Anda di halaman 1dari 14

TEORI DRAMATURGI (ERVING GOFFMAN)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


mata kuliah Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen pengampu: Dr. Ramadhanita Mustika Sari

DI SUSUN OLEH:

Moh. Kholilullah (22200011114)


Musdiansyah Lingga (22200011115)
Rahmat Sya’ban Santoso Ahmadi (22200011117)
Siti Sarah Apriani (22200011120)

KONSENTRASI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


PRODI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES
FAKULTAS PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA YOYAKARTA
2022 M / 1444 H
A. BIOGRAFI ERVING GOFFMAN
Erving Goffman lahir 11 Juni 1922 di Alberta, Kanada. Ia
merupakan keturunan Yahudi. Dia memilih berhenti kuliah untuk bekerja
di Dewan Film Nasional (juga dikenal sebagai Institut Film Nasional) di
Kanada. Pada saat yang sama, Goffman bertemu Denis Wrong di lembaga
film tersebut. Denis sendiri pada perkembangannya menulis sebuah buku
yang berisi kritik terhadap sosiologi deterministik. Goffman awalnya tidak
tertarik prihal sosiologi karena sebelumnya ia pernah belajar kimia.
Namun, pada akhirnya ia kemudian berminat mempelajari bidang tersebut
lalu mengasah kemampuannya di University of Chicago.
Goffman sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh antropologi sosial,
observasi partisipan, dan tradisi penelitian sosiologis seperti Robert E.
Park. Tetapi ada sebuah tulisan yang berisi pernyataan bahwa transmisi
keilmuan Goffman tidak lepas dari Everett Hughes. Tiga tokoh yang
muncul sebelum Goffman adalah W.I. Thomas, George H.Mead, dan
Robert E. Park. Dibanding pendekatan sosiologis George H. Mead,
sosiologi perspektif Goffman lebih berbanding lurus dengan pendekatan
George Simmel, Wiliam James, Herbert Blummer, Spencer, Marx, dan
Durkheim. Sosiologi Emile Durkheim merupakan faktor yang paling
dominan dalam mengkonstruk pemikiran Goffman, terlebih dari buku
Durkheim yang berjudul The Elementary Forms of Religion Life.
Sejarah mencatat, Goffman mendapat gelar MA pada tahun 1949
dan empat tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1953 ia mendapat gelar
Ph.D di Universitas Chicago. Selesai disertasi, Goffman bergabung
dengan Herbert Blummer yang notabene adalah gurunya sendiri di
Universitas California, Berkeley dan mengajar sampai tahun 1969.
Kemudian ia mendapatkan gelar sebagai Profesor Benjamin Frankling di
bidang Antropoogi dan Sosiologi di Universitas Pennsylvania. 1 Dan pada

1
Ruth A Wallace dan Alison Wolf, Contemporary Sociological Theory: Expanding The
Classical Tradition (New Jersey: Person Education, 1986).h.223
19 November 1982, Goffman meninggal dunia dengan meninggalkan
pemikiran yang cukup terkenal, yakni teori Dramaturgi.

B. KARYA-KARYA ERVING GOFFMAN


Karya Goffman dideskripsikan sebagai ‘dramaturgikal’ yang
menekankan perhatiannya terhadap cara yang melibatkan tindakan pada
presentasi dari kinerja dalam peran tertentu. Ia melihat perilaku peran
sebagai bentuk improvisasi yang aktif dan strategis. Dalam rangka
memberikan kinerja yang memuaskan kepada beragam orang yang
dihadapi, seseorang harus menggunakan teknik tertentu dalam ‘manajemen
kesan’ untuk menjamin jika pengaturan dan peralatan sesuai kinerja yang
diinginkan. Hal ini untuk memunculkan kesan yang murni yang dapat
menyakinkan orang yang melihat.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa
ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan
yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap
orang melakukan pertunjukan bagi orang lain.2 Pengunaan sudut pandang
pementasan teater Goffman tertuang dalam salah satu bukunya yang
berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak
secara sengaja maupun tidak membuat pernyataan (exsprresion) pihak lain
memperoleh kesan (impression). Goffman membedakan dua pernyataan,
yakni pernyataan diberikan (expresion given) dan pernyataan yang
dilepaskan (expression given off ). Karyanya tersebut melukiskan bahwa
manusia sebagai manipulator simbol yang hidup di dunia simbol.3

2
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001).h.107
3
Ibid, 107
C. TEORI DRAMATURGI
Teori dramturgi bermula berawal dari adanya dampak atas
fenomena atau sebuah reaksi terhadap meningkatnya konflik sosial,
dampak represif birokrasi dan industrialisasi. Di mana pada teori
sebelumnya menekankan pada kelompok atau struktur sosial, sedangkan
teori ini menekankan sosiologis pada individu sebagai analisis, khususnya
pada aspek interaksi tatap muka. Sehingga fenomena tersebut melahirkan
dramturgi.4 Teori dramaturgi tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang the
looking glass self, yang mana terdiri dari tiga komponen yaitu; Pertama,
mengembangkan bagaimana tampil sebagai orang lain. Kedua,
membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Ketiga,
mengembangkan perasaan diri seperti perasaan malu, bangga sebagai
akibat mengembangkan penilaian orang lain.

Dramaturgi merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Erving


Goffman yang menjelaskan keadaan masyarakat yang berinteraksi dan
berperilaku dalam kehidupan sosial, dapat digambarkan layaknya sebuah
penggung sandiwara yang dapat menginterpretasikan kehidupan sehari-
hari dari seseorang. Pada teori ini manusia diibaratkan memainkan sebuah
pertunjukkan di atas panggung dan di dalam panggung yang mana salah
satu aspek terpenting dalam suatu pertunjukkan drama ialah bagian
panggung depan (front stage) dan bagian panggung belakang (back stage)
yang terjadi dalam berbagai interaksi antar individu. Di mana setiap
individu tentu saja memiliki tujuan yang ingin dicapai, dan memiliki
caranya sendiri untuk mencapai tujuannya tersebut. Salah satunya dalam
berinteraksi, seseorang akan menjaga sikap, tindakan, dan tutur katanya
dengan orang lain agar mendapatkan kesan yang baik.5 Pendekatan
4
Suneki and Haryono, ‘Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial’, Civis,
2.2 (2012),h.2 <https://core.ac.uk/download/pdf/234022407.pdf>.

5
Nila Zaimatus Septiana and Jesi Darina, ‘Membangun Self Love Pada Remaja
Pengguna Instagram Ditinjau Dari Perspektif Dramaturgi (Studi Fenomenologi Remaja Pengguna
Instagram Di Desa Ngebrak)’, Shine: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 2.1 (2021), h.8
<https://doi.org/10.36379/shine.v2i1.181>.
dramaturgi Erving Goffman pada intinya memiliki pandangan bahwa
manusia dalam berinteraksi ingin mengelola atau memberikan kesan yang
ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya, sehinga setiap orang
melakukan pertunjukan bagi orang lain.

Menurut Goffman, panggung depan adalah bagian penampilan


individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan
tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan
penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting (perlengkapan) dan
personal front yang selanjutnya dapat dibagi menjadi penampilan
(appearance) dan gaya (manner).6 Pada panggung bagian depan inilah
para aktor (pemain) dapat menggiring kesan dari para penonton. Agar hal-
hal buruk tidak ditampilkan di panggung depan dan tidak diketahui oleh
para penonton, maka ada salah satu teknik yang digunakan oleh para aktor
pertunjukan yang disebut dengan teknik my stification. Di mana aktor
akan berusaha untuk tidak memiliki kontak yang terlalu intens dan
menciptakan jarak sosial dengan penonton. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari penonton mengetahui proses di balik panggung
depan yang dianggap dapat memberikan kesan yang buruk. Sedangkan
panggung bagian belakang (back stage) merupakan pertunjukan di balik
layar seperti dunia nyata.

Adapun kata kunci dalam teori dramaturgi Goofman terdiri dari


Show, Impression, Front region, Back Stage, Setting, penampilan dan gaya
yang proporsinya akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pada semua interaksi sosial terdapat bagian depan (front region)


yang memiliki persamaan dengan pertunjukan teater yang mana
seorang aktor (pemain/pemeran) baik di atas panggung ataupun
dalam kehidupan sehari-hari, sama-sama menarik perhatian

6
Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, Cet.8 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010).h.232-233
dikarenakan adanya penampilan kostum dan peralatan yang
dipakai.
b. Pada sebuah pertunjukan ataupun dalam keseharian tentu saja ada
bagian belakangnya (back region) yaitu tempat yang
memungkinkan seorang aktor mundur guna menyiapkan diri untuk
petunjukan berikutnya. Di belakang atau di depan, aktor bisa
berganti peran dan memerankan diri sendiri.
c. Dalam membahas pertunjukan individu dapat menyajikan suatu
penampilan (show) bagi orang lain, tetapi kesan (impression) si
pelaku berbeda-beda.
d. Panggung depan dan belakang. Panggung depan ialah penampilan
individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum,
tetap mendefinisikan situasi yang menyaksikan penampilan
tersebut yang di dalamnya terdapat setting dan personal
frontsetting dan personal front yang dibagi menjadi penampilan
(appearance) dan gaya (manner).

Pada teori dramaturgi ini menerangkan bahwa konstruksi


realitas lahir melalui manajemen pengaruh yang ditimbulkan dari
interaksi sosial. Apabila Aristoteles mengacu pada teater maka
Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi atau pertunjukan dalam
masyarakat yang dapat memberikan kesan baik untuk mencapai tujuan
denganl melakukan komunikasi yang pada akhirnya orang lain
mengikuti kemauan kita. Pada intinya teori dramaturgi ini merupakan
konsep menyeluruh bagaimana kita mengahayati peran sehingga dapat
memberikan timbal balik sesuai yang kita inginkan. Dramaturgi
mempelajari konteks perilaku bukan hasilnya.7

7
Ibid, Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial, h.5.
D. ANALISIS TEORI DRAMATURGI
Adapun contoh analisis teori dramturgi yang penyusun buat dari
artikel yang ditulis oleh Ainal Fitri dengan judul “Dramturgi: Pencitran
Prabowo Subianto Di Media Sosial Twitter Menjelang Pemilihan Presiden
2014.” Dalam bentuk tabel sebagai berikut.8

Judul Artikel DRAMATURGI: PENCITRAAN PRABOWO SUBIANTO DI MEDIA


SOSIAL TWITTER MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2014

Jenis artikel JURNAL INTERAKSI, Vol. 4 No. 1, Januari 2015 : 101 – 108
Nama penulis Ainal Fitri
Asal Kampus Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Angkatan
VI

Keyword Dramaturgy, Twitter, Frontstage, Backstage


Abstrak Media sosial Twitter menjadi salah satu sarana untuk mencitrakan diri yang
bersifat positif ke hadapan publik. Hal itu juga dilakukan oleh calon presiden
menjelang pemilu 9 Juli 2014. Dengan menggunakan teori dramaturgi oleh
Erving Goffman, artikel ini mencoba untuk menganalisis mengenai dramaturgi
dari panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage) yang
dilakukan oleh Prabowo Subianto selaku calon presiden Indonesia melalui
akunnya Twitternya @Prabowo08. Dari hasil analisis dapat terlihat bahwa
Prabowo melakukan pencitraan dengan tujuan memunculkan sisi-sisi positif
dari dirinya sehingga meraih simpati masyarakat, namun cenderung menutupi
isu-isu miring mengenai dirinya.

Pembahasan Media sosial Twitter adalah sebuah micro-blogging. Pengguna Twitter dapat
memberikan berbagai informasi mengenai aktivitas diri maupun suasana
hatinya dengan cara update status yang biasanya disebut “tweet .” Tweet adalah
teks tulisan yang terbatas 140 karakter dan akan dilihat oleh teman-teman yang
8
Ainal Fitri, ‘Dramaturgi: Pencitraan Prabowo Subianto Di Media Sosial’, Jurnal
Interaksi, 4.1 (2015), 101–8.
menjadi “follower” pengguna Twitter. Tidak hanya follower saja yang bisa
melihat berbagai informasi yang diberikan, pengguna pun dapat melihat
berbagai informasi yang diberikan oleh pengguna Twitter lainnya yang telah di
follow. Twitter juga memberikan pilihan privacy setting, jika kunci dalam
privacy setting tidak diaktifkan, maka siapapun bisa melihat informasi yang ada
di dalam linimasa (timeline) pengguna.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo, 7 November 2013) mengungkapkan bahwa dari
500 juta pengguna Twitter di dunia, sekitar 19,5 juta terdapat di Indonesia. Hal
inilah yang mungkin menjadi pemicu bagi para Capres dan Cawapres dalam
memanfaatkan media sosial Twitter untuk mendekatkan diri kepada pemilih dan
mencitrakan diri mereka menjelang pemilu. Hal ini banyak digunakan oleh
berbagai public figure, seperti artis dan politikus seperti Prabowo. Prabowo
mulai aktif di Twitter pada pada tanggal 17 Mei 2009 pada pukul 08:17 WIB.
Sampai saat ini, Prabowo sudah memposting tweet sebanyak 8244 lebih
postingan. Prabowo juga sudah memiliki pengikut sebanyak 1.2 juta akun lebih.
Dan mengikuti akun lain sebanyak 2023 orang.Hal ini kemudian menjadi suatu
hal yang menarik penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai bagaimana
Prabowo bisa mencitrakan diri dengan baik di tengah banyaknya pihak yang
berusaha untuk menjatuhkannya. Mengingat bahwa sebelumnya Prabowo
terlibat beberapa kasus yang mengatasnamakan dirinya, seperti kasus HAM
yang terjadi pada masa orde baru. Banyak pihak yang kemudian “dihilangkan
paksa” dan menuding bahwa Prabowo adalah salah satu dalang terkuat atas
peristiwa tersebut. Sampai saat ini permasalahan yang digunakan, para
pengguna lain juga bisa mengetahui dengan jelas siapa yang menggunakan
akun tersebut. Melalui avatar, Prabowo secara tidak langsung ingin
menjelaskan bahwa dirinya sangat beribawa, tegap dengan menggunakan
pakaian rapi. Selain itu di dalam fotonya, Prabowo juga terlihat senyum dan
seakan-akan mencitrakan dirinya sebagai calon pemimpin yang ramah, tenang
dan beribawa, bukan seperti orang yang kejam, penindas seperti yang
diperbincangkan oleh banyak orang. Ini adalah salah satu bentuk pencitraan
yang dilakukan Prabowo melalui setting dan personal front.
Front Stage Front Stage, Goffman menambahkan dua hal lagi, yakni penampilan
(appearance) dan cara (manner). Appearance menjelaskan mengenai hal-hal
yang menunjukkan kelas sosial seorang aktor. Dalam hal ini, Prabowo juga
melakukan demikian. Prabowo memposting beberapa tweet yang berkaitan
dengan tujuannya sebagai calon presiden di Indonesia. Hal tersebut dapat
dilihat dari beberapa potongan tweet, di dalam tweet tersebut terlihat bagaimana
posisi dan kelas sosial Prabowo yang menjelaskan bahwa dirinya bukan orang
dari kelas biasa. Dirinya seorang yang memiliki kapasitas yang baik dan
mendapat dukungan besar dari partai besar yang diusungnya untuk menjadi
calon presiden. Pencitraan yang terlihat dari posisi kelas dan sosial yang
ditunjukkan oleh Prabowo secara tidak langsung mengungkapkan bahwa
dirinya adalah orang yang hebat, orang yang dipercaya banyak orang sehingga
mendapat mandat menjadi calon presiden. Selanjutnya adalah Manner. Manner
menunjukkan kepada audien tentang suatu jenis peran yang oleh aktor
diharapkan agar dapat dimainkan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini
menyangkut bagaimana motivasi Prabowo dalam dunia Twitter, seberapa sering
Prabowo mengganti foto avatar atau seberapa sering Prabowo update tweet
dalam situasi tertentu agar para follower nya dapat melihat segala aktivitasnya.
Dalam hal ini pula, menjelang pemilu Juli 2014 Prabowo setiap hari
memposting tweet baru dengan isi yang positif dan dengan jumlah enam hingga
delapan tweet personal dan beberapa retweet dari pesan yang masuk (mention)
ke akunnya.
Di dalam frontstage, Goffman menjelaskan aspek lain dari dramaturgi, yakni
tentang perilaku frontstage yang merupakan upaya dari aktor untuk
menyampaikan kesankesan yang lebih dekat dengan audiens daripada kesan-
kesan yang sebenarnya ada seperti apa adanya. Harus terdapat suatu keunikan
pada diri sang aktor ketika melakukan suatu pertunjukkan, yang keunikan itu
juga ingin dirasakan oleh audiens ketika melihatnya. Goffman juga
memberikan poin penting bahwa audiens menginginkan suatu kredibelitas pada
pertunjukkan si aktor, sehingga audien ikut terlibat ke dalam proses
pertunjukkan dengan tetap menjaga jarak dari aktor tersebut. Dan dari
penjelasan tersebut, tergambarkan bahwa fokus dari gagasan Goffman yang
terkait dengan proses interaksionis-simbolik tersebut bukan hanya pada
interaksi individual, tapi pada team atau kelompok. Ada keterlibatan aktor dan
audien yang saling berhubungan layaknya sebuah kelompok atau team. Dan
yang menjadi team dalam kasus ini adalah @Prabowo08 beserta follower dari
akun Prabowo08 dan akun lain yang tidak menjadi follower Prabowo.
Back Stage Back stage dalam dramaturgi menjelaskan mengenai gambaran bahwa ada
sesuatu hal yang diinginkan oleh aktor untuk tidak diketahui oleh audiens.
Goffman memberikan gambaran bahwa seorang aktor mengharapkan audiens
dari pertunjukkan depannya tidak muncul ke pertunjukkan di belakang. Dalam
hal ini misalnya Prabowo tidak menceritakan kehidupan pribadi, sisi masa
kelam, pengalaman buruk masa lalu dan hal-hal lain, serta tidak ingin pihak lain
menampilkan hal tersebut. Karena hal tersebut hanya akan melemahkan
posisinya.
Dalam analisa kali ini, yang menjadi back stage adalah komentar-komentar atau
data-data informasi yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh akun
@Prabowo08 kepada follower. Sebagai contoh bagaimana di satu kesempatan,
@Prabowo08 dengan yakinnya menjawab suatu pertanyaan dari salah satu
follower nya mengenai budaya asing yang sudah mendominasi budaya anak
muda di Indonesia. @Prabowo08 menjawab bahwa dia akan menegakkan
hukum bagi pelanggaran dan permasalahan budaya asing, kekayaan intelektual
dengan lebih kuat lagi. Ini merupakan bagian dari front stage @Prabowo08.
Jawaban dalam front stage tersebut mendapat tanggapan yang banyak dan
positif. @Prabowo08 mendapat 206 retweet (tweet ulang oleh follower/bukan
followernya) dan 67 orang menjadikan jawaban @Prabowo08 sebagai tweet
favorit. Namun yang tidak kalah menghebohkan adalah muncul salah satu akun
atas nama @ulinyusro yang mengatakan bahwa Prabowo adalah orang yang
fasis, penculik dan pemberang. Ini merupakan bagian dari back stage yang tidak
ingin ditampilkan oleh Prabowo. Akun @ulinyusro memiliki follower sebanyak
46334, maka dengan asumsi bahwa sebanyak itu pula pesan yang disampaikan
kepada Prabowo yang berisi hal-hal negatif terhadap @Prabowo08 dibaca oleh
follower @ulinyusro. Inilah salah satu hambatan dalam proses pembentukan
citra baik yang dilakukan oleh Prabowo di media sosial Twitter.
Prabowo melalui akunnya sangat menghindari hal-hal yang bertentangan
dengan apa yang disampaikannya melalui front stage. Hal tersebut terlihat dari
lebih banyaknya komentar negatif yang tidak ditanggapi sama sekali oleh
@Prabowo08. Hal ini dengan asumsi bahwa jika follower mengetahui sisi
belakang dari pertunjukkan @Prabowo08 tersebut atau sederhananya follower
mengetahui bagaimana kedok sebenarnya dari aktor tersebut selain dari kedok
yang ditampilkan di depan panggung (front), maka pertunjukkan aktor itu akan
menjadi lebih sulit dilakukan. Kepercayaan follower atau audiens akan
berkurang terhadap Prabowo. Dan pencitraan yang dilakukan oleh Prabowo
hanya akan menjadi hal yang sia-sia.
Di dalam back stage juga terdapat konsep “impression management”, yaitu cara
mengelola kesan atau citra ketika berhadapan dengan audiens. Impression
management ini bertujuan untuk menjaga agar resiko-resiko yang tidak
diharapkan dari suatu aksi bisa terhindari. Dalam hal ini Prabowo melalui
akunnya menampilkan segala hal yang terbaik.

E. KRITIK TERHADAP TEORI DRAMATURGI


Terlepas apakah kelompok sosial di analisa dari sudut konflik,
konsensus atau sintesa di antara keduanya, yang jelas perilaku individu
biasanya dilewatkan begitu saja sebagai alat penggerak roda struktural
yang tidak begitu penting. Pasalnya, secara umum tekanan utama teori-
teori sosiologi diberikan kepada kelompok atau struktur kemasyarakatan
sebagai fenomena-fenomena yang bersifat serius. Pelaku sosial dalam
interaksinya tidak dilihat sebagai inti masalah teoritis, kecuali mungkin
dalam behaviorisme sosial dari George Homans.
Teori Goffman seperti halnya teori Homans, menganggap individu
(bukan struktur yang lebih besar) sebagai satuan analisa. Akan tetapi,
berbeda dengan Homans, untuk mengembangkan model sosiologisnya
Goffman tidak menggunakan suatu teori ilmiah lain (homans
menggunakan suatu teori ekonomi dan perilkau).9 Goffman lebih
menggunakan analogi teater atau drama sehingga Goffman disebut sebagai
seorang dramaturgist yang menggunakan bahasa dan tamsil panggung
teater.
Teori dramaturgist Goffman ini memusatkan perhatiannya bukan
pada struktur sosial seperti halnya, Mark, Comte, Person, Derrida dan
sebagainya yang mana analisis atau teori yang digunakan mereka lebih
pada skala makro atau lebih luas yang mencakup struktur sosial dan
dinamika sosial. Namun, Goffman lebih tertarik pada interaksi tatap muka
atau kehadiran bersama. Interaksi tatap muka itu dibatasinya sebagai
individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan-tindakan mereka
satu sama lain ketika masing-masing berhadapan dengan fisik.10
Goffman menyatakan bahwa selama kegiatan rutin seorang akan
mengetengahkan sosok dirinya yang ideal sebagaimana yang dituntun oleh
status sosialnya.11 Walaupun individu memiliki berbagai rutinitas akan
tetapi individu tersebut cenderung bertindak seolah-olah rutinitas yang
sekarang inilah yang terpenting. Hal demikianlah oleh Goffman dinamai
dengan istilah front stage (panggung depan). Di samping panggung depan,
yang merupakan tempat melakukan pertunjukkan tersebut terdapat juga
back stage (belakang layar). Daerah belakang ini diidentifikasi tergantung
9
Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer, 230
10
Ibid, h 231
11
Ibid, h 233
pada penonton yang bersangkutan. Tidak lain ialah persepsi individu
mengenai aktor di belakang layar. Dari konsep keduanya baik panggung
depan dan panggung belakang menitik beratkan pada impresi.
Dengan demikian, muncul kritik dari pemakalah bahwa teori ini
sesuai dengan namanya dramaturgist yakni penuh dengan pencitraan yang
mungkin saja tanpa adanya manipulasi atau mungkin saja penuh dengan
nilai-nilai manipulatif. Pasalnya dalam pandangan pemakalah mengenai
teori Goffman ini sama sekali tidak mengacu pada konsensus atau hasil
dari teori itu sendiri. Sedangkan logikanya teori-teori sosial itu dibangun
atau digagas tidak lain berdasarkan untuk penguatan masyarakat atas
konflik, konstruk dan stratifikasi sosial yang ada dan saat ini dengan
konsep dan paradigma yang terstruktur. Oleh karenanya, teori dramaturgist
ini menurut pemakalah bersifat objektif; terlalu mengeneralisir dan
cenderung positivitism.

DAFTAR PUSTAKA

Fitri, Ainal, ‘Dramaturgi: Pencitraan Prabowo Subianto Di Media Sosial’, Jurnal


Interaksi, 4.1 (2015), 101–8
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001)
Poloma, Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Cet.8 (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2010)
Septiana, Nila Zaimatus, and Jesi Darina, ‘Membangun Self Love Pada Remaja
Pengguna Instagram Ditinjau Dari Perspektif Dramaturgi (Studi
Fenomenologi Remaja Pengguna Instagram Di Desa Ngebrak)’, Shine:
Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 2.1 (2021), 1–17
<https://doi.org/10.36379/shine.v2i1.181>
Suneki, and Haryono, ‘Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial’,
Civis, 2.2 (2012), 2 <https://core.ac.uk/download/pdf/234022407.pdf>
Wolf, Ruth A Wallace dan Alison, Contemporary Sociological Theory:
Expanding The Classical Tradition (New Jersey: Person Education, 1986)

Anda mungkin juga menyukai