupakan suatu
pendorong kuat untuk menggantikan teori ikatan valensi oleh teori medan
kristal.

x2-y2

eg
xy

t2g
z2

x2,
y2 Piperidin
Deoxane
Pentano
CHC

Pyridi
l3

Gambar 4.15 Perubahan transisi dari medan bujursangkar ke oktahedral.

4.6 Kompleks Bujursangkar


Jika distorsi tetragonal z-keluar sedemikian kuat sehingga ligan pada
sumbu z jauh tak terhingga, kompleks bujursangkar akan diperoleh. Teori
medan kristal tidak memandang kompleks bujursangkar sebagai kompleks
jenis baru, tetapi merupakan keadaan khusus dari distorsi tetragonal
ekstrim. Gambar 4.16 melukiskan hubungan antara oktahedral dan
bujursangkar. Ion logam yang memiliki konfigurasi d8 dengan ligan medan
kuat cenderung membentuk kompleks bujursangkar.

KIMIA KOORDINASI Page 58


x2-y2
2 2
x -y
eg
z2

xy
xy
t2 g
z2
xz, yz
xz,yz
Pelepasan ligan z

Gambar 4.16 Distorsi kompleks oktahedral sampai terbentuk kompleks bujursangkar

Kombinasi ligan kuat dengan ion logam d8 akan menghasilkan


kompleks spin rendah dan orbital dengan tingkat energinya tertinggi, dx2-y2
tetap tidak terisi. Energi untuk transisi elektron dari orbital dxy ke dx2-y2
merupakan harga 10 Dq. Kompleks tipe bujursangkar spin rendah adalah
[Ni(CN)4]2-, [Pd(Cl)4]2-, [Pt(NH3)4]2+, [Pt(Cl)4]2- dan [Au(Cl)4]-. Semua kompleks
tersebut berasal dari ion logam sistem d8. Untuk logam transisi pertama,
hanya dengan ligan medan kuat saja seperti CN- yang dapat mempengaruhi
pasangan spin untuk stabilisasi pengaturan bujursangkar. Sebaliknya untuk
logam-logam besar dapat membentuk kompleks bujursangkar walaupun
dengan ligan-ligan medan lemah, bahkan dengan ligan halida.
Hubungan antara medan tetragonal dan medan bujursangkar dalam
kaitannya dengan pengaruh keefektifan medan ligan dapat dapat digunakan
untuk menerangkan kestabilan ion logam transisi golongan IB. untuk ion
logam tembaga(II), sebagai contoh merupakan ion sangat stabil dan seperti
telah diketahui berada dalam kompleks tetragonal. Sedangkan logam emas
dikenal stabil sebagai ion Au(I) dan Au(III). Karena Au adalah unsur 5d maka

KIMIA KOORDINASI Page 59


akan mengalami spliting orbital d 80% lebih besar daripada tembaga.
Kompleks Au(II) sistem d9, akan terdisosiasi tetragonal dengan kuat dan
elektron ke-9 akan menempati orbital tertinggi, dx2-y2. Karena terlalu
besarnya perbedaan tingkat energi, maka elektron itu cenderung lepas dan
terjadi proses ionisasi sehingga Au(II) berubah menjadi campuran Au(I) dan
Au(III).

x2-y2

x2-y2 10 Dq

10 Dq z2 xy

xy

xz, yz z2

xz, yz
Cu(II) Au(II)

Gambar 4.17 Pembelahan orbital d ion Cu(II) dan Au(II)

Dengan memandang bahwa kompleks bujursangkar merupakan spin


rendah, teori ikatan valensi dan medan kristal sama-sama menempatkan
delapan elektron dari sistem d8 pada orbital dxy, dxz, dyz dan dz2.
Kemudian penggunaan orbital dx2-y2 untuk keperluan berbeda. Teori ikatan
valensi harus menggunakan untuk hubridisasi dsp3, sedangkan teori medan
kristal dx2-y2 tidak ditempati elektron karena tingkat energinya sangat tinggi
akibat dari pengaruh ligan. Teori medan kristal mengenal dua jenis kompleks
yaitu spi rendah dan spin tinggi. Bagaimana jika terjadi kompleks
bujursangkar spin tinggi sehingga tidak terbentuk hibridisasi dsp3.

KIMIA KOORDINASI Page 60


Eksperimen menunjukkan bahwa belum pernah ditemukan kompleks
bujursangkar spin tinggi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika ada spliting
kuat, tidak ada kemampuan untuk mengubah kompleks oktahedral menjadi
bentuk bujursangkar (gambar 4.18).
x2-y2

>P x2-y2
2
z
eg
eg xy <P

Barycenter orbital d

z
xy 2

t2g
xz
yz
t2g
xz
yz

Gambar 4.18 Perbandingan stabilitas medan oktahedral dan tetragonal untuk


medan kuat (kiri) dan medan lemah (kanan).

KIMIA KOORDINASI Page 61


BAB V TEORI ORBITAL MOLEKUL

Meskipun teori medan kristal telah dapat menyajikan penjelasan


cukup baik terhadap senyawa kompleks dan disertai dengan data-data
eksperimen, nampaknya ada kekeliruan yang sangat fatal, yaitu adanya
anggapan bahwa pembentukan kompleks merupakan interaksi ionik antara
ligan dan ion logam. Anggapan itu terlalu sederhana karena ada beberapa
eksperimen dan alasan semiteoritis yang dapat menjelaskan anggapan
bahwa pembelahan orbital d semata-mata merupakan hasil efek
elektrostatik dan bahwa ikatan yang terjadi adalah ionik murni tanpa ada
sifat kovalen. Seperti telah diketahui bahwa interpretasi deret spektrokimia
sangat bertentangan dengan model muatan. Ligan CO sebagai contoh,
merupakan ligan medan kuat meskipun tidak bermuatan dan hanya
mempunyai momen dipol sangat kecil ( =0,112 D).
Berdasarkan pada teori saja, teori medan kristal sudah memiliki
kelemahan. Jika dipandang bahwa orbital merupakan fungsi gelombang
maka antara orbital dari ligan dan dari ion pusat harus ada overlap meskipun
belum diketahui fungsi gelombang untuk unsur-unsur logam berat. Overlap
itu ditunjukkan oleh eksperin bahwa jarak antara ligan dan ion pusat pada
kompleks lebih pendek daripada penjumlahan jari-jari kedua spesies
sebelum membentuk kompleks.
Sebelum diuraikan secara detail mengenai interaksi antara orbital dan
beberapa elektron yang ada didalamnya, hal menarik jika dibandingkan
dahulu perbedaan dasar antara teori medan kristal yang telah panjang lebar
dibicarakan dengan teori orbital molekul.
Misalkan ditinjau suatu sistem sederhana pembentukan spesies [AB]+
dari basa Lewis B, yang memiliki sebuah orbital terisi pasangan elektron

KIMIA KOORDINASI Page 62


bebas dari asam Lewis (ion logam) A+ yang memiliki orbital hibrida sp dan
sebuah elektron.

B + ( A )+ [AB]+

Dalam ion A+ terisolasi 2 orbital sp berada dalam keadaan


terdegenerat . tetapi setelah pasangan elektron bebas mendekat kedua
orbital tersebut tersplit menjadi orbital dengan tingkat energi rendah (A2*)
dan orbital dengan tingkat energi tinggi (A1*). Interpretasi teori medan
kristal sangat sederhana, yaitu pasangan 1 elektron dalam A+ akan
menempati orbital (A2*) karena tolakan oleh ligan realtif kecil. Transisi (A2*)
(A1*) dinyatakan oleh 10 Dq.

A1*
A1, A2
10 Dq
Orbital
logam bebas A2*

Medan dari B
Meningkat B

Ligan

Gambar 5.1 Model medan kristal untuk ion [AB]+.

Teori orbital molekul menjelaskan proses tersebut agak berbeda tetapi


hasilnya mirip. Dianggap bahwa orbital A1 pada ion logam berhadapan
dengan orbital pada B dan kemudian mengalami overlap. Menurut teori
orbital molekul, jika dua orbital atom berinteraksi, maka akan dihasilkan dua
orbital baru yang merupakan kombinasi linier dari dua orbital atom itu, yaitu
orbital bonding (ikatan) dan orbital anti-ikatan (antibonding). Kedua orbital
itu mempunyai fungsi gelombang;

KIMIA KOORDINASI Page 63


b = A1 + B

a = A1 - B
Orbital A2 tidak mengalami overlap sehingga energi tidak berubah dan
menjadi orbital non-bonding. Ketiga elektron akan menempati orbital-
orbital yang tingkat energinya rendah (gambar 5.2).

10 Dq

A1 , A2 n B

Orbital logam Ligan


Tak tercampur
b

Orbital Molekul

Gambar 5.2 Model teori orbital molekul untuk ion [AB]+,


untuk kovalen murni

Transisi elektron yang terjadi dari n a ditandai sebagai 10 Dq.


Berdasarkan kedua teori tersebut nampak ada kemiripan, yaitu;
1. Elektron tunggal menempati sebuah orbital pada spesies A+ yang tidak
berhadapan dengan B.
2. Energi sebesar 10 Dq akan diperlukan jika sebuah elektron dipromosikan
ke orbital yang searah dengan B.
3. Adanya elektron tunggal akan mengurangi stabilitas molekul.
4. Besarnya harga transisi, 10 Dq akan sebanding dengan besarnya interaksi
antara A dan B.
Perbedan kedua teori itu disebabkan oleh anggapan yang berbeda tentang
tingkat energi awal. Teori medan kristal menganggap bahwa tidak ada ikatan
kovalen sehingga energi elektron di B harus jauh lebih rendah dari orbital di
A. teori orbital molekul menganggap bahwa energi orbital tidak jauh

KIMIA KOORDINASI Page 64


berbeda. Apabila elektronegatifitas B naik, hal ini akan menurunkan tingkat
energi dan diagram CFT akan didapatkan.

a
A1
A 1, A 2 10 Dq

Orbital
Logam tak A2 n
Tercampur
pengaruh
muatan B

b
Pengaruh overlap

Gambar 5.3 Model teori orbital molekul untuk [AB]+, ada perbedaan
elektronegativitas A dan B

Dengan menggunakan cara yang sama, selanjutnya akan ditinjau


bagaimana teori orbital molekul menjelaskan pembentukan kompleks
[Co(NH3)6]3+. Untuk penjelasan itu ada beberapa pendekatan yang
diperlukan dan diagram yang dihasilkan hanya secara kualitatif, terutama
penyususnan tingkat energinya. Walaupun demikian tetap akan dapat
menerangkan keunggulan teori orbital molekul.
Sebelum pembentukan kompleks dibicarakan baiklah akan diuraikan
terlebih dahulu mengenai orbital ligan yang digunakan. Jika dipandang sustu
kompleks oktahedral maka ada enam ligan yang berarti ada enam orbital
ion pusat menghasilkan enam orbital bonding dan enam antibonding.
Misalkan dipandang orbital 3d, dua orbital akan berhadapan langsung
dengan ligan yang menghasilkan overlap, sedangkan tiga orbital lainnya
tidak menghasilkan operlap (gambar 5.4).

KIMIA KOORDINASI Page 65


Gambar 5.4 Operlap ligan dalam bidang xy dengan orbital
dx2-y2 (a) dan dxy (b)

Fungsi gelombang untuk orbital kelompok ligan (ligan group orbital, LGO)
dapat dinyatakan berdasarkan gambar diatas, yaitu;
LGO, x2-y2 = ½ ( x + -x - y - -y )
Atau lebih sederhana dinyatakan sebagai berikut;

Dengan dan menyatakan fungsi gelombang untuk orbital kelompok ligan


dan orbital atom penyumbang. Fungsi gelombang orbital kelompok ligan
yang berinteraksi dengan orbital eg kedua, yaitu dz2, dinyatakan;

Fungsi gelombang orbital kelompok ligan yang sesuai untuk berinteraksi


dengan orbital atom pusat dapat dilihat pada gambar 5.4.
Overlap orbital 4s dn 4p dengan orbital kelompok ligan akan lebih baik
daripada dengan orbital 3d. dengan demikian orbital antibonding a1*g dan
t1*u menempati urutan tingkatan energi tertinggi. Kenaikan orbital eg dan
eg* dari orbital 3d ditempatkan hanya sedikit di bawah barysenter karena
operlapnya hanya sedikit. Orbital t2g merupakan orbital non-bonding (sistem
ikatan pi belum diperhatikan) dan tidak mengalami perubahan tingkat
energi. Hasil diagram energi dapat dilihat dalam gambar 5.5.

KIMIA KOORDINASI Page 66


Gambar 5.4 Orbital kelompok ligan (LGO) dan orbital atom yang dapat
mengalami overlap

Orbital Atom Orbital Molekul Orbital grup ligan


(OA) (OM) (OGL)
t*1u

OA terdistorsi oleh a*1g


Medan ligan
t1u

e*g
p a1g

s eg

d t2g t2g

eg

t1u

a1g

Logam Kompleks Ligan

Gambar 5.5 Diagram molekul kompleks Oktahedral

KIMIA KOORDINASI Page 67


Langkah selanjutnya adalah menyusun elektron-elektron ke dalam orbital
molekul kompleks sesuai dengan kenaikan tingkat energi orbital. Dalam
kompleks [Co(NH3)6]3+ sebagai contoh, ada 18 elektron, 12 elektron berasal
dari pasangan bebas atom nitrogen dan 6 elektron dari konfigurasi 3d6 pada
ion Co3+. Konfigurasi elektron menjadi a1g2 t1u6 eg4 t2g6. Kompleks bersifat
diamagnetik karena pembentukan pasangan elektron lebih disukai daripada
elektron menempati orbital eg* yang tingkat energinya lebih tinggi.
Sebaliknya jika perbedaan energi antara t2g dan eg* kecil, seperti dalam
kompleks [CoF6]3-, elektron akan menempati t2g4 dan eg*2. Jadi baik teori
orbital molekul dan teori medan kristal menentukan sifat kemagnetan dan
spektra ion kompleks oktahedral dengan menggunakan keberadaan dua set
orbital yang memiliki tingkat energi berbeda, 10 Dq. Seperti telah diuraikan
didepan bahwa jika perbedaan energi itu lebih besar daripada energi untuk
pasangan, kompleks spin rendah akan terbentuk, sebaliknya jika energi
untuk pasangan lebih besar dari 10 Dq, kompleks spin tinggi akan dihasilkan.
Dengan demikian spektra visibel kompleks diakibatkan oleh transisi elektron
seperti t2g eg*. Hasil kualitatif teori medan kristal dan orbital molekul
sangat mirip meskipun dasar pemikirannya berbeda. Walaupun adanya
perbedaan dasar pemikiran, kedua teori tersebut menggambarkan kompleks
sebagai interaksi antara orbital ion logam dengan ligan. Jika interaksi itu
kuat/besar, maka harga 10 Dq akan besar pula. Dalam MOT besarnya 10 Dq
merupakan hasil dari ikatan yang kuat ligan-ion logam dibanding interaksi
efek elektrostatik. Untuk ikatan yang kuat, tingkat a1g, tiu dan eg akan
rendah, sedangkan orbital antibonding eg*, t2g* dan a1g* akan naik. Apabila
ligan jauh dari ion logam, overlap berkurang, ikatan lemah, dan orbital
mendekati barisenter. Akan tetapi jika ligan dihilangkan akan diperoleh
orbital d terdegenerate seperti dalam CFT.

KIMIA KOORDINASI Page 68


t*1u

a*1g

t1u

e*g
p a 1g

s eg 10 Dq

d t2g t 2g

bagian diagram
eg OM yang
jelaskan
Bagian diagram oleh TMK
OM yang jelaskan t 1u
Oleh TIV

a1g

Co+3 6
NH3
Gambar 5.6 Diagram tingkat orbital molekul kompleks [Co(NH3)6]3+ dan
distribusi elektronnya.

Bila dikaitkan dengan teori ikatan valensi, pembentukan kompleks


ditekankan pada orbital hibrida d2sp3 dari orbital logam. Orbital molekul a1g,
t1u dan eg dibentuk dari 1 orbital 4s, 3 orbital 4p dan 2 orbital 3d pada
logam. Hal ini serupa dengan penjelasan VBT yang sangat sederhana dan
keadaan eksitasi diabaikan. Dari perbandingan ketiga teori tersebut, teori
orbital molekul memiliki aspek terbaik yang meliputi kedua teori lain (VBT
dan CFT).

5.1. Teori ikatan pi dan MOT Kompleks Ligan.


Dengan mempertimbangkan adanya pembentukan ikatan pi dalam
kompleks dapat bermanfaat untuk menerangkan stabilitas beberapa
kompleks yang tidak pernah disinggung oleh CFT. Ada tiga macam orbital
ligan yang memungkinkan terjadinya pembentukan orbital d dalam logam,
yaitu;

KIMIA KOORDINASI Page 69


1. Orbital p ligan tegak lurus dengan sumbu ikatan sigma.
2. Orbital d ligan terletak dalam satu bidang dengan orbital atom logam.
3. Orbital (pi) anti-bonding ligan terletak dalam satu bidang dengan
orbital atom logam.

Gambar 5.7 Ikatan pi antara orbital d dan ligan (a) orbital p, (b) orbital d, (c)
orbital pi antibonding

Pertama ditinjau pembentukan ikatan pi pada kompleks [CoF6]3-. Proses


pembentukan ikatan sigma telah diuraikan dimuka. Orbital 2p dari ion
fluorida (t2g ligan) dapat berinteraksi dengan orbital t2g dari logam. Karena
fluor lebih elektronegatif daripada kobalt maka orbital 2p fluor terletak
lebih rendah daripada 3d. Interaksi orbital ligan dan logam akan
menghasilkan orbital ikatan pi, , yang tingkat energinya lebih rendah
daripada orbital t2g ligan dan orbital anti-ikatan, *, yang lebih tinggi
daripada orbital t2g logam.
Karena orbital 2p dalam fluorida telah terisi penuh elektron dalam orbital
ikatan , elektron akan mengisi orbital ikatan, sedangkan elektron dari
orbital 3d (t2g) akan mengisi orbital anti-ikatan, *, yang tingkatannya lebih
tinggi jika ikatan tidak terbentuk. Karena tingkat orbital eg* tidak
terpengaruh oleh interaksi , maka harga 10 Dq (eg*-t2g* atau eg* - t2g*)
menjadi berkurang. Hal ini dapat digunakan untuk menerangkan mengapa
ligan fluor (termasuk halogen lain) merupakan ligan lemah.

KIMIA KOORDINASI Page 70


*
eg eg
10 Dq
10 Dq
* t2g

t2g

t2g

Kompleks- t2g
Orbital ligan

Gambar 5.8 Diagram tingkat orbital sistem ikatan pi untuk kompleks [CoF6]-3

Hal yang menarik lagi, ikatan yang terjadi dengan ligan-ligan seperti R3P
dan R2S. dalam molekul-molekul ini atom yang bertindak sebagai donor
elektron dapat membentuk ikatan sigma dengan melalui pendekatan orbital
hibrida sp3 seperti halnya NH3.

*
t2g

t2g

*
eg eg
10 Dq

t2g

Kompleks- t2g
Orbital ligan

Gambar 5.9 Diagram tingkat energi orbital sistem ikatan pi untuk ligan
sebagai aseptor elektron

Fospor dan sulfur memiliki orbital 3d kosong yang dapat menerima elektron
dari logam melalui pembentukan ikatan pi. Atom-atom memiliki
elektronegatif cukup rendah sehingga orbital ligan t2g akan terletak pada
tingkat lebih tinggi daripada orbital logam (gambar 5.9).

KIMIA KOORDINASI Page 71


Meskipun tingkat t2g diturunkan dan t2g* menjadi naik seperti halnya pada
kompleks [CoF6]3+, tetapi orbital ligan t2g adalah kosong dan yang terisi
elektron hanya orbital ikatan t2g dari logam. Dengan demikian kompleks
akan lebih terstabilkan dengan adanya pembentukan ikatan (harga 10 Dq
lebih besar daripada ikatan tidak terbentuk). Ikatan semacam ini oleh
VBT sering disebut ikatan balik.
Pembentukan ikatan oleh ligan seperti fosfor dan sulfur merupakan
penjelasan sederhana untuk ligan-ligan yang sangat kuat yang tidak dapat
dijelaskan oleh CFT. Jika kembali pada deret spektrokimia, akan ditemukan
bahwa ion nitrit, sianida, karbon dioksida dan gugus fosfor sebagai ligan-
ligan kuat. Ligan-ligan itu memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan
seperti yang diuraikan diatas dan menaikkan harga 10 Dq.
Pembentukan ikatan model lain adalah dengan orbital * dari ligan,
seperti terjadi pada ligan CO. ikatan yang terbentuk mirip dengan model
lain dan juga dapat meningkatkan harga 10 Dq. Ion-ion halida seperti
klorida, bromida dan iodida selain memiliki orbital p terisi pasangan elektron
bebas juga memiliki orbital d kosong. Mengapa orbital d tidak ikut terlibat
dalam pembentukan ikatan yang memungkinkan menaikkan harga 10 Dq.
Pertnyaan ini segera terjawab dengan melihat hasil eksperimen yang
menunjukkan bahwa ion-ion halida terletak pada daerah ligan lemah dalam
spektrokimia. Hal ini menunjukkan bahwa orbital p akan mengalami
interaksi lebih kuat daripada orbital d.
Adanya ikatan ini dapat digunakan untuk menerangkan bahwa logam
memiliki bilangan oksidasi berbeda bila membentuk kompleks dengan ligan
yang berbeda. Bila ligan memiliki orbital kosong maka logam akan mampu
memiliki bilangan oksidasi rendah karena elektron dalam logam dapat
ditransfer ke orbital ligan. Sebaliknya ligan yang memiliki orbital penuh
seperti ion fluorida maka logam akan cebderung berada sebagai ion dengan

KIMIA KOORDINASI Page 72


tingkat oksidasi tinggi untuk mengurangi kerapatan elektron seperti pada
[MnF6]-, [TaF8]- dan sebagainya.

5.2. Pengukuran Pengaruh Ikatan .


Telah diketahui bahwa adanya konsep ikatan mampu memberi alasan
yang baik tentang deret spektrokimia. Dalam topik ini akan dibicarakan
metode eksperimen yang mengevaluasi adanya ikatan .
Salah satu metode eksperimen paling banyak digunakan adalah
mempelaajari spektra infrared, yaitu mengukur frekuensi serapan suatu
ikatan. Frekuensi merupakan ukuran ketahanan ikatan untuk penggantian
atom dan juga ukuran kekuatan ikatan. Karena ikatan rangkap tiga lebih kuat
daripada ikatan rangkap maka serapan infrarednya akan terjadi pada
frekuensi lebih tinggi. Metode ini dapat juga digunakan untuk
memperkirakan kekuatan ikatan secara kualitatif. Sebagai contoh dapat
dilihat dalam tabel 5.1 yang menyajikan dara IR untuk dua deret
isoelektronik karbonil logam.
Berdasarkan pada penyerapan maksimum, dapat dikatakan bahwa energi
ikat C-O dalam deret turun sesuai urutan sebagai berikut; [Mn(CO)6]+ >
[Cr(CO)6] > [V(CO)6]- dan [Ni(CO)4] > [Co(CO)4]- > [Fe(CO)4]2-.
Tabel 5.1 Frekuensi IR dari kompleks molidenium karbonil
Senyawa a Frekuensi (cm-1)
(PCl3)3Mo(CO)3 1989, 2041
( PCl2)3Mo(CO)3 1943, 2016
( 2PCl)3Mo(CO)3 1885, 1977
( 3P)3Mo(CO)3 1835, 1949
Py3Mo (CO)3 1746, 1888
dienMo(CO)3 1723, 1883

Hasil kualitatif ini sesuai dengan ikatan yang telah didiskusikan diatas.
Apabila muatan positif logam pusat meningkat, maka kecenderungan logam

KIMIA KOORDINASI Page 73


membentuk ikatan balik ke dalam orbital * pada ligan CO semakin
berkurang. Sebaliknya dalam kompleks anion, logam memiliki kerapatan
elektron lebih besar dan dapat mentransfer elektron itu untuk
pembentukan ikatan . Akibat adanya ikatan M-C akan mengurangi
kekuatan C-O karena ada suatu kompetisi antara logam dengan oksigen
untuk menarik orbital C yang sesuai untuk ikatan. Menurut VBT terjadi
resonansi;
M- – C = O+ M=C=O
(I) (II)
Bentuk (I) kerapan elektron berada pada logam (sebagai hasil ikatan sigma
M-C) dan ini terjadi dalam kompleks seperti [Mn(CO)6]+. Ikatan C-O tetap
kuat, sedangkan bentuk (II) muatan negatif terdistribusi merata ke seluruh
atom karena atom logam mentransfer elektron melalui sistem ikatan .
Kompetisi untuk terbentuknya ikatan dapat diamati dalam hal yang sama
seperti uraian berikut ini. Diasumsikan ada dua molekul hipotetik yang
ditunjukkan pada gambar 5.10. Walaupun molekul-molekul itu hipotetik,
mereka dapat dipandang sebagai bagian kompleks dari oktahedral
[Mo(CO)6] dan [Mn(CO)6L3].

Ikatan dengan
kekuatan sama
ikatan lebih kuat ikatan lebih lemah

(a) (b)

Gambar 5.10 Kompetensi orbital d atom pusat untuk membentuk ikatan pi dengan dua ligan (a)
sama dan (b) berbeda

KIMIA KOORDINASI Page 74


Dalam sistem OC—Mo—CO kedua karbonil memiliki kerapatan elektron
persis sama. Tetapi jika ligan L merupakan ligan yang membentuk ikatan
sangat lemah (atau bahkan tidak membentuk ikatan ) maka ikatan antara
C dengan logam akan diperkuat. Dengan demikian kerapatan elektron pada
logam cenderung berpindah ke ligan CO dan membuat ikatan sangat kuat.
Pernyataan resonansi dinyatakan;
OC—M = L OC = M —L
(I) (II)
Dalam hal L = CO, bentuk (I) dan (II) akan menyumbang sama pada fungsi
gelombang hibrida dan kita dapat mengatakan bahwa ad separoh ikatan
pada setiap ikatan. Jika L merupakan ligan pembentuk lebih lemah
daripada CO, bentuk (II) akan menyumbang hibrida lebih besar dan ikatan
logam-karbon akan diperkuat. Dalam hal L merupakan ligan pembentuk
lebih kuat, seperti gugus nitrosil, fosfortriklorida, bentuk (I) akan lebih besar
menyumbang struktur hibrida daripada bentuk (II).

Tabel 5.2 Frekuensi IR dari kompleks beberapa logam karbonil

Senyawa Frekuensi (cm-1)


[Mn(CO)6]+ 2090
[Cr(CO)6] 2000
[V(CO)6]+ 1860
[Ni(CO)4] 2060
[Co(CO)4]- 1890
[Fe(CO)4]2- 1790

Dari tabel 5.2 terlihat bahwa penurunan frekuensi IR dari atas kebawah
sesuai dengan penurunan ikatan C-O dan peningkatan ikatan C-Mo. Hal
ini menunjukkan bahwa kompetisi karbonmonoksida dengan ligan
lawanmeningkat dari fosfortriklorida ke etilendiamin (dien). Untuk ligan
fosfor ini se3suai dengan penggantian klor oleh gugus fenil yang kurang
elektronegatif membuat fosfor kurang mampu menerima muatan negatif.

KIMIA KOORDINASI Page 75


Piridin membentuk ikatan tetapi relatif lemah. Kemudian dien mirip
dengan ammonia tidak dapat membentuk ikatan . Ukuran kekuatan ligan
untuk membentuk ikatan dengan logam adalah;
NO > CO=RNC=PF3 > PCl3 > PCl2OR > PCl2R > PBr2R > PCl(OR)2 > PCl(R)2 >
P(OR)3 > P(R)3-SR2 > RCN > o-fenantrolin > alkilamina, eter dan alkohol.
Deret itu menunjukkan kecenderungan ligan yang dapat diharapkan
berdasarkan elektronegatifitas, terutama ligan-ligan fosfor PCl3 lebih besar
daripada PCl3 > halofosfit dari halofosfin > fosfin. Kemiripan fosfit dan fosfin
lebih daripada yang diprediksikan berdasarkan elektronegatifitasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada ikatan O-P sejati dalam fosfit dan komposisi
orbital d dari fosfor. Alkil amin, eter dan alkohol tidak memiliki orbital
kosong yang tingkat energinya rendah sehingga membentuk ikatan sangat
lemah.
Penjelasan terbaik untuk ikatan dan kompetisi trans untuk orbital d logam
adalah setelah adanya penentuan panjang ikatan dalam kompleks fosfin dan
fosfit dari logam krom menggunakan metode kristalografi.

C C O

X
X P Cr C O
X

O C C

Gambar 5.11 Struktur kompleks kromium fosfin dan fosfit x = fenil, untuk
fosfin dan x = fenoksi untuk fosfit

KIMIA KOORDINASI Page 76


Tabel 5.3 Panjang ikatan (A ) dalam kompleks karbonil kromium dengan
ligan fosfor.

ikatan [Cr(P( )3)(CO)5] [Cr(P(O )3)(CO)5] t-[Cr(P(O )3)2(CO)4]


Cr-P 2,422 2,309 2,252
Cr-C (trans to P) 1,844 1,861 --
Cr-C (trans to CO) 1,880 1,896 1,878
C-O ( trans to P) 1,154 1,136 --
C-O (trans to CO) 1,147 1,131 1,140

Fakta di atas dapat diterangkan melalui uraian berikut ini. Pertama


dibandingkan antara senyawa I (senyawa trifenilfosfin) dengan senyawa II
(senyawa trifenilfosfit). Dari tabel terlihat bahwa ikatan Cr-P dalam
kompleks fosfit cukup lebih pendek daripada dalam fosfin. Hal ini sesuai
dengan apa yang diharapkan bahwa atom P dalam fosfit dapat berfungsi
sebagai aseptor lebih baik daripada dalam fosfin karena adanya gugus
oksifenil. Ikatan Cr-C (trans terhadap P) dipengaruhi oleh kekuatan ikatan Cr-
P. Makin kuat ikatan Cr-P maka mengakibatkan ikatan Cr-C makin lemah
(ikatan makin panjang). Ikatan C-O (trans terhadap P) dipengaruhi oleh
kekuatan ikatan Cr-C (trans terhadap P). Makin kuat ikatan Cr-C makin
lemah ikatan C-O. Atau dengan kata lain makin panjang ikatan Cr-C makin
pendek ikatan C-O.
Kedua dibandingkan antara senyawa II (senyawa trifenilfosfit) dengan
senyawa III (senyawa trans-bis(trifenilfosfit)). Tabel menunjukkan bahwa
ikatan Cr-P dalam senyawa II lebih panjang daripada ikatan Cr-P dalam
senyawa III. Hal ini akibat dari kemampuan aseptor atom C dalam CO lebih
baik daripada atom P dalam fosfit. Ikatan Cr-C (cis terhadap CO dalam
senyawa II) lebih panjang daripada ikatan Cr-C (cis terhadap P(O )3, senyawa
III) karena CO merupakan aseptor yang baik, maka ligan pada posisi cis
juga terpengaruh. Selain itu panjang ikatan dalam kompleks trans-
bis(trifenilfosfit) juga melukiskan kesesuaian kejadian yang diharapkan.
Disini kompetisi antara dua ligan fosfit akan lebih baik daripada apabila

KIMIA KOORDINASI Page 77


kompetisi dengan karbonil dalam kompleks mono (fosfit) sehingga ikatan Cr-
P menjadi pendek.

5.3 Kompleks Non-oktahedral.


Metode orbital group ligan (LGO) mungkin dapat digunakan untuk
mendapatkan dugaan tingkat energi dari kompleks tetrahedral dan
bujursangkar. Dalam hal ini tidak dibicarakan secara rinci tentang proses
pembentukan kompleks tetapi gambaran tentang diagram tingkat orbital
molekul untuk kompleks tetrahedral dan bujursangkar dapat dilihat dalam
gambar 5.13. ikatan mungkin juga hal penting dalam konfigurai
bujursangkar, terutama dalam kompleks spin rendah seperti [Ni(CN)4]2-.

a1*

a1 t2*
s

e e
d a1
t2
t2 Terdegenerat
OA ion logam t2
Terdegerate LGO s
a1
MOs tetrahedaral

Gambar 5.12 Diagram tingkat orbital molekul untuk kompleks non-


oktahedral kompleks tetrahedral,

KIMIA KOORDINASI Page 78


eu*

Pz(a2u) a2u
Px, Py(eu)
atg*
b1g*

s(a1g)

2
z (a1g) atg (n)
xy (b2g) b2g eu
2 2
x -y (b1g) b1g
yz, xz (eg) eg a1g
b1g
eu
a1g
OA logam OM OGL
)bujursangkar

Gambar 5.13 Diagram tingkat orbital molekul untuk kompleks non-


oktahedral kompleks bujursangkar.

KIMIA KOORDINASI Page 79


Soal latihan;
1. Tulis nama sistematik untuk:
a. [Cr(H2O)4Cl2]Cl
b. [Co(en)3]SO4
2. Tentukan bilangan oksidasi atom logam pusat yang terkoordinasi
dalam senyawa berikut:
a.K[Co(CN)4(NH3)2]
b.[Os(CO)5]
c.Na[Co(OH)3(H2O)3]
3. Tafsirkan rumus senyawa kompleks dari nama-nama senyawa
dibawah ini:
a.natriumtrikarbonatokobaltat(3-)
b.diaminadiakuodikloroplatinum(2+)bromida
c.natriumtetranitratoborat(1-)
4. Dalam lubang jenis mana, oktahedral atau tetrahedral, ion Fe2+
cenderung masuk dalam oksida Fe3O4 yang mengandung baik
ion Fe2+ dan Fe3+?
5. Deskripsikan cara preparasi trans-[PtCl(Et)(Pet3)2]
6. Usulkan kompleks logam mononuklir dan dinuklir yang
mengandung ligan siklopentadienil dan karbonil dan memenuhi
aturan 18 elektron.
7. Usulkan cara sintesis selektif cis-[PtCl2(NH3)2] dan trans-
[PtCl2(NH3)2] menggunakan efek trans.
8. Bagaimana dapat dibuktikan bahwa reduksi [CoCl(NH3)5]2+ oleh
[Cr(OH2)6]2+ berlangsung melalui mekanisme transfer elektron
koordinasi dalam.

KIMIA KOORDINASI Page 80

Anda mungkin juga menyukai