Pematangsiantar (SIB)
Didorong kepedulian memberantas penyakit “pembunuh
berdarah dinginâ€, tuberklosis, yangmenempati urutan pertama
di RSU Dr Jasamen Saragih P Siantar, PPTI (Perkumpulan
Pemberantasan Tuberklosis Indonesia) Sumut dan P Siantar, DKK
dan RSU Dr Jasamen Saragih, sepakat menjadikan kota P Siantar
menjadi pilot proyek pemberantasan penyakit TBC melalui program
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yakni pengobatan
TB paru dengan pengawasan mempergunakan obat TB paru jangka
pendek 6 bulan.
Kesepakatan tersebut atas usulan PPTI Sumut dipimpin Ketua PPTI
Drs TH Simatupang SH SE dan Dr TM Sitorus bersama rombongan
dan PPTI Kota P Siantar dipimpin Ketua Drs Bistel Sitanggang
didampingi pengurus Marinus Ambarita BA, Adil Nasution SH, Dr
Flora Damanik, D Manullang BA dan Bulman Harianja BA pada
pertemuan dengan Kadis Kesehatan Kota Dr Ronald Saragih dan
Direktur RSU Dr Jasamen Saragih Dr Ria Novida Telambanua MKes
di ruang rapat RSU Rabu, (30/5).
Drs TH Simatupang SH SE menjelaskan, hasil Kongres PPTI 23-28
Maret 07 di Jakarta, melahirkan MoU atau nota kesepakatan antara
PPTI dengan KNCV (Koninklijeke Netherlands Centrele Vereniging)
Belanda yang merasa terpanggil untuk turut serta membantu
pemerintah Indonesia memberantas penyakit TBC dengan
memberikan bantuan teknik, dimana Indonesia menempati urut 3
terbesar penderita TBC. Pada kongres tersebut ditetapkan 4
propinsi yakni Sumatera Utara, Bengkulu, DKI, Jabar menjalin nota
kesepakatan dengan KNCV. Selanjutnya PPTI Sumut melirik Kota P
Siantar cocok menjadi pilot proyek pemberantasan penyakit TBC.
Usulan tersebut disambut baik pihak DKK maupun RSU Dr Jasamen
Saragih. Direktur RSU Dr Jasamen Saragih Dr Ria Novida
Telambanua MKes sebelum menerima tawaran tersebut
menjelaskan, penderita penyakit TBC di RSU adalah yang terbanyak
dibandingkan jenis penyakit lain seperti stroke dan jantung dan
menyebabkan kematian urut 3. Ratusan pasien terutama dari luar
kota P Siantar berobat setiap hari. Jika Indonesia menempati urutan
ketiga setelah India dan China, RSU P Siantar menempati urutan
pertama penderita TBC.
Dikatakan, penyakit pembunuh berdarah dingin ini,
“memangsa†korban yang kurang gizi, perumahan kumuh,
begadang, merokok, minum alkohol dan penderita HIV/Aids. Namun
dia optimis, penyakit yang sangat berbahaya ini dapat tuntas, jika
program DOTS dengan strategi komitmen politik, penegakan
diagnosa dengan pemeriksaan sputun di bawah mikroskop,
pemberian obat anti tuberklosis dengan paduan OAT (Obat Anti
TBC), tersedianya OAT dan berkesinambungan serta pencatatan dan
pelaporan. Kondisi yang sama juga disampaikan Kadis Kesehatan
Kota Dr Ronald Saragih. (S7/c)
PENGARUHPENYULUHANTERHADAP
PENGETAHUAN PENDERITA TB PARU
DIKABUPATENTANGERANG
The Influence of Curing Information of Tubercullosis Diseases for
Tubercullosis Patient in Tangerang District
Bambang Sukana*, Herryanto', dan Supraptini*
Abstract. Tuberculosis (TB) remains to be a national problem,
because it is the third most deadly disease
after cardiovascular and respiratory diseases in any age, and it is the
most deadly in terms of infection
illness. Curing TB using directly observed treatment short course
(DOTS) strategy is still a problem because
the lack of human resources in controlling the drugs intake from
health case facilities. The objective of the
study is to find out the unprovement of knowledge ofTB accustwes
after being given information about TB.
The study coverage is five community health centers in Tangerang
using quasi experimental design with 84
samples. The interviews are held passively with the following
criteria : BTA positive with category.
Intervention is done to the accusatives by giving information about
curing TB intensively and giving
guidance book to them. Before doing intervention, we firstly
conduct an interview to know about the
accusatives' socio economic conditions and their knowledge about
curing TB. The result of the study
reveals that the knowledge of the accusatives before being given
information and after receiving
information is very different with RR value = 3.05, meaning that TB
accusatives knowledge who have
received the information is better than those who do not received
the information.
Keywords: Knowledge, curing, information, tuberculosis
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit TB paru meru-
pakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus bam TB pam
terjadi, di mana sekitar 1/3 penderita terdapat
di sekitar puskesmas, 1/3 lagi ditemukan
pada pelayanan rumah sakit/klinik peme-
rintah dan swasta, praktek swasta, dan
sisanya belum terjangkau oleh unit pela-
yanan kesehatan. Kematian karena TB paru
diperkirakan 175.000 per tahun, di mana
penderita TB paru sebagian besar adalah
kelompok usia produktif dan sebagian besar
sosial ekonomi lemah (Ditjen PPM & PLP,
1999). Dengan Makin memburuknya keada-
an ekonomi Indonesia belakangan ini, kelom-
pok penduduk miskin bertambah banyak,
daya beli Makin menurun, kemampuan me-
menuhi kebutuhan pokok Makin berku-rang
dan dikhawatirkan keadaan ini akan memper-
buruk kondisi kesehatan masyarakat khusus-
nya penderita TB pam. Disamping program
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,
penderita TB paru juga perlu disembuhkan.
Upaya penurunan angka penderita TB
paru yang telah dilakukan oleh pihak pro-
gram hingga tahun 1995 berupa pemberian
obat yang intensif melalui puskesmas ter-
nyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena
belum adanya keseragaman dalam pengobat-
an dan sistim pencatatan pelaporan di semua
unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta sehingga monitoring pengo-
batan yang dilakukan oleh pihak program
terhadap penderita tidak berjalan dengan
baik. Hal ini terlihat dari proporsi kematian
oleh sebab TB paru telah terjadi peningkatan
dari tahun 1980, 1986, 1992, berturut-turut
8,4%, 8,6% dan 9,9% dari seluruh kematian
(SKRT, 1980, 1986, 1992). Hasil SKRT ta-
hun 1995 menunjukkan bahwa TB paru me-
rupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pemafasan pada semua golongan usia dan
nomor satu dari golongan infeksi (SKRT,
1995).
Dinas Kesehatan Kabupaten Tange-
rang merupakan salah satu dinas kesehatan
kabupaten di Propinsi Banten yang telah me-
laksanakan program pemberantasan penyakit
TB paru. Ditinjau dari segi komitmen politis
dari pengambil keputusan dan masyarakat
dinilai sudah cukup baik, dimana hal ini
terlihat adanya pihak masyarakat yang mem-
bantu dalam penyediaan obat. Paket obat
yang selalu tersedia di puskesmas, kemam-
puan petugas kesehatan da-Iam mendiagnosa
secara dini penderita TB paru yang cukup
baik, namun kasus TB paru setiap tahun tetap
*
282 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi
Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanPage 2
Abstract
PENGARUHPENYULUHANTERHADAP
PENGETAHUAN PENDERITA TB PARU
DIKABUPATENTANGERANG
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit TB paru meru-
pakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus bam TB pam
terjadi, di mana sekitar 1/3 penderita terdapat
di sekitar puskesmas, 1/3 lagi ditemukan
pada pelayanan rumah sakit/klinik peme-
rintah dan swasta, praktek swasta, dan
sisanya belum terjangkau oleh unit pela-
yanan kesehatan. Kematian karena TB paru
diperkirakan 175.000 per tahun, di mana
penderita TB paru sebagian besar adalah
kelompok usia produktif dan sebagian besar
sosial ekonomi lemah (Ditjen PPM & PLP,
1999). Dengan Makin memburuknya keada-
an ekonomi Indonesia belakangan ini, kelom-
pok penduduk miskin bertambah banyak,
daya beli Makin menurun, kemampuan me-
menuhi kebutuhan pokok Makin berku-rang
dan dikhawatirkan keadaan ini akan memper-
buruk kondisi kesehatan masyarakat khusus-
nya penderita TB pam. Disamping program
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,
penderita TB paru juga perlu disembuhkan.
Upaya penurunan angka penderita TB
paru yang telah dilakukan oleh pihak pro-
gram hingga tahun 1995 berupa pemberian
obat yang intensif melalui puskesmas ter-
nyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena
belum adanya keseragaman dalam pengobat-
an dan sistim pencatatan pelaporan di semua
unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta sehingga monitoring pengo-
batan yang dilakukan oleh pihak program
terhadap penderita tidak berjalan dengan
baik. Hal ini terlihat dari proporsi kematian
oleh sebab TB paru telah terjadi peningkatan
dari tahun 1980, 1986, 1992, berturut-turut
8,4%, 8,6% dan 9,9% dari seluruh kematian
(SKRT, 1980, 1986, 1992). Hasil SKRT ta-
hun 1995 menunjukkan bahwa TB paru me-
rupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pemafasan pada semua golongan usia dan
nomor satu dari golongan infeksi (SKRT,
1995).
Dinas Kesehatan Kabupaten Tange-
rang merupakan salah satu dinas kesehatan
kabupaten di Propinsi Banten yang telah me-
laksanakan program pemberantasan penyakit
TB paru. Ditinjau dari segi komitmen politis
dari pengambil keputusan dan masyarakat
dinilai sudah cukup baik, dimana hal ini
terlihat adanya pihak masyarakat yang mem-
bantu dalam penyediaan obat. Paket obat
yang selalu tersedia di puskesmas, kemam-
puan petugas kesehatan da-Iam mendiagnosa
secara dini penderita TB paru yang cukup
baik, namun kasus TB paru setiap tahun tetap
*
282 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi
Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanPage 2
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Penanganan TB Paru dan Strategi DOTS
(Directly Observed Therapy Shortcourse)
Hilaluddin Sembiring
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara (USU), Medan
ABSTRAK. Sampai saat ini TB paru masih tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia dan
negara berkembang lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dalam hal
penanggulangannya. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) di berbagai negara
telah terbukti dapat meningkatkan angka kesembuhan. Perlu
disebarluaskan pemahaman tentang
strategi DOTS guna mencapai sasaran yang lebih baik dalam
penanganan penyakit TB paru.
Kata kunci: TB paru, strategi DOTS
Pendahuluan
TB Paru masih menjadi masalah kesehatan di Indone- 3.
sia dan sebagian besar negara-negara di dunia. Dengan
meningkatnya penderita HIV/AIDS, kecenderungan
permasalahan TB semakin meningkat. Diperkirakan
di Indonesia terjadi 500 000 kasus baru dan 175 000 di
antaranya meninggal dunia di setiap tahunnya.1 4.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan terakhir di Indonesia yang dilakukan pada
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis masih
merupakan penyebab kematian utama, setelah
penyakit jantung dan saluran pernapasan.2
Cara pemberantasan yang telah ditempuh:3
1. Upaya pemberantasan penyakit TB paru telah
dimulai tahun 1908 pada jaman pemerintahan
Belanda oleh perkumpulan swasta Centrale 5.
Vereniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT).
Usahanya terbatas pada pengasingan penderita
dalam sanatorium dengan istirahat dan terapi diet.
2. Pada tahun 1933 perhatian baru ditujukan kepada
rakyat umum yang juga perlu dilindungi terhadap
penularan penyakit ini dengan mendirikan biro-
biro konsultasi yang ditangani oleh sebuah yayasan
Stichting Centrale Vereniging Bestrijding der
Tuberculose (SCVT). Prinsip pengobatan sanato-
rium yaitu istirahat dan terapi diet ditinggalkan,
diganti dengan tindakan aktif dengan pembedahan
terapi kolaps yang tujuannya memperpendek masa
perawatan.
Tahun 1942 pada jaman pendudukan Jepang,
aktivitas pemberantasan TB paru sebagian besar
terhenti, yang dilakukan hanya usaha kuratif
sedangkan usaha preventif tidak dilakukan karena
keadaan yang tidak mengijinkan.
Setelah Indonesia merdeka dengan bantuan
UNICEF dan WHO didirikan "Pilot Project" di
Bandung tahun 1952 yaitu: Tuberculose Demonstra-
tion and Training Programme dimana pada saat itu
pengobatan dan penyuluhan mulai dilakukan di
Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) dan
BCG Demonstration and Training Programme di mana
usaha yang dilakukan adalah vaksinasi BCG
didahului tes Mantoux.
Sejalan dengan ditemukannya OAT(Obat Anti-
Tuberkulosis), maka sanatorium tidak dibangun
lagi dan diubah menjadi rumah sakit paru-paru.
Terapi kolaps lambat laun ditinggalkan diganti
dengan pembedahan secara modern seperti reseksi,
pneumonektomi atau lobektomi. Di samping itu
sarana diagnostik lebih disempurnakan seperti
bronkoskopi, bronkografi, biopsi pleura, biopsi
transbronkial, sitologi, pemeriksaan faal paru dan
lain-lain. Indikasi rawat di rumah sakit hanya
terbatas pada kasus tertentu saja, sehingga lahirlah
pengobatan massal. Pemberantasan TB paru
Hilaluddin Sembiring: penanganan TB paru dan strategi DOTS
ditegakkan hanya atas penemuan BTA (+) (Basil
Tahan Asam Positif) secara langsung dari sputum
(dahak) penderita.
6. Pada permulaan Pelita I tahun 1969 Program
Pemberantasan TB paru dilaksanakan secara
nasional dengan vaksinasi BCG (Bacille Calmette
Guerin) terhadap anak umur 0-14 tahun secara
langsung tanpa didahului oleh tes Mantoux di
seluruh Indonesia. Pengobatan dengan panduan
OAT yang lebih efektif dan masa pengobatan yang
pendek dengan memakai Rifampisin makin
ditingkatkan pada permulaan Pelita III setelah uji
coba tahun 1975.
7. Program pemberantasan TB paru yang dilakukan
sampai sekarang adalah:
a. vaksinasi BCG
b. penemuan kasus secara pasif dan aktif
c. pengobatan dan pengobatan ulang terhadap
penderita TB
d. penyuluhan kesehatan
e. evaluasi program
Latar belakang
Pemberantasan TB paru secara Nasional di Indonesia
telah berlangsung 30 tahun sejak 1966 namun hasilnya
belum memuaskan. Penyakit tuberkulosis adalah
penyakit infeksi biasa di mana kuman penyebabnya
telah diketahui dan obat-obatan untuk mengatasinya
cukup efektif dan telah mengalami kemajuan pesat,
tetapi penanggulangan dan pemberantasannya sampai
saat ini masih belum memuaskan. Apalagi negara kita
mengalami krisis berkepanjangan dalam tahun-tahun
terakhir ini, bahkan di negara maju pun masalah ini
muncul kembali karena munculnya penyakit HTV(Human
Immuno Deficiency Virus)-AlDS(Acquired Immune Defi-
ciency Syndrome), sehingga WHO pada tahun 1993
mengumumkan "Global Emergency" terhadap TB paru.
Angka drop out yang tinggi, pengobatan yang tidak
adekuat dan resistensi terhadap OAT merupakan
kendala dalam pengobatan TB paru.4
Salah satu perbedaan penyakit lain dengan tuberkulosis
adalah kenyataan bahwa setiap kasus tuberkulosis
harus ditemukan dan diobati agar tidak menularkan
penyakitnya. Berbeda dengan penyakit lain, kasus
yang tidak diobati hanya akan memperburuk keadaan
dirinya sendiri. Sementara tuberkulosis, pada kasus yang
tidak diobati dengan baik, di samping kuman menjadi
resisten, selanjutnya dapat menular pada orang lain.
Permasalahan Pengobatan TB Paru
Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan
penyakit ini. Disamping faktor medis, faktor sosio-
ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku orang
terhadap penyakit ini, sangat mempengaruhi keberhasilan
dalam penanggulangan penyakit in.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan:
Faktor sarana
Ditentukan oleh:
1. Tersedia obat yang cukup dan kontinu
2. Dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik
3. Pemberian regimen OAT yang adekuat
Faktor penderita
Ditentukan oleh:
1. Pengetahuan penderita ynag cukup mengenai
penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya bila
tidak adekuat
2. Menjaga kondisi tubuh dengan makanan begizi,
cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum
alkohol atau merokok
3. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan
tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk
menutup mulut dengan sapu tangan, jendela
rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak
sinar matahari
4. Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena
TB adalah penyakit infeksi biasa dan dapat
disembuhkan dengan benar
5. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh
Faktor keluarga
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan
seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar
makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita
yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap
rajin berobat.
Situasi krisis berkepanjangan yang melanda negara
kita dalam tahun-tahun terakhir ini makin memperburuk
keadaan karena menurunnya status gizi sebagai akibat
krisis ekonomi menyebabkan turunnya status kekebalan
tubuh manusia, sehingga menyebabkan makin
meluasnya penyebaran penyakit itu.2
Pada saat ini telah terjadi penyebaran strain kuman
resisten majemuk (Multi-Drug Resistant Tuberculosis disingkat
MDR TB) yang menjadi kedaruratan Hot Zone di dunia
L
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 14, Januari - Maret 2001
37Page 3
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang
masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam
Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB.
Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam
menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate
untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif
adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi
prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000
penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian
(9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan
sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia
tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk
(Depkes RI, 2007).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah berhasil mencapai dan
mempertahankan angka kesembuhan sesuai dengan target global,
yaitu minimal 85% penemuan kasus TB di Indonesia pada tahun
2006 adalah 76%. Keberhasilan pengobatan TB dengan DOTS pada
tahun 2004 adalah 83% dan meningkat menjadi 91% pada tahun
2005 (Depkes RI, 2008).
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection
= ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-
2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar
dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis,
hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita
tuberkulosis. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh rendah,
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS disamping faktor
pelayanan kesehatan yang belum memadai (Sulianti, 2007)
Pasien dengan TB sering menjadi sangat lemah karena penyakit
kronis yang berkepanjangan dan kerusakan status nutrisi.
Anoreksia, penurunan berat dan malnutrisi umum terjadi pada
pasien dengan TB. Keinginan pasien untuk makan mungkin
terganggu oleh keletihan akibat batuk berat, pembentukan sputum,
nyeri dada atau status kelemahan secara umum (Smeltzer, 2001).
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse chemotherapy (DOTS) dan telah
terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis
paling efektif (cost-efective). Penerapan strategi DOTS secara baik,
disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah
berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi
DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995
(Depkes RI, 2007).
Tujuan program penanggulangan tuberkulosis adalah menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencegah, mendiagnosis dan
mengobati penyakit dengan cara yang paling baik dan ekonomis.
Alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak minum
obatnya secara teratur dalam waktu yang diharuskan. Pasien
dengan cermat diinstruksikan tentang pentingnya tindakan higienis,
termasuk perawatan mulut, menutup mulut dan hidung ketika
batuk dan bersin, membuang tisu basah dengan baik dan mencuci
tangan. Seluruh keberhasilan program tergantung dari supervisi
yang baik atas pengobatan. Idealnya pengobatan hendaknya
diobservasi langsung (yaitu pasien diawasi setiap kali minum obat),
setidaknya penting selama 2 bulan pertama. Di beberapa daerah
pedesaan, pengobatan dengan pengawasan langsung mungkin
perlu dilakukan oleh seseorang setempat yang bertanggung jawab
atau sukarelawan. Penderita hendaknya kenal orang itu, ikatan
demikian akan mengurangi kelalaian (Crofton, 2002).
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya
semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis
tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis
tunggal. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,
dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang
menjadi kuman tebal obat (resisten) (Depkes RI, 2002).
Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam
meminum obatnya yaitu obat diminum di depan seorang pengawas,
dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT).
Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam
sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata
dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat, yakni
melalui pengobatan jangka pendek (short cource) sesuai dengan
klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Taufan, 2007).
Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan
penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang
menular kesisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik
saran dan perilaku keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan
pengobatannya dan penjelasan petugas kesehatan kalau
pengobatan gagal akan diobati dari awal lagi. Oleh karena itu
pemahaman dan pengetahuan penderita memegang peranan
penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru (Ainur, 2008).
Tabel 1.1
Jumlah Suspek yang Diperiksa di Unit Puskesmas Purbaratu
No Nama Kelurahan Jumlah Suspek Jumlah yang Diobati Hasil dari
Pengobatan
Sembuh Lengkap DO Lalai Gagal Meninggal
1 Sukamenak 35 18 1 8 - - - -
2 Sukaasih 5 2 - - - - - -
3 Sukanagara 4 11 1 4 - - 1 1
4 Purbaratu 18 4 - 3 - - - -
5 Sukajaya 22 13 - 9 - - - 1
6 Singkup 13 6 - 2 2 1 - -
Jumlah 97 54 2 26 2 1 1 2
Sumber: Laporan Tahunan Puskesmas Purbaratu.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Motivasi
Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi
pasien tuberkulosis paru dengan keteraturan berobat di wilayah
kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi hubungan pengetahuan dengan keteraturan
berobat pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.
b. Mengidentifikasi hubungan sikap dengan keteraturan berobat
pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.
c. Mengidentifikasi hubungan motivasi dengan keteraturan berobat
pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Mendapatkan masukan tentang hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru dengan keteraturan berobat, berupa saran
dan harapan yang luas untuk dijadikan masukan bagi peningkatan
dan pengobatan di Puskesmas Purbaratu kota Tasikmalaya.
2. Bagi STIKes Muhammadiyah Tasikmalaya
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya
mengenai keteraturan berobat TB paru dan menjadikan acuan
penelitian selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mendapatkan
pengalaman dan mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru tentang keteraturan berobat.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk
meneliti aspek lain tentang keteraturan berobat pada pasien TB
paru.
5. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi khususnya mengenai
Tb paru tentang pentingnya pengetahuan, sikap dan motivasi
pasien Tb paru tentang keteraturan berobat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
Adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda secara garis besarnya dibagi dalam tingkatan
pengetahuan yaitu:
1. Tahu (Know)
Diartikan hanya sebagai recail (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut. Tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.
5. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu
(Notoatmodjo, 2007).
B. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi
yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-
tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005).
D. Tuberkulosis Paru
1. Pengertian dan Penyebab TBC
a. Pengertian
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2008).
Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui
inhalasi partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 mm). droplet
dikeluarkan selama batuk, tertawa, atau bersin. Nukleus yang
terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang rentan (hospes).
Sebelum infeksi pulmonari dapat terjadi, organisme yang terhirup
terlebih dahulu harus melawan mekanisme pertahanan paru dan
masuk jaringan paru (Asih, 2003).
b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk
batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
Sebagian besar komponen mycobacterium tuberculosis adalah
berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam
serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis
senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif
untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis
diantaranya:
a. Faktor ekonomi, keadaan sosial yang rendah pada umumnya
berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan karena
ketidakmampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah
kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas
semua ini akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkulosis.
b. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya
penyakit tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian kejadian
tuberkulosis menunjukakan bahwa penyakit yang bergizi normal
ditemukan kasus lebih kecil daripada status gizi kurang dan buruk.
c. Status pendidikan, latar belakang pendidikan mempengaruhi
penyebaran penyakit menular khususnya tuberkulosis. Berdasarkan
hasil penelitian mengatakan semakin rendah latar belakang
pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkulosis, hal ini faktor
terpenting dari kejadian TBC.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, TBC dapat
dipengaruhi oleh:
a. Status sosial ekonomi
b. Kepadatan penduduk
c. Status gizi
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
g. Keteraturan berobat.
(Taufan, 2008)
3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam
(TBC BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jama dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Depkes RI, 2007).
4. Resiko Penularan TBC
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinan resiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan
dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang beresiko terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI., 2007).
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas
(nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-
tempat lain).
e. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang
disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan
granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).
f. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis
paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta
loss of vascular bed / thrombosis yang dapat mengakibatkan
gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.
Gejala-gejala umum:
a. Panas badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering
kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.
b. Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak
diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat
terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat.
c. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila
proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor
labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan
sakit kepala timbul bila ada panas.
d. Gangguan menstruasi
Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru
sudah menjadi lanjut.
e. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi
toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila
proses progresif.
f. Lemah badan
Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang
tidur dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena
itu harus dianalisa dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila
dijumpai perubahan sikap dan temperamen (misalnya penderita
yang mudah tersinggung), perhatian penderita berkurang atau
menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau
penyakit yang kelihatan neurotik.
Gejala umum ini, seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia
memperoleh terapi dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya
(Retrospective Symptomatology) (Alsagaff, 2005).
2. Penemuan Pasien TBC
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien
TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan
dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.
Adapun strategi penemuan pada tuberkulosis adalah:
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang
BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
c. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost
efektif.
(Depkes RI, 2007)
3. Diagnosis TBC
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan
uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
b. Diagnosis TB ekstra paru
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi, anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
c. Indikasi pemeriksaan foto toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat
yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien
yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI., 2007).
F. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis
memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA
positif atau BTA negatif.
3) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah
diobati.
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negtif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas (misalnya proses “far advanced), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
b. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
4. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
(Depkes RI., 2007)
G. Pengobatan TB
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) (Depkes RI, 2007).
2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT
b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan
paduan OAT:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuk satu (1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan.
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid
(Z) dan Etambutol (E). obat-obat tersebut diberikan setiap hari
selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap
lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga
kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru TBC paru BTA positif
2) Penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”
3) Penderita TBC ekstra paru berat.
b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol
(E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol
(E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama
5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu
diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4
bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Tabel 2.3
Efek samping berat OAT
J. Kerangka Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian ini, maka
kerangka penelitian ini adalah:
Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
K. Hipotesa
1. Ha: Ada hubungan antara pengetahuan pasien tentang TB paru
dengan keteraturan berobat.
2. Ha: Ada hubungan antara sikap untuk melakukan pengobatan
dengan keteraturan berobat pasien TB paru.
3. Ha: Ada hubungan antara motivasi untuk melakukan pengobatan
dengan keteraturan berobat pasien TB paru.
L. Definisi Operasional
Tabel 2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Skala Alat Ukur Hasil Ukur
1 Pengetahuan Pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui pasien
seputar penyakit TB paru.
Ordinal Kuesioner Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari
rata-rata
Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
2 Sikap untuk melakukan pengobatan Sikap untuk melakukan
pengobatan adalah pendapat atau keyakinan untuk melakukan
pengobatan secara teratur. Ordinal Kuesioner Bersifat positif: SS=5,
S=4, R=3, TS=2, STS=1
Bersifat negatif: SS=1, S=2,R=3,TS=4,STS=5
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasi
dengan menggunakan metode survei dengan pendekatan cross
sectional adalah pencarian hubungan antara satu keadaan lain yang
terdapat dalam satu populasi yang sama (Azwar, 2003). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru untuk melakukan pengobatan dengan
keteraturan berobat setelah pengobatan kategori I di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
yang berbentuk pertanyaan dan pernyataan tertutup, data
dikumpulkan langsung oleh peneliti dengan cara kunjungan ke
rumah responden.
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y
n = Banyaknya subjek
X = Skor jawaban masing-masing item
Y = Skor total
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh sebuah
alat ukur, meskipun digunakan secara berulang-ulang pada subjek
yang sama atau berbeda (Danim, 2003). Sebuah alat evaluasi
dipandang reliabel (tahan uji), apabila memiliki konsistensi,
keajegan hasil. Uji reliabilitas digunakan hanya untuk menguji item
valid saja. Pada penelitian ini uji reliabilitas menggunakan rumus
Alpha sebagai berikut:
Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= Jumlah varian butir
= Varian total
Dalam penelitian ini digunakan uji validitas dan reliabilitas dengan
menggunaknan program SPSS for window. Langkah-langkah yang
dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai r tabel
b. Dari r tabel Product moment dengan tingkat signifikan 5%
didapat angka 0,444
c. Mencari r hasil
Disini r hasil tiap item bisa dilihat pada kolom correted item total
correlation.
d. Mengambil keputusan
Dasar mengambil keputusan:
1) Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel butir tersebut valid.
2) Jika r hasil negatif, serta r hasil < r tabel maka butir tersebut tidak
valid.
3) Jadi, jika r hasil > r tabel tapi berharga negatif butir tetap ditolak.
Keputusan : Dalam uji validitas ini terlihat dari 75 item pertanyaan
semuanya valid. Dimana variabel pengetahuan didapatkan nilai
alpha (r hasil) sebesar 0,9301 > 0,444 (r tabel), variabel sikap
didapatkan nilai alpha (r hasil) sebesar 0,9429 > 0,444 (r tabel), dan
variabel motivasi didapatkan nilai alpha 0,8781 > 0,444 (r tabel),
maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kuesioner sudah
reliabel.
a. Editing
Editing adalah menyeleksi data yang telah didapat dari hasil
wawancara untuk mendapatkan data yang akurat.
b. Koding
Koding adalah melakukan pengkodean data agar tidak terjadi
kekeliruan dalam melakukan tabulasi data.
1) Koding butir jawaban untuk pengetahuan dengan menggunakan
penilaian :
Nilai 1 untuk jawaban yang benar dan
Nilai 0 untuk jawaban yang salah
2) Koding butir untuk jawaban pertanyaan sikap (skala likert)
Bersikap positif : (SS=5, S=4, R=3, TS=2, STS=1)
Bersikap negatif : (SS=1, S=2, R=3, TS=4, STS=5)
3) Koding butir untuk jawaban untuk motivasi menggunakan
penilaian
Nilai 1 untuk jawaban ya dan
Nilai 0 untuk jawaban tidak
c. Tabulasi data
Tabulasi data adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga
memudahkan dalam penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk
tulisan.
d. Entri data
Entri data adalah memasukan data melalui pengolahan komputer.
2. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Analisa Univariat
Dilakukan untuk mendiskripsikan tiap variabel independent dan
variabel dependent dalam bentuk distribusi frekuensi.
1) Pengetahuan tentang penyakit TB paru
Untuk mengukur variabel pengetahuan tentang penyakit TB paru
dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan diberi
skor. Untuk setiap item yang dijawab benar diberi nilai satu (1), dan
jika salah satu jawaban tidak diisi diberi nilai nol (0). Kemudian skor
pada setiap pertanyaan yang terdiri dari 30 pernyataan dijumlahkan
sehingga didapatkan skor total dari setiap responden. Sebelum
membuat kategori terlebih dahulu dicari nilai rata-rata (cut of point)
dengan rumus :
Skor total jawaban
Mean =
Banyaknya responden
Keterangan :
X = Skor responden
= Mean skor kelompok
s = Deviasi standar skor kelompok
Kategori: a) Jika T > rata-rata skor-T = Bersikap positif (favorable)
b) Jika T < rata-rata skor-T = Besikap negatif (unfavorable)
3) Motivasi untuk melakukan pengobatan
Untuk mengukur variabel motivasi untuk melakukan pengobatan
dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan diberi
skor. Untuk setiap item yang dijawab ya diberi nilai satu (1), dan jika
salah satu jawaban tidak diberi nilai nol (0).
Kategori: : a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
4) Keteraturan berobat pasien TB paru
Untuk mengukur variabel keteraturan berobat pasien TB paru,
menggunakan data sekunder dari Puskesmas dengan melilihat
daftar dari hasil kunjungan pasien dalam pengambilan obat setelah
obat itu habis, yang diaktegorikan sebagai berikut:
Kategori: a) Teratur, jika penderita telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap.
b) Tidak teratur, jika penderita kadang-kadang berhenti minum obat
sebelum masa pengobatan selesai.
3. Analisa Bivariat
Dilakukan untuk mencari hubungan antara data variabel yaitu
variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan dengan uji chi-
square yaitu uji statistik yang digunakan untuk menguji signifikasi
dua variabel (Arikunto, 2006).
Keterangan :
x2 = Chi kuadrat
f0 = Frekuensi observasi
fh = Frekuensi harapan
Pengambilan keputusan didasarkan pada besarnya nilai yaitu bila ?
value ? 0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru untuk
melakukan pengobatan dengan keteraturan berobat pada ? : 5%,
sedangkan bila ? value > 0,05% maka Ho diterima, artinya tidak ada
hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien
tuberkulosis paru untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan
berobat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1
Data Geograpi Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
No
Nama Kelurahan Jumlah
Luas Wilayah Jarak dari Kelurahan (KM) Kepadatan Penduduk
RT RW
1 Sukamenak 43 10 134,495 0.5 39 Ha
2 Sukaasih 37 8 155,3 3 30 Ha
3 Sukanagara 42 14 206 1 34 Ha
4 Purbaratu 26 6 167,33 1 30 Ha
5 Sukajaya 29 6 80 4 62 Ha
6 Singkup 35 8 347,655 5 16 Ha
c. Strategi
Strategi untuk mewujudkan Misi Puskesmas Purbaratu adalah
sebagai berikut :
1) Audensi ke Dinas Kesehatan untuk mendukung pendirian rawat
inap dengan hasil SK Wali Kota dan terbitnya Perda sebagai payung
hukum
2) Sosialisasi ke tokoh masyarakat untuk mendukung perkembangan
Puskesmas Purbaratu dengan tempat perawatan
3) Sosialisasi pada kepala kelurahan untuk merangkul masyarakat
supaya mau menggunakan fasilitas Puskesmas sebagai pilihan
pertama
3. Tenaga Puskesmas Purbaratu
Tabel 4.2
Tenaga Kerja Puskesmas Purbaratu
B. Gambaran Khusus
1. Analisa Univariat
a. Pengetahuan
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang
TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
No Pengetahuan f %
1 Kurang dari 23,42 21 43,8
2 Lebih dari Mean 23,42 27 56,3
Jumlah 48 100
No Sikap f %
1 Negatif 22 45,8
2 Positif 26 54,2
Jumlah 48 100
No Motivasi f %
1 Kurang dari 8,81 19 39,6
2 Lebih dari 8,81 29 60,4
Jumlah 48 100
Tabel 4.5 menunjukan responden TB paru yang memiliki motivasi
kurang dari 8,81 sebanyak 19 responden (39,6%) dan motivasi lebih
dari 8,81 sebanyak 29 responden (60,4%).
d. Keteraturan Berobat
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keteraturan Berobat
tentang TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya
No Keteraturan Berobat f %
1 Tidak Teratur 17 35,4
2 Teratur 31 64,6
Jumlah 48 100
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan antara pengetahuan dengan keteraturan berobat
Tabel 4.7
Hubungan Antara Pengetahuan dengan Keteraturan Berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
D. Pembahasan
1. Hasil penelitian
a. Hubungan antara pengetahuan dengan keteraturan berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Dari tabel 4.7 dari 21 responden yang kategori pengetahuan kurang
dari 23,42 dengan melakukan pengobatan tidak teratur sebanyak 11
orang (22,9%), tidak teratur 10 orang (20,8%). Responden yang
berpengetahuan lebih dari 23,42 yang berjumlah 27 orang (56,3%),
tidak teratur sebanyak 6 orang (12,5%) dan teratur sebanyak 21
orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai ? = 0,030 yang lebih
kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak yang artinya ada hubungan
antara pengetahuan pasien TB paru dengan keteraturan berobat.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,850 artinya responden yang
memiliki pengetahuan lebih dari 23,42 mempunyai peluang 3,850
kali untuk melakukan pengobatan secara teratur dibanding dengan
responden yang memiliki pengetahuan kurang dari 23,42.
Penulis berasumsi bahwa pengetahuan tentang TB paru dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan yang memberi pengaruh positif
dalam penyembuhan, hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh
(Depkes RI, 2002) bahwa tingkat pendidikan yang relatif rendah
pada penderita TB paru menyebabkan keterbatasan informasi
tentang gejala dan pengobatan TB paru. Seperti yang dikemukakan
oleh Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo,2003).
Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan mempunyai hubungan
dengan keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini
terbukti dan diterima.
b. Hubungan antara sikap dengan keteraturan berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Dari tabel 4.8 diatas dari 22 responden yang kategori sikap negatif
terhadap ketidakaturan berobat sebanyak 12 orang (25,0%) dan
teratur 10 orang (20,8%). Kategori sikap positif yang melakukan
pengobatan tidak teratur sebanyak 5 orang (10,4%) dan teratur
sebanyak 21 orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh ? value =
0,011 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap pasien TB
paru dengan keteraturan berobat. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR = 5,040 artinya responden yang memiliki sikap positif
mempunyai peluang 5,040 kali untuk melakukan pengobatan secara
teratur dibanding dengan responden yang memiliki sikap negatif.
Hal ini sejalan dengan dengan teori yang dikemukan oleh Azwar
(2005) bahwa sikap menunjukan bagaimana perilaku atau
kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang
berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini
didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara
konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk
sikap individual. Sikap sering diperoleh dari orang lain yang paling
dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang
lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak
selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini sesuai dengan
pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang stimulus atau objek.
Karena itu adalah logis untuk mengharapkan bahwa seseorang akan
dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek.
Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung
(unfavorable) pada objek tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian sikap mempunyai hubungan dengan
keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini terbukti
dan diterima.
c. Hubungan antara motivasi dengan keteraturan berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Tabel 4.9 diatas dari 19 responden yang mempunyai motivasi
kurang dari 8,81 untuk melakukan pengobatan secara tidak teratur
sebanyak 10 orang (20,8%) dan teratur 9 orang (18,8%). Responden
yang motivasinya lebih dari 8,81 sebanyak 29 orang (60,4%) untuk
melakukan pengobatan secara tidak teratur sebanyak 7 orang
(14,6%) dan teratur 22 orang (45,8%). Hasil uji statistik diperoleh
nilai ? = 0,044 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak
yang artinya ada hubungan antara motivasi pasien TB paru dengan
keteraturan berobat. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,492
artinya responden yang memiliki motivasi lebih dari 8,81
mempunyai peluang 3,492 kali untuk melakukan pengobatan secara
teratur dibanding dengan responden yang memiliki motivasi kurang
dari 8,81.
Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan
situasi tertentu yang dihadapinya. Didalam diri seseorang terdapat
kebutuhan atau keinginan terhadap objek diluar seseorang
tersebut, kemudian bagaimana seseorang tersebut
menghubungkan antara kebutuhan dengan situasi diluar objek
dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dimaksud. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmodjo (2007) bahwa motivasi merupakan
suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang
tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai
suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati
adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut.
Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6
bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka
malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi penderita
yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan
sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara
tertaur.
Berdasarkan hasil penelitian motivasi mempunyai hubungan
dengan keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini
terbukti dan diterima.
2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mengunakan deskriptif korelasi dengan menggunakan
metode survei dengan pendekatan cross sectional dengan melihat
pencarian hubungan antara satu keadaan lain yang terdapat dalam
satu populasi yang sama. Studi cross sectional sulit untuk
menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan
efek dilakukan pada saat bersamaan (temporal relationship tidak
jelas). Akibatnya sering tidak mungkin ditentukan mana yang sebab
dan mana akibat. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek
yang mempunyai masa sakit yang panjang daripada mereka yang
mempunyai masa sakit yang pendek. Hal ini disebabkan karena
individu yang cepat sembuh atau yang cepat meninggal akan
mepunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi
ini. Bias yang terdapat dalam penelitian adalah mungkin terjadi bias
prevalens atau bias insidens karena efek suatu faktor risiko selama
selang waktu tertentu ditafsirkan sebagai efek penyakit
(Setiadi,2007).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
terstruktur. Data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap
responden berdasarkan panduan kuesioner. Dalam hal ini data yang
diperoleh lebih banyak berdasarkan subyektifitas responden.
Peneliti tidak mampu menjamin kebenaran atas jawaban yang
diberikan oleh responden.
Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini hanya
responden yang masih berada diwilayah kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dan masih mampu berkomunikasi untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti, jika ada
responden yang sudah tidak mampu, wawancara dilakukan
terhadap keluarga dekat responden.
Peneliti juga mempunyai keterbatasan dalam jumlah variabel yang
diteliti. Masih ada variabel-variabel independen yang mepunyai
hubungan dengan variabel dependen dalam penelitian ini yang
tidak diteliti karena adanya keterbatasan biaya maupun tenaga.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengetahuan pasien TB paru tentang Keteraturan Berobat di
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
Hasil penelitian didapatkan bahwa pengatahuan pasien TB paru di
Puskesmas Purbaratu yang mempunyai pengetahuan kurang dari
23,42 yaitu sebanyak 43,8% dan lebih dari 23,42 sebanyak 56,3%.
2. Sikap pasien Tb paru tentang Keteraturan Berobat di Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang
memiliki sikap negatif (unfavorable) sebanyak 45,8% dan bersikap
positif (favorable) sebanyak 54,2%,
3. Motivasi pasien TB paru untuk Berobat di Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang
memiliki motivasi kurang dari 8,81 yaitu sebanyak 39,6% dan lebih
dari 8,81 sebanyak 60,4%.
4. Responden TB paru yang melakukan pengobatan sebanyak 35,4%
termasuk kategori yang tidak teratur dan teratur 64,6%.
5. Ada hubungan antara judul Hubungan Pengetahuan, Sikap dan
Motivasi pasien TB paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Melihat dari permasalahan dilapangan maka tidak menutup
kemungkinan semakin hari jumlah penderita TB paru akan semakin
meningkat. Hal ini perlu dicegah jangan sampai sampai terjadi
peningkatan yang terus-menerus. Maka dari itu sangat perlu sekali
diberikan penjelasan, penyuluhan dan peningkatan penegetahuan
masayarakat terutama masalah yang dapat menyebabkan
terjadinya TB paru sebagai upaya preventif dan kuratif kepada
masyarakat sehingga masyarakat termotivasi untuk melakukan
pengobatan secara teratur untuk mencegah timbulnya masalah
resistensi terhadap obat.
b. Kemampuan petugas pemegang program TB paru di Puskesmas
dalam memberikan pelayanan pengobatan pada penderita TBC
paru akan lebih baik bila mengetahui pengetahuan penderita TBC
paru. Penjelasan tentang pengobatan, adanya penyuluhan, serta
bahasa yang digunakan akan bermanfaat terhadap keberhasilan
pengobatan pada penderita TBC paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan bagi
perencanaan upaya pembinaan masyarakat khususnya tentang
penegetahuan ,sikap dan motivasi yang berhubungan dengan
keteraturan berobat.
b. Tingginya angka kejadian TB paru di masyarakat maka perguruan
tinggi sebaiknya memperhatikan masyarakat sebagai wujud
pengabdian masyarakat agar dapat mengurangai angka kejadian TB
paru.
3. Bagi Peneliti
Peneliti harus dapat memanfaatkan ilmu yang telah diterima selama
menjalankan penelitian ini serta dapat mengaplikasikannya dengan
kenyataan di lapangan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
permasalahan TB paru dengan keteraturan berobat dan dapat
dijadikan sebagai acuan sumber data mengenai keteraturan berobat
pada pasien TB paru.
5. Bagi Profesi Perawat
Dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat, maka perawat harus
dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai TB paru serta
melaksanakan program pendidikan yang berkelanjutan untuk
memberikan pelayanan yang prima serta memberikan arahan atau
penyuluhan untuk memberdayakan dan mendorong masyarakat
untuk hidup sehat.
SKRIPSI
RANI SUSANTI
NIM: 105.2004.00044
DAFTAR PUSTAKA
Ainur. (2008). Kejadian Putus Berobat Penderita Tuberkulosis Paru
dengan Pendekatan DOTS. www//http: Libang.depkes.go.id (diakses
22 Maret 2008).
LAMPIRAN
Tasikmalaya, 2008
Yang menyatakan
(………………….)
SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth
Calon Responden Penelitian
Di Tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Rani Susanti
NIM : 105.2004.00044
Alamat : Jl. Bebedahan Kp.Sirnasari RT02/RW10 Tasikmalaya
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI PASIEN
TUBERKULOSIS PARU UNTUK MELAKUKAN PENGOBATAN
DENGAN KETERATURAN BEROBAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PURBARATU KOTA TASIKMALAYA
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Pekerjaan :
5. Pendidikan :
B. Pengetahuan
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi
tanda “?” pada kotak disebelah kiri jawaban yang anda pilih.
1. Apakah anda tahu tentang TB paru
Ya
Tidak
2. Apakah anda tahu tanda-tanda penyakit TBC
Ya (Batuk lebih dari tiga minggu, dahak bercampur darah, badan
lemah, nafsu makan menurun, berat badan terus menurun,
berkeringat dingin pada malam hari)
Tidak tahu
3. Menurut anda apa penyebab TB paru
Kuman/ basil
Tidak tahu
4. Apakah Anda tahu tindakan yang pertama kali dilakukan setelah
diketahui gejala penyakit TBC
Ya
Tidak tahu
5. Jika ya, tindakan yang anda lakukan adalah
Pergi ke Puskesmas
Pergi ke pelayanan kesehatan lain (praktek dokter swasta)
6. Menurut anda apa tujuan imunisasi BCG (Bacillus Calmette et
Guerin)
Mencegah penyakit TB paru
Tidak tahu
C. Sikap
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini dengan membubuhkan
tanda cek (?) pada kotak: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu
(R), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
7
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
D. Motivasi
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi
tanda “?” pada kotak disebelah kiri jawaban yang anda pilih
(jawaban boleh lebih dari satu).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan studi
potong lintang (cross-sectional study) yang bertujuan
menganalisis hubungan antara beberapa variabel yang diteliti
dengan kejadian TB paru dengan pendekatan point
time.6,7 Unit analisisnya adalah penduduk yang memanfaatkan
puskesmas Kassi-kassi sebagai tempat pelayanan
kesehatan.
Penelitian ini dilaksanakan tanggal 27 Oktober – 31 Desember 2003,
di wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi Kota
Makassar dengan pertimbangan di wilayah ini masih selalu
ditemukan kasus baru penderita TB paru.
Sampel diambil dengan cara identifikasi di buku register puskemas
Kassi-kassi dan tercatat sebagai pengunjung
puskesmas yang melakukan pemeriksaan sputum (BTA +) periode
Januari 2002 – Desember 2003. Sampel didapatkan
54 orang BTA (+) dan 136 orang BTA (-). Sampel tersebut memenuhi
pertimbangan antara lain berdomisili dalam
wilayah kerja puskesmas Kassi-kassi dan bersedia dijadikan sampel
penelitian.
Pengumpulan data :
a. Variabel dependen (TB paru) diperoleh dari buku registrasi
puskesmas dan terdiagnosa sebagai penderita TB paru
(BTA +).
b. Variabel independen (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, umur,
jenis kelamin, dan status gizi) diperoleh dengan
melakukan wawancara (kuisioner) dan pengukuran status gizi (IMT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Gambaran Univariat
Distribusi sampel/responden berdasarkan variabel penelitian
diketahui bahwa tingkat pendidikan yang cukup (tamat
SLTP) didapatkan 96 orang (50,5%) lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel/responden yang tingkat pendidikannya
kurang (tidak tamat SLTP ke bawah) 94 orang (49,4%). Variabel
pekerjaan responden didapatkan pada pekerjaan
dengan risiko tinggi (buruh/tukang jualan, sopir, pengangguran,
belum bekerja dan pensiunan/purnawirawan) didapatkan
158 orang (83%) lebih tinggi dibandingkan dengan responden pada
pekerjaan dengan risiko rendah (karyawan swasta,
pedagang dan pegawai/TNI/Polri) hanya 32 orang (16,8%). Variabel
umur didapatkan umur produktif (10 – 50 tahun)
sebanyak 148 orang (77,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan umur
tidak produktif (<10 - >50 tahun) hanya 42 orang
(22,1%). Variabel jenis kelamin responden didapatkan pada jenis
kelamin laki-laki 94 orang (49,5%) lebih rendah
dibandingkan responden pada jenis kelamin perempuan sebanyak
96 orang (50,5%). Selanjutnya untuk variabel status
gizi (IMT) didapatkan pada responden dengan status gizi (IMT)
kurang hanya 57 orang (30%) lebih rendah dibandingkan
dengan responden dengan status gizi (IMT) cukup sebanyak 133
orang (70%). Dapat dilihat pada tabel 1.
2. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan beberapa variabel independen
(tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, umur, jenis kelamin,
dan status gizi (IMT) dengan varibel dependen (kejadian TB paru),
ddapat dilihat pada tabel 2.
1. Hubungan faktor tingkat pendidikan dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=0,00
dengan p value=1,00 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan tingkat pendidikan responden
dengan kejadian TB paru.
2. Hubungan faktor jenis pekerjaan dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=3,58
dengan p value=0,05 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan jenis pekerjaan responden dengan
kejadian TB paru.
3. Hubungan faktor umur responden dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=0,31
dengan p value=0,57 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan umur responden dengan kejadian
TB paru.
4. Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=14,37
dengan p value=0,00 artinya hipotesis penelitian
diterima, interpretasi ada hubungan jenis kelamin responden
dengan kejadian TB paru.
5. Hubungan faktor status gizi (IMT) responden dengan kejadian TB
paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=13,07
dengan p value=0,00 artinya hipotesis penelitian
diterima, interpretasi ada hubungan status gizi (IMT) responden
dengan kejadian TB paru.
3. Analisis Multivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan serta kontribusi
masing-masing variabel independen terhadap variabel
dependen apabila diuji secara bersamaan. Selanjutnya pada analisis
multivariate dengan uji logistic-regressi, hanya
variabel yang bermakna diikutkan dalam analisis (variabel jenis
kelamin dan status gizi/IMT). Sedangkan variabel yang
tidak bermakna (variabel tingka pendidikan, umur, dan jenis
pekerjaan) tidak diikutkan dalam analisis.8 Analisis
multivariate dapat dilihat pada tabel 3.
Medical Faculty of Hasanuddin University
http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34Page 3