Anda di halaman 1dari 7

POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI PENOMENOLOGI DAN DRAMATURGI

PENGERTIAN PANGGUNG DEPAN DAN PANGGUNG BELAKANG


TEORI SOSIOLOGI MODERN DAN KONTEMPORER

RIO PURWANTI : 4619006


DEBY PUTRI ASNETA : 4619007
DERANNI SEPTIANIS PUTRI : 4619026
IBRAHIM : 4619052

Aspek Pembahasan : Pokok-pokok Pikiran Teori Penomenologi dan Dramaturgi dan


Pengertian Panggung Depan dan Panggung Belakang ?

PEMBAHASAN

Pokok-pokok Pikiran Teori Penomenologi dan Dramaturgi

Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang
menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia.
Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai
aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human
phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif
dan penampakannya. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali
dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh
Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya,
seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam
pandangan eksistensialisme.
Menurut Husserl, fenomenologi adalah pengalaman subjektif atau pengalaman
fenomenologikal atau suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang.
Fenomenologi memiliki riwayat cukup panjang dalam penelitian sosial, termasuk psikologi,
sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi adalah pandangan berpikir yang menekankan
pada fokus interprestasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami
bagaimana dunia muncul kepada orang lain. Fenomenologi menyelidiki pengalaman
kesadaran yang berhubungan dengan pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek
dan objek muncul dan bagaimana suatu hal didunia ini diklasifikasikan. Para fenomenolog
juga berasumsi bahwa kesadaran bukan dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu
yang lainnya dirinya sendiri.
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung
atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak
bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi
dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami
sebagai kesadaran tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan
itu dapat mengenal realitas. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu
teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan
psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche
atau (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Memahamia
sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada sebagaimana penampilannya dalam
kesadaran. Usaha kembali pada fenomena tersebut memerlukan pedoman metodik. Tidak
mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi
satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode
tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat
menungkap diri sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu.
Biasanya, para fenomenologi menggunakan istilah refleksivitas untuk menandai cara
ketika dimensi-dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi
dari seluruh aspek kehidupan manusia. Tugas fenomenologi kemudian adalah untuk
mengungkapkan (menjadikan sebagai suatu yang manifes) refleksivitas tindakan, situasi, dan
realitas dalam berbagai modal dari “ sesuatu yang ada di dunia. PendekatanPendekatan
Fenomenologi adalah metode yang biasa diterapkan dalam kajian sosiologi untuk memahami
dan menerangkan sebuah fenomena sosial. Ditegaskan bahwa tugas utama sosiologi, adalah
berupaya memahami dan menjelaskan tetapi bukannya menghakimi aspek baik dan buruk
maupun benar atau salah.
Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik, karena menyerukan untuk
kembali kepada sumber asli pada diri subjek dan kesadaran. Ilmu komunikasi (komunikologi)
akan mendapatkan landasan yang kokoh jika asumsi-asumsi ontologi dan epistemologinya
didasarkan pada pengetahuan tentang esensi kesadaran. Konsepsi Husserl tentang “aku
transedental” dipaharni sebagai subjek absolut, yang seluruh aktivitasnya adalah menciptakan
dunia. Namun Husserl tidak menjelaskan bahwa dalam kehidupan yang sesungguhnya,
subjek atau kesadaran itu selain mengkonstitusikan dunia, juga dikonstruksikan oleh dunia.
Adapun pokok-pokok pikinan Husserl mengenai fenomenologi yaitu :
a) Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak.
b) Tidak ada batas antara subjek dengan realitas.
c) Kesadaran bersifat intensional.
d) Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dengan objek yang
disadari (norma).
Fenomenologi Husserl ini mempengaruhi filsafat kontemporer secara mendalam,
terutama sekitar tahun 1950-an. Tokoh-tokoh seperti yang telah disebutkan sebelumnya
(Heidegger, Sartre, Scheler, Marleu-Ponty, dan Paul Ricoeurgunakan fenomenologi untuk
memahami realitas. Namun tidak sedikit juga yang memperdebatkan pemikiran-pemikiran
dari Husserl ini.

Teori Dramaturgi
Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead terutama dalam diskusinya
mengenai ketegangan antara diri spontan “I” dan “Me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan
sosial. Ketegangan ini bercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebut
“ketidaksesuaian anatara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi”.
Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang kita ingin lakukan secara spontan dan
apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan. Kita dihadapkan dengan tuntutan untuk
melakukan tindakan yang diharapkan dari kita, selain itu, kita diharapkan tidak ragu-ragu.
Seperti yang dinyataka Goffman, “ kita tidak boleh tunduk pada kestabilan” (George Ritzer
2010 : Teori Sosiologi Modern).
Dramaturgi adalah sebuah teori yang dapat menginterpretasikan kehidupan sehari –
hari dari manusia. Manusia ibarat memainkan sebuah pertunjukkan di panggung. Di dalam
panggung itu terdiri dari pangung depan dan belakang. Didalam panggung depan terdapat
setting dan personal front, yang selanjutnya dapat dibagi menjadi penampilan (appearence)
dan gaya (manner). Penjelasan pertama adalah setting yang menurut (Goffman, involving
furniture, decor, physical layout, and other background items which supply the scenery and
stage props for the spate of human action played out before, within or upon it. Pengaturan ini
melibatkan hal – hal yang berkenaan dengan atribut – atribut yang diperlukan, seperti
furniture, dekorasi, tata letak fisik, dan barang – barang latar belakang lain yang meyediakan
alat – alat untuk membantu serentetan untuk individu memainkan tindakannya. Jadi ada
sebuah pengaturan mengenai diri yang berkaitan dengan segala atribut yang diatur untuk
memenuhi suatu standar diri yang dikonsepkan.
Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor (pelaku) tetapi lebih sebagai hasil
interaksi antara aktor dan audien – masyarakat (George Ritzer 2010 : Teori Sosiologi
Modern). Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku yang timbul tidak selalu
berasal dari kemauan aktor tetapi perilaku yang timbul berasal dari kemauan masyarakat,
sehingga aktor berperilaku sesuai dengan kemauan masyarakat dalam hal ini disebut audience
agar dapat diterima di masyarakat.
Teori dramaturgi ini sangat relevan dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti
yaitu mengenai pelaku yang dianalogikan sebagai aktor yang melakukan pekerjaan ataupun
profesi yang sangat jarang.
Pokok-pokok dari pikiran teori dramaturgi yaitu :
a) Panggung Depan (Front Stage)
b) Panggung Belakang (Back Stage)

Pengertian Panggung Depan dan Panggung Belakang


Goffman menyatakan bahwa back stage merupakan fakta yang disembunyikan
didepan atau berbagai tindakan informal yang timbul. Back satge ataupun panggung belakang
merupakan fakta dimana sang aktor bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa ada
intervensi dari audien, menurut Goffman aktor tidak bisa mengharapkan audien (masyarakat)
muncul kedalam panggung belakang, bahkan audien tidak bisa muncul kedalam panggung
belakang sang aktor.
Back stage atau panggung belakang yang di lihat adalah bagaimana pelaku
berinteraksi dan bagaimana kehidupan pelaku dan bagaiman pelaku menjalankan kehidupan
sehari-hari di luar dari kehidaupannya, sedangkan panggung depan yang dicari adalah
bagaimana pelaku melakukan aksi dan kehidupan informan pada saat melakukan profesinya.
Dan juga bagaimana pelaku memainkan perannya sebagai drag queen profesional. Dua hal ini
yang dibahas oleh peneliti sebagai hasil dari penelitian dan melihat apakah ada yang berebeda
pada saat aktor berada di back stage, dan bagaimana perilaku aktor saat berada di front stage.
Goffman diatas bahwa seseorang mengambil peran dan memilih topeng yang ia
kenakan untuk membentuk suatu konsep yang akan ia bentuk dan menyatu dalam dirinya.
Peran dan topeng ini akan dibentuk pada front stage diri individu itu sendiri. Dalam
membangun front stage ini ada hal – hal yang berkaitan dengan tanda – tanda dan peralatan
untuk menunjang penampilan mereka pada saat berada di panggung depan.
Menurut Goffman aktor pada saat berinteraksi, aktor menampilkan perasaan diri yang
dapat diterima oleh orang lain. Tetapi ketika mempilkan diri sendiri, aktor menyadari bahwa
anggota audien dapat mengganggu penampilannya (George Ritzer 2010 : Teori Sosiologi
Modern). Anggota audien yang dapat mengganggu ini lah yang dapat merusak pertunjukan
sang aktor dan akibatnya perilaku aktor tidak diterima oleh audiens sehingga mengacaukan
perilaku sang aktor, sehingga mengacaukan front stage sang aktor.
Goffman juga menyatakan bahwa aspek front stage menyampaikan kesan bahwa aktor
lebih akrab dengan audien ketimbang keadaan sebenarnya. Hal ini bertujuan agar aktor dapat
diterima oleh audiens (penonton) dan agar tidak mengacaukan pertunjukan sang aktor. Hal ini
sebagai efek dari perilaku aktor yang merupakan relevansi dari keinginan audien kepada
penampilan sang aktor, bukan dari dalam diri sang aktor tetapi perilakunya dikontrol oleh
audien.
Sedangkan di dalam area back stage aktor, Goffman menyatakan bahwa back stage
merupakan fakta yang disembunyikan didepan atau berbagai tindakan informal yang timbul.
Back satge ataupun panggung belakang merupakan fakta dimana sang aktor bertindak sesuai
dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari audien, menurut Goffman aktor tidak bisa
mengharapkan audien (masyarakat) muncul kedalam panggung belakang, bahkan audien
tidak bisa muncul kedalam panggung belakang sang aktor. Back stage atau panggung
belakang yang di lihat adalah bagaimana pelaku berinteraksi dan bagaimana kehidupan
pelaku di luar dan bagaiman pelaku menjalankan kehidupan sehari-hari di luar dari
kehidaupannya. Sedangkan panggung depan yang dicari adalah bagaimana pelaku
melakukan aksi dan kehidupan informan pada saat melakukan profesinya dan juga
bagaimana pelaku memainkan perannya. Dua hal ini yang dibahas oleh peneliti sebagai hasil
dari penelitian dan melihat apakah ada yang berebeda pada saat aktor berada di back stage,
dan bagaimana perilaku aktor saat berada di front stage.
Goffman (1963) juga membahas stigma, Goffman teratrik pada jurang pemisah antara
apa yang seharusnya dilakukan seseorang “identitas sosial virtual”, dan apa yang sebenarnya
dilakuakn seseorang “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai jurang pemisah
antara dua identitas dan disstigmanisasi. Goffman memusatkan perhjatian pada interaksi
dramaturgis antara aktor yang terstigma dan yang normal. Sifat interaksi itu tergantung pada
stigma yang mana diantara dua jenis stigma yang terdapat pada diri seorang aktor. Karena
stigma yang ada inilah yang mendorong aktor dalam berperilaku di hadapaan audiens. Dalam
kasus stigma diskredit, aktor menganggap perbedaan telah diketahui oleh anggota penonton,
sehingga menjadikan aktor tidak dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan audien,
contohnya orang yang lumpuh. Stigma diskreditabel adalah stigma yang perbedaannya tidak
diketahui oleh anggota audien atau tidak dapat dirasakan oleh mereka, seperti seorang
homoseksual (George Ritzer 2010 : Teori Sosiologi Modern).
Hal inilah yang juga menjadi salah satu sorotan dalam menganalisis dimana stigma
yang ada pada pelaku. Dalam hal ini peneliti ingin lebih banyak mengungkap stigma
diskreditable dari pelaku, masalah mendasar dari seorang yang mempunyai stigma terdeskrit
yaitu pengelolaan ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang lain dalam hal ini
audiens mengetahui masalahnya, hal ini yang menjadi dasar masalah mengapa seringnya
orang lumpuh mengalami stress yang berlebihan karena audien mengetahui kelemahan sang
aktor yang tidak bisa berperilaku apa yang diharapkan oleh audien. Lalu masalah mendasar
bagi seorang yang mempunyai stigma diskreditable adalah pengelolaan informasi sedemikian
rupa sehingga masalah aktor atau pelaku tidak diketahui oleh orang lain atau audiens (George
Ritzer 2010 : Teori Sosiologi Modern). Dalam stigma ini aktor berusaha sekeras mungkin
untuk melindungi informasi kelemahan yang ada di dalam diri sang aktor agar masalahnya
tidak diketahui oleh audiens karena jika diketahui akan berakibat fatal kepada sang aktor dan
berakibat bahwa pertunjukan dari sang aktor akan kacau dan gagal di mata audien.
Goffman menyatakan bahwa kita semua mempunyai stigma di saat tertentu ataupun
disaat yang lain atau bisa juga di dalam suatu keadaan bahkan di keadaan lainnya dan hal ini
yang dibahas oleh peneliti sebagai penguat perilaku yang dilakukan oleh pelaku. Stigma yang
dilakukan oleh aktor untuk membenarkan tindakannya dan juga agar perilaku sang aktor
dapat diterima oleh audiens. Penguatan stigma tersebut yang dilakukan oleh aktor dalam hal
ini pelaku untuk menciptakan panggung depannya.
DAFTAR PUSTAKA

JURNAL
Giddens, Anthony. 2009. Social Theory Today. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

JURNAL
Goffman, Erving. 1971 . The Presentation Of Self In Everyday Life. London : Cox & Wyman
Ltd, London. Reading and Fakenham Set in Intertype Times, Pelican Books.

JURNAL
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi : Dari Modern Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

JURNAL
Suneki Sri dan Haryono, Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial : Jurnal
Ilmiah Civis, 2002.

JURNAL
M. Poloma, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT.RAJAGRAFINDO
PERSADA.

JURNAL
Ritzer, George. (2007) Encyclopedia of sociology. Blackwell Publishing, USA.

JURNAL
Ritzer, George dan Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

JURNAL
Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi:Konsepsi, Pedoman
dan Contoh Penelitiannya. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009).

Anda mungkin juga menyukai