Anda di halaman 1dari 18

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

PENDAHULUAN

Respons imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal
yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau
sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai
cara.1

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi1


A. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang
antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator
vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
B. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi
ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat
berupa :
i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fatalis dan anemia neolitik autoimun
ii. Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrosis, glomerulonefritis, artritis rematoid dan LES

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan
oleh sel netrofil atau sel NK.

C. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen
yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, Sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel
efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat
adalah dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan tandu.
II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs1
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe
reaksi
- Tipe 1 : Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik
- Tipe 2 : Reaksi sitotoksik
- Tipe 3 : Reaksi kompleks antigen-antibodi
- Tipe 4 : rekasi hipersensitivitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2

1
1. Hipersensitivitas tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen.
Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan
antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen.3
Reaksi ini sering disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan sebagai alergen. Alergen
yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan
penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtikaria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini
merupakan hipersensitivitas yang paling sering terjadi.4,5
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga,
merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.
Sementara itu ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi
hipersensitivitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang
terhirup atau tertelan.3
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih
banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31
yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat
dengan kompleks HLA.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Hipersensitivitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang
ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos
atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah
eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi atau asma
bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa
ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai
dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4 ++ serta
kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Gambar 2. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I

2
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa sensitisasi, fase aktivasi dan
fase efektor. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
I. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mas/basofil.
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang
hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput
kelopak mata, dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10%
yang menunjukkan gejala klinis setelah terpapar alergen dari udara. Respon-respon
yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA, terpengaruh dari limfosit T
dan IL-4 yang dihasilkan oelh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar
IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang,
penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat
dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat
terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor
di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan
dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen
spesifik.
II. Fase Aktivasi
Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mas/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembarang alergen menunjukkan derajat
sensitifitasnya terhadap alergen tertentu, respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti
kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang
diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat
pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran
pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen
spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul
reseptor yang mekanisme bisa berupa :
1. Hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE
2. Hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. Hubungan silang dengan antibodi-antiresptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau
reseptornya. Anafilaktosin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan
berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi
anfilaktoid. Faktor fisik seperti suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan
mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali


dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang
diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cGMP berperan dalam regulasi
tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat

3
degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu,
aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme
penting dalam peristiwa anafilaksis.

III. Fase Efektor


Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mas/basofil dengan aktivitas farmakologik.
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik
aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah
mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Gambar 3. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I

Sel mast dan mediator pada reaksi tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin
yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau
sekunder atau newly generated seperti L T dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan
oleh sel mast dan mekanisme aksinya sebagai berikut :


Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4,
protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.
 Spasme otot polos : Leukotriens C4 D4 E4, histamin, prostaglandin, PAF
 Infiltrasi seluler : sitokin (kemokin, TNF), Leukotriens B4, faktor kemotaktik eosinofil
dan netrofil
a. Mediator jenis pertama (histamin dan faktor kemotaktik)
Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi
perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks
Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi akibat glikolisis dan
beberpa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar
cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMP akan
mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi.
Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau
matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilaktosis, c3a dan c5a.

4
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul.
Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam
jaringan dan bila berikatan dengan histamin menunjukkan berbagai efek.
Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin diantaranya adalah bintul
dan kemerahan kulit disamping pengaruh lain seperti peransangan saraf sensoris yang
dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan
edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontraksi otot-
otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.
Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada
membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik
negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru
menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.
Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara capat saat mastosit
teraktivasi. Ada 2 macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk
menarik eosinofil dan NCF-A (netrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik
netrofil. Dalam 2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil, dan basofil,
sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit.
Meski dilepaskan secara cepat, infiltrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat
sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.
b. Mediator jenis kedua
Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada
kenaikan kadar NaCL. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A
(inflammatory factor of anaphylaxis). IF-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar
dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan
membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan.
Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat
juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang
dilepaskan akan berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan
mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil.
c. Mediator jenis ketiga
Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang
bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakidonat ini menjadi substrat enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan
prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien.
Leukotrien C,D dan E seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of
anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.
LT berperan dalam bronkokontriksi, peningkatan permebilitas vaskular dan produksi
mukus. Leukotrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan
mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.
Diantara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling
penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel
epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major
basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel.
Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara
langsung mengaktifkan sel mast untuk melepas mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel
tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon infeksi tanpa tambahan eksposure
antigen pemicu.3

5
Gambar 4. Kejadian biokimiawi pada aktivitas sel mast

2. Hipersensitivitas tipe 2
Reaksi hiersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Reaksi diawali oleh rekasi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel
dilibatkan.

Gambar 5. Reaksi hipersensitivitas tipe II

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga
sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal.
Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan
mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc
neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM
mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang

6
dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit
teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet
reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan sekitarnya. Jika antibodi terikat pada
sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan
oleh fagosit pejamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung
menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat
menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myastenia gravis, antibodi terhadap
reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis.
Antobodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti grave’s
disease, Dimana antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa
keberadaan hormon tiroid.
Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi
anti jaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuen
jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada beberapa kasus yang parah, plasmafaresis
digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk
mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal, dengan antagonis yang
memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th)

Reaksi tranfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat tranfusi golongan darah B terjadi reaksi
tranfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbukan
kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravakular. Reaksi dengan cepat atau lambat.
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh
IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring
melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi
bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil,
nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang dan hemoglobinuria.
Reaksi tranfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
tranfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan
darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah tranfusi. Darah yang ditranfusikan
memacu pembentukan IgG terhadap antigen membran golongan darah, tersering adalah
golongan rhesus, kidd, Kell dan duffy.

7
Gambar 6. Tiga mekanisme utama hipersensitivitas tipe II

Hemolytic disease of the newborn (HDN)


Terjadi ketidaksesuaian faktor rhesus (rhesus incompatibiliy) dimana anti-D IgG yang
berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi
permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi
apabila seorang ibu memiliki rhesus negatif dan mempunyai janin dengan rhesus positif.
Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya
tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan
membentuk anti-D IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan
faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis)

Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif

8
Tabel 1. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi antibodi (hipersensitivitas tipe II)

3. Hipersensitivitas tipe 3
Hipersensitivitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang
mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan
tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik
pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya.
Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran
darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung
diendapkan pada pembuluh darah. Dimana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor
Fc dan komponen-komponen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan
dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.1

9
Gambar 7. Reaksi hipersensitivitas tipe III

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein
asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi
oleh kompleks imun dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada
berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi
(arthritis), atau pembuluh darah kecil pada kulit.3 Reaksi hipersensitivitas tipe III setempat
dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang
spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikkan ke dalam
individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Kompleks imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada
permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu
respons peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat.
Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil,
masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitivitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute
serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa sekarang
kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan
pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang
digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung
melalui 4 tahap yaitu :2,3
 Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respons imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu Minggu sesudah injeksi protein. Antibodi
tersebut disekresikan ke dalam darah, dimana mereka dapat bereaksi dengan antigen
yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi
 Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal
dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu
reposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks

10
imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang
darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti Turin
dan cairan sinovial lebih seiring terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks
imun pada glomerulus dana sendi
 Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan
berkumpul di daerah pengendapan
 Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan seluler
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi
manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (artralgia), pembesaran nodus
limfe, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang
terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh
darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi terjadi
pada sendi dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang
mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa sebelas IgG) menginduksi lesi patologis.
Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3
yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksposure terhadap antigen tunggal yang besar, lesi
cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum
sickness yang kronis terjadi akibat eksposure antigen berulang atau berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi pada penyakit SLE yang berkaitan dengan respons antibodi
persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan
morfologis dan terdapat temuan reposisi kompleks imun, tetapi antigennya tidak
diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi arthus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada
kulit. Secara eksperimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan satu
antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang
melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi
ikatan yang ditunjukkan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap
pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun
trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.3

4. Hipersensitivitas tipe 4
Sebagian besar hipersensitivitas tape IV dipercaya merupakan penyebab dari
autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan
distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung
terbatas pada beberapa organ atau bisanya tidak iskemik. Jejas jaringan dapat juga mengiringi
respons sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respons
imun terhadap M. Tuberkulosis dan responnya menjadi kronik karena infeksinya sulit
dieradikasi. Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas
pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis,
virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap
hepatosit yang terinfeksi yang menyababkan jejas pada liver.

11
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi
oleh CD4+ atau isis dari sel pejam oleh limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan
adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang
terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi
Sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya
disebabkan oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel
autologi dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang
termediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen pejamu, dan
keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas Sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya
menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.
Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal,
antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi
inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap Sitokin seperti TNF, dan untuk
menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF
telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory
bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk menghambat respons sel T.
Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk Sitoli seperti IL-2, dan agen yang jeblok
kostimulator seperti B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui
sel CD4+ dan T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+

Gambar 8. Mekanisme dari reaksi hipersensitivitas tipe IV

12
Tabel 2. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi sel T (hipersensitivitas tipe IV)

Delayed Type hypersensitivity tipe IV


Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari
tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan
indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang.
Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear di sekililing vena kecil
dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai
peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebakan mekanisme yang sama dengan
inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan
reposisi fibrin di interstitial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang
menjadi ciri DTH, pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan
menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang
berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di awal akan
digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang terakumulasi sering
kali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara
mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disebut dengan granuloma.
Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi
granulomatosa.
Tahapan seluler dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberkulin. Ketika seorang individu
pertama kali terekspos terhadap antigen protein tuberkel bacilli, sel CD4+ T naive mengenali
peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini
memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naive menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal
terpenting karena ekspresi DTH bergantung pada sebagian besar Sitokin yang diskresi oleh sel
TH1. Beberapa sel Th1 akan memasuki sirkulasi dan tetap berada pada polo memori sel T
untuk waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberkulin pada seseorang yang
sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, Diana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang
ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 akan menyekresi Sitokin, terutama IFN-y, yang
bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi
ini dan kerja mereka adalah sbb :
 IL-2, Sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi
respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik
menyekresi IL-2, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini
akan menyebabkan diproduksinya Sitoki lain, yang diebutkan dibawah ini. IL-2 juga

13
merupakan inducer poten dari sekresi IFN-y oleh sel T dan sel NK. IFN-y akan
memperbanyak diferensiasi sel Th1.
 IFN-y memilik banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting
adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan
dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka
inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.
 IL-2 menyebabkan proliferasi parafin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi
di situs DTH.
 TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel : (1)
peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan
menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul
adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan
sekresi kemokin seperti IL-8.
 Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut labih banyak lagi leukosit ke
situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan beragam patogen


intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu dan juga berperan dalam rejeksi
tranplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit.
Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal
ini dapat terjadi akibat kontak dengan urushiol, komponen antigen dari posion ivy atau poison
lak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis vaskuler. Mekanisme dasarnya mirip dengan
yang dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberkulin. Pada pajanan berulang terhadap
tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi
menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan Sitokin yang merusak keratinosit,
menyebabkan pemisahan dari sel-sel ini dan pembentukan vesikel intraepidermal.

Gambar 9. Sensitivitas kontak

14
Gambar 10. Formasi granuloma pada hipersensitiitas tipe IV

T cell-mediated cytotoxicity

Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel
target antigen. Sel detektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan
oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang
menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting dalam rejeksi Graf. Hal ini juga
berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus,
peptida virus terkait dengan molekul kelas 1 didalam sel, dan keduanya ditranportasikan ke
permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik.
Isis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.

Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui : (1)
perforin-granzyme-dependent kiliing, dan (2) bas-fas ligand-dependent Kipling.

Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di
dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel
target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel target,
kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya ke
membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di membran. Granul-granul
CTL mengandung protese yang disebut dengan granzyme, yang diantarkan ke sel target
melalui pori-pori yang disebut perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi
kaspase, yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perfori n
menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan isis osmotik. fas dependen Kipling juga
menginduksi apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL
mengekspresikan Fas Lian, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas
yang diekspresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis.

15
Gambar 11. Mekanisme penyakit yang terjadi melalui sel T

16
KESIMPULAN

1. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi inflamasi, dapat humoral atau seluler


2. Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam, ditimbulkan
oleh ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mas yang
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif
3. Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam,
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
komplemen dan atau sel NK/ADCC
4. Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th yang mengaktifkan sel efektor makrofag
yang menimbulkan kerusakan jaringan
5. Histamin merupakan komponen utama granul sel mas yang merupakan mediator
primer, menunjukkan efek melalui reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi
dan efek yang berbeda
6. Reaksi tipe II terjadi bila antibodi dengan determinan antigen pada permukaan sel
yang menimbulkan kerusakan sel atau kematian melalui isis dengan bantuan
komplemen atau ADCC. Reaksi transfusi dan penyakit neolitik pada bayi baru lahir
merupakan reaksi tipe II
7. Reaksi tipe III terjadi melalui pembentukan kompleks imun yang mengaktifkan
komplemen. Aktivasi komplemen menghasilkan molekul efektor yang
menimbulkan vasodilatasi lokal dan menarik neutrofil. Endapan kompleks imun di
dekat antigen masuk dapat menginduksi reaksi arthus; akumulasi neutrofil yang
melepas enzim itik, aktivasi komplemen yang menimbulkan kerusakan jaringan
setempat
8. Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV (modifikasi Gell dan Coombs) telah
dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell mediated cytolysis yang
terjadi melalui sel CD8+
9. Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian
besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen
10. Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang
langsung membunuh sel sasaran dan penyakit yang ditimbulkannya cenderung
terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik
11. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme seluler, biasanya
ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk sel antigen dan kedua jenis
sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th De. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2010.p.383-9
2. Subowo. Imunologi Klinik : Hipersensitivitas. 2nd De. Jakarta : Sagung Seto;2010.p
31-84
3. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins Ana Cotran : Disease of The Immune
System. 8th De. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.p 198-201, 204-5
4. Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th De.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.p 423-5
5. Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi. 5th
De. Jakarta: Penerbit FKUI; 2009.p45-6
6. Abbas AK, Lichtmann AH. Basic Immunology. 3rd De. Elsevier Saunders; 2009.p
201-7

18

Anda mungkin juga menyukai