Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PRESENTASI

Siti Sarah Apriani (22200011120)


BK Belajar – Prodi IIS – Kons. BKI – Kelas C
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PENDEKATAN KONSELING REALITA

A. Latar Belakang dan Pengertian Konseling Realita


Pendekatan konseling realitas dicetuskan oleh William Glasser
(1925), karena sebagai bentuk ketidak-puasannya terhadap pendekatan
psikoanalisis yang dianggap kurang efektif dan efisien dalam membantu
konseli.1 Pendekatan psikoanalisis pada waktu itu dianggap terlalu
menekankan masa lalu dan ketidaksadaran sehingga memerlukan waktu
yang lama ketika diterapkan untuk membantu konseli. Glasser juga tidak
setuju dengan adanya anggapan bahwa pada dasarnya manusia itu baik.
Menurutnya manusia yang baik ialah manusia yang mampu keluar dari
permasalahan hidupnya, menyesuaikan diri dengan realitas yang ada serta
memiliki identitas keberhasilan sehingga dapat disebut sebagai manusia
yang berkembang dengan baik dan sehat. Maka dari itu, Glasser
mengembangkan pendekatan konseling yang lebih tepat sasaran dengan
mempublikasikan konsep konseling realitas.
Adapun dalam praktiknya, konseling realitas memberikan bantuan
untuk klien yang mana tidak memerlukan pelacakan masa lalu akan tetapi
lebih menekankan masa sekarang dan mementingkan klien untuk
mencapai kesuksesan di masa yang akan datang, karena pada dasarnya
manusia mempunyai kebutuhan dasar yaitu cita dan harga diri. Namun
dalam proses pengembangannya, banyak teman-teman Glasser tidak setuju
bahkan menolak adanya konsep konseling realitas yang dibuat oleh
Glasser ini. Akan tetapi Glasser tidak berputus asa, ia pun melanjutkan
konsep ini dengan mempraktikannya di V.A. Hospital lebih tepatnya ia

1
Tim GTK DIKDAS, Modul Belajar Mandiri PPPK : Bidang Studi Bimbingan
Konseling, Modul Belajar Mandiri PPPK, 2019, h.239.
menjadi konsultan psikiater di lembaga rehabilitasi kenakalan remaja
dengan mempraktikan teori konseling realita terhadap remaja yang ada di
lembaga rehabilitasi, sehingga pengalaman Glasser ini pun dituangkan ke
dalam bukunya yang berjudul Reality Therapi pada tahun 1965. Berkat
pengalaman dan karyanya sehingga pada akhirnya teori ini dapat
berkembang dan diterima oleh teman-temanya yang bahkan dulu sempat
tidak menyetujuinya. Hal ini berdasarkan pada konsep terapi realitas di
mana seorang klien ditolong agar ia mampu menghadapi kenyataan atau
realita di masa depan dengan penuh optimis.
Konsep konseling realitas ini pun akhirnya dipublikasikan oleh
Glasser pada tahun 1961 dalam bukunya yang berjudul “Mental Healt or
Mental Ilness.” Kemudian diperluas, diperbaiki dan disusun serta
diterbitkan pada tahun 1965 dengan judul Realita Therapy: A New
Approach to Psichiatry. Tidak lama setelah penerbitan yang kedua,
Glasser pun membuka Institute of Reality Therapy yang digunakan untuk
melatih profesi-profesi layanan kemanusiaan. Konsep konseling realitas
dari Glasser ini pun menuai kesuksesan yang pada akhirnya sekolah-
sekolah membutuhkan konsultasi Glasser, dan ia pun dapat menyesuaikan
dengan prosedur-prosedurnya dengan setting sekolah yang mana ide ini
dipublikasikan dalam School Without Failure pada tahun 1969 dan
mendirikan Educational Training Centre yang mana guru-gurunya
mendapatkan latihan konseling realitas.2 Adapun perkembangan konseling
realita pada saat ini sudah diterapkan dalam berbagai setting: lembaga
pendidikan, rehabilitasi anak nakal, ataupun pada lembaga bisnis.
Pada intinya terapi realitas ini ialah suatu bentuk penerimaan
tanggung jawab individu yang dipersamakan dengan kesehatan mental.
Glasser berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan dalam
menentukan dan mengarahkan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dengan mendasarkan diri pada keputusan-keputusan yang telah
dibuatnya, sehingga dapat hidup bertanggung jawab daripada bergantung

2
Ali Daud, ‘Penanganan Masalah Konseli Melalui Konseling Realitas’, h.80-81.
pada situasi dan lingkungannya. Dengan kata lain, teori konseling realitas
merupakan “teori pilihan” yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang
kita lakukakan ialah pilihan kita sendiri.

B. Konsep-Konsep Dasar Konseling Realita


Menurut Glasser landasan dasar dari terapi realitas adalah
membantu para konseli untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
psikologisnya yang meliputi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan
kebutuhan untuk merasakan bahwa diri sendiri berharga baik untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain.3 Dengan mengacu pada pandangan
tersebut, Glasser percaya bahwa setiap indivdiu memiliki kebutuhan
psikologis yang terus menurus hadir dan harus dipenuhi dalam
kehidupannya. Sehingga ketika seseorang mengalami masalah yang
disebabkan karena adanya keterhambatan dalam memenuhi kebutuhan
terhadap realita maka seseorang cenderung akan menghindari hal-hal yang
tidak menyenangkan atau menghindari permasalahan yang sedang
dihadapi. Dengan demikian, pendekatan realita beranggapan bahwa
adanya keterhambatan psikologis disebabkan karena adanya bentuk
penyangkalan seseorang terhadaap realitas yang dihadapi oleh seseorang
yang mana seseorang akan cenderung menghindari hal yang tidak
menyenangkan tersebut. Pada dasarnya, setiap manusia akan merasa puas
dan menikmati keberhasilan yang diperoleh dengan menunjukkan tingkah
laku yang bertanggung jawab terhadap keberhasilannya tersebut. Maka
dari itu, setiap orang akan mengemban tanggung jawab untuk menerima
konsekuensi dari tingkah lakunya.
Adapun Glasser memusatkan perhatiannya terhadap tingkah laku
yang bertanggung jawab dengan memperhatikan 3 hal (3R) yaitu:
Responsibility (tanggung jawab), Reality (realitas), dan Right (norma).
Responsibility ialah kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
3
Edi Santosa, ‘Konsep Bimbingan Dan Konseling Realitas Islami Untuk Menurunkan
Perilaku Minum Minuman Keras Pada Remaja’, 2 (2017), 42 <file:///C:/Materi S2/semester
3/KESPRO/bahan UTS/artikel K Behavioral/1079-2002-1-SM.pdf>.
tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality adalah kesediaan individu
untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku. Right
merupakan nilai atau norma sebagai pembanding untuk menentukan
apakah suatu perilaku dianggap benar atau salah. Seseorang akan memiliki
pola identitas berhasil, apabila ia memenuhi kriteria 3-R ini, namun
sebaliknya apabila seseorang melanggar kriteria 3-R ini maka ia akan
memiliki pola identitas yang gagal. Seseorang yang adaptif cenderung
berkembang dengan memiliki identitas berhasil karena memenuhi kritira
3-R tersebut.

C. Tujuan Konseling Realita


Ketika seseorang sedang dihadapkan dengan permasalahan,
umumnya ia akan memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang tidak
efektif atau terpola dalam identitas gagal. Cara tersebut seringkali
membawanya kepada kualitas yang tidak menyenangkan antara hubungan
dia dengan orang lain. Maka dari itu, tujuan utama konseling realita adalah
untuk membantu konseli dalam menghubungkan atau menghubungkan
ulang dirinya dengan orang lain agar dapat mencapai hidup yang
berkualitas.4
Adapun tujuan konseling realita sebagai berikut5:
 Membantu klien (konesli) dalam menentukan dan memperjelas
tujuan hidup mereka.
 Membantu konseli dalam belajar tentang cara-cara untuk
mendapatkan kembali kontrol terhaadap hidupnya dan untuk bisa
hidup lebih efektif.
 Membantu konseli untuk mencapai tingkah laku yang bertanggung
jawab dan mendorong konseli agar berani memikul resiko yang
ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
D. Fungsi dan Peranan Konselor

4
Ibid, Tim GTK DIKDAS,244.
5
Ani Wardah, ‘Ancangan Konseling Individual Realita’, 2012, p. 5.
Konselor berperan sebagai seorang guru atau pembimbing dengan
menjadi aktif dalam setiap pertemuan sesi konseling, membantu konseli
dalam merumuskan rencana-rencana tindakan yang ingin dilakukan
konseli, memberikan tawaran pilihan-pilihan tingkah laku kepada konseli,
dan membimbing konseli kepada cara-cara yang lebih efektif untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Fungsi dan peranan konselor di sini terbagi menjadi dua setting,
yaitu dalam setting konseling individu dan dalam setting konseling
kelompok. Adapun fungsi dan peranan konselor dalam setting konseling
individu yaitu:
 Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan
mengembangkan hubungan baik dengan klien. Konselor dituntut
untuk mampu menciptakan kondisi sesi konseling yang kondusif.
Hal ini bertujuan untuk melandasi penerapan prosedur konseling.
Sehingga dapat terciptanya hubungan yang fasilitatif antara
konselor dan konseli dalam sesi konseling.
 Mengarahkan dan mengajarkan konseli untuk mengevaluasi
perilakunya, seperti konselor menanyakan kepada konseli “Apakah
perilaku Anda saat ini membantu Anda untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan Anda?”. Evaluasi perilaku ini sangat penting untuk
mendorong konseli dalam membuat pilihan-pilihan baru yang lebih
efektif untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
 Menyampaikan dan meyakinkan kepada klien bahwa seburuk
apapun kondisinya masih ada harapan. Ini masuk ke dalam teori
pilihan (choice theory) adalah adanya suatu harapan dalam setiap
tindakan dan kejadian.

Adapun peran dan fungsi konselor dalam setting konseling


kelompok yaitu:

 Melibatkan diri dengan konseli dan membuat konseli menghadapi


kenyataan.
 Bertindak sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa
menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.
 Konselor sebagai pemimpin kelompok diharapkan memberikan
pujian apabila para anggota kelompok bertindak dengan cara yang
bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila
mereka tidak bertindak demikian.
 Konselor mengajari konseli bahwa tujuan terapi tidak diarahkan
kepada kebahagiaan.

E. Tahapan dan Teknik Konseling Realita


1. Tahapan Konseling Realita
Prosedur pendekatan konseling realitas dilaksanakan dalam
sistem WDEP (Wants, Doing, Evaluation, Planning). Pada tahap
W (Keinginan), konselor mengidentifikasi apa yang diinginkan
konseli dalam kehidupan dengan mengajukan pertanyaan seperti
“Apa yang kamu inginkan?” (dari belajar, keluarga, teman-teman,
dll). Tahap D (Melakukan) pada tahap ini, konselor membantu
konseli mengidentifikasi apa yang dilakukannya dalam mencapai
tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan “Apa yang
kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan
mengajukan pertanyaan “Jika kamu terus menerus melakukan apa
yang kamu lakukan sekarang, akan ke mana kira-kira arah
hidupmu?”. Tahap E (Evaluasi Diri) pada tahap ini, konselor
membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan
keefektifan apa yang dilakukan bagi pencapaian kebutuhannya.
Untuk itu, konselor dapat menggunakan pertanyaan “Apakah yang
kamu lakukan akhir-akhir ini dapat membantu memenuhi
keinginanmu?”. Tahap P (Merencanakan) pada tahap ini, konselor
membantu konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang
lebih bertanggung jawab bagi pencapaian kebutuhannya.
Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku pada tahap
sebelumnya. Dalam tahap ini, konselor dapat mengajukan
pertanyaan “Apa yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi
keinginanmu?” Agar rencana tersebut efektif maka perencanaan
tindakan yang dibuat berupa rencana yang sederhana, dapat
dicapai, terukur, segera, dan terkendalikan oleh konseli.

2. Teknik Konseling Realita


a. Teknik Metafora
Teknik ini digunakan ketika konseli memanfaatkan kiasan
dalam mengekspresikan dirinya. Konselor diharapkan
mampu berkomunikasi dengan konseli pada tataran
metafor. Ketika konseli mengungkapkan, “Jika dia mau
meninggalkan saya, maka saya benar-benar sudah jatuh
ketiban tangga…” maka konselor dapat merespon dengan,
“Apa yang Anda rasakan dengan jatuh yang Anda
maksudkan?” Pembicaraan dalam teknik metafor diarahkan
untuk menyamakan persepsi antara apa yang dirasakan
konseli dengan apa yang dipahami konselor.
b. Teknik Konfrontasi
Konselor dituntut untuk mendorong konseli berpikir
dan membuat rencana-rencana baru yang dapat
dilaksanakannya. Selain itu, konselor juga dituntut untuk
menolak alasan-alasan konseli karena tidak menjalankan
program konseling. Konselor menunjukkan kesenjangan
antara tindakan konseli dengan kebutuhannya, penerimaan
konselor dengan tuntutan untuk melakukan perubahan
dengan membuat rencana baru. Akhir dari konfrontasi
selalu mengarah pada hal positif, bukan untuk menyalahkan
konseli.
c. Teknik Paradoksikal
Teknik paradoksial terbagi menjadi dua jenis, yaitu
Teknik Reframe dan Teknik Paradoxical Prescription.
 Teknik Reframe
Teknik ini dilakukan untuk mendorong konseli
untuk mengubah cara berpikirnya tentang suatu
topik. Mengubah sudut pandang dari sisi negatif
dari suatu peristiwa menjadi sudut pandang dari sisi
positif. Melalui pengubahan cara berpikir ini bisa
jadi sesuatu yang awalnya tidak disukai menjadi
disukai, demikian pula sebaliknya.
 Paradoxical Prescription
Mendorong konseli untuk membayangkan hal yang
paling buruk yang mungkin bisa terjadi serta
mencari solusi untuk menghadapinya.
d. Pengembangan Keterampilan
Konselor mengajarkan berbagai keterampilan yang
bermanfaat bagi kehidupan konseli, seperti keterampilan
asertif, berpikir rasional, teknik pemecahan masalah,
mengembangkan kecanduan positif.
e. Renegosiasi
Untuk memenuhi kebutuhan konseli yang terkadang
berpikir untuk melakukan sesuatu yang selaras dengan
identitas gagalnya. Maka konselor dapat menegosiasikan
tindakan-tindakan berbeda yang selaras dengan prinsip-
prinsip 3R (responsibility, reality, and right).
f. Menggunakan Kata Kerja
Teknik ini selaras dengan teori pilihan, maka
konselor mendorong untuk selalu menggunakan kata kerja
atas setiap apa yang dilakukan atau dirasakan. Ketika
konseli mengatakan, “Saya tertekan”, maka konselor
mengajak konseli untuk mengatakan “Saya memilih untuk
menjadi tertekan.”

Referensi

Daud, Ali, ‘Penanganan Masalah Konseli Melalui Konseling Realitas’

Santosa, Edi, ‘Konsep Bimbingan Dan Konseling Realitas Islami Untuk


Menurunkan Perilaku Minum Minuman Keras Pada Remaja’, 2 (2017), 42
<file:///C:/Materi S2/semester 3/KESPRO/bahan UTS/artikel K
Behavioral/1079-2002-1-SM.pdf>

Tim GTK DIKDAS, Modul Belajar Mandiri PPPK : Bidang Studi Bimbingan
Konseling, Modul Belajar Mandiri PPPK, 2019

Wardah, Ani, ‘Ancangan Konseling Individual Realita’, 2012, p. 5

Anda mungkin juga menyukai