Anda di halaman 1dari 17

1

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN


PADA KLIEN DENGAN DENGUE HEMORAGIC FAVER (DHF)

A. Definisi
DHF adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue, terutama
menyerang pada anak-anak dengan ciri-ciri : demam tinggi mendadak disertai
manifestasi perdarahan dan dapat menimbulkan syok (DSS) dan kematian.
Penyakit ini ditularkan lewat nyamuk Aedes aegypti, yang membawa virus
dengue (anthropad borne viruses) atau disebut arbo virus. DHF dapat menyerang semua
umur tetapi terbanyak pada anak-anak.

B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3
dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat
dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk
dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak
dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel
mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel-sel Arthropoda
misalnya sel Aedes albopictus (Soedarto, 1990; 36)
2. Vektor
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan
virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitan nyamuk. Aedes
aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan sedangkan di daerah
pedesaan kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan air bersih yang terdapat bejana-bejana yang
terdapat di dalam rumah maupun yang terdapat di luar rumah, di lubang-lubang
pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami
lainnya. Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang
hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari (Soedarto, 1990 ; 37).

Departement | Emergency_Nursing
2

C. Tanda Dan Gejala

1. Demam : demam tinggi timbul mendadak, terus menerus, berlangsung dua sampai
tujuh hari turun secara cepat.
2. Perdarahan : perdarahan disini terjadi akibat berkurangnya trombosit
(trombositopeni) serta gangguan fungsi dari trombosit sendiri akibat metamorfosis
trombosit. Perdarahan dapat terjadi di semua organ yang berupa:
 Uji torniquet positif
 Ptekie, purpura, echymosis dan perdarahan konjungtiva
 Epistaksis dan perdarahan gusi
 Hematemesis, melena
 Hematuri
3. Hepatomegali :
 Biasanya dijumpai pada awal penyakit
 Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
 Nyeri tekan pada daerah ulu hati
 Tanpa diikuti dengan ikterus
 Pembesaran ini diduga berkaitan dengan strain serotipe virus dengue
4. Syok : Yang dikenal dengan DSS , disebabkan oleh karena : Perdarahan dan
kebocoran plasma didaerah intravaskuler melalui kapiler yang rusak. Sedangkan
tanda-tanda syok adalah:
 Kulit dingin, lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki
 Gelisah dan Sianosis disekitar mulut
 Nadi cepat, lemah , kecil sampai tidak teraba
 Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang dari 80 mmHg)
 Tekanan nadi menurun (sampai 20mmHg atau kurang)
5. Trombositopeni: Jumlah trombosit dibawah 150.000 /mm3 yang biasanya terjadi
pada hari ke tiga sampai ke tujuh.
6. Hemokonsentrasi : Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator
kemungkinan terjadinya syok.
7. Gejala-gejala lain : Anoreksi , mual muntah, sakit perut, diare atau konstipasi serta
kejang dan Penurunan kesadaran
Departement | Emergency_Nursing
3

D. Patofisiologi
Yang menentukan beratnya penyakit adalah : Tingginya permeabilitas dinding
pembuluh darah, Menurunnya volume plasma darah, Adanya hypotensi,
Trombositopeni, Diatesis hemoragic.
Pada autopsi penderita DHF yang meninggal, didapatkan adanya kerusakan
sistim vaskuler dengan adanya peninggian permeabilitas diding pembuluh darah
terhadap protein plasma dan efusi pada ruang serosa, di bawah peritonial, pleural dan
perikardial.
Pada kasus berat, pengurangan volume plasma sampai 30 % atau lebih.
Menghilangnya plasma melalui endotelium ditandai oleh peningkatan oleh peningkatan
nilai hematokrit yang mengakibatkan keadaan hipopolemik dan shock, yang dapat
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik bahkan menyebabkan kematian.
Kerusakan dinding pembuluh darah bersifat sementara, dengan pemberian
cairan yang cukup shock dapat diatasi dan efusi pleura biasanya menghilang setelah
beberapa kali perawatan.

Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat pada saluran cerna,
yang timbul setelah shock berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan ini
disebabkan oleh trombositopeni serta gangguan fungsi trobosit disamping defisiensi
ringan/sedang dari faktor I, II, V, VII, IX, X dan faktor kapiler.
Pada pemeriksaan sel-sel pagosit didapatkan peningkatan daya pagositosis dan
proliferasi sistim retikolo enditetial yang berakibat penghancuran terhadap trombosit
yang telah mengalami metamorfosis seluler sehingga nampak adanya trombositopeni.
Aktifasi sistim komplemen juga memegang peranan penting dalam patogenesis
DHF , komplek imun biasanya ditemukan pada hari ke 5 sampai ke 7 saat terserang
shock terjadi. Produksi aktivitas komplemen ini bersifat anafilaktoksin yang
menyebabkan kerusakan dinding kapiler sehingga permeabilitas diding pembuluh darah
meningkat.

Departement | Emergency_Nursing
4

Virus Dengue

Viremia

Hiperthermi Hepatomega Depresi Permebilitas


li Sum – sum tulang kapiler
meningkat

Manifestasi
- Anoreksia perdarahan Permebilitas kapiler
- Muntah meningkat

Kehilangan
plasma
Resti Gangguan
Hipovolemia
Nutrisi kurang dari
Efusi pleura
kebutuhan Resiko tjd Ascites
perdarahan Hemokonsntrasi
Resiko syok
hipovolemia

Syok

Kematian

E. Klasifikasi Derajat DHF


Menurut WHO derajat DHF dibagi menjadi 4 Derajat :
1. Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji Tourniquet positif
2. Derajat 2 : Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
3. Derajat 3 : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan
nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan
penderita menjadi gelisah
4. Derajat 4 : Renjatan berat dengan nadi yang tidak diraba dan tekanan darah yang
tidak dapat diukur.

Departement | Emergency_Nursing
5

F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
a. Kriteria klinis:

1. Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
 Uji tourniquet positif
 Ptekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
 Hematemesis dan atau melena

3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria Laboratoris adalah:
 Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
 Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DHF. Efusi
pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada
pasien anemia dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DHF.
 Diagnosis Laboratoris. Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat
dilakukan di laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau
RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum
pasien.
 Diagnosis Serologis. Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk
menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu:
1) Uji hemaglutinasi inhibisi

Departement | Emergency_Nursing
6

Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling
sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan
serologis.
2) Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara
rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga
memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi
HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-
3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk
virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque
Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari
plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum
hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi
komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4) IgM Elisa
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji
ini mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu
hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan
uji HI.
5) IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.

G. Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue.
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Departement | Emergency_Nursing
7

2. Gagal Ginjal Akut.


Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru.
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi
plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila
hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan
hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak
mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada.
4. Komplikasi iatrogenik.
Komplikasi ini terjadi akibat infeksi pada tubuh pasien yang diakibatkan karena
keteledoran tenaga kesehatan dalam teknik steril, sehingga menimbulkan infeksi.
Perawatan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah komplikasi iatrogenik
dalm pengobatan DHF. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka
dan dehidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat
menyebabkan sepsis gram negatif yang disertai dengan demam, syok, dan
perdarahan berat.
5. Perdarahan Luas
Pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit, terjadinya trombositopenia, menurunnya
fungsi trombosit dan faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor
penyebab terjadinya perdarahan hebat dan luas, terutama perdarahan saluran
gastrointestinal pada DHF.
6. Syok dan penurunan kesadaran.
Dimulai dengan penurunan suhu tubuh secara tiba-tiba, akral dingin, nadi lemah,
tekanan darah sangat rendah, dan kebiruan pada bibir akan menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran kemudian akan menjadi syok atau renjatan.
7. Efusi Pleura.
Penumpukan cairan di daerah paru-paru dapat mengakibatkan terkumpulnya cairan
di rongga pleura sehingga dapat menimbulkan efusi pleura.

Departement | Emergency_Nursing
8

H. Penatalaksanaan
1. Medik
c. DHF tanpa Renjatan
 Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
 Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
 Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th
dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum
teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada
anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.
 Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat

d. DHF dengan Renjatan


 Pasang infus RL
 Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30
ml/ kg BB )
 Tranfusi jika Hb dan Ht turun
2. Keperawatan

a. Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam


 Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
 Observasi intik output
 Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3
jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter
per hari, beri kompres
 Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht,
Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan
darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
 Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2
pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi
productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
b. Resiko Perdarahan
 Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
 Catat banyak, warna dari perdarahan

Departement | Emergency_Nursing
9

 Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal

c. Peningkatan suhu tubuh


 Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodic
 Beri minum banyak
 Berikan kompres
3. Penatalaksanaan DHF sebaiknya berdasarkan pada berat ringannya penyakit yang
ditemukan, antar lain:
1) Kasus DHF yang diperkenankan berobat jalan
Penderita diperkenankan berobat jalan jika hanya mengeluh panas, tetapi
keinginan makan dan minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang
mendadak diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10-15 mg/kgBB
setiap 3-4 jam diulang jika gejala panas masih nyata di atas 38,50C. Obat panas
salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya perdarahan dan
asidosis. Sebagian besar kasus DHF yang berobat jalan ini adalah kasus DHF
yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa
menunjukkan penyulit lainnya. Apabila penderita DHF ini menunjukkan
manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya dianjurkan untuk
dirawat inap.
2) Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok
tersebut, penderita disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan
berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau
oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat
lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran
plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi
selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba
dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan
rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang
tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti.

Departement | Emergency_Nursing
10

Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan


seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10%
kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya
diberikan kembali dalam waktu 203 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur
kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan
hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital
dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh
jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah pemberian transfusi berulang.
Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti


yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode
kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan
kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam
jaringan paru yang berakhir dengan edema.
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per
hari
<7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan
rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

Departement | Emergency_Nursing
11

3) Kasus DBD derajat III & IV


“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus
kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh
cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam
hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam
darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam
isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan
jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat
diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal
(dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau
plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur
sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga
hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam.
Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk
penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan
koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali
yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal
garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan
penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan
pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat
dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal.
Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu
makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan
tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah
Departement | Emergency_Nursing
12

membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan


dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini
hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai
perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan
produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.

I. Pengkajian
a. Data Subyektif

 Panas
 Lemah
 Nyeri ulu hati
 Mual dan tidak nafsu makan
 Sakit menelan
 Pegal seluruh tubuh
 Nyeri otot, persendian, punggung dan kepala
 Haus
b. Data Obyektif

 Suhu tinggi selama 2 - 7 hari


 Kulit terasa panas
 Wajah tampak merah , dapat disertai tanda kesakitan
 Nadi cepat
 Selaput mukosa mulut kering
 Ruam dikulit lengan dan kaki
 Hiperemia tenggorokan
 Epistaksis
 Pembesaran hati dan nyeri tekan
 Pembesaran limfe
 Nyeri tekan pada epigastrik
 Hematomesis
 Melena
 Gusi berdarah
 Hipotensi
Departement | Emergency_Nursing
13

c. Data Penunjang

 Hematokrit meningkat
 Trombositopenia
 Masa perdarahan dan protombin memanjang
 Pegal seluruh tubuh
 Nyeri otot, persendian, punggung dan kepala
 Haus

J. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (viremia)
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan di
vaskuler
3. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan (penurunan trombosit)
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor pembekuan darah

Departement | Emergency_Nursing
14

K. Rencana Dan Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Monitoring:
keperawatan ....x24 jam, suhu tubuh 1. Monitor temperature pasien secara teratur
Dihubungkan dengan: kembali dalam batas normal 2. Monitor kehilangan cairan
- Anesthesia Kriteria hasil: 3. Monitor hematokrit
- Penurunan perspirasi 4. Monitor intake and output
- Dehidrasi No Kriteria Score 5. Monitor elektrolit yang tidak normal
- Terpapar lingkungan yang 1 Temperature : 5
panas (36,5 – 37,5 °c) Mandiri:
- Peningkatan metabolic rate 2 Tidak terdapat pusing 5 1. Mengkaji saat timbulnya demam
- Penyakit 3 Tidak terdapat 5 2. Berikan kompres
- Pengobatan perubahan warna kulit 3. Anjurkan klien memakai pakaian dari bahan yang
- Trauma 4 Tidak menggigil 5 tipis/menyerap keringat
Aktivitas yang berat 5 Nadi :(n : 60-100 5
x/mnt) Pendidikan kesehatan:
6 Tekanan darah : 5 1. Jelaskan tanda-tanda hipertermia, seperti kulit
(100-140/60-90mmhg) keerahan, kelemahan, sakit kepala/bingung, nafsu
7 Respirasi : (18- 5 makan menurun
24x/menit) 2. Ajari pentingnya mempertahankan masukan cairan
8 Hidrasi adekuat 5 yang adekuat untuk mencegah dehidrasi
Keterangan : 3. Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau
1. Ekstrim peningkatan suhu tubuh.
2. Berat 4. Berikan penjelasan pada klien/keluarga tentang hal-hal
3. Sedang yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam
4. Ringan
5. Tidak Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai dengan
anjuran
2. Berikan terapi intravena sesuai anjuran
Departement | Emergency_Nursing
15

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

2 Defisit volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitoring:


berhubungan dengan: ...x24 jam, kelebihan volume cairan dapat 1. Observasi status mental
- Kehilangan cairan tubuh berkurang atau teratasi. 2. Monitor imput serta output urine dan catat adanya
dalam jumlah banyak Kriteria hasil: perubahan jumlah, warna dan konsentrasi urine
- Kegagalan fungsi No Kriteria Score 3. Monitor turgor kulit, membrane mukosa dan
regulasi 1 Temperature : 5 perasaan haus klien.
(36,5 – 37,5 °c) 4. Monitor adanya tanda dehidrasi
2 Perubahan status mental (-) 5 5. Ukur tanda-tanda vital dan CVP
3 Nadi dalam batas normal : 5 6. Ukur CRT, kondisi dan suhu kulit
60-100 mmHg 7. Timbang berat badan sesuai indikasi
4 RR: 12-20 x/mnt 5 8. Kaji status mental
5 Tekanan darah : 5 Mandiri:
(100-140/60-90mmhg) 1. Memasang dan mempertahankan akses vena perifer
6 Turgor kulit 5 (infus)
7 Produksi urine 0,5-1 5 2. Berikan perawatan kulit pada bagian penonjolan
ml/Kg BB/jam tulang.
8 Konsistensi urine normal 5 Pendidikan kesehatan:
(kuning jernih, tidak ada 1. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan.
endapan) 2. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake nutrisi
9 CRT < 2s 5 untuk meningkatkan kadar albumin darah
10 Mukosa membrane dan 5 Kolaborasi:
kulit kering (-) 1. Berikan terapi cairan sesuai instruksi dokter
2. Berikan transfuse darah sesuai hasil kolaborasi
11 Hematokrit 35%-50% 5
dengan medis
12 Penurunan berat badan 5
3. Berikan terapi farmakologi untuk meningkatkan
secara signifikan (-)
jumlah urine output
13 Rasa haus berlebihan (-) 5
4. Kolaborasi pemeriksaan kadar elektrolit, BUN,
14 Kelemahan (-) 5
creatinin dan kadar albumin.
Departement | Emergency_Nursing
16

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


3Resiko shock berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitoring
3 dengan Faktor resiko: selam ...x24 jam klien terhindar dari tanda 1. Observasi TTV, tingkat kesadaran, dan urin output
1. Hipovolemi dan gejala shock 2. Monitor oksimetri
2. Hipoksemia Kriteria hasil 3. Observasi parameter hemodinamik (CVP, MAP)
3. Hipoksia No Kriteria Score 4. Observasi adanya gejala gagal nafas (peningkatan PaCO2
4. Infeksi 1 Nadi dalam batas normal : 5 dan penurunan PaO2)
5. Sepsis Sistemic Inflamatory 60-100 mmHg 5. Monitor fungsi ginjal
Response Syndrome 2 RR: 12-20 x/mnt 5 Mandiri
3 Temperature : 5 1. Memberikan posisi untuk mempertahankan perfusi yang
(36,5 – 37,5 °c) maksimal
4 Tekanan darah : 5 2. Mempertahankan kepatenan jalan nafas
(100-140/60-90mmhg) Pendidikan Kesehatan
5 SaO2 >95% 5 1. Menganjurkan untuk pembatasan aktivitas
6 pH 7,35-7,45 5 Kolaborasi
7 PaO2 80-100 mmHg 5 1. Melakukan pemeriksaan BGA
8 PaCO2 34-45 mmHg 5 2. Memberikan O2
9 CRT < 2s 5 3. Memberikan cairan IV
10 BUN (10-50) 5 4. Memberikan obat vasopresor, antiaritmia, vasopresin,
trombolitik, cairan kristaloid, antiinflamatory agent
11 Creatinin (0,7-1,5) 5
12 HCO3 21-28 mmol/l 5

Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan

Departement | Emergency_Nursing
17

No Diagosa Keperawatan NOC NIC


4 Resiko perdarahan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 Monitoring
Faktor resiko: jam perdarahan tidak terjadi  Observasi adanya perdarahan
1. DIC (disseminated Kriteria hasil:  Monitor dan catat hemoglobin, hematokrit
intravaskular No Kriteria Score  Monitor nilai PPT dan APPT
coagulopaty) 1 Nadi dalam batas normal : 5  Observasi TTV
2. Gangguan 60-100 mmHg Mandiri
koagulopati 2 RR: 12-20 x/mnt 5  Memasang bedrail untuk mencegah cedera
(trombositopenia) 3 Temperature : 5  Melakukan oral higine dengan sikat gigi yang lembut
(36,5 – 37,5 °c) Pendidikan kesehatan
4 Tekanan darah : 5  Menganjurkan untuk bedrest
(100-140/60-90mmhg)  Menganjurkan untuk meningkatkan nutrisi yang banyak
5 Perdarahan (-) 5 mengandung vitamin K
6 Hb 11-16,5 gr/dl 5  Meminta keluarga untuk segera melaporkan adanya
7 Hematokrit 35-50% 5 perdarahan
8 PPT 11,2s 5  Menganjurkan klien menggunakan alas kaki
9 APPT 28 5  Menganjurkan klien untuk menghindari pengguanaan
Keterangan : aspirin dan antikoagulan
1. Tidak pernah menunjukkan Kolaborasi
2. Jarang menunjukkan  Memasukkan obat antasida
3. Kadang-kadang menunjukkan  Kolaborasi dalam pemberian PRC, FFP
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan

Departement | Emergency_Nursing

Anda mungkin juga menyukai