Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan

penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini

menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia

termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan,

merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan

upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.

Menurut Permenkes RI No.56/2014 rumah sakit adalah institusi pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna (Depkes RI, 2014a). Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu

kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan dan merupakan bagian

tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi

kepada pelayanan pasien dan penyediaan obat yang bermutu (Depkes RI, 2004).

Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus

merupakan revenue center utama. Hal tersebut mengingat bahwa lebih dari 90 %

pelayanan kesehatan di RS menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan

kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan habis pakai, alat kedokteran, dan gas

1
medik), dan 50 % dari seluruh pemasukan RS berasal dari pengelolaan perbekalan

farmasi. Untuk itu, jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat dan

penuh tanggung jawab, maka dapat diprediksi bahwa pendapatan RS akan

mengalami penurunan.

RS. Krakatau Medika Cilegon adalah rumah sakit yang mampu menerima

rujukan dari rumah sakit-rumah sakit lain di sekitarnya, terutama bagi layanan-

layanan subspesialistik yang tersedia.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sejak 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan

mulai beroperasi menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional(JKN). Jaminan

Kesehatan Nasional merupakan program Negara yang bertujuan memberikan

kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Demikian juga

RS. Krakatau Medika Cilegon sejak 1 Januari 2014 ikut serta dalam

penyelenggaraan JKN.

Pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat

Lanjutan dilakukan dengan menggunakan tarif Indonesian-Case Based Groups

(INA-CBG’s). Tarif ini didasarkan atas paket layanan pengelompokan diagnosis

penyakit (Depkes RI, 2014). Sistem pembayaran klaim ini menuntut adanya

efisiensi dalam pelaksanaan pelayanan, termasuk juga dalam pengadaan obat-

obatan BPJS.

Konsep dasar pengelolaan persediaan di RS adalah menjaga keseimbangan

penyimpanan persediaan dengan biaya yang dibutuhkan untuk menyimpan

persediaan. Pengelolaan persediaan untuk membantu perbekalan atau supply obat

agar jenis dan jumlah persediaan cukup dan dapat menghindari kekosongan serta

2
menumpuknya persediaan. Upaya mempertahankan tingkat persediaan pada suatu

tingkat tertentu dilakukan dengan mengendalikan arus masuk obat.

Belanja obat mengkonsumsi sebagian besar anggaran pelayanan kesehatan.

Sebuah rumah sakit bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan sumber

daya yang tersedia secara optimal yang bertujuan untuk mencapai efisiensi dalam

kendali biaya. Tujuannya adalah untuk memastikan persediaan yang memadai dari

barang yang dibutuhkan sehingga pasokan barang dapat dipertahankan

(Wandalkaretal, 2013). Penyimpanan berarti uang yang tidak bergerak dan

penyimpanan juga meningkatkan biaya, diantaranya adalah biaya simpan dan biaya

pemesanan, serta adanya kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan

(Jacobsand Chase, 2014).

Luasnya pelayanan dan keikutsertaan RS. Krakatau Medika Cilegon dalam

JKN menuntut suatu pengelolaan persediaan farmasi yang efisien. Pelaksanaan JKN

juga mengubah pola konsumsi obat. Penggunaan formularium nasional sebagai

pedoman pengobatan JKN dan bertambahnya pasien peserta JKN Karena adanya

kewajiban menggunakan BPJS bagi para pekerja dan masyarakat pada tahun 2015

menyebabkan peningkatan konsumsi obat-obat JKN. Jumlah pasien BPJS di RS.

Krakatau Medika Cilegon mengalami peningkatan yang signifikan. Terjadi

pertambahan jumlah kunjungan pasien per bulan pada JKN pada Januari 2014

adalah 1.798 pasien, terus meningkat menjadi 22.457 pasien pada Januari 2017.

Pengelolaan obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon terpisah dengan obat

regular. Obat-obat JKN memiliki daftar tersendiri dan dikhususkan hanya untuk

pasien JKN. Sampai saat ini belum ada evaluasi terhadap sistem manajemen

pengelolaan obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon.

3
Menurut Permenkes No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Rumah Sakit, pengadaan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk

merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin

ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai

dengan standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan

mulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, juga penyesuaian antara

kebutuhan dan dana (DepkesRI, 2014).

Dari pengamatan awal di RS. Krakatau Medika Cilegon, ada beberapa

masalah yang terkait dengan manajemen pengadaan obat JKN. Ketersediaan obat-

obatan kelompok A (fast moving) melebihi standar berdasarkan kriteria ABC nilai pakai

yaitu sebesar 63,22% sehingga terdapat kelebihan stok obat-obat kelompok A yang

terutama berkaitan dengan nilai investasi dan biaya penyimpanan. Frekuensi

pengadaan tidak terencana sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk pemesanan

tidak dapat diprediksi dan seringkali terjadi stock out untuk obat-obat kelompok

C karena ketersediaan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan standar analisis

Pareto/ABC yaitu sebesar 17,84% dibandingkan dengan standar sebesar 60%

dari seluruh item sehingga sering terjadi stock-out obat-obat kelompok C.

Pasien yang tidak dapat terlayani juga harus mencari apotek lain yang melayani

pasien JKN.

Analisis ABC atau Pareto adalah suatu analisis yang dapat digunakan

dalam menganalisis pola konsumsi perbekalan farmasi, sementara analisis VEN

(Vital, Esensial, Non-Esensial) adalah suatu sistem untuk menentukan seleksi,

pengadaan, dan penggunaan perbekalan farmasi. Analisis VEN dapat membantu

dalam mengontrol stok obat-obatan yang perlu kontrol ketat untuk menghindari

4
stock-out dan memperbesar manfaat dari dana yang tersedia (Devnanietal,2010).

Dengan demikian gabungan analisis ABC-VEN dapat digunakan untuk

mengevaluasi pola pengadaan dengan dasar prioritas (Quicketal,2012). Analisis

ABC indeks kritis adalah kombinasi analisis ABC yang meliputi analisis ABC nilai

pakai, analisis ABC nilai investasi, dan analisis VEN yang digunakan untuk

meningkatkan efisiensi penggunaan dana terutama pada obat-obatan berdasarkan

dampaknya pada kesehatan (Suciati dan Adisasmito, 2006).

Berdasarkan latar belakang dan beberapa temuan mengenai manajemen

pengadaan obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon selama ini, sangat penting

disusun suatu penelitian untuk menganalisis sistem pengadaan obat JKN di RS.

Krakatau Medika Cilegon dengan menggunakan analisis ABC indeks kritis untuk

mengupayakan pencapaian pengadaan obat JKN yang optimal.

I.2 Rumusan Masalah

Apakah sistem pengelolaan obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon sudah sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di RumahSakit?

I.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan dari makalah ini adalah untuk menganalisis sistem pengadaan obat JKN

di RS. Krakatau Medika Cilegon dengan menggunakan analisis ABC sebagai

dasar untuk perencanaan pengadaan obat.

Tujuan khusus

Mendeskripsikan dan mengevaluasi sistem pengelolaan obat JKN di RS.

5
Krakatau Medika Cilegon selama ini menurut Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

I.4 Manfaat

Hasil dari makalah ini dapat digunakan untuk mengembangkan teori terkait

perencanaan, peramalan, dan pengadaan obat JKN di rumah sakit. Penelitian yang

dilakukan juga menambah pengetahuan dan keterampilan peneliti untuk

mengidentifikasi masalah, mengevaluasi, dan melaksanakan perencanaan

pengadaan obat yang optimal di rumah sakit.

6
BAB II

LANDASANTEORI

II.1 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi farmasi adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas

menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan

pelayanan farmasi (Undang-undang RI, 2009). Instalasi farmasi memiliki pengaruh

terhadap ekonomi dan biaya operasional rumah sakit karena bagian ini merupakan

bagian di rumah sakit yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan dan

pengendalian seluruh sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang beredar di

rumah sakit (Siregar, 2003). Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan

bahan habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi melalui

sistem satu pintu, yaitu bahwa rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan

kefarmasian termasuk dalam pembuatan formularium, pengadaan, dan distribusi

alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk

mengutamakan kepentingan pasien (Undang-Undang RI, 2009).

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan

farmasi klinik dan kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan

farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia,

sarana, dan peralatan. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,dan bahan medis

habis pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir, dan

menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya

(Depkes RI, 2014).

Instalasi farmasi rumah sakit memiliki misi yang difokuskan pada

pencapaian hasil positif bagi seluruh penderita. Misi ini dicapai melalui terapi

obat yang optimal, memberikan pelayanan yang membantu perkembangan,

7
kemanfaatan, keamanan mutu tinggi, dan rasio-efektif biaya yang paling tinggi.

Selain bagi penderita, instalasi farmasi rumah sakit juga memiliki tujuan untuk

member manfaat kepada rumah sakit dan sejawat profesi kesehatan. Manfaat ini

diberikan dengan menyediakan perbekalan yang memadai dan memenuhi syarat

dan mengelola suatu pelayanan farmasi secara efektif (Siregar, 2003).

II.2 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Jaminan Kesehatan adalah jaminan perlindungan kesehatan agar peserta

memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

(BPJS Kesehatan) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan

program Jaminan Kesehatan Nasional (Depkes, 2014).

Peserta JKN terdiri dari Warga Negara Indonesia dan warga negara asing

yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan dan anggota keluarganya.

Peserta JKN juga dibedakan menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan

peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (nonPBI). Peserta PBI adalah orang yang

tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta non PBI adalah para

pekerja penerima upah dan anggota keluarganya (Pegawai Negeri Sipil, anggota

TNI, anggota polri, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai negeri,

pegawai swasta, dan lain-lain), para pekerja bukan penerima upah dan anggota

keluarganya (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan lain-lain

pekerja bukan penerima upah), dan bukan pekerja beserta keluarganya (investor,

pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan) (Depkes, 2014).

Fasilitas kesehatan wajib menyediakan pelayanan obat, alat kesehatan,dan

bahan medis habis pakai. Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai yang dibutuhkan pasien peserta JKN diberikan sesuai dengan indikasi

medis. Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai pada fasilitas

kesehatan rujukan tingkat lanjutan merupakan salah satu komponen yang


8
dibayarkan dalam paket INA-CBG’s. Pelayanan obat yang tidak termasuk dalam

paket INA-CBG’s dan mengacu pada Formularium Nasional, tidak dapat

ditagihkan tersendiri kepada BPJS Kesehatan serta tidak dapat dibebankan kepada

peserta. Obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada fasilitas kesehatan

rujukan tingkat lanjutan yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat

digunakan obat lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur

Rumah Sakit (DepkesRI, 2014).

1. Tarif Indonesian–Case Based Groups (INA-CBG’s)

Penentuan tarif untuk Jaminan Kesehatan Nasional diatur dalam

Peraturan Menteri KesehatanRepublik Indonesianomor59 tahun 2014 tentang

Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan

Kesehatan. Permenkes ini mengatur standar tarif untuk Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan

(FKRTL). Untuk FKTP, standar tarif yang berlaku adalah Tarif Kapitasi dan

Tarif Non Kapitasi. Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang

dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah

peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan

kesehatan yang diberikan. Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran

klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jenis dan jumlah

pelayanan kesehatan yang diberikan. Untuk FKRTL, tarif yang berlaku adalah

tarif Indonesian–Case Based Groups (INA-CBG’s), yaitu besaran pembayaran

klaim oleh BPJS Kesehatan atas paket layanan yang didasarkan pada

pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur sesuai dengan pembagian

regional dan kelas rumah sakit. Sebagai contoh Tarif INA-CBG’s untuk

regional 1 rumah sakit kelas B adalah sebagai berikut:

9
Tabel2.1:Contoh Tarif INA-CBG2014 Regional 1 Rumah Sakit
Kelas B Rawat Inap
Tarif Tarif Tarif
Kode DeskripsiKodeINA-CBG
Kelas 3 Kelas 2 Kelas 1
I-4-17-I Hipertensi ringan 3.502.000 4.202.400 4.902.800
I-4-17-II Hipertensi sedang 4.747.500 5.697.000 6.646.500
I-4-17-III Hipertensi berat 5.761.900 6.914.300 8.066.700
I-4-20-I Angina pektoris dan nyeri dada ringan 4.026.000 4.831.200 5.636.400
I-4-20-II Angina pektoris dan nyeri dada sedang 4.626.800 5.552.200 6.477.500
I-4-20-III Angina pektoris dan nyeri dada berat 6.148.200 7.377.800 8.607.400
Sumber:Permenkes Nomor 59 Tahun 2014

Pemberian obat dalam layanan JKN ditentukan pula dalam Permenkes

ini. Obat untuk penyakit kronis di FKRTL diberikan maksimum untuk 1(satu)

bulan sesuai indikasi medis. Obat yang menjadi bagian dari paket INA-CBG’s,

diberikan minimal 7 (tujuh) hari dan bila diperlukan tambahan hari

pengobatan, obat diberikan terpisah diluar paket INA-CBG’s dan obat yang

diberikan harus tercantum pada Formularium Nasional. Untuk penyakit

Diabetes Melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis

(PPOK), epilepsi, gangguan kesehatan jiwa kronik, stroke, dan Sistemik Lupus

Eritematosus (SLE) dan penyakit kronis lain yang ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan berlaku obat program rujuk balik (DepkesRI,2014b).

2. Formularium Nasional

Pelayanan JKN memerlukan obat-obatan yang aman, berkhasiat,

bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah yang cukup.Untuk tujuan

tersebut, disusun suatu daftar obat dalam bentuk Formularium Nasional.

Formularium ini ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 328/Menkes/SK/VIII/2013 tentang Formularium Nasional.

Formularium Nasional mengatur ketentuan obat-obatan yang digunakan

dalam JKN. Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang

dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan

dalam pelaksanaan JKN. Obat yang dibutuhkan yang tidak tercantum dalam

Formularium Nasional dapat digunakan secara terbatas berdasarkan persetujuan


10
komite medik dan direktur rumah sakit setempat (Depkes RI, 2013a). Obat-

obatan dalam Formularium Nasional dibagi menjadi 29 kelas terapi. Masing-

masing kelas terapi dibagi menjadi subkelas terapi beserta nama generik obat,

sediaan, kekuatan, dan restriksi penggunaan, serta fasilitas kesehatan yang harus

menyediakannya.

3. Pengadaan Obat JKN

Proses pengadaan obat JKN dilakukan dengan sistem E-Catalogue

secara elektronik. Sistem ini diatur dalam Permenkes Nomor 48 tahun 2013

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing

berdasarkan E-Catalogue. Penerapan sistem ini bertujuan untuk meningkatkan

transparansi dalam proses pengadaan obat, meningkatkan persaingan yang

sehat dalam penyediaan layanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan

yang baik, serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan

proses pengadaan obat.

Pengadaan obat yang tersedia dalam daftar di sistem E-Catalogue obat

dilakukan dengan prosedur E-Purchasing. E-Purchasing merupakan tata cara

pembelian barang/jasa melalui sistem E-Catalogue obat. E-Catalogue adalah

sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan

harga obat dari berbagai penyedia barang/jasa tertentu.

Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk pengadaan E-

Purchasing. Untuk dapat melakukan pengadaan obat dengan system E-

Purchasing, suatu instansi harus terlebih dahulu terdaftar di aplikasi Sistem

Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) di website Layanan Pengadaan Secara

Elektonik (LPSE). Selanjutnya instansi mendapatkan login untuk melakukan E-

Purchasing. Pengadaan secara manual tetap mengacu pada E-Catalogue dengan

menyiapkan undangan negosiasi, berita acara proses negosiasi, permintaan

pembelian, dan perjanjian pembelian (Depkes RI, 2013b).


11
II.3 Logistik

Logistik adalah ilmu yang mempelajari aktivitas fungsional yang

menentukan aliran bahan di sebuah perusahaan. Logistik menentukan semua

kegiatan yang bertujuan untuk memastikan pembelian, aliran, dan pengelolaan

bahan dengan benar. Masalah yang terjadi pada logistik akan menjadi masalah

dalam pelayanan (Ghianietal, 2013). Dalam suatu rumah sakit logistik adalah bagian

yang bertanggung jawab pada pembelian sesuai dengan kebutuhan aktual rumah

sakit (Amrollahi, 2012).

Setiap kegiatan logistik dilakukan melibatkan biaya yang mempengaruhi

nilai produk. Biaya logistik adalah sumber keuangan yang dikonsumsi perusahaan

dengan adanya aktivitas logistik. Biaya dalam aktivitas logistik terdiri dari biaya

penyimpanan, biaya operasional dan pengelolaan, biaya stock out, biaya

transportasi, dan biaya gedung serta peralatan (Ghianietal, 2013). Dengan demikian

pengadaan dan penyimpanan barang memerlukan biaya besar. Biaya yang paling

besar adalah nilai persediaan dan biaya penyimpanannya. Biaya penyimpanan ini

setiap tahun umumnya sekitar 20-40% dari harga barang (Indrajit dan Djokopranoto,

2003). Untuk persediaan farmasi, biaya penyimpanan adalah sekitar 30-40% dari

harga barang (Quicketal,2012).

Biaya pemesanan adalah biaya yang berkaitan dengan pengeluaran surat

pesanan atau kontrak pembelian. Biaya pemesanan tidak tergantung dari jumlah

barang yang dipesan, tetapi tergantung dari jumlah surat pesanan yang

dikeluarkan. Biaya persediaan atau penyimpanan terdiri dari biaya bunga, biaya

operasi gudang, biaya karyawan gudang, biaya asuransi, biaya administrasi, biaya

pengawetan, risiko kehilangan, dan risiko persedian mati atau tinggal guna (Indrajit

12
dan Djokopranoto, 2003).

II.4 Pengadaan

Pengadaan adalah suatu proses kegiatan yang bertujuan agar sediaan farmasi

tersedia dengan jumlah dan jenis yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Proses

pengadaan meliputi aspek perencanaan, teknis pengadaan, penerimaan, dan

penyimpanan (Mashuda, 2011).

Pengadaan yang efektif adalah suatu proses yang mengatur berbagai cara,

teknik, dan kebijakan yang ada untuk membuat suatu keputusan mengenai obat-

obatan yang diadakan, baik jumlah maupun sumbernya. Pengadaan dilakukan untuk

merealisasikan hasil perencanaan. Teknis pengadaan yang efektif. Teknis pengadaan

yang ekonomis, selain menjamin persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan,

harus menjamin juga ketersediaan dalam jenis dan jumlah yang tepat, serta harga

yang ekonomis. Dengan demikian pemilihan waktu pengadaan merupakan bagian

dari teknis pengadaan yang merupakan penentu utama dari ketersediaan obat dan

total biaya kesehatan (Mashuda, 2012).

II.5 Persediaan

Sediaan farmasi memiliki nilai yang tinggi. Nilai persediaan farmasi

meningkat karena banyaknya jenis dan tingginya nilai produk farmasi. Hal ini

menyebabkan manajemen persediaan farmasi sangat penting. Jumlah persediaan

yang terlalu banyak menyebabkan juga banyaknya nilai uang yang tidak bergerak.

Persediaan baru dapat menjadi uang tunai ketika persediaan tersebut terjual kepada

konsumen. Pengelolaan yang tepat pada persediaan memiliki dampak yang

signifikan pada pengelolaan keuangan dan operasional rumah sakit yang optimal

13
(Desseleand Zgarrick, 2009).

Manajemen persediaan untuk pasokan farmasi meliputi pemesanan,

penerimaan, penyimpanan, distribusi, dan pemesanan kembali. Kelemahan dalam

manajemen persediaan pada sistem pasokan farmasi menjadi penyebab pemborosan

finansial. Akibat lain dari lemahnya manajemen persediaan adalah terjadi

kekurangan pada obat-obat yang esensial. Sebaliknya obat-obat yang kurang

esensial berlebihan yang menyebabkan kadaluarsa. Akibat yang lebih luas sebagai

dampak dari manajemen persediaan yang lemaha dalah terjadinya penurunan

kualitas perawatan pasien (Quicketal,2012).

Tujuan manajenen persediaan adalah mencapai keseimbangan antara biaya

penyimpanan dan pembelian, serta biaya jika terjadi kekurangan pasokan. Untuk

mencapai tujuan tersebut sistem manajemen persediaan perlu didesain atau

dikembangkan dengan suatu pertimbangan cermat berdasarkan konteks dimana

sistem manajemen persediaan berfungsi dan tipe pencatatan stok dan laporan

persediaan yang diperlukan. Pertimbangan juga meliputi seleksi obat yang akan

disimpan sebagai obat standar, waktu, dan jumlah pemesanan kembali.

Identifikasi dan kendali biaya manajemen persediaan dilakukan menggunakan

system klasifikasi produk seperti analisis ABC dan analisis VEN (Quicketal, 2012).

1. Pengendalian persediaan

Pengendalian persediaan dilakukan untuk membantu pengelolaan

perbekalan sediaan farmasi dan alat kesehatan agar memiliki persediaan dalam

jenis dan jumlah yang cukup untuk menghindari kekosongan barang atau

menumpuknya persediaan. Pengendalian persediaan adalah suatu upaya untuk

14
mempertahankan tingkat persediaan dengan mengendalikan arus barang yang

masuk melalui pengaturan system pesanan/pengadaan (scheduled inventory dan

perpetua linventory), penyimpanan, dan pengeluaran agar persediaan efektif

dan efisien, tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan,

kadaluarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi

(Mashuda, 2011).

2. Teknik pengendalian

a. Analisis ABC

Metode ABC atau Analisis ABC juga dikenal dengan nama analisis

Pareto. Analisis ABC adalah analisis tahunan yang digunakan dalam sistem

persediaan untuk menganalisis pola konsumsi dan jumlah dari total

konsumsi untuk semua jenis obat. Analisis ABC (Always, Better, Control)

merupakan pembagian konsumsi obat dan pengeluaran untuk perencanaan.

Metode ini cenderung bersifat profit oriented product karena berdasar pada

dana yang dibutuhkan dari masing-masing obat. Analisis ABC dapat

diterapkan dengan menggunakan data konsumsi obat selama satu tahun

atau kurang (Holloway, 2003). Metode ini dalam proses pengadaan

digunakan untuk memastikan bahwa pengadaan sesuai dengan prioritas

kesehatan masyarakat dan menaksir frekuensi pemesanan yang

mempengaruhi keseluruhan persediaan (Quick et al, 2012).

15
Gambar 2.1. Grafik logistik obat berdasarkan analisis ABC

Analisis ABC digunakan untuk menganalisa tingkat konsumsi semua jenis

obat. Analisis ini mengenai 3 kelas yaitu:

A (Always)

Obat harus ada karena berhubungan dengan pengendalian dalam

pengadaannya. Persentase kumulatifnya antara 70%-80%. Kelas A tersebut

menunjukkan 10%-20% macam persediaan memiliki 70%-80% dari total

biaya persediaan. Hal ini berarti persediaan memiliki nilai jual yang tinggi

sehingga memerlukan pengawasan ekstra dan pengendalian yang harus

baik (Quick, 1997).

B (Better)

Kelas B, 20-40% item obat di rumah sakit dengan alokasi dana 15-20% dari

keseluruhan anggaran obat. Persentase kumulatifnya antara 80-95% (Quick,

1997).

C (Control)

16
Obat mempunyai nilai yang rendah, yaitu sekitar 5-15% namun jumlah obat

sangat banyak, yaitu mencapai 60%. Karena obat selalu tersedia maka

pengendalian pada tingkat ini tidak begitu berat. (Quick, 1997).

Tabel. Pareto ABC


Kelompok Jumlah item Nilai
A 10-20 % item 70-80 %
B 20-40% item 15-20 %
C 60% item 5-15% %

Analisis ABC dibedakan menjadi dua macam, yaitu analisis nilai

pakai dan analisis nilai investasi. Analisis nilai pakai adalah analisis untuk

mengelompokkan obat berdasarkan jumlah pemakaian dari setiap item

obat.Analisis nilai invetasi adalah analisis untuk mengelompokkan obat

berdasarkan nilai investasi dari setiap item obat (Suciati dan Adisasmito,

2006).

No Spesifikasi Kelompok A Kelompok B Kelompok C


1 Pengendalian Sangat baik Cukup Kurang
2 Safety stock Sedikit Cukup Besar
3 Periode pesanan Minggu 3 bulan 6 bulan
4 Kontrol Minggu bulan 3 bulan
5 Pengawasan maksimal periodik Penyimpangan
6 Value analisis ketat cukup Kurang
7 Ramalan untuk perencanaan teliti estimasi data estimasi data
8 Kontrol kerusakan/keuangan minimalisasi 3 bulan 1 tahun
9 Pembelian/penyimpanan sentralisasi kombinasi Desentralisasi
10 Pembukuan/pencatatan Per item Kelompok Kelompok
kecil besar
11 Penanggung jawab Staff senior Staff Dapat
menengah didelegasikan

17
Manfaat analisis ABC diantaranya sebagai berikut:

1. Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang efisien

2. Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat

memberikan cost benefit yang besar bagi perusahaan

3. Dapat memanfaatkan modal kerja (workingcapital) sebaik-baiknya

sehingga dapat memacu pertumbuhan perusahaan

4. Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien yang pada

akhirnya dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi fungsi-fungsi

produksi

b. Analisis VEN

Analisis VEN adalah metode untuk membantu membuat prioritas untuk

pembelian obat-obatan dan menjaga persediaan. Obat-obatan dibagi

berdasarkan dampaknya pada kesehatan menjadi Vital (V), Esensial(E),

dan Non-Esensial (N).

Karakteristik Pengobatan Individu V E N


Kejadian dari keadaan yang
ditargetkan 75% 1-5% 1%
- Pemakai (% populasi) 200 50-100 50
- Diagnosis (kasus/100.000
populasi/tahun) Sedang/tinggi rendah Sangat rendah
- Yang dirawat/diobati
Berat penyakit:
- Ancaman hidup (kematian bila Mungkin Tidak sering Jarang
tidak diobati)
- Kronis Mungkin Tidak sering Jarang
- Cacat Mungkin Tidak sering Jarang
- Membatasi (hilangnya Sering Kadang-kadang Tidak sering
pekerjaan dan waktu untuk

18
aktivitas rutin)
Efek obat -Kuratif -Preventif -Paliatif
-Kuratif -Pengobatan
gejala ringan
Manfaat terapi efektif Mungkin efektif -Mungkin efektif
-tidak diketahui

Berikut ini adalah penggolongan obat-obat berdasarkan sistem VEN:

1. Vital (V) adalah kelompok jenis obat yang sangat esensial (vital), yang

termasuk dalam kelompok ini antara lain : obat penyelamat (life saving

drug), obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok dan obat-obatan untuk

mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar. Contoh obat yang

termasuk jenis obat Vital adalah adrenalin, antitoksin, insulin, obat jantung,

2. Esensial (E) bila perbekalan farmasi tersebut terbukti efektif untuk

menyembuhkan penyakit, atau mengurangi penderitaan pasien. Contoh

obatyang termasuk jenis obat Essensial adalah antibiotik, obat

gastrointestinal, NSAID dan lain lain.

3. Non-esensial (N) meliputi aneka ragam perbekalan farmasi yang

digunakanuntuk penyakit yang sembuh sendiri (self limiting disease),

perbekalanfarmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang

mahal namuntidak mempunyai kelebihan manfaat disbanding perbekalan

farmasi lainnya.Contoh obat yang termasuk jenis obat Non-essensial adalah

vitamin, suplemen dan lain-lain.

Tujuan Penggolongan Obat Sistem VEN antara lain:

1. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia.

19
2. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok vital

agar diusahakan tidak terjadi kekosongan obat

3. Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan terlebih dahulu kriteria

penentuan VEN. Dlm penentuan kriteria perlu mempertimbangkan

kebutuhan masing-masing spesialisasi.

Langkah-langkah menentukan VEN:

1. Menyusun kriteria menentukan VEN

2. Menyediakan data pola penyakit

3. Standar pengobatan

c. Analisis ABC Indeks Kritis

Analisis ABC indeks kritis digunakan untuk meningkatkan

efisiensi penggunaan dana dengan mengelompokkan obat berdasarkan

dampaknya pada kesehatan. Nilai Indeks Kritis (NIK) dikelompokkan

dalam criteria kelompok A dengan NIK 9,5–12, kelompok B dengan

NIK6,5–9,4, dan kelompok C dengan NIK4–6,4. Kelompok A dengan NIK

tertinggi, yaitu 12 (duabelas) merupakan obat yang sangat kritis bagi

sebagian besar pemakainya atau bagi satu atau dua pemakai dan memiliki

turn over yang tinggi (Suciati dan Adisasmito, 2006).

d. Analisis ABC – VEN

Analisis ini menggabungkan kedua kelompok analisis ABC (Pareto) dan

analisis VEN (Vital, Esensial, Non Esensial) yang dibuat dalam suatu matriks

20
sehingga analisa menjadi lebih tajam. Matriks ABC – VEN adalah sebagai

berikut:

Tabel 2. . Matriks analisis ABC – VEN

Analisis V E N
A (VA) (EA) (NA)
B (VB) (EB) (NB)
C (VC) (EC) (NC)

Matriks dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas dalam rangka

penyesuaian anggaran atau prioritas dalam pengelolaan persediaan. Obat-obat

yang bersifat vital (VA, VB, VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli atau

perlu diprioritaskan. Sedangkan obat-obat non esensial tetapi banyak

menggunakan anggaran/dana yang banyak (NA) diprioritaskan keluar dari

gudang penyimpanan.

e. Safety Stock

Safety stock adalah jumlah stok yang harus tetap ada dalam persediaan.

Jumlah ini harus ada selama tidak ada suplai dari pemasok atau saat ada

permintaan diluar dugaan. Jumlah safety stock minimal diperlukan untuk

mencegah stock out. Tingkat persediaan rata-rata ditentukan oleh tingkat

layanan. Walaupun demikian, peningkatan kebutuhan safety stock tidak

berbanding lurus dengan peningkatan pelayanan. Lead time yang tidak

menentu juga dapat meningkatkan jumlah safety stock (Quick etal,2012).

f. Economic Order Quantity (EOQ)

Economic Order Quantity (EOQ) adalah suatu model matematika yang

21
dikembangkan dalam manajemen persediaan. Model ini banyak digunakan

dalam perusahaan yang melakukan pembelian terus menerus. Ide dasar EOQ

adalah jumlah pesanan yang ideal untuk setiap item obat, yang optimal dan

seimbang antara biaya penyimpanan dan biaya pemesanan. Penghitungan

EOQ secara periodik untuk item dengan penggunaan dan investasi tinggi

(kelompok A) sangat berguna untuk membandingkan teori jumlah

pemesanan ideal dengan prakteknya (Quick etal,2012).

g. Reorder Point (ROP)

Reorder point atau titik pemesanan kembali sering digunakan

dalampenjadwalan pembelian. Dengan menggunakan pendekatan teoretik,

stok diupayakan dapat memenuhi permintaan, namun tidak berlebih. Stok

terakhir untuk pemesanan selanjutnya ditentukan pada titik tertentu. Safety

stock dapat menjadi bagian dari stok minimal untuk melindungi dari variasi

jumlah permintaan dan kinerja supplier (Quicket al,2012).

3. Peramalan Persediaan

Peramalan adalah kegiatan yang berhubungan dengan meramalkan

atau memproyeksikan permintaan atau kebutuhan yang akan datang

berdasarkan permintaan yang lalu berdasarkan perhitungan. Ramalan

kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi variabel-variabel yang

mempengaruhi kebutuhan dan mengembangkan persamaan-persamaan yang

menyatakan hubungan antara variabel tersebut dalam bentuk perhitungan

matematis (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Peramalan ini digunakan

sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengendalian sistem persediaan

22
(Baroto, 2002).

Metode peramalan pada umumnya menggunakan data masa lalu untuk

memperkirakan atau memproyeksikan data dimasa yang akan datang. Ada dua

macam metodeperamalan, yaitu metodekualitatif dan metodekuantitatif.

Metode kualitatif digunakan jika tidak ada atau hanya ada sedikit data yang

tersedia sehingga pendapat dan prediksi pakar dijadikan dasar untuk

menetapkan permintaan. Metode kuantitatif adalah metode yang digunakan

untuk meramalkan permintaan masa depan dengan dasar suatu set data

historis (masa lalu). Peramalan dengan metode kuantitatif dikelompokkan

menjadi metode serial waktu (time series) dan metode non time series (Baroto,

2002).

Metode time series adalah metode yang paling banyak digunakan dalam

peramalan. Metode ini menggunakan pola permintaan masa lalu dan

memproyeksikannya ke dalam perkiraan permintaan masa yang akan dating.

Analisis dilakukan terhadap variable yang berubah-ubah dari waktu ke

waktu dengan menggunakan beberapa kurun waktu tertentu (Indrajit dan

Djokopranoto, 2003).

Dalam peramalan terdapat berbagai metode time series. Metode yang

seringkali digunakan dalam peramalan kebutuhan obat adalah metode

exponential smoothing (ES). Teknik ini digunakan untuk mengatasi variasi

pola konsumsi dan leadtime. Metode ES menggunakan konstanta smoothing

yang disebut alpha (α) untuk menyesuaikan rata-rata konsumsi yang

diamati.Untuk tujuan perhitungan proyeksi permintaan dengan leadtime

tertentu α biasanya bernilai antara 0,1 dan 0,2 (Quicketal, 2012).

23
BAB III

PROFIL RS. KRAKATAU MEDIKA CILEGON

III.1 Sejarah RS. Krakatau Medika Cilegon

Pendirian PT Krakatau Medika merupakan bagian dari proses reorganisasi dan

restrukturisasi PT Krakatau Steel (Persero) pada tahun 1996. Saat itu, PT. Krakatau Steel

(Persero) melepaskan unit-unit penunjang yang tidak terkait langsung dengan core

business sebagai produsen baja, menjadi badan usaha mandiri/subsidiaries PT Krakatau

Steel (Persero). Di atas lahan seluas 13,5 hektare, didirikanlah Krakatau Medika Hospital

(KM Hospital) yang sebelumnya dikenal dengan nama Rumah Sakit Krakatau Steel

(RSKS).

Gambar 3.1. RS. Krakatau Medika Cilegon (tampak depan)

Sesuai dengan Surat Izin Penyelenggaraan Rumah Sakit yang ditetapkan

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

24
HK.07.06/III/2210/09. Pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

702/Menkes/SK/VIII/2009, Krakatau Medika Hospital ditetapkan sebagai rumah sakit

umum swasta dengan klasifikasi utama setara dengan Kelas B dan Surat Keputusan Kepala

Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Provinsi Banten tertanggal

12 Januari 2015 tentang Pemberian Izin Perpanjangan Operasional Tetap. Pelayanan KM

Hospital telah terserifikasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagai badan

independen yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang menjaga

standar pelayanan rumah sakit di Indonesia. Nomor : KARS-SERT/436/XII/2016.

Saat ini Krakatau Medika Hospital (KM Hospital) memiliki kapasitas 237 tempat

tidur. Dalam meningkatkan performanya, Krakatau Medika Hospital mendapatkan

sertifikat dari Indonesian Quality Award (IQA) Foundation pada 25 November 2009. Pada

21 Agustus 2008, mendapatkan sertifikat ISO 9001: 2000 dari TÜV NORD (certificate

registration no. 16 100 0047).

Memiliki tenaga medis, paramedis serta karyawan non medis yang profesional dan

penuh dedikasi. Layanan bermutu menjadi bagian utama dari operasional Krakatau Medika

Hospital. Dengan sentuhan kemanusiaan yang menyertai setiap layanan, komunikasi

pasien – tenaga medis tidak hanya terjadi pada saat konsultasi saja, akan tetapi dapat

berlanjut sesuai dengan kebutuhan.

III.2 Visi dan Misi RS. Krakatau Medika Cilegon

Visi

Menjadi Penyedia Jasa yang Berstandar Internasional dalam Bidang Kesehatan dengan

Unggulan Kesehatan Kerja

25
Misi

• Memberikan pelayanan dengan mengupayakan kesehatan paripurna (promotif,

preventif, kuratif, rehabilitatif ) yang bermutu

• Melakukan sinergi dengan rumah sakit lain baik tingkat nasional maupun Global

III.3 Budaya Perusahaan

Sebagai perusahaan yang tumbuh dan berkembang yang selalu meningkatkan

pelayanan dan kepuasan bagi pelanggan dalam bidang jasa pelayanan kesehatan.

Manajemen dan Karyawan telah merumuskan suatu nilai budaya yang diperlukan untuk

melayani para pelanggan, kami telah sepakat dengan menggali segala potensi yang ada

maka terbentuklah suatu budaya perusahaan yang kami sebut dengan KERIS.

“KERIS” adalah budaya perusahaan PT Krakatau Medika yang merupakan

singkatan dari Komitmen, Empati, Ramah, Ikhlas, Sigap. Dengan nilai budaya itu, setiap

insan yang bekerja di PT Krakatau Medika senantiasa memberikan yang terbaik kepada

pelanggan dan perusahaan.

III.4 Fasilitas dan Pelayanan di RS. Krakatau Medika Cilegon

Fasilitas pelayanan rawat jalan yang tersedia di RS. Krakatau Medika Cilegon

memiliki lingkup pelayanan yang cukup luas, yang meliputi pelayanan poliklinik umum,

poliklinik gigi, poliklinik spesialistik dan subspesialistik. Perpaduan teknologi kedokteran,

profesionalisme sumber daya manusia dan keasrian lingkungan di RS. Krakatau Medika

Cilegon, kami rumah sakit yang selalu mendahulukan kepentingan pelanggannya siap

memberikan pelayanan yang komprehensif untuk membantu memelihara kesehatan

masyarakat.

26
Gambar 3.2. Fasilitas-fasilitas RS. Krakatau Medika Cilegon

Fasilitas yang dimiliki RS. Krakatau Medika Cilegon antara lain sebagai berikut :

Poliklinik Umum
Poliklinik Gigi
Poliklinik Spesialistik
- Spesialis Penyakit Dalam - Spesialis Rehabilitasi Medis
- Spesialis Bedah Umum - Spesialis Saraf
- Spesialis Kesehatan Anak - Spesialis Kesehatan Jiwa
- Spesialis Kebidanan & Penyakit - Spesialis Kulit & Kelamin
Kandungan - Spesialis Bedah Mulut
- Spesialis Jantung & Pembuluh - Spesialis Orthodonti
Darah - Spesialis Konservasi Gigi
- Spesialis Bedah Saraf - Spesialis Radiologi
- Spesialis Bedah Orthopedi - Spesialis Anesthesi
- Spesialis Paru - Spesialis Pathologi Klinik
- Spesialis Mata - Spesialis Andrologi
- Spesialis THT - Bedah Digestif
- Spesialis Urologi
- Spesialis Periodontie
Konsultasi Psikologi
Home Care
Diabetes Center Point

27
Klinik Edukasi Diabetes Melitus
Konsultasi Gizi
Konsultasi Kesehatan Kerja & Pencegahan
Medical Check Up
Klinik Kecantikan Kulit
Klinik Rehabilitasi Medik
- Fisioterapi
- Okupasi Terapi- Terapi Wicara
Endoscopy Center
- Endoscopy- Colonoscopy- EUS - Double Baloon Endoscopy- ERCP (Endoscopy
(Endoscopy Ultrasonography) Retrograde Cholangio Panceography)- Bronoscopy

Pelayanan & Penunjang Medis Krakatau Medika Hospital

Sebagai rumah sakit yang berlokasi di perlintasan pulau Jawa dan pulau Sumatera,

Krakatau Medika Hospital senantiasa memberikan berbagai fasilitas serta kelengkapan

untuk penunjang dan pelayanan kesehatan diantaranya adalah :

- Instalasi Gawat Darurat & Ambulance 24 Jam - Uroflowmetry

- Instalasi Bedah Sentral - Audiometri

- Laboratorium Klinik 24 Jam - Spirometri

- Radiologi 24 Jam - Treadmill

- Farmasi 24 Jam - Electro Cardio Graphy (ECG)

- Haemodialisa - Echocardiography

- Extracorporeal Shock Wave Lithotription (ESWL) - Klinik Kecantikan

- EEG (Electroencephalography) - MRI & MSCT

III.5 Profil Instalasi Farmasi

A. Struktur Organisasi

Instalasi Farmasi di pimpin oleh seorang Kepala Bidang Farmasi dimana kepala

bidang ini secara struktural berkedudukan di bawah Manager Penunjang Medis dan

berkoordinasi dengan Purchasing.

28
Gambar 3.3. Instalasi Farmasi RS.Krakatau Medika Cilegon (Loket A)

Gambar 3.4. Instalasi Farmasi RS.Krakatau Medika Cilegon (Loket B)

Dalam melaksanakan tugas sehari-hari di Farmasi RS Kepala bidang Farmasi

dibantu oleh 2 (dua) orang Apoteker sebagai Kepala unit dan 10 (Sepuluh) orang

Asisten Apoteker dan 2 (dua) orang pekarya farmasi serta 1 (satu) orang pekarya gudang

29
farmasi.

Direktur RS

Manager
Penunjang
Medis

Kepala Bidang
Farmasi

Kepala Unit Kepala Unit


Pelayanan Perbekalan
Farmasi RI & RJ Farmasi

Asisten
Asisten
Apoteker
Apoteker
Gudang Farmasi

Pekarya Gudang
Pekarya Farmasi
Farmasi

Gambar 3.5. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RS. Krakatau Medika Cilegon

B. Manajemen Farmasi

Sesuai struktur organisasi maka kepala bidang Farmasi bertanggung jawab kepada

Manager Penunjang Medis yang dalam pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan bagian

Purchasing. Unit farmasi mengelola barang-barang yaitu obat, alat kesehatan dan bahan

habis pakai.

RS. Krakatu Medika Cilegon mempunyai Komite Farmasi dan Terapi yang

berkoordinasi dengan manajemen rumah sakit, bertugas membuat daftar obat rumah sakit

berdasarkan analisis Pareto-VEN, yang selanjutnya dipakai oleh panitia standardisasi obat

dan alat-alat kesehatan rumah sakit untuk menentukan dan membuat daftar obat dan alkes

rumah sakit. Daftar standar obat dan alkes ini merupakan pedoman bagi seluruh unit terkait

di rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya masing-masing tim dokter dan pengadaan.

30
Gambar 3.6. Alur Pelayanan Resep Rawat Jalan

Namun pada kenyataannya komite ini belum bekerja secara optimal, formularium

yang telah dibuat tidak berjalan dengan semestinya yang berimbas banyak varian obat yang

31
ada sehinga mengakibatkan pembelanjaan obat yang besar.

C. Sumber Daya Manusia

Posisi dan kondisi sumber daya manusia yang ada di Instalasi farmasi saat ini adalah:

N0 Jabatan Jumlah Jenis tenaga


1 Manager Penunjang medis 1 Dokter
2 Kepala Bidang Farmasi 1 S-2 Farmasi, Apoteker
3 Kepala Unit Pelayanan Farmasi 1 S-1 Farmasi, Apoteker
RI & RJ
4 Kepala Unit Perbekalan Farmasi 1 S-1 Farmasi, Apoteker
5 Assisten Apoteker 10 SMK Farmasi & D3 Farmasi
6 Pekarya Gudang Farmasi 1 SMU
7 Pekarya Farmasi 1 SMU

Shift 1 Shift 2 Shift 3


(07.00 -14.00) (14.00 – 21.00) (21.00 – 07.00)
Apoteker : 6 Apoteker : 4 Apoteker: 2
Assisten Apoteker : 4 Assisten Apoteker : 4 Assisten Apoteker : 3

Sumber Daya Manusia jarang diikutkan pelatihan-pelatihan maupun seminar yang

menunjang kinerja mereka.

D. Kendala-kendala Instalasi Farmasi RS. Krakatau Medika Cilegon

Dari hasil survei yang dilakukan pada bulan November 2017 di Instalasi Farmasi RS.

Krakatau Medika Cilegon, ternyata banyak hal yang harus dibenahi di semua poin-poin

yang mempengaruhi terbentuknya suatu pelayanan Instalasi Farmasi yang profesional .

32
1. Sistem Informasi RS (SIRS) memadai, dengan menggunakan E-precribing yang

bertujuan untuk memudahkan monitoring persediaan dan rencana pengadaan stok obat

dan alkes, namun masih ada beberapa staf medis senior yang melakukan peresepan

secara manual, sehingga ada beberapa golongan obat yang penghitungan dan

perencanaannya dilakukan secara manual sehingga optimalisasi E-prescribing perlu

ditingkatkan.

2. Komite Farmasi belum berjalan secara optimal.

3. Jumlah obat yang beredar terlalu banyak baik jumlah dan jenisnya, sehingga terdapat

cukup banyak obat yang tidak sesuai dengan formolarium nasional.

33
BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Pengelolaan Obat Era JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon

Jumlah kunjungan pasien JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon terus

meningkat sejak pertama kali dibuka kerja sama dengan Badan Penyelanggara Jaminan

Sosial (BPJS). Data jumlah kunjungan total rawat jalan dan rawat inap pasien JKN pada

Januari 2014 adalah 1.798 pasien, terus meningkat menjadi 22.457 pasien pada Januari

2017. Pada instalasi rawat jalan, pasien JKN sebanyak 12% dari total pasien pada

triwulan pertama 2014 menjadi 87,5% pada triwulan pertama 2017. Sementara pada

instalasi rawat inap, pasien JKN pada triwulan pertama 2014 sebanyak 18% menjadi

80,1% dari jumlah total pasien rawat inap pada triwulan pertama 2017. Jumlah

kunjungan total rawat jalan dan rawat inap meningkat dari 8% pada triwulan pertama

2014 menjadi 89% dari jumlah total pasien pada triwulan pertama 2017.

Mulai 1 Januari 2014 RS. Krakatau Medika Cilegon beralih dari penyedia

layanan ASKES menjadi penyedia layanan JKN. Pengadaan obat-obatan JKN

mengikuti ketentuan dalam Formularium Nasional sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328/MENKES/SK/VIII/2013 tentang

Formularium Nasional (Fornas).

Di RS. Krakatau Medika Cilegon, sampai dengan Februari 2017 terdapat 1425

item obat JKN. Sebanyak 15% dari obat JKN tersebut adalah obat generik, dan 85%

adalah obat paten. Persentase obat-obatan JKN ini berubah-ubah sesuai dengan obat-

obatan yang dapat diperoleh. Saat obat generik tidak berhasil didapatkan, maka dapat

dilakukan alternatif dengan memesan obat paten yang diperuntukkan bagi pasien JKN.

34
Misalnya untuk sediaan candesartan tablet, ketika obat generik tidak didapatkan karena

ada kekosongan, pemesanan dapat dialihkan ke Blopress tablet yang diperuntukkan

bagi pasien JKN.

Menurut efek farmakologinya berdasarkan formularium nasional, lima jenis

obat JKN dengan persentase terbanyak di RS. Krakatau Medika Cilegon adalah 25%

golongan obat kardiovaskuler, 10% golongan obat hormonal, endokrin dan kontrasepsi,

12% golongan antiinfeksi, 7% golongan larutan elektrolit dan nutrisi, 9% golongan

obat analgesik. Selebihnya sebanyak 36% terdiri dari golongan antineoplastik, obat

saluran napas, obat saluran cerna, obat yang mempengaruhi darah, psikofarmaka, obat-

obatan optalmologik, anestetik, obat diuretik dan hipertrofi prostat, antiepilepsi

antikonvulsi, vitamin mineral, dan lain-sebagainya.

Perencanaan, persediaan, dan pengadaan obat-obatan JKN menjadi wewenang

unit logistik pergudangan farmasi. Unit logistik bertanggung jawab dalam pengelolaan

sediaan farmasi, yang ditujukan agar didapatkan sediaan farmasi yang aman, bermutu,

efisien, dan terjangkau. Pengelolaan sediaan farmasi seharusnya dilaksanakan dengan

sistem satu pintu (Depkes RI, 2014a). Unit logistik di RS. Krakatau Medika Cilegon

merupakan bagian dari instalasi farmasi. Kondisi ini sudah sesuai dengan sistem satu

pintu, dimana unit logistik merupakan bagian dari instalasi farmasi, sehingga

pengelolaan obat berlangsung secara terpadu, perencanaan dan penghitungan

kebutuhan serta penanggulangan permasalahan yang terjadi dapat lebih cepat, tepat,

dan lebih efisien.

Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi yang dilakukan unit logistik meliputi

pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,

pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi (DepkesRI,

35
2014a). Salah satu bagian dari proses pengadaan obat, yaitu proses pemesanan,

dilakukan menurut Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan obat untuk instalasi

farmasi. Termasuk pemesanan obat-obat JKN dilakukan menurut SPO tersebut.

Metode yang digunakan untuk sistem perencanaan persediaan dan pengadaan

obat-obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon adalah metode konsumsi dan

kebutuhan rumah sakit. Analisis ABC–VEN sangat penting dilakukan untuk

identifikasi dan analisis kontrol biaya manajemen persediaan (Quicketal,2012). Saat ini

RS. Krakatau Medika Cilegon sudah melakukan analisis Pareto atau analisis ABC-

VEN dalam perencanaan pengadaan dan diadakan pemetaan obat dalam golongan

vital, esensial, dan non esensial. Perencanaan kebutuhan obat (RKO) dilakukan

dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar

perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi

konsumsi dan epidemiologi. Perencanaan juga mencakup pertimbangan mengenai

anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, sisa persediaan, data pemakaian periode

sebelumnya, waktu tunggu pemesanan, dan rencana pengembangan (Depkes RI, 2014a).

Pemesanan obat-obatan JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon sudah dengan

menggunakan E- Catalogue, namun ada beberapa jenis obat JKN yang masih dipesan

secara manual sehingga harus dipertimbangkan dalam perencanaan pengadaan adalah

lamanya pengajuan obat-obat JKN jenis tertentu. Pada umumnya obat JKN dapat

dipesan secara manual melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang menyediakan obat

JKN dengan cara yang sama seperti pemesanan obat reguler sehingga waktu

pemesanan dapat mencapai satu minggu bahkan satu bulan. Dengan demikian waktu

pemesanan tiap obat dapat berbeda satu dengan yang lain. Jumlah pesanan obat tanpa

pengajuan dihitung dengan mempertimbangkan leadtime pemesanan. Pertimbangan

36
lain dalam proses pemesanan adalah jenis obat, apakah obat tersebut merupakan obat

yang vital atau bersifat life saving. Proses perencanaan pengadaan obat JKN ini

dilakukan untuk melaksanakan prinsip kendali biaya dan kendali mutu agar pelayanan

kefarmasian sesuai dengan kebutuhan (PPRI, 2009).

Kegiatan pengadaan obat JKN didahului dengan proses pemilihan dan

perencanaan (Depkes RI, 2014a). Unit logistik bekerja sama dengan instalasi farmasi

membuat Rencana Kebutuhan Obat (RKO) untuk obat-obatan JKN yang dikirimkan ke

Dinas Kesehatan. RKO ini menjadi dasar kebutuhan rumah sakit untuk obat-obatan

JKN dalam E-Catalogue untuk RS. Krakatau Medika Cilegon. Jenis obat yang akan

dipesan ditentukan oleh kebutuhan instalasi. Pemesanan dilakukan oleh staf gudang

farmasi ketika sudah pada jumlah stok minimal. Pemesanan dilakukan oleh staf

pembelian dengan persetujuan dari kepala seksi pergudangan farmasi atau kepala

bidang logistik.

Pengendalian persediaan obat JKN dilakukan oleh unit logistik di bawah

koordinasi dengan instalasi farmasi. Pengendalian ini dilakukan untuk

mempertahankan jumlah persediaan dengan mengendalikan arus barang yang masuk

melalui sistem pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan

kecukupan, tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan, kerusakan,

kadaluarsa, kehilangan, serta pengembalian obat (Mashuda, 2011). Untuk

melaksanakan pengendalian terhadap kerusakan obat dan kadaluarsa, terdapat petugas

untuk memantau obat macet atau obat kadaluarsa. Unit logistik juga bekerja sama

dengan instalasi farmasi untuk memantau obat-obat JKN yang berhenti di jumlah stok

tertentu atau tidak ada mutasi sama sekali selama tiga bulan (stagnan). Untuk obat-obat

tersebut selanjutnya akan diadakan evaluasi, apakah akan dihentikan dari

37
persediaannya, atau apakah perlu tidak disediakan sama sekali. Logistik RS. Krakatau

Medika Cilegon sudah melakukan analisis ABC yang sangat penting untuk membuat

keputusan dalam evaluasi dengan mengidentifikasi obat mana yang pergerakannya

cepat (fast moving), pergerakannya sedikit (slow moving) atau tidak sama sekali

(stagnan) (Quick etal,2012).

Perhitungan stok di unit logistik maupun di instalasi farmasi RS. Krakatau

Medika Cilegon dilakukan sesuai dengan masing-masing kategori obat. Perhitungan

stok kategori A dilakukan tiga atau empat kali setahun, kelompok B dua kali setahun,

dan kelompok C sekali setahun sesuai pemetaan pengelompokan obat dan kemudian

secara rutin melakukan penghitungan stok sesuai dengan kategorinya.

(Quicketal,2012). RS. Krakatau Medika Cilegon telah menggunakan sistem peresepan

elektronik (E-Prescribing) sejak awal tahun 2016 yang sangat membantu dalam

perkiraan kebutuhan dan perhitungan stok di unit logistik. RSKM Cilegon juga sudah

online dalam melakukan pemesanan dapat login dengan mudah ke sistem E-Catalogue.

Proses perencanaan dan pengadaan obat JKN di RS. Krakatau Medika Cilegon

mengalami beberapa kendala. Kendala yang utama adalah sistem E-Prescribing belum

dimanfaatkan secara optimal oleh seluruh staf medis di RS. Krakatau Medika Cilegon,

terutama oleh staf-staf medis senior yang kesulitan dalam menginput obat-obatan yang

diresepkan ke dalam sistem E-Prescribing sehingga penghitungan stok dan

perencanaan kebutuhan untuk beberapa obat masih dilakukan secara manual.

Akibatnya, masih ada beberapa golongan obat yang dipesan secara manual

menyebabkan waktu pemesanan menjadi lebih lama. Tidak semua Pedagang Besar

Farmasi (PBF) melayani pemesanan obat JKN secara manual. Kendala lainnya ialah

kekosongnya persediaan obat E- Catalogue yang mempengaruhi stok obat JKN di RS.

38
Krakatau Medika Cilegon. Kekosongan ini terjadi karena obat-obat E-Catalogue habis

dipesan oleh rumah sakit penyedia layanan JKN yang semakin meningkat jumlahnya akhir-

akhir ini, sehingga dalam menyongsong universal coverage oleh BPJS pada tahun 2019

pemerintah diharapkan dapat meningkatkan persediaan obat di E-catalogue.

Selama ini bagian logistik RS. Krakatau Medika Cilegon menangani kendala

kekosongan obat JKN sesuai dengan SPO penanganan obat kosong. Langkah pertama

yang dilakukan untuk mencari pengganti obat JKN adalah mencari sediaan ASKES,

jika masih ada PBF yang menyediakan. Langkah kedua adalah mencari sediaan

generiknya atau sediaan generik reguler. Namun, untuk penggantian obat JKN,

dipertimbangkan juga faktor harga karena proses klaim BPJS berdasarkan paket INA-

CBGs. Jika ada beberapa pilihan, dibuat prioritas harga, mulai dari sediaan ASKES,

sediaan generik, sediaan paten dalam formularium rumah sakit,dan sediaan paten di

luar formularium. Kemudian dipilih obat dengan harga yang paling rendah dengan

tetap memperhatikan kualitas obat. Jika pilihan jatuh pada sediaan di luar formularium,

maka dilakukan pengajuan pengadaan kepada direksi. Hal ini juga dilakukan sebagai

upaya kendali biaya dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan

kebutuhan dan harga yang sesuai (PP RI, 2009), serta dalam upaya menjamin

ketersediaan obat yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau (DepkesRI, 2014a).

IV.2 Perkiraan Kebutuhan Obat JKN Kelompok A Indeks Kritis Untuk Feb 2016–

Februari 2017

Penentuan kelompok obat A indeks kritis didahului dengan mengelompokkan

obat berdasarkan ABC nilai pakai dan ABC nilai investasi. Pengelompokan

berdasarkan indeks kritis kemudian dihitung dengan menggabungkan nilai dari

39
pengelompokkan ABC nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis obat.

1. Pengelompokan obat berdasarkan ABC nilai pakai.

Melalui analisis pada data penggunaan obat JKN selama Februari 2016–Februari

2017, didapatkan pengelompokan ABC nilai pakai adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Pengelompokan obat JKN berdasarkan analisis ABC nilai pakai
Kelompok Jumlah Persentase Jumlah Persentase Item
Pemakaian Pemakaian Item Obat
A 911.936 80% Ob
901 63,22%
B 170.988 15% at
270 18,94%
C 56.996 5% 25 17,84%
Jumlah 1.139.920 100% 4
1425 100%

Hasil perhitungan analisis ABC nilai pakai menunjukkan komposisi

persentase item obat kelompok A, B, dan C berbanding lurus dengan persentase

jumlah pemakaiannya. Hal ini tidak sesuai dengan komposisi persediaan pada

umumnya dimana kelompok A terdiri dari 10–20% item obat tetapi nilainya

mencakup 70–80% dari total penggunaan obat. Kelompok B dengan 20-40% dari

jumlah item obat mencakup 15–20% total penggunaan obat dan kelompok C

dengan 60–80% dari total jumlah item obat namun hanya mencakup 5–10%

penggunaan obat (Quicketal, 2012). Dari tabel 4.1. nampak bahwa persentase obat

kelompok A sebanyak 63,22% dengan persentase pemakaian sebesar 80% dimana

seharusnya jumlah item obat-obat kelompok A hanya sebanyak 10-20% dari

seluruh total item. Persentase obat kelompok B sebanyak 18,94% dengan

persentase pemakaian sebesar 15% dimana seharusnya jumlah item obat-obat

kelompok B sebanyak 20-40% dari seluruh total item. Sedangkan persentase obat

kelompok C sebanyak 17,84% dengan persentase pemakaian sebesar 5% dimana

seharusnya jumlah item obat-obat kelompok C sebanyak 60-80% dari seluruh total

40
item. Komposisi obat RS. Krakatau Medika Cilegon periode Februari 2016-

Februari 2017 ditentukan berdasarkan RKO yang memperhatikan pola konsumsi

obat dan pola epidemiologi yang terdapat di RSKM, pertimbangan anggaran,

penetapan prioritas, sisa persediaan, dan data pemakaian obat pada tahun-tahun

sebelumnya. Berdasarkan aspek-aspek tersebut maka pengadaan obat golongan A

ditingkatkan melebihi standar komposisi obat berdasarkan analisis Pareto.

Berdasarkan efek farmakologinya, obat-obat kardiovaskuler merupakan

persentase terbesar dalam kelompok A nilai pakai, yaitu 41%. Hal ini

menunjukkan bahwa obat-obat kardiovaskuler merupakan golongan obat dengan

pergerakan yang tinggi (fast-moving). Dengan demikian tingkat persediaan obat-

obat kardiovaskuler perlu mendapat perhatian agar tidak sampai terjadi

kekosongan dan ditingkatkan melebihi standar komposisi obat berdasarkan analisis

Pareto. Demikian juga dengan obat-obat golongan hormone, endokrin, dan

konstrasepsi, serta obat golongan saluran cerna yang memiliki persentase kedua

dan ketiga dalam kelompok A nilai pakai, yaitu sebesar 16% dan 8%.

Kelompok C dengan penggunaan obat sebanyak 5% persediaan, dengan

total item mencakup 17,84% dari seluruh item obat. Hal ini menandakan ada

banyak item obat kelompok C yang pergerakannya sangat rendah/lambat (slow-

moving atau stagnan). Sementara dari pengelompokan berdasar efek farmakologi

kelompok C nilai pakai terdapat beberapa golongan obat yang memiliki persentase

terkecil dalam persentase pemakaian, bahkan beberapa menunjukkan nilai 0%,

yang berarti tidak ada penggunaan sama sekali (stagnan). Beberapa golongan obat

tersebut antara lain golongan psikofarmaka (3%), golongan anestetik dan obat

topikal kulit masing-masing 2%, golongan antiepilepsi antikonvulsi, antimigren,

41
diuretik dan hipertrofi prostat, vitamin dan mineral masing-masing sebesar 1%,

dan obat-obatan dengan pemakaian 0% antara lain golongan antialergi dan

anafilaksis, antidot, diagnostik, antiseptik desinfektan, obat yang

mempengaruhi sistem imun, serta produk darah dan pengganti plasma. Dengan

demikian persediaan untuk obat-obat dengan pergerakan yang sangat rendah ini

juga perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi penumpukan yang berisiko

meningkatnya kerugian akibat kadaluarsa, kerusakan, atau pencurian (Quick

etal,2012). Namun perlu diperhatikan juga apakah obat-obat tersebut termasuk

dalam kategori vital atau bersifat life saving yang penggunaannya tidak selalu

banyak tetapi tetap harus tersedia walaupun dalam jumlah kecil.

Adanya analisis Pareto ini dapat digunakan untuk menyeleksi item obat

mana saja yang benar-benar perlu diadakan dan mana yang tidak perlu diadakan

kembali karena terlalu banyak item obat dengan pergerakan yang rendah/lambat

akan menyulitkan pemantauan dan berisiko kadaluarsa.

2. Pengelompokan obat berdasarkan ABC nilai investasi.

Melalui analisis pada data penggunaan obat JKN selama bulan Januari–

Juni 2015, didapatkan pengelompokan ABC nilai investasi adalah sebagai berikut:

Tabel4.2. Pengelompokan Obat JKN Berdasarkan Analisis ABC Nilai Investasi Periode
Februari 2016 – Februari 2017
Kelompok Jumlah Investasi Persentase Jumla Persentase
(Rupiah) Investasi h Item Obat
A 56.639.911.546 80% Item
901 63,22%
B 10.619.983.415 15% Obat
270 18,94%
C 3.539.994.471 5% 2 17,84%
Jumlah 70.799.889.432 100% 14255 100%
4

Hasil perhitungan analisis ABC nilai investasi menunjukkan kelompok A

42
adalah 63,22% item obat, menyerap 80% investasi, kelompok B adalah sebesar

18,94% item obat menyerap investasi sebesar 15%, sementara kelompok C dengan

17,84% dari jumlah total item obat hanya menyerap sebesar 5% investasi. Hal ini

menunjukkan bahwa kelompok A menyerap investasi yang sangat tinggi. Dengan

demikian perlu dilakukan pengaturan persediaan, terutama mengupayakan agar

tidak terjadi penumpukan stok karena obat-obat dengan nilai investasi tinggi

menimbulkan biaya penyimpanan yang tinggi pula. Untuk menurunkan biaya

penyimpanan dapat dilakukan pemesanan secara berkala dalam jumlah kecil.

Namun perlu diperhatikan pula agar tidak terjadi stock out karena biaya pembelian

di luar perencanaan juga menjadi tinggi karena tinggi nya nilai obat (Quick et al,

2012).

Berdasarkan penggolongan efek farmakologinya, sebanyak 50% kelompok

A nilai investasi adalah golongan obat antineoplastik dan imunosupresan.

Golongan obat ini dalam analisis ABC nilai pakai, sebagian besar masuk dalam

kelompok C, menunjukkan jumlah penggunaan yang rendah. Namun dalam

analisis ABC nilai investasi masuk dalam semua kelompok dengan persentase

yang tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa golongan obat antineoplastik dan

imunosupresan memiliki nilai investasi yang sangat tinggi walaupun

penggunaannya sangat rendah dibandingkan dengan obat golongan kardiovaskuler

yang dalam analisis ABC nilai pakai masuk dalam kelompok A. Dengan demikian

pengelolaan obat-obat antineoplastik dan imunosupresan perlu mendapat perhatian

khusus. Karena memiliki nilai investasi sangat tinggi, perlu upaya agar tidak

terjadi stok berlebih, namun tetap dapat memenuhi permintaan. Tingginya biaya

penyimpanan (30%) menyebabkan peningkatan biaya jika pada golongan obat

43
tersebut terjadi penumpukan stok.

Dalam kelompok C analisis ABC nilai investasi, golongan obat

antineoplastik dan imunosupresan menempati urutan kedua jumlah terbanyak.

Dilihat dari harganya golongan obat antineoplastik dan imunosupresan memiliki

harga yang tinggi. Analisis nilai investasi ini menunjukkan ada banyak jenis obat

antineoplastik dan imunosupresan yang jumlah pemakaiannya sangat sedikit atau

bahkan tidak ada pemakaian selama Februari 2016-Februari 2017. Dengan

demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap jenis- jenis obat antineoplastik dan

imunosupresan yang sekarang ada, apakah perlu tetap diadakan atau dapat diatur

pengadaannya hanya menurut pesanan, sehingga tidak perlu ada persediaan yang

berisiko kerusakan, kadaluarsa, dan peningkatan biaya penyimpanan.

3. Pengelompokan obat berdasarkan ABC Nilai Indeks Kritis.

Melalui analisis nilai pakai, analisis nilai investasi, dan analisis indeks

kritis pada data penggunaan obat JKN selama Februari 2016-Februari 2017,

didapatkan pengelompokan ABC indeks kritis adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3. :Pengelompokan Obat JKN Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis
Periode Februari 2016 – Februari 2017
Kelompok NIK Jumlah Item Persentase
A 9,5–12 26 1,82%
B 6,5–9,4 60 4,21%
C 4–6,4 1339 93,96%
TOTAL -- 1425 100%

Obat-obat yang termasuk dalam golongan A indeks kritis adalah sebagai

berikut:

44
Tabel 4.4. Obat-Obat Kelompok ABC Indeks Kritis Di RSKM Periode Februari 2016-

Februari 2016

Nilai Nilai
No. NamaObat NIK Golongan
Pakai Investasi
1. Hyperil 3 3 11,23 A
2. Adalat 30 mg tab 3 3 11,12 A
3. Micardic tab 3 3 11,09 A
4. Ramipril 5mg tab 3 3 11,01 A
5. Cedocard 250 mg Retard 3 3 10,96 A
6. Irvask 150 mg tab 3 3 10,88 A
7. Bisoprolol 3 2 10,84 A
8. clopidogrel 3 3 10,66 A
9. Harnal 0,2 mg 3 3 10,28 A
10 Harnal OCAS 3 3 10,28 A
11 valsartan 80 mg 3 3 10,22 A
12 valsartan 160 mg 3 3 10,22 A
13 irbesartan 300mg 3 2 9,76 A
14 candesartan 8 mg 3 2 9,66 A
15 Tensicap 12,5 mg tab 2 2 9,64 A
16 Tensicap 25 mg tab 2 2 9,61 A
17 Angintriz MR tab 2 2 9,60 A
18 Catapres inj 2 2 9,59 A
19 Digoxin Indofarma 0,25 2 3 9,59 A
20 Captopril 12mg tab 2 2 9,59 A
21 Captopril 25mg tab 2 2 9,54 A
22 Cordarone 150mg/3ml 2 2 9,53 A
23 Cordila SR tab 2 3 9,52 A
24 Tanapress 5mg 2 2 9,51 A
25 Norepinefrin inj 2 3 9,50 A
26 Acetosal 100mg generik 2 3 9,50 A

Pengelompokkan obat berdasarkan ABC indeks kritis digunakan untuk

meningkatkan efisiensi penggunaan dana terutama pada obat-obatan berdasarkan

dampaknya pada kesehatan (Suciati dan Adisasmito, 2006). Terdapat 16 item

obat (1,82%) yang termasuk kelompok A dengan indeks kritis 9,5-12 yang terdiri

golongan obat kardiovaskuler. Enam belas item ini termasuk obat yang perlu

mendapat perhatian dalam pengadaan karena memiliki nilai pakai dan nilai

45
investasi tinggi, dan juga memiliki tingkat kekritisan tinggi karena

penggunaannya yang tidak dapat ditunda sehingga tidak boleh terjadi

kekosongan. Selain itu juga pengelolaan dana dapat dialokasikan untuk

menjamin tersedianya obat kelompok A indeks kritis (9,5-12) untuk dapat

memenuhi permintaan. Dengan kata lain pengawasan terhadap kelompok A

indeks kritis (9,5-12) ini perlu dilakukan dengan ketat agar pasien bisa

mendapatkan terapi dengan optimal.

Analisis ABC investasi menunjukkan bahwa obat-obat golongan

antineoplastik dan imunosupresan memiliki nilai investasi paling tinggi. Namun

demikian pada analisis ABC nilai kritis nilai yang paling tinggi adalah pada obat

golongan kardiovaskuler. Hal ini menunjukkan nilai kritis obat memiliki nilai yang

lebih tinggi dibandingkan nilai investasi. Rumus analisis ABC nilai kritis

menunjukkan bahwa nilai kritis obat memiliki nilai dua kali lebih tinggi daripada

nilai pakai dan nilai investasi. Dengan kata lain prioritas pengadaan obat bukan

didasarkan pada nilai investasinya atau nilai pakainya, tetapi lebih pada seberapa

penting obat tersebut memiliki nilai penting berdasarkan efek farmakologinya.

Misalnya pada obat-obat kardiovaskular, penggunaannya tidak bisa ditangguhkan

walaupun memiliki nilai investasi kecil karena menyangkut keselamatan pasien.

Sebaliknya obat kemoterapi waktu penggunaannya dapat disesuaikan atau menurut

perjanjian karena tidak bersifat life saving.

Data ini menunjukkan bahwa golongan obat-obat kardiovaskuler memiliki

tingkat kekritisan paling tinggi karena nilai pakai yang tinggi, walaupun bukan

termasuk golongan obat yang nilai investasinya paling tinggi. Nilai pakai obat

kardiovaskuler tinggi karena obat-obat tersebut adalah obat yang terus menerus

46
secara rutin harus dikonsumsi oleh para pasien dengan gangguan kardiovaskuler

dan obat-obat golongan ini termasuk obat yang penggunaannya tidak dapat

ditunda. Dengan demikian obat-obat kardiovaskuler yang masuk dalam kelompok

A indeks kritis harus selalu tersedia, jangan sampai terjadi stockout.

4. Peramalan Tiap Item Obat JKN Kelompok A Indeks Kritis Untuk Juli–

Desember 2017

Peramalan kebutuhan masing-masing obat kelompok A indeks

kritis dilakukan menggunakan metode double exponential smoothing.

Peramalan dilakukan dengan menggunakan data penggunaan obat pada

Februari 2016-Februari 2017 pada masing-masing obat golongan A indeks

kritis untuk bulan Agustus 2017–Januari 2018. Dari persamaan yang

dihasilkan melalui metode peramalan double exponential smoothing,

didapatkan data peramalan kebutuhan obat untuk bulan Agustus 2017–Januari

2018 sebagai berikut:

Tabel4.5. :Jumlah peramalan kebutuhan obat JKN Agustus 2017–Januari 2018


Obat Persamaan Agt Sept Okt Nov Des Jan
clopidogrel 4391,42+33,28(t) 4425 4458 4491 4525 4558 4591
Harnal 0,2 mg 2232,04+81,96(t) 2314 2396 2478 2560 2642 2724
Harnal OCAS 6952,3+317,9(t) 7272 7588 7906 8224 8542 8860
valsartan 80 mg 7152+119(t) 7271 7390 7509 7326 7747 7886
valsartan 160 mg 3810,84+69,76(t) 3881 3950 4020 4090 4160 4229
irbesartan 300mg 3520,3+32,7(t) 3553 3586 3618 3651 3684 3717
candesartan 8 mg 3451,96+55,24(t 3507 3562 3618 3673 3728 3783
)

Hasil penghitungan peramalan kebutuhan obat kelompok A indeks kritis

menunjukkan adanya kecenderungan naik. Data penggunaan obat selama Januari

menunjukkan adanya penggunaan yang tidak stabil dari bulan ke bulan. Hal ini

47
disebabkan adanya kekosongan obat sehingga tidak ada data penggunaan obat.

Namun setelah dilakukan peramalan dengan metode double exponential

smoothing didapatkan peramalan penggunaan obat yang lebih stabil dengan trend

naik, kecuali pada bisoprolol yang menunjukkan trend turun. Data peramalan yang

didapatkan kemudian digunakan untuk memperkirakan perencanaan dan

pengalokasian dana dalam pengadaan obat.

48
BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang sekaligus revenue center utama bagi

sebuah rumah sakit, sehingga harus dikelola dengan cermat. Salah satu bentuk pengelolaan

meliputi manajemen persediaan farmasi yang mencakup pemesanan, penerimaan,

penyimpanan,dan distribusi obat. Kelemahan dalam manajemen persediaan farmasi

misalnya pasokan obat yang berlebih dapat menjadi penyebab pemborosan finansial karena

banyaknya nilai uang yang tidak bergerak, juga mengakibatkan penumpukan obat dan

terjadi kadaluarsa, namun jika terjadi kekurangan terutama pada obat-obat yang esensial

dapat menyebabkan penurunan kualitas perawatan pasien. Perencanaan obat dibuat dengan

menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan antara lain konsumsi,

epidemiologi, atau kombinasi. Perencanaan yang telah dibuat harus dilakukan koreksi

dengan metode analisis nilai ABC untuk koreksi terhadap aspek ekonomis, metode VEN

untuk koreksi terhadap aspek terapi, atau gabungan keduanya. Sementara analisis ABC

indeks kritis dapat digunakan untuk analisis efisiensi penggunaan dana dengan

pengelompokan obat berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan. Adapun nilai kritis obat

memiliki nilai dua kali lebih tinggi daripada nilai pakai dan nilai investasi sehingga

prioritas pengadaan obat bukan didasarkan pada nilai investasinya atau nilai pakainya,

tetapi lebih pada seberapa penting obat tersebut memiliki nilai penting berdasarkan efek

farmakologinya.

RS. Krakatau Medika Cilegon sudah melakukan analisis ABC-VEN dalam perencanaan

pengadaan farmasi nya, namun tetap dengan mempertimbangkan dasar-dasar perencanaan

49
lain, yaitu konsumsi, epidemiologi, pertimbangan anggaran, penetapan prioritas, sisa

persediaan, dan data pemakaian obat pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga dapat kita

lihat bahwa hasil perhitungan analisis ABC nilai pakai menunjukkan komposisi persentase

item obat kelompok A, B, dan C tidak sama persis dengan analisis ABC melainkan

berbanding lurus dengan persentase jumlah pemakaiannya.

V.2 Saran

-Memperbaiki kendala-kendala terkait manajemen farmasi meliputi pengoptimalan e-

prescribing, peran komite farmasi.

-Tingkat persediaan obat-obat fast moving sebagai aset yang menguntungkan rumah sakit

perlu mendapat perhatian agar tidak sampai terjadi kekosongan

-Untuk obat-obatan dengan biaya investasi tinggi dilakukan pemesanan berkala dalam

jumlah kecil untuk mencegah penumpukan stok, namun perlu diperhatikan juga agar tidak

sampai terjadi stock out karena biaya pembelian di luar perencanaan dapat meningkatkan

biaya yang tidak perlu.

-Analisis ABC, VEN, nilai indeks kritis obat diperlukan sebagai alat bantu dalam

perencanaan persediaan farmasi, namun dalam penggunaannya tetap harus

memperhatikan kondisi real di lapangan, yaitu pola konsumsi, epidemiologi, serta data-

data penggunaan di tahun sebelumnya.

-Mengevaluasi ulang obat-obat yang slow moving dan stagnan, serta kurang berdampak

bagi kesehatan, terutama jika bernilai investasi cukup tinggi, sehingga tidak

menimbulkan kerugian bagi rumah sakit.

50
MANAJEMEN FARMASI RS
ANALISIS ABC-VEN RS. KRAKATAU MEDIKA CILEGON

Pembimbing:

Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt, MARS

Disusun untuk memenuhi tugas UTS oleh kelompok 2:

Linerin 20160309007

Syahdani Uli Lubis 20160309008

Rachmat Setiarsa 20160309009

Jennifer Kurniawan 20160309010

Ageng Estu Putri 20160309011

Amaryllies Sarah 20160309012

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2017

51
52

Anda mungkin juga menyukai