Anda di halaman 1dari 39

i

PENGARUH INTERVENSI TINDAKAN SUCTION TERHADAP


PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
DENGAN ENDOTRAKEAL TUBE DI RUANG ICU
RSUD RA KARTINI JEPARA
TAHUN 2019

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Keperawatan (S-1)

Oleh
Bustamil Fu'ad
NIM :
E520183584

Pembimbing :

1. Rusnoto, SKM., M.Kes. (Epid)

2. M. Purnomo, S.Kep., SH., MH.Kes.

JURUSAN S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

2019
ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal skripsi dengan judul “PENGARUH INTERVENSI TINDAKAN


SUCTION TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
DENGAN ENDOTRAKEAL TUBE DI RUANG ICU RSUD RA KARTINI JEPARA
TAHUN 2019”, ini telah disetujui dan diperiksa oleh Pembimbing Skripsi untuk
dipertahankan dihadapan Tim Penguji Proposal Skripsi Jurusan S-1
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kudus, pada :
Hari :
Tanggal :
Nama : Bustamil Fuad
NIM : E520183584

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Rusnoto, S.KM., M.Kes (Epid) M. Purnomo, S.Kep, SH. MH. Kes


NIDN : 0621087401 NIDN : 0624077002

Mengetahui,
Universitas Muhammadiyah Kudus
Rektor

Rusnoto, S.KM., M.Kes (Epid)


NIDN : 0621087401
iii

HALAMAN PENGESAHAN

Proposal skripsi dengan judul “PENGARUH INTERVENSI TINDAKAN


SUCTION TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
DENGAN ENDOTRAKEAL TUBE DI RUANG ICU RSUD RA KARTINI
JEPARA”, ini telah diujikan dan disahkan oleh Tim Penguji Proposal Skripsi
Jurusan S-1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kudus, pada :
Hari :
Tanggal :
Nama : Bustamil Fuad
NIM : E520183584

Penguji I Penguji II

Rusnoto, S.KM., M.Kes (Epid) Yulisetyaningrum,S.Kep.,Ners.,M.Si.Med


NIDN : 0621087401 NIDN : 0618048103

Mengetahui,
Universitas Muhammadiyah Kudus
Rektor

Rusnoto, S.KM., M.Kes (Epid)


NIDN : 0621087401
iv

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas
segala limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “PENGARUH INTERVENSI TINDAKAN
SUCTION TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
DENGAN ENDOTRAKEAL TUBE DI RUANG ICU RSUD RA KARTINI JEPARA
TAHUN 2019”. Skripsi ini disusun sebagai syarat mencapai Gelar S1
Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Kudus.
Sebagai rasa hormat dan terima kasih atas bimbingan, motivasi dan
bantuan dari semua pihak atas tersusunnya Skripsi ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Rusnoto, SKM., M.Kes (Epid), selaku rektor Universitas Muhammadiyah
Kudus dan Pembimbing Utama yang telah memberikan kesempatan dan
bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. dr. Dwi Susilowati, M.Kes. selaku direktur RSUD RA Kartini Kabupaten
Jepara.
3. Yulisetyaningrum, S.Kep.,Ns.,M.Si.Med selaku Ketua Jurusan atau Prodi
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kudus.
4. Muh Purnomo, S.Kep., MH.Kes., selaku Pembimbing Anggota Skripsi.
5. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar serta seluruh jajaran civitas akademika
Universitas Muhammadiyah Kudus.
6. Istri dan keluarga tercinta yang selalu memberikan mativasi.
7. Rekan-rekan seperjuangan S1 Keperawatan Progsus Kelas Jepara yang telah
memberikan dukungan juga motivasi hingga terselesaikannya penyusunan
skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan bimbingan kedepannya
dari berbagai pihak.

Kudus,…...............2019

Bustamil Fu'ad
NIM : E520183584
v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ............................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 5
F. Ruang lingkup Penelitian................................................................... 6
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A. Konsep Endotrakeal Tube ................................................................. 7
B. Konsep Saturasi Oksigen ................................................................. 12
C. Konsep Tindakan Suction ................................................................ 16
D. Penelitian Terkait ............................................................................. 18
E. Kerangka Teori................................................................................. 20
BAB III METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian .......................................................................... 21
B. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 21
C. Kerangka Konsep............................................................................. 22
D. Rancangan Penelitian ..................................................................... 22
E. Etika Penelitian ................................................................................ 28
F. Jadwal Penelitian ............................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian.................................................................. 5


Tabel 2.1 Patokan Ukuran ETT............................................................... 8
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ............................................... 24
vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki .......... 9
Gambar 2.2 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos ........... 10
Gambar 2.3 Laringoscopi dengan blade yang melengkung .................. 11
Gambar 2.4 Oksimetri Nadi................................................................... 12
Gambar 2.5 Mesin Suction ................................................................... 16
Gambar 2.6 Kerangka Teori................................................................... 20
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .............................................. 21
viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat izin pengambilan data awal


Lampiran 2 Surat balasan pengambilan data awal
Lampiran 3 Surat permohonan calon responden
Lampiran 4 Lembar persetujuan menjadi responden
Lampiran 5 Surat izin penelitian
Lampiran 6 Surat balasan penelitian
Lampiran 7 Jadwal penelitian
Lampiran 8 Lembar konsul
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam
nyawa dengan prognosis yang diharapkan masih reversible. ICU
menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang
fungsi-fungsi vital dengan menggunakan staf medik, staf perawat dan staf
lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut
(Kemenkes, 2013).
Kriteria pasien masuk ICU untuk prioritas 1 adalah pasien yang
merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan perawatan intensif
dengan gagal nafas yang memerlukan bantuan alat ventilasi, monitoring dan
obat-obatan vasoaktif secara kontunue. Misalnya pasien bedah
kardiotoraksik, atau pasien syock septik. Peralatan standar di ruang Intensive
Care Unit meliputi ventilasi mekanik untuk membantu usaha bernafas melalui
pipa endotrakeal atau trakeostomi serta pelalatan suction untuk membantu
membebaskan jalan nafas pasien dari sumbatan berupa secret (Kemenkes,
2013). Salah satu indikasi klinik pemasangan alat ventilasi adalah gagal
nafas (Musliha, 2015).
Kasus dengan gagal nafas harus dilakukan pemasangan
endotracheal tube (ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard"
untuk penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah
kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek
proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada
segala jenis gagal nafas (Nicholson, 2017).
Berdasarkan data 10 peringkat Penyakit Tidak Menular (PTM) yang
terfatal menyebakan kematian bedasarkan Case Fatality Rate (CFR) pada
rawat inap rumah sakit pada tahun 2010, angka kejadian gagal napas
menempati peringkat kedua yaitu sebesar 0,98% (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari buku registrasi pasien ICU RSUP Prof.

1
2

Dr. R. D.Kandou Manado mulai bulan Januari-Oktober 2013, total pasien


yang dirawat di ICU adalah sebanyak 411 pasien dan yang mengalami
kejadian gagal napas sebanyak 132 pasien (32,1%). Rata-rata pasien yang
dirawat di ICU adalah 41-42 pasien/bulan dan rata-rata yang mengalami
kejadian gagal napas adalah 13-14 pasien/bulan serta 10-11 pasien
meninggal akibat gagal napas (Kemenkes, 2013).
Penanganan untuk obstruksi jalan napas akibat akumulasi sekresi
pada Endotracheal Tube (ETT) pada pasien kritis adalah dengan melakukan
tindakan penghisapan lendir (suction) dengan memasukkan selang catheter
suction melalui hidung/mulut/Endotracheal Tube (ETT) yang bertujuan untuk
membebaskan jalan napas, mengurangi retensi sputum dan mencegah
infeksi paru. Secara umum, pasien yang terpasang ETT memiliki respon
tubuh yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing, sehingga sangat
diperlukan tindakan penghisapan lendir (suction) (Wijaya, 2015).
Suction merupakan prosedur umum di ruang perawatan intensive
pada pasien yang terpasang endotrakeal tube atau trakeostomi. Di ruang
intensive sebagian pasien mempunyai permasalahn di pernafasan yang
memerlukan bantuan ventilator mekanik dan pemasangan pipa endotrakeal,
dimana pemasangan ETT masuk sampai percabangan broncus pada saluran
nafas (Morton, 2013).
Tindakan suction endotrakeal merupakan intervensi yang sering
dilakukan oleh perawat dan vital manfaatnya untuk pasien kritis, meskipun
demikian desaturasi oksigen sering menjadi komplikasi dalam tindakan
suction endotrakeal, untuk itu perawat harus mampu meminimalkan
komplikasi yang ditimbulkan dari tindakan suction endotarakea pada pasien
yang terpasang ventilator (Hudak & Gallo, 2013). Hal yang sama dikatakan
oleh Branson (2014) bahwa manajemen sekresi pasien ventilasi mekanik
termasuk metode rutin untuk menjaga fungsi mukosiliar, serta teknik untuk
menghilangkan sekresi. Tujuan utama dari suction endotrakea adalah untuk
menghilangkan sekret, mencegah obstruksi jalan napas, atelektasis, dan
infeksi paru.
Penelitian yang dilakukan Berty, dkk di ICU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou manado tahun 2013 pada 16 pasien yang terpasang ETT dan
terdapat lendir. Setelah dilakukan tindakan suction mengalami penurunan
saturasi oksigen. Tindakan suction ETT dapat memberikan efek samping
3

antara lain terjadi penurunan kadar saturasi oksigen > 5%. Sebagian besar
responden yang mengalami penurunan kadar saturasi oksigen secara
signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir yaitu terdiagnosis
dengan penyakit pada sistem pernapasan (Berty, 2013). Komplikasi yang
mungkin muncul dari tindakan penghispaan lendir salah satunya adalah
hipoksemia/ hipoksia. Sehingga pasien yang menderita penyakit pada sistem
pernapasan akan sangat rentan mengalami penurunan nilai kadar saturasi
oksigen yang signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir, hal
tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan gagal napas (Black &
Hawk, 2014).
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan peneliti sejak bulan
November-Desember tahun 2018 diruang ICU Rumah Sakit Kartini Jepara
pada 5 pasien, 3 pasien dengan kesadaran somnolen dengan menggunakan
OPA (Oropharyngeal Airway) yang perlu dilakukan tidakan penghisapan
lendir (suction) 2 diantaranya didapatkan adanya penurunan saturasi pada
saat dilakukan penghisapan lendir (suction), 2 pasien yang terpasang ETT
dengan kesadaran soporcoma yang memerlukan tindakan pengisapan lendir
mengalami penurunan saturasi, pada saat dilakukan tindakan pengisapan
lendir terdapat penurunan saturasi 3%-5%. Oleh sebab itu, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh intervensi
tindakan penghisapan lendir (suction) terhadap perubahan kadar saturasi
oksigen pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU RSUD RA Kartini
Jepara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang tepat diambil
oleh peneliti yaitu, ”Bagaimana Pengaruh Intervensi Tindakan Suction
Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien dengan Endotrakeal
Tube di Ruang ICU RSUD RA Kartini Jepara ? ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh intervensi tindakan suction terhadap
perubahan saturasi oksigen pada pasien dengan endotrakeal tube di
ruang ICU RSUD RA Kartini Jepara.
4

2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui intervensi tindakan suction pada pasien dengan
endotrakeal tube di ruang ICU RSUD RA Kartini Jepara.
b. Mengetahui perubahan saturasi oksigen pada pasien dengan
endotrakeal tube di ruang ICU RSUD RA Kartini Jepara.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan
tentang pengaruh intervensi tindakan suction terhadap perubahan
saturasi oksigen dan juga sebagai penerapan atas ilmu yang telah
didapat selama dibangku perkuliahan.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Memberikan informasi, arahan dan gambaran serta referensi dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
3. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bacaan atau
literatur khususnya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kudus
tentang pengaruh intervensi tindakan suction terhadap perubahan
saturasi oksigen.
4. Bagi RSUD RA Kartini Jepara
Khususnya pasien yang terpasang endotrakeal tube di ruang ICU
untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan suction dan mengikuti
prosedur yang ada di Rumah Sakit RA Kartini Jepara.
5

E. Keaslian Penelitian
No Judul Tahun Penyusun Metode Hasil Perbedaan
1 Pengaruh 2014 Berty Irwin Pre Hasil yang Membahas tentang
Tindakan Kitong, Ns Eksperi diperoleh dari Pengaruh
Penghisapan Mulyadi, men penelitian ini Tindakan
Lendir Reginus dengan menunjukkan Penghisapan
Endotrakeal Malara menggu adanya Lendir Endotrakeal
Tube (ETT) nakan perbedaan Tube (ETT)
Terhadap rancang kadar saturasi Terhadap Kadar
Kadar Saturasi an oksigen Saturasi Oksigen
Oksigen Pada penelitia sebelum dan
Pasien Yang n One- sesudah
Dirawat di Group diberikan
Ruang ICU Pretest- tindakan
RSUP Prof. Posttest penghisapan
Dr. R. D. Design lender dimana
Kandou terdapat
Manado selisih nilai
kadar saturasi
oksigen
sebesar 5,174
% dan nilai p-
value =0,000
(α< 0.05)
2 Pengaruh 2015 Afif One- Berdasarkan Ada beda rata rata
Suction Muhamad group hasil uji nilai saturasi
Terhadap Nizar, Dwi pretest- normalitas oksigen sebelum
Kadar Saturasi Susi postest Shapiro-Wilk tindakan suction
Oksigen pada Haryati design dapat dengan setelah
Pasien Koma disimpulkan tindakan suction.
di Ruang ICU bahwa data Selisih saturasi
RSUD dr. terdistribusi oksigen adalah -
Moewardi normal. 1.79, artinya nilai
Surakarta Sehingga saturasi oksigen
menggunakan sebelum dilakukan
uji paired suction lebih kecil
samples T test dibanding nilai
dengan nilai saturasi oksigen
signifikasi (p) setelah dilakukan
adalah 0.000, suction.
dimana nilai
tersebut
p<0.05
3 Pengaruh 2016 Andria Metode Hasil Tidak ada
Hiperoksigena Permatasa quasi penelitian ini perbedaan
si Terhadap ri eksperi menyarankan bermakna antara
Status men pemberian Heart Rate (HR),
Oksigenasi dengan hiperoksigena Respiratory Rate
Pada Pasien pre-post si pada pasien (RR) sebelum dan
Kritis Yang without kritis yang sesudah
Dilakukan control dilakukan pemberian
Tindakan design. tindakan hiperoksigenasi
Suction suction dengan p value
Endotracheal Endotracheal 0,083 dan p value
Tubedi ICU Tube (ETT) 0,173 (p > 0,05),
RSUD Dr. untuk sedangkan ada
Soediran meningkatkan perbedaan yang
6

Mangun saturasi bermakna antara


Sumarso oksigen saturasi oksigen
(SaO2) dan (SaO⡰) sebelum
menghindari dan sesudah
terjadinya pemberian
hipoksemia. hiperoksigenasi
dengan p value
0,000 (p < 0,05).

F. Ruang Lingkup Penelitian


1. Ruang Lingkup Waktu
Proposal penelitian ini dikerjakan mulai bulan November 2018 Sampai Januari
2019.
2. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilakukan di di RSUD RA Kartini Jepara.
3. Ruang Lingkup materi
Materi dalam penelitian ini difokuskan pada Bidang Keperawatan Kritis.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Endotrakeal Tube


1. Pengertian
Menurut Morgan (2013) intubasi adalah memasukan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Pemasangan pipa endotrakeal (ET) merupakan salah satu
tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur
ventilasi mekanik. Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan
memberikan ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan
agen anestesi inhalasi pada anestesi umum (Baker, 2013).
Endotracheal tube (ETT) digunakan sebagai penghantar gas
anestesi dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi, ataupun pada
pasien dengan anestesi umum. Intubasi trakea merupakan tindakan
memasukakan pipa khusus ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Intubasi trakea
dapat pula merupakan suatu tindakan pertolongan darurat atau
penyelamatan hidup (Baker, 2013).
2. Panduan Ukuran Selang Endotracheal Tube (ETT)
Menurut Elisa (2013) ada banyak panduan yang bisa digunakan untuk
memastikan ukuran selang endotrakea yang akan dipasang.
Panduan utama yaitu berdasarkan umur pasien: ETT (diameter dalam)
(mm) = (16 = umur dalam tahun)/4
Beberapa panduan yang lain dapat digunakan yaitu:
a) Rumus Cole: ETT uncuffed (diameter dalam) (mm) = (umur dalam
tahun/4) + 4
b) Rumus Motoyama:
ETT cuffed (diameter dalam) (mm) = (umur dalam tahun/4) + 3,5
c) Rumus Khine:
ETT uncuffed (diameter dalam) (mm) = (umur dalam tahun/4) + 3
Panduan yang paling sederhana adalah jari kelingking pasien. Hasil
penelitian menunjukan bahwa diameter selang kurang lebih sama dengan
ukuran jadi kelingking (Elisa, 2013).
7
8

Tabel 2.1 Patokan Ukuran ETT

Sumber: Elisa, 2013


3. Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi
umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak
semua pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT
dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum,
intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi
dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher.
Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah
anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain (Elisa, 2013).
4. Persiapan untuk laringoskopi rigid
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan
posisi pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji
dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml.
Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran
dan katup berfungsi (Elisa, 2013).
Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi
panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi
bronkhial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan
sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas. Jika
mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk
menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke
anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu
dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun
bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena
lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra
blade, handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren
harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas
9

pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau
muntah (Morgan, 2013).
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar.
Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter
anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu
selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak
faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis
yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada
posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah
fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal (Morgan, 2013).

Gambar 2.1
ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi


rutin. Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru)
kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of
safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi.
Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face mask,
yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang
sulit.
10

Gambar 2.2
Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos

5. Intubasi Orotrakheal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan
hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju
dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade
biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi
epiglotis. Dengan blade lain, handlediangkat dan jauh dari pasien secara
tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi
harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus
berada dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik
dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan
dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran
selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon bukan
metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang
adekuat (Morgan, 2013).
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera
diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di
intratrakheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam
esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face
mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.
11

Gambar 2.3
Gambaran glotiss selama laringoscopi denganblade yang melengkung.

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon


pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya.
Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal
yang lama dapat menyebabkan suara serak pada paska operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat
dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam
ICU (Morgan, 2013).
6. Komplikasi laringoskopi dan intubasi
Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia,
hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons
fisiologi, atau malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi
slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah
ekstubasi (Baker, 2013).
Komplikasi dari intubasi selama laringoskopi dan intubasi
a. Malposisi
b. Intubasi esophagus
c. Intubasi bronchial
d. Trauma jalan nafas
e. Gigi rusak
f. Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa
g. Dislokasi mandibula
h. Hipoksia, hiperkarbi
i. Hipertensi, takikardi
12

j. Hipertensi intracranial
k. Hipertensi intraokuler
l. Laringospasme.
(Baker, 2013).

B. Konsep Saturasi Oksigen


1. Pengertian Oksigen
Oksigen adalah gas unsur kimia yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa yang muncul dalam kelimpahan yang besar di
bumi, terperangkap oleh atmosfer. Banyak orang yang akrab dengan
oksigen, karena merupakan komponen vital dari proses respirasi; tanpa
itu, sebagian besar organisme akan mati dalam beberapa menit.
Sejumlah bentuk oksigen dan senyawa yang dapat ditemukan di alam
(WHO, 2015)
2. Pengertian Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa banyak prosentase
oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Oksimetri nadi
merupakan alat noninvasif yang mengukur saturasi oksigen darah arteri
pasien yang dipasang pada ujung jari, ibu jari, hidung, daun telinga atau
dahi dan oksimetri nadi dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda
dan gejala klinis muncul (Kozier & Erb, 2013).

Gambar 2.4
Oksimetri Nadi

Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis)


saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-oksigen
dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen >10 kPa. Saturasi
oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah
oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu, hal ini dapat
13

diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode
dalam media cair.
3. Pengukuran Saturasi Oksigen
Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa
teknik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tenik yang efektif untuk
memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau
mendadak (Tarwoto, 2016). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen
antara lain :
a) Saturasi Oksigen Arteri (SaO2)
Nilai dibawah 90% menunjukan keadaan hipoksemia (yang juga
dapat disebabkan oleh anemia). Hipoksemia karena SaO2 rendah
ditandai dengan sianosis. Oksimetri nadi adalah metode
pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen
hemoglobin (SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa
menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan
salah satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan
saturasi oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi
digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan
kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan
pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama
prosedur.
b) Saturasi Oksigen Vena (SvO2)
Diukur untuk melihat berapa banyak mengkonsumsi oksigen tubuh.
Dalam perawatan klinis, SvO2 di bawah 60%, menunjukkan bahwa
tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik penyakit
terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin
jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan
gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang
diperlukan agar tetap sehat.
c) Tissue oksigen saturasi (StO2)
Dapat diukur dengan spektroskopi inframerah dekat tissue oksigen
saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi jaringan dalam
berbagai kondisi. 4. Saturasi oksigen perifer (SpO2) Adalah
estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur
dengan oksimeter pulsa.
14

4. Cara Kerja Oksimetri Nadi


Oksimetri nadi merupakan pengukuran diferensial berdasarkan
metodeabsorpsi spektofotometri yang menggunakan hukum Beer-
Lambert (Welch, 2015).
Sinar Light-emitting diodes (LED) pada fotodetector melewati
bagian tubuh pasien mengirimkan cahaya inframerah sehingga cahaya
inframerah dapat menembus jaringan tubuh. Kemudian sinyal tingkat
saturasi oksigen akan dideteksi oleh fotoreceptor sehingga presentase
saturasi oksigen dan denyut nadi dapat ditampilkan (Wilkins & Williams
L, 2014). Semakin darah teroksigenasi, semakin banyak cahaya merah
yang dilewatkan dan semakin sedikit cahay inframerah yang dilewatkan,
dengan menghitung cahaya merah dan cahaya inframerah dalam satu
kurun waktu, maka saturasi oksigen dapat dihitung (Giuliano K, 2016).
5. Nilai Normal Saturasi Oksigen
Nilai normal saturasi oksigen adalah 95% samapai 100%. Apabila
dibawahnya dapat diindikasikan sebagai hipoksemia dan perlu
penanganan lebih lanjut misalnya dengan meningkatkan terapi oksigen.
Apabila saturasi oksigen menurun drastis secara tiba-tiba maka perlu
dilakukan tindakan resusitasi (Wilkins & Williams L, 2014).
Menurut Kozier (2013) nilai saturasi oksigen diinterpretasikan
sebagai berikut :
a. SpO2 > 95%, berarti normal dan tidak membutuhkan tindakan.
b. SpO2 91%-94%, berarti masih dapat diterima tapi perlu
dipertimbangkan, kaji tempat pemeriksaan dan lakukan
penyesuaian jika perlu dan lanjutkan monitor pasien.
c. SpO2 85%-90%, berarti pasien harus ditinggikan kepala dari tempat
tidur dan stimulasi pasien bernafas dengan kaji jalan nafas dan
dorong untuk batuk, berikan oksigen sampai dengan saturasi
oksigen > 90% dan informasikan kepada dokter.
d. SpO2 < 85%, berarti memberikan oksigen 100% oksigen, posisi
pasien memfasilitasi untuk bernafas, suction jika dibutuhkan dan
beritahu dokter segera, cek catatan pengobatan yang dapat mn-
depresi pernafasan dan siapkan manual ventilasi atau pertoongan
intubasi jika kondisi memburuk.
15

Apabila SpO2 dibawah 70% keselamatan pasien terancam. Karena


oksimetri nadi hanya mengukur oksigen yang tercampur dalam darah,
sehingga kemungkinan hemoglobin mengandung substansi lain seperti
karbon monoksida yang berbahaya bagi tubuh manusia (Kozier, 2013).
6. Alat yang Digunakan dan Tempat Pengukuran
Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua
diode pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya
inframerah) pada satu sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan
cahaya merah dan inframerah melewati pembuluh darah, biasanya pada
ujung jari atau daun telinga, menuju fotodetektor pada sisi lain dari
probe (Welch, 2015).
7. Faktor yang Mempengaruhi Bacaan Saturasi
Kozier (2013) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi bacaan
saturasi :
a. Hemoglobin (Hb) Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai
Hb rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya, misalnya pada
klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas
normal.
b. Sirkulasi Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika
area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.
c. Aktivitas Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area
sensor dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.
8. Prosedur pengukuran
a. Persiapan Alat
1) Oksimetri nadi
2) Sensor probe
3) Pembersih cat kuku
b. Persiapan Pasien
1) Pada pasien dan keluarganya
2) Bersihkan tempat yang akan diukur
3) Tentukan tepat yang akan diukur
9. Pelaksanaan
a. Cuci tangan
b. Cek sirkulasi perifer dengan menggunakan teknik pengisian kapiler
c. Cek fungsi alat oksimetri nadi
16

d. Bersihkan kuku dari cat kuku atau lepaskan anting-anting bila kita
akan mengukur ditelinga
e. Bersihkan area pengukuran dengan alkohol
f. Pasang sensor probe
g. Anjurkan pasien untuk bernafas biasa
h. Tekan tombol on pada oksimetri nadi
i. Dengarkan suara atau tanda dari oksimetri nadi
j. Observasi gelombang yang ada pada oksimetri nadi
k. Yakinkan bahwa batas alarm alat sudah sesuai dengan kondisi
yang diperlukan
l. Baca dan catat hasil pengukuran
m. Bila dilakukan pemantauan yang terus menerus maka pindahkan
sensor probe tiap 2 jam
n. Bila dilakukan sesaat, lepaskan probe dan matikan
o. Cuci tangan
(Kozier, 2013).

C. Konsep Tindakan Suction


1. Pengertian
Suction ETT yaitu membersihkan sekret dari saluran
endotracheal disamping membersihkan sekret, suction juga merangsang
reflek batuk. Prosedur ini memberikan patensi jalan nafas sehingga
mengoptimalkan kembali pertukaran oksigen dan karbondioksida dan
juga mencegah pneumonia karena penumpukan sekret. Dilakukan
berulang-ulang sesuai dengan tanda-tanda penumpukan sekret dijalan
nafas pasien, prosedur suctionmenggunakan prinsip steril (Kozier,
2013).

Gambar 2.5
Mesin Suction
17

Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan nafas


dengan memakai kateter penghisap melalui nasotrakeal tube (NTT),
orotraceal tube (OTT), traceostomy tube (TT) pada saluran pernafasan
bagian atas.
2. Indikasi
Menurut Kozier (2013) indikasi dilakukannya suction ETT pada
pasien adalah bila terjadi gurgling (suara nafas berisik seperti
berkumur), cemas, susah/kurang tidur, snoring (mengorok), penurunan
tingkat kesadaran, perubahan warna kulit, penurunan saturasi oksigen,
penurunan pulse rate (nadi), irama nadi tidak teratur, respiration rate
menurun dan gangguan patensi jalan nafas.
Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami
kelainan yang dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai
akibat penghisapan melalui trakea gangguan perdarahan, edema laring,
varises esophagus, perdarahan gaster, infark miokard (Elisa, 2013).
3. Tujuan
Tujuan dilakukannya suction yaitu untuk menghilangkan sekret
yang menyumbat jalan nafas, untuk mempertahankan patensi jalan
nafas, mengambil sekret untuk pemeriksaan laboratorium, untuk
mencegah infeksi dari akumulasi cairan sekret (Kozier, 2013).
Elisa (2013) juga menjelaskan tujuan dilakukan suction
diantaranya untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi
sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi paru.
4. Efek Suction
Menurut Willkins & Williams L, (2014) efek yang dapat terjadi dari
suction yaitu hipoksemia, dispnea, kecemasan, aritmia jantung, trauma
trakhea, trauma bronkus, hipertensi, hipotensi, perdarahan, peningkatan
intra kranial.
Efek samping suction (Kozier, 2013) :
a. Penurunan saturasi oksigen: berkurang hingga 5%
b. Cairan perdarahan: terdapat darah dalam sekret suction
c. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik hingga 200 mmHg
d. Dapat terjadi hipotensi: penururnan tekanan darah sdiastolik hingga
80 mmHg
e. Takikardia: meningkatkan detak jantung hingga 150 detak/menit
18

f. Bradikardia: detak jantung hingga 50 detak/menit


g. Arrhythmia: irama denyut jantung tidak teratur.

D. Penelitian Terkait
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di ruang
perawatan ICU (Intensive Care Unit) Sentral RSUD Jombang pada bulan
Januari sampai Desember 2015 terdapat 50 pasien yang memakai ETT.
Peneliti menemukan penderita yang memakai ETT pada bulan
November–Desember 2008 sebanyak 8 pasien. Dari data tersebut
didapatkan fakta setelah selesai dilakukan penghisapan sekret ETT
terdapat 5 orang yang mengalami penurunan saturasi oksigen, padahal
seharusnya jika sekret ETT telah dihisap maka airway menjadi lebih
lancar, sehingga sirkulasi, ventilasi, perfusi dan transport gas pernafasan
ke jaringan lebih baik. Sumbatan jalan nafas dapat total dan partial.
Sumbatan jalan nafas total bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 sampai 10
detik dapat mengakibatkan hipoksia, henti nafas dan henti jantung.
Berdasar ini kita harus segera mulai memberikan penanganan
awal karena lebih banyak korban meninggal disebabkan kekurangan
oksigen daripada kelebihan oksigen. Oleh karena hipoksemia dapat
mematikan dalam waktu 3-5 menit. Sedangkan oksigen toxicity baru
menyebabkan kerusakan jaringan paru jika pemberian okisigen 100%
yang terus menerus selama 12 jam atau lebih. Sebelum suction, pasien
harus diberi oksigen yang adekuat (pre oksigenasi) sebab oksigen akan
menurun selama proses pengisapan pada pasien-pasien yang
oksigennya sudah kurang. Pre oksigen ini dapat menghindari hipoksemia
yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses suction dapat
menimbulkan hipoksemia. Keadekuatan sirkulasi, ventilasi, perfusi dan
transport gas pernafasan ke jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya perilaku. Faktor yang paling berpengaruh adalah
perilaku perawat saat melaksanakan prosedur penghisapan sekret ETT,
jika prosedur tidak sesuai dapat mengakibatkan sekret tidak bisa keluar
sehingga dapat mengakibatkan hipoksia karena oksigenasi ke jaringan
tidak adekuat akibat defisiensi penghantaran oksigen atau penggunaan
oksigen di seluler dengan tanda dan gejala gelisah, penurunan tingkat
kesadaran, peningkatan tekanan darah, frekuensi nadi dan sianosis, jika
19

tidak ditangani akan mengakibatkan kematian padahal gejala awal


terjadinya hipoksia dapat dilihat dari penurunan saturasi oksigen (FK
Unair, 2013).
Upaya yang dapat dilakukan oleh perawat adalah melakukan
tindakan suction ETT sesuai standar prosedur serta melakukan fisioterapi
nafas pada pasien, dan tidak kalah pentingnya pemantauan terhadap
peralatan yang digunakan apakah konsentrasi oksigen yang digunakan
sesuai, serta deteksi dini adanya kebocoran pipa ETT. Berdasarkan
fenomena tersebut penulis tertarik meneliti pengaruh tindakan suction 5
detik dengan 10 detik terhadap perubahan saturasi oksigen. Karena
pengetahuan tersebut dapat dijadikan masukan untuk para perawat ketika
melakukan tindakan suction pada pasien.
20

E. Kerangka Teori

Dirawat di ICU Gagal Napas


Pasien Kritis

Pemasangan
ETT

Obstruksi Jalan Napas

Sekresi Berlebihan

Tindakan
Suction

Perubahan
SPO2

Sumber :
Kozier (2013), Elisa (2013).

Keterangan:
= Diteliti

- - - - - - - - - - = Tidak Diteliti
21

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian.
Menurut Sugiyono (2013) variable penelitian di bedakan menjadi 2 macam
yaitu variabel terikat dan variabel bebas.
1. Variabel Bebas (Independent variable)
Variabel independen merupakan variable yang menjadi sebab perubahan
atau timbulnya variabel dependen. Variabel bebas dalam peneltian ini
adalah Intervensi Tindakan Suction.
2. Variabel Terikat (Dependent variable)
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
Perubahan Saturasi Oksigen.

B. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan lemah yang membutuhkan pembuktian
untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus
ditolak berdasarkan fakta atau data empiris dalam penelitian (Hidayat, 2011).
Hipotesis dalam penelitian adalah :
Ha : Ada pengaruh intervensi tindakan suction terhadap perubahan saturasi
oksigen pada pasien dengan endotrakeal tube di ruang icu RSUD RA
Kartini Jepara.
Ho : Tidak Ada pengaruh intervensi tindakan suction terhadap perubahan
saturasi oksigen pada pasien dengan endotrakeal tube di ruang icu
RSUD RA Kartini Jepara.

21
22

C. Kerangka konsep
Gambar 3.1
Kerangka konsep penelitian

Variabel independen Variabel dependen

Perubahan saturasi
Intervensi Tindakan oksigen pada pasien
Suction dengan ETT di ruang
ICU RSUD RA Kartini
Jepara

D. Rancangan Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif.
Menurut (Kasiram, 2008). Penelitian kuantitatif adalah suatu proses
menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka
sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yang menggunakan
quasi eksperimen dengan pendekatan pre and post test without control
group yaitu penelitian hanya akan melakukan intervensi pada satu
kelompok tanpa menggunakan kelompok pembanding. Hasil dari
perlakuan akan dinilai dengan cara membandingkan nilai pre test dengan
post test.
2. Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif dengan metode
“Quasi eksperimen. Quasi eksperiment adalah desain tidak mempunyai
pembatasan yang ketat terhadap randomisasi, dan pada saat yang sama
dapat mengontrol ancaman-ancaman validitas.
Rancangan penelitian ini menggunakan One grup pretest postest,
dalam rancangan ini tidak ada kelompok pembanding, rancangan ini
digunakan untuk menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah
adanya experimen (program) (Notoadmodjo, 2012).
Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut.

01 X 02
23

Keterangan :
01 : Pre test pada kelompok perlakuan/intervensi
X : Tindakan suction.
02 : Post test pada kelompok perlakuan/intervensi.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik
observasi yaitu suatu prosedur yang berencana antara lain meliputi,
melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktifitas tertentu yang ada
hubungan dengan masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Observasi
dilakukan secara obyektif, langsung dan sistematis. Pada penelitian ini
digunakan metode observasi partisipasi kegiatan pada subyek yang
diamati.
4. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Arikunto, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan ETT di
ruang ICU RSUD RA Kartini sebanyak 20 responden pada bulan Pebruari
2019 sampai dengan Maret 2019.
5. Prosedur sampel dan sampel penelitian
a. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi yang akan diteliti. Untuk tujuan generalisasi, maka
sampel harus dapat mewakili populasi (reprentative) (sugiyono, 2013).
Pengambilan sampel didasarkan pada kriteria sebagai berikut :
1. Pasien terpasang ETT
2. Pasien dilakukan tindakan suction
3. Pasien bersedia menjadi responden
Penghitungan besarnya sampel
Menurut Notoatmodjo (2012) dalam penghitungan besarnya sampel
(sample size) yang dibutuhkan untuk penelitiaan dalam skala kecil
kurang dari 10000 dapat menggunakan rumus :
𝑁
n=
(1 + 𝑁𝑒^2)
24

Keterangan :
n = number of sample (jumlah sampel)
N = total population (total seluruh populasi)
e = error population (toleransi terjadinya kesalahan lazimnya 0.1) ^2
(pangkat 2)
Maka :
26
n=
(1 + 26 × (0.1 × 0.1))
n = 20,634
Dibulatkan menjadi 20 responden
b. Teknik Sampling
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik Aksidental Sampling, menurut Sugiyono (2013) teknik
Aksidental Sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan
mengambil anggota yang ditemukan pertama kali dengan pengalaman
sesuai kasus.
Berdasarkan teknik sampling, maka besar sampel penelitian ini
adalah 20 responden.

6. Definisi Operasional, Variabel penelitian dan Skala pengukuran


Tabel 3.1
Definisi Operasional Penelitian
No Definisi Alat dan Hasil Ukur Skala
Variabel Operasional cara ukur
1 Independen
Intervensi Suatu tindakan untuk Mengguna 1. Dilakukan Nominal
tindakan membersihkan jalan kan SOP tindakan
suction nafas dengan tindakan suction
memakai kateter suction 2. Tidak
penghisap melalui dilakukan
nasotrakeal tube tindakan
(NTT), orotraceal tube suction
(OTT), traceostomy
tube (TT) pada
saluran pernafasan
bagian atas.
2 Dependen
Perubahan Ukuran seberapa Lembar 1. SpO2 > 95% Interval
saturasi banyak prosentase observasi 2. SpO2 91%-
oksigen oksigen yang mampu 94%
dibawa oleh 3. SpO2 85%-
hemoglobin 90%
4. SpO2 < 85%
25

7. Instrumen Penelitian dan Cara Penelitian


a. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti
dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik sehingga lebih mudah diolah (Notoatmodjo, 2012).
Instrumen dalam penelitian adalah menggunakan lembar
observasi, yang diisi oleh peneliti.
b. Metode pengumpulan data
Menurut Hidayat (2011) pengumpulan data adalah proses
pengumpulan karakteristik responden yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Data yang di kumpulkan meliputi ;
1) Data primer
Data primer diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur
langsung maupun penggunaan instrument (Hidayat, 2011).
2) Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang
biasanya berupa data dokumentasi dan arsip. Data penelitian ini
data sekunder diperoleh dari hasil catatan di ruang ICU RSUD RA
Kartini.
Adapun langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah ;
a) Peneliti meminta ijin penelitian dari institusi pendidikan
Universitas Muhammadiyah Kudus, dilanjutkan kepada pihak
RSUD RA Kartini.
b) Peneliti memilih sejumlah responden sebagai sampel penelitian
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
c) Peneliti melakukan pendekatan kepada calon responden yang
diharapkan bersedia bersedia menjadi responden. Peneliti
menjelaskan proedur penelitian, kemungkinan resiko, prosedur
untuk meminimalkan resiko dan hak mereka untuk
mengundurkan diri sewaktu-waktu. Klien/keluarga klien yang
bersedia menjadi responden diminta menandatangani lembar
persetujuan responden.
26

d) Peneliti menunjuk asisten penelitian (enumerator) yang


sebelumnya dilakukan persaman persepsi. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah dalam proses pengumpulan data.
e) Peneliti atau asisten yang ditunjuk melakukan suction sesuai
SOP.
f) Peneliti atau asisten melakukan pencatatan perubahan saturasi
oksigen pasien dengan endotrakeal tube.
g) Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data
dan analisis data dengan bantuan program computer.
8. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
a. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengelolaan data menurut Hidayat (2011) mengikuti
tahapan berikut :
1) Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran
data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan
pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
Kegiatan editing dilakukan terhadap hasil analisis daftar pasien
ETT dengan tindakan suction.
2) Coding
Setelah melalui editing atau disunting selanjutnya dilakukan
pengkodean atau coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
Tujuannya untuk mempermudah pada saat analisa data dan juga
pada saat memasukkan data.
3) Scoring
Scoring merupakan memberikan penilaian terhadap jawaban
dan item item yang perlu diberikan penilaian atau skore kegiatan
yang dilakukan dengan memberi score.
4) Entry Data
Entry data adalah teknik memasukan data yang telah
dikumpulkan kedalam master data base computer, kemudian
membuat distribusi frekuensi sederhana.
5) Tabulasi
27

Tabulasi merupakan pengorganisasian agar mudah dijumlah,


disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Hal ini dapat
dilakukan dengan bantuan program computer.

b. Analisa Data
1) Analisa univarat
Analisa univarat adalah analisa yang dilakukan terhadap variabel
hasil penelitian pada umumnya (Notoatmojo, 2012).
Dalam analis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentase
dengan rumus sebagai berikut ;
𝑓
P = 𝑁 × 100%

Keterangan :
P : Hasil prosentase
F : Frekuensi hasil pencapaian
N : Total Seluruh observasi
2) Analisa Bivarat
Analisa bivarat adalah analisa pada dua variabel yang diduga
mempunyai hubungan atau korelasi (Notoatmojo, 2012).
Analisa data dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh tindakan suction terhadap perubahan saturasi oksigen
pasien ETT di Ruang ICU RSUD RA Kartini yang diolah secara
statistic t-Test, yaitu dalam bentuk uji Paired t Test dengan rumus
berikut:
̅
d ̅ .√n
d
t = Sd/√n atau dapat dibuat t = Sd

Keterangan :
d : Selisih (beda) antara nilai pre dan post
n : Rata-rata dari beda antara nilai pre dengan post
Sd : Simpangan baku d
Interpretasi hasil penghitungan tersebut bila didapatkan nilai t
hitung > t table, maka Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya ada
perubahan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok
intervensi (Riwidikdo, 2008).
28

E. Etika Penelitian.
Menurut Notoadmojo (2012) masalah etika penelitian keperawatan sangat
penting karena penelitian ini berhubungan langsung dengan manusia
sehingga perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Informed consent
Informed consent merupakan lembar persetujuan yang akan diteliti agar
subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila responden tidak
bersedia maka peneliti harus menghormati hak-hak responden.
2. Tanpa Nama (Anomity)
Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak mencantumkan
nama responden dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan
data.
3. Kerahasian (Confidentiality)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasianya oleh
peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan kepada
pihak terkait dengan peneliti.

F. Jadwal Penelitian
terlampir
29

Daftar Pustaka

Arikunto, S. Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta 2013.


Afif Muhamad Nizar, Dwi Susi Haryati. 2015. Pengaruh Suction Terhadap Kadar
Saturasi Oksigen pada Pasien Koma di Ruang ICU RSUD dr. Moewardi
Surakarta.http://jurnal.poltekkessolo.ac.id/index.php/JKG/article/view/351.
Diakses pada tanggal 25 Desember 2018.
Andria Permatasari. 2016. Pengaruh Hiperoksigenasi Terhadap Status
Oksigenasi Pada Pasien Kritis Yang Dilakukan Tindakan Suction
Endotracheal Tubedi ICU RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso.
http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/33/01-gdl-andriaperm-
1610-1-andriap-l.pdf. Diakses pada tanggal 25 Desember 2018.
Berty Irwin Kitong, Ns Mulyadi, Reginus Malara. 2014. Pengaruh Tindakan
Penghisapan Lendir Endotrakeal Tube (ETT) Terhadap Kadar Saturasi
Oksigen Pada Pasien Yang Dirawat di Ruang ICU RSUP Prof. Dr. R. D.
KandouManado.https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/527
5/4788. Diakses pada tanggal 25 Desember 2018
Baker, Jeffrey J. W. 2013. The Study of Biology. United State of America:
Addison-Wesley
Black & Hawk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Buku 1. Jakarta: CV
Pentamedika.
Hidayat AA. 2011. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.
Hudak & Gallo. 2013. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.
Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian. Malang: UIN-Malang Pers.
Kozier, Barbara. 2013. Fundamental of Nursing. Calofornia : Copyright by. Addist
Asley Publishing Company.
Kozier B & Erb G. 2013. Kozier and Erb’s Techniques in Clinnical Nursing 5th
edition. New Jersey : Pearson Education.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Standar Pelayanan
Keperawatan Gawat Darurat di RS. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Morgan GE. 2013. Chronic Pain Managament. In : Clinical Anesthesiology, 5th
ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Morton G.P. 2013. Keperawatan Kritis, Edisi 2. Jakarta: EGC.
29
30

Musliha. 2015. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.


Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nicholson, R. L. 2017. Colletotrichum graminicola and anthracnose diseases of
maize and sorghum. In Colletotrichum - Biology, Pathology and Control,
pp. 186-202. Edited by J. A. Bailey & M. J. Jeger. Wallingford: CAB
International.
Riwidikdo, H. 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendekia.
Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Tarwoto. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin.
Jakarta: Trans Info Medikal.
Welch, Anthony. 2015. Thelimits of regionalism in Indonesian higher education.
Asian Education and Development Studies Vol.1 No.1, 2012 pp.24‐42.
University of Sydney, Sydney, Australia.
Williams, L & Wilkins. 2014. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih
Bahasa Paramita. Jakarta : PT. Indeks.
Wijaya, A. S. 2015. Keperawatan Medikal Bedah.Yogyakarta: Nuha Medika.
31

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai