Anda di halaman 1dari 8

REVIEW JURNAL

JUDUL : Analisis Pengelolaan Obat Pasien BPJS DiInstalasi Farmasi Rumah


Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang.
PENULIS : Devina Eirene Mendrofa, Chriswardani Suryawati.
JURNAL : Manajemen Kesehatan Indonesia
VOLUME : volume 4 nomor 3
TAHUN : Desember 2016

PENDAHULUAN
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan)
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa yang beroperasi
sejak tanggal 1 Januari 2014.
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis pakai
harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses
yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Pasal 15 ayat
(3) UndangUndang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan
bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis
Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu
pintu.
Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum merupakan rumah sakit tipe C
yang menjadi rumah sakit rujukan tingkat ke 2 pasien BPJS. Rumah Sakit
Panti Wilasa Citarum melayani pasien rawat inap BPJS, pasien rujukan rawat
jalan BPJS, dan pasien Hemodialisa. Dari awal berlakunya BPJS hingga akhir
tahun 2015 peserta yang dirujuk dan berobat di panti wilasa citarum
jumlahnya terus bertambah.
Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis pada bulan januari 2016
dengan petugas gudang farmasi, permasalahan yang ada saat ini adalah rumah
sakit mendapat obat BPJS tidak sesuai dengan harga e-catalog, proses
pengiriman obat BPJS lebih lama, terjadi kekosongan obat BPJS di
distributor. Sedangkan dengan bagian keuangan dan tim verifikator internal
BPJS diketahui bahwa penagihan obat BPJS fee for service terdapat kendala
gagal klaim karena ketidak sesuaian dengan restriksi yang diberikan oleh
BPJS. Untuk permasalahan pendistribusian obat BPJS ke pasien di rawat jalan
dihadapkan pada ketersediaan obat yang terbatas, sedangkan di rawat inap
pada pola pengobatan pasien inap yang bervariasi dan lama pengobatan yang
terkadang melebihi ekspektasi awal pengobatan. Dengan permasalahan
tersebut, rumah sakit tetap dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik
untukpasien BPJS.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang disajikan secara
deskriptif. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2016 yang berlokasi di RS
Panti Wilasa Citarum Semarang. Variabel penelitian adalah pengelolaan obat yang
meliputi : 1) perencanaan obat, 2) Pengadaan Obat, 3) Pendistribusian Obat, 4)
Pengendalian Obat, dan 5) KebijakanRumah Sakit. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen. Subjek penelitian terdiri dari
informan utama yaitu satu direksi, satu kepala instalasi farmasi, satu petugas gudang,
satu tim verifikator, dan dan informan triangulasi sebanyak empat orang orang
petugas farmasi. Selanjutnya data diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan
content analysis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Perencanaan Obat BPJS
Seleksi atau pemilihan jenis obat di RSPW citarum berdasarkan
Formularium Rumah Sarkit dan Formularium Nasional. Metode perencanaan
obat menggunakan metode konsumsi yang dilakukan seminggu sekali yang
menggunakan data pemakaian sebelumnya dengan melihat ROP (repeat order)
yang telah dibuat dalam SIM Rumah Sakit. Jumlah pembelian obat ditentukan
berdasarkan ROP (re-order point) yang dihitung oleh sistem komputer dan
Rancangan Kebutuhan Obat (RKO) BPJS juga belum pernah dibuat. Dari
pengamatan dan wawancara peneliti, dalam perencanaan obat belum disertai
dengan perhitungan VEN (Vital, Esensial, Non Esensial) dan ABC (parreto).
Berdasarkan wawancara dengan informan utama A2 dan A4 diketahui
perhitungan VEN-ABC tidak pernah dilakukan dan direksi maupun yayasan
tidak pernah mengusulkan untuk dibuatnya analisa VEN-ABC.

2. Pengadaan Obat BPJS


Rumah sakit panti wilasa citarum melakukan pengadaan seminggu
sekali pada hari rabu. Pengiriman beberapa obat BPJS lebih lama
dibandingkan dengan obat reguler karena adanya prosedur yang harus dilalui.
Jumlah obat BPJS yang tersedia di distributor terbatas menyebabkan jumlah
obat yang dipesan dan yang diterima tidak sama. Apabila rumah sakit tidak
dapat membeli obat BPJS dengan cara manual e-catalog, Instalasi Farmasi
akan mencari obat dengan kandungan yang sama dengan harga yang dibeli
rumah sakit bisa mendekati harga e-catalog. Pendistribusian obat BPJS.
3. Penditribusian obat
Pendistribusian obat di Panti Wilasa citarum menggunakan dua
metode yaitu metode individual prescription (resep) di rawat jalan dan
pada One Day Dose Dispensing (ODDD) dengan kartu obat. Semua
pemberian obat pasein rawat inap dan rawat jalan berpedoman pada
formularium nasional yang di dalamnya terdapat nama generik obat
beserta jumlah maksimal diresepkan. Secara administratif penagihan obat
di rawat inap termasuk dalam paket INA CBG’s tergantung dari diagnosa
pasien dirawat. Sedangkan rawat jalan terbagi menjadi dua yaitu
penagihan secara paket INA CBG’s dan penagihan obat kronis. Paket
kronis (fee for service) hanya ditagihkan untuk 23 hari pemakaian ke
BPJS, sisanya yaitu 7 hari masuk dalam INA CB’Gs paket rawat jalan.
Penagihan tidak kronis juga masuk dalam paket INA CBG’s dan
berdasarkan ketentuan rumah sakit obat yang diberikan maksimal 7hari.

4. Pengendalian Obat BPJS


Pengendalian obat BPJS dengan cara stok opnam setiap setahun sekali,
pengecekan obat ED setiap 6 bulan sekali, adanya safety stock untuk
menghindari terjadinya kekosongan obat, di gudang ada kartu stok yang
memudahkan pengecekan keluar-masuk barang. Sedangkan untuk obat
BPJS yang mengalami kekosongan, rumah sakit akan membeli obat paten
lain dengan melakukan negosiasi sehingga mendapatkan harga yang
didapat rumah sakit dapat sama dengan harga BPJS. Pada pelayanan rawat
inap bila terjadi kekosongan obat petugas akan segera mencari obat
pengganti dengan konfirmasi dan persetujuan dari wadir pelayanan untuk
diberikan ke pasien. Sedangkandi rawat jalan, obat BPJS tidak kosong
distributor tidak langsung diganti obat lain tetapi dengan
menundapemberian obat.

5. Kebijakan Rumah Sakit


Kebijakan BPJS yang ada di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum
berdasarkan kebijakan yang ada di Formularium Nasional. Hal-hal
yangberkaitandenganobat yangakan diberikan kepada pasien BPJS yang
tidak ada dalam formularium nasional berdasarkan kebijakan wadir
pelayanan (direksi) yang akan berbeda kebijakannya tergantung kasusnya.
Rumah sakit melakukan penekanan biaya pengobatan di sektor lain agar
dapat menutup kerugian.

KESIMPULAN
Perencanaan obat BPJS di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum berdasarkan
formularium rumah sakit dan fornas (Formulariun Nasional), dilakukan oleh kepala
instalasi farmasi setiap minggu berdasarkan metode konsumsi dengan melihat ROP.
Rumah sakit belum melakukan perhitungan Perencanaan Rencana Kebutuhan Obat
(RKO) BPJS selama setahun dan belum melakukan analisa VEN-ABC untuk
mengefisienkan alokasi dana untuk pembelian obat,terutamaobat BPJS.
Pengadaan obat BPJS diakukan seminggu sekali berdasarkan ROP untuk
mengurangi penumpukan dana penyimpanan obat. Pembelian obat BPJS dengan
metode negosiasi dan pengadaan obat e-catalogsecara manual. Tidak semua obat e-
catalog dapat diakses oleh rumah sakit karena ketidaktersedian obat BPJS di PBF.
Kekosongan obat menyebabkan rumah sakit membeli obat dari pabrikan lain dengan
harga lebihmahal.
Pendistribusian obat BPJS: sesuai dengan Good Pharmacy Practice yaitu
Rawat inapdengan One DayDose Dispensing dan Rawat jalan dengan Individual
prescription. Penagihan dan pemberian obat Rawat inap sesuai dengan tarif paket
INA CBG’s. Penagihan dan pemberian obat rawat jalan terbagi menjadi paket INA
CBG’s dan penagihan obat kronis 23 hari masuk dalam penagihan fee for service.
Pemberian obat BPJS di rumah sakit panti wilasa citarum
berdasarkanpedomanfornas.
Pengendalian obat BPJS hampir sama dengan obat reguler, tetapi
karenakekosongan distributor lebih sering terjadi dibanding obat reguler yang
menyebabkan perhitungan lead time dan ROP berbeda sehingga harus dibuat
perhitungan pengadaan obat yang terpisah antara obat reguler dan BPJS. Kekosongan
obat di distributor di rawat jalan dan rawat inap diatasi dengan mengganti obat
dengan paten lain dengan harga mendekati harga ecatalog. Kekosongan obat di rawat
jalan karena keterlambatan pengiriman diatasi dengan penundaan pemberian obat
pasein. Kepatuhan dokter menulis resep BPJS sesuai dengan fornas BPJS belum
100%.
Kebijakan rumah sakit dalam mengatasi perbedaan harga obat adalah dengan
penghematan di bagian lain yaitu dengan mengefisienkan pengobatan, BHP,
pemakaian alkes yang lebih murah. Kebijakan rumah sakit dalam menentukan
pemberian obat BPJS diluar fornas ditentukan oleh direksi dengan
mempertimbangkan apakah pasien memang membutuhkan obat tersebut dan adanya
alternatif obat pengganti lain yang masuk BPJS, dan melihat harga obat.
FARMASI RUMAH SAKIT

REVIEW JURNAL

OLEH :

NAMA : ANDI ANUGERAH AYU RAMADHANI

NIM : O1A116145
KELAS :D

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019

Anda mungkin juga menyukai