Anda di halaman 1dari 3

Nama : Khofifah Nahya Fauziah

NIM : 181350008
Jur/Smt/Kelas : SPI/3/A
Mata Kuliah : Semiotika Budaya
TRADISI PANJANG MULUD DI SERANG

Dalam peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, atau maulid Nabi,
masyarakat Serabg, Banten merayakannya dengan tradisi „panjang mulud‟, atau
diistilahkan juga dengan ngeropok (ada juga yang menyebut ngegropok) panjang
mulud. Ngegropok secara harfiah berarti “ngeriung” (kumpul-kumpul), atau juga
ada yang menerjemahkan sebagai ajang rebutan dari “Panjang Mulud” itu sendiri.
Sedangkan “Panjang Mulud” diartikan sebagai bentuk semacan sesajian, dalam
masyarakat Jawa dikenal juga dengan “Gunung-gunungan”. Panjang ini berisi
berbagai macam makanan, sandang, atau berbagai benda lainnya. Panjang ini ada
yang berbentuk seperti perahu atau kapal, mobil, masjid, unta, rumah, dan lain-
lain, tetapi secara umum biasanya berbentuk perahu atau kapal, kemudian dihias,
baik menggunakan kertas warna, daun kelapa muda, atau kain-kain perca. Ciri
khas dari isi Panjang adalah selalu ada telur rebus yang dimasukkan ke dalam
kantong yang terbuat dari kertas sebesar telur itu sendiri yang kemudian
digantung-gantungkan dalam rangkaian panjang. Ada yang berbentuk bunga dan
sarang burung.
Tradisi panjang mulud konon diwariskan sejak zaman Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1672). Ada juga yang berpendapat bahwa Panjang Mulud
bermula pada masa Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf (1570-1580), namun
tradisi Panjang yang melibatkan masyarakat secara massal baru dimulai ada masa
Sultan Ageng Tirtayasa. Panjang mulud adalah tempat untuk mengangkut
makanan, yang dibagikan pada perayaan Maulid atau hari lahir Nabi Muhammad
saw. Istilah atau penyebutan “panjang” ini pun punya berbagai makna. Ada yang
menterjemahkannya sebagai bentuk dari sesajian itu sendiri karena banyaknya
Panjang yang ditampilkan atau bentuk kapal yang panjang. Ada juga yang
mengartikan karena panjangnya prosesi yang harus dilalui dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.
Panjang adalah tempat menaruh makanan, pakaian, sembako, dan yang
lainnya dalam berbagai bentuk replika, mulai dari bentuk kendaraan, masjid, unta,
dan sebagainya. Dilihat dari pemaknaan awal berkembangnya, bukan hanya
menaruh makanan, tapi juga memanjangkan dan menyumbangkan hadiah berupa
makanan yang khas, seperti nasi dan lauk pauknya. Panjang-panjangan ini dihias
bermacam-macam bentuknya. Biasanya replika ini disesuaikan dengan basis mata
pencaharian masyarakatnya, kalau pun tidak, tergantung juga pada kreatifitas
masyarakat yang membuatnya. Makanan yang ditempatkan dalam replika ini
dihiasi dengan berbagai ornamen, seperti kertas warna warni, uang, dan lain
sebagainya. Panjang ini kemudian diarak keliling kampunh diiringi dengan musik
tradisional rebana sampai kemudian arak-arakan ini berakhir di masjid, alun-alun
atau kantor pemerintahan untuk disantap ramai-ramai dan dibagikan kepada warga
bahkan juga diperebutkan oleh warga.
Kelahiran panjang mulud pada awalnya menjadi alat perjuangan melawan
penjajahan kolonial sekitar tahun 1870. Saat itu, sejumlah tokoh seperti Syaikh
Nawawi, Ki Wasid, dan Syaikh Abdul Karim mengumpulkan dana perang untuk
melawan kolonial dengan mengumpulkan barang-barang yang bisa dijual.
Misalnya kelapa dan buah lainnya dan berkeliling dari satu masjid ke masjid
lainnya. Hasil penjualan tersebut selain digunakan untuk perang juga untuk
keperluan lain seperti membangun masjid. Dari keterangan di atas, panjang mulud
itu asal katanya adalah tetap panjang mulud. Artinya, pameran kreasi masyarakat
untuk sesembahan, tapi sekarang berubah menjadi panjang mulud. Seiring dengan
berjalannya waktu, bentuk Panjang Mulud kini juga mengikuti perkembangan
budaya populer. “Apapun hasil kreasi seni ini tak diharamkan, selama mengikuti
koridor.”

Anda mungkin juga menyukai