Anda di halaman 1dari 7

BERSOSIOLOGI BERSAMA ERVING GOFFMAN

UTS PENGANTAR SOSIOLOGI

Oleh:

Yosep Septiawan, O. Carm (NPM 15011)

Thomas Onggo Sumaryanto, O. Carm (NPM 15012)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI

WIDYA SASANA

MALANG

2016
Riwayat Hidup Erving Goffman
Erving Goffman lahir di Alberta, Kanada pada tanggal 11 Juli 1922. Pada awalnya
Goffman mengambil S1 Antropologi di Universitas Toronto. Karier akademisnya diawali di
Universitas Barkeley dan kemudian di Universitas Pennsylvania. Minat intelektualnya
difokuskan untuk mengembangkan kerangka teoritis untuk analisis interaksionisme sosial yang
didasarkan pada berbagai penelitian baik formal maupun informal terhadap proses
interaksionisme sosial.
Karyanya yang terkenal diantaranya: The Presentation Of Self In Everyday Life (1959),
Asylum (1961), dan Ecounter (1961). Karya awal Goffman menunjukkan bahwa ia dipengaruhi
oleh antropolog-sosial. Barulah setelah menerima gelar doktor dari Universitas Chicago, dia
dianggap sebagai teoritisi interaksionisme simbolik. Tahun 1980-an ia adalah teoritisi yang
sangat penting, ia terpilih sebagai presiden The American Sociological Association dan ketua liga
Ivy di Universitas Pennsylvania. Sayangnya ia sering tertimpa pengakit. Ia wafat pada tahun
1982 ketika berada dipuncak ketenarannya sebagai seorang sosiolog.

Latar Belakang Pemikiran Goffman


Situasi sosial pada awal abad ke-20 mempengaruhi pemikiran Goffman. Situasi waktu itu
diwarnai konflik sosial dan konflik rasial. Konflik-konflik tersebut merupakan dampak represif
birokrasi dan industrialisasi.1 Para kaum intelektual Amerika berusaha menanggapi situasi ini.
Mereka menanggapi situasi tersebut dengan berbagai sudut pandang, salah satunya
interaksionisme simbolik.
Secara umum kaum interaksionisme simbolik memiliki pemikiran seperti ini. Manusia
berbeda dengan binatang sebab ia memiliki akal budi. Akal budi ini memampukan manusia
untuk berpikir. Namun kemampuan berpikir ini dibentuk melalui interaksi sosial. Dalam
interaksi sosial, manusia mempelajari segala simbol2 dan makna. Kedua hal ini memampukan
manusia untuk berinteraksi dan bertindak sesuai dengan penafsirannya terhadap makna dan
simbol tersebut.
Goffman termasuk golongan kaum interaksionisme simbolik sebab dia lebih menekankan
unsur simbol dalam interaksi sosial. Dalam analisisnya, Goffman melihat individu sebagai objek
penelitian. Secara khusus, dia lebih menekankan pada interaksi tatap muka. Akhirnya Goffman
mencetuskan teorinya yang terkenal yaitu dramaturgi.
Dramaturgi merupakan pengembangan konsep “diri”. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan
“me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial.3

Konsep “diri”
Konsep “diri” adalah konsep yang sangat penting dalam teori interaksionisme simbolik.
Konsep ini dapat dijelaskan menjadi 3 bagian. Pertama, individu membayangkan bagaimana
penampilannya di depan orang lain. Kedua, individu membayangkan apa yang harus ia lakukan

1
Sukono Widodo, Teori Dramaturgi Erving Goffman dalam Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Yogyakarta:
Aditya Media Publishing. 2012 ), hlm. 170.
2
Kata simbol ini bukan berarti tanda atau isyarat. Simbol dalam interaksionisme simbolik berarti sejenis tindakan,
gerak atau bahasa yang diciptakan manusia. Simbol memiliki fungsi untuk memungkinkan proses mental berpikir
sehingga memungkinkan adanya interaksi simbolik.
3
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.
298.
sesuai dengan gambaran penampilannya. Ketiga, individu membayangkan bagaimana perasaan
diri sebagai akibat dari bayangan individu mengenai penilaian oleh orang lain.
Konsep “diri” Mead sangat berpengaruh terhadap pengembangan konsep diri dalam
interaksionisme simbolik. Menurutnya, diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri
sebagai sebuah objek atau subjek. Diri membutuhkan proses sosial yaitu komunikasi
antarmanusia.4 Mead menyatakan bahwa tidak mungkin membayangkan diri yang muncul dalam
ketiadaan pengalaman sosial.
Menurut Goffman, diri merupakan hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Dia
memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri. Dalam hal ini
Goffman membangun konsep dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai
serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.5

Teori Dramaturgi
Dramaturgi Erving Goffman merupakan penjelasan interaksi sosial yang digambarkan
dengan sebuah pertunjukan teater di atas panggung. Aktor utama dalam teater tersebut adalah
manusia. Dalam pertunjukan itu biasanya aktor menggunakan bahasa verbal dan non-verbal
dalam menyampaikan pesan. Selain itu aktor juga membutuhkan perlengkapan untuk
mendukung pertunjukan di atas panggung. Jika aktor memainkan peran di kapel maka aktor
membutuhkan brevir, lilin, mimbar, altar, dan keperluan lain. Aktor akan berusaha untuk
memainkan perannya dengan sebaik-baiknya ketika berada di atas panggung. Setidaknya aktor
dapat mengurangi kesalahan ketika tampil di atas panggung.
Menurut Goffman kehidupan sosial dibagi menjadi dua bagian yakni, wilayah depan
(front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan merupakan tempat aktor
memainkan peran formalnya. Dalam wilayah ini, aktor memainkan peran sandiwaranya di atas
panggung di hadapan penonton. Sedangkan, wilayah belakang merupakan tempat persiapan aktor
untuk tampil di depan panggung. Dalam bahasa teater disebut sebagai tempat untuk berhias,
bersantai dan berlatih sebelum tampil di atas panggung.
Goffman membagi wilayah depan menjadi dua bagian yakni bagian front personal
(personal front) dan setting. Front personal mencangkup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang
aktor. Misalnya berbicara sopan, pakaian, intonasi, ekspresi wajah, penampakan usia, dan
sebagainya. Sampai pada tahap tertentu aktor dapat mengontrol semua aspek itu. Misalnya,
rambut yang sudah memutih dicat kembali menjadi hitam, atau kulit yang keriput akan dioperasi
agar kulit menjadi kencang kembali. Sementara setting merupakan situasi fisik yang harus ada
saat perunjukan misalnya aktor memainkan peran sebagai frater maka yang dibutuhkan adalah
jubah, atau sebagai sopir maka yang dibutuhkan adalah kendaraan.
Pemikiran Goffman berpijak dari ketegangan antara “I” dan “Me” (gagasan Mead).
Dalam bahasa Goffman ada sebuah kesenjangan antara diri kita dengan diri kita yang
tersosialisasi.6 Konsep “I” merujuk pada apa yang ada dalam diri kita, dan konsep “Me” merujuk
pada orang lain (sosial). Ketegangan ini berasal dari perbedaan antara harapan orang lain
terhadap apa yang kita lakukan terhadap harapan kita. Dengan demikian, orang dituntut untuk
memainkan peran mereka dengan sungguh-sungguh dan menjaga citra mereka dihadapan audien.
Misalnya peran sebagai frater maka orang tersebut memainkan peran sebagaimana frater adanya.

4
Ibid., hlm. 280.
5
Ibid., hlm. 297.
6
Sukono Widodo, Op. Cit. , hlm. 171.
Fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang dilakukan orang, bukan apa yang ingin
mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan demikian, melainkan bagaimana mereka
melakukannya.7
Pendekatan dramaturgi Goffman berpusat pada manusia yang berinteraksi dengan
sesamanya atau tatap muka. Dalam interaksi tersebut, manusia ingin mengelola pesan
(impression management) yang diharapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Pengelolaan
pesan adalah teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.8 Untuk itu, manusia mengadakan pertunjukan
kepada orang lain. Sebagai contoh, agar seorang frater dianggap baik oleh umat, maka frater
tersebut akan bersikap dan berkata dengan baik di hadapan umat. Inilah yang akan terjadi di atas
panggung. Dalam hal ini, frater mencoba menyajikan dirinya yang ideal dan mencoba
menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Misalnya, menyembunyikan
kesenangannya (nonton film, main game, tidur-tiduran dan lain sebagainya), menyembunyikan
kesalahan yang telah diperbuat saat persiapan pertunjukan (misalnya frater berbohong
mengadakan bimbingan dengan seorang gadis kepada formator padahal dia ingin berpacaran
dengan gadis tersebut.), aktor hanya menunjukkan produk terakhirnya dan menyembunyikan
proses produksinya.
Aspek lain dari dramatugi adalah aktor akan sering mengungkapkan kesan bahwa mereka
mempunyai hubungan dekat dengan khalayak daripada jarak sosial sebenarnya. 9 Goffman juga
mengakui bahwa tidak selamanya seorang aktor akan berperan sesuai dengan peran formalnya.
Seorang aktor juga mempunyai perasaan sosial yang disembunyikan dan jika ia memainkan
peran tersebut maka ia akan senang sekali. Misalnya, ia mempunyai perasaan cinta terhadap
seorang gadis dan ia ingin mendekatinya terus. Tetapi karena peran fraternya, ia tidak bisa
melakukan demikian. Jika ia dapat melakukannya, ia akan senang sekali.
Fokus dramatugi Goffman sebenarnya bukan hanya pada individu saja, tetapi juga dalam
sebuah kelompok. Aktor tidak hanya memainkan peran untuk dirinya sendiri tetapi ia juga
mengelola pesan orang lain untuk kelompoknya misalnya keluarga, kongregasi, ordo dan
kelompok lain. Goffman menyebutnya sebagai tim pertunjukan (perfomance team) dalam
mendramatisi sebuah aktivitas. Kerjasama tim sangat diperlukan oleh setiap anggota agar
menciptakan dan menjaga penampilan mereka. Setiap anggota saling mendukung baik dalam
verbal maupun non-verbal untuk mendukung penampilan mereka. Keberhasilan dalam
pertunjukan tergantung pada kesetiaan setiap anggota. Setiap anggota dalam tim menjaga citra
mereka dan menjaga rahasia yang ada dalam tim mereka.
Sehubungan dengan kelompok, Goffman memandang masyarakat sebagai kehidupan
yang diliputi oleh berbagai tingkah laku. Goffman memandang bahwa perilaku keseharian dan
interaksi tatap muka diibaratkan sebagai panggung sandiwara. Goffman mengasumsikan sebagai
berikut :
1. Pusat interaksi adalah sumber informasi untuk menganalisis interaksi sosial.
2. Selama interaksi, aktor yang bermain akan memunculkan pengaruh dari aktor lain dengan
cara tertentu.
3. Setiap individu menampilkan perilaku “depan”. Artinya aktor akan membuat sebuah
tindakan yang dilaksanakan secara teratur atau bisa disebut dengan sebuah kebiasaan
yang dipengaruhi oleh latar belakang yang ada.

7
Ibid., hlm. 172.
8
Ibid., hlm. 174.
9
Ibid., hlm. 176.
4. Perilaku depan ini dilembagakan, hal ini merujuk pada peran yang telah dibangun dengan
baik.
5. Terdapat idealisasi pada saat melakukan perilaku depan.
6. Setiap aktor saling berhubungan satu sama lain, maka diperlukan kerjasama dan kesetiaan
dalam menjalankan sebuah drama.
Dengan melihat pendangan Goffman diatas maka teori Goffman tentang dramaturgi lebih
cocok dipakai pada institusi total. Artinya, institusi yang karakter yang dihambakan oleh
sebagian kehidupan dari individu yang terkait dengan intitusi tersebut, dimana individu
tergantung pada sebuah institusi dan orang yang berwenang di atasnya. Ciri-ciri institusi total,
yakni dikendalikan oleh kekuasaan dan memiliki heirarki yang jelas. Contohnya, biara, institusi
pendidikan, penjara, rumah sakit, dan institusi pemerintahan. Dramaturgi akan berperan baik
pada institusi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki pemberontakan. Menurut
beberapa pengamat teori dramatugi ini terlalu berpusat pada individu semata sedangkan kekuatan
masyarakat diabaikan.

Analisis Kehidupan Frater


Seperti yang dijelaskan sebelumnya, teori dramaturgi lebih cocok dipakai pada institusi
total seperti biara. Para penulis mencoba menganalisis kehidupan para frater karmel di Biara
Beato Titus Brandsma, Malang. Para frater memiliki tugas utama untuk belajar filsafat dan
teologi. Selain itu, mereka menjalani pembinaan lebih lanjut untuk menjadi seorang karmelit.
Para frater juga diberi kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada umat. Pelayanan itu
berupa koor, memberi renungan, doa lingkungan, dan kegiatan lain.
Dalam teori dramaturgi, frater adalah aktor utama dalam pertunjukan. Frater ini akan
memasuki panggung dan memulai pertunjukannya saat dia memulai interaksi tatap muka. Dia
dapat berinteraksi dengan formator, sesama frater dan umat sekitar. Dalam interaksi ini, frater
mencoba memainkan peran sebagaimana seorang frater karmel di hadapan audien. Frater
mencoba menjaga citra mereka di hadapan audien.
Panggung seorang frater dibagi menjadi panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan frater karmel adalah kapel Jayagiri. Perlu diingat panggung depan merupakan
bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan
situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan.10 Lalu panggung belakang frater karmel
adalah biara tempat mereka tinggal. Panggung belakang merupakan tempat bagi para frater untuk
mempersiapkan diri untuk pertunjukan. Dalam bahasa teater, panggung belakang adalah tempat
untuk berhias diri dan latihan sedikit untuk persiapan pertunjukan.
Panggung depan dibagi menjadi dua bagian yakni setting dan front personal. Setting
frater karmel adalah jubah karmel. Jubah ini menunjukkan perannya sebagai frater karmel. Tanpa
jubah audien atau penonton tidak akan mengenali peran aktor sebagai frater karmel sedangkan
front personal adalah bagaimana frater karmel mengungkapkan dirinya. Misalnya, cara
berpakaian, berlutut, memberi hormat, bersalaman, dan cara berdoa.
Dalam pertunjukan frater karmel mencoba memberikan kesan kepada audien di atas
panggung. Kesan itu berupa citra sebagai seorang frater karmel. Untuk menyampaikan kesan itu,
frater karmel perlu melakukan persiapan dan pengelolaan pesan yang baik sebelum
dipertunjukkan kepada audien. Persiapan itu berupa mengenal dan menghidupi spiritualitas
karmel seperti berefleksi, bermeditasi, lectio divina, dan lain-lain. Namun persiapan ini belum
tentu menyenangkan bagi frater. Dia bisa saja malas, mencoba melanggar aturan, tidak
10
Ibid., hlm. 298
berefleksi, tertidur saat meditasi dan lain sebagainya. Hal-hal dalam persiapan ini disembunyikan
oleh frater sendiri. Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan kerjasama antar frater.
Kerjasama antarfrater bertujuan menjaga kelancaran dalam penampilan. Segala proses
persiapan pertunjukan entah itu baik ataupun buruk akan disembunyikan oleh para frater.
Seorang frater hanya akan menunjukan produk akhir di atas panggung. Produk akhir ini harus
terlihat sempurna atau yang diidealkan oleh para frater di hadapan penonton. Jika salah seorang
membocorkan rahasia, maka pertunjukan akan gagal. Pertunjukan ini gagal dalam arti frater
tidak mendapatkan gambaran ideal yang diharapkannya.
Contohnya saat frater mengikuti misa di kapel Jayagiri. Sebelum misa, frater karmel telah
mempersiapkan diri dengan ibadat pagi bersama atau melaksanakan lectio divina pribadi pada
malam sebelumnya. Frater melakukan ini setiap hari dan mungkin dia mulai merasa bosan.
Hingga suatu hari, frater ini tertidur saat misa. Untuk mempertahankan diri di hadapan audien,
frater bisa menggunakan berbagai alasan untuk membela diri. Tentu saja hal ini membutuhkan
bantuan dari para frater karmel lain. Mereka tidak akan mengutarakan kelemahan frater tersebut
di depan umat yang bertanya mengapa frater tersebut tertidur saat misa.
Gambaran frater karmel yang ideal adalah frater karmel itu pendoa yang ulung. Seorang
frater karmel harus mempertahankan gambaran ideal ini. Tertidur saat misa di kapel umum bisa
menjatuhkan idealisme ini. Audien atau para umat akan kebingungan atau tidak mengerti
mengapa seorang frater karmel bisa tertidur di saat orang lain berdoa. Mereka akan terus
bertanya dan bisa saja akhirnya mengganggap frater tersebut tidak bisa menjadi karmelit yang
sejati.

Kesimpulan
Teori Dramaturgi cocok untuk menganalisis kehidupan sosiologis di biara. Goffman
melihat situasi sehari-hari untuk meneliti tindakan individu struktur yang tak kelihatan yang
mempengaruhi suatu kejadian. Dia melihat bahwa hidup ini perlu ada kerangka penafsiran.11
Kerangka ini akan membimbing tindakan individu atau kolektif. Tanpa kerangka ini kehidupan
seseorang akan menjadi kacau balau dan penuh ketidakjelasan atau keterarahan tujuan hidup.
Jadi kerangka hidup di dalam biara bukan sekedar menjaga kredibilitas ordo. Kehidupan biara
memiliki keunggulan dalam menjaga keteraturan dalam hidup.
Setelah mempelajari teori Goffman dan melakukan penelitian kecil, kami melihat ada
kelemahan dalam teori Goffman ini. Pertama, teori ini melupakan peran agama dalam kehidupan
sehari-hari. Agama juga berpengaruh dalam menjaga keteraturan hidup. Seorang frater setiap
hari tidak hanya melakukan rutinitas belaka tetapi juga mengungkapkan sikap keagamaan.
Secara tidak sadar, panggilannya sebagai seorang frater menuntut perubahan dalam dirinya untuk
menjadi lebih baik.
Kedua, teori ini seolah-olah mengalahkan kekuatan masyarakat. Goffman terlalu
mementingkan interaksi tatap muka yang dilakukan oleh aktor. Seolah masyarakat tidak
memberikan pengaruh dalam interaksi tersebut. Seperti contoh di atas, bagaimana pendapat umat
yang melihat frater yang tertidur saat misa dikalahkan dengan pembelaan frater lainnya untuk
menjaga kredibilitas sebagai frater karmel. Padahal, peran umat juga mempunyai kekuatan.
Ketiga, teori Goffman hanya terbatas pada institusi total. Teori ini hanya mampu
menanalisis intitusi yang memiliki individu-individu yang taat kepada pemimpin. Institusi
tersebut harus memiliki anggota yang mengabdi penuh kepada pemimpin dan tidak menghendaki
pemberontakan. Seolah-olah institusi itu sudah sempurna dan memiliki fondasi yang kuat.
11
Bdk. Ibid., hlm. 304
Daftar Pustaka
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6. Jakarta: Kencana,
2003.

Suyanto, Bagong dkk (ed.). Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya
Media Publishing. 2012.

Anda mungkin juga menyukai