Anda di halaman 1dari 9

Relevansi Empat Aliran Persepsi Dalam Masa Kontemporer

Hardi Supianto
Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Filsafat, Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
hardisupianto@gmail.com

Abstrak
Artikel ini berfokus pada relevansi empat aliran persepsi yang telah diketahui secara
umum kedalam kehidupan masa kontemporer. Aliran-aliran tersebut adalah
representasionalisme, realisme langsung, idealisme, dan skeptisisme. Melalui beberapa
sumber, penulis berusaha untuk memaparkan setiap pemikiran aliran. Pada kesimpulan
nantinya akan diputuskan aliran mana yang masih relevan dengan kehidupan dimasa
kontemporer. Atau justru tidak ada aliran yang relevan denga kehidupan kontemporer.
Kata kunci: persepsi, objek, dunia eksternal, kontemporer.

Abstract
This article aims the relevance about four accounts perception with contemporary life.
Those accounts are representasionalism, direct realism, idealism, and skepticism.
Trough several sources, writer try to illuminate each accounts. After that, writer and
reader are expected to decide which accounts are relevance with contemporary life.
Keywords: perseption, object, external world, contemporary.
________________________________________________________________

PENDAHULUAN
Epistemologi menurut Bakhtiar (2011: 148) adalah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan
dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Salah satu bahasan penting dalam epistemologi adalah masalah
mengenai persepsi. Persepsi adalah hasil dari pegalaman indrawi kita (melihat, meraba,
mencium, merasakan, mendengar) yang bertujuan untuk mengetahui dunia sekitar
(eksternal). Gibson (1997: 128) menerangkan bahwa persepsi adalah proses kognitif
yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.
Dari pendapatnya tersebut, dapat dikatakan juga bahwa definisi persepsi adalah stimulus
yang diindra oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga
individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindra. Sayangnya, persepsi pada
masa kontemporer sudah jarang didiskusikan oleh orang-orang. Hal ini tidak terlepas
dari kurangnya pemahaman filsafat pada orang-orang masa kontemporer. Orang-orang
masa kontemporer lebih condong kepada hal-hal yang berbau pragmatis dari pada
filosofis.
Masa kontemporer atau masa kini merupakan masa dimana segalanya bersifat
praktis dan efektif. Praktis disini dimaksutkan sebagai proses yang cepat. Secara tidak
langsung, gaya hidup orang kontemporer yang menginginkan segalanya serba praktis
dan efektif, mempengaruhi pemikiran mereka pula. Sebagai contoh munculnya
pemikiran teori kebenaran pragmatis dan paradigmatis. Teori kebenaran pragmatis
menganggap nilai kebenaran sebuah kepercayaan ditentukan dengan nilai gunanya.
Singkatnya, jika ada dua teori yang saling berseberangan, maka teori yang paling
berguna bagi manusia adalah yang benar menurut pragmatisme. Sedangkan teori
kebenaran paradigmatis adalah teori kebenaran yang menganggap bahwa nilai
kebenaran dari sebuah kepercayaan bergantung pada paradigm-paradigma tertentu.
Contoh kelompok A menggunakan paradigma A dan kelompok B menggunakan
paradigma B, jika ada sebuah teori dan dinyatakan benar oleh salah satu paradigma
yang digunakan kelompok A maupun B, maka teori itu benar. Hanya saja nilai
kebenaran dari teori itu hanya berlaku disatu paradigma. Cara berpikir yang pragmatis
dan paradigmatis mengakibatkan studi mengenai persepsi tidak dianggap penting bagi
sebagian orang. Orang akan lebih memilih untuk belajar bagaimana cara membuat
sebuah roti dari pada memikirkan eksistensi roti tersebut. Padahal jika kita
pertimbangkan lebih dalam, persepsi merupakan hal yang sangat penting. Mengapa
demikian? Karena persepsi merupakan sebuah dasar akan pengetahuan kita mengenai
objek di dalam dunia eksternal (dunia yang kita anggap ada saat ini). Dengan adanya
konsep persepsi, kita dapat mengklaim eksistensi sesuatu. Entah itu objek fisik maupun
metafisik. Persepsi mengajarkan kita bagaimana cara kita mengetahui keberadaan atau
eksistensi objek di dalam dunia eksternal. Dengan demikian, tentu secara langsung
persepsi dapat mempengaruhi cara berpikir atau pola pikir manusia yang
memahaminya. Dalam sejarah perkembangannya, persepsi nantinya akan dibagi
kedalam empat aliran.
Aliran yang pertama ialah represtasionalisme. Aliran ini dikenal juga dengan
sebutan realisme tidak langsung (indirect realism). Didukung oleh John Locke sebagai
filsufnya, ia menjelaskan bahwa manusia hanya dapat merepresentasikan objek yang
ada dari dunia eksternal kedalam otaknya (fenomena mental disebut Lock sebagai
idea). Hal itu dapat terjadi karena manusia memiliki yang namanya gambaran mental
(mental image). Dimana gambaran mental ini bertugas sebagai proyektor akan
informasi yang diterima otak dari indra mengenai objek. Sebagai contoh, ketika kita
melihat sebuah kotak berbentuk persegi. Sebelum kita mengatakan bahwa kotak
tersebut berbentuk persegi, di dalam otak kita sudah terbentuk sebuah gambar kotak
persegi tersebut, lalu kita dapat mengatakan ada kotak persegi. Gambaran tersebut yang
dinamai sebagai gambaran mental dari sebuah objek di dunia eksternal. Secara implisit,
aliran ini berusaha mengatakan bahwa sebenarnya, kita tidak dapat behubungan
langsung dengan realitas sebuah objek di dunia eksernal. Namun kita dimediasi oleh
sebuah gambaran yang merepresentasikan objek tersebut. Media tersebut adalah
gambaran mental (mental image). Oleh sebab itulah mengapa aliran ini kadang disebut
sebagai realisme tidak langsung.
Aliran yang kedua adalah direct realism (realisme langsung). Aliran ini
merupakan lawan dari aliran representasionalisme dan idealisme. Disebut sebagai
realisme langsung karena dalam pandangannya, aliran ini menerangkan bahwa kita
sebenarnya mengetahui sebuah realitas dari objek di dunia eksternal secara langsung.
Jika sebelumnya representasionalisme mengatakan bahwa kita memiliki mental image,
realisme langsung percaya bahwa mental image itu tidak ada. Melainkan realisme
langsung percaya bahwa realitas atau kebenaran dari sebuah objek dapat kita ketahui
secara langsung oleh pengalaman indrawi. Tentu teori mengenai persepsi ala realisme
langsung ini sangat sederhana dan tidak abstrak. Oleh karena itu, Huemer (2005: 27)
menjelaskan This view has sometimes been called naive realism (chiefly by its
opponents), partly because its opponents have considered it too simplistic. Yang berarti
pandangan realisme lansung dapat disebut juga realisme sederhana (naive realism).
Selanjutnya adalah aliran idealisme. Aliran ini juga merupakan kontra dari aliran
sebelumnya, yaitu realisme langsung. Namun bukan berarti idealisme sama dengan
representasionalisme. Dalam idealisme gambaran mental disebut sebagai idea atau ide
dalam bahasa Indonesia. Huemer (2005: 27) mengatakan [] all there are are minds
and ideas in the mind. Perception in this view, is simply the process of experiencing a
certain particulary vivid short of idea. Ide yang dimaksud disini mencakup segala
fenomena mental dalam otak kita. Idealisme menerangkan bahwa realitas tersusun atas
dua penyangga utama, yaitu mind dan idea. Dua dasar ini yang membentuk realitas
(dunia eksternal) yang kita ketahui sekarang ini. Dengan kata lain, dalam pemahaman
ini idealisme berusaha untuk mengeleminasi eksistensi dari dunia eksternal. Lalu apa
yang sebenarnya ada disekililing kita? itu semua ada ide yang terjadi dalam pikiran kita.
Segala yang kita lihat dan rasakan menggunakan panca indra kita merupakan ilusi dari
ide itu sendiri.
Yang terakhir adalah aliran skeptisisme. Aliran ini memiliki pandangan bahwa
manusia tidak mampu mengetahui kebenaran atau hakikat dari realitas dunia eksternal.
Sekilas, teori ini mirip dengan teori idealisme. Namun, sebenarnya perbedaan kedua
teori ini terlihat cukup jelas, yaitu jika idealisme mengatakan bahwa tidak ada dunia
eksternal, skeptisisme justru menekankan ketidaktahuannya akan dunia eksternal.
manusia dianggap tidak mampu untuk mengetahui. Jika diperhatikan skeptisisme
hampir sama dengan aliran ketuhanan yaitu agnostik. Persamaan pandangan dua aliran
ini adalah mereka sama-sama mengakui bahwa manusia tidak mampu untuk
menentukan eksistensi dari sebuat realitas (dunia eksternal atau Tuhan dalam agnostik).
Dalam pembahasan yang akan dilakukan dalam beberapa sub BAB dibawah,
akan dikaji lebih dalam pengertian dari masing-masing aliran persepsi yang telah
disebutkan. Setidaknya dengan melakukan pengkajian ini, baik penulis maupun
pembaca diharap bisa memutuskan manakah kira-kira aliran yang relevan dengan masa
kontemporer, atau justru permasalahan persepsi dalam masa kontemporer memang
sudah tidak relevan untuk dibicarakan.
PEMBAHASAN
Representasionalisme
Representasionalisme merupakan aliran yang mengaku bahwa manusia tidak
secara langsung berhubungan dengan hakikat realitas (dunia eksternal).
Representasionalisme berpendapat bahwa manusia dijembatani oleh gambaran mental
(mental image) yang merepresentasikan hakikat realitas. Konsekuensi logis yang akan
diterima oleh seorang representasionalis adalah mengakui bahwa ada kemungkinan
realitas yang kita terima saat ini (dunia eksternal) sama sekali berbeda dengan konsep
yang kita miliki terhadap realitas tersebut. Selain itu, secara implisit
representasionalisme juga mengklaim bahwa dunia eksternal itu ada, dan bersifat
substansif yaitu berdiri sendiri tanpa bergantung pada adanya atau tidaknya subjek.
Lebih jelasnya, ketika seseorang meletakan botol diatas meja kamarnya, lalu ia pergi
meninggalkan kamarnya, bukan berarti botol itu hilang, botol itu tetap ada meskipun
tidak ada subjek yang melihat atau merasakannya dengan indra. Aliran
representasionalisme medapat perhatian dari seorang filsuf yaitu John Locke. Huemer
(2005: 32) dalam karyanya menuliskan karya John Locke (Essay Concerning Human
Understanding) yang berbunyi demikian
[] I must here in the Entrance beg pardon of my
reader, for the frequent use of the Word Idea, which he will find
in the following Treatise. It being that Term, which, I think,
serves best to stand for whatsoever is the Object of the
Understanding when a Man thinks, I have used it to express
whatever is meant by Phatasm, Notion, Species, or what ever it
is, which the mind can employd about in thinking; and I clould
not avoid frequently using it.
Maksud Locke dalam tulisannya, ia memakai kata idea atau dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai ide untuk mewakili segala fenomena mental yang terjadi dalam otak
manusia. Term idea dari Locke, sebenarnya merupakan mental image yang dimengerti
sebagian orang. Locke sebagai kaum empirisme mengandaikan bahwa pikiran (mind)
manusia sebagai kertas kosong berwarna putih. Lalu ketika sudah mengalami berbagai
pengalaman, kertas itu mulai berhias. Hiasan itu adalah konsep yang disebut Locke
sebagai idea. Our Observation employd either about external, sensible Objects; or
about the internal Operations of our Minds, perceived and reflected on by our selves, is
that, which supplies our Understandings with all the materials of thinking. Lock
mengatakan bahwa idea terbentuk karena ada refleksi dari pengelaman sensorik yang
dialami manusia. Selain idea, Locke juga membuat klasifikasi lain yang ia sebut sebagai
sensation atau sensasi dalam bahasa Indonesia. ia memaparkan demikian
[] several distinct Perceptions of things, according to
those various ways, wherein those Objects do affect them: And
thus we come by those Ideas, we have of Yellow, White, Heat,
Cold, Soft, Hard, Bitter, Sweet, and all those which we call
sensible qualities, which when I say the senses convey into the
mind, I mean, they from external Objects convey into the mind
what produces there those Perceptions. This great Source, of most
of the Ideas we have, depending wholly upon our Senses, and
derived by them to the Understanding, I call SENSATION.
Maksud Locke, adalah setiap idea memiliki perbedaaan yang membedakan mereka dari
ide lainnya. Ia menyebutnya dengan sensible qualities. Contohnya adalah rasa, warna
dan tekstur. Nah cara kita mengetahui sensible qualities ini disebut sebagai
sensation
Secara keseluruhan Locke memaparkan representasionalisme dengan cara
berpikirnya sendiri. Ia mengklasifikasikan mental image kedalam dua hal, yaitu idea
dan sensation. Idea bagi Locke hasil dari pengalaman indra manusia berupa konsep.
Sedangkan sesnsasi adalah hal yang membedakan ide satu dengan ide yang lainnya.
Direct Realism (Realisme Langsung)
Dalam dunia kontemporer realisme langsung menjadi salah satu alternatif yang
paling sering digunakan orang. Hal ini terjadi karena aliran realisme langsung
merupakan aliran yang sederhana dan tidak membutuhkan penjelasan secara rumit.
Seperti namanya, aliran ini menyatakan bahwa manusia sebenarnya telah berhubungan
langsung dengan realias sebuah objek didunia eksternal. realisme langsung tidak
mengakui adanya mental image. menurut mereka informasi yang telah kita terima dari
objek di dunia adalah realita dan tidak perlu diberdebatkan lagi. Dengan pandangan
yang demikian, aliran ini acap kali digunakan oleh para filsuf empiris untuk mendukung
teori-teori mereka. Tak jarang, dalam masa kontemporer realisme langsung juka
digunakan oleh para ilmuwan untuk mengklaim ilmu-ilmu mereka adalah benar. Selain
itu, tidak dapat dipungkiri bahwa realisme langsung merupakan paham yang mirip
dengan teori kebenaran korespondensi. Dalam teori kebenaran korespondensi, sebuah
kepercayaan (kalimat, pernyataan, proporsisi, dan sebagainya) akan bernilai benar jika
didukung oleh fakta empiris.
Seorang filsuf bernama Thomas Reid mendukung aliran ini. Ia memiliki
pendapat yang berseberangan dengan Locke. Menurutnya manusia tidak memiliki
mental image. Dalam kritiknya terhadap aliran Berkeley (filsuf idealis), Huemer (2005:
30) menegaskan dalam bukunya He (Reid) also concluded that we are justified in
believing in external objects without the need for any argument for their existence.
Maksudnya, Reid percaya bahwa ada atau tidaknya argumen kita mengenai eksistensi
dunia eksternal tidaklah merubah fakta akan keberadaan mereka. Mereka tetap ada.
Lebih lanjut, Reid menjelaskan
If, therefore, we attend to that act of our mind which we
call the perception of an external object of sense, we shall find in
it these three things:First, Some conception or notion of the
object perceived; Secondly, A strong and irresistible conviction
and belief of its present existence; and, Thirdly, That this
conviction and belief are immediate, and not the effect of
reasoning.
Bahwa jika kita percaya pada persepsi mengenai objek eksternal, setidaknya kita harus
mempunyai tiga hal berikut, yaitu pertama, konsep dari apa yang kita yakini ada.
Kedua, keyakinan bahwa objek eksternal itu ada. Ketiga, keyakinan bahwa objek
eksternal ada itu bukanlah efek dari gagasan aliran-aliran persepsi, melainkan karena
kita mengalaminya (dunia eksternal).
Idealisme
Idealisme merupakan aliran yang mengeliminasi konsep objek eksternal (dunia
eksternal). Bagi kaum idealisme, realitas hanya terbentuk dari dua hal, yaitu pikiran dan
ide (minds and idea). Berkeley merupakan seorang filsuf idealis pertama yang
mengembangkan pemikiran ini. Dalam bukunya Huemer (2005: 28) menuliskan
demikian [] Bishop George Berkeley became the first idealist in Western
philosophical history, declaring that only minds and ideas in the mind existed.
Berkeley tidak percaya akan adanya idea-idea di luar fikiran. Suatu objek ada berarti
objek itu dapat dipersepsi oleh fikiran kita dan segala pandangan metafisis tetang
adanya kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipersepsi oleh fikiran kita adalah omong
kosong. Hal tersebut ia sampaikan dalam paragraph berikut
But, besides all that endless variety of ideas or objects of
knowledge, there is likewise something which knows or
perceives them, and exercises divers operations, as willing,
imagining, remembering, about them. This perceiving, active
being is what I call mind, spirit, soul, or myself. By which words
I do not denote any one of my ideas, but a thing entirely distinct
from them, wherein, they exist, or, which is the same thing,
whereby they are perceivedfor the existence of an idea consists
in being perceived.
Lantas jika konsep yang kita miliki bukan berasal dari objek eksternal, berasal
darimanakah konsep yang kita miliki saat ini? Bagi Berkeley Tuhan-lah yang telah
menanamkan konsep-konsep tersebut sehingga menjadi basis agar kita dapat
memisahkan konsep yang berbeda. Bagi Berkeley konsep yang diciptakan Tuhan dalam
diri manusia sangatlah jelas dan kita tidak memiliki kuasa atas konsep tersebut,
sehingga kita dapat membedakan konsep demi konsep yang ada namun tidak dapat
merubah konsep tersebut. Maksudnya, antara konsep satu dengan yang lainnya tidak
dapat ditukar maknanya. Meskpun menurut Berkeley masih ada beberapa kecil ide yang
bisa dikendalikan, yaitu ide ciptaan manusia didalam imajinasi. Disisi lain, Berkely
bersikeras menolak bahwa dirinya menyangkal eksistensi objek dari meja, batu, dan
sebagainya. Sebagai gantinya ia mengatakan bahwa itu semua adalah kumpulan dari
ide-ide yang telah ada. Namun beberapa orang mengatakan bawa Berkeley adalah aneh.
Karena Berkeley disaat yang sama membuat kontra argumen terhadap argumen
sebelumnya. Secara garis besar, Huemer membagi argumen Berkeley menjadi tiga
argumen utama. Hal tersebut ia paparkan dalam tulisannya
What arguments did Berkeley have? Three main
ones. One was the argument given in the last paragraph,
that we have no reason for believing in external objects.
Second, Berkeley argued that we could not have any
coherent conception of what external objects were like.
Locke had said that they resembled our ideas, but
Berkeley argued that nothing could resemble an idea,
except another idea. Locke had deployed arguments to
show that our ideas of secondary qualities did not
resemble qualities in the external objects. Berkeley
showed that the same kind of arguments could be used to
argue that primary qualities were not in external objects
either, leaving external objects with no (comprehensible)
qualities at all, and it did not seem reasonable to believe
in things with no qualities. Third, Berkeley argued that the
concept of an external objecta thing existing completely
independent of the mindwas self-contradictory.
Roughly, he argued that one could not conceive of
anything existing outside the mind, because if one tried to
conceive of such a thing, the thing would then, by the
very fact that one was conceiving of it, be in ones own
mind (section 23). Since he also thought that anything that
was inconceivable was impossible, he concluded that
external objects could not exist."
Pertama, dia mengatakan bahwa kita tidak memiliki alasan untuk mempercayai bahwa
dunia (objek) eksternal itu benar-benar ada. Kedua, Berkeley berargumen bahwa
manusia tidak bisa memiliki konsep yang konheren mengenai objek eksternal.
Sebelumnya, Locke telah mengemukakan bahwa objek eksternal meyerupai konsep
yang kita miliki. Namun Berkeley berkata bahwa tidak ada yang bisa menyerupai
konsep yang kita miliki, kecuali konsep lainnya. Ketiga, Berkeley mengatakan bahwa
objek eksternal adalah kontra terhadap dirinya sendiri. Dengan pemikirannya mengenai
idealisme ini, banyak orang menganggap bahwa Berkeley adalah orag yang absurd
(aneh).
Skeptisisme
Aliran terakhir adalah aliran skeptisisme. Aliran ini beranggapan bahwa manusia tidak
dapat menentukan apakah terdapat objek eksternal atau tidak. David Hume adalah
seorang filsuf yang berpartisipasi dalam argumen skeptis. Argumennya seperti ini But
we have already established that one can never really observe physical
objects but only their images; therefore, we cannot know anything about
the causal relations physical objects stand in. argumen ini didapatkan
Hume setelah mempelajari aliran representasionalisme. Dimana manusia
dianggap hanya bisa merepresentasikan objek eksternal melalui mental
image. menurut Hume, jika hal itu adalah benar, maka seseorang hanya
bisa berhubungan dengan mental imagenya, bukan hakikat dari objek
eksternal itu sendiri. Jadi, Hume beranggapan bahwa kita tidak dapat
menentukan apakah terdapat objek eksternal diluar sana atau tidak.
Dengan pandangannya ini, Hume dikenal sebagai orang yang
mengadopsi dua aliran sealigus, yaitu representasionalisme dan
skeptisisme. Secara bersamaan ia percaya bahwa kita memiliki mental
image yang merepresentasikan objek eksternal, tapi dia juga percaya klaim
representasionalisme mengenai objek eksternal tidak dapat dipertahankan
secara rasional. Jika kita perhatikan, argumen dari skeptisisme ini
menyerupai argumen milik aliran ketuhanan agnostik. Dimana bagi
agnostik, keberadaan Tuhan tidaklah dapat diketahui menggunakan apa
yang dimiliki manusia sampai saat ini

KESIMPULAN
Pada akhirnya, dalam masa kontemporer orang-orang lebih condong kepada hal-
hal yang berbau pragmatis. Dengan demikian tak heran jika seseorang dapat
mengadopsi lebih dari satu aliran kedalam pemikirannya. Pragmatisme mendorong
orang-orang untuk tidak radikal pada sebuah pemikiran, melainkan penggunaan
pemikiran yang ada dijadikan kondisional sesuai kebutuhan. Berdasarkan hal ini aliran
yang relevan pada masa kontemporer adalah aliran representasionalisme dan realisme
langsung. Lantas, mengapa idealisme dan skeptisisme tidak lagi relevan pada masa
kontemporer? Karena teori kedua aliran ini tidak berguna. Mengadopsi pemikiran
idealisme dapat menghilangkan rasa kemanusiaan. Karena pada idealisme hanya ada
saya dan pikiran saya. Kita akan semua yang ada, yang bisa dilihat dan dirasakan
hanyalah ilusi dari proyektor konsep didalam pikiran saya. Sehingga manusia hanya
dipandang sebagai konsep yang sama nilainya dengan konsep lain. Sedangkan
mengadopsi pandangan skeptisisme tidak akan memajukan ilmu pengetahuan. Hal
tersebut dapat terjadi karena kita tidak memiliki rasa ingin tahu lagi. Setelah mengetahui
bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk memahami hakikat sebuah realitas,
harapan untuk mengetahui sesuatu yang baru akan hilang. Akhir kata, menyadari bahwa
artikel yang penulis buat masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata maupun teknis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Huemer, M., dan Robert Audi. 2005. Epistemology Contemporary Readings (New York:
Routledge)
Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers)
Raftopoulos, A., Peter Machamer. 2012. Perception, Realism and the Problem of
Reference (United States of America: Cambridge University Press)
Suriasumantri, Jujun S. 2015. Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Gibson, dkk. 1997. Organisasi, Perilaku, Stuktur, Proses (Jakarta : Bina Rupa Aksara)

Anda mungkin juga menyukai