Anda di halaman 1dari 10

TERAPI REALITAS

TUGAS

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Intervensi Pekerjaan Sosial dengan
Organisasi dan Masyarakat

Dosen Pengampu:

Krisna Dewi Setianingsih, M.Si, Ph.D


Dr. Ayi Haryani, M.Pd

Disusun oleh kelompok 3:

Kamaludin Jamil 1904076


Oktaviara Sukowati 1904154
Regina Septidania 1904190
Adelia Yuliani 1904203
Naufal Ramadhan 1904263
Ilma Khalifania Anwar 1904281

PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2021
TERAPI REALITAS

1. Definisi Terapi Realitas


Terapi Realitas pertama kali dikemukakan oleh William Glasser pada tahun
1950-an. Terapi ini bersifat jangka pendek yang berfokus pada kekuatan pribadi
dan mendorong individu untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih realistik
agar dapat mencapai kesuksesan (Corey, dalam Suri dan Wiwik, 2013: 71).
Terapi Realitas menyatakan bahwa pembelajaran manusia merupakan proses
seumur hidup yang didasarkan pada pilihan. Hal ini disebut teori pilhan (Choice
Theory). Glasser menyatakan bahwa manusia bebas memilih untuk menentukan
dua hal pada dirinya sendiri, yaitu memilih bagaimana akan berpikir dan memilih
bagaimana akan bertindak (dalam Hetty dan Rachel, 2017: 29).
Terapi Realitas sendiri lebih menekankan pada masa sekarang, maka dalam
memberikan pertolongan terapis tidak perlu melacak masa lalunya, sehingga
yang paling dipentingkan dalam terapi ini adalah bagaimana klien dapat
memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang. Terapi Realitas memiliki
asumsi bahwa manusia dipandang sebagai individu yang mampu menentukan dan
memilih tingkah lakunya sendiri. Berarti individu harus bertanggung jawab dan
bersedia menerima konsekuensi dari tingkah lakunya. Bertanggung jawab disini
maksudnya adalah bukan hanya pada apa yang dilakukannya, melainkan juga
pada apa yang dipikirkannya (Namora, dalam Diah, 2018: 31).
Terapi Realitas didefinisikan sebagai serangkaian metode dan instrumen yang
ditujukan untuk membantu orang merubah perilaku yang tidak efektif menjadi
perilaku yang efektif, dari pilihan yang merusak pada pilihan yang konstruktif,
dan dari gaya hidup yang tidak memuaskan ke gaya hidup yang memuaskan.
Terapi Realitas didasarkan pada evaluasi diri, karena membantu penilaian yang
tepat pada perilaku diri. eraksi dengan orang lain.
2. Prosedur dan Teknik Terapi Realitas
Glasser dan Wubbolding (Corey, dalam Suri dan Wiwik, 2013: 71) menyebutkan
bahwa prosedur atau rangkaian proses terapi Realitas dilakukan dengan empat
langkah WDEP, yaitu wants (keinginan), direction and doing (arahan dan
kegiatan), evaluation (evaluasi), dan planning (perencanaan). Berikut ini adalah
uraian singkat mengenai langkah WDEP.
a. W (wants)
Wants atau keinginan merupakan awal dari proses konseling dimana konselor
mencari tahu apa yang diinginkan oleh konseli, kebutuhan dan persepsi
konseli dan perubahan yang ingin mereka lakukan. Dalam hal ini, terapis
melakukan eksplorasi terhadap harapan, kebutuhan, dan persepsi dari
individu. Terapis juga membantu klien untuk memfokuskan pada apa yang
mungkin untuk dicapainya dan pada memikul tanggung jawab pribadi untuk
mencapai tujuannya.
b. D (direction)
Direction atau arahan merupakan pelibatan konseli untuk lebih lanjut
menggali secara langsung hidup mereka. Dalam hal ini, terapis
mendiskusikan mengenai apa saja perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh
individu saat ini.
c. E (evaluation)
Evaluasi merujuk kepada prosedur untuk melakukan evaluasi dan merupakan
batu penjuru dari konseling realita. Melalui ini, Terapis meminta individu
untuk mengevaluasi perilakunya, apakah perilakunya saat ini sudah cukup
rasional untuk mewujudkan harapannya,
d. P (planning)
Planning atau perencanaan merupakan unsur terakhir dalam prosedur WDEP.
Klien berkonsentrasi dalam merancang rencana untuk mengubah perilakunya.

Ketika seorang terapis melakukan sesi terapi dengan target sasaran, terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan (Corey, dalam Risyuwanti, 2018: 21).
Teknik-teknik tersebut terdiri atas:

a. terlibat dalam permainan peran dengan klien,


b. menggunakan humor;
c. mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun dari klien. Dalam
konfrontasi, terapis dapat tetap bersikap positif dalam menyikapi alasan klien.
Tidak menerima alasannya adalah salah satu bentuk konfrontasi. Terapis
tidak mengkritisi atau menentang klien namun melanjutkan pekerjaan untuk
mengeksplor perilaku keseluruhan dan menyusun rencana yang efektif;
d. membantu klien dalam merumuskan rencana tindakan secara spesifik,
e. bertindak sebagai model atau guru,
f. memasang batas-batas dan menyusun situasi konseling,
g. menggunakan terapi kejutan verbal yang layak untuk mengonfrontasikan
klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis, dan
h. melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih
efektif.

Selain Corey, Wubbolding dan Brickell (dalam Luh, dkk, 2017: 115),
menyatakan bahwa terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam sesi
Terapi Realitas, diantaranya:

a. questioning. Pertanyaan memegang peran penting dalam mengeksplor


perilaku keseluruhan, mengevaluasi apa yang orang-orang lakukan dan
menyusun sebuah rencana spesifik. Wubbolding (1988) menyatakan bahwa
pertanyaan dapat berguna pada terapis realitas dalam empat hal yakni; untuk
memasuki dunia klien, untuk mengumpulkan informasi, untuk memberikan
informasi dan untuk membantu klien dalam melakukan kontrol yang lebih
efektif;
b. being positive. Terapis realitas berfokus terhadap apa yang klien dapat
lakukan. Kesempatan diambil untuk menguatkan perilaku positif dan
perencanaan konstruktif. Pernyataan positif dibuat untuk pernyataan
mengenai penderitaan dan keluhan;
c. metaphors. Memperhatikan dan menggunakan bahasa klien dapat membantu
dalam komunikasi dan pemahaman terhadap klien. Misalnya jika klien
berkata, “Ketika ia pergi, rasanya seperti atap runtuh menjatuhi tubuhku”,
terapis dapat membalas, “Bagaimana rasanya ketika atapnya menjatuhi
tubuhmu?”. Intinya adalah terapis ikut berbicara dengan gaya persepsi
personal klien;
d. humor. Untuk mendukung sikap ramah yang terapis kembangkan pada klien,
adanya humor sangat sesuai. Terapis kadang memiliki kesempatan untuk
tertawa pada dirinya sendiri yang juga mendorong klien melakukan hal yang
sama. Hal ini akan menghilangkan tekanan dari kekecewaan klien bila suatu
rencana tidak terlaksana. Ketika terapis dan klien dapat berbagi lelucon,
terjadilah kesetaraan kedudukan dan bertukar kebutuhan (kesenangan);
e. confrontation. Dalam konfrontasi, terapis dapat tetap bersikap positif dalam
menyikapi alasan klien. Tidak menerima alasannya adalah salah satu bentuk
konfrontasi. Terapis tidak mengkritisi atau menentang klien namun
melanjutkan pekerjaan untuk mengeksplor perilaku keseluruhan dan
menyusun rencana yang efektif;
f. paradoxical techniques. Teknik paradoks merujuk kepada teknik yang
dilakukan melalui pemberian instruksi yang berlawanan pada klien.
Misalnya, klien yang terobsesi untuk tidak melakukan kesalahan apapun
selama bekerja akan diinstruksikan untuk membuat sebuah kesalahan. Bila
klien mencoba melakukannya, berarti klien telah berhenti mengontrol
masalahnya untuk muncul. Sedangkan bila klien menolak saran terapis,
berarti perilaku tersebut memang dikontrol. Teknik ini tidak terduga dan
kadang sulit untuk dilakukan.

Dalam melakukan sesi Terapi Realitas, seorang konselor atau terapi memiliki
beragam peran yang perlu ditampilkan kepada target sasaran. Berdasarkan
Singgah (dalam Mamik, 2010: 12), terdapat beberapa peran bagi seorang terapis
dalam Terapi Realitas. Peran-peran tersebut diantaranya:

a. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh


keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya;
dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri,
sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam
ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri;
b. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan
konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik
dalam menilai perilakunya sendiri;
c. Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari
tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian
apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan
memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya;
d. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai
pengalaman dalam mencapai harapannya; dan
e. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas
kewenangan, baik berupa batas waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang
dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
3. Menjelaskan Tujuan Pengubahan Perilaku
Berdasarkan Komalasari (dalam Risyuwanti, 2018: 20), Tujuan umum terapi
realitas adalah membantu klien untuk mencapai keberhasilan. klien yang
mengetahui identitasya, akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan mereka
lakukan di masa sekarang dan masa yang akan datang dengan segala
konsekuensinya. Terapis dan klien bekerja sama untuk mengembangkan
kenyataan hidup sehingga klien dapat memahami dan mampu menghadapi
realitas kehidupan pada saat sekarang maupun di masa depan.
Menurut Corey (dalam Siti, 2019: 30), tujuan terapi realita adalah agar setiap
individu mendapatkan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
menjadi suatu bagian dari kelompok, kekuasaan, kebebasan, dan kesenangan.
Selain itu, Corey (dalam Singgah: 2002) juga mengungkapkan terdapat beberapa
tujuan dilakukannya sebuah Terapi Realitas terhadap target sasaran. Tujuan-
tujuan tersebut diantaranya:
a. menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat
menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata;
b. mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala
resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam
perkembangan dan pertumbuhannya;
c. mengembangkan rencana-rencana nyata dan ealistic dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan;
d. perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian
yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan
individu untuk mengubahnya sendiri; dan
e. terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
4. Sasaran Terapi Realitas
Secara umum, Terapi Realitas dapat digunakan kepada target sasaran yang
mengalami gangguan psikologis dan mental, mulai dari gangguan kecemasan,
stres, depresi dan lainnya. Terapi Realitas juga ditemukan efektif ketika
diaplikasikan kepada siswa sekolah dalam hal meningkatkan konsep diri. Banyak
sekolah yangtelah menerapkan teknik Terapi Realitas dan metode untuk
meningkatkan fungsi sekolah serta lingkungan belajar dan sosial. Di bidang
aplikasi lain telah digunakan dalam pembinaan atletik, obesitas pada anak dan
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Realitas terapi dapat juga digunakan
untuk mencegah atau mengendalikan obesitas. Hal ini menyarankan pelaksanaan
metode realitas terapi dapat membantu anak-anak mengevaluasi perilaku makan
mereka, menetapkan tujuan yang realistis dan evaluasi diri yang efektif serta
mengintegrasi (Prenzlau, 2006).
5. Contoh Kasus
Mengutip salah satu contoh kasus dari jurnal penelitian Isabella Hasiana yang
berjudul “Pengaruh Terapi Realitas Dalam Menangani Perilaku Membolos
Sekolah (Studi Kasus)” (2020). Berikut merupakan kasus yang diangkat dalam
penelitian tersebut.
“Contoh kasus yang didapatkan oleh peneliti dengan guru BK di salah
satu sekolah swasta, tentang perilaku membolos dilakukan oleh WA
(sumber informan). WA merupakan pelajar SMP Kelas 1 yang sering
sekali membolos sekolah. Sejak masuk sekolah pertama kali terhitung
bulan Agustus sampai bulan Desember 2019, WA sudah membolos
sekolah sebanyak 18 kali. Guru BK sudah memanggil WA dan orang tua
(wali) agar tidak lagi membolos sekolah, namun tetap saja tidak ada
perubahan perilaku. Berbagai macam alasan yang diberikan WA saat dia
membolos sekolah (tidak masuk) antara lain, WA mengatakan dirinya
sakit, guru rapat ataupun berangkat ke sekolah tetapi tidak menuju ke
sekolah dan dia lebih senang nongkrong di warung untuk bermain game
(mengandalkan wifi warung). Alasan WA membolos sekolah antara lain
tidak suka dengan pelajaran hari itu, belum mengerjakan tugas dan yang
sering ialah diajak teman”. (Isabella, 2020: 63).
Berdasarkan kasus tersebut, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi
perilaku membolos bagi saudara WA. Pertama, dari faktor sekolah yang
dikarenakan kebijakan mengenai sangsi membolos sekolah kurang konsisten,
adanya komunikasi yang kurang efektif antara orang tua siswa dengan pihak
sekolah, guru-guru yang kurang mendukung, atau tugas-tugas sekolah yang
dianggap siswa kurang memberikan tantangan. Selain itu suasana kelas juga
berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa dan dengan adanya tujuan
pembelajaran yang jelas akan mempermudah siswa dalam memahami materi
sehingga tidak akan bosan dan mudah mengikuti kegiatan pembelajaran. Tidak
hanya dari segi itu saja, namun kemampuan dan kreativitas guru dalam mengajar
juga perlu diasah seoptimal mungkin agar memiliki variasi didalam mengajar.

Kedua, yaitu faktor personal. Faktor ini antara lain berkaitan dengan rendahnya
motivasi siswa dalam akademik, remaja yang mengkonsumsi minuman keras
atau merokok ataupun perasaan kurang percaya diri dapat menjadi penghambat.
Sebagai contoh, siswa yang memiliki kreatifitas namun memiliki perasaan tidak
berani atau tidak mampu untuk melakukannya sehingga ia menjadi remaja yang
tidak percaya diri. Kemudian faktor lain yang muncul ialah perasan rendah diri
pada mata pelajaran tertentu. Terkadang siswa merasa tidak mampu dengan mata
pelajaran matematika, tetapi mampu pada mata pelajaran ilmu sosial, sehingga
dampak yang muncul akhirnya pada mata pelajaran yang tidak disukai ada
kecenderungan untuk menghindar dengan membolos. Ada juga siswa yang
memiliki perasaan merasa tidak diterima oleh teman-temannya dan guru di
sekolah karena keterbatasan yang dimilikinya, sehingga ia sering sekali dijadikan
bahan lelucon, diancam, bahkan sampai diacuhkan

Ketiga ialah faktor dari keluarga, dimana pola asuh orangtua berperan dalam
perkembangan si remaja ini. Kurangnya partisipasi atau kepedulian orangtua
terhadap pendidikan anak juga menjadi salah satu mengapa remaja suka
membolos (Mustaqim dan Abdul Wahib, 2010).

5.1 Tahapan Terapi Realitas Bagi Konseli WA


Berdasarkan kasus yang diangkat, hal pertama yang harus dilakukan oleh
seorang konselor adalah melakukan kegiatan asesmen. Asesmen yang
dilakukan difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan dasar hidup konseli WA.
Setelah hasil asesmen didapatkan, maka konselor mendapatkan data-data
yang dibutuhkan untuk merumuskan rencana atau strategi intervensi terhadap
WA.
Kemudian dengan menggunakan sistem WDEP (wants, direction, evaluation,
planning), maka WA akan diminta untuk mengetahui apa yang menjadi
keinginannya selama ini, kebutuhannya serta menggali lebih dalam dari
dirinya tentang hal-hal yang menyebabkan ia melakukan perilaku membolos
sekolah. Setelah WA mengetahui apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhannya, maka akan melakukan evaluasi terhadap perilaku membolos
yang selama ini dilakukan. Apakah perilaku membolos itu memiliki manfaat
bagi dirinya dan dengan melakukan evaluasi tersebut maka WA akan
melakukan suatu perencanaan disertai dengan komitmen dalam diri untuk
tidak membolos sekolah lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Hasiana. Isabella. 2020. Pengaruh Terapi Realitas Dalam Menangani Perilaku


Membolos Sekolah (Studi Kasus). Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana.

Krisnani, Hetty dan Rachel Farakhiyah. 2017. Meningkatkan Kemampuan


Pengambilan Keputusan Pada Remaha Akhir Dengan Menggunakan Metode
Reality Therapy. Melalui MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN PADA REMAJA AKHIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE REALTY
THERAPY (researchgate.net). Diakses 15 November 2021

Mulia, Fikriani Diah. 2018. Terapi Realitas Untuk Mengatasi Kerenggangan


Hubungan Keluarga Pada Remaja Di Pulo Wonokromo Surabaya. Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

Risyuwanti. 2018. Terapi Realitas Untuk Mengatasi Pikiran Negatif Pada Pasangan
Suami Istri (Pasutri) Yang Belum Mempunyai Keturunan. Banten: Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin.

Sari, Mamik Apriliyah. 2010. Studi Deskripsi Tentang Terapi Realitas Pada Siswa
Yang Malas Belajar Di Madrasah Aliyah Sunan Giri. Surabaya: Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel.

Siregar, Suri Mutia dan Wiwik Sulistyaningsih. 2013. Efektivitas Terapi Realitas
Untuk Meningkatkan Self-Regulated Learning Pada Mahasiswa Underachiver.
Medan: Universitas Sumatera Utara.

Tim Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.


2017. Bahan Ajar Materi Kuliah Psikoterapi I. Badung: Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai