Anda di halaman 1dari 161

Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit TB Paru Dengan

Perilaku Keluarga dan Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja


Puskesmas XX.
Posted on 27 April 2009 by grahacendikia

Tuberkulosis Paru (TBC) adalah penyakit menular yang dapat


menyerang siapa saja dan dimana saja. Setiap tahunnya, WHO
memperkirakan terjadi 583.000 kasus TB baru di Indonesia dan
kematian karena TB sekitar 140.000. Mengingat penyakit TB Paru
dapat berakibat fatal, sudah seharusnya masyarakat mengetahui
dan memahami berbagai masalah dan dampak dari penyakit ini,
sehingga mereka dapat melindungi diri, keluarga dan lingkungannya
dari penyebaran penyakit ini. Hasil studi pendahuluan terhadap 10
anggota keluarga penderita TB Paru di Desa Pagak, 70% tidak
mengerti tentang gejala penyakit, 90% tidak tahu bahwa kuman TB
Paru dapat mati jika terkena sinar matahari, 80% tidak mengetahui
bahwa penyakit TB Paru memerlukan pengobatan yang lama.
Selanjutnya dari perilaku hidup sehat, 70% responden tidak biasa
menutup mulut saat batuk, 70% tidak biasa membuka ventilasi
kamar. Melihat uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang bertujuan mengetahui hubungan antara
pengetahuan tentang penyakit TB Paru dengan perilaku keluarga
penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas XX.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan populasi


keluarga penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas XX. Jumlah
sampel adalah 68 orang diambil secara purposive sampling. Metode
pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan
kuesioner yang dilakukan pada bulan Juni 2008. Data dianalisa
secara statistik rumus Product Moment.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 77,9% responden
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit TB Paru ,
82,3% responden mempunyai perilaku yang cukup dalam upaya
pencegahan penularan penyakit TB Paru , dan uji statisik Pearson
Product Moment menunjukkan nilai r = 0,402 dengan tingkat
signifikansi (P) = 0,001, yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan tentang penyakit TB Paru dengan perilaku
keluarga penderita TB Paru . Pengetahuan responden dipengaruhi
oleh faktor pendidikan dan pekerjaan, sedangkan perilaku
responden dapat dipengaruhi selain karena faktor pendidikan, juga
karena adanya motivasi untuk sembuh. Kuatnya hubungan antara
pengetahuan dan perilaku ini terjadi karena pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan menimbulkan kesadaran dan
sikap positif, sehingga terbentuk perilaku yang mendukung upaya
pencegahan penyebaran penyakit TB Paru .

Kode File : L029


File skripsi ini meliputi :
a. Halaman depan
b. Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
c. Daftar Pustaka
d. Lampiran2

Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI Tesis S2


Faktorfaktor yang berhubungan dengan ketakterpaparan informasi
penyakit Tb Paru pada masyarakat di Kabupaten Indramayu tahun
2001
Agus Budi Waluyo
Deskripsi Dokumen:
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=72957
------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku masyarakat
dalam menunjang keherhasilan program pemberantasan penyakit
TB Paru adalah melalui
penyebarluasan informasi penyakit TB Paru pada masyarakat luas.
Maka dengan demikian komunikasi
merupakan salah satu komponen yang penting dalam penyampaian
pesan yaitu komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE). Dari kenyataan yang ada ternyata sebagian besar
(56%) masyarakat di Kabupaten
lndramayu belum pernah terpapar dengan informasi penyakit TB
Paru.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan ketakterpaparan
informasi penyakit TB Paru pada masyarakat di Kabupaten
lndramayu tahun 2001, berdasarkan hasil
analisis data sekunder Survei Evaluasi Manfaat (SEM) yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) bekerjasama dengan Biro
Pusat Statistik (BPS) di Kabupaten
Indramayu tahun 2001.
Dalam penelitian ini, sebagai variabel dependen adalah
ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru
dan variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pendidikkan,
pekerjaan, pendapatan dan jarak ke
fasilitas kesehatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional study dengan populasi aktual
seluruh responden dalam Survei Evaluasi Manfaat (SEM). Jumlah
sampel yang diteliti sebanyak 3.359,
jumlah ini melewati jumlah sampel minimum yang
diperoleh dengan perhitungan. Analisis yang digunakan adalah
analisis univariat, bivariat dan
multivariat..
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau
prevalensi ketakterpaparan informasi
penyakit TB Paru cukup besar yaitu 56%. Dari 6 variabel independen
yang secara statistik bermakna
adalah faktor umur (p=0,000, OR-1,52, 95% CI: 1,249 - 1,845), jenis
kelamin (p=0,000, OR=1,32, 95%
CI: 1,140 - 1,540), pendidikkan (p=0,000, CR=4,28, 95% CI : 3,518 -
5,216), pekerjaan (p=0,000,
OR=I,47, 95% CI : 1,284 - 1,718) dan pendapatan (p 0,000, OR=1,37,
95% CI : 1,170 - 1,602).
Berdasarkan perhitungan dampak potensial, variabel yang paling
dominan adalah pendidikkan yang
memberikan kontribusi terbesar dengan ketakterpaparan informasi
penyakit TB Paru yaitu 68,4%.
Berdasarkan temuan peneliti, disarankan pertama perlu adanya
kebijakan dari Dinas Kesehatan dalam
upaya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam. Kedua perlunya
perhatian dari Dinas Kesehatan
Indramayu pentingnya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam
yang dapat menjangkau seluruh Page 2

masyarakat terutama kelompok masyarakat lanjut usia, pendidikan


rendah, pengangguran dan
pendapatan rendah, karena kelompok inilah yang mempunyai
resiko besar terhadap penularan penyakit
TB Paru. Ketiga bagi puskesmas perlu memanfaatkan jaringan
komunikasi yang ada di masyarakat
untuk menyebarluaskan informasi penyakit TB Paru. Keempat
peningkatan pendidikkan non formal
bagi masyarakat melalui kegiatan penyuluhan agar masyarakat
meningkat pengetahuannya terhadap
penyakit TB Paru.
Daftar bacaan : 41 ( 1971- 2002)

Pematangsiantar (SIB)
Didorong kepedulian memberantas penyakit “pembunuh
berdarah dingin”, tuberklosis, yangmenempati urutan pertama
di RSU Dr Jasamen Saragih P Siantar, PPTI (Perkumpulan
Pemberantasan Tuberklosis Indonesia) Sumut dan P Siantar, DKK
dan RSU Dr Jasamen Saragih, sepakat menjadikan kota P Siantar
menjadi pilot proyek pemberantasan penyakit TBC melalui program
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yakni pengobatan
TB paru dengan pengawasan mempergunakan obat TB paru jangka
pendek 6 bulan.
Kesepakatan tersebut atas usulan PPTI Sumut dipimpin Ketua PPTI
Drs TH Simatupang SH SE dan Dr TM Sitorus bersama rombongan
dan PPTI Kota P Siantar dipimpin Ketua Drs Bistel Sitanggang
didampingi pengurus Marinus Ambarita BA, Adil Nasution SH, Dr
Flora Damanik, D Manullang BA dan Bulman Harianja BA pada
pertemuan dengan Kadis Kesehatan Kota Dr Ronald Saragih dan
Direktur RSU Dr Jasamen Saragih Dr Ria Novida Telambanua MKes
di ruang rapat RSU Rabu, (30/5).
Drs TH Simatupang SH SE menjelaskan, hasil Kongres PPTI 23-28
Maret 07 di Jakarta, melahirkan MoU atau nota kesepakatan antara
PPTI dengan KNCV (Koninklijeke Netherlands Centrele Vereniging)
Belanda yang merasa terpanggil untuk turut serta membantu
pemerintah Indonesia memberantas penyakit TBC dengan
memberikan bantuan teknik, dimana Indonesia menempati urut 3
terbesar penderita TBC. Pada kongres tersebut ditetapkan 4
propinsi yakni Sumatera Utara, Bengkulu, DKI, Jabar menjalin nota
kesepakatan dengan KNCV. Selanjutnya PPTI Sumut melirik Kota P
Siantar cocok menjadi pilot proyek pemberantasan penyakit TBC.
Usulan tersebut disambut baik pihak DKK maupun RSU Dr Jasamen
Saragih. Direktur RSU Dr Jasamen Saragih Dr Ria Novida
Telambanua MKes sebelum menerima tawaran tersebut
menjelaskan, penderita penyakit TBC di RSU adalah yang terbanyak
dibandingkan jenis penyakit lain seperti stroke dan jantung dan
menyebabkan kematian urut 3. Ratusan pasien terutama dari luar
kota P Siantar berobat setiap hari. Jika Indonesia menempati urutan
ketiga setelah India dan China, RSU P Siantar menempati urutan
pertama penderita TBC.
Dikatakan, penyakit pembunuh berdarah dingin ini,
“memangsa” korban yang kurang gizi, perumahan kumuh,
begadang, merokok, minum alkohol dan penderita HIV/Aids. Namun
dia optimis, penyakit yang sangat berbahaya ini dapat tuntas, jika
program DOTS dengan strategi komitmen politik, penegakan
diagnosa dengan pemeriksaan sputun di bawah mikroskop,
pemberian obat anti tuberklosis dengan paduan OAT (Obat Anti
TBC), tersedianya OAT dan berkesinambungan serta pencatatan dan
pelaporan. Kondisi yang sama juga disampaikan Kadis Kesehatan
Kota Dr Ronald Saragih. (S7/c)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA TENTANG


TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEJADIAN TB PADA ANAK DI BALAI
BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA
MUSTANGIN, MUSTANGIN (2008) HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN
SIKAP ORANG TUA TENTANG TUBERKULOSIS PARU DENGAN
KEJADIAN TB PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA. Skripsi thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Latar belakang : Tuberkulosis Paru merupakan penyakit yang


disebabkan kuman Microbacterium Tuberkulosis. Setiap tahun ada
1,3 juta anak berumur kurang dari 15 tahun yang terinfeksi kuman
TB dan setiap tahun ada 450 ribu anak kematian anak akibat TB.
Faktor resiko tertinggi tertular penyakit TB adalah anak usia
dibawah 5 tahun, pecandu alkohol, infeksi HIV, diabetes mellitus,
penghuni rumah beramai-ramai, immunosupresi, hubungan intim
dengan orang yang memiliki sputum positif, kemiskinan dan
malnutrisi. Tujuan : Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan
sikap orang tua tentang penyakit tuberkulosis paru dengan kejadian
TB pada anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif
yang menggunakan pendekatan kuantitatif jenis korelasional untuk
menggambarkan suatu keadaan secara obyektif. Populasi penelitian
ini yakni jumlah kunjungan pasien baru anak selama tahun 2007
sebanyak 351. Sampel penelitian sebanyak 35 responden dengan
teknik pengambilan purposive sampling. Teknik pengambilan data
menggunakan kuesioner tentang pengetahuan dan sikap orang tua
tentang tuberkulosis paru, sedangkan kejadian TB pada anak
menggunakan Check list. Uji validitas menggunakan uji Pearson
Product Moment sedangkan uji reliabilitas menggunakan uji Alpha
Cronbach dan dilanjutkan dengan analisa data Chi Square. Hasil : (1)
Pengetahuan orang tua tentang penyakit tuberkulosis paru di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta menunjukkan bahwa
sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai
pengetahuan yang baik. (2) Sikap orang tua tentang penyakit
tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Surakarta sebagian besar responden dalam penelitian ini
mempunyai sikap yang cukup baik. (3) Hasil analisis menggunakan
uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dan sikap orang tua tentang
tuberkulosis paru dengan kejadian tuberkulosis paru pada anak di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas


http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol
%202/BSukana2_3.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara
otomatis pada saat menelusuri web.Page 1

PENGARUHPENYULUHANTERHADAP
PENGETAHUAN PENDERITA TB PARU
DIKABUPATENTANGERANG
The Influence of Curing Information of Tubercullosis Diseases for
Tubercullosis Patient in Tangerang District
Bambang Sukana*, Herryanto', dan Supraptini*
Abstract. Tuberculosis (TB) remains to be a national problem,
because it is the third most deadly disease
after cardiovascular and respiratory diseases in any age, and it is the
most deadly in terms of infection
illness. Curing TB using directly observed treatment short course
(DOTS) strategy is still a problem because
the lack of human resources in controlling the drugs intake from
health case facilities. The objective of the
study is to find out the unprovement of knowledge ofTB accustwes
after being given information about TB.
The study coverage is five community health centers in Tangerang
using quasi experimental design with 84
samples. The interviews are held passively with the following
criteria : BTA positive with category.
Intervention is done to the accusatives by giving information about
curing TB intensively and giving
guidance book to them. Before doing intervention, we firstly
conduct an interview to know about the
accusatives' socio economic conditions and their knowledge about
curing TB. The result of the study
reveals that the knowledge of the accusatives before being given
information and after receiving
information is very different with RR value = 3.05, meaning that TB
accusatives knowledge who have
received the information is better than those who do not received
the information.
Keywords: Knowledge, curing, information, tuberculosis
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit TB paru meru-
pakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus bam TB pam
terjadi, di mana sekitar 1/3 penderita terdapat
di sekitar puskesmas, 1/3 lagi ditemukan
pada pelayanan rumah sakit/klinik peme-
rintah dan swasta, praktek swasta, dan
sisanya belum terjangkau oleh unit pela-
yanan kesehatan. Kematian karena TB paru
diperkirakan 175.000 per tahun, di mana
penderita TB paru sebagian besar adalah
kelompok usia produktif dan sebagian besar
sosial ekonomi lemah (Ditjen PPM & PLP,
1999). Dengan Makin memburuknya keada-
an ekonomi Indonesia belakangan ini, kelom-
pok penduduk miskin bertambah banyak,
daya beli Makin menurun, kemampuan me-
menuhi kebutuhan pokok Makin berku-rang
dan dikhawatirkan keadaan ini akan memper-
buruk kondisi kesehatan masyarakat khusus-
nya penderita TB pam. Disamping program
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,
penderita TB paru juga perlu disembuhkan.
Upaya penurunan angka penderita TB
paru yang telah dilakukan oleh pihak pro-
gram hingga tahun 1995 berupa pemberian
obat yang intensif melalui puskesmas ter-
nyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena
belum adanya keseragaman dalam pengobat-
an dan sistim pencatatan pelaporan di semua
unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta sehingga monitoring pengo-
batan yang dilakukan oleh pihak program
terhadap penderita tidak berjalan dengan
baik. Hal ini terlihat dari proporsi kematian
oleh sebab TB paru telah terjadi peningkatan
dari tahun 1980, 1986, 1992, berturut-turut
8,4%, 8,6% dan 9,9% dari seluruh kematian
(SKRT, 1980, 1986, 1992). Hasil SKRT ta-
hun 1995 menunjukkan bahwa TB paru me-
rupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pemafasan pada semua golongan usia dan
nomor satu dari golongan infeksi (SKRT,
1995).
Dinas Kesehatan Kabupaten Tange-
rang merupakan salah satu dinas kesehatan
kabupaten di Propinsi Banten yang telah me-
laksanakan program pemberantasan penyakit
TB paru. Ditinjau dari segi komitmen politis
dari pengambil keputusan dan masyarakat
dinilai sudah cukup baik, dimana hal ini
terlihat adanya pihak masyarakat yang mem-
bantu dalam penyediaan obat. Paket obat
yang selalu tersedia di puskesmas, kemam-
puan petugas kesehatan da-Iam mendiagnosa
secara dini penderita TB paru yang cukup
baik, namun kasus TB paru setiap tahun tetap
*
282 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi
Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanPage 2

menunjukkan peningkatan. Keberhasilan pe-


ngobatan TB paru sangat ditentukan oleh
adanya keteraturan minum obat anti tuber-
kulosis. Hal ini dapat dicapai dengan adanya
kesadaran penderita TB paru untuk memi-
num obat secara teratur melalui upaya
peningkatan pengetahuan penderita TB paru
tentang pencegahan dan pengobatan TB paru.
Penelitian diawali dengan dilakukan-
nya penyuluhan kepada tenaga pengawas
minum obat (PMO) dan penderita TB paru
serta pemberian Buku Panduan Pengobatan
TB paru. Penyuluhan dilakukan oleh tim
peneliti dan petugas kesehatan daerah. Buku
panduan tersebut berisi tentang gejala TB
paru, mengapa diperlukan pemeriksaan da-
hak tiga kali, pentingnya minum obat secara
teratur, adanya gejala samping minum obat
anti tuberkulosis (OA T), bagaimana cara
mengatasi, dan pentingnya melakukan peme-
riksaan dahak pada akhir bulan ke - 2, ke- 5
dan ke- 6. Dengan pemberian informasi ini
diharapkan adanya peningkatan keteraturanl
keta-atan minum obat yang berdampak pada
meningkatnya angka kesembuhan yang diu-
kur secara dini dengan konversi dahak pada
akhir pengobatan > 80%.
Tujuan penelitian adalah untuk untuk menge-
tahui pengetahuan penderita TB paru tentang
pencegahan dan pengobatan TB paru sebe-
lum dan setelah dilakukan penyuluhan, serta
nagka konversi BTA
BAHAN DAN CARA
Jenis penelitian : quasi experimental
Untuk mengetahui sampai seberapa
jauh peran penyuluhan yang telah diberikan
dalam meningkatkan pengetahuan penderita
tentang pengobatan TB paru, maka dilakukan
wawancara oleh tim peneliti selama dua kali.
Wawancara pertama dilakukan sebelum pe-
nyuluh dan kedua dilakukan setelah penyu-
luhan dengan kurun waktu satu bulan setelah
penyuluhan.
Populasi dan sampel
Sebagian populasi adalah individu TB
paru baru yang datang atas ke-mauan sendiri
untuk berobat ke Puskesmas Rujukan Mi-
kroskopik (PRM) di Kabupaten Tangerang
(penemuan kasus secara pasif) sedangkan
Pengobatan TB Pam .... (Bambang Sukana, et al)
sebagai sampel adalah seluruh penderita TB
paru baru yang datang berobat pada bulan
Juni dan Juli 1999 di PRM Kabupaten
Tangerang, dengan kriteria inklusi :
penderita TB paru baru dengan BTA
positif (kategori I)
berusia dewasa (>IS tahun)
tidak menderita penyakit lain yang
mengganggu jalannya penelitian.
bersedia ikut dalam penelitian.
Puskesmas yang dijadikan obyek penelitian
yakni di Puskesmas Curug, Pakuhaji, Pasar
Kemis, Gembong dan Balaraja.
Pengumpulan data
Penemuan penderita TB paru dilaku-
kan dengan menunggu penderita yang datang
atas kemauan sendiri berobat ke puskesmas
(penemuan kasus secara pasif) dan meme-
nuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan pe
nelitian dalam kurun waktu selama 2 bulan
(Juni s.d. Juli 1999). Penderita yang datang
berobat dan bersedia untuk ikut penelitian
sebanyak 84 orang penderita sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.
Penderita TB paru yang telah bersedia ikut
dalam penelitian selanjutnya diberi informa-
si tentang penyakit TB paru. Kegiatan pem-
berian informasi dilakukan di ruang per-
temuan Puskesmas. Materi yang diberikan
berupa buku Paket Panduan Pengobatan TB
paru, buku tersebut sebelumnya telah diso-
sialisasikan kepada penderita TB paru yang
sedang berobat di Puskesmas Cempaka
Putih. Dari hasil sosialisasi, buku paket ter-
sebut cukup dimengerti dan dapat dipergu-
nakan sebagai buku panduan pengobatan TB
paru oleh mereka. Metode pemberian infor-
masi dilakukan dengan penyuluhan oleh
tenaga peneliti dan dilanjutkan dengan dis-
kusi, hingga para penderita dan tenaga-
tenaga PMO benar-benar mengerti tentang
pengobatan TB paru yang benar.
Sebelum dilakukan penyuluhan, selu-
ruh penderita diwawancara dengan menggu-
nakan kuesioner. Wawancara dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan
tentang TB paru, sikap petugas kesehatan,
dan keadaan sosial ekonomi penderita.
283Page 3

Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 3, Desember 2003 :282-289


Tabel 1.Sampel penderita TB pam di Kabupaten Tangerang tahun
1999
No.
1.
2.
3.
4.
5
Puskesmas
Balaraja
Gembong
Pasar Kemis
Cumg
Pakuhaji
J u m la h
Jumlah
20
20
19
10
15
84
Analisis data
Analisis data dilakukan
dengan
chi
square test untuk mengetahui perbedaan pe-
ngetahuan penderita TB pam antara sebelum
dilakukan penyuluhan dan setelah dilakukan
penyuluhan dan untuk mengetahui pengaruh
pengetahuan penderita TB paru terhadap
angka kesembuhan.
BASIL
Karakteristik Penderita
Karakteristik penderita meliputi jenis
kelamin, status perkawinan, status keluarga,
dan pendidikan. Jenis kelamin penderita ter-
banyak adalah laki-laki 56%, status perka-
winan terbanyak telah kawin (75%), status
keluarga yang terbanyak adalah sebagai
kepala keluarga (47,6%) dan tingkat pendi-
dikan yang terbanyak tamat SD ke bawah
(51,2%). Usia penderita yang terbanyak ber-
umur di bawah 40 tahun (57,1%). Untuk
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Status Ekonomi
Keadaan status ekonomi penderita diu-
kur dari besarnya pengeluaran
keluarga
selama 1bulan, dan pekerjaan penderita. Bi-
aya pengeluran keluarga yang dikeluarkan
terbanyak adalah > Rp. 250.000,- (83,34%).
Sedangkan pekerjaan penderita terbanyak
adalah sebagai buruh tani/nelayan (60,70%).
Untukjelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Pengetahuan Penderita Tentang TB paru
Komponen pengetahuan tentang pe-
nyakit TB pam yang ditanyakan kepada pen-
284
derita meliputi tanda dan gejala TB pam,
penyebab TB pam, cara penularannya, hal-
hal yang mempengamhi penularan dan hal-
hal yang membantu proses pengobatan hing-
ga sembuh.
Pengetahuan penderita sebelum dilaku-
kan penyuluhan adalah sebagai berikut :
hampir seluruh penderita mengetahui tanda
dan gejala TB paru (94,05%), tetapi lebih
dari 75% penderita tidak mengetahui penye-
bab TB pam (78,57%).
Pengetahuan mengenai cara penularan
TB paru, sebagian besar penderita tidak me-
ngetahuinya (88,09%). Pengetahuan tentang
hal yang mempengaruhi penularan TB paru
yang terbanyak tidak tahu (53,57%), se-
dangkan pengetahuan tentang hal-hal yang
membantu pengobatan sebagian besar sudah
tahu (60,05%). Untuk jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Pengetahuan penderita setelah dilaku-
kan penyuluhan
adalah sebagai berikut:
hampir sebagian besar penderita mengetahui
tanda dan gejala TB paru (92,9%), demikian
pula dengan penyebab TB paru hampir selu-
ruhnya mengetahui (90,5%), hal-hal yang
membantu
pengobatan
sebagian
besar
mengetahui (88,01%), lihat Tabel 5.Page 4

PengobatanTB Paru ....(BambangSukana,et af)


Tabel 2. Karakteristik penderita TB paru di Kabupaten Tangerang
tahun 1999
NoKarakteristik
lumlah
N
%
lenis kelamin
a. Laki-Iaki
47
56,0
37
44,0
Status Perkawinan
13
15,5
63
75,0
8
9,5
3.
Status Keluarga
a. Kepala Keluarga
40
47,6
24
28,6
13
IS,S
7
8,3
Pendidikan
a. Tidak Sekolah
17
20,2
26
31,0
26
31,0
10
11,9
5
6,0
Umur
a. 15 - 19
7
8,3
23
27,4
18
21,4
21
25,0
7
8,3
8
9,6
84
100
ru
di Kabupaten Tangerang tahun 1999
No.
Status Ekonomi
I.
lumlah Pengeluaran rumah
tangga
lumlah
N
%
1.
2.
3.
4.
Rp. 100.000,- - Rp. 149.000,-
Rp. 150.000,- - Rp. 199.000,-
Rp. 200.000,- - Rp. 249.000,-
2::Rp. 250.000,-
2
4
8
70
2,38
4,76
9,52
83,34
II.
Pekerjaan
1.
Pegawai Negeri
2.
Pegawai Swasta
3.
Pedagang
4.
Buruh Tani, Nelayan
5.
Sopir
lumlah
2
2,40
12
14,30
14
16,60
51
60,70
5
6,00
84
100,00
285Page 5

Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 3, Desember 2003 :282-289


Tabel 4 Pengetahuan penderita tentang TB paru sebelum dilakukan
penyuluhan
di Kabupaten Tangerang tahun 1999
Untuk memudahkan
dalam analisis
statistik terhadap dampak penyuluhan yang
telah diberikan, maka data dari Tabel 5 dan 6
dibuat score. Apabila penderita dalam menja-
wab 5 pertanyaan (1 s.d 5), 2:4 item yang
benar maka dia dianggap baik, bila < 4 item
yang benar, maka dia kurang baik. Hasil
score dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil
chi square test pengetahuan penderita TB
pam sebelum diberikan penyuluhan dan
setelah diberikan penyuluhan cukup berbeda
bermakna (p=O,OOOO).
Hasil Pemeriksaan Dahak
Untuk mengetahui hasil pengobatan
TB pam yang telah dilaksanakan, maka
dilakukan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan
dahak dilakukan selama 3 x yaitu 2 bulan se-
telah pengobatan, 5 bulan setelah pengobatan
dan 6 bulan setelah pengobatan.
Pemeriksaan
BT A dahak penderita
dilakukan oleh petugas laboratorium Puskes-
mas. Untuk lokasi yang menggunakan tenaga
Tabel 7. Hasil cross check pemeriksaan BTA di Lab. R.S.
Persahabatan
No
2
Jumlah Sampel
Hasil
yang diperiksa
Benar
Salah
10
9
6 bulan setelah
12
12
0
Jumlah
22
21
PMO dari anggota keluarga, pemeriksaan
BTA dilakukan oleh petugas laboratorium
dari Puskesmas Cumg. Sedangkan lokasi
yang menggunakan tenaga PMO dari pembi-
na kesehatan, pemeriksaan BTA dilakukan
oleh petugas laboratorium dari Puskesmas
Balaraja.
Untuk mengetahui seberapa jauh ke-
mampuan petugas laboratorium dalam mela-
kukan pemeriksaan BTA dilakukan cross
check hasil pemeriksaan
laboratorium
di
laboratorium bakteriologi R.S. Persahabatan.
Cross check dilakukan 2 kali yaitu pada
waktu pemeriksaan dahak setelah 2 bulan
pengobatan dan setelah 6 bulan pengobatan
dengan jumlah sampel yang diperiksakan
kembali sejumlah 10% dari jumlah dahak
yang diperiksa.
Dari Tabel 7 terlihat bahwa ketelitian
petugas laboratorium dalam melakukan pe-
meriksaan BTA cukup baik, hanya 10% ting-
kat kesalahannya, sedangkan hasil cross
check kedua tidak didapat kesalahan.
Hasil pemeriksaan dahak, menunjuk-
kan bahwa setelah 2 bulan pengobatan pen-
287Page 7
Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2No 3, Desember 2003 :282-289
derita yang menunjukkan hasil negatif sebe-
sar 60,7% dan positif39,3%.
Sedangkan hasil pemeriksaan dahak
setelah 5 bulan dan 6 bulan pengobatan
diperoleh angka konversi BTA 100% hasil-
nya negatif.
PEMBAHASAN
Pemberantasan
TB paru merupakan
suatu usaha yang banyak dipengaruhi bebe-
rapa faktor antara lain sikap petugas kese-
hatan dalam menangani pasien, ketersediaan
obat dan faktor penderita sendiri. Ditilik dari
upaya yang telah dilakukan oleh pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang dalam pe-
nanggulangan TB paru sudah cukup baik,
dengan ketersediaan obat yang cukup serta
sikap petugas yang siap melayani penderita
memungkinkan
upaya pemberantasan
TB
paru akan berhasil. Namun demikian upaya
ini tidak berhasil dalam menuntaskan pro-
gram pemberantasan TB paru di daerahnya,
bila penderita sendiri tidak sadar untuk
mengikuti ketentuan-ketentuan
yang harus
dilakukan dalam upaya pengobatan TB paru.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
faktor perilaku penderita ikut menentukan
dalam keberhasilan pemberantasan TB paru.
Salah satu faktor yang menentukan penderita
untuk taat berobat dan taat minum obat
secara teratur dan tuntas antara lain faktor
pengetahuan tentang pencegahan dan pengo-
batan TB paru.
Untuk meningkatkan
pengetahuan
penderita TB paru tentang pengobatan TB
paru yang intensif dan benar telah dilakukan
pemberian informasi (penyuluhan) dengan
metode dua arah kepada penderita TB paru,
dengan harapan akan terjadi peningkatan
pengetahuan penderita TB paru. Dari hasil
studi ini diperoleh hasil yang berbeda ber-
makna setelah penderita TB paru diberikan
penyuluhan, dimana pengetahuan penderita
TB paru setelah diberikan penyuluhan lebih
baik 3,05 kali dibandingkan dengan pengeta-
huan penderita TB paru sebelum mendapat
penyuluhan. Menurut Sujudi (1996), dalam
pemberantasan TB paru peran penyuluhan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada
setiap penderita/keluarga yang berobat sangat
penting agar terjadi kete-raturan berobat yang
288
optimal/tinggi. Manaf (1995) mengatakan
bahwa perlu untuk me-lengkapi penderita
dengan informasi-informasi/penyuluhan
ke-
sehatan yang cukup jelas mengenai penya-
kitnya yang dapat disembuhkan serta mem-
berikan semangat agar dapat memenuhi selu-
ruh jadwal pengobatan. Untuk keberhasilan
pengobatan/keteraturan
minum obat, maka
penyuluhan kesehatan itu sangat penting.
Dilihat dari segi pendidikan, dimana
pendidikan yang terbanyak adalah tamat SD
ke bawah (82,2%), ternyata pendidikan da-
lam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap
ketaatan mereka berobat. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan Suii-
ha (1991), dimana proporsi penderita yang
pendidikannya tinggi (61,11 %) ternyata tidak
patuh berobat. Senewe (1997) mengata-kan
bahwa hubungan antara pendidikan dan
keteraturan berobat ternyata secara statistik
tidak berbeda bermakna dengan nilai p= 0,85
(p>0,05).
Peningkatan
pengetahuan
penderita
tentang pengobatan TB paru yang didapat
dari studi ini ternyata berpengaruh terhadap
ketaatan penderita minum obat. Bila diban-
dingkan dengan hasil penelitian yang dilaku-
kan Suliha (1991), Ramonasari (1996), dan
Senewe (1997), menunjukkan bahwa faktor
pengetahuan mempunyai peran yang besar
terhadap putus berobat. Angka konversi BTA
pada bulan kedua menunjukkan pening-katan
dimana penderita yang menunjukkan hasil
negatif lebih banyak dibandingkan dengan
yang positif hal ini terjadi karena tingkat
ketaatan minum obat dan keteraturan berobat
menunjukkan hasil yang bermakna setelah
dilakukan penyuluhan. Demikian pula angka-
angka konversi dahak pada bulan kelima
menunjukkan hasil 100%.
Dari hasil studi ini menunjukkan bah-
wa dengan adanya peningkatan pengetahuan
dapat meningkatkan angka kesembuhan.
KESIMPULAN
Dari hasil studi ini mengungkapkan
hal-hal sebagai berikut :a) Pengetahuan pen-
derita TB paru tentang pencegahan dan pe-
ngobatan TB paru setelah diberikan penyu-
luhan; lebih baik dibandingkan
dengan
sebelum penyuluhan; b) Angka konversiPage 8

BTA pada akhir pengobatan menunjukkan


hasillOO%.
SARAN
Untuk keberhasilan program pembe-
rantasan TB pam di Indonesia perlu dila-
kukan : a) penyuluhan yang intensif dan ber-
kesinambungan
dengan melibatkan peran
serta masyarakat; dan b) Kinerja petugas
yang menangani pengobatan penderita TB
pam agar ditingkatkan
DAFT AR PUSTAKA
Badan Litbangkes, 1980, Survey Kesehatan Rumah
Tangga, Badan Litbang Departemen Kese-
hatan
Badan Litbangkes, 1986, Survey Kesehatan Rumah
Tangga, Badan Litbang Departemen Kese-
hatan
Badan Litbangkes, 1995, Survey Kesehatan Rumah
Tangga.
Badan Litbang Departemen
Kesehatan Dinas Kese-
hatan Kabupaten
Tangerang,
1998/1999.
Laporan Pengobatan TB paru di Kabupaten
Tangerang, 1998/1999
Pengobatan TB Pam .... (Bambang Sukana, et al)
Ditjen PPM dan PLP, 1999, Pedoman
Penyakit
Tuberkulosis dan Penanggulangannya,
Dit-
jen PPM dan PLP Departemen Kesehatan
Notoatmojo, S., 1989, Pengantar Pendidikan Kese-
hatan Masyarakat, Badan Penerbit Kesehatan
Masyarakat FKM UI
Senewe, P.L,. 1997, Laporan Penelitian Beberapa
Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan
Keteraturan
Berobat Tuberkulosis Paru di
Puskesmas
se-Kotif Depok. Jawa Barat,

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Puskesmas


Dalam Penemuan Bta (+) Tuberkolosis Paru Di Kabupaten Malang...
(88)
.
Label: Manajemen, Manajemen SDM

Tuberkulosis paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan


di seluruh belahan dunia, terutama di Negara berkembang seperti
Indonesia, sehingga pada tahun 1993 WHO telah mencanangkan
bahwa TB Paru merupakan kedaruratan global, karena sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi penyakit tersebut dan tidak
terkendali, disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular yaitu penderita yang
dalam pemeriksaan dahaknya ditemukan BTA (Basil Tahan Asam)
yang selanjutnya disebut BTA positif (Dep. Kes. RI. 2000).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan
juta penderita TB baru dengan kematian tiga juta orang. Di negara
berkembang, kematian karena TB merupakan 25% dari seluruh
kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95%
penderita TB berada di negara berkembang dan 75% penderita TB
adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). WHO menyatakan
bahwa setiap detik satu orang terinfeksi TB dan setiap sepuluh detik
satu orang meninggal karena TB. Kematian wanita karena TB sekitar
satu juta per tahun, jumlah ini melebihi kematian wanita karena
kehamilan, persalinan dan nifas. WHO (1999) menyatakan bahwa
Indonesia merupakan negara penyumbang TB terbesar ketiga
didunia setelah India dan Cina, diperkirakan setiap tahun terjadi
583.000 kasus per tahun, diantaranya ada 262.000 kasus TB
menular, dengan kematian 140.000 orang per tahun karena TB.
Penanggulangan penyakit tuberculosis di Indonesia sudah dilakukan
sejak tahun 1949, dengan mendirikan Lembaga Pemberantasan
Penyakit Paru-Paru (LP4) di Yogya, kemudian berkembang menjadi
BP4 (Balai Pemberantasan Penyakit Paru) yang tersebar di 53
tempat di seluruh Indonesia. Pada waktu itu hasil diagnosa masih
mengandalkan pemeriksaan poto rontgen, dengan melihat
kelainan/parut pada rongga paru-paru, dan hanya mengandalkan
perawatan di sanatorium. Dengan perkembangan tehnologi terjadi
perubahan metode pengobatan, setelah obat antibiotic/vaksin
ditemukan seperti Stretomicin, PAS,INH maka metode pengobatan
sanatorium ditinggalkan, diganti dengan pengobatan dan program
Imunisasi Nasional yang ditujukan kepada bayi dan anak sebelum
umur 1 tahun harus sudah harus lengkap status imunisasinya.
Pada tahun 1969 dilaksanakan Pertemuan Nasional di Ciloto, telah
dirumuskan Dasar-Dasar Penanggulangan Penyakit Paru di
Puskesmas yang meliputi kegiatan : Penemuan Penderita,
Pengobatan, Pengendalian Penderita, dan Imunisasi BCG, sejalan
dengan upaya di Indonesia, nampak nya Badan Kesehatan Dunia
(WHO) pada tahun 1993 telah merumuskan Strategi Global
Pemberantasan TBC yang efektif yang dikenal dengan Strategi DOTS
(Directly Observed Treatmen Short Course), strategi ini sangat
memuaskan, karena memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi, namun karena cakupan belum mencapai 70%, maka dampak
epidemiologis belum bisa dirasakan, oleh karena itu perlu
dipercepat dengan Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat. Pada saat ini seluruh
Puskesmas di Indonesia telah melaksanakan strategi DOTS, tetapi
Rumah Sakit, Poliklinik, Dokter Ptraktek swasta belum, masih dalam
proses pendekatan.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 1965) dinyatakan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan
pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit
infeksi. Pada tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di
lima belas propinsi dengan hasil 200-400 kasus TB per 100.000
penduduk (Dep. Kes. RI. 2000).
Jumlah penduduk Kabupaten Malang pada tahun 2004 sebesar
2.317.153 jiwa, berdasar Prevalensi Nasional, maka Angka Penderita
Baru (CDR) penyakit TB Paru tiap tahun sebesar 3.012 jiwa, dan
target nasional sebesar 70% dari penderita baru sebanyak 3.012
jiwa, target tersebut belum dapat dicapai, hasil penemuan
penderita baru (CDR) Dinas Kesehatan Kabupaten Malang tahun
2004 sebesar :16.17%, dengan kesenjangan sebesar 70% - 16.17% =
53.83%. Berdasar pencapaian sebesar 16.17%, yang merupakan
hasil kegiatan Puskesmas se Kabupaten Malang, dapat diketahui
bahwa semua Puskesmas belum dapat mencapai target sebesar
70% dari total penderita dalam wilayah kerjanya.
Besarnya masalah Program Penanggulangan TB Paru sebesar
53,83% disebabkan karena :
1. Penderita penyakit TB menganggap sakit batuk biasa, sehingga
tidak segera berobat ke Puskesmas.
2. Puskesmas belum dipercaya oleh masyarakat, dan masih
dianggap obat yang diberikan Puskesmas tidak manjur.
3. Kinerja Puskesmas belum optimal dalam upaya Penanggulangan
tuberkulosis.
4. Masih bayaknya praktek pengobatan yang belum menggunakan
strategi DOTS
5. Kemampuan Pemeritah Daerah dalam menyediakan dana sangat
terbatas.
Berdasar hal tersebut diatas, mengingat besarnya masalah yang
dihadapi program penanggulangan TB, maka penulis mengangkat
judul : “ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
PUSKESMAS DALAM PENEMUAN BTA (+) TUBERKULOSIS PARU DI
PUSKESMAS KABUPATEN MALANG “

Salah satu tujuan jangka pendek P2TB adalah terciptanya cakupan


penemuan penderita baru TB secara bertahap hingga mencapai
70% dari semua penderita TB yang diperkirakan ada pada tahun
2005. Strategi penemuan Pasive promotive case finding artinya
tenaga Kesehatan Puskesmas menunggu secara pasif datangnya
suspek ke Puskesmas, setelah Puskesmas melaksanakan
penyuluhan tentang penyakit TB pada Masyarakat. Strategi ini
dimaksudkan agar setiap penemuan penderita BTA(+) harus dapat
disembuhkan agar tidak menjadi sumber penularan baru, penderita
yang mempunyai keluhan batuk terus menerus dan berdahak
selama tiga minggu atau lebih, dengan gejala lain yang sering
dijumpai : dahak berwarna kuning kehijauan, dahak bercampur
darah, sesak nafas, dan rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan
turun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat dingin di malam hari walaupun tanpa kegiatan meriang
lebih dari sebulan dan dipastikan ada kuman TBC dalam
pemeriksaan dahak.

HomeBrowse by YearBrowse by SubjectBrowse by


Faculty/DisciplineBrowse by TypeBrowse by Author NameLogin |
Reset Password | Contact/Mail to Admin
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada
Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan
Penyakit Paru Pati)
Rusnoto, Rusnoto (2008) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai
Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati). Jurnal
Epidemiologi .

Abstract

1 Artikel Publikasi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai
Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati) Rusnoto1, Pasihan
Rahmatullah2, Ari Udiono3 Factors Related To The Incidence Of
Pulmonary Tuberculosis In Adult Age At The Clinic Of Lung Disease
(Bp4) Pati. 1 Mahasiswa Magister Epidemiologi UNDIP 2 Fakultas
Kedokteran UNDIP Bagian Penyakit Dalam 3 Program Studi Magister
Epidemiologi Program Pascasarjana UNDIP Background : Pulmonary
Tuberculosis is caused by Mycobacterium Tuberculosis. Prevalency
of Pulmonary Tuberculosis in Indonesia is 130/100.000 in 2003.
Prevalensi Pulmonary Tuberculosis clinic 0,8% from entire all
disease in Indonesia and 75% Pulmonary Tuberculosis patient is
productive age group ( 15 - 50 year) with social storey and level of
low economics. In Indonesia Pulmonary Tuberculosis represent
especial death cause third. Infection risk every year in Indonesia
among 1-2 %. New patient of Positive BTA from 2003- 2006 in BP4
Pati was 419 cases. Patient Pulmonary Tuberculosis at productive
age will generate problem early in community and also family
especially in attainment of work productivity. Obyective. To identify
the factors related to the incidence of pulmonary tuberculosis in
adult age at the clinic of lung disease (bp4) pati. Methods : The
design is Case control study. The subyek of this study consisted of
106 adult age who had been treated at clinic of lung disease (BP4 )
Pati ; consist of 53 cases and 53 control. Pulmonary Tuberculosis is
diagnosed with rontgen and positive BTA examination. In control
group was diagnosed with rontgen diagnosis and negative BTA
examination too. Data analysis were done using chi square test,
odds ratio and logistic regression test. Results : Base on multivariate
analysis, there are five variables as factors related to the incidence
of pulmonary tuberculosis at adult age that is ; dampness ( OR =
9,299 ; 95% CI : 2,286-37,835; p=0,002), ventilation ( OR = 29,994;;
95% C I : 3,388-265,505; p=0,002), History contact infection ( OR =
79,781; 95% CI: 6,076-1047,499; p=0,001), BMI ( OR = 5,113; 95% CI
: 1,364-19,165; p=0,015) and knowledge storey level ( OR = 23,021;
95% C I : 3,002-33,194; 0,001). Suggestion: an attensified TBH
control program, Tb screening, health education information
communication and healty home should be done. Keywords :
Factors related to, adult age, Pulmonary Tuberculosis. Bibliography :
23 (1983 – 2006) PENDAHULUAN Penyakit Tuberculosis (TB) paru
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan telah menginfeksi
sepertiga penduduk dunia, sehingga merupakan salah satu masalah
dunia. Kejadian TB paru di negara industri 40 tahun terakhir ini
menunjukkan angka prevalensi yang sangat kecil. Diperkirakan
terdapat 8 juta penduduk terserang TB paru dengan kematian 3 juta
per tahun dan 95% penderitanya berada di negara-negara
berkembang (WHO, 1993). TB paru di Indonesia menurut WHO
(1999 dan 2004) menunjukkan di Indonesia terdapat 583.000 kasus,
kematian 140.000 dan 13/100.000 penduduk merupakan penderita
baru. Prevalensi TB paru pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus
(256 kasus/100.000 penduduk), PDF created with pdfFactory Pro
trial version www.pdffactory.com 2 dan 46% diantaranya
merupakan kasus baru atau kasus baru meningkat 104/100.000
penduduk (DEPKES, 2002). Konsekuensi yang dapat terjadi pada
penderita TB paru yang tidak melakukan pengobatan, setelah lima
tahun menderita diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan
meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri dengan
daya tahan tubuh tinggi dan 25% lainnya sebagai "kasus kronis"
yang tetap menular (WHO, 1996). Kekhawatiran menurunnya
kualitas kesehatan manusia di dunia, akhirnya WHO tahun 1993
akhirnya mencanangkan kedaruratan global penyakit TB paru.
Kekhawatiran dan perhatian dunia semakin kentara saat muncul
epidemi HIV/AIDS, sehingga diperkirakan penderita TB paru
semakin meningkat. Genderang perang terhadap kuman
Mycobacterium tuberculosis akhirnya dilakukan berbagai program
penanggulang, termasuk di Indonesia (DEPKES, 2002). Menurut
Departemen Kesehatan RI (2001) penderita TB paru 95% berada di
negara berkembang dan 75% penderita TB paru adalah kelompok
usia produktif (15 – 50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi
rendah. Di Indonesia TB paru erupakan penyebab kematian utama
ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Risiko
penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2
%. Hal ini berarti pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, setiap
tahun diantara 100.000 penduduk, 100 (seratus) orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
menjadi penderita TB paru, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya
tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS. Di samping itu tercapainya cakupan penemuan penderita
TB paru secara bertahap dengan target sebesar 70% akan tercapai
pada tahun 2005 (DEPKES, 2002). Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) (1995) TB paru merupakan penyebab kematian nomor satu
untuk penyakit infeksi di Indonesia dan SKRT (2001), prevalensi TB
paru klinis 0,8% dari seluruh penyakit di Indonesia (DEPKES, 2002).
Penemuan penderita TB paru menurut Profil kesehatan Jawa
Tengah tahun 2002 sebesar 8.648 penderita dengan angka
penemuan penderita (CDR) 22%. Penemuan penderita BTA positif
tahun 2003 sebanyak 10.390 penderita yang dilaporkan dari 35
Kabupaten / Kota, 11 BP4 dan 1 Rumah Sakit Paru dengan angka
penemuan penderita (CDR) 28,5% dan ditemukan jumlah penderita
baru BTA positif 39.061 kasus. Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1.742 kasus (Dinkes
Propinsi Jateng, 2002). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pati
tahun 2005 kasus TB paru baru ditemukan 254 kasus dengan (CDR)
26,19 % dan tahun 2006 sampai dengan triwulan ketiga sebanyak
171 kasus dengan (CDR) 13,05 % (DKK Pati, 2006). Penyakit TB paru
sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah mendapatkan
infeksi primer pada waktu kecil dan tidak ditangani dengan baik.
Morbiditas TB paru terutama akibat keterlambatan pengobatan,
tidak terdeteksi secara dini, tidak mendapatkan informasi
pencegahan yang tepat dan memadai (Miller, 1982). Faktor-faktor
yang erat hubungannya dengan kejadian TB paru adalah adanya
sumber penularan, riwayat kontak penderita, tingkat sosial
ekonomi, tingkat paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah
berkaitan dengan genetik, keadaan gizi, faktor faali, usia, nutrisi,
imunisasi, keadaan perumahan meliputi (suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan PDF created with pdfFactory Pro trial version
www.pdffactory.com 3 dalam rumah, kelembaban rumah,
kepadatan penghuni dan lingkungan sekitar rumah ) dan pekerjaan
(Amir dan Alsegaf, 1989). Lamanya perlindungan akibat vaksin BCG
merupakan perdebatan, pengalaman dari suatu pengkajian
berpendapat 7-12 tahun hingga 50 tahun setelah pengembangan
vaksin ( Nelson, 1992). Hasil penelitian dengan kohort, case control
dan meta analisis serta eksperimen yang terseleksi bahwa vaksin
BCG mempunyai efektifitas sekitar 50% dalam mencegah TB paru,
biasanya tidak menetap lama dan bervariasi dari strain satu kestrain
lainnya (Colditz, 1993). Kontak yang berlebihan dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis adalah kontak yang berlangsung terus
menerus selama 3 bulan atau lebih . Masalah kontak ini terutama
dilihat dari kebiasaan penderita yang kurang baik dalam
pengeloalan ludah / sekret, kepadatan penghuni dan kondisi
perumahan rakyat pada umumnya kurang memenuhi syarat (Bloom
Barry, 1994), Menurut cakupan Penderita baru BTA positif dari
2003-2006 di BP4 Pati tahun 2003 – 2006 jumlah penderita TB paru
419 kasus baru. Tujuan untuk mengetahui faktor– faktor yang
berhubungan dengan kejadian TB paru pada usia dewasa. METODE
PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
observasional dengan rancangan kasus kontrol. Desain ini dipilih
dengan pertimbangan dapat digunakan untuk mencari hubungan
seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit atau
kelainan tertentu. 8 Pada penelitian ini populasi studi adalah semua
penderita yang ditemukan di BP 4 Pati yang terpilih untuk masuk ke
dalam kelompok kasus atau kelompok kontrol. Subjek penelitian
adalah penderita TB Paru yang diambil dari catatan medik rumah
sakit. Kasus adalah penderita TB Paru yang didiagnosis secara klinis
berdasarkan pemeriksaan BTA dan rontgen positif laboratorik
menderita TB paru dan tercatat dalam rekam medis. Kontrol adalah
bukan penderita TB Paru yang diambil melalui catatan medik yang
ada di BP 4 Pati. Besar sampel yang digunakan sebagai sampel
minimal dalam penelitian ini yaitu 106 sampel, dimana 53 sampel
kasus dan 53 sampel kontrol Pengolahan data meliputi Cleaning,
Editing, Coding, Entry Data. Analisis data hasil penelitian disajikan
secara univariat (deskriptif) untuk mengetahui proporsi masing-
masing variable. Program SPSS versi 13.0 dipergunakan untuk
analisis bivariat dengan uji X2 (Chi Square) yakni menganalisis
hubungan masing-masing faktor dengan kejadian TB Paru dan
mendapatkan risiko (Odds Ratio), yang bermakna dengan tingkat
kepercayaan α = 0,05 dan Confidence Interval (CI) = 95%.
Selanjutnya variabel yang mempunyai korelasi cukup kuat dalam hal
ini p < 0,05 dan p< 0,25 pada analisis bivariat bermakna dilakukan
analisis multivariate. Untuk memperoleh pengaruh variable bebas
(faktor risiko) terhadap variabel terikat dilakukan uji Regresi Logistik
Ganda dengan metode Forward strepwise conditional PDF created
with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com 4
Kemungkinan interaksi antara dua variabel atau lebih dilakukan
apabila ada kemungkinan hubungan biologis atau statistik dengan
memasukkan interaksi ke dalam model Gambaran Karakteristik
Subjek Penelitian Dari 106 responden laki-laki 49 orang terdiri dari
22 atau 20,8% kasus dan 27 atau 25,5% kontrol sedangkan
responden wanita 57 orang terdiri dari 31 atau 29,2% kasus dan 26
atau 24,5% kontrol. Kabupaten Pati 69 atau 65,1% orang, terdiri dari
33 atau 31,1% kasus dan 36 atau 34% kontrol, Kudus 24 orang atau
22,6% terdiri dari 14 orang atau 13,25 kasus dan 10 orang atau 9,4%
kontrol, Rembang 8 orang atau 7,5% terdiri dari 3 orang atau 5,7%
kasus dan 5 orang 9,4% kontrol, Jepara 4 orang atau 3,8 % terdiri
dari 3 orang atau 2,8% kasus dan 1 orang atau 0,9% kontrol
sedangkan paling sedikit adalah demak 1 orang 0,9%. Pendidikan
terakhir yang diikuti responden paling banyak tidak tamat SD 33
orang atau 31,1% dimana kelompok kasus lebih banyak yaitu 13
orang atau 12,3 % dan 20 orang atau 18,9% control, tamat SMA 27
orang atau 25,5% terdiri dari 4 orang atau 3,8% kasus dan 23 orang
21,7% control, tamat SD 22 orang atau 20,8% terdiri dari 16 orang
atau 15,1% kasus dan 6 orang atau 5,7% control, tamat SLTP 15
orang atau 14,2% semuanya pada kelompok kasus, tidak sekolah 6
orang atau 5,7% sama antara kelompok kasus dan control yaitu 3
orang atau 2,8% sedangkan paling sedikit adalah pendidikan tamat
PT 3 orang atau 2,8% terdiri dari 2 orang atai 1,9% kasus dan 1
orang atau 0,9% kontro. Proporsi usia yang paling banyak adalah 46
- 50 tahun 56 orang (52,8 %) terdiri dari kelompok kasus 37 orang
(34,9%) dan kelompok kontrol 19 orang (17,9 %) dan terendah pada
usia 36 – 40 tahun 4 orang (3,8 %). Rata-rata usia responden 39,8
tahun terbanyak usia 46 dengan standar deviasi 10,489 Pekerjaan
responden proporsi terbesar adalah petani sebanyak 43 orang atau
43,6% kemudian buruh pabrik 18 orang atau 17% dan paling kecil
adalah buruh tani 1 orang atau 0,9% pada kasus dan PNS sebanyak
1 orang atau 0,9% pada kontrol. Berdasarkan kelompok pekerja
dengan penghasilan tetap dan tidak tetap, maka proporsi tidak
tetap lebih besar yaitu 76 orang atau 71,7% terdiri dari 43 atau
46,35 pada kasus dan 33 atau 33,1% kontrol dari pendapatan tetap
30 atau 28,3% terdiri dari 10 atau 9,4% pada kasus lebih kecil
kontrol20 atau 18,9% Pendapatan terendah Rp 110.000 dan
tertinggi Rp 1.425.000,-. Pendapatan terbanyak pada masingmsing
keluarga adalah Rp 520.000,- Pengeluaran pada kelompok kasus
ratarata Rp 660.284,91 dan pada kelompok kontrol Rp 774.433,-.
Kategori pendapatan keluarga dilihat dari pengeluaran bulanan hasil
penelitian menunjukkan proporsi pendapatan tertinggi antara Rp
501.000,- - Rp 750.000,- sebesar 46,2% dan paling kecil < Rp
250.000,- sebesar 1,9% Kepadatan rumah yang dihitung
berdasarkan luas rumah dengan dibagi jumlah penghuni. Hasil
penelitian didapatkan jumlah penghuni rumah antara 1 – 10 orang..
Responden terbanyak adalah sesuai standar yaitu lebih dari 9 m²
sebanyak 89 responden (84 %), pada kelompok kasus 39 orang
( 36,8 %) dan pada kelompok kontrol 50 orang (47,2 %) sedangkan
yang tidak standar 17 orang (16 %) pada kelompok kasus 14 orang
(13,2 %) dan pada kelompok kontrol 3 orang (2,8 %). Jumlah
penghuni terbanyak adalah 5 orang sebanyak 40 keluarga (37,7 %)
pada kelompok kasus 16 keluarga (15, 1 %) dan pada kelompok
kontrol 24 keluarga (22,6 %) HASIL PDF created with pdfFactory Pro
trial version www.pdffactory.com 5 Proporsi adanya riwayat kontak
penularan dengan anggota keluarga yang menderita TB paru lebih
besar pada kelompok TB paru (34 %) dari kelompok bukan TB (7,5
%). Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 6,3
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 1,961 – 20,238, dengan nilai p
= 0,001. Proporsi usia responden diatas 45 tahun lebih besar (69,8
%) lebih besar dari usia antara 15 – 45 tahun (37,7 %). Hasil analisa
statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 3,816 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 1,701 – 8,558, dengan nilai p = 0,001.
Proporsi kelembaban di dalam kamar tidur < 40 % atau > 70 % pada
kelompok TB paru lebih besar (62,3 %) lebih besar dari kelompok
bukan TB (20,8 %). Hasil analisa statistik menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna antara kelembaban udara dikamar tidur
dengan kejadian TB paru dengan nilai p = 0,004, berdasarkan
kategorikal memenuhi standar dan tidak sesuai standar didapatkan
hasil adanya hubungan yang bermakna dengan didapatkan hasil
odds ratio (OR) sebesar 6,3 dengan 95 % Confidence Interval (CI)
2,651-14,971. Proporsi jenis lantai kamar tidur tidak standar pada
kelompok TB paru 81,1 % lebih besar dari kelompok bukan TB paru
37,7%. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,095
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,930 – 17,179, dengan nilai p
= 0,0001. Proporsi Jenis dinding kamat tidur tidak setandar pada
kelompok TB paru (62,3 %) lebih besar dari kelompok bukan TB
(18,9 %). Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,095
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,930 – 17,179, dengan nilai p
= 0,0001. Proporsi Ukuran ventilasi kamar tidur tidak standar (98,1
%) lebih besar dari kelompok bukan TB (75,5 %). Hasil analisa
statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 16,9 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 2,121 – 134,641, dengan nilai p = 0,001.
Proporsi pencahayaan kamar tidur pada kelompok TB paru (58,5 %)
lebih besar dari kelompok bukan TB (15,1 %). Hasil analisa statistik
inferensial menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan
nilai p = 0001, setelah dilakukan kategorikal juga ada hubungan
yang bermakna dengan nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan
95 % Confidence Interval (CI) 3,129 – 20,080. Proporsi kepadatan
rumah yang tidak standar (26,4 %) pada kelompok TB paru lebih
besar dari kelompok bukan TB (5,7 %). Hasil analisa statistik
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan didapatkan
hasil odds ratio (OR) sebesar 5,983 dengan 95 % Confidence Interval
(CI) 1,606 – 22,293, dengan nilai p = 0,004. Proporsi suhu dalam
kamar tidur tidak standar pada kelompok Tb Paru 52,8 % lebih
besar dari kelompok bukan Tb yaitu 13,2 %. Hasil analisa statistik
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dengan nlai p =
0,0001, hasil kategorikal menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,360
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,816 – 19,238. Proporsi
tingkat pendapatan £ Rp 650.000,- sebesar 56,6 % lebih besar dari
kelompok bukan Tb yaitu 34 %. Hasil analisa statistik menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan dengan nilai p = 0,016, hasil
kategorikal terbukti ada hubungan yang bermakna dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) PDF created with pdfFactory Pro
trial version www.pdffactory.com 6 sebesar 2,536 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 1,155 – 5,568. Proporsi tingkat
pengetahuan kurang pada kelompok TB paru 90,6 % lebih besar dari
kelompok bukan TB 26,4 %. Hasil analisa statistik menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan dengan nilai p = 0,0001, hasil
kategorikal terbukti ada hubungan yang bermakna dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 26,743 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 8,857 – 80,749. Proporsi jenis pekerjaan
yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 % lebih besar dari kelompok
bukan TB yaitu 62,3 %. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR)
sebesar 2,606 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 1,076 – 6,310,
dengan nilai p = 0,031. Proporsi status gizi (IMT) kurang baik pada
kelompok TB paru 64,2 % lebih besar dari kelompok bukan TB 11,3
%. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna dengan nilai p = 0,038, hasil kategorikal menunjukkan
ada hubungan yang bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio
(OR) sebesar 3,789 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 1,694 –
8,475. Proporsi mempunyai riwayat kebiasaan merokok pada
kelompok TB paru 54,7 % lebih besar dari kelompok bukan TB 32,1
%. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 2,559
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 1,161 – 5,642, dengan nilai p =
0,019. Proporsi yang mempunyai kebiasaan minuman keras pada
kelompok Tb 20,8 % lebih besar dari kelompok bukab TB 17 %. Hasil
analisa statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 1,280
dengan 95 % Confidence Interval (CI) 0,482 – 3,402, dengan nilai p =
0,620. Proporsi adanya riwayat penyakit yang menyertai pada
kelompok kasus 32,1 % lebih besar dari kelom[pok bukan TB tidak
ada (0 %). Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar
2,472 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 1,921 – 3,181, dengan
nilai p = 0,0001. Selengkapnya seperti tertera pada tabel 2. berikut :
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com 7
Tabel 1 Rangkuman dari beberapa variabel terhadap kejadian TB
Paru pada usia dewasa di BP4 Pati tahun 2007 Variabel Odds Ratio
(OR) 95 % CI Nilai P Kelembaban kamar tidur 6,3. 2,651 – 14,971
0,004 Ventilasi kamar tidur 16,9 2,121 – 134,641 0,001
Pencahayaan kamar tidur 7,926 3,129 – 20,080 0,0001 Suhu Kamar
tidur 7,360 2,816 – 19,238 0,0001 Jenis lantai 7,095 2,930 – 17,179
0,001 Jenis dinding kamar tidur 7,095 2,930 – 17,179 0,001 Jumlah
penghuni 5,983 1,606 – 22,293 0,004 Riwayat kontak penularan
dengan anggota keluarga 6,3 1,961 – 20,238 0,001 Riwayat penyakit
penyerta 2,472 1,921 – 3,181 0,001 Umur 3,816 1,701 – 8,558
0,001 Jenis pekerjaan 2,606 1,076 – 6,310 0,031 Tingkat
pendapatan 2,536 1,155 – 5,568 0,016 Tingkat pengetahuan 26,743
8,857 – 80,749 0,0001 Kebiasaan merokok 2,559 1,161 – 5,642
0,019 Kebiasaan minuman keras 1,280 0,482 – 3,402 0,620 Status
gizi 14,018 5,063 – 38,811 0,038 Tabel 2 Rangkuman Hasil analisa
multivariat model akhir regresi logistik No Variabel B Wald OR (eks
b) 95% CI Nilai p 1 Kelembaban kamar tidur 2,230 0,716 9,299
2,286-37,835 0,002 2 Ventilasi kamar tidur 3,401 1,113 29,994
3,388-265,505 0,002 3 Riwayat penularan 4,379 1,314 79,781
6,076-1047,499 0,001 4 IMT 1,632 0,674 5,113 1,364-19,165 0,015
5 Tingkat pengetahuan 3,848 1,128 23,021 3,002-33,194 0,001
Constant : - 8,294 PEMBAHASAN Hasil uji analisa regresi terdapat 5
(lima ) variabel yang berhubungan secara bersama-sama terhadap
kejadian TB Paru pada usia dewasa yaitu ; kelembaban kamar tidur
(OR adjusted = 9,299, ; 95% Confidence Interval : 2,286-37,835,
p=0,002), ventilasi kamar tidur (OR adjusted = 29,994, ; 95%
Confidence Interval : 3,388- 265,505, p=0,002), Riwayat penularan
anggota keluarga (OR adjusted = 79,781, 95% Confidence Interval :
6,076-1047,499, p=0,001), Status gizi (Indeks Massa Tubuh) (OR
adjusted = 5,113 ; 95% Confidence Interval : 1,364-19,165, p=0,015)
dan tingkat pengetahuan (OR adjusted = 23,021 ; 95% Confidence
Interval : 3,002- 33,194, p=0,001). PDF created with pdfFactory Pro
trial version www.pdffactory.com 8 Apabila dimasukkan dalam
persamaan regresi logistik ganda, maka diperoleh nilai : 1 r =
------------------------------------ 1 + e –{α + β1x1(lembab) + β2x2
(ventilasi) + β3x3 (rriwayat penularan) + β4x4 (IMT)+ β5x5 (Tingkat
pengetahuan) } 1 r = ------------------------------------- 1 + 2,7182818 –{-
14,990 + 2,230 + 3,401 +4,379 +1,632+3,848} 1 r =
------------------------------------- 1 + 2,7182818 –7,196 1 r =
------------------------------------- x 100% 1 + 0,000749578 r = 99,92 %
Tingkat risiko responden yang mempunyai kelembaban kamar tidur
< 40% atau > 70 %, ventilasi kamar tidur < 15%, adanya riwayat
penularan anggota keluarga, status gizi (IMT) < 17 atau > 23, dan
tingkat pengetahuan tentang TB pru yang rendah memiliki tingkat
risiko untuk mengalami kejadian TB paru sebesar 99,92 %. Kejadian
TB paru yang berhubungan dengan kondisi lingkungan fisik rumah
tidak berdiri oleh satu faktor saja tetapi banyak faktor dalam
penelitian ini berhubungan secara bersamasama adalah
kelembaban dan ventilasi kamar tidur . Pada keadaan ventilasi yang
kurang, maka udara terperangkap dalam kamar dan keadaan kamar
menjadi pengab dan lembab. Kelembaban dalam rumah
memudahkan berkembangbiaknya kuman Mycobacterium
tuberculosis) demikian juga keadaan ventilasi udara dalam kamar
yang kecil erat kaitannya dengan kejadian penyakit TB paru.
Ventilasi kurang dari 15 % dari luas lantai beresiko terjadinya TB
paru 16,9 kali lebih besar. Ventilasi kamar tidur berperan besar
dalam sirkulasi udara terutama mengeluarkan CO2 termasuk
bahan-bahan yang tercemar seperti kuman bakteri, sehingga
ventilasi suatu ruangan tidak memenuhi standar minimal, maka
ruang akan menjadi panas dan udara stagnan didalamnya akhirnya
membahayakan pemakai ruangan. Riwayat penularan anggota
keluarga jika ada yang menderita TB paru akan mampu menularkan
79,781 kali dari keluarga yang tidak ada yang menderita TB paru.
Riwayat kontak penderita dalam satu keluarga dengan anggota
keluarga yang lain yang sedang menderita TB Paru merupakan hal
yang sangat penting karena kuman Mycobacterium Tuberkulosis
sebagai etiologi TB Paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil,
bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang
kering atau ekskreta lain dan sangat mudah menular melalui
ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk, bersin ataupun berbicara
(droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang
menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain
akan rentan dengan kejadian TB paru termasuk juga anggota
keluarga dekat . Riwayat kontak anggota keluarga yang serumah dan
terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan berisiko untuk
terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan PDF created
with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com 9 melalui
penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian
didapatkan sebesar 63,8% yang terdeteksi menderita TB paru yang
berasal dari kontak serumah dengan keluarga atau orang tua yang
menderita TB paru. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi
merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering
mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan
gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah
dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi
yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga
kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi
menurun. Pengetahuan tentang TB paru yang rendah akan beresiko
23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang tinggi, ternyata 62 %
responden tidak mengetahui secara baik pengetahuan tentang TB
paru. Keadaan pengetahuan dan tingkat pendidikan yang kurang
mempengaruhi terjadinya penyakit TB paru dan kegagalan pada
pengobatan TB paru. SIMPULAN DAN SARAN Faktor yang terbukti
berpengaruh terhadap kejadian TB paru adalah kelembaban kamar
tidur, ventilasi kamar tidur, Riwayat penularan anggota keluarga,
status gizi (Indeks Massa Tubuh) dan tingkat pengetahuan. Dan
factor yang terbukti tidak berpengaruh pencahayaan kamar tidur,
suhu kamar tidur, jenis lantai, jenis dinding kamar tidur, jumlah
penghuni, riwayat penyakit penyerta, umur, jenis pekerjaan, tinglkat
pendapatan, kebiasaan merokok dan kebiasaan minm-minuman
beralkohol. Berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan : Dinas
Kesehatan agar melakukan upaya promosi kesehatan untuk
meminimalkan risiko terjadinya TB paru terutama keadaan ruang
kamar tidur yang sehat, ventilasi kamar tidur, konsumsi gizi,
pencegahan penularan dari menderita sakit TB paru dan
peningkatan pendidikan melalui penyuluhan kesehatan, Bagi BP4
Pati permasalahan keadaan perumahan, status gizi dan
pengetahuann yang rendah perlu kunjungan rumah, program
pemberian makanan bergizi dan penyuluhan secara terus menerus.
Bagi Penderita atau pengunjung BP4 berdasarkan temuan perlunya
keadaan kamar lembab dengan kelembaban 40% - 70% , ventilasi
yang kurang >15% dari luas lantai, maka perlunya udara masuk
bebas dengan membuat ventilasi secara cukup >15% luas lantai,
penularan pada anggota keluarga perlu dilakukan hygiene yang baik
untuk penderita maupun anggota keluarga yang lain, gizi yang
rendah perlunya ditingkatkan baik pada penderita maupun keluarga
dengan diet TKTP dan selalu mencari informsi tentang penyakit TB
paru agar terhindar dari penyakit dan mampu antisipasi dini.
DAFTAR PUSTAKA Amir Dan Alsegaf, H, 1989, Pengantar Penyakit
Paru, Air Langga University Press. Surabaya 13 – 32. Bahar, A, 1990,
TB paru Dalam Ilmu Penyakit Dalam, balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Beaglehole, R, Bonita, R, Kjellstrom, T, 1997, Dasar-dasar
Epidemiologi (Terjemahan), Gajah Mada University, Yogyakarta, 119
– 127. PDF created with pdfFactory Pro trial version
www.pdffactory.com 10 Bloom Barry, 1994, Tuberculosis ,
Pathogenesis , Protection and Control, Howard Hughest Medical
Research Institute / Albert Einstein Collage ASM Press, Washington
DC. Corwin Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Crofton, J, Horne, N, Miller, F, 1992, TB Klinik (Terjemahan), Widya
Medika, Jakarta. Danususanto, H, 1983, Low And High Risk Persons
For Tuberculosis, Am, Rev, Respir, Dis, 136 : 255 – 257. Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2002, Laporan Tahunan Propgram
Penanggulangan TB, Semarang. Lamesshow, S, Hosmer, D.W, J.r.
Klar, Lwangan, S.K, 1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan
(Terjemahan), Gajah Mada Universty Press, Yogyakarta. Lubis P,
1997, Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga
Sanitasi Pusat . Jakarta. 11 – 57. Macmohan, B, Pugh, T.F, 1995,
Epidemiologi Prinsip Dan Metode (terjemahan), Proyek
Pengemabangan FKM, depdikbud , Jakarta, : 334 – 335.
Mangunnegoro, H dan Suryatenggara, W, 1994, Pedoman Praktis
Diagnosis dan Penatalaksanaan TB paru, Cetakan ke 2, Yayasan
Penerbit IDI, Jakarta. Miller, F.J.W., 1982, Tuberculosis in Children
Evolution, Epidemiology, Treatment, Prevention, Churcil
Livingstone , Edinburgh London Melbourne and New York. Mukti,
A.G, 1994, Smoking And Alcohol Consumption as Risk Faktor for
developing Pulmonary Tuberculosis, Majalah Epidemiologi Klinik
Dan Biostatistik Indonesia, (1) : 8 –12 Notoatmodjo, , Soekijo, 2003,
Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Price,
Sylvia A. and willson, Loraine M, 1998. Buku 2 Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. edisi 4, Alih Bahasa Peter Anugrah,
EGC, Jakarta. Sanroepi, D., Gunarso, I.T., Adisapto, W.,
Gandasasmita,U., Soemini, Sidik, I., Debratadja, M., Suyanto,
Wijoyono, U., Santoso, Winarko, Sukini, E., Marlina, N., Kusumawati,
S., Soingkilawang, J., 1989, Pengawasan Penyehatan Pemukiman,
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta. Schoeman, J.H, Westaway, M,S, & Neethling, A, 1991, The
Relatonship Between Socioeconomic Factors and Pulmonary
Tuberculosis, Interntional Journal of Epidemiologi, 20, (2), : 435 –
440. Singgih Santoso, 2005, Menguasai Statistik Di Era Informasi
Dengan SPSS 12, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,
Jakarta. Smith, P.G dan Moss, A.R, 1994, Epidemiology of
Tuberculosis, Phatogenesis, Protection, and Control, ASM Press,
Whosington DC, 47-51. Topley, J.M, Maher Dan M Bewe , L.N, 1996,
Transmission of Tuberculosis to Contact of Sputum Adult in Malawi,
Archief Of disease in Chilhood . 74 : 140 – 143. Waspadji, Sarwono,
dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-3 FKUI.
Jakarta. Terjemahan Petrus, A. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. ------------, 2006, Register Harian Penderita TB paru, Balai
Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4), Pati.

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas


http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol
%202/BSukana2_3.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara
otomatis pada saat menelusuri web.Page 1

PENGARUHPENYULUHANTERHADAP
PENGETAHUAN PENDERITA TB PARU
DIKABUPATENTANGERANG
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit TB paru meru-
pakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus bam TB pam
terjadi, di mana sekitar 1/3 penderita terdapat
di sekitar puskesmas, 1/3 lagi ditemukan
pada pelayanan rumah sakit/klinik peme-
rintah dan swasta, praktek swasta, dan
sisanya belum terjangkau oleh unit pela-
yanan kesehatan. Kematian karena TB paru
diperkirakan 175.000 per tahun, di mana
penderita TB paru sebagian besar adalah
kelompok usia produktif dan sebagian besar
sosial ekonomi lemah (Ditjen PPM & PLP,
1999). Dengan Makin memburuknya keada-
an ekonomi Indonesia belakangan ini, kelom-
pok penduduk miskin bertambah banyak,
daya beli Makin menurun, kemampuan me-
menuhi kebutuhan pokok Makin berku-rang
dan dikhawatirkan keadaan ini akan memper-
buruk kondisi kesehatan masyarakat khusus-
nya penderita TB pam. Disamping program
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,
penderita TB paru juga perlu disembuhkan.
Upaya penurunan angka penderita TB
paru yang telah dilakukan oleh pihak pro-
gram hingga tahun 1995 berupa pemberian
obat yang intensif melalui puskesmas ter-
nyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena
belum adanya keseragaman dalam pengobat-
an dan sistim pencatatan pelaporan di semua
unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta sehingga monitoring pengo-
batan yang dilakukan oleh pihak program
terhadap penderita tidak berjalan dengan
baik. Hal ini terlihat dari proporsi kematian
oleh sebab TB paru telah terjadi peningkatan
dari tahun 1980, 1986, 1992, berturut-turut
8,4%, 8,6% dan 9,9% dari seluruh kematian
(SKRT, 1980, 1986, 1992). Hasil SKRT ta-
hun 1995 menunjukkan bahwa TB paru me-
rupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pemafasan pada semua golongan usia dan
nomor satu dari golongan infeksi (SKRT,
1995).
Dinas Kesehatan Kabupaten Tange-
rang merupakan salah satu dinas kesehatan
kabupaten di Propinsi Banten yang telah me-
laksanakan program pemberantasan penyakit
TB paru. Ditinjau dari segi komitmen politis
dari pengambil keputusan dan masyarakat
dinilai sudah cukup baik, dimana hal ini
terlihat adanya pihak masyarakat yang mem-
bantu dalam penyediaan obat. Paket obat
yang selalu tersedia di puskesmas, kemam-
puan petugas kesehatan da-Iam mendiagnosa
secara dini penderita TB paru yang cukup
baik, namun kasus TB paru setiap tahun tetap
*
282 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi
Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanPage 2

menunjukkan peningkatan. Keberhasilan pe-


ngobatan TB paru sangat ditentukan oleh
adanya keteraturan minum obat anti tuber-
kulosis. Hal ini dapat dicapai dengan adanya
kesadaran penderita TB paru untuk memi-
num obat secara teratur melalui upaya
peningkatan pengetahuan penderita TB paru
tentang pencegahan dan pengobatan TB paru.
Penelitian diawali dengan dilakukan-
nya penyuluhan kepada tenaga pengawas
minum obat (PMO) dan penderita TB paru
serta pemberian Buku Panduan Pengobatan
TB paru. Penyuluhan dilakukan oleh tim
peneliti dan petugas kesehatan daerah. Buku
panduan tersebut berisi tentang gejala TB
paru, mengapa diperlukan pemeriksaan da-
hak tiga kali, pentingnya minum obat secara
teratur, adanya gejala samping minum obat
anti tuberkulosis (OA T), bagaimana cara
mengatasi, dan pentingnya melakukan peme-
riksaan dahak pada akhir bulan ke - 2, ke- 5
dan ke- 6. Dengan pemberian informasi ini
diharapkan adanya peningkatan keteraturanl
keta-atan minum obat yang berdampak pada
meningkatnya angka kesembuhan yang diu-
kur secara dini dengan konversi dahak pada
akhir pengobatan > 80%.
Tujuan penelitian adalah untuk untuk menge-
tahui pengetahuan penderita TB paru tentang
pencegahan dan pengobatan TB paru sebe-
lum dan setelah dilakukan penyuluhan, serta
nagka konversi BTA
BAHAN DAN CARA
Jenis penelitian : quasi experimental
Untuk mengetahui sampai seberapa
jauh peran penyuluhan yang telah diberikan
dalam meningkatkan pengetahuan penderita
tentang pengobatan TB paru, maka dilakukan
wawancara oleh tim peneliti selama dua kali.
Wawancara pertama dilakukan sebelum pe-
nyuluh dan kedua dilakukan setelah penyu-
luhan dengan kurun waktu satu bulan setelah
penyuluhan.
Populasi dan sampel
Sebagian populasi adalah individu TB
paru baru yang datang atas ke-mauan sendiri
untuk berobat ke Puskesmas Rujukan Mi-
kroskopik (PRM) di Kabupaten Tangerang
(penemuan kasus secara pasif) sedangkan
Pengobatan TB Pam .... (Bambang Sukana, et al)
sebagai sampel adalah seluruh penderita TB
paru baru yang datang berobat pada bulan
Juni dan Juli 1999 di PRM Kabupaten
Tangerang, dengan kriteria inklusi :
penderita TB paru baru dengan BTA
positif (kategori I)
berusia dewasa (>IS tahun)
tidak menderita penyakit lain yang
mengganggu jalannya penelitian.
bersedia ikut dalam penelitian.
Puskesmas yang dijadikan obyek penelitian
yakni di Puskesmas Curug, Pakuhaji, Pasar
Kemis, Gembong dan Balaraja.
Pengumpulan data
Penemuan penderita TB paru dilaku-
kan dengan menunggu penderita yang datang
atas kemauan sendiri berobat ke puskesmas
(penemuan kasus secara pasif) dan meme-
nuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan pe
nelitian dalam kurun waktu selama 2 bulan
(Juni s.d. Juli 1999). Penderita yang datang
berobat dan bersedia untuk ikut penelitian
sebanyak 84 orang penderita sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.
Penderita TB paru yang telah bersedia ikut
dalam penelitian selanjutnya diberi informa-
si tentang penyakit TB paru. Kegiatan pem-
berian informasi dilakukan di ruang per-
temuan Puskesmas. Materi yang diberikan
berupa buku Paket Panduan Pengobatan TB
paru, buku tersebut sebelumnya telah diso-
sialisasikan kepada penderita TB paru yang
sedang berobat di Puskesmas Cempaka
Putih. Dari hasil sosialisasi, buku paket ter-
sebut cukup dimengerti dan dapat dipergu-
nakan sebagai buku panduan pengobatan TB
paru oleh mereka. Metode pemberian infor-
masi dilakukan dengan penyuluhan oleh
tenaga peneliti dan dilanjutkan dengan dis-
kusi, hingga para penderita dan tenaga-
tenaga PMO benar-benar mengerti tentang
pengobatan TB paru yang benar.
Sebelum dilakukan penyuluhan, selu-
ruh penderita diwawancara dengan menggu-
nakan kuesioner. Wawancara dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan
tentang TB paru, sikap petugas kesehatan,
dan keadaan sosial ekonomi penderita.
283Page 3
Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 3, Desember 2003 :282-289
Tabel 1.Sampel penderita TB pam di Kabupaten Tangerang tahun
1999
No.
1.
2.
3.
4.
5
Puskesmas
Balaraja
Gembong
Pasar Kemis
Cumg
Pakuhaji
J u m la h
Jumlah
20
20
19
10
15
84
Analisis data
Analisis data dilakukan
dengan
chi
square test untuk mengetahui perbedaan pe-
ngetahuan penderita TB pam antara sebelum
dilakukan penyuluhan dan setelah dilakukan
penyuluhan dan untuk mengetahui pengaruh
pengetahuan penderita TB paru terhadap
angka kesembuhan.
BASIL
Karakteristik Penderita
Karakteristik penderita meliputi jenis
kelamin, status perkawinan, status keluarga,
dan pendidikan. Jenis kelamin penderita ter-
banyak adalah laki-laki 56%, status perka-
winan terbanyak telah kawin (75%), status
keluarga yang terbanyak adalah sebagai
kepala keluarga (47,6%) dan tingkat pendi-
dikan yang terbanyak tamat SD ke bawah
(51,2%). Usia penderita yang terbanyak ber-
umur di bawah 40 tahun (57,1%). Untuk
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Status Ekonomi
Keadaan status ekonomi penderita diu-
kur dari besarnya pengeluaran
keluarga
selama 1bulan, dan pekerjaan penderita. Bi-
aya pengeluran keluarga yang dikeluarkan
terbanyak adalah > Rp. 250.000,- (83,34%).
Sedangkan pekerjaan penderita terbanyak
adalah sebagai buruh tani/nelayan (60,70%).
Untukjelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Pengetahuan Penderita Tentang TB paru
Komponen pengetahuan tentang pe-
nyakit TB pam yang ditanyakan kepada pen-
284
derita meliputi tanda dan gejala TB pam,
penyebab TB pam, cara penularannya, hal-
hal yang mempengamhi penularan dan hal-
hal yang membantu proses pengobatan hing-
ga sembuh.
Pengetahuan penderita sebelum dilaku-
kan penyuluhan adalah sebagai berikut :
hampir seluruh penderita mengetahui tanda
dan gejala TB paru (94,05%), tetapi lebih
dari 75% penderita tidak mengetahui penye-
bab TB pam (78,57%).
Pengetahuan mengenai cara penularan
TB paru, sebagian besar penderita tidak me-
ngetahuinya (88,09%). Pengetahuan tentang
hal yang mempengaruhi penularan TB paru
yang terbanyak tidak tahu (53,57%), se-
dangkan pengetahuan tentang hal-hal yang
membantu pengobatan sebagian besar sudah
tahu (60,05%). Untuk jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Pengetahuan penderita setelah dilaku-
kan penyuluhan
adalah sebagai berikut:
hampir sebagian besar penderita mengetahui
tanda dan gejala TB paru (92,9%), demikian
pula dengan penyebab TB paru hampir selu-
ruhnya mengetahui (90,5%), hal-hal yang
membantu
pengobatan
sebagian
besar
mengetahui (88,01%), lihat Tabel 5.Page 4
PengobatanTB Paru ....(BambangSukana,et af)
Tabel 2. Karakteristik penderita TB paru di Kabupaten Tangerang
tahun 1999
NoKarakteristik
lumlah
N
%
lenis kelamin
a. Laki-Iaki
47
56,0
37
44,0
Status Perkawinan
13
15,5
63
75,0
8
9,5
3.
Status Keluarga
a. Kepala Keluarga
40
47,6
24
28,6
13
IS,S
7
8,3
Pendidikan
a. Tidak Sekolah
17
Rp. 100.000,- - Rp. 149.000,-
Rp. 150.000,- - Rp. 199.000,-
Rp. 200.000,- - Rp. 249.000,-
2::Rp. 250.000,-
Pegawai Negeri
Pegawai Swasta
Pedagang
Buruh Tani, Nelayan
Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 3, Desember 2003 :282-289
Tabel 4 Pengetahuan penderita tentang TB paru sebelum dilakukan
penyuluhan
di Kabupaten Tangerang tahun 1999
Pengetahuan Tentang TB paru J u m I ah
Tanda dan Gejala TB paru
a. Tahu
Penyebab TB paru
a. Benar
Cara penularan TB paru
a. Tahu
Hal-hal yang mempengaruhi
penularan
a. Tahu
Hal-hal yang membantu
pengobatan
a. Tahu
an penyuluhan
di Kabupaten Tangerang tahun 1999
Pengetahuan Tentang TB paru
Jumlah
jala TB paru
a. Tahu
Pengobatan TB Pam '" .(Bambang Sukana, et af)
Tabel 6. Pengetahuan penderita sebelum dan setelah dilakukan
penyuluhan
di Kabupaten Tangerang tahun 1999
Pengetahuan tentang TB pam
Penyuluhan
Baik
Kurang baik
penyuluhan
p = 0.0000
RR =3,05 (95% Cl ; 2,07 - 4,50)
Untuk memudahkan
dalam analisis
statistik terhadap dampak penyuluhan yang
telah diberikan, maka data dari Tabel 5 dan 6
dibuat score. Apabila penderita dalam menja-
wab 5 pertanyaan (1 s.d 5), 2:4 item yang
benar maka dia dianggap baik, bila < 4 item
yang benar, maka dia kurang baik. Hasil
score dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil
chi square test pengetahuan penderita TB
pam sebelum diberikan penyuluhan dan
setelah diberikan penyuluhan cukup berbeda
bermakna (p=O,OOOO).
Hasil Pemeriksaan Dahak
Untuk mengetahui hasil pengobatan
TB pam yang telah dilaksanakan, maka
dilakukan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan
dahak dilakukan selama 3 x yaitu 2 bulan se-
telah pengobatan, 5 bulan setelah pengobatan
dan 6 bulan setelah pengobatan.
Pemeriksaan
BT A dahak penderita
dilakukan oleh petugas laboratorium Puskes-
mas. Untuk lokasi yang menggunakan tenaga
Tabel 7. Hasil cross check pemeriksaan BTA di Lab. R.S.
Persahabatan
PMO dari anggota keluarga, pemeriksaan
BTA dilakukan oleh petugas laboratorium
dari Puskesmas Cumg. Sedangkan lokasi
yang menggunakan tenaga PMO dari pembi-
na kesehatan, pemeriksaan BTA dilakukan
oleh petugas laboratorium dari Puskesmas
Balaraja.
Untuk mengetahui seberapa jauh ke-
mampuan petugas laboratorium dalam mela-
kukan pemeriksaan BTA dilakukan cross
check hasil pemeriksaan
laboratorium
di
laboratorium bakteriologi R.S. Persahabatan.
Cross check dilakukan 2 kali yaitu pada
waktu pemeriksaan dahak setelah 2 bulan
pengobatan dan setelah 6 bulan pengobatan
dengan jumlah sampel yang diperiksakan
kembali sejumlah 10% dari jumlah dahak
yang diperiksa.
Dari Tabel 7 terlihat bahwa ketelitian
petugas laboratorium dalam melakukan pe-
meriksaan BTA cukup baik, hanya 10% ting-
kat kesalahannya, sedangkan hasil cross
check kedua tidak didapat kesalahan.
Hasil pemeriksaan dahak, menunjuk-
kan bahwa setelah 2 bulan pengobatan pen-
287Page 7

Jumal Ekologi Kesehatan Vol 2No 3, Desember 2003 :282-289


derita yang menunjukkan hasil negatif sebe-
sar 60,7% dan positif39,3%.
Sedangkan hasil pemeriksaan dahak
setelah 5 bulan dan 6 bulan pengobatan
diperoleh angka konversi BTA 100% hasil-
nya negatif.
PEMBAHASAN
Pemberantasan
TB paru merupakan
suatu usaha yang banyak dipengaruhi bebe-
rapa faktor antara lain sikap petugas kese-
hatan dalam menangani pasien, ketersediaan
obat dan faktor penderita sendiri. Ditilik dari
upaya yang telah dilakukan oleh pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang dalam pe-
nanggulangan TB paru sudah cukup baik,
dengan ketersediaan obat yang cukup serta
sikap petugas yang siap melayani penderita
memungkinkan
upaya pemberantasan
TB
paru akan berhasil. Namun demikian upaya
ini tidak berhasil dalam menuntaskan pro-
gram pemberantasan TB paru di daerahnya,
bila penderita sendiri tidak sadar untuk
mengikuti ketentuan-ketentuan
yang harus
dilakukan dalam upaya pengobatan TB paru.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
faktor perilaku penderita ikut menentukan
dalam keberhasilan pemberantasan TB paru.
Salah satu faktor yang menentukan penderita
untuk taat berobat dan taat minum obat
secara teratur dan tuntas antara lain faktor
pengetahuan tentang pencegahan dan pengo-
batan TB paru.
Untuk meningkatkan
pengetahuan
penderita TB paru tentang pengobatan TB
paru yang intensif dan benar telah dilakukan
pemberian informasi (penyuluhan) dengan
metode dua arah kepada penderita TB paru,
dengan harapan akan terjadi peningkatan
pengetahuan penderita TB paru. Dari hasil
studi ini diperoleh hasil yang berbeda ber-
makna setelah penderita TB paru diberikan
penyuluhan, dimana pengetahuan penderita
TB paru setelah diberikan penyuluhan lebih
baik 3,05 kali dibandingkan dengan pengeta-
huan penderita TB paru sebelum mendapat
penyuluhan. Menurut Sujudi (1996), dalam
pemberantasan TB paru peran penyuluhan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada
setiap penderita/keluarga yang berobat sangat
penting agar terjadi kete-raturan berobat yang
288
optimal/tinggi. Manaf (1995) mengatakan
bahwa perlu untuk me-lengkapi penderita
dengan informasi-informasi/penyuluhan
ke-
sehatan yang cukup jelas mengenai penya-
kitnya yang dapat disembuhkan serta mem-
berikan semangat agar dapat memenuhi selu-
ruh jadwal pengobatan. Untuk keberhasilan
pengobatan/keteraturan
minum obat, maka
penyuluhan kesehatan itu sangat penting.
Dilihat dari segi pendidikan, dimana
pendidikan yang terbanyak adalah tamat SD
ke bawah (82,2%), ternyata pendidikan da-
lam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap
ketaatan mereka berobat. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan Suii-
ha (1991), dimana proporsi penderita yang
pendidikannya tinggi (61,11 %) ternyata tidak
patuh berobat. Senewe (1997) mengata-kan
bahwa hubungan antara pendidikan dan
keteraturan berobat ternyata secara statistik
tidak berbeda bermakna dengan nilai p= 0,85
(p>0,05).
Peningkatan
pengetahuan
penderita
tentang pengobatan TB paru yang didapat
dari studi ini ternyata berpengaruh terhadap
ketaatan penderita minum obat. Bila diban-
dingkan dengan hasil penelitian yang dilaku-
kan Suliha (1991), Ramonasari (1996), dan
Senewe (1997), menunjukkan bahwa faktor
pengetahuan mempunyai peran yang besar
terhadap putus berobat. Angka konversi BTA
pada bulan kedua menunjukkan pening-katan
dimana penderita yang menunjukkan hasil
negatif lebih banyak dibandingkan dengan
yang positif hal ini terjadi karena tingkat
ketaatan minum obat dan keteraturan berobat
menunjukkan hasil yang bermakna setelah
dilakukan penyuluhan. Demikian pula angka-
angka konversi dahak pada bulan kelima
menunjukkan hasil 100%.
Dari hasil studi ini menunjukkan bah-
wa dengan adanya peningkatan pengetahuan
dapat meningkatkan angka kesembuhan.
KESIMPULAN
Dari hasil studi ini mengungkapkan
hal-hal sebagai berikut :a) Pengetahuan pen-
derita TB paru tentang pencegahan dan pe-
ngobatan TB paru setelah diberikan penyu-
luhan; lebih baik dibandingkan
dengan
sebelum penyuluhan; b) Angka konversiPage 8

BTA pada akhir pengobatan menunjukkan


hasillOO%.
SARAN
Untuk keberhasilan program pembe-
rantasan TB pam di Indonesia perlu dila-
kukan : a) penyuluhan yang intensif dan ber-
kesinambungan
dengan melibatkan peran
serta masyarakat; dan b) Kinerja petugas
yang menangani pengobatan penderita TB
pam agar ditingkatkan
DAFT AR PUSTAKA
Badan Litbangkes, 1980, Survey Kesehatan Rumah
Tangga, Badan Litbang Departemen Kese-
hatan
Badan Litbangkes, 1986, Survey Kesehatan Rumah
Tangga, Badan Litbang Departemen Kese-
hatan
Badan Litbangkes, 1995, Survey Kesehatan Rumah
Tangga.
Badan Litbang Departemen
Kesehatan Dinas Kese-
hatan Kabupaten
Tangerang,
1998/1999.
Laporan Pengobatan TB paru di Kabupaten
Tangerang, 1998/1999
Pengobatan TB Pam .... (Bambang Sukana, et al)
Ditjen PPM dan PLP, 1999, Pedoman
Penyakit
Tuberkulosis dan Penanggulangannya,
Dit-
jen PPM dan PLP Departemen Kesehatan
Notoatmojo, S., 1989, Pengantar Pendidikan Kese-
hatan Masyarakat, Badan Penerbit Kesehatan
Masyarakat FKM UI
Senewe, P.L,. 1997, Laporan Penelitian Beberapa
Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan
Keteraturan
Berobat Tuberkulosis Paru di
Puskesmas
se-Kotif Depok. Jawa Barat,
Tesis Program 1KM
Sujudi, 1996, Pengarahan
Materi Kesehatan Pada
Kongres VI PPTI, Jakarta
Suliha. U, 1991, Studi Tentang Perilaku Keteraturan
Datang Kontras Penderita TB paru dengan
Pengobatan
Jangka
Pendek dan Faktor-
faktor
yang
Mempengaruhinya
Di
RS
Persahatan,
Jakarta Tahun
1990, Thesis
Fakultas Pasca Sarjana UI - Depok
Surya Tenggara. B, 1996. Pengobatan
Tuberkulosis
yang Dianjurkan WHO. Jurnal Respiratory
Indonesia, Jakarta; 16(I); 18- 21
WHO, 1984. Educational for Health Manual
on Health Education
in Primary Health
Care, WHO, 1984.
289

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas


http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/dxm/article/view/4813/475
7.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara
otomatis pada saat menelusuri web.Page 1

TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Penanganan TB Paru dan Strategi DOTS
(Directly Observed Therapy Shortcourse)
Hilaluddin Sembiring
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara (USU), Medan
ABSTRAK. Sampai saat ini TB paru masih tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia dan
negara berkembang lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dalam hal
penanggulangannya. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) di berbagai negara
telah terbukti dapat meningkatkan angka kesembuhan. Perlu
disebarluaskan pemahaman tentang
strategi DOTS guna mencapai sasaran yang lebih baik dalam
penanganan penyakit TB paru.
Kata kunci: TB paru, strategi DOTS
Pendahuluan
TB Paru masih menjadi masalah kesehatan di Indone- 3.
sia dan sebagian besar negara-negara di dunia. Dengan
meningkatnya penderita HIV/AIDS, kecenderungan
permasalahan TB semakin meningkat. Diperkirakan
di Indonesia terjadi 500 000 kasus baru dan 175 000 di
antaranya meninggal dunia di setiap tahunnya.1 4.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan terakhir di Indonesia yang dilakukan pada
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis masih
merupakan penyebab kematian utama, setelah
penyakit jantung dan saluran pernapasan.2
Cara pemberantasan yang telah ditempuh:3
1. Upaya pemberantasan penyakit TB paru telah
dimulai tahun 1908 pada jaman pemerintahan
Belanda oleh perkumpulan swasta Centrale 5.
Vereniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT).
Usahanya terbatas pada pengasingan penderita
dalam sanatorium dengan istirahat dan terapi diet.
2. Pada tahun 1933 perhatian baru ditujukan kepada
rakyat umum yang juga perlu dilindungi terhadap
penularan penyakit ini dengan mendirikan biro-
biro konsultasi yang ditangani oleh sebuah yayasan
Stichting Centrale Vereniging Bestrijding der
Tuberculose (SCVT). Prinsip pengobatan sanato-
rium yaitu istirahat dan terapi diet ditinggalkan,
diganti dengan tindakan aktif dengan pembedahan
terapi kolaps yang tujuannya memperpendek masa
perawatan.
Tahun 1942 pada jaman pendudukan Jepang,
aktivitas pemberantasan TB paru sebagian besar
terhenti, yang dilakukan hanya usaha kuratif
sedangkan usaha preventif tidak dilakukan karena
keadaan yang tidak mengijinkan.
Setelah Indonesia merdeka dengan bantuan
UNICEF dan WHO didirikan "Pilot Project" di
Bandung tahun 1952 yaitu: Tuberculose Demonstra-
tion and Training Programme dimana pada saat itu
pengobatan dan penyuluhan mulai dilakukan di
Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) dan
BCG Demonstration and Training Programme di mana
usaha yang dilakukan adalah vaksinasi BCG
didahului tes Mantoux.
Sejalan dengan ditemukannya OAT(Obat Anti-
Tuberkulosis), maka sanatorium tidak dibangun
lagi dan diubah menjadi rumah sakit paru-paru.
Terapi kolaps lambat laun ditinggalkan diganti
dengan pembedahan secara modern seperti reseksi,
pneumonektomi atau lobektomi. Di samping itu
sarana diagnostik lebih disempurnakan seperti
bronkoskopi, bronkografi, biopsi pleura, biopsi
transbronkial, sitologi, pemeriksaan faal paru dan
lain-lain. Indikasi rawat di rumah sakit hanya
terbatas pada kasus tertentu saja, sehingga lahirlah
pengobatan massal. Pemberantasan TB paru
Hilaluddin Sembiring: penanganan TB paru dan strategi DOTS
ditegakkan hanya atas penemuan BTA (+) (Basil
Tahan Asam Positif) secara langsung dari sputum
(dahak) penderita.
6. Pada permulaan Pelita I tahun 1969 Program
Pemberantasan TB paru dilaksanakan secara
nasional dengan vaksinasi BCG (Bacille Calmette
Guerin) terhadap anak umur 0-14 tahun secara
langsung tanpa didahului oleh tes Mantoux di
seluruh Indonesia. Pengobatan dengan panduan
OAT yang lebih efektif dan masa pengobatan yang
pendek dengan memakai Rifampisin makin
ditingkatkan pada permulaan Pelita III setelah uji
coba tahun 1975.
7. Program pemberantasan TB paru yang dilakukan
sampai sekarang adalah:
a. vaksinasi BCG
b. penemuan kasus secara pasif dan aktif
c. pengobatan dan pengobatan ulang terhadap
penderita TB
d. penyuluhan kesehatan
e. evaluasi program
Latar belakang
Pemberantasan TB paru secara Nasional di Indonesia
telah berlangsung 30 tahun sejak 1966 namun hasilnya
belum memuaskan. Penyakit tuberkulosis adalah
penyakit infeksi biasa di mana kuman penyebabnya
telah diketahui dan obat-obatan untuk mengatasinya
cukup efektif dan telah mengalami kemajuan pesat,
tetapi penanggulangan dan pemberantasannya sampai
saat ini masih belum memuaskan. Apalagi negara kita
mengalami krisis berkepanjangan dalam tahun-tahun
terakhir ini, bahkan di negara maju pun masalah ini
muncul kembali karena munculnya penyakit HTV(Human
Immuno Deficiency Virus)-AlDS(Acquired Immune Defi-
ciency Syndrome), sehingga WHO pada tahun 1993
mengumumkan "Global Emergency" terhadap TB paru.
Angka drop out yang tinggi, pengobatan yang tidak
adekuat dan resistensi terhadap OAT merupakan
kendala dalam pengobatan TB paru.4
Salah satu perbedaan penyakit lain dengan tuberkulosis
adalah kenyataan bahwa setiap kasus tuberkulosis
harus ditemukan dan diobati agar tidak menularkan
penyakitnya. Berbeda dengan penyakit lain, kasus
yang tidak diobati hanya akan memperburuk keadaan
dirinya sendiri. Sementara tuberkulosis, pada kasus yang
tidak diobati dengan baik, di samping kuman menjadi
resisten, selanjutnya dapat menular pada orang lain.
Permasalahan Pengobatan TB Paru
Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan
penyakit ini. Disamping faktor medis, faktor sosio-
ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku orang
terhadap penyakit ini, sangat mempengaruhi keberhasilan
dalam penanggulangan penyakit in.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan:
Faktor sarana
Ditentukan oleh:
1. Tersedia obat yang cukup dan kontinu
2. Dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik
3. Pemberian regimen OAT yang adekuat
Faktor penderita
Ditentukan oleh:
1. Pengetahuan penderita ynag cukup mengenai
penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya bila
tidak adekuat
2. Menjaga kondisi tubuh dengan makanan begizi,
cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum
alkohol atau merokok
3. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan
tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk
menutup mulut dengan sapu tangan, jendela
rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak
sinar matahari
4. Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena
TB adalah penyakit infeksi biasa dan dapat
disembuhkan dengan benar
5. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh
Faktor keluarga
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan
seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar
makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita
yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap
rajin berobat.
Situasi krisis berkepanjangan yang melanda negara
kita dalam tahun-tahun terakhir ini makin memperburuk
keadaan karena menurunnya status gizi sebagai akibat
krisis ekonomi menyebabkan turunnya status kekebalan
tubuh manusia, sehingga menyebabkan makin
meluasnya penyebaran penyakit itu.2
Pada saat ini telah terjadi penyebaran strain kuman
resisten majemuk (Multi-Drug Resistant Tuberculosis disingkat
MDR TB) yang menjadi kedaruratan Hot Zone di dunia
L
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 14, Januari - Maret 2001
37Page 3

Hilaluddin Sembiring: penanganan TB paru dan strategi DOTS


termasuk di Indonesia yang biayanya 100 kali lebih mahal.2
William J. Burmann dkk. dari University of Colorado
Health Seiendes Center, Denver, menganalisis data pasien
TB paru berobat jalan dengan DOT (Directly Observed
Therapy) dari tahun 1984-1994 di Denver Metern Tuber-
culosis Clinic. Diperoleh informasi bahwa Program
Kontrol Tuberkulosis di perkotaan dengan DOT (Di-
rectly Observed Therapy Shortcourse) yang mengalami
kegagalan umumnya berkaitan dengan faktor peminum
alkohol dan gelandangan.
Kegagalannya adalah peningkatan 10 kali kejadian
hasil akhir pengobatan yang jelek dan gagalnya terapi.
Pada studi di New York City pada tahun 1967 tentang
faktor penyebab kekambuhan, dinyatakan bahwa
alkohol merupakan faktor risiko utama penyebab
terjadinya kekambuhan TB paru. Pada tahun 1991 di
New York City diperoleh data bahwa peminum alkohol
dan gelandangan sangat erat hubungannya dengan
kegagalan terapi sehingga diperlukan program lain
yang lebih inovatif untuk menanggulangi kasus seperti
ini/
Penelitian lanjutan William J, dkk. dari "University
of Colorado", Denver, data Program TB Kontrol selama
tahun 1984 hingga 1994 yang dikaji ulang untuk melihat
pasien yang dilakukan pengurungan, dievaluasi
keefektifan dari tindakan ini, ternyata sekitar 5% dari
pasien yang diobati, dilakukan pengurungan untuk
kasus yang gagal pengobatan; ditambah 5% lagi pasien
yang sulit untuk di-follow up menawarkan diri untuk
dilakukan pengurungan. Pasien yang alkoholic dan
gelandanganlah yang erat hubungannya dengan
penggunaan cara pengurungan ini. Pengurungan
jangka pendek yang dilanjutkan dengan rawat jalan
serta pengobatan yang diawasi secara langsung, relatif
lebih berhasil dalam pengelolaan populasi pasien yang
sulit seperti ini (lama pengurungan berkisar mulai dari
9 hari hingga 142 hari).6
Strategi DOTS
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan WHO, melaksanakan suatu evaluasi bersama
"WHO - Indonesia Joint Evaluation" yang menghasilkan
rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan
mendasar strategi penanggulangan TB di Indonesia,
yang kemudian disebut sebagai "Strategi DOTS". Sejak
itu mulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia.2
Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh
Pengawas Makan Obat (PMO).7
Tujuannya untuk mencapai angka kesembuhan
yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek
samping obat jika timbul dan mencegah resistensi.7
Sebelum pengobatan pertamakah dimulai, harus
dijelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaat
DOTS. Seorang PMO yang ditunjuk dihadirkan di
poliklinik untuk diberi penerangan tentang DOTS
beserta tugasnya. PMO harus mampu membantu
pasien sampai sembuh dalam waktu 6 bulan dan
sebaiknya merupakan anggota keluarga pasien yang
disegani.7
Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS yaitu:
1. Komitmen politik
2. Diagnosis yang benar dan baik
3. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat
4. Pengawasan penderita menelan obat
5. Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem
"kohort"
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan
bahwa cakupan penemuan penderita baru mencapai
9,8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%
sehingga WHO menggolongkan Indonesia sebagai
negara dengan penyelenggaraan program yang baik,
walaupun ekspansinya sangat lambat. Kajian data ini
didapatkan dari puskesmas pelaksana program DOTS
yang baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000
puskesmas dan rumah sakit yang ada.2
Telah dilakukan studi oleh William J. Burman dkk.
dari University of Colorado Health Sciences Center, Den-
ver, pada tahun 1994 yang membandingkan biaya dan
keefektifan DOTS dengan pengobatan secara mandiri
(SAT = "Self Administrated Therapy") terhadap pengobatan
tuberkulosis di rumah sakit pemerintah Denver.
Mereka mengkaji biaya rata-rata per pasien pada masa
pengobatan SAT (Januari 1980 hingga Desember 1920
dan pada masa DOT (November 1986 hingga Desember
1992). Hasil total biaya pengobatan dengan DOT dan
SAT tidak jauh berbeda ($ 1, 206 vs 1,221 per pasien),
tetapi DOT menjadi lebih mahal bila nilai waktu
diperhitungkan. Kalau biaya kekambuhan dan
kegagalan diperhitungkan, maka DOT lebih murah
dibandingkan SAT. Walaupun pada awal biayanya
agak tinggi, DOT adalah strategi yang lebih efektif
dibandingkan SAT karena dapat menghasilkan angka
kesembuhan yang tinggi setelah terapi awal, sehubungan
dengan biaya pengobatan menjadi lebih sedikit
38
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 14, Januari - Maret 2001Page 4

Hilaluddin Sembiring: penanganan TB paru dan strategi DOTS


berkaitan dengan kegagalan terapi dan resistensi obat.
Analisa biaya dan keefektifan ini sangat mendukung
usaha penggalakan penerapan DOT.8
Kesimpulan
TB Paru merupakan masalah di negara berkembang,
bahkan di negara maju masalah ini kembali muncul
dengan adanya HIV-AIDS.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan
antara lain faktor sarana, faktor penderita, faktor keluarga,
masyarakat dan lingkungan.
Strategi DOTS sesuai dengan anjuran WHO telah
terbukti dapat menekan angka drop out dan meningkatkan
angka kesembuhan.
Strategi DOTS akan menjamin kesembuhan,
mencegah penularan, terbukti berhasil mencegah
resistensi, efektif dengan biaya relatif rendah.
Daftar Pustaka
1. Abednego H.M.M. Kebijaksanaan baru dalam penanggulangan
tuberkulosis di Indonesia.Kongres VI Perhimpunan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Ciloto,
20-30 Nov, 1996
2.
Direktorat Jendral PPM & PLP, Departemen Kesehatan.
Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Seminar Sehari TB Paru Dalam Rangka
Peringatan Hari TB Sedunia ke-117, Jakarta, Mei, 1999
Soeroso H.R. Fungsi BP4 Dalam Pemberantasan TB dan
Perkembangan Pulmonologi. Laporan Penataran
Pemberantasan Penyakit TBC, Medan, 1977
Nukman R. Kendala Dalam Pengobatan TB Paru. Semi-
nar Sehari TB Paru Dalam Rangka Peringatan Hari TB
Sedunia ke-117, Medan, 8 Mei, 1999
Burman WJ, Chon DL, et al. Noncompliance With Directly
Therapy For Tuberculosis. CHEST 1997; 111:1168-73
Burman WJ, Chon DL, et al. Short-term Incarceration for
the Management of Noncompliance With Tuberculo-
sis Treatment. CHEST 1997; 112-62
The Indonesian Association of Pulmonologist. Hasil
Konferensi Kerja VIII Perhimpunan Dokter Paru In-
donesia, Jakarta, 26-29 Nov, 1998
8. Burman WJ, Chon DL, et al. A Cost Effectiveness Analysis
of Directly Observed Therapy vs Self Administrated
Therapy for Treatment of Tuberculosis. CHEST 1977;
112:63-70
dr. Hilaluddin Sembiring, DTM & H, SpP adalah staf
pengajar dan sekretaris Bagian Ilmu Penyakit Paru,
Fakultas Kedokteran Kedokteran Universitas Sumatera
Utara (FK-USU).
6.
7.
[DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 14, Januari - Maret 2001
Home
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI PASIEN
TUBERKULOSIS PARU DENGAN KETERATURAN BEROBAT DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS
View clicks
Posted January 31st, 2009 by Famy
Ilmu Keperawatan
abstraks:

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI S.I KEPERAWATAN
TAHUN 2008

ABSTRAK

Nama : Rani Susanti


NIM : 105200400044
Judul : Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien
Tuberkulosis
Paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi


masalah serius di berbagai bagian dunia. Di Indonesia, tuberkulosis
menjadi penyebab kematian ke tiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan penyakit saluran pernafasan. Pengobatan pada tuberkulosis
merupakan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).
Ketidakteraturan minum obat merupakan salah satu penyebab
kegagalan program penanggulangan TB Paru.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasi
dengan menggunakan metode survei dengan pendekatan cross
sectional. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder, dimana data primer menggunakan kuesioner dan data
sekunder dengan melihat catatan berobat dan melihat register di
Puskesmas. Jumlah sampel yang diteliti dalam penelitian ini adalah
diambil seluruhnya dari jumlah populasi. Menurut Arikunto (2006)
apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik semua populasi
diambil sebagai sampel yaitu 48 orang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden TB paru yang
memiliki pengetahuan kurang dari 23,42 sebanyak 43,8% dan dan
lebih dari 23,42 sebanyak 56,3%. Responden TB paru yang memiliki
sikap negatif 45,8% dan bersikap positif 54,2%, responden TB paru
yang memiliki motivasi kurang dari 8,81 sebanyak 39,6% dan lebih
dari 8,81 sebnayak 60,4%. Responden TB paru yang tidak teratur
berobat 35,4% dan teratur 64,6%. Hasil uji statistik chi square
menunjukan bahwa pengetahuan tentang TB paru (OR = 3,850,  =
0,033), sikap melakukan pengobatan (OR = 0,222,  = 0,022),
motivasi untuk berobat teratur (OR = 3,492,  = 0,044), ada
hubungan dengan keteraturan berobat.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pengetahuan tentang TB paru,
sikap untuk melakukan pengobatan dan motivasi untuk berobat
teratur ada hubungan dengan keteraturan berobat. Saran penulis
kepada Puskesmas agar lebih memperhatikan dan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB paru kepada masyarakat sebagai
upaya preventif guna mengurangi penyakit TB paru.

Kepustakaan : 21 buah (2001-2008)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang
masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam
Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB.
Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam
menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate
untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif
adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi
prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000
penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian
(9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan
sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia
tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk
(Depkes RI, 2007).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah berhasil mencapai dan
mempertahankan angka kesembuhan sesuai dengan target global,
yaitu minimal 85% penemuan kasus TB di Indonesia pada tahun
2006 adalah 76%. Keberhasilan pengobatan TB dengan DOTS pada
tahun 2004 adalah 83% dan meningkat menjadi 91% pada tahun
2005 (Depkes RI, 2008).
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection
= ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-
2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar
dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis,
hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita
tuberkulosis. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh rendah,
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS disamping faktor
pelayanan kesehatan yang belum memadai (Sulianti, 2007)
Pasien dengan TB sering menjadi sangat lemah karena penyakit
kronis yang berkepanjangan dan kerusakan status nutrisi.
Anoreksia, penurunan berat dan malnutrisi umum terjadi pada
pasien dengan TB. Keinginan pasien untuk makan mungkin
terganggu oleh keletihan akibat batuk berat, pembentukan sputum,
nyeri dada atau status kelemahan secara umum (Smeltzer, 2001).
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse chemotherapy (DOTS) dan telah
terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis
paling efektif (cost-efective). Penerapan strategi DOTS secara baik,
disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah
berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi
DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995
(Depkes RI, 2007).
Tujuan program penanggulangan tuberkulosis adalah menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencegah, mendiagnosis dan
mengobati penyakit dengan cara yang paling baik dan ekonomis.
Alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak minum
obatnya secara teratur dalam waktu yang diharuskan. Pasien
dengan cermat diinstruksikan tentang pentingnya tindakan higienis,
termasuk perawatan mulut, menutup mulut dan hidung ketika
batuk dan bersin, membuang tisu basah dengan baik dan mencuci
tangan. Seluruh keberhasilan program tergantung dari supervisi
yang baik atas pengobatan. Idealnya pengobatan hendaknya
diobservasi langsung (yaitu pasien diawasi setiap kali minum obat),
setidaknya penting selama 2 bulan pertama. Di beberapa daerah
pedesaan, pengobatan dengan pengawasan langsung mungkin
perlu dilakukan oleh seseorang setempat yang bertanggung jawab
atau sukarelawan. Penderita hendaknya kenal orang itu, ikatan
demikian akan mengurangi kelalaian (Crofton, 2002).
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya
semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis
tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis
tunggal. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,
dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang
menjadi kuman tebal obat (resisten) (Depkes RI, 2002).
Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam
meminum obatnya yaitu obat diminum di depan seorang pengawas,
dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT).
Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam
sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata
dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat, yakni
melalui pengobatan jangka pendek (short cource) sesuai dengan
klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Taufan, 2007).
Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan
penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang
menular kesisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik
saran dan perilaku keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan
pengobatannya dan penjelasan petugas kesehatan kalau
pengobatan gagal akan diobati dari awal lagi. Oleh karena itu
pemahaman dan pengetahuan penderita memegang peranan
penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru (Ainur, 2008).

Tabel 1.1
Jumlah Suspek yang Diperiksa di Unit Puskesmas Purbaratu
No Nama Kelurahan Jumlah Suspek Jumlah yang Diobati Hasil dari
Pengobatan
Sembuh Lengkap DO Lalai Gagal Meninggal
1 Sukamenak 35 18 1 8 - - - -
2 Sukaasih 5 2 - - - - - -
3 Sukanagara 4 11 1 4 - - 1 1
4 Purbaratu 18 4 - 3 - - - -
5 Sukajaya 22 13 - 9 - - - 1
6 Singkup 13 6 - 2 2 1 - -
Jumlah 97 54 2 26 2 1 1 2
Sumber: Laporan Tahunan Puskesmas Purbaratu.

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus TB paru di


Puskesmas Purbaratu dengan jumlah suspek sebanyak 97 orang
dengan jumlah yang diobati 54 orang yang dinyatakan sebagai
pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Purbaratu. Data
terakhir diperoleh bahwa penderita yang melakukan pengobatan
lengkap (teratur) sebanyak 28 orang, sembuh 3 orang dan penderita
yang mengalami DO sebanyak 10 orang dan gagal sebanyak 1 orang.
Sementara yang meninggal sebanyak 4 orang dan pindah 2 orang
(Catatan Program Tb paru Puskesmas Purbaratu). Hal ini
memberikan gambaran bahwa angka kesembuhan penderita TB
paru sangat rendah, masalah yang menjadi penyebabnya yaitu
masyarakat belum menyadari bahaya TB paru.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian
tentang “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien
Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya”.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Motivasi
Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi
pasien tuberkulosis paru dengan keteraturan berobat di wilayah
kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi hubungan pengetahuan dengan keteraturan
berobat pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.
b. Mengidentifikasi hubungan sikap dengan keteraturan berobat
pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.
c. Mengidentifikasi hubungan motivasi dengan keteraturan berobat
pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Mendapatkan masukan tentang hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru dengan keteraturan berobat, berupa saran
dan harapan yang luas untuk dijadikan masukan bagi peningkatan
dan pengobatan di Puskesmas Purbaratu kota Tasikmalaya.
2. Bagi STIKes Muhammadiyah Tasikmalaya
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya
mengenai keteraturan berobat TB paru dan menjadikan acuan
penelitian selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mendapatkan
pengalaman dan mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru tentang keteraturan berobat.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk
meneliti aspek lain tentang keteraturan berobat pada pasien TB
paru.
5. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi khususnya mengenai
Tb paru tentang pentingnya pengetahuan, sikap dan motivasi
pasien Tb paru tentang keteraturan berobat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan
Adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda secara garis besarnya dibagi dalam tingkatan
pengetahuan yaitu:
1. Tahu (Know)
Diartikan hanya sebagai recail (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut. Tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut.

3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.
5. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu
(Notoatmodjo, 2007).

B. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi
yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-
tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005).

Azwar (2005) menjelaskan tentang sikap sebagi berikut :


1. Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung
atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau
tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu.
2. Sikap merupakan kecenderungan potensi untuk bereaksi dengan
cara tertentu apabila individu diharapkan pada stimulus yang
menghendaki adanya respon.
3. Sikap merupakan komponen-komponen kognitif, afektif dan
konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan
berperilaku terhadap objek.
4. Sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal berperasaan
(kognisi), presdiposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu
onjek dilingkungan sekitarnya.
5. Sikap yang sering diperoleh melalui pengalaman pribadi, budaya,
orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau
lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu.
Stuktur sikap menurut skema triadic terdiri atas tiga komponen
yang saling menunjang (Azwar, 2005), yaitu :
1. Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau yang benar bagi objek sikap kepercayaan datang
dari apa yang kita lihat atau apa yang kita ketahui. Berdasarkan dari
apa yang kita lihat itu suatu objek.
2. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subyektif
seseorang terhadap suatu objek sikap. Secra umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu
3. Komponen Perilaku
Komponen perilaku (konatif) dalam struktur sikap menunjukan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada
dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Kaitan ini berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Kaitan ini didasarkan oleh asumsi kepercayaan dan
perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Kecenderungan berperilaku secara konsisten selaras dengan
kepecayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena
itu adalah logis untuk mengaharapkan bahwa seseorang akan
dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek
(Azwar, 2005).
Sikap sering diperoleh dari orang lain yang paling dekat. Sikap
membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau
objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu
terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan, antara lain:
1. Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada
situasi saat itu.
2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu
pada pengalaman orang lain.
3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan
pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.
4. Nilai (value) di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku
nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam
menyelenggarakan hidup bermasyarakat. (Notoatmodjo, 2003).
Newcomb, salah seorang ahli psikolog sosial menyatakan bahwa
sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya antara lain:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek).
2. Menanggapi (Responding)
Menanggapi diartikan bahwa memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang
positif terhadap objek atau stimulus. Membahasnya dengan orang
lain dan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang
lain merespon.
4. Bertanggungjawab (Responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggungjawab
terhadap apa yang telah diyakininya. (Notoatmodjo, 2005).
C. Motivasi
Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang
menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
guna mencapai suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang
dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan
tersebut.
Pembagian motivasi dapat dibagi berdasarkan pandangan dari para
ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Woodworth dan Marquis, membedakan motivasi yang
berdasarkan kebutuhan manusia menjadi 3 macam:
a. Motivasi kebutuhan organis, seperti minum, makan, bernafas,
seksual, bekerja, dan beristirahat.
b. Motivasi darurat, yang mencakup dorongan-dorongan
menyelamatkan diri, berusaha, dan dorongan untuk membalas.
c. Motivasi objektif, yang meliputi kebutuhan untuk melakukan
eksplorasi, melakukan manipulasi, dan sebagainya.
2. Pembagian motivasi berdasarkan atas terbentuknya motivasi
tersebut mencakup:
a. Motivasi-motivasi pembawaan, yang dibawa sejak lahir, tanpa
dipelajari, misalnya dorongan untuk makan, minum, beristirahat,
dorongan seksual, dan sebagainya.
b. Motivasi yang dipelajari, yaitu motivasi-motvasi yang timbul
karena dipelajari, seperti dorongan untuk belajar sesuatu, dorongan
untuk mengejar kedudukan, dan sebagainya.
3. Pembagian motivasi menurut penyebabnya
a. Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi karena adanya
rangsangan dari luar, misalnya mahasiswa yang belajar karena ia
tahu bahwa besok ia akan ujian.
b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi tanpa
rangsangan dari luar tetapi sudah dengan sendirinya terdorong
untuk berbuat sesuatu.
Menurut Maslow (1964), motivasi manusia dapat digolongkan dan
tiap-tiap golongan tersebut mempunyai hubungan jenjang.
Maksudnya, suatu motivasi timbul kalau motivasi yang mempunyai
jenjang lebih rendah telah terpenuhi. (Notoatmodjo, 2007)

D. Tuberkulosis Paru
1. Pengertian dan Penyebab TBC
a. Pengertian
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2008).
Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui
inhalasi partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 mm). droplet
dikeluarkan selama batuk, tertawa, atau bersin. Nukleus yang
terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang rentan (hospes).
Sebelum infeksi pulmonari dapat terjadi, organisme yang terhirup
terlebih dahulu harus melawan mekanisme pertahanan paru dan
masuk jaringan paru (Asih, 2003).
b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk
batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
Sebagian besar komponen mycobacterium tuberculosis adalah
berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam
serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis
senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif
untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis
diantaranya:
a. Faktor ekonomi, keadaan sosial yang rendah pada umumnya
berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan karena
ketidakmampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah
kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas
semua ini akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkulosis.
b. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya
penyakit tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian kejadian
tuberkulosis menunjukakan bahwa penyakit yang bergizi normal
ditemukan kasus lebih kecil daripada status gizi kurang dan buruk.
c. Status pendidikan, latar belakang pendidikan mempengaruhi
penyebaran penyakit menular khususnya tuberkulosis. Berdasarkan
hasil penelitian mengatakan semakin rendah latar belakang
pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkulosis, hal ini faktor
terpenting dari kejadian TBC.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, TBC dapat
dipengaruhi oleh:
a. Status sosial ekonomi
b. Kepadatan penduduk
c. Status gizi
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
g. Keteraturan berobat.
(Taufan, 2008)
3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam
(TBC BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jama dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Depkes RI, 2007).
4. Resiko Penularan TBC
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinan resiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan
dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang beresiko terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI., 2007).

E. Diagnosa Penderita TBC


1. Gejala Penyakit TBC
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap
batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini
menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur
dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.
b. Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,
kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau
sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah
terjadi perlunakan.
c. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak.

d. Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas
(nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-
tempat lain).
e. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang
disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan
granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).
f. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis
paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta
loss of vascular bed / thrombosis yang dapat mengakibatkan
gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.
Gejala-gejala umum:
a. Panas badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering
kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.
b. Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak
diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat
terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat.

c. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila
proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor
labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan
sakit kepala timbul bila ada panas.
d. Gangguan menstruasi
Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru
sudah menjadi lanjut.
e. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi
toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila
proses progresif.
f. Lemah badan
Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang
tidur dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena
itu harus dianalisa dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila
dijumpai perubahan sikap dan temperamen (misalnya penderita
yang mudah tersinggung), perhatian penderita berkurang atau
menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau
penyakit yang kelihatan neurotik.
Gejala umum ini, seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia
memperoleh terapi dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya
(Retrospective Symptomatology) (Alsagaff, 2005).
2. Penemuan Pasien TBC
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien
TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan
dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.
Adapun strategi penemuan pada tuberkulosis adalah:
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang
BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
c. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost
efektif.
(Depkes RI, 2007)
3. Diagnosis TBC
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan
uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
b. Diagnosis TB ekstra paru
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi, anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
c. Indikasi pemeriksaan foto toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat
yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien
yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI., 2007).
F. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis
memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA
positif atau BTA negatif.
3) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah
diobati.
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negtif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas (misalnya proses “far advanced), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
b. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
4. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
(Depkes RI., 2007)

G. Pengobatan TB
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) (Depkes RI, 2007).
2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan
paduan OAT:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuk satu (1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan.
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid
(Z) dan Etambutol (E). obat-obat tersebut diberikan setiap hari
selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap
lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga
kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru TBC paru BTA positif
2) Penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”
3) Penderita TBC ekstra paru berat.

b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol
(E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol
(E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama
5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu
diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4
bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

d. OAT sisipan (HRZE)


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif,
diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI,
2002).
4. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasian menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (Intensif):
1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan:
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lama.
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
(Depkes RI, 2007)
5. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan
dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Depkes RI,
2007)
6. Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat
dengan pendekatan gejala.
Tabel 2.2
Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Semua OAT
diminum malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
100 mg per hari
Warna kemerahan pada air seni (urine) Rifampisin Tidak perlu diberi
apa-apa tapi perlu dijelaskan kepada pasien.

Tabel 2.3
Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk
penatalaksanaan dibawah.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua
OAT sampai ikterus menghilang
Bingung dan muntah-muntah (permukaan ikterus karena obat)
Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi
hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan


kulit”: jika seorang pasien dalam pengobatan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) mulai mengeluh gatal-gatal, singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut
pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan
terjadi suatu kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk pada UPK rujuan
penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk
menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek
samping tersebut.

b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi


hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.
c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka
pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut.
Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan resiko terjadinya kambuh.
d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas
(kepekaan) terhadap Isonasid atau Rifampisin. Kedua obat ini
merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat
utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isonasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan
desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB
dengan HIV positif sebab mempunyai resiko besar terjadi keracunan
yang berat (Depkes RI, 2007).
7. PMO (Pengawasan Menelan Obat)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien.
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa,
perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal
dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh
masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang
PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK.
(Depkes RI., 2007)

H. Keteraturan Pasien Pada Aturan Pemakaian Obat Yang Telah


Ditetapkan
Keteraturan berobat yaitu diminum tidaknya obat-obat tersebut,
penting karena ketidakteraturan berobat menyebabkan timbulnya
masalah resistensi. Karena semua tatalaksana yang telah dilakukan
dengan baik akan menjadi sia-sia, bila tanpa disertai dengan sistem
evaluasi yang baik pula. Oleh karena itu, peranan pendidikan
mengenai penyakit dan keteraturan berobat sangat penting (Taufan,
2008).
Walaupun telah ada cara pengobatan tuberkulosis dengan
efektifitas yang tinggi, angka sembuh masih lebih rendah dari yang
diharapkan. Penyakit utama terjadinya hal tersebut adalah pasien
tidak mematuhi ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur
untuk mencapai kesembuhan. Terutama pemakaian obat secara
teratur pada 2 bulan fase inisial sering kali tidak tercapai, sementara
itu dengan mempersingkat lamanya pengobatan menjadi 6 bulan
telah menunjukkan penurunan angka drop out.
Hal ini mudah dimengerti, karena kalau penderita tidak tekun
meminum obat-obatnya, hasil akhir hanyalah kegagalan
penyembuhan ditambah dengan timbulnya basil- basil TB yang
multiresisten. Resistensi obat anti tuberkulosis terjadi akibat
pengobatan tidak sempurna, putus berobat atau karena kombinasi
obat anti tuberkulosis tidak adekuat. Sejak tahun 1995, manajemen
operasional yang menyesuaikan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) menekankan adanya pengawas minum
obat (PMO) untuk setiap penderita TBC paru dengan harapan dapat
menjamin keteraturan minum obat bagi setiap penderita selama
masa pengobatan.
Kondisi seorang penderita penyakit tuberkulosis sering berada
dalam kondisi rentan dan lemah, baik fisik maupun mentalnya.
Kelemahan itu dapat menyebabkan penderita tidak berobat, putus
berobat, dan atau menghentikan pengobatan karena berbagai
alasan. TBC dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur
sampai selesai dalam waktu 6-8 bulan. Tata cara penyembuhan itu
terangkum dalam strategi DOTS.
Dalam proses penyembuhan, penderita TBC dapat diberikan obat
anti-TBC (OAT) yang diminum secara teratur sampai selesai dengan
pengawasan yang ketat. Masa pemberian obat memang cukup lama
yaitu 6-8 bulan secara terus-menerus, sehingga dapat mencegah
penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para penderita TBC
jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya
keteraturan minum obat penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak
teratur minum obat penyakitnya sukar diobati kuman TBC dalam
tubuh akan berkembang semakin banyak dan menyerang organ
tubuh lain akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat
sembuh biaya pengobatan akan sangat besar dan tidak ditanggung
oleh pemerintah (Ainur, 2008).
I. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional
yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang
juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan
pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di
wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan sesuai kemampuan tenaga
maupun fasilitasnya, karenanya kegiatan pokok di setiap Puskesmas
dapat berbeda-beda. Pada saat ini kegiatan puskesmas ada 17 yakni
: kesejahteraan ibu dan anak (KIA), keluarga brencana, usaha
peningkatan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit
menular, upaya pengobatan termasuk pelayanan darurat
kecelakaan, penyuluhan kesehatan masyarakat, usaha kesehatan
sekolah, kesehatan olah raga, perawatan kesehatan masyarakat,
usaha kesehatan kerja, usaha kesehatan gigi dan mulut, usaha
kesehatan jiwa, kesehatan mata, laboratorium, pencatatan dan
pelaporan sistem informasi kesehatan dan kesehatan usia lanjut
(Hatmoko, 2008).

J. Kerangka Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian ini, maka
kerangka penelitian ini adalah:

Bagan 2.1 Kerangka Penelitian


Variabel Bebas Variabel Terikat Output

Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti

K. Hipotesa
1. Ha: Ada hubungan antara pengetahuan pasien tentang TB paru
dengan keteraturan berobat.
2. Ha: Ada hubungan antara sikap untuk melakukan pengobatan
dengan keteraturan berobat pasien TB paru.
3. Ha: Ada hubungan antara motivasi untuk melakukan pengobatan
dengan keteraturan berobat pasien TB paru.

L. Definisi Operasional
Tabel 2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Skala Alat Ukur Hasil Ukur
1 Pengetahuan Pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui pasien
seputar penyakit TB paru.

Ordinal Kuesioner Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari
rata-rata
Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
2 Sikap untuk melakukan pengobatan Sikap untuk melakukan
pengobatan adalah pendapat atau keyakinan untuk melakukan
pengobatan secara teratur. Ordinal Kuesioner Bersifat positif: SS=5,
S=4, R=3, TS=2, STS=1
Bersifat negatif: SS=1, S=2,R=3,TS=4,STS=5

3 Motivasi untuk melakukan pengobatan Motivasi untuk melakukan


pengobatan yaitu suatu dukungan yang kuat dari diri sendiri dan
keluarga untuk berobat secara teratur dalam mencapai
kesembuhan. Ordinal Kuesioner Kurang dari mean yaitu nilai skor
kurang dari rata-rata
Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata

4 Keteraturan berobat pasien TB paru


Pengobatan yang dilaksanakan secara teratur sejak pertama
dinyatakan TB paru BTA positif (+) dan datang kembali setiap
persediaan obat habis dari petugas kesehatan sampai dinyatakan
sembuh. Nominal Data sekunder dari Puskesmas Teratur, jika
penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
Tidak teratur, jika penderita kadang-kadang berhenti minum obat
sebelum masa pengobatan selesai.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasi
dengan menggunakan metode survei dengan pendekatan cross
sectional adalah pencarian hubungan antara satu keadaan lain yang
terdapat dalam satu populasi yang sama (Azwar, 2003). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru untuk melakukan pengobatan dengan
keteraturan berobat setelah pengobatan kategori I di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.

B. Populasi, Sampel dan Sampling


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2002).
Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB
paru yang sudah selesai pengobatan kategori I di Puskesmas
Purbaratu selama tahun 2007 sebanyak 48 orang sampel.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo,
2002).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah diambil
seluruhnya dari jumlah populasi, yaitu berjumlah 48 orang yang
sekaligus merupakan populasi aktual yang ada di lapangan. Karena
populasi sedikit, maka yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh populasi. Menurut Arikunto (2006) apabila
subjeknya kurang dari 100, lebih baik semua populasi diambil
sebagai sampel.

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam,
2003).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Responden kategori I yang sudah selesai pengobatan
b. Responden yang bersedia memberikan jawaban
c. Responden yang berobat diwilayah kerja Puskesmas Purbaratu
d. Responden yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Purbaratu
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek
yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab sehingga
tidak dapat menjadi responden penelitian (Nursalam, 2003).

Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini terdiri dari:


a. Responden yang kasus baru
b. Responden dalam keadaan tidak sadar
c. Responden yang menolak berpartisipasi
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut, sifat atau nilai dari orang,
objek, kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan
(Sugiyono, 2006).
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat
(Sugiyono, 2006).
Variabel bebas yang diteliti terdiri dari:
a. Pengetahuan tentang TB paru.
b. Sikap untuk melakukan pengobatan.
c. Motivasi untuk berobat teratur.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keteraturan pasien TB
paru di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
E. Lokasi dan Waktu penelitian
Lokasi penelitian ini di wilayah kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya yang dilaksanakan pada bulan September 2008

F. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek
dan proses pengumpulan karakteristik yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2003).
Pengumpulan data ini terdiri dari:
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung melalui observasi
dan wawancara dengan responden dengan menggunakan
kuesioner.
2. Data Sekunder
Data tentang keteraturan pasien berobat dengan melihat daftar
kunjung pasien dalam pengambilan obat setiap kali obat habis.
Selanjutnya ada tambahan data yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Tasikmalaya dan Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya, yaitu data TB paru se-Provinsi Jawa Barat dan se-Kota
Tasikmalaya serta data jumlah suspek TB paru yang diperiksa di unit
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
yang berbentuk pertanyaan dan pernyataan tertutup, data
dikumpulkan langsung oleh peneliti dengan cara kunjungan ke
rumah responden.

H. Uji Coba Instrumen


1. Uji Validitas
Validitas adala suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen (Arikunto, 2006).
Dalam penelitian ini untuk pengujian validitas keteraturan berobat
pada pasien TB paru menggunakan uji korelasi product moment
yang rumusannya sebagai berikut (Arikunto, 2006).

Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y
n = Banyaknya subjek
X = Skor jawaban masing-masing item
Y = Skor total
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh sebuah
alat ukur, meskipun digunakan secara berulang-ulang pada subjek
yang sama atau berbeda (Danim, 2003). Sebuah alat evaluasi
dipandang reliabel (tahan uji), apabila memiliki konsistensi,
keajegan hasil. Uji reliabilitas digunakan hanya untuk menguji item
valid saja. Pada penelitian ini uji reliabilitas menggunakan rumus
Alpha sebagai berikut:

Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= Jumlah varian butir
= Varian total
Dalam penelitian ini digunakan uji validitas dan reliabilitas dengan
menggunaknan program SPSS for window. Langkah-langkah yang
dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai r tabel
b. Dari r tabel Product moment dengan tingkat signifikan 5%
didapat angka 0,444
c. Mencari r hasil
Disini r hasil tiap item bisa dilihat pada kolom correted item total
correlation.
d. Mengambil keputusan
Dasar mengambil keputusan:
1) Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel butir tersebut valid.
2) Jika r hasil negatif, serta r hasil < r tabel maka butir tersebut tidak
valid.
3) Jadi, jika r hasil > r tabel tapi berharga negatif butir tetap ditolak.
Keputusan : Dalam uji validitas ini terlihat dari 75 item pertanyaan
semuanya valid. Dimana variabel pengetahuan didapatkan nilai
alpha (r hasil) sebesar 0,9301 > 0,444 (r tabel), variabel sikap
didapatkan nilai alpha (r hasil) sebesar 0,9429 > 0,444 (r tabel), dan
variabel motivasi didapatkan nilai alpha 0,8781 > 0,444 (r tabel),
maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kuesioner sudah
reliabel.

I. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data


1. Pengolahan Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok
data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga
menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007).
Pengolahan data dilakukan dengan cara:

a. Editing
Editing adalah menyeleksi data yang telah didapat dari hasil
wawancara untuk mendapatkan data yang akurat.
b. Koding
Koding adalah melakukan pengkodean data agar tidak terjadi
kekeliruan dalam melakukan tabulasi data.
1) Koding butir jawaban untuk pengetahuan dengan menggunakan
penilaian :
Nilai 1 untuk jawaban yang benar dan
Nilai 0 untuk jawaban yang salah
2) Koding butir untuk jawaban pertanyaan sikap (skala likert)
Bersikap positif : (SS=5, S=4, R=3, TS=2, STS=1)
Bersikap negatif : (SS=1, S=2, R=3, TS=4, STS=5)
3) Koding butir untuk jawaban untuk motivasi menggunakan
penilaian
Nilai 1 untuk jawaban ya dan
Nilai 0 untuk jawaban tidak
c. Tabulasi data
Tabulasi data adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga
memudahkan dalam penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk
tulisan.
d. Entri data
Entri data adalah memasukan data melalui pengolahan komputer.

2. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Analisa Univariat
Dilakukan untuk mendiskripsikan tiap variabel independent dan
variabel dependent dalam bentuk distribusi frekuensi.
1) Pengetahuan tentang penyakit TB paru
Untuk mengukur variabel pengetahuan tentang penyakit TB paru
dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan diberi
skor. Untuk setiap item yang dijawab benar diberi nilai satu (1), dan
jika salah satu jawaban tidak diisi diberi nilai nol (0). Kemudian skor
pada setiap pertanyaan yang terdiri dari 30 pernyataan dijumlahkan
sehingga didapatkan skor total dari setiap responden. Sebelum
membuat kategori terlebih dahulu dicari nilai rata-rata (cut of point)
dengan rumus :
Skor total jawaban
Mean =
Banyaknya responden

Setelah diperoleh hasil dengan cara penghitungan seperti diatas


kemudian nilai tersebut dimasukan kedalam kategori nilai sebagai
berikut:
Kategori: a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata

2) Sikap untuk melakukan pengobatan


Untuk mengukur sikap digunakan skala likert. Pada skala likert
disediakan lima alternative jawaban dan setiap jawaban sudah
tersedia nilainya. Dalam skala likert item ada yang bersifat positif
(favorable) terhadap masalah yang diteliti, sebaliknya ada yang
bersifat negatif (unfavorable) terhadap masalah yang diteliti.
Untuk pertanyaan positif (favorable) yaitu:
Sangat setuju (SS) diberi skor = 5
Setuju (S) diberi skor = 4
Ragu-ragu (R) diberi skor = 3
Tidak setuju (TS) diberi skor = 2
Sangat tidak setuju (STS) diberi skor = 1
Untuk pertanyaan negatif (unfavorable) yaitu:
Sangat setuju (SS) diberi skor = 1
Setuju (S) diberi skor = 2
Ragu-ragu (R) diberi skor = 3
Tidak setuju (TS) diberi skor = 4
Sangat tidak setuju (STS) diberi skor = 5
Kemudian dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan
dihitung tabulasi. Untuk sikap dikategorikan menjadi posittif dan
negatif dengan menghitung terlebih dahulu skor-T (Azwar, 2007).

Keterangan :
X = Skor responden
= Mean skor kelompok
s = Deviasi standar skor kelompok
Kategori: a) Jika T > rata-rata skor-T = Bersikap positif (favorable)
b) Jika T < rata-rata skor-T = Besikap negatif (unfavorable)
3) Motivasi untuk melakukan pengobatan
Untuk mengukur variabel motivasi untuk melakukan pengobatan
dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan diberi
skor. Untuk setiap item yang dijawab ya diberi nilai satu (1), dan jika
salah satu jawaban tidak diberi nilai nol (0).
Kategori: : a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
4) Keteraturan berobat pasien TB paru
Untuk mengukur variabel keteraturan berobat pasien TB paru,
menggunakan data sekunder dari Puskesmas dengan melilihat
daftar dari hasil kunjungan pasien dalam pengambilan obat setelah
obat itu habis, yang diaktegorikan sebagai berikut:
Kategori: a) Teratur, jika penderita telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap.
b) Tidak teratur, jika penderita kadang-kadang berhenti minum obat
sebelum masa pengobatan selesai.
3. Analisa Bivariat
Dilakukan untuk mencari hubungan antara data variabel yaitu
variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan dengan uji chi-
square yaitu uji statistik yang digunakan untuk menguji signifikasi
dua variabel (Arikunto, 2006).

Keterangan :
x2 = Chi kuadrat
f0 = Frekuensi observasi
fh = Frekuensi harapan
Pengambilan keputusan didasarkan pada besarnya nilai yaitu bila ?
value ? 0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru untuk
melakukan pengobatan dengan keteraturan berobat pada ? : 5%,
sedangkan bila ? value > 0,05% maka Ho diterima, artinya tidak ada
hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien
tuberkulosis paru untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan
berobat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Purbaratu


1. Letak Puskesmas Purbaratu
Puskesmas Purbaratu terletak disebelah utara Kota Tasikmalaya,
dengan batas-batas, sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kabupaten Ciamis
b. Sebelah Selatan : Wilayah kerja Puskesmas Cibeureum
c. Sebelah Barat : Kecamatan Tawang
d. Sebelah Timur : Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya
Luas wilayak kerja Puskesmas Purbaratu 1.810,78 Ha. Sebagian
besar merupakan daratan dan sarana transportasi memakai
kendaraan roda empat dan ojeg.
Data Geografi Kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Purbaratu dan jarak dari kelurahan ke Pelayanan Kesehatan dapat
dilihat dari Tabel 4.1

Tabel 4.1
Data Geograpi Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu

No
Nama Kelurahan Jumlah
Luas Wilayah Jarak dari Kelurahan (KM) Kepadatan Penduduk
RT RW
1 Sukamenak 43 10 134,495 0.5 39 Ha
2 Sukaasih 37 8 155,3 3 30 Ha
3 Sukanagara 42 14 206 1 34 Ha
4 Purbaratu 26 6 167,33 1 30 Ha
5 Sukajaya 29 6 80 4 62 Ha
6 Singkup 35 8 347,655 5 16 Ha

2. Visi, Misi dan Strategi Puskesmas Purbaratu


a. Visi
Mewujudkan kelurahan sehat 2008 dan menjadikan Puskesmas
Purbaratu sebagi Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DPT)
tahun 2008
b. Misi
Untuk mencapi Visi tersebut diatas, maka disusunlah Misi
Puskesmas Purbaratu sebagai berikut :
1) Menerapkan 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun)
2) Menciptakan pelayanan yang prima
3) Membangun kemitraan dengan stekholder terkait
4) Memberdayakan dan mendorong masyarakat untuk hidup sehat
5) Transparansi
6) Mewujudkan pelayanan Keparawatan yang komprehensif

c. Strategi
Strategi untuk mewujudkan Misi Puskesmas Purbaratu adalah
sebagai berikut :
1) Audensi ke Dinas Kesehatan untuk mendukung pendirian rawat
inap dengan hasil SK Wali Kota dan terbitnya Perda sebagai payung
hukum
2) Sosialisasi ke tokoh masyarakat untuk mendukung perkembangan
Puskesmas Purbaratu dengan tempat perawatan
3) Sosialisasi pada kepala kelurahan untuk merangkul masyarakat
supaya mau menggunakan fasilitas Puskesmas sebagai pilihan
pertama
3. Tenaga Puskesmas Purbaratu
Tabel 4.2
Tenaga Kerja Puskesmas Purbaratu

No Jenis Tenaga Jumlah


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15 dr. Umum
Dr. Gigi
Bidan Puskesmas
Bidan Kelurahan
Perawat Puskesmas
Perawat Pustu
Perawat Gigi
Tenaga Laboratorium
Asisten Apotek
Pelaksana Gizi
Sanitarian
Administrasi
Tenaga Penyuluh
Pelaksana Imunisasi
Sukwan 2
1
3
6
7
2
2
-
-
-
1
1
-
1
15

4. Sarana Puskesmas Purbaratu


Sarana yang ada di Puskesmas Purbaratu terdiri dari
a. Rawat Inap
b. Rawat Jalan

B. Gambaran Khusus
1. Analisa Univariat
a. Pengetahuan
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang
TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Pengetahuan f %
1 Kurang dari 23,42 21 43,8
2 Lebih dari Mean 23,42 27 56,3
Jumlah 48 100

Tabel 4.3 menunjukan responden TB paru yang memiliki


pengetahuan kurang dari 23,42 sebanyak 21 responden (43,8%) dan
yang memiliki pengetahuan lebih dari 23,42 sebanyak 27 responden
(56,3%).
b. Sikap
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap tentang TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Sikap f %
1 Negatif 22 45,8
2 Positif 26 54,2
Jumlah 48 100

Tabel 4.4 menunjukan responden TB paru yang memiliki sikap


negatif sebanyak 22 responden (45,8%) dan bersikap positif
sebanyak 26 responden (54,2%).
c. Motivasi
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi tentang TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Motivasi f %
1 Kurang dari 8,81 19 39,6
2 Lebih dari 8,81 29 60,4
Jumlah 48 100
Tabel 4.5 menunjukan responden TB paru yang memiliki motivasi
kurang dari 8,81 sebanyak 19 responden (39,6%) dan motivasi lebih
dari 8,81 sebanyak 29 responden (60,4%).
d. Keteraturan Berobat
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keteraturan Berobat
tentang TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya

No Keteraturan Berobat f %
1 Tidak Teratur 17 35,4
2 Teratur 31 64,6
Jumlah 48 100

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa berdasarkan kategori


keteraturan pasien melakukan pengobatan sebanyak 17 responden
(35,4%) termasuk kategori melakukan pengobatan secara tidak
teratur dan 31 responden (64,6%) termasuk kategori melakukan
pengobatan secara teratur. Keteraturan pasien Tb paru lihat dengan
melakukan obeservasi pada data yang ada di Puskesmas.

2. Analisa Bivariat
a. Hubungan antara pengetahuan dengan keteraturan berobat
Tabel 4.7
Hubungan Antara Pengetahuan dengan Keteraturan Berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Pengetahuan Tidak teratur Teratur Jumlah OR


95%
f%f%f%
1 Kurang dari 23,42 11 22,9 10 20,8 21 43,8
3,850

2 Lebih dari 23,42 6 12,5 21 43,8 27 56,3


Jumlah 17 35,4 31 64,6 48 100
? value = 0,030
Dari tabel diatas dari 21 responden yang kategori pengetahuan
kurang dari 23,42 dengan melakukan pengobatan tidak teratur
sebanyak 11 orang (22,9%), tidak teratur 10 orang (20,8%).
Responden yang pengetahuannya lebih dari 23,42 yang berjumlah
27 orang (56,3%), tidak teratur sebanyak 6 orang (12,5%) dan
teratur sebanyak 21 orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh ?
value = 0,030 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak
yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
pasien TB paru dengan keteraturan berobat.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,850 artinya responden yang
memiliki pengetahuan lebih dari 23,42 mempunyai peluang 3,850
kali untuk melakukan pengobatan secara teratur dibanding dengan
responden yang memiliki pengetahuan kurang dari 23,42.
b. Hubungan antara sikap dengan keteraturan berobat
Tabel 4.8
Hubungan Antara Sikap dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Sikap Tidak teratur Teratur Jumlah OR


95%
f%f%f%
1 Negatif 12 25,0 10 20,8 22 45,8
5,040
2 Positif 5 10,4 21 43,8 26 54,2
Jumlah 17 35,4 31 64,6 48 100
? value = 0,011
Tabel 4.8 diatas dari 22 responden yang kategori sikap negatif
terhadap ketidakaturan berobat sebanyak 12 orang (25,0%) dan
teratur 10 orang (20,8%). Kategori sikap positif yang melakukan
pengobatan tidak teratur sebanyak 5 orang (10,4%) dan teratur
sebanyak 21 orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh ? value =
0,011 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap pasien TB
paru dengan keteraturan berobat.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 5,040 artinya responden yang
memiliki sikap positif mempunyai peluang 5,040 kali untuk
melakukan pengobatan secara teratur dibanding dengan responden
yang memiliki sikap negatif.

c. Hubungan antara motivasi dengan keteraturan berobat


Tabel 4.9
Hubungan Antara Motivasi dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

No Motivasi Tidak teratur Teratur Jumlah OR


95%
f%f%f%
1 Kurang dari 8,81 10 20,8 9 18,8 19 39,6
3,492
2 Lebih dari 8,81 7 14,6 22 45,8 29 60,4
Jumlah 17 35,4 31 64,6 48 100
? value = 0,044
Tabel 4.9 diatas dari 19 responden yang mempunyai motivasi
kurang dari 8,81 untuk melakukan pengobatan secara tidak teratur
sebnayak 10 orang (20,8%) dan teratur 9 orang (18,8%). Responden
yang motivasinya lebih dari 8,81 sebanyak 29 orang (60,4%) untuk
melakukan pengobatan secara tidak teratur sebanyak 7 orang
(14,6%) dan teratur 22 orang (45,8%). Hasil uji statistik diperoleh ?
value = 0,044 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap pasien TB
paru dengan keteraturan berobat.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,492 artinya responden yang
memiliki motivasi lebih dari 8,81 mempunyai peluang 3,492 kali
untuk melakukan pengobatan secara teratur dibanding dengan
responden yang memiliki motivasi kurang dari 8,81.

C. Ringkasan Hasil Uji Statistik


Tabel 4.10
Rekapitulasi Hasil Uji Statistik

No Variabel Bebas Variabel Terikat ? value OR


95% Keterangan
1. Pengetahuan tentang TB paru

Keteraturan berobat 0,030 3,850 Ada hubungan


2 Sikap melakukan pengobatan 0,011 5,040 Ada hubungan
3 Motivasi untuk berobat teratur 0,044 3,492 Ada hubungan

D. Pembahasan
1. Hasil penelitian
a. Hubungan antara pengetahuan dengan keteraturan berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Dari tabel 4.7 dari 21 responden yang kategori pengetahuan kurang
dari 23,42 dengan melakukan pengobatan tidak teratur sebanyak 11
orang (22,9%), tidak teratur 10 orang (20,8%). Responden yang
berpengetahuan lebih dari 23,42 yang berjumlah 27 orang (56,3%),
tidak teratur sebanyak 6 orang (12,5%) dan teratur sebanyak 21
orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai ? = 0,030 yang lebih
kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak yang artinya ada hubungan
antara pengetahuan pasien TB paru dengan keteraturan berobat.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,850 artinya responden yang
memiliki pengetahuan lebih dari 23,42 mempunyai peluang 3,850
kali untuk melakukan pengobatan secara teratur dibanding dengan
responden yang memiliki pengetahuan kurang dari 23,42.
Penulis berasumsi bahwa pengetahuan tentang TB paru dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan yang memberi pengaruh positif
dalam penyembuhan, hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh
(Depkes RI, 2002) bahwa tingkat pendidikan yang relatif rendah
pada penderita TB paru menyebabkan keterbatasan informasi
tentang gejala dan pengobatan TB paru. Seperti yang dikemukakan
oleh Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo,2003).
Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan mempunyai hubungan
dengan keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini
terbukti dan diterima.
b. Hubungan antara sikap dengan keteraturan berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Dari tabel 4.8 diatas dari 22 responden yang kategori sikap negatif
terhadap ketidakaturan berobat sebanyak 12 orang (25,0%) dan
teratur 10 orang (20,8%). Kategori sikap positif yang melakukan
pengobatan tidak teratur sebanyak 5 orang (10,4%) dan teratur
sebanyak 21 orang (43,8%). Hasil uji statistik diperoleh ? value =
0,011 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap pasien TB
paru dengan keteraturan berobat. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR = 5,040 artinya responden yang memiliki sikap positif
mempunyai peluang 5,040 kali untuk melakukan pengobatan secara
teratur dibanding dengan responden yang memiliki sikap negatif.
Hal ini sejalan dengan dengan teori yang dikemukan oleh Azwar
(2005) bahwa sikap menunjukan bagaimana perilaku atau
kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang
berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini
didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara
konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk
sikap individual. Sikap sering diperoleh dari orang lain yang paling
dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang
lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak
selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini sesuai dengan
pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang stimulus atau objek.
Karena itu adalah logis untuk mengharapkan bahwa seseorang akan
dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek.
Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung
(unfavorable) pada objek tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian sikap mempunyai hubungan dengan
keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini terbukti
dan diterima.
c. Hubungan antara motivasi dengan keteraturan berobat di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Tabel 4.9 diatas dari 19 responden yang mempunyai motivasi
kurang dari 8,81 untuk melakukan pengobatan secara tidak teratur
sebanyak 10 orang (20,8%) dan teratur 9 orang (18,8%). Responden
yang motivasinya lebih dari 8,81 sebanyak 29 orang (60,4%) untuk
melakukan pengobatan secara tidak teratur sebanyak 7 orang
(14,6%) dan teratur 22 orang (45,8%). Hasil uji statistik diperoleh
nilai ? = 0,044 yang lebih kecil dari nilai ? = 0,05, maka Ho ditolak
yang artinya ada hubungan antara motivasi pasien TB paru dengan
keteraturan berobat. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,492
artinya responden yang memiliki motivasi lebih dari 8,81
mempunyai peluang 3,492 kali untuk melakukan pengobatan secara
teratur dibanding dengan responden yang memiliki motivasi kurang
dari 8,81.
Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan
situasi tertentu yang dihadapinya. Didalam diri seseorang terdapat
kebutuhan atau keinginan terhadap objek diluar seseorang
tersebut, kemudian bagaimana seseorang tersebut
menghubungkan antara kebutuhan dengan situasi diluar objek
dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dimaksud. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmodjo (2007) bahwa motivasi merupakan
suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang
tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai
suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati
adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut.
Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6
bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka
malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi penderita
yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan
sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara
tertaur.
Berdasarkan hasil penelitian motivasi mempunyai hubungan
dengan keteraturan berobat di wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini
terbukti dan diterima.
2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mengunakan deskriptif korelasi dengan menggunakan
metode survei dengan pendekatan cross sectional dengan melihat
pencarian hubungan antara satu keadaan lain yang terdapat dalam
satu populasi yang sama. Studi cross sectional sulit untuk
menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan
efek dilakukan pada saat bersamaan (temporal relationship tidak
jelas). Akibatnya sering tidak mungkin ditentukan mana yang sebab
dan mana akibat. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek
yang mempunyai masa sakit yang panjang daripada mereka yang
mempunyai masa sakit yang pendek. Hal ini disebabkan karena
individu yang cepat sembuh atau yang cepat meninggal akan
mepunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi
ini. Bias yang terdapat dalam penelitian adalah mungkin terjadi bias
prevalens atau bias insidens karena efek suatu faktor risiko selama
selang waktu tertentu ditafsirkan sebagai efek penyakit
(Setiadi,2007).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
terstruktur. Data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap
responden berdasarkan panduan kuesioner. Dalam hal ini data yang
diperoleh lebih banyak berdasarkan subyektifitas responden.
Peneliti tidak mampu menjamin kebenaran atas jawaban yang
diberikan oleh responden.
Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini hanya
responden yang masih berada diwilayah kerja Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya dan masih mampu berkomunikasi untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti, jika ada
responden yang sudah tidak mampu, wawancara dilakukan
terhadap keluarga dekat responden.
Peneliti juga mempunyai keterbatasan dalam jumlah variabel yang
diteliti. Masih ada variabel-variabel independen yang mepunyai
hubungan dengan variabel dependen dalam penelitian ini yang
tidak diteliti karena adanya keterbatasan biaya maupun tenaga.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengetahuan pasien TB paru tentang Keteraturan Berobat di
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
Hasil penelitian didapatkan bahwa pengatahuan pasien TB paru di
Puskesmas Purbaratu yang mempunyai pengetahuan kurang dari
23,42 yaitu sebanyak 43,8% dan lebih dari 23,42 sebanyak 56,3%.
2. Sikap pasien Tb paru tentang Keteraturan Berobat di Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang
memiliki sikap negatif (unfavorable) sebanyak 45,8% dan bersikap
positif (favorable) sebanyak 54,2%,
3. Motivasi pasien TB paru untuk Berobat di Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang
memiliki motivasi kurang dari 8,81 yaitu sebanyak 39,6% dan lebih
dari 8,81 sebanyak 60,4%.
4. Responden TB paru yang melakukan pengobatan sebanyak 35,4%
termasuk kategori yang tidak teratur dan teratur 64,6%.
5. Ada hubungan antara judul Hubungan Pengetahuan, Sikap dan
Motivasi pasien TB paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.

B. Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Melihat dari permasalahan dilapangan maka tidak menutup
kemungkinan semakin hari jumlah penderita TB paru akan semakin
meningkat. Hal ini perlu dicegah jangan sampai sampai terjadi
peningkatan yang terus-menerus. Maka dari itu sangat perlu sekali
diberikan penjelasan, penyuluhan dan peningkatan penegetahuan
masayarakat terutama masalah yang dapat menyebabkan
terjadinya TB paru sebagai upaya preventif dan kuratif kepada
masyarakat sehingga masyarakat termotivasi untuk melakukan
pengobatan secara teratur untuk mencegah timbulnya masalah
resistensi terhadap obat.
b. Kemampuan petugas pemegang program TB paru di Puskesmas
dalam memberikan pelayanan pengobatan pada penderita TBC
paru akan lebih baik bila mengetahui pengetahuan penderita TBC
paru. Penjelasan tentang pengobatan, adanya penyuluhan, serta
bahasa yang digunakan akan bermanfaat terhadap keberhasilan
pengobatan pada penderita TBC paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan bagi
perencanaan upaya pembinaan masyarakat khususnya tentang
penegetahuan ,sikap dan motivasi yang berhubungan dengan
keteraturan berobat.
b. Tingginya angka kejadian TB paru di masyarakat maka perguruan
tinggi sebaiknya memperhatikan masyarakat sebagai wujud
pengabdian masyarakat agar dapat mengurangai angka kejadian TB
paru.
3. Bagi Peneliti
Peneliti harus dapat memanfaatkan ilmu yang telah diterima selama
menjalankan penelitian ini serta dapat mengaplikasikannya dengan
kenyataan di lapangan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
permasalahan TB paru dengan keteraturan berobat dan dapat
dijadikan sebagai acuan sumber data mengenai keteraturan berobat
pada pasien TB paru.
5. Bagi Profesi Perawat
Dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat, maka perawat harus
dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai TB paru serta
melaksanakan program pendidikan yang berkelanjutan untuk
memberikan pelayanan yang prima serta memberikan arahan atau
penyuluhan untuk memberdayakan dan mendorong masyarakat
untuk hidup sehat.

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI PASIEN


TUBERKULOSIS PARU DENGAN KETERATURAN BEROBAT
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURBARATU
KOTA TASIKMALAYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan


Program Sarjana Keperawatan

RANI SUSANTI
NIM: 105.2004.00044

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


TASIKMALAYA
2008

DAFTAR PUSTAKA
Ainur. (2008). Kejadian Putus Berobat Penderita Tuberkulosis Paru
dengan Pendekatan DOTS. www//http: Libang.depkes.go.id (diakses
22 Maret 2008).

Alsagaf, H dan Mukty H.A., . (2005). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga University Press

Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik. Jakarta:Rineka Cipta

Asih, N.G, dan Efendi, C.,. (2003). Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC

Azwar, A. dan Prihartono, J.,. (2003). Metodologi Penelitian


Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Binnarupa Aksara

Crofton, J. Et all. (2002) Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika

Depkes RI. (2008). Lembar Fakta Tuberkulosis. www//http:


tbcindonesia.or.id (diakses 25 Mei 2008).

Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman Nasional


Penaggulangan Tuberkulosis: Jakarta

Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Nasional


Penaggulangan Tuberkulosis: Jakarta

Hatmoko. (2008). Sistem Pelayanan Kesehatan Dasar Puskesmas.


www//http: freewebtown.com (diakses 27 Juni 2008).
Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu


Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan


Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Setiadi.(2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:


Graha Ilmu

Sulianti. (2007). Tuberkulosis. www//http: infeksi.com (diakses 14


Desember 2007).

Somantri, Irman. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan


Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika

Sugiyono. (2006). Statiska Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G.,. (2001). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner& Suddarth. Jakarta: EGC
Taufan. (2008). Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menjadi
Masalah. www//http: gizi.net (diakses 25 Mei 2008).

LAMPIRAN

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien Tuberkulosis


Paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya

Kami adalah mahasiswa STIkes Muhammadiyah Tasikmalaya,


mengharapkan partisipasi Bapak atau Ibu dalam peneletian saya
yang berjudul “ Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien
Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya”.
Dan juga mengharapkan tanggapan dan jawaban yang diberikan
sesuai dengan keluhan yang bapak atau ibu rasakan tanpa
dipengaruhi oleh orang lain. Kami menjamin kerahasiaan jawaban
dan identitas Bapak atau Ibu atas informasi yang Bapak atau Ibu
berikan hanya akan dipergunakan untuk mengembangkan ilmu
keperawatan.
Tanda tangan dibawah ini, menunjukan Bapak atau Ibu telah diberi
informasi dan memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini.

Tasikmalaya, 2008
Yang menyatakan

(………………….)
SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth
Calon Responden Penelitian
Di Tempat

Dengan Hormat,
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Rani Susanti
NIM : 105.2004.00044
Alamat : Jl. Bebedahan Kp.Sirnasari RT02/RW10 Tasikmalaya

Akan melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Pengetahuan,


Sikap dan Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan
Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya”.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tentang
pengetahuan, sikap dan motivasi dengan keteraturan berobat.
Untuk keperluan diatas saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara
untuk mengisi kuesioner yang telah saya siapkan dengan sejujur-
jujurnya. Saya menjamin kerahasian pendapat dan identitas
Bapak/Ibu/Saudara.
Sebagai bukti kesediaannya menjadi responden dalam penelitian
ini, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara sekalian untuk
menandatangani lembar persetujuan yang telah saya siapkan.
Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara dalam mengisi kuesioner ini sangat
saya hargai.
Atas perhatian responden, saya ucapkan terimakasih.

KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI PASIEN
TUBERKULOSIS PARU UNTUK MELAKUKAN PENGOBATAN
DENGAN KETERATURAN BEROBAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PURBARATU KOTA TASIKMALAYA

A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Pekerjaan :
5. Pendidikan :

B. Pengetahuan
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi
tanda “?” pada kotak disebelah kiri jawaban yang anda pilih.
1. Apakah anda tahu tentang TB paru
Ya
Tidak
2. Apakah anda tahu tanda-tanda penyakit TBC
Ya (Batuk lebih dari tiga minggu, dahak bercampur darah, badan
lemah, nafsu makan menurun, berat badan terus menurun,
berkeringat dingin pada malam hari)
Tidak tahu
3. Menurut anda apa penyebab TB paru
Kuman/ basil
Tidak tahu
4. Apakah Anda tahu tindakan yang pertama kali dilakukan setelah
diketahui gejala penyakit TBC
Ya
Tidak tahu
5. Jika ya, tindakan yang anda lakukan adalah
Pergi ke Puskesmas
Pergi ke pelayanan kesehatan lain (praktek dokter swasta)
6. Menurut anda apa tujuan imunisasi BCG (Bacillus Calmette et
Guerin)
Mencegah penyakit TB paru
Tidak tahu

7. Menurut anda apakah TB paru menular


Ya
Tidak tahu
8. Jika ya, melalui apa penyebaran TB paru
Dahak waktu batuk
Tidak tahu
9. Menurut anda pemeriksaan apa yang terpenting untuk
mengetahui adanya TB paru?
Dahak
Rontgen
Tidak tahu
10. Dari mana anda tahu tentang TB paru
Media elektronik
Tetangga/ saudara
Petugas kesehatan
Spanduk
11. Menurut anda apakah penyakit TBC dapat disembuhkan
Benar
Salah
12. Penularan penyakit TBC terhadap orang lain melalui bersin,
udara, pemakaian alat makan secara bersamaan
Benar
Salah
13. Apakah benar lamanya pengobatan Penyakit TBC adalah
minimal 6 bulan untuk penderita yang baru terkena penyakit TBC
Benar
Salah
14. Selain lewat udara dan bersin penularan TBC juga bias melalui
pemakaian alat makan secara bersamaan
Benar
Salah
15. Menurut anda, apakah pengobatan penyakit TBC (minum Obat
Anti TBC) itu tidak boleh terlewatkan
Ya
Tidak
16. Apakah benar pengobatan TBC diperbolehkan berhenti sebelum
6 bulan
Benar
Tidak
17. Apakah benar pengobatan penyakit TBC dengan pengobatan
teratur bisa disembuhkan
Benar
Tidak
18. Apakah benar penyakit TBC diwariskan secara keturunan/
genetik
Benar
Tidak
19. Kuman TB paru akan mati apabila
Terkena sinar matahari
Diobati 2 bulan
Minum air putih yang banyak
20. Penularan penyakit Tb paru bisa melalui
Udara melalui batuk dan bersin
Sentuhan kulit
Air
21. Tahapan pengobatan TB paru terdiri dari
2 Tahapan
3 Tahapan
4 Tahapan
22. Tujuan pengobatan TB paru adalah
Menyembuhkan penderita dan menurunkan kematian
Menghilangkan tanda dan gejala
Menghilangkan rasa sakit
23. Untuk menentukan BTA positif atau BTA negatif pada penderita
TB paru adalah dengan melakukan pemeriksaan
Dahak
Urin
Tinja
24. Pemeriksaan nomor 23 diatas dilakukan sebanyak
2 kali
3 kali
4 kali
25. Untuk menunjang pemeriksaan diatas dilakukan pemeriksaan
Rontgen dada
Rontgen kepala
Pemeriksaan jantung
26. Penderita TB paru dikatakan sembuh apabila
BTA dinyatakan positif setelah pengobatan selesai
BTA dinyatakan negatif setelah pengobatan selesai
Tanda dan gejala TB paru hilang
27. Dua bulan awal pengobatan disebut tahap
Intensif atau tahaf awal
Lanjutan
Masa penyembuhan penyakit

28. Setelah dua bulan pengobatan disebut tahap


Intensif atau thaf awal
Lanjutan
Masa penyembuhan penyakit
29. Pola hidup bagaimana yang harus kita miliki agar terhindar dari
penyakit TBC
Pola hidup sehat
Pola hidup sederhana
Pola hidup sejahtera
30. Kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat
memperberat penyakit TB paru adalah
Kebiasaan merokok dan minum alkohol
Kebiasaan olah raga
Kebiasaan tidur terlalu larut malam

C. Sikap
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini dengan membubuhkan
tanda cek (?) pada kotak: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu
(R), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

No. Pernyataan SS S R TS STS


1

7
8

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22
23

24
25

26

27

28

29

30 TB paru merupakan penyakit berat dan dapat mematikan


Pergi berobat ke pelayanan kesehatan setelah dinyatakan TB paru
BTA (+)
TB paru merupakan penyakit yang dapat disembuhkan
Bagaimana pendapat anda tentang lamanya pengobatan TB paru
selama 6-9 bulan untuk mencapai kesembuhan
Bagaimana pendapat anda tentang penyuluhan TB paru di daerah
anda
Melakukan pengobatan secara teratur sejak dinyatakan BTA (+)
Menutup mulut saat batuk salah satu untuk mencegah penularan
TB paru di sekitar rumah anda
Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan salah satu usaha
mencegah penularan TB paru di sekitar rumah
Mengajak seluruh anggota keluarga untuk membersihkan ligkungan
rumah supaya sehat
Lingkungan rumah yang gelap, pengap, dan lembab akan
meningkatkan resiko kekambuhan TB paru
Merokok tidak diperbolehkan pada penderita TB paru walaupun
sudah sembuh
Menurut anda merokok diperbolehkan walaupun hanya satu batang
Udara yang segar tidak diperlukan untuk pertukaran udara
Sinar matahari selain dapat menghilangkan lembab juga dapat
membunuh kuman Tb paru
Perabotan rumah harus dibersihkan minimal seminggu sekali
supaya tidak berdebu
Tempat tidur penderita TB paru tidak perlu dijemur
Menurut anda tidak penting untuk meminta pendapat petugas
kesehatan tentang rumah yang sehat
Menurut anda udara yang segar dapat terpenuhi jika rutin
membuka jendela ruangan tiap hari
Menurut anda cahaya matahari tidak dapat masuk tanpa dibuka
jendela
Menurut anda kuman TB akan mati tanpa dijemur
Menurut anda penderita TB paru harus tetap memeriksakan
kesehatannya ke Puskesmas walaupun sudah dinyatakan sembuh
Anda akan membuka jendela dan membiarkan kamar tidur tersinari
matahari walupun terasa panas
Mengajak seluruh anggota keluarga membersihkan perabotan satu
bulan sekali
Menjemur tempat tidur seminggu sekali
Anda tidak akan membuka jendela karena udara dapat masuk tanpa
membuka jendela
Penderita TB paru yang sudah sembuh akan dapat kambuh kembali
jika ia tertular dari orang lain
Menurut anda penderita TB paru tidak akan tertular lagi karena
sudah mempunyai kekebalan
Menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk
Membuang tisu basah dengan baik dan mencuci tangan
Penderita TB paru harus di berikan makanan yang bergizi

D. Motivasi
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi
tanda “?” pada kotak disebelah kiri jawaban yang anda pilih
(jawaban boleh lebih dari satu).

No. Pertanyaan Ya Tidak


1 Apa yang membuat anda semangat dalam pengobatan
a. Ingin cepat sembuh
b. Supaya tidak menularkan kepada keluarga
c. Igin selalu dekat sama keluarga / orang terdekat
d. Diterima dilingkungan tempat tinggal dan ditempat kerja
e. Hanya untuk mengambil obat saja
2 Siapakah yang membuat anda semangat dalam pengobatan
a. Diri sendiri
b. Keluarga/ orang terdekat
c. Pacar
d. Petugas kesehatan
e. Tidak ada yang memberikan semangat
3 Semangat apa yang diberikan keluarga/ orang terdekat kepada
anda
a. Memberikan perhatian untuk meminum obat secara teratur

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas


http://med.unhas.ac.id/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=167.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara
otomatis pada saat menelusuri web.Page 1
BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB
PARU DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS KASSI-KASSI
Sunday, 11 June 2006
Pemutakhiran Terakhir Sunday, 11 June 2006
BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB
PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
KASSI-KASSI KOTA MAKASSAR
A. Arsunan Arsin1, Azriful1, Aisyah2
1 Bagian Epidemiologi FKM Universitas Hasanuddin Makassar
2Jurusan Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
SUMMARY
Factors Related to Lung TB at the Kassi-kassi Public Health Center in
Makassar City Lung TB an infectious disease, is a
public health problem in Indonesia as one of the leading cause of
death. It has a high transmission rate and primarily
those people who categori effect productive age group, low level of
economic status and low level of education. The aim
of the study was to determine the risk factors of the prevalence of
lung TB in the family such as (education, occupation,
age, sex, and nutritional status). This was a cross sectional study
design involving 190 samples as respondents involved
in this study whis taken in recorded as Kassi-kassi Public Health
Center in Makassar City. The data were analyzed by
using chi-square (x2) and logistic-regression. The result of study
indicate that sex and nutritional status (Body Mass
Index/IMT) were significantly associated with the occurrence of
lung TB (p< 0,05). It is recommended to find out TB
cases actively and as early as possible through sputum examination
to the family members who live together with the
patient. There should be promotion, intensive prevention,
integrated and sustainable efforts about nutrition to the society
and efforts for the promotion and prevention of the disease risk
factors. (J Med Nus. 2004; 25:107-112)
RINGKASAN
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih
menjadi masalah kesehatan Indonesia, bahkan menjadi
penyebab kematian utama dari golongan penyakit infeksi. Tingkat
penularan TB paru cukup tinggi dan terutama
menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, berekonomi
lemah serta berpendidikan rendah.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian TB paru dalam keluarga
(pendidikan, pekerjaan, umur, jenis kelamin, dan status gizi). Desain
penelitian adalah Cross-sectional study dan
didapatkan 190 sampel (responden), ditentukan berdasarkan
catatan medik yang tercatat dalam registrasi penderita TB
paru di Puskesmas Kassi-kassi Kota Makassar. Selanjutnya data akan
dianalisis dengan chi-square dan logistic-
regressi. Hasil penelitian diperoleh bahwa jenis kelamin dan status
gizi (indeks massa tubuh /IMT) berhubungan dengan
kejadian TB paru (p < 0,05). Kesimpulan penelitian ini bahwa ada
pengaruh jenis kelamin dan status gizi terhadap
penyakit TB paru. Disarankan perlunya penemuan penderita secara
dini dan aktif melalui pemeriksaan sputum pada
anggota keluarga yang serumah dengan penderita. Kemudian
perlunya peningkatan upaya promotif dan preventif untuk
mencegah risiko penyakit TB paru. (J Med Nus. 2004; 25:107-112)
PENDAHULUAN
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
tuberculosis (TB) adalah penyakit menular yang telah
menginfeksi sepertiga penduduk dunia bahkan lebih dan telah
menyebar pada sebagian besar negara dunia, sehingga
mulai tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan TB secara
global “TB – A global emergency”.1-4
Kasus baru penderita TB Paru BTA (+) di Sulawesi Selatan
didapatkan sebesar 2539 kasus dan yang berhasil
disembuhkan 2227 kasus diantara 26.332 suspek pada tahun 2001.
Cakupan penemuan dan pengobatan penderita TB
Paru di Propinsi Sulawesi Selatan cenderung meningkat, pada tahun
1997/1998; 25% tahun 1998/1999; 32% dan pada
tahun 2001 mencapai 42% (Subdin PPM & PL Dinkes Sul-Sel 2001).
Keadaan ini memperlihatkan bahwa cakupan
penemuan penderita TB Paru masih sangat jauh dari harapan yang
seharusnya dicapai yaitu 70% (Info Gerdunas,
2001). Kasus tertinggi penyakit TB Paru dengan BTA (+) berada di
Kota Makassar sebesar 345 kasus, menyusul
Kabupaten Wajo 341 kasus dan Kabupaten Bone 193 kasus.5
Jumlah penderita baru rawat jalan menurut 28 jenis penyakit yang
diamati di puskesmas kabupaten/kota se-Sul-Sel 2001
penderita baru TB (BTA+) sebesar 1663 kasus. Jumlah kasus
penderita TB Paru (BTA+) yang merupakan akumulasi
dari seluruh puskesmas dalam wilayah Kota Makassar ditemukan
berturut-turut pada tahun 1999 sebesar 476 kasus dari
3432 suspek; tahun 2000 sebesar 333 kasus dari 3390 suspek;
tahun 2001 sebesar 301 kasus dari 4129 suspek dan
tahun 2002 sebesar 458 kasus dari 5096 suspek. Untuk tahun 2002
kasus tertinggi penderita TB Paru BTA (+) sebesar
43 kasus berasal dari Puskesmas Kassi-kassi Kota Makassar.5
Medical Faculty of Hasanuddin University
http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34Page 2

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan studi
potong lintang (cross-sectional study) yang bertujuan
menganalisis hubungan antara beberapa variabel yang diteliti
dengan kejadian TB paru dengan pendekatan point
time.6,7 Unit analisisnya adalah penduduk yang memanfaatkan
puskesmas Kassi-kassi sebagai tempat pelayanan
kesehatan.
Penelitian ini dilaksanakan tanggal 27 Oktober – 31 Desember 2003,
di wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi Kota
Makassar dengan pertimbangan di wilayah ini masih selalu
ditemukan kasus baru penderita TB paru.
Sampel diambil dengan cara identifikasi di buku register puskemas
Kassi-kassi dan tercatat sebagai pengunjung
puskesmas yang melakukan pemeriksaan sputum (BTA +) periode
Januari 2002 – Desember 2003. Sampel didapatkan
54 orang BTA (+) dan 136 orang BTA (-). Sampel tersebut memenuhi
pertimbangan antara lain berdomisili dalam
wilayah kerja puskesmas Kassi-kassi dan bersedia dijadikan sampel
penelitian.
Pengumpulan data :
a. Variabel dependen (TB paru) diperoleh dari buku registrasi
puskesmas dan terdiagnosa sebagai penderita TB paru
(BTA +).
b. Variabel independen (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, umur,
jenis kelamin, dan status gizi) diperoleh dengan
melakukan wawancara (kuisioner) dan pengukuran status gizi (IMT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Gambaran Univariat
Distribusi sampel/responden berdasarkan variabel penelitian
diketahui bahwa tingkat pendidikan yang cukup (tamat
SLTP) didapatkan 96 orang (50,5%) lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel/responden yang tingkat pendidikannya
kurang (tidak tamat SLTP ke bawah) 94 orang (49,4%). Variabel
pekerjaan responden didapatkan pada pekerjaan
dengan risiko tinggi (buruh/tukang jualan, sopir, pengangguran,
belum bekerja dan pensiunan/purnawirawan) didapatkan
158 orang (83%) lebih tinggi dibandingkan dengan responden pada
pekerjaan dengan risiko rendah (karyawan swasta,
pedagang dan pegawai/TNI/Polri) hanya 32 orang (16,8%). Variabel
umur didapatkan umur produktif (10 – 50 tahun)
sebanyak 148 orang (77,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan umur
tidak produktif (<10 - >50 tahun) hanya 42 orang
(22,1%). Variabel jenis kelamin responden didapatkan pada jenis
kelamin laki-laki 94 orang (49,5%) lebih rendah
dibandingkan responden pada jenis kelamin perempuan sebanyak
96 orang (50,5%). Selanjutnya untuk variabel status
gizi (IMT) didapatkan pada responden dengan status gizi (IMT)
kurang hanya 57 orang (30%) lebih rendah dibandingkan
dengan responden dengan status gizi (IMT) cukup sebanyak 133
orang (70%). Dapat dilihat pada tabel 1.
2. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan beberapa variabel independen
(tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, umur, jenis kelamin,
dan status gizi (IMT) dengan varibel dependen (kejadian TB paru),
ddapat dilihat pada tabel 2.
1. Hubungan faktor tingkat pendidikan dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=0,00
dengan p value=1,00 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan tingkat pendidikan responden
dengan kejadian TB paru.
2. Hubungan faktor jenis pekerjaan dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=3,58
dengan p value=0,05 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan jenis pekerjaan responden dengan
kejadian TB paru.
3. Hubungan faktor umur responden dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=0,31
dengan p value=0,57 artinya hipotesis penelitian ditolak,
interpretasi tidak ada hubungan umur responden dengan kejadian
TB paru.
4. Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=14,37
dengan p value=0,00 artinya hipotesis penelitian
diterima, interpretasi ada hubungan jenis kelamin responden
dengan kejadian TB paru.
5. Hubungan faktor status gizi (IMT) responden dengan kejadian TB
paru.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada df=1 didapatkan x2=13,07
dengan p value=0,00 artinya hipotesis penelitian
diterima, interpretasi ada hubungan status gizi (IMT) responden
dengan kejadian TB paru.
3. Analisis Multivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan serta kontribusi
masing-masing variabel independen terhadap variabel
dependen apabila diuji secara bersamaan. Selanjutnya pada analisis
multivariate dengan uji logistic-regressi, hanya
variabel yang bermakna diikutkan dalam analisis (variabel jenis
kelamin dan status gizi/IMT). Sedangkan variabel yang
tidak bermakna (variabel tingka pendidikan, umur, dan jenis
pekerjaan) tidak diikutkan dalam analisis.8 Analisis
multivariate dapat dilihat pada tabel 3.
Medical Faculty of Hasanuddin University
http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34Page 3

Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil uji logistic-regressi pada


variabel status gizi (IMT) dengan nilai p=0,004 < 0,05 dan
nilai Odds Ratio 2,79 (1,379 < CI < 5,656), dan variabel jenis kelamin
dengan nilai p=0,006 < 0,05 dan nilai Odds Ratio
2,78 (1,337 < CI < 5,791). Sedangkan variabel jenis pekejaan nilai
p=0,171 < 0,05.
Pembahasan
1. Pendidikan
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok responden
yang berpendidikan kurang (<= SLTP) terdapat 27 orang
(28,12%) menderita TB paru dan 69 orang (71,88%) tidak menderita
TB paru. Sedangkan pada kelompok responden
yang berpendidikan cukup (>= SLTA) terdapat 27 orang (28,72%)
menderita TB paru dan 67 orang (71,28%) tidak
menderita paru.
Pada analisis hubungan antara tingkat pendidikan responden
dengan kejadian TB paru, didapatkan bahwa nilai p=1,00 >
0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
tingkat pendidikan dengan kejadian TB paru. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa jenjang pendidikan seseorang
tidak memberikan kontribusi terjangkit-tidaknya
seseorang terhadap penyakit TB paru. Hal ini, berbeda dengan
penelitian yang menunjukkan kebanyakan kasus
tuberkolosis 60% dari kalangan berpendidikan rendah, usia
produktif, dan orang tergolong miskin9. Tidak terdapatnya
hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian paru di wilayah Kassi-
kassi Kota Makassar, menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan pada penderita TB paru dan bukan penderita TB paru
tidak menampakkan perbedaan yang bermakna, hal ini
dapat dijelaskan bahwa pendidikan formal seseorang tidak selalu
terkait dengan pencegahan kejadian TB paru10.
2. Pekerjaan
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok responden
dengan jenis pekerjaan yang berisiko tinggi (sopir,
buruh/tukang, pensiunan/purnawirawan, dan belum bekerja)
terdapat 40 orang (25,31%) menderita TB paru dan 118
orang (74,69%) tidak menderita TB paru. Sedangkan pada kelompok
responden dengan jenis pekerjaan yang berisiko
rendah (karyawan, PNS/TNI-Polri, pedagang, dan wiraswasta)
terdapat 14 orang (43,75%) menderita TB paru dan 18
orang (56,25%) tidak menderita paru.
Pada analisis hubungan antara jenis pekerjaan responden dengan
kejadian TB paru, didapatkan bahwa nilai p=0,04 <
0,05 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
pekerjaan dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa jenis pekerjaan seseorang memberikan
kontribusi terjangkit-tidaknya seseorang terhadap penyakit
TB paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan
berpotensi bagi terjadinya TB Paru, hal ini terkait
dengan keterpaparan kuman Micobacterium tuberculosis. Potensi
tersebut terjadi lebih karena jenis pekerjaan
berhubungan dengan tingkat penghasilan seseorang sehingga
pekerjaan sebagai wiraswastawan, karyawan atau
PNS/TNI lebih dapat memenuhi kebutuhan intake zat-zat gizi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan
bibit penyakit. Hal ini sejalan dengan penelitian Reviono, 2001, yang
memperlihatkan bahwa jenis pekerjaan pada
penderita TBC berturut-turut, tidak bekerja 33,97%, buruh tani
27,27%, wiraswasta 20,10%, PNS/ABRI/Pensiunan
14,35%.11
Pada analisis logistic regressi, setelah variabel jenis pekerjaan diuji
secara bersama-sama dengan variabel bermakna
lainnya (jenis kelamin dan status gizi), didapatkan variabel jenis
pekerjaan responden tidak bermakna (p=0,171 > 0,05),
hal ini bisa dijelaskan bahwa pekerjaan saling berinteraksi dengan
variabel jenis kelamin, diamana yang banyak
melakukan aktifitas mencari nafkah atau bekerja produktif adalah
laki-laki. Artinya kontribusi variabel jenis pekerjaan
ditutupi oleh besarnya kontribusi variabel jenis kelamin.
3. Umur
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok responden
dengan umur produktif (15 – 50 tahun) terdapat 44 orang
(29,73%) menderita TB paru dan 104 orang (70,27%) tidak
menderita TB paru. Sedangkan pada kelompok responden
dengan umur tidak produktif (<= 15 - >= 50 tahun) terdapat 10
orang (23,81%) menderita TB paru dan 32 orang
(76,19%) tidak menderita paru.
Pada analisis hubungan antara umur responden dengan kejadian TB
paru, didapatkan bahwa nilai p=0,57 > 0,05 yang
berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur
dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini menjelaskan
bahwa umur (produktif atau tidak produktif) tidak memberikan
kontribusi terhadap terjangkitnya seseorang terhadap
penyakit TB paru. Penelitian ini menunjukkan bahwa umur
produktif (15 – 50 tahun) tidak berbeda secara nyata dengan
umur tidak produktif (<15 - >50 tahun) terhadap kejadian TB Paru.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa keterpaparan kuman
Micobacterium tuberculosis pada semua kelompok umur relatif
sama di wilayah Kassi-kassi, interaksi penderita dengan
bukan penderita TB paru bisa terjadi karena masih banyaknya
penderita TB paru yang melakukan aktifitas di tengah-
tengah masyarakat. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Taufik (1999) dan Ratnawati
(2000) yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
umur produktif dengan kejadian TB paru.11
4.Jenis Kelamin
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok responden
dengan jenis kelamin laki-laki terdapat 39 orang
(41,49%) menderita TB paru dan 55 orang (58,51%) tidak menderita
TB paru. Sedangkan pada kelompok responden
dengan jenis kelamin perempuan terdapat 15 orang (15,63%)
menderita TB paru dan 81 orang (84,37%) tidak menderita
paru.
Pada analisis hubungan antara jenis kelamin responden dengan
kejadian TB paru, didapatkan bahwa nilai p=0,00 < 0,05
yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini
Medical Faculty of Hasanuddin University
http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34Page 4

menjelaskan bahwa perbedaan jenis kelamin (laki-laki atau


perempuan) memberikan kontribusi terhadap terjangkitnya
seseorang terhadap penyakit TB paru. Penelitian ini menunjukkan
bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berpeluang untuk
menderita penyakit TB paru dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan, hal ini bisa dijelaskan bahwa laki-laki
mempunyai kesempatan untuk terpapar kuman TB dibandingkan
dengan perempuan. Laki-laki lebih banyak melakukan
aktifitas diluar rumah (termasuk mencari nafkah) maupun karena
kebiasaan yang menunjukkan bahwa aktifitas laki-laki
lebih tinggi sehingga kesempatan untuk tertular kuman TB
(Micobacterium tuberculosis) dari penderita TB lainnya lebih
terbuka dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Reviono
(1999) yang menemukan bahwa proporsi penderita TB paru lebih
tinggi didapatkan pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.11
Pada analisis logistic regressi, setelah variabel jenis kelamin diuji
secara bersama-sama dengan variabel bermakna
lainnya (pekerjaan dan status gizi), didapatkan variabel jenis
kelamin responden tetap bermakna (p=0,00 < 0,05), hal ini
bisa dijelaskan bahwa interaksi variabel jenis kelamin tetap
dominan dibandingkan variabel pekerjaan.
5. Status Gizi (IMT)
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok responden
dengan status gizi (IMT) kurang terdapat 27 orang
(47,37%) menderita TB paru dan 30 orang (52,63%) tidak menderita
TB paru. Sedangkan pada kelompok responden
dengan status gizi (IMT) cukup terdapat 27 orang (20,30%)
menderita TB paru dan 106 orang (79,70%) tidak menderita
paru.
Pada analisis hubungan antara status gizi (IMT) responden dengan
kejadian TB paru, didapatkan bahwa nilai p=0,00 <
0,05 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status
gizi (IMT) dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian
ini menjelaskan bahwa perbedaan status gizi (kurang atau cukup)
memberikan kontribusi terhadap terjangkitnya
seseorang terhadap penyakit TB paru. Penelitian ini menunjukkan
bahwa status gizi (IMT) kurang lebih berpeluang untuk
menderita penyakit TB paru dibandingkan dengan status gizi (IMT)
cukup, hal ini bisa dijelaskan bahwa status gizi
seseorang dapat berfungsi sebagai proteksi dan meningkatkan daya
tubuh, dengan status gizi (IMT) yang kurang
memungkinkan seseorang akan rentan dengan berbagai macam
penyakit (termasuk TB paru). Hasil penelitian ini sejalan
dengan pendapat ahli gizi (Haju, 1997) bahwa orang-orang yang
berada di bawah ukuran berat badan normal
mempunyai risiko terkena penyakit-penyakit infeksi.12
Pada analisis logistic regressi, setelah variabel status gizi (Indeks
Massa Tubuh) diuji secara bersama-sama dengan
variabel bermakna lainnya (pekerjaan dan jenis kelamin),
didapatkan variabel status gizi (IMT) responden tetap
bermakna (p=0,00 < 0,05), hal ini bisa dijelaskan bahwa interaksi
variabel gizi tidak terpengaruh oleh variabel lainnya
dan tetap bermakna untuk memberikan kontribusi terhadap
kejadian TB paru.
KESIMPULAN
1. Tingkat pendidikan dan umur responden tidak berhubungan
dengan kejadian TB paru di wilayah Kassi-kassi Kota
Makassar.
2. Jenis kelamin, pekerjaan, dan status gizi (IMT) responden
berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah Kassi-
kassi Kota Makassar.
3. Jenis kelamin laki-laki dan status gizi (IMT) kurang, merupakan
faktor yang paling besar kontribusinya terhadap
kejadian TB paru di wilayah Kassi-kasi Kota Makassar.
SARAN
1. Perlu melakukan pemeriksaan berkala secara aktif dan dini,
khususnya pada kelompok risiko tinggi (jenis kelamin laki-
laki dan status gizi kurang), untuk mengurangi risiko penularan TB
paru.
2. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih
memperdalam faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB
paru.
DAFTAR RUJUKAN
1. WHO. Pernyataan WHO Tuberculosis Sebagai Penyakit Gawat
Global. Penyuluh, 1996. No. 12. Hal.6.
2. Yu, G.P. et.al; Risk Factor Associated With The Prevalence of
Pulmonary Tuberculosis Among Sanitary Workers in
Shanghai. Departement of Epidemiology, School of Public Health,
Shanghai Medical University : China, 1998.
3. Almatsier, Merdias, Fahmi Idris. The Involvement of te
practioners on TB Control Program Through DOTS strategy: Ali
Discourse. MKI, 1999, Vol.50. No. 11:497-499
4. Global Tuberculosis Programme WHO . Fakta Tentang TBC. WHO :
Geneva, 1999.
5. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan. Profil kesehatan
Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000. Makassar,
2001.
6. Noor, Nasri Nur, Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta : Jakarta, 1997.
7. Notoatmodjo S. Metode Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta:
Jakarta, 1993.
8. Riono P., dkk. Aplikasi Regresi Logistik. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia : Jakarta, 1992.
9. Aditama, Tjandra Yoga. Mengenal Tuberkolosis. Penyuluh. 1996,
No.12. hlm.22.
10. Departemen Kesehatan RI. Mengapa TB Harus Ditanggulangi
Secara Nasional dan Terpadu Gerdunas TB: Jakarta,
1999.
11. Reviono, dkk. Profil Penderita TB Paru Rawat Jalan di Poliklinik
Paru/RS.Persahabatan Jakarta periode
September–Desember 1999. JRI. PDPI. Vol.21.No. 3, 2001: 95-100.
12. Hadju, Veni. Penentuan Status Gizi. FKM Unhas : Makassar,
1997.
Medical Faculty of Hasanuddin University
http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34Page 5

Medical Faculty of Hasanuddin University


http://med.unhas.ac.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 14 January, 2010, 18:34

Anda mungkin juga menyukai