Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MATA KULIAH

TEORI-TEORI KONSELING II

PENDEKATAN KONSELING REALITAS


DISUSUN OLEH

1. IFTITAH INDRIANI

(1114500081)

2. LILIH LUCKYTANINGSIH

(1114500004)

3. FEBI YANUANTO

(1114500120)

SEMESTER/KELAS

: 3/C

YAYASAN PENDIDIKAN PANCASAKTI TEGAL

UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
Jalan Halmahera KM. 1 (0283) 357122
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori-Teori Konseling II.
Kami ucapkan terima kasih kepada Yth. Ibu Hastin Budisiwi, M.Pd selaku
dosen mata kuliah Teori-Teori Konseling II yang telah membimbing kami agar
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat untuk kami dan
untuk pembaca.

Tegal, 14 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan ............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Realitas dan Tokoh ...................................................3
2.2 Konsep Dasar .................................................................................................5
2.3 Asumsi Perilaku Bermasalah .........................................................................7
2.4 Tujuan Konseling ...........................................................................................8
2.5 Peran dan Fungsi Konselor ............................................................................9
2.6 Deskripsi Proses Konseling ...........................................................................10
2.7 Teknik Konseling ...........................................................................................11
2.8 Kelebihan dan Kekurangan ............................................................................14
2.9. Contoh Penerapan Kasus...............................................................................14

BAGIAN III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................16


3.2 Saran .............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia yang baik adalah manusia yang mampu keluar dari setiap
permasalahan hidupnya. Manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan realitas
yang ada dan memiliki identitas adalah manusia yang dapat berkembang dengan
baik dan sehat. Untuk membantu manusia keluar dari masalahnya dan
memperoleh identitas diperlukan suatu terapi. Di balik semua itu, banyak manusia
yang masih belum mencapai identitas keberhasilannya. Mereka masih belum
dapat mencapai kebutuhan dasar psikologisnya, yaitu kebutuhan untuk mencintai
dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa Ia berguna bagi diri sendiri
maupun orang lain.
Terapi Realitas juga telah meraih popularitas di kalangan konselor sekolah,
para guru dan pimpinan sekolah dasar dan sekolah menengah, dan para pekerja
rehabilitasi. Selain itu, Terapi Realitas menyajikan banyak masalah dasar dalam
konseling yang menjadi dasar pernyataan-pernyataan seperti: Apa kenyataan itu?
Haruskah

terapis mengajar pasiennya? Apa yang harus diajarkan? Dan

sebagainya. Sistem Terapi Realitas difokuskan pada tingkah laku sekarang. Oleh
karena itu, seorang konselor maupun calon konselor wajib mempelajari Terapi
Realita.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa nama pendekatan dan tokoh?
2. Bagaimana konsep dasar pendekatan konseling realitas?
3. Bagaimana asumsi perilaku bermasalah?
4. Apa saja tujuan konseling?
5. Bagaimana peran dan fungsi konselor?
6. Apa saja deskripsi proses konseling?
7. Bagaimana teknik konseling?
8. Apa saja kelebihan dan kekurangan?
9. Bagaimana contoh penerapan?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Memahami tentang pendekatan dan tokoh konseling realitas.
2. Memahami konsep dasar pendekatan konseling realitas.
3. Mengetahui tentang asumsi perilaku bermasalah.
4. Mengetahui tujuan konseling.
5. Memahami peran dan fungsi konselor.
6. Mengetahui deskripsi proses konseling.
7. Mengetahui teknik konseling.
8. Mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan konseling realitas.
9. Memahami contoh penerapan dengan kasus yang sesuai pendekatan
konseling realitas.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendekatan Realitas dan Tokoh


Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan
klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun
orang lain. Tujuan terapi ini ialah membantu seseorang untuk mencapai otonomi.
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena dalam
penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengkondisian operan
yang tidak ketat. Glasser mengembangkan terapi realitas dan meraih
popularitasnya karena berhasil menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi
tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak berbelitbelit.
William Glasser merupakan lulusan dari the Case Institute of Technology
sebagai Insinyur kimia pada tahun 1944 di usia 19 tahun, kemudian ia mengambil
master di bidang Psikologi Klinis pada usia 23 tahun di Universitas yang sama.
Pada tahun 1956 ia menjadi kepala bagian psikiatri di the Ventura School of Girls
yang merupakan institusi untuk menangani kenakalan remaja perempuan. Pada
saat inilah Glasser mengembangkan konsep pendekatan realistis. Melalui buku
pertamanya yang berjudul Mental Health or Mental Illmess (1961) ia
menuangkan landasan pemikirannya mengenai landasan berfikir dari teknik dan
konsep dasar terapi realitas.
Glasser menggunakan istilah Reality therapy pada tahun 1964 pada
manuskrip yang berjudul Reality Therapy: A Realistic Approach to the Young
Offender. Pada tahun 1968 Glasser mendirikan the Institute for Reality Therapy
di Los Angeles.

Ciri-Ciri Pendekatan Realistis

Ada 8 ciri yang menentukan pendekatan realitas sebagai berikut :


1.

Terapi realitas menolak tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentukbentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak
bertanggung jawaban.

2. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis. Ia


mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang tidak
bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah
laku yang bertanggung jawab.
3. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaanperasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan
dan sikap-sikap itu tidak penting, tetapi realitas menekankan kesadaran atas
tingkah laku sekarang.
4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas
menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas
tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan
yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi
tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai
sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep
tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang
transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai
pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara
beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak
memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien.
6. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek
ketaksadaran. Teori psikoanalitik, yang berasumsi bahwa pemahaman dan
kesadaran atas proses-proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat bagi

perubahan kepribadian, menekankan pengungkapan konflik-konflik tak sadar


melalui teknik-teknik seperti analisis transferensi, analisis mimpi, asosiasiasosiasi bebas, dan analisis resistensi. Sebaliknya, terapi realitas menekankan
kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang
hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana dia
bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang
berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis.
7. Terapi realitas menhapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian
hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman
untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan
identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapiutik.
8.

Terapi realitas menekankan tanggng jawab, yang oleh Glasser (1965, hlm 13)
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuha
sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Belajar tanggung jawab
adalah proses seumur hidup.

2.2. Konsep Dasar


Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya, masing-masing individu juga memiliki kebutuhan yang beragam,
dimana kebutuhan tersebut bersifat unik pada masing-masing individu, dan tentu
saja keinginan atau kebutuhan tersebut terkadang berbeda dengan individu yang
lain. Ketika seseorang dapat memenuhi apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut
terpuaskan dan

tentu saja ia akan merasa senang. Tetapi, jika apa yang

diperolehnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan sangat

bertolak

belakang dari apa yang dibutuhkan, maka orang tersebut akan frustasi, dan pada
akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan
dan merasa benar-benar terpenuhi. Artinya, ketika timbul perbedaan antara apa
yang diinginkan dengan apa yang diperoleh, membuat individu terus
memunculkan perilaku-perilaku yang spesifik,

yang

membuatnya terlihat

berbeda dengan yang lain.

Jadi, perilaku yang dimunculkan oleh masing-masing individu ada


tujuannya, yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang diperoleh, atau muncul karena dipilih dan diinginkan sendiri
oleh individu. Perilaku manusia merupakan perilaku total (total behavior), atau
perilaku sepenuhnya yang terdiri dari doing (melakukan), thinking (berpikir),
feeling (Merasakan) dan psysiology (fisiologis). Oleh karena perilaku yang
dimunculkan adalah perilaku yang bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser
menyebutnya dengan teori kontrol.

Teori Kontrol
Penerimaan terhadap realita, menurut Glasser harus tercermin dalam
perilaku total yang mengandung empat komponen, yaitu: berbuat (doing), berfikir
(thinking), merasakan (feeling),

dan menunjukkan respon-respon fisiologis

(physiology). Seperti halnya keempat roda mobil membawa arah mobil berjalan,
demikian halnya keempat komponen dari total behavior tersebut menetapkan arah
hidup individu.
Glasser menjelaskan bahwa hal ini secara langsung dapat mengubah cara
kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal
yang sangat sulit dilakukan. Kunci untuk mengubah perilaku total terletak pada
pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu,
reaksi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut. Ketika seseorang
berhasil memenuhi kebutuhannya, menurut Glasser orang tersebut mencapai
identitas sukses. Pencapaian identitas sukses itu terikat pada konsep 3R, yaitu
keadaan dimana individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai
dengan menunjukkan total behavior (perilaku total) yakni melakukan sesuatu,
berfikir,

merasakan,

dan

menunjukkan

respon-respon

fisiologis

secara

bertanggung jawab, sesuai realita, dan benar.

2.3. Asumsi Perilaku Bermasalah


Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu
sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih
dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat.
Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena
ketidakmampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan
sentuhan dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan
realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan
realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan
gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah
identitas kegagalan. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan,
penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak
bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu
para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang
mencangkup kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk
merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring
lain.
Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu
kekuatan pertumbuhan mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas
keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas.
Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa
mengubah cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa
mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah
laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik
tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang
menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang
memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah
lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.

10

2.4. Tujuan Konseling


Tujuan dari terapi ini adalah agar setiap individu bisa mendapatkan cara
yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan menjadi bagian dari suatu
kelompok, kekuasaan, kebebasan, dan kesenangan. Focus terapi adalah pada apa
yang disadari oleh konseli dan kemudian menolong konseli menaikkan tingkat
kesadarannya. Setelah konseli sadar betapa tidak efektifnya perilaku yang konseli
lakukan untuk mengontrol dunia, mereka akan lebih terbuka untuk mempelajari
alternatif lain dari cara berperilaku.
Tujuan umum terapi realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai
otonomi. Pada dasarnya, otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi
kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal. Kemampuan ini menyiaratkan bahwa orang-orang mampu bertanggung
jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan
rencana-rencana yang bertanggung jawab dan realistis guna mencapai tujuantujuan mereka.
Tujuan lain dari terapi ini adalah menolong individu agar mampu
mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku
dalam bentuk nyata. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta
memikul segala risiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya
dalam perkembangan dan pertumbuhannya, mengembangkan rencana-rencana
nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perilaku yang
sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang
dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk
mengubahnya sendiri. terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas
kesadaran sendiri.
Terapi realitas menaruh perhatian khusus tentang mengajar orang untuk
dapat berurusan dengan dunia secara efektif. Inti dari terapi realitas adalah
menolong konseli mengevaluasi apakah yang konseli inginkan itu realistik dan
apakah perilakunya bisa menolongnya ke arah itu.

11

Tujuan konseling realitas adalah sebagai berikut:


a) Menolong individu agar mampu mengurus dirinya sendiri, supaya dapat
menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
b) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala
resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam
perkembangan dan pertumbuhannya.
c) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
d) Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian
yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan
individu untuk mengubahnya sendiri.
e) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran diri.

2.5. Peran Dan Fungsi Konselor


Nandang Rusmana (2009:80) menjelaskan bahwa konselor terapi realitas
berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan anggota kelompok
menghadapi keadaan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugukan
anggota kelompok lain.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keterlibatan konselor atau terapis tidak
hanya dalam memberikan dukungan yang manis. Glasser menegaskan bahwa
terkadang konselor harus mendorong orang dengan cara yang tidak manis.
Misalnya, dalam menyikapi pilihannya yang salah, konselor mengkomunikasikan
kepada konseli bahwa konselor itu telah mengambil langkah yang salah. Akan
tetapi hendaknya sikap itu tidak berkonotasi penolakan terhadap konseli. Tugas
dasar dari seorang konselor dalam konseling kelompok realitas adalah melibatkan
diri dengan anggota kelompok dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.
Dan tugas terapis adalah bertindak sebagai pembimbing yang membantu setiap
anggota kelompok agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realitas.

12

Tugas dasar konselor adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian
membuatnya untuk menghadapi kenyataan. Yang antara lain sebagai berikut:
a) Bertindak sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai
tingkah lakunya sendiri secara realistis.
b) Berperan sebagai moralis.
c) Berperan sebagai motivator, menyampaikan dan meyakinkan kepada klien
bahwa seburuk apapun suatu kondisi masih ada harapan.
d) Berperan sebagai guru yang mengajarkan klien untuk mengevaluasi
perilakunya, misalnya dengan bertanya, Apakah perilaku Anda saat ini
membantu anda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Anda?
e) Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan hubungan baik
dengan klien.

2.6. Deskripsi Proses Konseling


Langkah-langkah yang ditempuh:

Menciptakan hubungan kerja dengan klien, konselor melakukan pendekatan


untuk lebih mendekatkan diri dengan klien demi kelangsungan proses
konseling.

Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya


dan melakukan transferensi.

Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.

Menutup wawancara konseling, cara kita menutup wawancara dapat


meningkatkan kepercayaan klien terhadap kita selama wawancara.

13

2.7. Teknik Konseling


Teori konseling realita memiliki beberapa teknik tersendiri yaitu:
1. Metapor
Konselor menggunakan teknik ini seperti senyuman, imej, analogi, dan
anekdot untuk memberi konseli suatu pesan penting dalam cara yang efektif.
Konselor juga mendengarkan dan menggunakan metapor yang ditampilkan
diri konseli.

2. Hubungan
Menggunakan hubungan sebagai bagian yang esensial dalam proses
terapiotik. Hubungan ini harus memperlihatkan upaya menuju perubahan,
menyenangkan, positif, tidak menilai, dan mendorong kesadaran konseli.
3. Pertanyaan
Konselor menekankan evaluasi dalam perilaku total, asesmen harus berasal
dari konseli sendiri. Konselor tidak mengatakan apa yang harus dilakukan
konseli, tetapi menggunakan pertanyaan yang terstruktur dengan baik untuk
membantu konseli menilai hidupnya dan kemudian merumuskan perilakuperilaku yang perlu dan tidak perlu di ubah.
4. WDEP & SAMI2C3
Merupakan akronim dari wants (keinginan), direction (arahan), evaluasi
(penilaian), dan planing (rencana). Teknik ini digunakan untuk membantu
konseli menilai keinginan-keinginannya. Perilaku-perilakunya, dan kemudian
merumuskan rencana-rencana.
Ada dua strategi konseling realitas, yaitu membangun relasi atau
lingkungan konseling dari prosedur WDEP , yaitu :
a. Want (keinginan) : langkah mengeksplorasi keinginan yang sebenarnya dari
klien ingat pada umumnya manusia membicarakan hal-hal yang tidak
diinginkan.

Konselor

memberikan

kesempatan

kepada

klien

untuk

rnengeksplorasi tentang keinginan yang sebenarnya dan dengan bertanya


(mengajukan pertanyaan) bidang-bidang khusus yang relevan dengan
problem atau konfliknya : misalnya teman, pasangan, pekerjaan, karir,

14

kehidupan spiritual, hubungan dengan atasan dan bawahan, dan tentang


komitmennya untuk memenuhi keinginan itu.
b. Doing and Direction(melakukan dengan terarah) : langkah dimana klien
diharapkan mendeskripsikan perilaku secara menyeluruh berkenaan dengan 4
komponen perilaku, pikiran, tindakan, perasaan dan fisiologi yang terkait
dengan hal yang bersifat umum dan hal bersifat khusus. Konselor memberi
pertanyaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan dan keadaan
fisik yang dialarni untuk memahami perilaku klien secara menyeluruh dan
kesadarannya terhadap perilakunya itu.
c. Evaluation (Evaluasi): evaluasi diri klien merupakan inti terapi realitas. Klien
didorong untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku yang telah dilakukan
terkait dengan efektifitasnya dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan
membantu atau bahkan menyulitkan, ketepatan dan kemampuannya, arah dan
keterarahannya, persepsinya, dan komitmennya dalam memenuhi keinginan
serta pengaruh terhadap dirinya. Pertanyaan tentang hal- hal yang bersifat
evaluasi diri disampaikan dengan empatik, kepedulian, dan penuh perhatian
positif.
d. Planning (rencana) klien membuat rencana tindakan sebagai perilaku total
dengan bantuan konselor. Dalam membantu klien membuat rencana tindakan,
konselor mendasarkan pada kriteria tentang rencana yang efektif, yaitu :
1) Dirumuskan oleh klien sendiri,
2) Realistis atau dapat dicapai,
3) Ditindak lanjuti dengan segera,berada di bawah kontrol klien, tidak
bergantung pada orang lain tindakan bertanggung jawab.
SAMI2C3 mempersentasikan elemen-elemen yang memaksimalkan
keberhasilanya keberhasilan rencana : mudah/ sederhana (simple), dapat
dicapai (attainable), dapat diukur (measurable), segera (immedate),
melibatkan tindakan (involving), dapat dikontrol (controled), konsisten
(consistent), dan menekankan pada komitmen (committed)

15

5. Renegosiasi
Konseli tidak selalu dapat menjalankan rencana perilaku pilihanya. Jika ini
terjadi, maka konselor mengajak konseli untuk membuat rencana ulang dan
menemukan pilihan perilaku lain yang lebih mudah.
6. Intervebsi paradoks
Terinspirasi oleh Frankl (pendiri konseling Gestalt), Glasser menggunakan
paradoks untuk mendorong konseli menerima tanggung jawab bagi
perilakunya sendiri. Intetrvensi paradoksikal ini memiliki dua bentuk rerabel
atau reframe dan paradoxical pressciption.
7. Pengembangan ketrampilan
Konselor perlu membantu konseli mengembangkan ketrampilan untuk
memnuhi

kebutuhan

dan

keinginan-keinginannya

dalam

cara

yang

bertanggung jawab. Koselor dapat mengajar konseli tentang berbagai


ketrampilan seperti perilaku asertif, berfikir rasional, dan membuat rencana.
8.

Adiksi positif
Menurut Glasser, merupakan teknik yang digunakan untuk menurunkan
berbagai bentuk perilaku negatif dengan cara memberikan kesiapan atau
kekuatan mental, kreatifitas, energi dan keyakinan. Contoh : mendorong
olahraga yang teratur, menulis jurnal, bermain musik, yoga, dan meditasi.

9. Penggunakan kata kerja


Dimaksudkan untuk membantu jonseli agar mampu mengendalikan hidup
mereka sendiri dan membuat pilihan perilaku total yang positif. Daripada
mendeskripsikan koseli dengan kata-kata: marah, depresi, fobia, atau cemas
konselor perlu menggunakan kata memarahi, mendepresikan, memfobiakan,
atau mencemaskan. Ini mengimplikasikan bahwa emosi-emosi tersebut bukan
merupakan keadaan yang mati tetapi bentuk tindakan yang dapat diubah.
10. Konsekuensi natural
Konselor harus memiliki keyakinan bvahwa konseli dapat bertanggung jawab
dan karena itu dapat menerima konsekuensi dari perilakunya. Koselor tidak
perlu menerima permintaan maaf ketika konseli membuat kesalahan, tetapi
juga tidak memberikan sangsi. Alih-alih koselor lebih memusatkan pada

16

perilaku salah atau perilaku lain yang bisa membuat perbedaan sehingga
konseli tidak perlu mengalami kosekuensi negatif dari perilakunya yang tidak
bertanggung jawab.
2.8. Kelemahan Dan Kelebihan
Kelemahan:
1. Teori ini mengabaikan tentang intelegensi manusia, perbedaan individu dan
factor genetic lain.
2. Dalam konseling kurang menekankan hubungan baik antara konselor dan
konseli, hanya sekedarnya.
3. Pemberian reinforcement jika tidak tepat dapat mengakibatkan kecanduan
atau ketergantungan.
Kelebihan:
1. Asumsi mengenai tingkah laku merupakan hasil belajar.
2. Asumsi mengenai kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan dan kematangan.
3. Konseling bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru sebagai upaya
untuk memperbaiki tingkah laku malasuai.
2.9. Contoh Penerapan Kasus
Ilustrasi Kasus
Amir siswa kelas 7 SMP, dia sangat tidak disiplin sehingga dia mengalami
hambatan dalam menjalankan kewajibannya sebagai siswa disekolah. Hal ini tentu
akan berakibat pada proses belajar mengajar dan prestasi belajar Amir disekolah.
Bimbingan bagi Amir ini sangat diperlukan untuk membantu menyelesaikan
permasalahan dan agar membuat Amir dapat mengikuti proses belajar mengajar
secara baik.
Dalam hal ini, Amir diberikan bantuan dengan konseling realita dengan
menggunakan prosedur WDEP. Amir diingatkan kembali pada keinginan17

keinginannya, tujuannya, kemudian memberikan arahan-arahan merumuskan


rencana baru dan konselor memberikan pengawasan terhadap perilakunya.

18

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan
klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun
orang lain. Tujuan terapi ini ialah membantu seseorang untuk mencapai otonomi.
Teori konseling yang rasional cenderung bersifat ekletif, artinya
cenderung untuk menerima berbagai macam tekhnik. Pilihan tekhnik tersebut
biasanya berdasarkan akal sehat atau pengalaman konselor atau psikoterapi.

3.2. Saran
Bertanggung jawab merupakan usaha belajar memenuhi kebutuhan kita
dalam realita hidup, yang menghadapkan kita pada norma-norma realitas,
adat istiadat sosial, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak-gerik yang lain.
Oleh karena itu kita harus menunjukkan tingkah laku yang tepat dan menghindari
tingkah laku yang salah. Tugas kita sebagai seorang konselor membantu dalam
proses konseling untuk menilai tingkah laku klien dari sudut bertindak secara
bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling akan menjadi
pengalaman belajar menilai diri sendiri dan menggantikan tingkah laku yang
keliru dengan tingkah laku yang tepat.

19

DAFTAR PUSTAKA

Kurnanto, M.Edi. 2013. Konseling Kelompok. Bandung: Alfabeta.


Fauzan, Lutfi. 1994. Pendekatan-pendekatan Konseling Individual. Malang:
Elang Mas
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2008. Theories of Personality. Yogyakarta:
Pustaka belajar.
Corey,Gerald. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.
Belmont,CA:Brooks/Cole
https://srisugiarti05.wordpress.com/2014/05/08/konseling-realita. Diakses pada
tanggal 15 September 2015.
https://binham.wordpress.com/2012/06/22/pendekatan-realitas.

Diakses

pada

tanggal 15 September 2015.

20

LAMPIRAN

21

22

Anda mungkin juga menyukai