DHF
A. Pengertian DHF
1. Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Nursalam, dkk. 2018)
2. Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan
orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai
ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk
kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Hidayat,
2016)
B. Etiologi
Dengue haemoragic Fever (DHF) disebabkan oleh arbovirus (Arthopodborn
Virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepthy. Virus Nyamuk aedes
aegypti berbentuk batang, stabil pada suhu 370 C. Adapun ciri-ciri nyamuk penyebar
demam berdarah menurut (Nursalam ,2018) adalah :
1. Badan kecil,warna hitam dengan bintik-bintik putih
2. Hidup didalam dan sekitar rumah
3. Menggigit dan menghisap darah pada waktu siang hari
4. Senang hinggap pada pakaian yang bergantung didalam kamar
5. Bersarang dan bertelur digenangan air jernih didalam dan sekitar rumah seperti
bak mandi, tempayan vas bunga.
D. Patofisiologi DHF
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty
dimana virus tersebut akan masuk ke dalam aliran darah, maka terjadilah viremia (virus
masuk ke dalam aliran darah). Kemudian akan bereaksi dengan antibody dan
terbentuklah kompleks virus antibody yang tinggi akibatnya terjadilah peningkatan
permeabilitas pembuluh darah karena reaksi imunologik. Virus yang masuk ke dalam
pembuluh darah dan menyebabkan peradangan pada pembuluh darah vaskuler atau
terjadi vaskulitis yang mana akan menurunkan jumlah trombosit (trombositopenia) dan
factor koagulasi merupakan factor terjadi perdarahan hebat. Keadaan ini mengkibatkan
plasma merembes (kebocoran plasma) keluar dari pembuluh darah sehingga darah
mengental, aliran darah menjadi lambat sehingga organ tubuh tidak cukup
mendapatkan darah dan terjadi hipoksia jaringan.
Pada keadaan hipoksia akan terjadi metabolisme anaerob , hipoksia dan asidosis
jaringan yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan dan bila kerusakan jaringan
semakin berat akan menimbulkan gangguan fungsi organ vital seperti jantung, paru-
paru sehingga mengakibatkan hipotensi , hemokonsentrasi , hipoproteinemia, efusi
pleura, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Jika virus masuk ke dalam sistem
gastrointestinal maka tidak jarang klien mengeluh mual, muntah dan anoreksia.
Bila virus menyerang organ hepar, maka virus dengue tersebut menganggu sistem
kerja hepar, dimana salah satunya adalah tempat sintesis dan osidasi lemak. Namun,
karena hati terserang virus dengue maka hati tidak dapat memecahkan asam lemak
tersebut menjadi bahan keton, sehingga menyebabkan pembesaran hepar atau
hepatomegali, dimana pembesaran hepar ini akan menekan abdomen dan menyebabkan
distensi abdomen. Bila virus bereaksi dengan antbody maka mengaktivasi sistem
koplemen atau melepaskan histamine dan merupakan mediator factor meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah atau terjadinya demam dimana dapat terjadi
DHF dengan derajat I,II,III, dan IV.
E. Komplikasi DHF
F. Klasifikasi
Berdasarkan standar WHO (2015), DHF dibagi menjadi empat derajat sebagai berikut:
1. Derajat I :
Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi,
trombositopeni dan hemokonsentrasi.
2. Derajat II :
Seperti derajat I namun di sertai perdarahan spontan di kulitdan atau perdarahan
lain.
3. Derajat III :
Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi cepat dan lemah,
tekanan darah menurun disertai kulit dingin, lembab dan gelisah.
4. Derajat IV :
Renjatan berat dengan nadi tidak teratur dan tekanan darah yang tidak dapat
diukur.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD
adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang
signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk
mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan
serologis.
Darah Lengkap : Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang
selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator terjadinya perembesan plasma,
Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.5
Isolasi Virus : Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :6,7 9 a. Inokulasi
intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari. b. Inokulasi pada biakan
jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus. c. Inokulasi pada
nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus : Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan
melakukan fluorescence antibodytechnique test secara langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai
flourensecence antibody technique test secara indirek dengan menggunakan
antibodi monoklonal.6,7
Uji Serologi :
1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)6,7
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai
dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini : a. Uji ini sensitif
tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukan
tipe virus yang menginfeksi b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai
lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik digunakan pada studi
seroepidemiologi. c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat
kali lipat dari titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive
positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent
dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )6,7 Uji serologi
yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain
cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa
yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )6,7 Merupakan uji serologi yang
paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi
memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT )
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi
neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi
komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48
tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin. 10
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8 Pada tahun terakhir ini, mac
elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Sesuai namanya test
ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.
5. IgG Elisa Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan
uji HI , hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk
infeksi dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG
elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca
dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi
fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).8
Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesikafelea
Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis
chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi
uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC
tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula
kelihatan sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear
(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-
hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat 12 menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
1. Terapi
a. DHF tanpa rejatan
Pada pasien dengan demam tinggi , anoreksia dan sering muntah
menyebabkan pasien dehidrasi dan haus, beri pasien minum 1,5 sampai 2 liter
dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susu dan bila mau lebih baik
diberikan oralit. Apabila hiperpireksia diberikan obat anti piretik dan kompres
air biasa.Jika terjadi kejang, beri luminal atau anti konvulsan lainnya. Luminal
diberikan dengan dosis anak umur kurang dari 1 tahun 50 mg/ IM , anak lebih
dari 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti luminal diberikan lagi
dengan dosis 3mg / kg BB. Anak diatas satu tahun diberikan 50 mg dan
dibawah satu tahun diberikan 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi
fungsi vital. Infus diberikan pada pasien tanpa ranjatan apabila pasien terus
menerus muntah , tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya
dehidrasi dan hematocrit yang cenderung meningkat.
b. Pasien yang mengalami rajatan (syok) harus segera dipasang infus sebagai
pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan
biasanya Ringer Laktat. Jika pemberian cairan tersebut tidak ada respon maka
dapat diberikan plasma atau plasma akspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kg
BB.
Pada pasien rajatan berat pemberian infus diguyur dengan cara membuka
klem infus tetapi biasanya vena-vena telah kolaps sehingga kecepatan tetesan
tidak mencapai yang diharapkan, maka untuk mengatasinya dimasukkan cairan
secara paksa dengan spuit dimasukkan cairan sebanyak 200 ml, lalu diguyur.
2. Tindakan Medis yang bertujuan untuk pengobatan
Keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah.
Jenis minuman yang diajurkan adalah jus buah, the manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat dipertahankan maka cairan IV perlu
diberikan. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan dextrose 5% di dalam 1/3 larutan NaCl
0,9%. Bila terdapat asidosis dianjurkan pemberian NaCl 0,9 % +dextrose ¾ bagian
natrium bikarbonat.
Kebutuhan cairan diberikan 200 ml/kg BB , diberikan secepat mungkin dalam
waktu 1-2 jam dan pada jam berikutnya harus sesuai dengan tanda vital, jadar
hematocrit, dan jumlah volume urine. Untuk menurunkan suhu tubuh menjadi
kurang dari 39°C perlu diberikan anti piretik seperti paracetamol dengan dosis 10-
15 mg/kg BB/hari. Apabila pasien tampak gelisah, dapat diberkan sedative untuk
menenangkan pasien seperti kloral hidrat yang diberikan peroral/ perektal dengan
dosis 12,5-50 mg/kg BB (tidak melebihi 1 gram) . Pemberian antibiotic yang
berguna dalam mencegah infeksi seperti Kalmoxcilin, Ampisilin, sesuai dengan
dosis yang ditemukan.
Terapi O2 2 liter /menit harus diberikan pada semua pasien syok.Tranfusi
darah dapat diberikan pada penderita yang mempunyai keadaan perdarahan nyata,
dimaksudkan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah.Hal yang diperlukan
yaitu memantau tanda-tanda vital yang harus dicatat selama 15 sampai 30 menit
atau lebih sering dan disertai pencatatan jumlah dan frekuensi diuresis.
I. Pathway
Virus dengue (Arbovirus)
Hipovolemi Resiko
ketidakseimbangan
K. Asuhan Keperawatan elektrolit
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia
kurang dari 15 tahun) , jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua,
pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang kerumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah
c. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran composmetis.Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan
ke-7 dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek,
nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri
otot, dan persendian, nyeri ulu hati, dan pergerakan bola mata terasa pegal,
serta adanya manifestasi perdarahan pada kult , gusi (grade III. IV) , melena
atau hematemesis.
d. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF anak biasanya mengalami
serangan ulangan DHF dengan tipe virus lain.
e. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya koplikasi dapat dihindarkan.
f. Riwayat Gizi
Status gizi anak DHF dapat bervariasi. Semua anak dengan status gizi baik
maupun buruk dapat beresiko , apabila terdapat factor predisposisinya. Anak
yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah dan tidak nafsu
makan.Apabila kondisi berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi
yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga
status gizinya berkurang.
g. Kondisi Lingkungan
padat penduduknya dan lingkungan yang kurang bersih ( seperti air yang
menggenang atau gantungan baju dikamar)
h. Pola Kebiasaan
a) Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pantanganm nafsu makan
berkurang dan menurun,
b) Eliminasi alvi (buang air besar) : kadang-kadang anak yang mengalami
diare atau konstipasi. Sementara DHF pada grade IV sering terjadi
hematuria.
c) Tidur dan istirahat: anak sering mengalami kurang tidur karena mengalami
sakit atau nyeri otot dan persendian sehingga kuantitas dan kualitas tidur
maupun istirahatnya berkurang.
d) Kebersihan: upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
cenderung kurang terutama untuk membersihkan tempat sarang nyamuk
aedes aedypty.
e) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk
menajga kesehatan.
f) Pemeriksaan fisik, meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan DHF, keadaan anak
adalah sebagai berikut :
Grade I : kesadaran composmetis , keadaan umum lemah, tanda-
tanda vital dan nadi lemah.
Grade II: kesadaran composmetis, keadaan umum lemah, ada
perdarahan spontan ptechiae, perdarahan gusi dan telinga, serta
nadi lemah, kecil, dan tidak teratur
Grade III: kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi
lemah, kecil dan tidak teratur, serta takanan darah menurun.
Grade IV: kesadaran coma, tanda-tanda vital: nadi tidak teraba,
tekanan darah tidak teratur, pernafasan tidak teratur, ekstremitas
dingin. berkeringat dan kulit tampak biru.
i. Sistem Integumen
a) Adanya ptechiae pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncl keringat
dingin, dan lembab
b) Kuku sianosis atau tidak
c) Kepala dan leher : kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena
demam (flusy). mata anemis, hidung kadang mengalami perdarahan
(epitaksis) pada grade II,III. IV. Pada mulut didapatkan bahwa mukosa
mulut kering , terjadi perdarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara
tenggorokan mengalami hyperemia pharing dan terjadi perdarahan ditelinga
(pada grade II,III,IV).
d) Dada: bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada poto thorak
terdapat cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan (efusi pleura), rales
+, ronchi +, yang biasanya terdapat pada grade III dan IV.
e) Abdomen mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegaly) dan
asites
f) Ekstremitas : dingin serta terjadi nyeri otot sendi dan tulang.
g) Pemeriksaan laboratorium
2. Diagnosa keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (D.0077)
c. Resiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
(D.0032)
d. Resiko perdarahan ditandai dengan gangguan koagulasi (trombositopeni)
(D.0012)
e. Resiko syok dibuktikan dengan perdarahan (D.0039)
3. Intervensi keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan suhu tubuh
diatas nilai normal, kulit terasa hangat.
Luaran utama : termoregulasi membaik (L.14134)
dengan kriteria hasil :
Menggigil menurun
Suhu tubuh membaik
Suhu kulit membaik
Intervensi utama :
Manajemen hipertermi (I.15506)
Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar lingkungan
panas penggunaan incubator)
Monitor suhu tubuh
Monitor haluaran urine
Longgarkan atau lepaskan pakaian
Berikan cairan oral
Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
Intervensi utama :
Pencegahan perdarahan (I.02067)
Monitor tanda dan gejala perdarahan
Monitor hemoglobin dan hematokrit sebelum dan sesudah perdarahan
Monitor kondisi umum pasien
Pertahankan bedrest
Anjurkan segera melapor apabila terjadi perdarahan
DAFTAR PUSTAKA
Hendarwanto. 2017. Ilmu Penyakit Dalam, hal 142, Edisi 3, Jilid I. Jakarta : EGC
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi .
Jakarta : EGC .
Hidayat alimul aziz. 2016. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta : salemba medika
Kowalak , J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2015). Buku Ajar Patofisiologi . Jakarta : EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2017). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, dkk. 2018. Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta : salemba
medikaRampengan. 2017. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta : EGC
Supartini Yupi, S.Kp, MSc. 2016. Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia