Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dramaturgi


Teori yang paling terkenal Erving Goffman tentang dramaturgi, ada di dalam dalam
bukunya yang berjudul “Presentation of Self in Everyday Life”, yang terbit pada tahun 1959,
yaitu seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat
memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari
drama yang disajikan.
Pada teori Dramaturgi, terdapat “Front stage” (panggung depan) dan “Back Stage”
(panggung belakang), Antara lain:
A. Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi
pertunjukan. Front Stage sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
 “Setting” yaitu tampilan sang aktor secara fisik dalam memainkan perannya,
seperti berpakaian rapi dengan aksesoris jam tangan mahal,mobil kelas
premium, sampai telepon seluler keluaran terbaru.
 “Front Personal” yaitu berbagai macam perlengkapan (Alat Peraga) sebagai
cerminan perasaan dari sang aktor. Di dalam Front Personal, terbagi lagi
menjadi dua bagian, yaitu:
 “Penampilan” yang terdiri dari berbagai jenis barang yang digunakan
mencerminkan status sosial sang aktor.
 “Gaya” yang berarti mengenalkan peran seperti apa yang dimainkan
aktor kedepannya.
B. Back stage adalah keadaan dimana seseorang berada di belakang panggung
dengan kondisi tidak ada penonton, sehingga dapat dipastikan seseorang
tersebut dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan sikap/peran dalam
sandiwara berikutnya.
Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan
merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.
Identitas manusia bisa berubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.1

1
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/58262/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y
(diakses pada tanggal 17-07-2019 pukul 08.00 WIB)
Bagi Goffman (Kivisto and Pittman, 2009, 285), pokok bahasan dramaturgi adalah
penciptaan, pemeliharaan, dan memusnahkan pemahaman umum realitas oleh orang-orang
yang bekerja secara individual dan kolektif untuk menyajikan gambaran yang satu dan sama
dalam realitas. Goffman’s concept of Dramaturgy is that he does not seek to understand the
underlying motivation for what the individual is doing. Many people would argue that they do
not feel they should be defined by different roles, and that they are still their true selves when
playing these roles (Kivisto and Pittman, 2009, 285).
Pendekatan Dramaturgi Goffman lebih kepada pandangan bahwa ketika manusia
berinteraksi, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain. Manusia
sebagai actor yang sedang memainkan peran. Dalam drama aksi dipandang sebagai perform,
penggunaan symbol simbol untuk menghadirkan sebuah cerita. Sebuah performa arti dan aksi
dihasilkan dalam adegan konteks sosiokultural. Teori dramaturgi tidak lepas dari pengaruh
Cooley tentang the looking glass self, yang terdiri tiga komponen; Pertama: kita
mengembangkan bagaimana kita tampil bagai orang lain. Kedua: kita membayangkan
bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Ketiga : kita mengembangkan perasaan diri,
seprti malu, bangga, sebagai akibat mengembangkan penilaian orang lain. Lewat imajinasi kita
mempersepsikannya. Peran adalah suatu ekspektasi yang didefinisikan secara social yang
dimainkan seseorang. Fokusnya adalah diri kita tersituasikan secara social yang berkembang
dan mengatur interaksi spesifik. Diri adalah ahsil kerjasama, yang harus diproduksi baru dalam
setiap interaksi social. Menurut Goffman orang berinteraksi adalah ingin menyajikan suatu
gambaran diri yang akan diterima orang lain, yang disebut sebagai penegeloalan pesan.
Dramaturgi Goffman lebih memperdalam tentang konsep interaksi social, yang terlahir
sebagai aplikasi atas ide-ide individual yang baru dari peristiwa evaluasi sosial ke dalam
masyarakat kontemporer. Pendapat kalangan interaksi simbolik (Widodo, 2010:168):
1. Manusia berbeda dari binatang, manusia ditopang oleh kemampuan berpikir.
2. Kemampuan berpikir dibentuk melalui interaksi social
3. Dalam interaksi social orang mempelajari makna dan symbol
4. Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas
manusia
5. Orang mampu mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi yang ada.
Kelemahan dari teori ini karena tidak mendukung pemahaman dalam tujuan sosiologi
yakni ‘kekuatan kemasyarakatan’. Karena tuntutan peran menghasilkan clash bila berhadapan
dengan peran keamasyarakatan. Selain itu teori ini terlalu condong pada positivism. Penganut
paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu social dan ilmu alam, yakni ‘aturan’.
Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan tindakan yang tidak dapat
dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
Kritik terhadap teori ini ( Widodo, 2010:182) yaitu :
 Pertama ; bahwa dramaturgi kurang memperhatikan struktur social. Data yang
dikembangkan Goffman berasal dari situasai yang khusus. Manusia dianggap sebagai
calon bintang yang menyajikan tindakan meyakinkan bagi orang lain dan merupakan
langkah yang meninggalkan determinisme, structural fungsional. Gagal membahas
interaksi.
 Kedua ; dramaturgi dianggap perspektif objektif karena melihat manusia sebagai
makhluk
pasif (berserah). Walaupun awal memasukkan peran tertentu manusia memiliki
kemampuan
untuk menjadi subjektif. Namun dalam peran harus objektif.
 Ketiga ; hanya terbatas dan hanya berlaku pada situasi total, intuisi yang memiliki
karakter
dihambakan oleh sebagian atau keseluruahan kehidupan individual yang terkait dengan
intuisi tersebut. Adanya hegemoni dan memiliki hierarkhi yang jelas. Contoh ; Asrama,
barak militer, institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi. Teori ini dapat berperan
baik pada institusi yang mengatur pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya
pemberontakan.
 Keempat ; teori ini dikritik karena menihilkan eksistensi masyarakat. Tidak mendukung
pemahaman dalam tujuan sosiologi satu hal yang harus diperhitungkan yaitu kekuatan
kemasyarakatan.
Goffman tidak memusatkan pada struktur social, tetapi pada tatap muka atau kehadiran
bersama. Interaksi tatap muka dibatasi sebagai individu yang saling mempengaruhi tindakan
satu sama lainnya. Individu diasumsikan sebagai kegiatan rutin akan mempengaruhi sosok
dirinya yang ideal. Individu dalan kegiatan rutin akan mengetengahkan sosok dirinya yang
ideal. Masyarakat terdiri atas kehidupan yang diliputi berbagai tingkah laku. Perilaku
keseharian dan interaksi tatap muka sama dengan panggung teater. Dilihat dari konsepnya
bahwa interaksi social dimaknai sama dengan pertunjukan drama di atas panggung dan
manusia sebagai actor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan
kepada orang lain, melalui pertunjukan dramanya sendiri. Kehidupan masyarakat dapat
digambarkan seperti sebuah Drama.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori ini dapat dikonsentrasikan dalam small narration.
Karena dalam interaksi social ada individu individu dalam masyarakat, yang mempunyai peran
sangat penting dalam keberhasilan suatu interaksi sosial. Individu-individu dalam masyarakat
merupakan unsur utama dalam interaksi yang terjadi. Oleh karena itu tanpa hubungan individu-
individu dapat dikatakan tidak mungkin terjadi suatu interaksi. Individu merupakan unsur
penting dalam suatu interaksi karena akan mewarnai suatu interaksi dalam masyarakat.
2.2 Definisi Tato
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh atau fisik dan jiwa
sebagai satu kesatuan. Tubuh merupakan bagian dari materi jiwa yang dapat dipandang, diraba,
bahkan disakiti. Pada kehidupan masyarakat modern, semua tindakan yang dikenakan pada
tubuh adalah bagian dari pertunjukan (Olong, 2006). Tubuh bagi sebagian orang menjadi media
tepat untuk mengeskpresikan sebuah karya seni dan kemudian timbulnya aktivitas seperti tato
dan body painting sebagai “dekorasi” tubuh.
Tato mempunyai simbol identitas yang maknanya berbeda beda tergantung latar belakang
budaya pengguna tato, bisa sebagai simbol identitas diri atau identitas sosial untuk kelompok
tertentu (Hendrayana, 2011). Pada beberapa suku bangsa di dunia, tato memiliki arti seni yang
sakral. Secara historis tato lahir dari budaya pedalaman tradisional, bahkan dapat dikatakan
kuno, namun keberadaannya menyebar luas (Olong, 2006).
Contohnya, beberapa suku pedalaman di Indonesia, seperti di kepulauan Mentawai, tato
masih dianggap sebagai bagian dari peninggalan budaya yang memiliki nilai estetika dan
makna simbolik bagi penggunanya, demikian pula tato pada suku Dayak yang menganggap
tato sebagai simbol identitas (Rosa, 1994).2

2.3 Definisi Mahasiswa


Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mahasiswa adalah pelajar perguruan
tinggi serta dalam struktur pendidikan Indonesia menduduki jenjang
satuan pendidikan tertinggi di antara yang lainnya. 3 Sedangkan menurut Budiman (2006),

2
ejournal.unp.ac.id/index.php/psikologi/article/download/6614/5166 (diakses pada tanggal 18-07-2019 pukul
17.00 WIB)

3
https://www.masukuniversitas.com › Pendidikan (diakses pada 18-07-2019 pukul 19.00 WIB)
mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan
dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana.
Ciri-ciri Mahasiswa menurut Kartono (dalam Siregar, 2006), mahasiswa merupakan
anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain:
a. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi,
sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelektual.
b. Yang karena kesempatan di atas diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai
pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun
dalam dunia kerja.
c. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi.
d. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan
professional.4

2.4 Hasil Penelitian Terdahulu

2.4.1
Tabel Hasil Penelitian Sebelumnya
NO Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

4
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/306/5/118600220_file5.pdf (diakses pada 18-07-2019 pukul
19.00 WIB)
1 Penulis: Eulogia Metode penelitian Hasil penelitian
Dina Yunita menggunakan metode menunjukkan bahwa Body
(2014) snowball sampling Image Positif mempunyai
dengan pengumpulan hubungan positif yang
Lembaga: data menggunakan signifikan dengan
mahasiswa UKSW metode skala body penyesuaian sosial
image positif dan skala mahasiswi yang memiliki
Judul: Hubungan penyesuaian sosial. tato.
antara Body Image Metode analisis
1) Ada korelasi positif yang
Positif dengan menggunakan korelasi
signifikan antara body
Penyesuaian Sosial product moment.
image positif dengan
pada Mahasiswi
penyesuaian sosial pada
yang Memiliki
mahasiswi yang
Tato di Universitas
memiliki tato di
Kristen Satya
Universitas Kristen
Wacana5
Satya Wacana. Hal ini
menunjukkan bahwa
semakin tinggi skor body
image positif, semakin
tinggi juga skor
penyesuaian sosial yang
dimiliki mahasiswi yang
memiliki tato.
2) Karena skor dari body
image positif, hal ini
menunjukkan ada factor-
faktor lain di luar body
image positif yang
mempengaruhi
penyesuaian sosial,
seperti penerimaan diri,

5
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12418/2/T1_802008085_Full%20text.pdf
kepribadian, jenis
kelamin, pola asuh dan
konsep diri lainnya.

2 Penulis: Daniel Metode penelitian Hasil dari penelitian ini


Prasetyo Junior kualitatif dengan menunjukan bahwa tato
(2016) teknik wawancara dan menjadi sebuah usaha yang
observasi. dilakukan ketiga partisipan
Judul: Body Image untuk membuat penampilan
Mahasiswi Bertato menjadi lebih menarik dan
di Universitas percaya diri saat bertemu
Kristen Satya orang lain. Dengan demikian
Wacana6 muncul perasaan bahagia,
puas dan nyaman pada
ketiga partisipan setelah
memiliki tato di tubuh
mereka.

3 Penulis: Merina metode penelitian Mahasiswa bertato


Nurul Haq Aprilia kualitatif. menganggap tato sebagai
A simbol, seni dan kebudayaan
khususnya budaya di
Judul: Konsep Diri Indonesia. Tato juga
Mahasiswa Bertato dianggap suatu hal bagi
Di Bandung The mereka yang berfungsi
Self Concept Of sebagai pengingat bagi diri
Tattooed Students mereka akan kejadian-
In Bandung7 kejadian yang pernah terjadi
di masa lampau maupun
sebagai pengingat agar

6
http://repository.uksw.edu/handle/123456789/9398
7
https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/.../konsep-diri-mahasiswa-bertato-di-bandung
mereka tidak melakukann
hal-hal yang tidak
seharusnya mereka lakukan.
Adapun faktor-faktor yang
mendukung mereka dalam
pembuatan tato berasal dari
lingkungan keluarga maupun
karena kecintaan terhadap
seni tato. Mahasiswa bertato
juga mendapatkan kepuasan
setelah memiliki tato pada
tubuh mereka yaitu
bertambahnya rasa percaya
diri.

Perbedaan penelitian yang ditulis oleh penulis dengan penelitian terdahulu adalah
penelitian yang sekarang lebih condong kepada perbedaan perilaku yang dilakukan mahasiswa
UKSW terhadap civitas kampus dan diluar lingkungan kampus.

Gambar 2.5
Bagan Kerangka Pikir

2.5 Kerangka Pikir MAHASISWA BERTATO

PANGGUNG BELAKANG
PANGGUNG DEPAN

PRESENTASI DIRI KEHIDUPAN NYATA (TANPA SETTINGAN)

SETTING FRONT PERSONAL

MENCIPTAKAN KESAN
Adanya stigma bahwa tato merupakan hal yang buruk, terkait pada zaman orde baru
Presiden kedua Bapak Soeharto, media menggiring opini publik seperti dalam buku teori
agenda setting karya Maxwell McComb dan Donald L. Shaw yang berjudul “The Agenda
Function of The Mass Media” Public Opinion Quarterly No.37 yaitu meningkatnya nilai
penting suatu topik berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik
tersebut bagi khalayaknya. 8 Hal ini juga yang membuat peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai perilaku mahasiswa tersebut. Peneliti menggunakan teori Dramaturgi Erving
Goffman dikarenakan dramaturgi merupakan teori tentang dua sisi, sisi depan atau Front Stage
dan sisi belakang atau Back Stage, dimana teori ini meneliti tentang perilaku mahasiswa
tersebut ketika di depan teman dan civitas kampus UKSW apakah itu berbeda dengan saat
mahasiswa tersebut berada di luar lingkungan kampus UKSW.

8
Dalam buku Pengantar Komunikasi Massa karya Nurudin,2007,Hal.195

Anda mungkin juga menyukai