Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN SEMENTARA

PER METODE
KULIAH LAPANGAN GEOTERPADU 2019

METODE
MAGNETOTELURIK

KELOMPOK 2:
Rizki Putri Amaliastuti (03411640000008)
Ramaditio Bagus Pradana (03411640000031)
Adjeng Yalastri Atha Nafilah (03411640000038)
Bagoes Idcha Mawardi (03411640000046)
Diki Setiwan (03411640000048)
M. Lutfilah K. (03411640000054)
Abiyyu Tsany (03411640000063)

DEPARTEMEN TEKNIK GEOFISIKA


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2019
ABSTRAK

Gunung Pandan terletak di Kabupaten Bojonegoro diduga memiliki sumber panas dalam
sistem panas bumi yang berkaitan dengan tubuh batuan plutonik. Hal ini dikarenakan batuan
tersebut berasosiasi dengan kegiatan magmatisme sehingga menghasilkan batuan vulkanik
termuda. Daerah ini ditemukan manifestasi berupa mata air hangat di sekitar daerah Selo
Gajah. Maka, untuk mengetahui struktur bawah permukaan dan litologi yang menyusun daerah
ini dilakukan pengukuran metode geofisika yaitu metode Magnetotelurik. Metode MT dapat
mengetahui sebaran batuan dan lapisan di bawah permukaan dengan melihat nilai
resistivitasnya atau tahanan jenisnya . Selain itu model konseptual, luas dan batas reservoir
panas bumi dapat diketahui. Metode ini memanfaatkan sumber elektromagnetik natural
(biasanya pada range frekuensi 0,001 Hz – 10 KHz). Pengukuran dilakukan dengan 7 titik
daerah pengukuran dan 1 lintasan di setiap titiknya. Pengukuran menggunakan alat Zonge.
Hasil pengukuran berupa kurva impedansi TE dan TM yang kemudian akan diedit dan
dilakukan smoothing menggunakan smoothing D+ dan diedit menggunakan MTFT2.
Kemudian hasil smoothing diexport dalam format edi untuk mendapatkan penampang
persebaran resistivitas dengan pemodelan 1D dan 2D menggunakan WinGLink. Hasil
interpretasi dari penampang 2D diduga pada kedalaman 0 – 8250 dengan nilai resistivitas <
100 Ωm merupakan batuan breksi yang mengandung air. Sedangkan untuk nilai resistivitas >
100 Ωm merupakan pasir tuffan. Pada kedalaman 2000 – 6000 m dengan nilai resistivitas 10 –
85 Ωm diduga sebagai lapisan reservoir. Sedangkan pada ketinggian 200 hingga kedalaman
2000 m diduga sebagai manifestasi berupa mata air hangat yang ditemukan di daerah Selo
Gajah.
Kata Kunci : Inversi, Magnetotelurik, Panas Bumi, Resistivitas
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia di
bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur.
Pergerakan realtif ketiga lempeng ini menyebabkan terjadinya tumbukan antar lempeng dan
berakibat pada terbentuknya zona subduksi sehingga terbentuk jalur magmatik, palung laut,
jalur busur luar kepulauan, sesar aktif dan gempabumi (Daryono, 2010). Proses peleburan
magma dalam bentuk partial melting pada batuan mantel dan diferensiasi magma saat
perjalanannya menuju permukaan yang menghasilkan kantong magma akan menghasilkan
jalur magmatik (Ring of Fire). Munculnya rentetan gunung api Pasifik di sebagian wilayah
Indonesia beserta aktivitas tektoniknya dijadikan sebagai model konseptual pembentukan
sistem panas bumi Indonesia.
Pulau Jawa termasuk dalam zona subduksi yang terletak di Selatan Pulau Jawa. Zona
subduksi ini merupakan tumbukan antara kerak samudra (Indo-Australia) dan kerak benua
(Eurasia). Tumbukan antar 2 lempeng ini menghasilkan magma yang naik ke permukaan dan
membentuk pegunungan di sepanjang pulau Jawa. Gunungapi di pulau Jawa didominasi oleh
tipe stratovolcano andesitic yang berelasi dengan sistem geotermal. Gunungapi Pandan
merupakan salah satu gunung api yang pernah aktif yang letaknya berada di Pulau Jawa,
tepatnya berada pada perbatasan antara 3 kota di Jawa Timur yaitu Nganjuk, Madiun dan
Bojonegoro. Secara fisiografis, Gunungapi Pandan termasuk dalam antiklinorium Kendeng
atau Zona Kendeng. Kehadiran manifestasi panas bumi berupa mataair dan kolam lumpur
mengindikasikan bahwa Gunungapi Pandan memiliki prospek energi panas bumi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat mataair panas yang tersingkap di
permukaan dan terletak di kaki Gunungapi Pandan, tepatnya di Desa Jari, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Selain itu, ditemukan pula kolam lumpur yang muncul
pada tahun 2016 silam, ketika terjadi swarm earthquake di Kabupaten Bojonegoro (Nugraha
A. D., dkk, 2016). Kemunculan dua manifestasi besar ini dapat digunakan sebagai data untuk
melihat potensi dari energi panas bumi di sekitar Gunungapi Pandan.
Dalam kegiatan eksplorasi panas bumi, survei geofisika diperlukan untuk mendapatkan
potensi dari titik-titik panas bumi (hotspots). Metode geofisika digunakan untuk mengetahui
sifat fisis batuan penyusun daerah tersebut, seperti densitas, konduktivitas, suseptibilitas dan
lain-lain. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah MT atau magnetotellurik yang
merupakan metode elektromagnetik pasif. Metode MT ini melibatkan pengukuran fluktuasi
medan listrik dan medan magnet alami pada permukaan bumi yang selanjutnya digunakan
untuk menentukan nilai konduktivitas batuan di bawah permukaan dari kedalaman dangkal
hingga puluhan kilometer. Medium konduktor bumi ini mempunyai nilai resistivitas yang
bervariasi dimana nilai resistivitas yang bervariasi itulah yang nantinya dapat digunakan untuk
menggambarkan bagaimana kondisi litologi di bawah permukaan daerah panasbumi.
(Wulandari, 2014).
Metode ini menggunakan frekuensi yang berkisar antara 0,001 Hz-10 KHz (Simpson, F.,
2005). Medan elektromagnetik primer menginduksi batuan menghasilkan medan magnet
sekunder. Variasi sementara medan magnetic ini kemudian direkam dan digunakan untuk
mengetahui properti elektrik dibawah permukaan bumi (konduktivitas atau resistivitas).
Rentang frekuensi ini dimanfaatkan untuk mengidentifikasi lapisan bawah permukaan pada
kedalaman puluhan hingga ribuan kilometer, dimana semakin rendah frekuensi maka semakin
dalam jangkauan penetrasi. Berdasarkan penjelasan di atas, metode magnetotelurik merupakan
metode yang efektif dan efisien dalam eksplorasi panas bumi (Leeuwen, W.A., 2016).
Menimbang bahwa energi panas bumi merupakan salah satu energi alternatif yang dapat
digunakan sebagai pengganti energi tak terbarukan (seperti; fossil), maka diperlukan sebuah
usaha untuk mengidentifikasikan potensi panas bumi di daerah Gunungapi Pandan. Penelitian
ini dilakukan untuk mengidentifikasi struktur bawah permukaan daerah sekitar Gunungapi
Pandan dan selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk eksplorasi ataupun
eksploitasi panas bumi lebih lanjut.

Batasan Masalah
Pada penelitian kali ini, terdapat beberapa batasan masalah yang digunakan, diantaranya
adalah :
1. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode AMT-MT yang dilakukan dengan
perekaman selama 3 jam untuk AMT, dan 12 jam untuk MT.
2. Pengolahan data dilakukan dengan software WinGLink.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang timbul dari latar belakang penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana model struktur bawah permukaan di daerah penelitian?
2. Bagaimana litologi penyusun daerah penelitian tersebut?

Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memodelkan struktur bawah permukaan di daerah penelitian
2. Mengidentifikasi litologi penyusun daerah penelitian tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


2.1.1. Fisiografi Regional Daerah Penelitian
Berdasarkan fisiografisnya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Kendeng yang
meliputri deretan pegunungan dengan arah memanjang timur-barat (T-B) yang terletak di
sebelah utara Subzona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang
mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan
antiklin kecil yang tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin yang lebih besar).
Panjang pegunungan ini sekitar 250 km dan memiliki lebar maksimum 40 km (de Genevraye
& Samuel, 1972) yang terbentang dari Gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui
Ngawi hingga Mojokerto.

Gambar 2. 1 Zonasi Fisiografis Pulau Jawa (Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949 dalam
Husein S., dkk., 2016)

Morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan morfologi


bergelombang dengan ketinggian sekitar 50-200 meter. Morfologi perbukitan yang berarah
barat-timur ini merepresentasikan adanya perlipatan dan sesar naik yang memiliki arah barat-
timur. Perlipatan dan anjakan yang mengikutinya memiliki intensitas yang sangat besar di
bagian barat dan berangsur-angsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut,
batas litologi batuan yang bersebelahan merupakan batas sesar. Perlipatan dan anjakan yang
disebabkan oleh gaya kompresi juga menyebabkan terbentuknya retakan, sesar dan zona lemah
lainnya pada arah tenggara-baratlaut (Tg-BL), baratdaya-timurlaut (BD-TL) dan utara-selatan
(U-S).
Di bagian tengah Zona Kendeng, tepatnya di baratlaut Nganjuk, sabuk antiklinorium
Kendeng diterobos oleh tubuh Gunungapi Pandan yang berusia Pleistosen Awal (Lunt, et al.,
1998). Pola struktur perlipatan Kendeng di sekitar Gunungapi Pandan mengalami pembelokan
yang relatif simeteris terhadap tubuh gunungapi tersebut, hal ini mengindikasikan vulkanisme
yang terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonis Kendeng (Pliosen Akhir).
Berdasarkan jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan palung subduksi, Gunungapi
Pandan berada pada satu deretan dengan Gunungapi Ungaran, yaitu pada posisi vulkanisme
near back-arc. Gunungapi Ungaran mulai aktif bersamaan dengan Gunungapi Pandan yaitu
pada Pleistosen Awal (van Bemmelen, 1949).
Akibat proses pengangkatan tektonik yang masih berjalan mulai dari akhir zaman Tersier
sampai saat ini, banyak dijumpai teras-teras sungai di Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan
adanya perubahan, temporary base level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng
adalah Bengawan Solo yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat-
timur. Di Kota Ngawi, Bengawan Solo berbelok ke utara dan memotong sabuk antiklinorium
Kendeng dengan lebar 15 km, sembari tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena ini
mengakibatkan Bengawan Solo diklasifikasikan sebagai sungai anteseden.
Proses eksogenik yang terjadi (erosi dan pelapukan) berjalan sangat intensif, hal ini
disebabkan karena iklim tropis dan litologi penyusun Zona Kendeng yang kebanyakan adalah
batulempung-napal-batupasir dengan kompaksitas rendah. Proses eksogenik tersebut dapat
menyebabkan terbaliknya topografi structural yang ada (inversed topography), misalnya pada
bukit antiklin yang berubah menjadi lembah antiklin, dan lembah sinklin menjadi bukit sinklin.
2.1.2. Stratigrafi Regional Daerah Penelitian

Gambar 2. 2 Kolom Stratigrafi Komposit Jawa Timur (Prasetyadi, 2007), dengan


Penambahan Kurva Eustasi Global (Haq et al, 1987).

Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di bagian bawah,
kemudian semakin ke atas berubah menjadi endapan laut dangkal, dan akhirnya menjadi
endapan non-laut. Endapan di Zona Kendeng terdiri dari endapan turbidit klastik, karbonat dan
vulkaniklastik. Stratigrafi Zona Kendeng dari yang paling tua hingga ke muda antara lain;
1. Formasi Pelang
Formasi ini merupakan formasi tertua yang tersingkap di Mandala Kendeng. Singkapan
yang menandakan adanya formasi ini berada di Desa Pelang, Selatan Juwangi dan bagian
yang tersingkap memiliki ketebalan antara 85 meter hingga 125 meter. Litologi utama
penyusun formasi ini adalah napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik
yang banyak mengandung fosil foraminifera besar.
2. Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki ciri khas dalam litologinya yakni berupa perulangan
perselingan antara batulempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir tufan.
Perulangan ini menunjukkan adanya struktur sedimen yang khas yakni graded bedding.
Singkapan formasi ini terlihat di Desa Kerek, di tepi sungai Bengawan Solo, berjarak
kurang lebih 8 km dari utara Ngawi. Di sekitar lokasi formasi ini terdapat tiga anggota
yakni;
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip yang berusia Miosen tengah (N10-N15) tersusun atas
perselingan antara napal lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan
batupasir tufaan dengan ketebalan sekitar 270 meter. Di bagian tengah ditemui sisipan
batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan di bagian atas ditandai
dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus.
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul terdiri atas perulangan yang hampir sama dengan anggota
Banyuurip, namun lapisan tuf ataupun lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal.
Anggota Sentul berusia Miosen bawah (N16)
c. Anggota Batugamping Kerek
Anggota paling atas dari Formasi Kerek tersusun atas perselingan antara
batugamping tufaan dengan pelapisan lempung dan tuf. Anggota ini berusia Miosen
atas, N17.
3. Formasi Kalibeng
Formasi Kalibeng terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah.
a. Formasi Kalibeng Bagian Bawah
Napal tak berlapis setebal 600 meter dengan warna putih kekuning-kuningan
hingga abu-abu kebiru-biruan merupakan penyusun formasi Kalibeng bagian bawah.
Terdapat beberapa pelapisan tipis batupasir yang ke arah Kendeng bagian barat
berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan yang kemudian disebut Anggota
Banyak. Ke arah timur di sekitar Gunung Pandan, di bagian atas formasi ini
berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit, dan
ini dikenal sebagai Anggota Atasangin.
b. Formasi Kalibeng Bagian Atas
Bagian atas dari formasi ini sering disebut dengan Formasi Sonde yang berumur
Pliosen (N19-N21) yang tersusun oleh Anggota Klitik yang terdiri dari satuan litologi
kalkarenit putih kekuning-kuningan dengan struktur lunak dan mengandung
foraminifera plangtonik. Sifat dari kalkarenit ini adalah napalan atau pasiran berlapis.
Sedangkan bagian atas tersusun atas merupakan breksi dengan fragmen gamping
berukuran kerikil dan memiliki semen karbonat. Kemudian disusul dengan endapan
napal pasiran, semakin ke atas, napalnya bersifat lempungan. Dan bagian teratas
ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiru-biruan.
4. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di daerah
Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung
hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang menumpang
diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari fasies laut, air
payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini sering dijumpai
adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang mengandung foraminifera
bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi
pengendapan air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.
5. Formasi Kabuh
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang. Formasi
ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur
silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung moluska air tawar dan fosil-fosil
vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai
batupasir silang siur dengan sisipan konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini
diendapkan fluvial dimana terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan
danau karena terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil.
6. Formasi Notopuro
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan, Madiun
yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf berselingan
dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik. Makin keatas sisipan
batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa breksi volkanik dengan
fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung juga ditemukan yang merupakan
cirri formasi Notopuro. Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh,
tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur
dari formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.
7. Endapan Undak Bengawan Solo
Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen napal dan andesit
disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata. Di daerah
Brangkal dan Sangiran, endapan untuk tersingkap baik sebagai konglomerat dan
batupasir andesit yang terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pada
Formasi Kabuh dan Notopuro.

2.1.3. Sejarah Geologi Daerah Penelitian


Pada jaman awal Yura Atas (Oxfordian, 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng
mikro Paparan Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari kontinen Induk, Gondwana. Lempeng-
lempeng mikro tersebut bertumbukan dan bergabung dengan inti Sundaland pada akhir Kapur
Bawah hingga Awal Kapur Atas. Semenjak itu, Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua
pasif (passive margin). Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen. Tingginya genangan
laut global pada akhir Kapur hingga Awal Eosen menyebabkan tidak adanya sedimentasi yang
terjadi secara signifikasn di Sundaland.
Gambar 2. 3 Tatanan Lempeng Tektonik Awal Tersier (Paleosen) [kiri] dan saat Eosen
Tengah [kanan] (Hall, 2012)
Gambar 2.3 menunjukkan tatanan lempeng tektonik pada masa Paleosen dan Eosen
Tengah. Label [1] adalah potongan lempeng kerak samudera berumur Yura Atas (Oxfordian)
sampai Kapur Bawah (Albian), sedangkan Label [2] adalah potongan lempeng kerak samudera
berumur Kapur Bawah sampai Kapur Atas (Turonian). Memasuki Eosen Tengah, proses
pemekaran Samudera Hindia mulai akan berlangsung di selatan Benua Australia,
menyebabkan mulainya subduksi di Palung Sunda (Gambar 2.3). Gaya kontraksi di sepanjang
Palung Sunda menyebabkan terbentuknya berbagai cekungan sedimenter Tersier di Sundaland.
Bersamaan dengan surutnya genang laut global, proses sedimentasi syn-rift dapat terbentuk
dengan baik di cekungan-cekungan tersebut, termasuk Jawa Timur. Formasi-formasi Wungkal-
Gamping dan Nanggulan menandakan aktifnya sedimentasi syn-rift di Pegunungan Selatan. Di
Jawa Timur utara, Formasi pra-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh
formasi tersebut merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya
ketidakselarasan di akhir Eosen Tengah.
Di akhir Eosen Atas, sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa transgresi global. Secara
regional, gaya tektonik regangan juga turut berkurang dengan mulainya proses kolisi Benua
India dengan Asia (Gambar 2.4). Hal ini juga ditandai dengan berakhirnya proses pemekaran
Selat Makassar. Pada akhir Oligosen Bawah proses penunjaman Palung Sunda yang terjadi
semenjak Eosen Tengah mulai membentuk busur gunungapi (volcanic arc), yang berada di
Zona Pegunungan Selatan. Formasi Kebo-Butak menjadi penanda stratigrafis aktifnya busur
gunungapi tersebut. Kehadiran busur gunungapi memicu terbentuknya zona cekungan
belakang busur (back-arc basin), yaitu Zona Kendeng. Tidak ditemukan adanya singkapan
berumur Oligosen Atas (pra-Pelang) di Zona Kendeng membuat sulitnya melakukan
pembuktian terhadap interpretasi ini. Di bagian Jawa Timur utara, bersamaan dengan awal
surutnya genang laut pada kala itu, Formasi Kujung mulai diendapkan di lingkungan paparan
hingga lereng benua.
Gambar 2. 4 Tatanan Lempeng Tektonik di Eosen Akhir [kiri] dan saat Oligosen Awal
[kanan] (Hall, 2012)

Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai (Gambar 2.5).
Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam (anti-clockwise
rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan batuan alas (basement faults) yang
sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode rifting di Eosen Tengah menjadi sesar
geser. Rotasi Oligo-Miosen ini terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi
batugamping Prupuh di lingkungan terumbu menempati tinggian-tinggian batuan alas
(basement horst) yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut
saat itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter vulkanisme
yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang bersifat lebih basaltik
dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat itu. Selain itu, rotasi ini diduga
menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona Kendeng, yang kemudian memicu
munculnya kompleks batuan alas (basement core complex) Bayat di tepian cekungan akibat
peluncuran gaya-berat (gravitational gliding) (Husein, 2013).

Gambar 2. 5 Tatanan Lempeng Tektonik di Oligosen Akhir [kiri] dan akhir Miosen Bawah
[kanan] (Hall, 2012)

Memasuki akhir Miosen Awal, lempeng kerak samudera Albian-Turonian telah habis
dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 2.5). Akibatnya lempeng tersebut terputus dan segmen
lempeng yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut penunjaman yang
lebih landai. Meskipun lempeng kerak samudera tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua
daripada lempeng sebelumnya, namun ujungnya lebih pendek hingga mampu mengungkit
segmen lempeng Sundaland diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak
volkanisme Pegunungan Selatan. Pengangkatan terjadi merata. Di Pegunungan Selatan
ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang,
ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban Event,
yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif dan luas. Di Zona
Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun Pegunungan Selatan, ditandai
dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan pada lingkungan yang lebih dangkal
dibandingkan Formasi Pelang.
Pada pertengahan Miosen Akhir, lempeng Oxfordian-Albian telah masuk ke Palung Sunda
secara merata (Gambar 2.6). Karena lempeng tersebut lebih tua, sehingga lebih berat, maka
kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan cekungan belakang busur (back-arc
basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa ini secara stratigrafis ditandai dengan sedimentasi
Formasi Kalibeng yang diendapkan pada lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek
di bawahnya. Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru, dengan
reaktifasi patahan bongkah (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona Rembang. Di
Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya batuan alas (basement
grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di Zona Rembang, dimana
penurunan sebagian bongkah-bongkah batuan alas mengontrol pengendapan sikuen Ledok-
Mundu-Selorejo bersamaan dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa
penyesaran bongkah ini di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event.

Gambar 2. 6 Tatanan Lempeng Tektonik di Miosen Akhir [kiri], dan akhir Pleistosen [kanan]
(Hall, 2012)
Memasuki awal Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi
(Gambar 2.6). Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa. Pegunungan Selatan
mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang dengan tingginya tingkat
denudasional pada singkapan batuan gunungapi Oligo-Miosennya. Pengangkatan Pegunungan
Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan Zona Depresi Solo. Zona
Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana bagian barat mengalami inversi
dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap melanjutkan penurunannya. Hal ini dikontrol
oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi lempeng Oxfordian-Albian, yang semakin curam
ke arah timur karena usia kerak yang semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian
timur dan barat ini juga mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona
Rembang, menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas
(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang tersebut pun
diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi Randublatung.
Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada kala tersebut,
kemungkinan berasal dari lempeng Oxfordian-Albian yang telah memasuki zona pelelehan
sebagian (partial melting window). Busur gunungapi baru muncul di sebelah utara busur
gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan
tubuh gunungapi Kuarter Awal tersebut memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah
kecil gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng), yaitu
Gunungapi Ungaran dan Gunungapi Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng.
Seluruh peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang
dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada batuan dasarnya;

Gambar 2. 7 Pola Struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir
(Sribudiyani, et al., 2003)

2.2 Sistem Panas Bumi


2.2.1 Model Sistem Panas Bumi
Survei penelitian yang dilakukan sejak 1960-an menunjukkan bahwa lebih
dari 200 prospek panas bumi dengan manifestasi permukaan aktif yang signifikan
terjadi di seluruh Indonesia. Sekitar 70 di antaranya diidentifikasi pada pertengahan
1980-an sebagai sistem panas bumi dengan suhu yang tinggi (high temperature
sistem) yang menggunakan kriteria geokimia dari cairan termal yang dikeluarkan.
Antara 1970 dan 1995, sekitar 40 di antaranya dieksplorasi menggunakan pemetaan
geologi, geokimia, dan survei geofisika terperinci. Hampir setengah dari prospek
yang disurvei diuji oleh pengeboran eksplorasi dalam (0,5-3 km), yang mengarah
pada penemuan 15 reservoir suhu tinggi yang produktif.
Dari manfiestasi permukaan yang muncul, juga berasosiasi dengan
permeabilitas batuan reservoir, sistem ini dibagi menjadi sistem dominasi air (liquid
dominated system), sistem natural two-phase, dan dominasi uap (vapor dominated
system). Terminologi “rendah”, “menengah”, dan “tinggi” digunakan untuk
menggambarkan permeabilitas batuan dengan permeabilitas rata-rata, k, lebih kecil
dari 1 sampai 3, 3 samai 10, dan lebih besar dari 10 milidarcy (Hochstein & Browne,
2000).
Panasbumi merupakan energi panas yang terbentuk secara alami dan
tersimpan dalam bentuk air panas atau uap panas pada kondisi geologi tertentu pada
kedalaman beberapa kilometer di dalam kerak bumi. Hochstein dan Browne (2000)
mendefinisikan sistem panasbumi sebagai perpindahan panas secara alami dalam
volume tertentu di kerak bumi dimana panas dipindahkan dari sumber panas ke
zona pelepasan panas. Kunci kekuatan untuk menggerakkan fluida adalah
perbedaan densitas antara air resapan yang suhunya lebih rendah dan bergerak ke
bawah dengan fluida panasbumi yang suhunya lebih tinggi yang kemudian muncul
ke permukaan bumi oleh gaya pengapungan. Sistem panasbumi dijumpai pada
daerah dengan gradient panasbumi relative normal, terutama pada bagian tepi
lempeng dimana gradient panasbumi biasanya mempunyai kisaran suhu yang lebih
tinggi daripada suhu rata rata (Dickson dan Fanelli, 2004). Terdapat empat elemen
penting yang berpengaruh dalam sistem panasbumi, terutama sistem panasbumi
hidrothermal yang terdapat di sebagian besar Indonesia, yaitu:

Gambar 3.1. 1. Ilustrasi sistem panasbumi (www.geologinesia.com)

1. Sumber panas (heat source)


Panas dapat berpindah secara konduktif, konvektif dan radiasi. Pada system
panasbumi perpindahan panas umumnya secara konduktif dan konvektif. Transfer
panas secara konduktif pada batuan terjadi akibat adanya interaksi atomik/molekul
penyusun batuan dalam mantel sedangkan perpindahan panas secara konvektif
adalah perpindahan panas yang di ikuti oleh perpindahan massa (molekul). Sumber
panas dalam sistem panasbumi pada umumnya berasal dari magma. Terbentuknya
magma pada awalnya berasal dari hasil pelelehan mantel (partial melting) sebagai
akibat penurunan titik didih mantel karena adanya infiltrasi H2O dari zona
subduksi. Magma dapat terjadi karena pelelehan sebagian kerak bumi pada proses
penebalan lempeng benua seperti yang terjadi pada tumbukan antar lempeng benua
(collision).
2.Fluida panasbumi
Fluida panasbumi berasal dari air permukaan (air meteoric) yang masuk ke
bawah permukaan melalui rekahan maupun ruang antar butiran batuan membentuk
sistem kantong fluida/reservoir. Fluida juga dapat berasal dari batuan dalam bentuk
air magmatik (air juvenil). Karakteristik fluida panasbumi dapat memberikan
informasi tentang tipe sistem panasbumi, hal penting yang di analisis untuk
menentukan karakteristik fluida dalam reservoir meliputi pendugaan temperatur
reservoir (geothermometer), komposisi kimia fluida, asal-usul fluida, interaksi
fluida terhadap batuan serta pencampuran fluida reservoir dengan fluida lain
(mixing).

3.Reservoir
Reservoir adalah lapisan yang tersusun dari batuan yang memiliki sifat
permeable dan porositas tinggi yang berperan untuk menyimpan fluida yaitu uap
dan air panas yang berasal dari hasil pemanasan (konvektif dan konduktif) dalam
suatu sistem hidrothermal. Lapisan ini bisa berasal dari batuan klastik atau batuan
vulkanik yang telah mengalami rekahan secara kuat. Reservoir panasbumi yang
produktif harus memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi, ukuran volume
cukup besar, suhu tinggi dan kandungan fluida yang cukup. Permeabilitas
dihasilkan oleh karakteristik stratigrafi (misal porositas intergranular pada lapili,
atau lapisan bongkah lava) dan unsur struktur (misalnya sesar, kekar dan rekahan).
Geometri reservoir hidrothermal di daerah vulkanik merupakan hasil interaksi yang
kompleks dari proses vulkano tektonik aktif antara lain stratigrafi yang lebih tua
dan struktur geologi.

4.Batuan penudung (caprock)


Lapisan penudung (caprock) berfungsi sebagai penutup reservoir untuk
mencegah keluar atau bocornya fluida panas bumi dari reservoir. Batuan penudung
harus berupa lapisan batuan yang bersifat kedap atau memiliki permeabilitas
rendah. Lapisan penudung umumnya tersusun oleh lapisan batuan yang terdiri dari
mineral lempung sekunder hasil ubahan (alteration) akibat interaksi fluida dengan
batuan yang dilewatinya. Mineral-mineral lempung sekunder yang umum
membentuk lapisan penudung adalah montmorilonite, smectite, illite, kaolin, dan
phyrophyllite. Di lingkungan tektonik aktif batuan penudung mangalami deformasi
dan membentuk rekahan, tetapi dengan adanya proses kimia yaitu berupa
pengendapan mineral sangat membantu dalam menutup rekahan yang terbentuk
(self sealing) contohnya pengendapan kalsit dan silica.

2.3 Metode Magnetotelurik


2.3.1 Prinsip Metode Magnetotelurik
Metode MT adalah metode sounding yang mengukur secara pasif
gelombang Elektromagnetik alami (Agung, 2009; Satrio dan Koesuma 2012).
Metode magnetotellurik memiliki jangkauan penetrasi yang lebih dalam
dibandingkan dengan metode geolistrik. Metode magnetotelurik dapat
mengetahui sebaran batuan dan lapisan di bawah permukaan dengan melihat
nilai resistivitasnya atau tahanan jenisnya (Kadir, 2011). Selain itu model
konseptual, luas dan batas reservoir panas bumi dapat diketahui.
Magnetotelurik merupakan metode elektromagnetik berdomain frekuensi
yang digunakan untuk menginvestigasi struktur elektrik yang berada dibawah
permukaan bumi. Metode ini memanfaatkan sumber medan elektromagnetik
natural (biasanya pada range frekuensi 0,001 Hz – 10 KHz). Medan
elektromagnetik primer menginduksi batuan menghasilkan medan magnet
sekunder. Variasi sementara medan magnetic ini kemudian direkam dan digunakan
untuk mengetahui property elektrik dibawah permukaan bumi (konduktivitas atau
resistivitas).
Rentang frekuensi ini memungkinkan untuk identifikasi lapisan bawah
permukaan untuk kedalaman puluhan hingga ribuan kilometer, dimana semakin
rendah frekuensi maka semakin dalam jangkauan penetrasi. Parameter yang diukur
adalah komponen medan listrik (𝑬) dan medan magnet (𝑯) yang berubah-ubah
terhadap waktu. Rasio dua parameter ini menghasilkan nilai impedansi yang
kemudian dapat diturunkan sehingga didapatkan nilai resistivitas. Berdasarkan nilai
resistivitas ini, dapat diperkirakan struktur dan litologi lapisan bawah permukaan.

2.3.2 Prinsip Dasar Penjalaran Gelombang


Resistivitas bumi lebih rendah dari atmosfer oleh karena itu, sinyal
electromagnetic (EM) menjalar sebagai gelombang pada udara dan berdifusi di
dalam bumi. persamaan diferensial yang mendasar untuk mejalaskan perilaku
gelombang EM doformulasikan pada persamaan Maxwell :
̅=𝒑
𝛁. 𝑬 (2.1)
𝜺
̅=𝟎
𝛁. 𝑩 (2.2)
̅
𝝏𝑬
̅ = 𝝈𝑬
𝛁×𝑯 ̅+𝜺 (2.3)
𝝏𝒕
̅
𝝏𝑩
̅=−
𝛁×𝑬 (2.4)
𝝏𝒕
̅ adalah kuat medan magnet, 𝑩
Dimana Ē adalah kuat medan listrik (V/m2), 𝑯 ̅
adalah rapat fluks magnet (W/ m ), ρ adalah rapat muatan (C/m ), σ adalah
2 3

̅=
konduktivitas (S/m), ε adalah konstanta dielektrik (F/m). karena .. = σ Ē dan 𝑩
𝝁𝑯̅ , persamaannya menjadi :
̅
̅ = 𝝁𝑱̅ + 𝝁𝜺 𝝏𝑬
𝛁×𝑩 (2.3a)
𝝏𝒕
𝑱̅ adalah rapat arus (A/m ), dan 𝝁 adalah permeabilitas magnetic (H/m). Nilai
2

untuk ruan hampa 𝝁𝟎 = 𝟒𝝅 × 𝟏𝟎−𝟕 H/m dan 𝜺𝟎 = 𝟒𝟖, 𝟖𝟓 × 𝟏𝟎−𝟏𝟏 H/m. dengan
menggunakan curl dari persamaan 2.4 disubsitusikan ke persamaan 2.3a,
persamaan diferensial orde kedua untuk Ē didapat :
̅
𝝏𝑬 𝝏𝟐 𝑬
̅
̅ = 𝝁𝝈 + 𝝁𝜺 𝟐
𝛁𝟐𝑬 (2.5)
𝝏𝒕 𝝏𝒕
Pada lingkunga yang konduktif, arus konduksi mendominasi dan efek dari
displacement current dapat diabaikan. Persamaan…. Dapat disederhanakan
menghasilkan persamaan difusi :
̅
𝝏𝑬
̅ − 𝝁𝝈 = 𝟎
𝛁𝟐𝑬 (2.6)
𝝏𝒕
Bumi dapat diinterpretasikan sebagai lingkungan konduktif, jadi persamaan
difusi dapat digunakan pada analisa MT. untuk sebuah gelombang Em dengan
sinusoidal yang bervariasi terhadap waktu, kuat medan listrik dapat dituliskan
̅=𝑬
sebagai 𝑬 ̅ 𝟎 𝒆−𝒊𝝎𝒕 disubstitusikan kedalam persamaan 2.6 menghasilkan :
𝛁𝟐𝑬 ̅ + 𝒊𝝎𝝁𝝈𝑬 ̅=𝟎 (2.7a)
Catatan bahwa, karena transformasi energi elektromagnetik menjadi panas,
kuat medan menurun secara eksponensial terhadap kedalaman, persamaan 2.7a
menjadi :
̅ 𝐤 𝟐 + 𝒊𝝎𝝁𝝈𝑬
𝑬 ̅=𝟎 (2.8)
Selanjutnya penyelesaian untuk k :
𝒊𝝎𝝁𝝈
𝒌 = ±(𝟏 − 𝒊)√ (2.9)
𝟐
k adalah bilangan kompleks dari medium. Jadi perambatan medan di dalam
bumi dapat ditulis :
𝝎𝝁𝝈 𝝎𝝁𝝈
̅ 𝟎 𝒆−𝒊𝝎𝒕 𝒆𝒊√ 𝒛 −√ 𝒛
̅=𝑬
𝑬 𝟐
𝒆 𝟐
(2.10)
𝝎𝝁𝝈
−√ 𝒛
Pada persamaan (2.10), 𝒆 𝟐 menggambarkan peluruhan dari amplitudo karena
merambatnya gelombang apda arah z.

2.3.3 Skin Depth


Medan EM yang merambat ke dalam bumi akan mengalami pelemahan.
Pelemahan ini akan tergantung oleh frekuensi dan hambatan listrik dari bumi.
Tetapi apabila medan elektromagnetik melewati lapisan konduktif maka energi dari
medan elektromagnetik tersebut akan teratenuasi. Sehingga jarak tembus atau
tempuh dari medan elektromagnetik tersebut juga akan berkurang mengikuti
seberapa besar nilai konduktifitas dari lapisan konduktif ketika melewati lapisan
tersebut, jarak maksimum yang dapat dicapai oleh medan elektromagnetik saat
menembus lapisan konduktif ini (Griffith, 1999).
Skin depth adalah kemampuan sinyal elektromagnetik untuk menembus ke
dalam bumi (Unsworth, 2006). Besarnya skin depth pada medium konduktif
bergantung dari permeabilitas medium, tahanan jenis, dan frekuensi gelombang
elektromagnetik yang melalui medium. Skin depth didefinisikan sebagai jarak (𝜹)
sepanjang kuat medan listrik teratenuasi oleh 1/e dari kuat medan asal (origin).
𝝎𝝁𝝈
−√ 𝒛
Selama 𝒆 𝟐
= 𝒆−𝟏 skin depth dapat dituliskan :
𝟐
𝜹 = √𝝎𝝁𝝈 (2.11)
Bentuk lain dari persamaan (2.11) :
𝝆
𝜹 ≈ 𝟓𝟎𝟑√𝒇 (𝒎) (2.12)

Degan cara yang sama, dicari untuk medan magnet dari gelombang EM.
Komparasi antara medan listrik dan medan magnet dapat ditulis :
𝑬𝒙 = 𝑬𝟎 𝒆−𝒌𝒛 𝒆−𝒊𝝎𝒕 (2.13)
𝟏 −𝒌𝒛 −𝒊𝝎𝒕
𝑯𝒚 = 𝒊𝝎𝝁 𝑬𝟎 𝒆 𝒆 (2.14)
𝟎
Disini medan listrik tegak lurus terhadap medan magnet.

2.3.4 Impedansi
Data medan listrik dan medan magnet dalam metode Magnetotellurik tidak
digunakan secara terpisah keduanya digunakan untuk memperoleh besaran yang
disebut impedansi. E dan H adalah vektor (tensor rank 1), maka Z adalah tensor–
rank 2. Untuk metode MT, komponen medan listrik dan medan magnet yang
digunakan adalah komponen horizontal, sebab gelombang EM dianggap merambat
vertikal. Jika vektor mengarah vertikal, maka vektor E dan B akan berada pada
bidang horizontal tegak lurus vektor. Sehingga hubungan di atas dapat dinyatakan
dengan persamaan matriks :
𝑬′𝒙 𝒁𝒙𝒙 𝒁𝒙𝒚 𝑯𝒙
[ ]=[ ][ ]
𝑬′𝒚 𝒁𝒚𝒙 𝒁𝒚𝒚 𝑯𝒚
(2.15)
Secara umum untuk kasus dua dimensi, dari data sinyal medan listrik dan
medan magnet yang direkam, diperoleh matriks impedansi dengan tiga komponen
independen. Untuk menyederhanakan komputasi, sedapat mungkin pengukuran
dilakukan dengan memilih koordinat yang sejajar atau tegak lurus strike sehingga
hanya ada dua komponen impedansi yang independen. Kenyataannya, dalam
survey kita tidak mengetahui kemana arah strike yang sebenarnya. Jika kita percaya
bahwa medium bawah tanah hampir dapat dimodelkan dengan model 2 dimensi,
pengukuran dapat dilakukan dengan arah koordinat maupun yang dipilih. Baru
setelah data terkumpul dan nilai impedansi dihitung, matriks impedansi tersebut
dapat diputar atau dirotasikan secara numerik, sehingga seolah pengukuran
dilakukan dengan menggunakan koordinat yang sejajar atau tegak lurus arah strike.
Dari perbandingan antara komponen horizontal E dan H yang saling tegak
lurus akan diperoleh besaran yang disebut impedansi,
𝑬
𝒁𝒙𝒚 = 𝑯𝒙 = √𝒊𝝎𝝁𝟎 𝝆
𝒚

(2.16)
𝑬𝒚
𝒁𝒚𝒙 = 𝑯 = −√𝒊𝝎𝝁𝟎 𝝆
𝒙
(2.17)

Impedansi medium bumi homogen biasa disebut juga dengan impedansi intrinsik,
dimana nilainya sama (Z). Persamaan ini dapat diutliskan dalam bentuk nilai
apparent resistivity atau AppRho (resistivitas semu) dan fasa.
𝟏
𝝆𝒂𝒑𝒑 = 𝝎𝝁 |𝒁𝒊 |𝟐 (2.18)
𝟎
𝑰𝒎𝒁 𝑬
𝝋 = 𝒕𝒂𝒏−𝟏 [ 𝑹𝒆𝒁 𝒍] = 𝒕𝒂𝒏−𝟏 [𝑯𝒊 ] (2.19)
𝒍 𝒋

dengan 𝑖,𝑗 = 𝑥,𝑦. Untuk medium bumi homogen, beda fasa memiliki nilai konstan
45o (Unsworth, 2016). Berdasarkan nilai AppRho, kemudian dilakukan proses
inversi sehingga didapatkan nilai true resistivity serta ketebalan dan kedalaman tiap
lapisan. Nilai true resistivity kemudian dapat digunakan sebagai acuan untuk
pendugaan litologi dan struktur bawah permukaan. Referensi nilai resistivitas
ditunjukkan pada tabel 3.1.

Tabel 2.1 Nilai resistivitas batuan (Dewi, 2015)


Resistivitas
Batuan Deskripsi
Minimum Maksimum
Sea water 0.3 1
Water Fresh water 10 100
Acid water 20 100
Aluvium 7.5 850
Soil Top soil 150 900
Gravel 100 3200
Clay/lapilli 1 100
Shale/lapilli 20 2000
Sediment
Sandstone/tuff 28 4500
Conglomerate/agglomerate 2000 10000
Marls 5 100
Chalk 50 150
Carbonate
Dolomite 350 10000
Limestone 50 300000
Lava 100 50000
Basalt/Gabro 1000 1000000
Igneous
Andesite – Diorite 3000 40000
Ryolite – Granite 5000 1000000
Argilite 10 900
Schist 10 10000
Meta Slate 500 500000
Quarzite 500 800000
Gneiss 68000 3000000

2.3.5 Mode TE (Transverse Electric) dan Mode TM (Transverse Magnetic)


Nilai resistivitas dapat bervariasi secara vertical maupun horizontal. Pada
kenyataannya, perlapisan batuan tidak terjadi secara menerus, di titik tertentu bisa
terdapat patahan atau terobosan dari batuan lain, sehingga terbentuk bidang batas
antara 2 zona yang memiliki perbedaan nilai resistivitas. Untuk mengidentifikasi
nilai resistivitas secara horizontal, medan magnet dan medan listrik yang saling
tegak lurus satu sama lain, dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu TE dan TM.
Mode TE (polarisasi E) adalah ketika medan listrik yang menginduksi sejajar
dengan arah strike menyebabkan medan magnet bervariasi pada arah tegak lurus
strike dan arah vertical dari bidang lapisan. Mode TM (polarisasi 𝑩) adalah ketika
medan magnet yang menginduksi sejajar arah strike menyebabkan medan listrik
bervariasi pada arah tegak lurus strike dan arah vertikal bidang lapisan. Pada mode
TE, komponen medan EM yang bervariasi (𝑬𝒙, 𝑯𝒚, 𝑯𝒛) memenuhi persamaan
𝜕𝐸𝑥 𝜕𝐻𝑧
= = 𝑖𝜔𝐻𝑥 (2.20)
𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝜕𝐸𝑥 𝜕𝐻𝑦
= = −𝑖𝜔𝐻𝑧 (2.21)
𝜕𝑦 𝜕𝑡
𝜕𝐻𝑥 𝜕𝐻𝑦
= = 𝜇0 𝜎𝐸𝑥 (2.21)
𝜕𝑦 𝜕𝑧
Sedangkan pada mode TM, komponen medan EM yang bervariasi (𝑯𝒙, 𝑬𝒚, 𝑬𝒛)
memenuhi persamaan
𝜕𝐻𝑥
= 𝜇0 𝜎𝐸𝑧 (2.22)
𝜕𝑦
𝜕𝐻𝑥
− = 𝜇0 𝜎𝐸𝑦 (2.23)
𝜕𝑧
𝜕𝐸𝑧 𝜕𝐸𝑦
= = 𝑖𝜔𝐻𝑥 (2.24)
𝜕𝑦 𝜕𝑧

2.3.6 Transformasi Fourier


Data hasil pengukuran MT berupa hasil rekaman komponen 𝑬𝒙, 𝑬𝒚, 𝑯𝒚, dan
𝑯𝒛 dalam domain waktu (time series). Untuk memudahkan analisis, sinyal ini
ditransformasi menjadi domain frekuensi. Transformasi dilakukan dengan
transformasi Fourier, yaitu

𝑿(𝝎) = ∫−∞ 𝒙(𝒕)𝒆𝒊𝝎𝒕 𝒅𝒕 (2.25)
dimana 𝒙(𝒕) merupakan sinyal input dalam bentuk time series dan 𝑿(𝝎) merupakan
hasil transformasi dalam bentuk spektra (Simpson, 2005)

2.3.7 Static Shift


Static shift didefinisikan sebagai perpindahan vertikal dari resistivitas semu
pada kurva sounding. Antara titik pengukuran (stasiun) yang berdekatan atau
anatara dua kurva pada stasiun yang sama, tanpa ada perbedaan yang lain baik
kondisi kurva maupun fase-nya. Static shift disebabkan oleh medan listrik yang
dihasilkan dari muatan-muatan pada batas permukaan yang tidak homogen (Vozoff,
1991).
Medan listrik yang dihasilkan dari boundary charges mereduksi nilai medan
listrik yang terukur, juga menurunkan nilai impedansi, merendahkan resistivitas
semu dari bagian yang memiliki resistivitas rendah. Pada bagian yang resistif,
medan listrik mengalami penguatan sehingga membuat daerah tersebut lebih
resistif. Efek dari boundary charge diemukan pada semua frekuensi. Jika
inhomogenitas cukup luas (lebih besar dari skind depth pada frekuensi yang paling
tinggi dari kurva MT-nya) (Xiao, 2004).

2.4 Pemodelan 1D
Setelah proses editing data selesai, maka dapat dilakukan pemodelan 1D.
Pemodelan ini dapat dilakukan dengan menggunakan mode TE, TM ataupun invariant
(rata-rata TE dan TM). Berdasarkan tren data, kemudian dilakukan inversi sehingga
didapatkan nilai resistivitas serta kedalaman dan ketebalan tiap lapisan. Inversi 1D
dapat dilakukan dengan inversi Bostick dan Occam.
2.4.1 Inversi Bostick
Skema Inversi Bostick menghasilkan distribusi resistivitas terhadap
kedalaman yang kontinu atau mendekati kontinu (Bostick, 1977). Dalam studi ini,
peneliti memperkirakan resistivitas dengan menggunakan tahanan jenis semu dan
fase yang dirumuskan sebagai berikut:
𝝅
𝝆(𝒛) = 𝝆𝜶 (𝝎) (𝟐𝝓(𝛚) − 𝟏)
(2.26)
𝝆𝜶 (𝝎)
𝒛=( ) 𝟏/𝟐 (2.27)
𝝁𝝎
Dimana 𝑧 adalah nilai kedalaman sesuai dengan skin depth dari AppRho half space
𝜌𝑎 dan frekuensi ω.
2.4.2 Inversi Occam
Aplikasi algoritma Occam menghasilkan model sederhana yang
mengandung parameter dari semua kemungkinan model fitting. Ketika mencoba
untuk mendapatkan misfit yang lebih kecil antara nilai observasi dan kalkulasi dari
𝜌(𝜔) dan 𝜙(𝜔), kompleksitas dari model yang didapat pun meningkat dan hasilnya
seringkali menjadi unreliable. Model haruslah sekompleks medium, tapi tidak lebih
kompleks dari medium. Pada pemodelan Occam 1D dibutuhkan parameter model
sebagai model awal berupa nilai resistivitas, kedalaman, atau jumlah lapisan yang
kemudian dikalkulasi untuk mendapat misfit minimum. Strategi dari metode ini
adalah dengan meminimumkan kekasaran (roughness) model, sehingga dihasilkan
model yang lebih smooth. Roughness didefinisikan dalam bentuk turunan pertama
dan turunan kedua dari resistivitas terhadap kedalaman
𝒅𝒎 𝟐
𝑹𝟏 = ∫ ( 𝒅𝒛 ) 𝒅𝒛 (2.28)
𝟐
𝒅𝟐 𝒎
𝑹𝟏 = ∫ ( 𝒅𝒛𝟐 ) 𝒅𝒛 (2.29)
dimana 𝑚(𝑧) adalah resistivitas atau log resistivitas, 𝑧 adalah kedalaman, dan 𝑅1
dan 𝑅2 merupakan fungsi roughness (Delgado-Rodríguez, dkk., 2001).
Menggunakan orde yang lebih tinggi akan menghasilkan nilai misfit yang semakin
kecil.
Fungsi forward modelling digunakan untuk memprediksi model diskrit dengan
metode least square (Constable dan Parker, 1987)
(𝒅𝒋 −𝑭𝒋 [𝒎])𝟐
𝑿𝟐 = ∑𝑴
𝑱−𝟏 (2.30)
𝝈𝒋 𝟐
dimana 𝜎𝑗2 merupakan nilai ketidakpastian atau statistic error. Dengan
menggunakan suatu model 𝑚𝑗 yang sesuai dengan data lapangan, sehingga
dihasilkan 𝑅1 dan 𝑅2 dengan nilai 𝑋2 yang paling kecil, maka diperoleh model yang
paling sesuai.
Bentuk solusi umum dari forward modelling 𝐹𝑗[𝑚] (bentuk non-linear) untuk setiap
datum ke-𝑗 adalah
𝒅𝒋 = 𝑭𝒋 [𝒎], 𝒋 = 𝟏, 𝟐, . . . , 𝑴 (2.31)
Dalam bentuk notasi vektor dituliskan sebagaai
𝒅 = 𝑭[𝒎] (2.32)
sedangkan pada bentuk linear
𝒅=𝑮 ̃𝒎 (2.33)
dimana 𝐺 ̃ merupakan matriks 𝑀 × 𝑁 dengan elemen matriks yang dihitung melalui
teori forward modelling. Dalam kasus linear, persamaan misfit 𝑋2 dapat dituliskan
sebagai
𝟐
𝑿𝟐 = ‖𝑾̃𝒅 − 𝑾̃ ̃̃ 𝒎‖
𝑮 (2.34)
Persamaan fungsi roughness
𝑹𝟏 = ‖𝝏̃𝒎‖𝟐 (2.35)
𝟐
𝑹𝟐 = ‖𝝏 ̃𝟐 𝒎‖ (2.35)
dimana 𝜕 ̃ adalah matriks 𝑀 × 𝑁. Maka bentuk umum persamaan pemodelan dalam
kasus linear dituliskan sebagai
𝟐
𝑼 = ‖𝝏 ̃𝒎‖𝟐 + 𝝁−𝟏 {‖𝑾 ̃𝒅 − 𝑾
̃̃̃ 𝒎‖ − 𝑿𝟐 }
𝑮 (2.36)
Sedangkan dalam kasus non-linear dituliskan sebagai
̃𝒎‖𝟐 + 𝝁−𝟏 {‖𝑾
𝑼 = ‖𝝏 ̃(𝒅 − 𝑭[𝒎𝟏 ] + 𝑱̃𝟏 𝒎𝟏 − 𝑾 ̃𝑱̃𝟐 𝒎𝟐 ‖𝟐 − 𝑿𝟐 } (2.36)
dimana 𝑊 ̃=diagonal (1 𝜎1 ⁄ ,1 𝜎2 ⁄ ,…,1 𝜎𝑛 ⁄ ) matriks 𝑀 × 𝑁, 𝜇−1 merupakan faktor
pengali Lagrange, dan 𝑋∗2 adalah error. Solusi untuk model 1D algoritma inversi
Occam adalah
𝒎𝒏+𝟏 = [𝝁𝝏𝑻 𝝏 + (𝑾𝑱𝒏 )𝑻 𝑾𝑱𝒏 ]−𝟏 (𝑾𝑱𝒏 )𝑻 𝑾𝒅𝒏 (2.37)

2.5 Pemodelan 2D dengan Inversi Non-Linear Conjugate Gradient (NLCG)


Pada pemodelan 2D, hubungan antara data dan parameter model adalah non-
linear, oleh karena itu inversi data magnetotelurik 2D dilakukan dengan metode
NLCG. Berdasarkan Aster dkk. (2005), inversi 2D NLCG bekerja dengan mencari
solusi model yang meminimumkan fungsi objektif 𝝍. Bentuk umum masalah
inversi non-linear adalah

𝑑 = 𝐹(𝑚) + 𝑒 (2.38)
dimana 𝒅 = [𝒅𝟏 , 𝒅𝟐 , … , 𝒅𝒏 ] adalah tiap vektor data dengan tiap 𝒅 yang
merupakan salah atu algoritma amplitudo atau fase dari resistivitas semu untuk
keterangan mode TE atau TM, 𝒎 = [𝒎𝟏 , 𝒎𝟐 , … , 𝒎𝒏 ] adalah vektor model dari
parameter yang didefinisika sebagai fungsi resistivitas (𝒎(𝒙) = 𝐥𝐨𝐠 𝝆(𝒙)), dan 𝒆
adalah faktor error.
Pemecahan permasalahan inversi dalam pengertian Tikhonov Regularization
untuk mencari model yang meminimumkan fungsi objektif didefinisikan sebagai
𝑇 (2.39)
𝜓(𝑚) = (𝑑 − 𝐹(𝑚)) 𝑉 −1 (𝑑 − 𝐹(𝑚)) + 𝜆‖𝐿(𝑚 − 𝑚0 )‖2
dimana 𝝀 merupakan parameter regulerisasi sebuah bilangan positif, 𝑽 adalah
matriks kovarian error, dan 𝑳 adalah operator linear (smoothness) atau operator
Laplacian 𝚫 yang dituliskan sebagai
2
‖𝐿(𝑚 − 𝑚0 )‖2 = ∫(𝛥(𝑚 − 𝑚0 )) 𝑑𝑥 (2.40)

Dalam WingGLink digunakan parameter regulerisasi (𝝉). Berdasarkan Rodi dan


Mackie (2001), nilai 𝝉 yang digunakan merupakan input data yang didefinisikan
sebagai

𝛷 = 𝛷𝑑 + 𝜏. 𝛷𝑚 (2.41)
dimana 𝚽 adalah fungsi objektif yang digunakan, 𝚽𝒅 adalah fungsi objektif dari
data, dan 𝚽𝒎 adalah fungsi objektif dari model. Model NLCG memberikan
langsung pemecahan untuk meminimumkan fungsi objektif dengan model
sequence

𝜓(𝑚𝑗 + 𝑎𝑗 ℎ𝑗 ) = 𝑚𝑖𝑛𝑎 𝜓(𝑚𝑗 + 𝑎𝑗 ℎ𝑗 ) (2.42)


dimana
𝑚𝑗+1 = 𝑚𝑗 + 𝑎𝑗 ℎ𝑗 , 𝑗 = 0, 1, 2, …
ℎ𝑗 = −𝐶𝑗 𝑔𝑗 + 𝛽ℎ𝑗−1 , 𝑗 = 0, 1, 2, …
𝒂𝒋 adalah urutan langkah-langkah, 𝒉𝒋 adalah arah pencarian, 𝑪𝒋 adalah suatu
preconditioner, 𝒈𝒋 adalah gradien dari fungsi objektif, dan 𝜷𝒋 adalah suatu nilai
scalar yang dihitung dengan

𝑔𝑗𝑇 𝐶𝑗 (𝑔𝑗 − 𝑔𝑗−1 ) (2.43)


𝛽𝑗 =
𝑔𝑗𝑇 𝐶𝑗−1 𝑔𝑗−1

2.6 Penelitian Terdahulu


Lokasi Hasil signifikan dan
No. Nama, Tahun Penerapan
Lapangan kesimpulan
1. Syahwanti, Aplikasi Metode Mata Air Panas Pada lintasan Barat Daya-
Arman, dkk. Magnetotellurik Cubadak, Timur Laut terdapat 3 lapisan
2014 Untuk Sumatera Barat yang teridiri dari batuan
Pendugaan penudung, reservoir dan
Reservoir Panas batuan dasar dengan nilai
Bumi resistivitas masing-masing
adalah 5 Ωm sampai dengan
12 Ωm, 60 Ωm sampai
dengan 180 Ωm dan 300 Ωm
sampai dengan 700 Ωm. Pada
lintasan Utara-Selatan terdapat
3 lapisan yang terdiri dari
batuan penudung, reservoir
dan batuan dasar dengan nilai
resistivitas masing-masing
adalah 7 Ωm sampai dengan
20 Ωm, 30 Ωm sampai
dengan 100 Ωm dan 300 Ωm
sampai dengan 500 Ωm.
2. Rahmawati, Identifikasi Cangar, Jawa Adanya sistem panas bumi
Maryanto, Sistem Panas Timur bumi di daerah Cangar
Susilo. 2017 Bumi dengan nilai resistivitas yang
menggunakan berbeda tiap lapisan, yaitu
Metode lapisan dengan nilai
Magnetotelurik resistivitas rendah (≤ 21 Ωm)
yang diduga merupakan
lapisan penudung, resistivitas
sedang (21 – 167 Ωm) diduga
lapisan reservoar dan
resistivitas tinggi diduga
lapisan sumber panas (≥167
Ωm). Pada area sistem panas
bumi Cangar tersebut ternyata
terdapat patahan Cangar dan
beberapa retakan-retakan
batuan di sekitar manifestasi
air panas. Hal tersebut
menunjukkan bahwa daerah
Cangar merupakan zona
outflow
3 Umbara, Penerapan Sesar Sumatera Zona dengan nilai resistivitas
Utami, Metode rendah <10 Ωm (zona
Raharjo. Magnetotellurik konduktif) merupakan ciri dari
2014 dalam batuan penudung yang
Penyelidikan mengandung mineral-mineral
Sistem Panas lempung dengan nilai
Bumi konduktivitas elektrik (Cation
Exchange Capacity) yang
tinggi. Batuan penudung
umumnya ditutupi oleh zona
resistif yang merupakan
batuan permukaan tak
teralterasi yang tidak
mengandung mineral lempung
dan memiliki saturasi fluida
rendah di dalam pori batuan.
Zona dengan nilai resistivitas
tinggi (10-60 Ω-m) di bawah
batuan penudung merupakan
karakteristik dari reservoar
panas bumi, tingginya nilai
resistivitas pada zona ini
dikontrol antara lain oleh;
penggantian mineral smektit
oleh mineral ilit, klorit dan
epidot, penurunan salinitas
fluida hidrotermal serta
peningkatan temperatur.
Struktur resistivitas yang
dihasilkan dari pemodelan MT
menunjukan bentukan kubah.
Puncak kubah berasosiasi
dengan manifestasi panas
bumi fumarol dan mata air
panas yang mengindikasikan
pergerakan ke atas (upflow)
fluida hidrotermal. Penipisan
zona resistif 10-60 Ω-m dan
kemunculan mata air panas di
bagian tenggara menjadi
pertanda bahwa fluida
hidrotermal juga bergerak
keluar secara lateral (lateral
outflow).
4. Zukhruf. Identifikasi Guci, Jawa Berdasarkan hasil analisis
2019 Batuan Tengah metode tensor fase, swift strike
Penudung dan dan komponen riil induction
Reservoar Panas vector, diketahui bahwa arah
Bumi geoelectrical strike dominan
Berdasarkan daerah penelitian adalah
Pemodelan N97,5oE. Berdasarkan model
Inversi 2D hasil inversi 2D
Magnetotellurik magnetotellurik dan informasi
geologi serta geokimia, zona
konduktif dengan nilai
resistivitas < 12 Ωm pada
kedalaman 0-500 m
diinterpretasikan sebagai
batuan penudung pada sistem
panas bumi daerah penelitian
yang berasosiasi dengan
endapan Kuarter, sedangkan
zona dengan nilai resistivitas
12-120 Ωm pada kedalaman
500-1500 m diinterpretasikan
sebagai reservoar panas bumi
daerah penelitian yang
berasosiasi dengan endapan
Tersier.
5. Arisbaya, Model Sistem Lapangan Hasil pengolahan data
Aldinofrizal, Panas Bumi Karaha - menunjukan adanya lapisan
dkk. 2018. Berdasarkan Talaga Bodas konduktif dengan
Inversi 2d Data nilai resistivitas 1-10 Ωm,
Magnetotellurik yang diduga
berperan sebagai lapisan
penudung. Zona
reservoir berupa daerah
dengan nilai resistivitas 10-
100 Ωm. Nilai resistivitas yang
lebih besar dari 100 Ω.m
berkorelasi dengan batuan
bekuyang biasa dianggap
sebagai sumber panas.
Interpretasi hasil pengolahan
data MT diintegrasikan dengan
informasi geologi untuk
mendapatkan gambaran sistem
Panas Bumi Karaha-Talaga
Bodas.

6. Leeuwen, A Geothermal Aegean Coastal Secara umum hasil 3-D dari


Marnette, Exploration MT Belt in dua kode konsisten satu sama
dkk. 2015 Data Set and its northwestern lain dan dengan hasil
3-D Inversion Turkey pemodelan 1-D komparatif,
Using Two meskipun ada beberapa
Different Codes: perbedaan. Sementara struktur
An Example resistivitas skala besar yang
from Western diselesaikan oleh semua model
Turkey. diharapkan hadir di bawah
permukaan, ini tidak berlaku
untuk anomali resistivitas yang
lebih kecil. Namun, anomali
resistivitas skala kecil ini akan
menarik untuk dipelajari
secara lebih rinci ketika
menjalankan inversi 3-D yang
baru. Hal ini dapat dicapai
dengan menjalankan kembali
Kode II menggunakan strategi
pemodelan yang sama seperti
yang digunakan ketika
menjalankan Kode I.
Selanjutnya sangat
meyakinkan bahwa nilai
resistivitas absolut
menunjukkan nilai yang
sebanding. Hasil dari kedua
model tersebut tampaknya
mengkonfirmasi struktur
geologis dari wilayah survei,
dengan sedimen konduktif
yang menutupi lapisan dasar
resistif, mungkin batu kapur.
7. Daud, Resistivity Arjuno – Struktur resistivitas bawah
Nuqramadha, characterization Welirang, Jawa permukaan yang jelas
dkk. 2019 of the Arjuno- Timur, diungkapkan oleh inversi 3-D
Welirang Indonesia menunjukkan korelasi yang
volcanic baik dengan bukti geologi dan
geothermal geokimia. Secara keseluruhan,
system struktur resistivitas terdiri dari
(Indonesia) batuan konduktif (1–10ohmm)
through 3-D yang diubah di bagian atas
Magnetotelluric yang melapisi zona reservoir
inverse modeling dengan kisaran resistivitas
yang sedikit lebih tinggi (20–
60ohmm). Bagian bawah dari
struktur resistivitas
menunjukkan nilai resistivitas
tertinggi (> 80ohmm),
menunjukkan wilayah batuan
panas. Arus naik utama
diwakili oleh struktur updome
dari dasar lapisan konduktif
(BOC) di bawah puncak
Gunung Welirang. Hal ini
didukung oleh terjadinya
solfataric-fumaroles di puncak
Gunung Welirang. Selain itu,
zona keluar dari sistem panas
bumi Arjuno-Welirang
ditandai dengan penebalan
lapisan resistivitas rendah
menuju bagian utara dan barat
Mt. Welirang didukung
dengan terjadinya mata air
panas bikarbonat. Keberadaan
komponen gas magmatik (mis.
H2S dan SO2) yang terdeteksi
dalam fumarol, memberikan
peringatan dini mengenai
kemungkinan adanya cairan
asam. Pengeboran eksplorasi
lebih lanjut harus
mempertimbangkan masalah
ini. Model konseptual
kemudian dikembangkan
untuk memvisualisasikan
sistem panas bumi dari daerah
prospek Arjuno-Welirang
dengan mengintegrasikan data
geologis dan geokimia.
The conductivity
structure of the
Gediz Graben
geothermal area
extracted from
2D and 3D
magnetotelluric
inversion:
Synthetic and
field data
applications,
Geothermics
8. Galvan, Geothermal Baja California Evaluasi panas di tempat
Ledesma, prospects in the Peninsula dilakukan untuk lima wilayah
dkk. 2015. Baja California panas bumi di mana data
Peninsula geofisika tersedia untuk
memperkirakan volume
reservoir. Potensi minimum
yang dihitung lebih dari 400
MWe. Masih ada lebih dari
enam prospek panas bumi
dengan perhitungan suhu di
atas 200 ° C yang tidak
memiliki informasi yang dapat
dipercaya tentang volume
reservoir dan akan
meningkatkan potensi panas
bumi Semenanjung.
Kehilangan panas permukaan
dari sistem kapal selam
mencapai lebih dari 6000
MWt.
9. Cumming, Resistivity Glass Mountain Di daerah-daerah di mana
Mackie. Imaging of Known batuan resistif yang tebal
2010. Geothermal Geothermal menutupi sebagian besar
Resources Using Resource Area permukaan, seperti di Gunung
1D, 2D and 3D (KGRA) in Kaca, TDEM mungkin akan
MT Inversion northern menjadi metode yang tidak
and TDEM Static California efektif untuk mengoreksi
Shift Correction pergeseran statis MT kecuali
Illustrated by a jika penggunaan loop dan
Glass Mountain generator besar
Case History memungkinkan. Jika sumur
akan ditargetkan berdasarkan
interpretasi MT yang ada yang
mencakup koreksi pergeseran
statis TDEM berdasarkan
stasiun TDEM portabel di
daerah dengan batuan resistif
tebal di permukaan,
interpretasi harus ditinjau dan,
mungkin, direvisi. Efek statis
topografi pada MT pada
akhirnya akan secara rutin
diakomodir oleh inversi 3D
MT, dengan ketentuan bahwa
topografi dapat secara efektif
terwakili dalam inversi 3D
oleh mesh model yang cukup
bagus.
10. Chaofeng, Magnetotelluric Zhangzhou Model inversi resistivitas 2-D
Xiangyun, Imaging of the Basin dari data MT menyarankan
dkk. 2018. Zhangzhou Geothermal batuan penutup yang terdiri
Basin Zone, dari batuan Kuarter dan
Geothermal Southeastern vulkanik dari periode Jurassic
Zone, China akhir, yang terutama
Southeastern didistribusikan di barat dan
China timur cekungan. Namun,
lapisan sedimen yang
menyelimuti tidak terlalu
tebal. Reservoir area adalah
jaringan fraktur padat, yang
terdiri dari batuan induk dan
cairan alami yang terkandung
dalam fraktur dan pori-
porinya. Jaringan fraktur
memainkan peran dominan
dalam sirkulasi dan agregasi
air, sedangkan patahan
menyediakan saluran untuk
pergerakan air. Mengingat
granit yang didistribusikan
secara luas dan Moho yang
dangkal, sumber panas dari
mata air panas bersuhu sedang
dan rendah terutama terdiri
dari dua bagian: panas yang
dihasilkan oleh granit di kerak
dan panas dari mantel atas.
Selain itu, hasil kami juga
menunjukkan adanya zona
resistivitas rendah anomali di
kerak tengah yang dapat
mempengaruhi lokasi mata air
panas bersuhu tinggi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Akuisisi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan didaerah Gunung Pandan dan sekitarnya, Bojonegoro, Jawa
Timur, Indonesia. Akuisisi data Magnetotellurik yang dilakukan sebanyak 7 titik. Akuisisi data
dilakukan pada tanggal 3 - 10 September 2019. Adapun desain akuisisi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 3.1 dan layout pengukuran pada gambar 3.2 sebagai berikut.:

Gambar 3.1 Desain Akuisisi Penelitian

Gambar 3.2 Layout Akuisisi Penelitian


3.2 Diagram Alir Penelitian
Adapun alur pengolahan data MT dari data akuisi sampai menghasilkan interpretasi
dilakukan sebagai berikut:

Gambar 3.3 Skema kerja penelitian

3.3 Data Hasil Pengukuran


Tabel 3.1 Datasheet hasil pengukuran uji porouspot dan uji koil tiap titik
Data Resist dan Tegangan Uji Porous Pot Data Resist dan Tegangan Uji Koil
KEL 1

Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length


Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
1 31.3 4.6 50 Hx 3106 1954 10
Pot N
Porous
1 1.1 4.6 50 Hy 3076 1964 10
Pot E
Porous
1 5.4 4.5 50 Hz 3086 2044 10
Pot S
Porous
1 10.1 4.5 50
Pot W
Ex 2 32.5 4.9 50
Ey 1.5 15.3 4.5 50
KEL 2
07.38450°S; 111.80090°E; Z= 260 m; Zsat = 257
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
0.5 1.6 4.3 50 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
0.5 6.6 4.3 50 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
0.5 9.2 4.3 50 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
0.5 8.4 4.3 50
Pot W
Ex 0.5 7.5 4.4 100
Ey 0.7 1.9 4.3 100
KEL 3
Koordinat: 111.80606 E/ -7.38726 S Elevasi GPS: 269 m ; Elevasi satelit : 251.46
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
1 8.6 4.4 50 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
1.5 3.6 4.4 50 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
0.5 9.2 4.4 50 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
2 12 4.4 50
Pot W
Ex 2 0.9 4.4 100
Ey 2 15.9 4.4 100
KEL 4
49S Easting: 588693 Northing: 9181637; ZGPS: 251 m; Zsat: 252 m
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
2 3.6 4.5 50 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
2 4.1 4.5 50 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
2 3.6 4.5 50 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
2 0.9 4.5 50
Pot W
Ex 0.5 0.1 4.5 100
Ey 0.8 5.1 4.5 100
KEL 5
7.43897°S; 111.80465°E; Z= 536 m; Zsat = 262
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
0.8 0 4.8 50 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
1 6.9 4.4 50 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
3 1 4.4 50 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
2 1.6 4.5 50
Pot W
Ex 3.5 0.9 4 100
Ey 2 5.4 4.7 100
KEL 6
07.41301°S; 111.80131°E; Z= 293 m
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
2000 10.8 4.5 90 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
2000 3 4.4 40 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
2000 0.4 4.4 10 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
2000 12.1 4.4 60
Pot W
Ex 1200 10.7 4.5 100
Ey 2000 12.2 4.4 100
KEL 7
07.45079°S; 111.80311°E; Z= 600 m; Zsat = 707
Resistansi DC AC Length Chan AMT Serial MT Serial Length
Channel
(kOhm) (mV) (mV) (m) nel Number Number (m)
Porous
0.5 1.6 4.3 50 Hx 3086 1954 10
Pot N
Porous
2.1 13 4.4 50 Hy 3076 2044 10
Pot E
Porous
0.5 9.2 4.3 50 Hz 3106 1964 10
Pot S
Porous
4.05 20 4.3 50
Pot W
Ex 4.8 10.1 4 100
Ey 3.5 33.4 4.5 100

Tabel 3.2 Datasheet parameter pengukuran dan nama file


KEL 1 KEL 2
Metod Bandwidth Stac File Durasi Metod Bandwidth Stac File Durasi
e (Hz) k Name (s) e (Hz) k Name (s)
8192-192 hz 100 amtf6x 12.5 192 - 8192 100 AMTF2X 12.5
AMT 256-3 hz 50 amtf6y 400 AMT 3 - 256 50 AMTF2Y 400
8-0.0938 hz 20 amtf6z 300 0.0938 - 8 25 AMTF2Z 3200
MT 8-0.0059 15 30.72 MT 0.0059 - 8 15 30720
KEL 3 KEL 4
Metod Bandwidth Stac File Durasi Metod Bandwidth Stac File Durasi
e (Hz) k Name (s) e (Hz) k Name (s)
AMTF2
192 - 8192 100 12.5 192 - 8192 100 AMTF3a 12.5
X
AMT AMTF2 AMT
3 - 256 50 400 3 - 256 50 AMTF3b 400
Y
0.0938 - 8 25 AMTF2Z 3200 0.0938 - 8 25 AMTF3c 3200
MT 0.0059 - 8 15 30720 MT 0.0059 - 8 15 mtf3 30720
KEL 5 KEL 6
Metod Bandwidth Stac File Durasi Metod Bandwidth Stac File Durasi
e (Hz) k Name (s) e (Hz) k Name (s)
AMTF5 AMT
192 - 8192 100 12.5 192 - 8192 Hz 100 12.5
A F4A
AMT
AMT 3 - 256 50 AMTF5B 400 AMT 3 - 256 Hz 50 400
F4B
AMT
0.0938 - 8 25 AMTF5C 3200 0.0938 - 8 Hz 20 2560
F4C
MT 0.0059 - 8 15 30720 MT 0.0059 - 8 Hz 15 MT F4 30.72
KEL 7
Metod Bandwidth Stac File Durasi
e (Hz) k Name (s)
192-8192 Hz 100 12.5
AMT 3-256 Hz 50 400
0.0938 - 8
MT 0.0059 - 8 20 2560

3.4 Persiapan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer hasil pengukuran metode
MT di daerah Gunung Pandan dan sekitarnya.

3.5 Smoothing
Sebelum data menjadi file .edi maka dilakukanlah smoothing. Smooting ini dilakukan
untuk mengurangi noise di data sama minimalisir error. Pada langkah ini menggunakan
smoothing D+. Proses ini dilakukan menggunakan perangkat lunak MTFT2.

3.5 Koreksi Static Shift


Data hasil pengukuran tidak selalu ideal. Idealnya, kurva TE/TM di awal perekaman
berhimpit. Namun, terkadang masih ada efek static pada data. Oleh karenanya perlu diilakukan
koreksi efek static untuk mengembalikan data pada kondisi yang seharusnya baik dengan
menggunakan metode TDEM sebagai remote reference atau menggunakan inversi pada
Zon2DMT.
3.6 Inversi 1D
Inversi dilakukan untuk mendapatkan distribusi nilai resistivitas secara vertikal. Nantinya
dari data 1D akan diolah kembali dengan Inversi 2D. Proses ini dilakukan menggunakan
perangkat lunak WinGlink

3.7 Inversi 2D
Inversi dilakukan untuk mendapatkan penampang bawah permukaan sebenarnya dari hasil
pengolahan data magnetotelurik 1D tiap titik pengukuran. Proses ini dilakukan menggunakan
perangkat lunak WinGlink
BAB IV
4.2 Hasli Pengolahan dan Pembahasan

Gambar 4.1 Hasil Inversi Bostick dan Occam 1D Model


Hasil inversi 1 dimensi (1D) dilihat dari kontras nilai resistivitasnya berupa penampang
sebaran nilai resistivitas terhadap kedalaman, batas lapisan batuan serta ketebalan dari tiap-tiap
batuan. Pada pemodelan pengukuran ini menggunakan mode data invarian, yaitu nilai
resistivitas rata-rata dari mode TE dan TM. Berdasarkan gambar 4.1 diketahui terdapat 8
lapisan batuan yang memiliki nilai resistivitas dan ketebalan yang bervariasi. Inversi 1D secara
otomatis menghasilkan inversi bostick yang berdasarkan pada persamaan skin depth dimana
penetrasi kedalaman dipengaruhi oleh frekuensi dan nilai resistivitas. Selain inversi bostick,
terdapat inversi occam berdasarkan pendekatan linier dimana akan dihasilkan model yang
memperlihatkan tingkat kekasarannya tanpa melihat estimasi awal dari inversi Bostick.
Parameter yang mengindikasikan bahwa model yang dibuat sudah benar adalah ketika kurva
rho apparent berhimpit dengan kurva hasil inversi occam dan sesuai dengan trend data yang
ada. Proses inversi 1D dilakukan pada tujuh titik pengukuran. Pada inversi 1D dapat dibuat
model berupa cross section 1D hasil inversi Bostick dan inversi occam seperti pada Gambar
4.2 dan 4.3.
Table 4.1 Nilai resistivitas dann interpretasi janis lapisan
MTBJNGR-1
Ketebalan lapisan
Lapisan ke- Resistivity (Ωm)
(m)
1 59,15 106,25
2 9,52 151,50
3 2,06 1697,49
4 3,92 3731,77
5 2,97 2204,53
6 3,66 2570,34
7 5,46 3172,98
8 2,72
MTBJNGR-2
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke- (Ωm) lapisan (m)
1 5,21 7,89
2 4,14 13,26
3 6,23 8,23
4 8,92 52,04
5 5,02 7,86
6 4,77 68,27
7 1,00 1623,84
8 0,33
MTBJNGR-3
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke- (Ωm) lapisan (m)
1 6,97 14,11
2 3,64 6,88
3 9,45 38,16
4 3,65 47,35
5 6,16 63,22
6 1,43 815,37
7 1,64 1087,84
8 0,11
MTBJNGR-4
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke - (Ωm) lapisan (m)
1 4,16 5,19
2 1,51 46,76
3 1,20 68,28
4 0,96 229,54
5 2,51 173,58
6 2,70 694,12
7 1,00 1096,15
8 0,11
MTBJNGR-5
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke - (Ωm) lapisan (m)
1 7,84 13,00
2 723,75 3,09
3 66,25 72,89
4 38,01 68,46
5 7,41 166,45
6 84,64 2965,14
7 12,83 4722,86
8 0,71
MTBJNGR-6
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke - (Ωm) lapisan (m)
1 15,40 5,73
2 2,49 8,98
3 5,29 9,93
4 20,10 57,90
5 7,99 91,83
6 5,62 336,52
7 8,09 3871,05
8 1,03
MTBJNGR-7
Lapisan Resistivity Ketebalan
ke - (Ωm) lapisan (m)
1 29,04 26,12
2 10,10 10,56
3 2,24 11,21
4 1,84 40,59
5 0,25 45,44
6 0,09 177,60
7 0,48 854,78
8 0,03

Gambar 4.2 Model inversi 1D Metode Bostick


Gambar 4.3 Model Inversi 1D Metode Occam

Kemudian hasil pemodelan 1D sebelumnya dilakukan inversi 2D yang nantinya akan


menghasilkan penampang persebaran resistivitas bawah permukaan seperti pada Gambar 4.4.
Nilai error (Root Mean Square) pada hasil pemodelan 2D adalah 3.0399. Jika dibandingkan
dengan hasil pemodelan 1D dengan metode bostick, metode Occam lebih mendekati dengan
model 2D.

Gambar 4.4 Model mesh grid hasil Inversi 2D


Gambar 4.5 Gambar 4.4 Model section hasil Inversi 2D

4.2 Pembahasan
Peta Geologi (Gambar 3.1 dan Gambar blabla) menjadi data pendukung untuk
interpretasi data magnetotelurik. Gambar 4.5 merupakan interpreetasi dai model 1D dengan
metode Occam, namun hasil interpretasi kurang dipercaya dikarenakan kedalaman penetrasi
yang bervariasi. Selain itu model 1D juga sebagai interpretasi awal untuk mendukung
interpretasi pada model 2D. Gambar 4.5 pada titik MTBJNGR-6 menuju arah barat daya
mempunyai nilai resistivitas rendah yaitu 2 – 10 Ωm dengan kedalaman 200 – 400 m yang
diidentifikasikan sebagai batuan breksi yang mengandung air berdasarkan pada Tabel 2.1.
Namun, pada peta geologi daerah tersebut merupakan batuan beku. Sedangkan pada titik
MTBJNGR-6 hingga MTBJNGR-1 memiliki nilai resistivitas 10 – 100 Ωm dengan kedalaman
0 – 6000 m. Pada daerah ini diduga sebagai manifestasi dikarenakan muncul dipermukaan.
Pemodelan 2D yang dilakukan pada tahap ini menggunakan mode invarian dengan
iterasi sebanyak 50 kali. Hasil pemodelan 2D terdapat pada gambar 4.4. Lintasan pengukuran
mempunyai orientasi arah barat daya-timur laut sebanyak 7 titik pengukuran (MT-01, MT-02,
MT-03, MT-04, MT-05, MT-06, MT-07). Sebaran nilai resistivitas dibagi berdasarkan skala
nilai resistivitas dan kontras warna yang terlihat dari penampang. Berdasarkan peta geologi,
dapat diidentifikasi jenis batuan pengukuran MT ini berasal dari formasi breksi pandan. Namun
berdasarkan hasil pengukuran didapatkan penampang resisitivitas batuan seperti pada Gambar
4.4 yang berbeda dengan peta geologinya.
Hasil pemodelan 2D seperti pada Gambar 4.4, pada daerah yang mempunyai nilai
resistivitas < 100 Ωm diduga merupakan batuan breksi yang mengandun air, sedangkan pada
nilai resistivitas > 100 Ωm diduga berupa pasir tufaan. Sama seperti hasil interpretasi pada hasil
pemodelan 1D, dimana pada titik MTBJNGR-6 hingga MTBJNGR-2 mempunyai nilai
resistivitas rendah yaitu 2 – 10 Ωm yang diidentifikasikan sebagai breksi berisi air yang
ditandai dengan warna ungu - biru. Sedangkan pada lintasan sekitar 6000 – 9000 m dengan
kedalaman 2000 – 6000 m dengan nilai resistivitas 10 – 85 Ωm diduga sebagai zona reservoir.
Berdasarkan pada referensi Kementrian Energi Sumber Daya Mineral di Buku Panas Bumi
2017, pada gunung pandan memiliki lapisan reservoir pada nilai resistivitas 10 – 60 Ωm. Pada
titik MTBJNGR-1 hingga MTBJNGR-7 memiliki nilai resistivitas > 100 Ωm yang
diidentifikasikan sebagai acid water berdasarkan referensi nilai resistivitas pada Tabel 4.1. Hal
ini sesuai dengan kondisi lapangan dimana pada titik tersebut ditemukan air hangat. Jika
dikaitkan dengan sistem geothermal, daerah ini kemungkinan berupa manifestasi.

manifestasi

Pasir tuffan??

Reservoir??

Breksi (mengnandung air)??

Gambar 4.6 Interpretasi penampang 2D


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
• Pada hasil pengolahan yang dilakukan pada daerah sekitar Gunung Pandan, dapat
dilihat dari hasil penampang 2D bahwa pada kedalaman 0 – 8250 m dengan nilai
resistivitas < 100 Ωm merupakan batuan breksi yang mengandung air. Sedangkan
daerah yang memiliki nilai resistivitas > 100 Ωm pada kedalaman tersebut
merupakan pasir tuffan.
• Hasil penampang 2D pada lintasan 6000 – 9000 m dengan kedalaman 2000 – 6000
m yang memiliki nilai resistivitas 10 – 85 Ωm diduga sebagai zona reservoir.
Sedangkan pada titik MTBJNGR-1 hingga MTBJNGR-7 memiliki nilai resistivitas
> 100 Ωm yang diduga sebagai manifestasi dengan kandungan air acid water. Pada
daerah ini sesuai dengan kondisi lapangan dikarenakan ditemukan air hangat.
5.2.Saran
• Ketika melakukan proses masking pada WinGLink mempertimbangkan nilai
frekuensi yang digunakan pada kurva sesuai dengan tujuan penelitian
• Ketika melakukan inversi 2D, harus mempertimbangkan parameter inversi seperti
decade frekuensi yang digunakan, resistivitas identitas untuk menentukan mesh
grid, dll.
• Perlu metode geofisika lainnya untuk mendukung interpretasi
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths,D.J. 1999. Introductopm an Electrodynamics 3rd. USA :Practice-Hall heat sources”
in: H. Sigurdsson (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic Press.
Hochstein, M.P., Browne, P.R.L. (2000), “Surface manifestations of geothermal systems with
volcanic
Hochstein, M.P., Browne, P.R.L. (2000), “Surface manifestations of geothermal systems with
volcanic heat sources” in: H. Sigurdsson (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic
Press.
Unsworth., 2006, Overview of Electromagnetic Exploration Methods. University of Alberta.
Ussher, G. 2000. Understanding the Resistivities Observed in Geothermal System. World
Geothermal Congress, (p.1915)
Vozoff, K. 1991. The Magnetotelluric Method. In M. N. Nabighian, Electromagnetic Methods
In Applied Geophysics-Applications Part A and Part B (pp. 641-711). Society of
Exploration Geophysicist.
Xiao, W. 2004. Magnetotelluric Exploration in the Rocky Mountain Foothills, Alberta.
University of Alberta.
Leeuwen, Marnette, dkk. 2015. A Geothermal Exploration MT Data Set and its 3-D Inversion
Using Two Different Codes: An Example from Western Turkey. (pp. 1 -9). Proceedings
World Geothermal Congress 2015.

Anda mungkin juga menyukai