Beliau kemudian mendirikan cabang PSII Palopo yang diresmikan pada 14 Januari
1930. Opu Daeng Risadju terpilih sebagai ketua PSII Palopo dalam rapat akbar yang
dihadiri aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat,
masyarakat umumnya, hingga pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo.
Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng
Risadju lakukan di PSII. Ini disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya
kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII.
Opu Daeng Risadju mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu. Revolusi ini diawali
dengan kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Sulawesi Selatan
yang berkeinginan untuk menajajah kembali Indonesia.
Peran Opu Daeng Risaju dalam perlawanan terhadap tentara NICA di Belopa sangatlah
besar. Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk
melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.
Tindakan ini membuat tentara NICA kewalahan dan mengupayakan berbagai cara
untuk menangkap dan menghentikan aksi Opu Daeng Risaju.
Tentara NICA bahkan membuat pengumuman yang menyatakan bahwa pihak tentara
NICA akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng
Risaju yang kala itu sedang bersembunyi, baik dalam keadaan hidup atau pun mati.
Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menggubris pengumuman tersebut.
Opu Daeng Risaju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa
menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km.
Opu Daeng Risaju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili,
kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo.
Saat di Bajo, Opu Daeng Risaju mengalami penyiksaan oleh Kepala Distrik Bajo, Ladu
Kalapita. Di sana, Opu Daeng Risaju dibawa ke sebuah lapangan dan dipaksa untuk
berdiri tegap menghadap matahari.
Kalapita lalu mendekati Opu Daeng Risaju yang kala itu berusia 67 tahun dan
meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risaju. Kalapita kemudian
meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur di
antara kedua kaki Kalapita yang masih berusaha menendangnya.
Setelah penyiksaan itu, Opu Daeng Risaju kembali dimasukkan ke dalam sebuah
tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah. Akibat penyiksaan yang dilakukan
Kalapita ini, Opu Daeng Risaju menjadi tuli seumur hidup.
Opu Daeng Risadju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa
menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 Km.
Opu Daeng Risadju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili,
kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo.
Saat di Bajo, Opu Daeng Risadju mengalami penyiksaan oleh Kepala Distrik Bajo, Ladu
Kalapita. Di sana, Opu Daeng Risadju dibawa ke sebuah lapangan dan dipaksa untuk
berdiri tegap menghadap matahari.
Kalapita lalu mendekati Opu Daeng Risadju yang kala itu berusia 67 tahun dan
meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risadju. Kalapita kemudian
meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risadju jatuh tersungkur di
antara kedua kaki Kalapita yang masih berusaha menendangnya.
Setelah penyiksaan itu, Opu Daeng Risadju kembali dimasukkan ke dalam sebuah
tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah.
Akibat penyiksaan yang dilakukan Kalapita ini, Opu Daeng Risadju menjadi tuli seumur
hidup. Opu Daeng Risadju kemudian dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan
menjalani tahanan dan kembali ke Bua dan menetap di Belopa.
Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng
Risaju lakukan di PSII. Ini disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya
kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII. Opu Daeng Risaju
mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu.
Karena dukungan dari rakyat yang sangat besar, pihak Belanda mulai menahan Opu
agar tidak melanjutkan perjuangannya di PSII. Pihak Belanda yang bekerja sama
dengan controleur afdeling Masamba menganggap Opu menghasut rakyat dan
melakukan tindakan provolatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah.
Akhirnya, Opu diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya. Tidak hanya itu, tekanan
juga diberikan kepada suami dan pihak keluarga Opu agar menghentikan kegiatannya
di PSII.
Suasana makin memanas ketika kedatangan pasukan Inggris yang mulai menguasai
RRI Jakarta dengan menyiarkan berita-berita berbahasa Inggris. Untuk mengatasi hal
ini, Jusuf Ronodipuro, orang pertama yang membacakan teks Proklamasi
Kemerdekaan lewat radio mencari cara bagaimana mengendurkan ketegangan yang
sedang terjadi.Sebagian temannya menyarankan agar dia memperbanyak penyiaran
musik dan lagu. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Jusuf Ronodipuro kemudian
mengontrak Ismail Marzuki untuk membentuk kelompok musikdi bawah naungan RRI
Jakarta. Dari sinilah awal peran Ismail Marzuki dalam periode revolusi
kemerdekaan.Dengan susah payah Ismail Marzuki mengumpulkan teman-temannya.
Karena ketegangan dan kerusuhan yang terjadi pada saat itu menyebabkan
sebagian besar teman musisinya mengungsi dari Jakarta. Akhirnya, Ismail berhasil
menemukan beberapa temannya yang masih tinggal di Jakarta, dan dibentuklah
sebuah kelompok musik yang bernama Empat Sekawan. Nama kelompok musik ini
berasal dari personelnya yang hanya terdiri empat orang personel inti, yaitu Saleh
Soewita (gitar), Ishak (contra bass), Jahja (biola, dan Arizton da Cruz (Piano; pemusik
asal Filipina yang berganti nama menjadi Arief Effendi). Aransemen musik sekaligus
pimpinan kelompok musik ini dipegang oleh Ismail Marzuki.
Empat Sekawan secara berkala mengisi acara musik di radio, dan tidak
jarang juga mereka tampil di panggung secara langsung. Mereka banyak membawakan
lagu perjuangan yang sebagian besar diciptakan oleh Ismail Marzuki sendiri. Lagu-lagu
yang dibawakannya pun
mampu menghibur dan membangkitkan semangat khususnya bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia. Semakin lama Empat Sekawan makin dikenal dan digemari
oleh masyarakat di berbagai daerah. Pada bulan November 1946, setelah selesai
melakukan tugasnya, pasukan Inggris menyerahkan Indonesia kepada Belanda. NICA
kemudian merebut RRI
Jakarta dan menggantinya dengan Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO).
Melihat hal ini, Ismail Marzuki tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Hingga sudah
dijanjikan gaji besar, sebuah mobil, dan permintaan beberapa temannya agar Ismail
mau bekerja di ROIO, namun semua itu tetap dia tolak.Akhirnya Ismail memutuskan
untuk keluar dari tempat kerjanya di RRI Jakarta. Bersamaan dengan itu Kelompok
musik Empat Sekawan yang dibentuknya pun juga dibubarkan Setelah berhenti
bekerja, penghasilan Ismail untuk hidup sehari-hari berkurang. Dia kemudian membuka
kursus bahasa asing di rumahnya. Selain itu Ismail juga membantu Eulis Zuraida
(istrinya) berjualan makanan, seperti gado-gado, mie goreng,dan asinan.Hari berganti
hari, keadaan Jakarta semakin tidak menentu. Ketegangan dan kerusuhan semakin
memanas. Keadaan tersebut memaksa Ismail untuk segera mengungsikan Eulis
Zuraida dari Jakarta ke kota kelahirannya di Bandung. Untuk sementara waktu mereka
berdua tidak tinggal bersama, karena pada saat itu Ismail ku
masih berkelana menghibur para pejuang dengan lagu-lagunya. Namun melihat
keadaan Jakarta yang semakin ―tidak karuan‖ akibat pertempuran, Ismail
memutuskan untuk mengungsi ke Bandung menyusul istrinya. Setelah sesampainya di
Bandung, suasana yang sama juga dialaminya seperti pada waktu dia di Jakarta.
Pasukan Inggris telah memasuki kota Bandung. Mereka menggempur kota Bandung
dengan tembakan-tembakan mortir. Dalam waktu yang sama, NICA yang dipimpin
Brigadir MacDonald memberi ultimatum kepada TRI (Tentara Republik Indonesia) dan
para pejuang untuk meninggalkan
kota Bandung. Namun, para pejuang di Bandung tidak mau begitu saja
meninggalkan kota Bandung. Mereka tidak rela kotanya jatuh ke tangan
musuh. Maka dipilihlah cara supaya kota Bandung tidak dimanfaatkan Sekutu. Sebelum
meninggalkan kota Bandung, para pejuang menghancurkan dan membakar kota
Bandung. Dalam waktu singkat kota Bandung berubah menjadi lautan api Akibat
peristiwa tersebut, rumah yang dihuni Ismail Marzuki di Bandung terkena dampaknya.
Atap rumahnya terbakar akibat mortir yang ditembakan oleh pasukan Inggris. Demi
pertimbangan keselamatan, mereka kemudian mengungsi
lagi ke daerah sekitar gunung Patuha, di Ciwidey Bandung Selatan. Di tempat inilah
ilham Ismail Marzuki dalam mencipta lagu kembali muncul.